Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH PJBL

FUNDAMENTAL PATHOPHYSIOLOGY dan NURSING CARE

Osteomilitis

Untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Blok Musculosceletal

Dosen Pembimbing: Ns. Heri Kristanto, M.Kep., Sp.Kep.MB

Disusun oleh:

Kelompok 2 Regular 2

Nafisah 165070200111004

Nurmalia Filda Syafiky 165070200111006

Tyas Febri Ghea Rachmadi 165070200111008

Samuel Bayu Santosa H.S 165070200111010

Sandra Listanti Dewi 165070200111012

Nurva Prastya Ningrum 165070200111014

Styradixa Widhi Trimitha 165070207111018

Ratna Dilla Fitrianti 165070207111020

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2017
FUNDAMENTAL PATHOPHYSIOLOGY

OSTEOMILITIS

1. Definisi

Osteomyelitis adalah infeksi dari jaringan tulang yang


mencakup sumsum dan atau kortek tulang dapat berupa eksogen
(infeksi masuk dari luar tubuh) atau hemotogen (infeksi yang
berasal dari dalam tubuh). (Reeves, 2001:257).

Menurut Noer S (1996) (dalam Lukman dan Ningsih, 2009),


osteomielitis adalah infeksi pada tulang yang biasanya menyerang
metafisis tulang panjang dan banyak terdapat pada anak-anak.

Osteomielitis adalah infeksi tulang yang dapat timbul dari


inokulasi langsung oleh organisme penyebab, misalnya pada
fraktur terbuka, atau berasal dari penyebaran hematogen (Davey P,
2002).
Osteomielitis adalah infeksi pada tulang dan medula tulang
baik karena infeksi piogenik atau non piogenik misalnya
mycobacterium tuberculosa. Ini dapat tetap terlokalisasi atau dapat
tersebar melalui tulang, melibatkan sumsum,
korteks, jaringan kanselosa, dan periosteum. Hal ini dapat bersifat
akut maupun kronik (Rasajad, 2008). Osteomyelitis dapat timbul
akut atau kronik. Bentuk akut dicirikan dengan adanya awitan
demam sistemik maupun manifestasi lokal yang berjalan dengan
cepat. Osteomyelitis kronik adalah akibat dari osteomyelitis akut
yang tidak ditangani dengan baik (Price, 1995).

2. Etiologi
Mikroorganisme penyebab paling sering adalah
staphylococcus aerus (70% - 80%). Organisme penyebab yang lain
adalah salmonela streptococcus dan pneumococcus (Overdoff,
2002).
Osteomyelitis dapat disebabkan oleh karena bakteri, virus,
jamur dan mikro organismelain. Golongan atau jenis patogen yang
sering adalah Staphylococcus aureusmenyebabkan 70%-80%
infeksi tulang, Pneumococcus, Typhus bacil, Proteus,Psedomonas,
/cherchia coli, Tuberculose bacil dan Spirochaeta (Efendi ,2007).
Penyebab terbanyak osteomielitis termasuk patah tulang
terbuka, penyebaran bakteri secara hematogen, dan prosedur
pembedahan orthopaedi yang mengalami komplikasi infeksi

Terjadi sebagai akibat penyebaran hematogen pada 90%


kasus; etiologi yang lain mencakup inokulasi langsung (misalnya
trauma, operasi) dan penyebaran langsung dari infeksi jaringan
lunak lokal (misalnya ulkus kaki diabetik).
Luka tekanan, trauma jaringan lunak, nekrosis yang
berhubungan dengan keganasan dan terapi radiasi serta luka bakar
dapat menyebabkan atau memperparah proses infeksi tulang.
Infeksi telinga dan sinus serta gigi yang berdarah merupakan akibat
dari osteomyelitis pada rahang bawah dan tulang tengkorak. Faktur
compound, prosedur operasi dan luka tusuk yang dapat melukai
tulang pokok sering menyebabkan traumatik osteomyelitis.

3. Klasifikasi

1. Pembagian osteomeilitis menurut (Rasjad ,2008) dibagi menurut


asalnya :

a. Osteomielitis Primer
Osteomielitis primer disebabkan oleh implantasi
mikroorgnisme secara langsung ke dalam tulang dan biasanya
terbatas pada tempat tersebut. Fraktur terbuka
(compound fracture), luka tembus (terutama yang disebabkan
oleh senjata api), dan operasi bedah pada tulang merupakan
kausa tersering. Terapi operatif biasanya perlu dilakukan; terapi
dengan obat antimikroba hanya sebagai supportif saja.
Osteomielitis primer dapat dibagi menjadi osteomielitis akut
dan kronik. Fase akut adalah fase sejak terjadinya infeksi sampai
10-15 hari. Pada fase ini anak tampak sangat sakit, panas tinggi,
pembengkakan dan gangguan fungsi anggota gerak yang
terkena. Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan laju endap
darah yang meninggi dan lekositosis, sedang gambaran
radiologik tidak menunjukkan kelainan.
Pada osteomielitis kronik biasanya rasa sakit tidak begitu
berat, anggota yang terkena merah dan bengkak atau disertai
terjadinya fistel. Pemeriksaan radiologik ditemukan suatu
involukrum dan sequester.
b. Osteomielitis Sekunder
Biasanya disebabkan oleh penyebaran melalui aliran darah.
Kadang kadang, osteomielitis sekunder dapat disebabkan oleh
perluasan infeksi secara langsung dari jaringan lunak di
dekatnya atau dari arthritis septik pada sendi yang berdekatan.

2. Klasifikasi osteomielitis menurut Cierny-Maderd


Klasifikasi oleh Cierny-Mader berdasarkan pada karakteristik
anatomi dari tulang dan fisiologi dari inang. Debridement
osteomielitis ditentukan dari evaluasi karakteristik anatomi.
Dengan memperhatikan karakteristik fisiologi baik local maupun
sistemik, dapat membantu mengidentifikasi potensi masalah.
Optimalisasi kondisi pasien sebelum operasi dan hindari
prosedur rekonstruksi kompleks pada pasien yang bermasalah
(Cierny dkk, 2003).
Terdapat empat tipe anatomi dari osteomielitis: medulla,
superficial, local, dan difus. Osteomielitis medulla (type I)
melibatkan permukaan intramedula. Osteomielitis superficial
(type II ) melibatkan permukaan tulang. Ini disebabkan oleh
infeksi langsung ketika permukaan tulang berdekatan dengan
luka jaringan lunak. Osteomielitis local (type III) melibatkan
seluruh tebal korteks dan menyebar ke kanal intramedula,
namun pengeluaran sequestrum dengan pembedahan tidak
mempengaruhi stabilitas tulang. Osteomielitis difus (type IV)
melibatkan tulang secara melingkar, membutuhkan reseksi
tulang dan stabilisasi. Instabilitas pada osteomielitis disfus ,
dapat terjadi baik sebelum maupun sesudah debridement.
Infected nonunions, yang melibatkan osteomielitis difus,
memberikan tantangan paling besar (Cierny dkk, 2003).

Tipe Anatomi
Tipe I Osteomielitis Medula
Tipe II Osteomielitis Superfisial
Tipe III Osteomielitis Lokal
Tipe IV Osteomielitis Difus
Tabel Klasifikasi Osteomielitis Kronis menurut Cierny-Mader
(Cierny dkk, 2003).

Status fisiologi dari pasien dibagi menjadi tipe A, B atau C


berdasarkan adanya faktor local dan sistemik, yang memberikan
peran besar pada hasil akibat dari interaksi mikroorganisme dan
inang. Tipe A mempunyai system pertahanan yang baik,
vaskularisasi local yang baik dan respon fisiologi yang normal
terhadap infeksi dan pebedahan. Tipe B dibagi menjadi masalah
sistemik, local dan kombinasi dalam penyembuhan luka dan
respon terhadap infeksi. Faktor sistemik, seperti penyakit ginjal
stadium akhir, keganasan, diabetes mellitus, penggunaan
alcohol, malnutrisi, penyakit reumatologi atau status
immunocomprimised (infeksi HIV, terapi imunosupresif), dapat
mengurangi kemampuan system imun. Defisiensi local dapat
disebabkan oleh penyakit arteri, stasis vena, radiasi, bekas luka ,
atau merokok yang dapat mengurangi vaskularisasi. Cedera
awal dan pembedahan yang menyertai sering berakhir dengan
fragmen tulang yang avaskuler dan bekas luka pada jaringan
diatasnya. Pada inang tipe C, faktor local dan sistemik begitu
beratnya sehingga bahaya dari terapi melebihi penyakit itu
sendiri (Cierny dkk, 2003).
Kelas Fisiologi
Host A System imun baik
Host B System imun local dan sistemik
terganggu
Host C Membutuhkan supresif atau tidak
ada terapi, terapi lebih buruk dari
penyakitnya. Bukan kandidat
pemnbedahan

Sistemik Lokal
Malnutrisi Limfedema kronik
Gagal hati, gagal ginjal Stasis vena
Penyalahgunaan alcohol Gangguan pembuluh darah
utama
Defisiensi imun Arteritis
Hipoksia kronis Bekas luka yang luas
Keganasan Fibrosis akibat radiasi
Diabetes mellitus
Umur tua
Terapi steroid
Penyalahgunaan tembakau
Table Faktor Sistemik atau Lokal yang mempengaruhi imun,
metabolisme dan vaskularisasi local (Cierny dkk, 2003).
4. Patofisiologi
Secara ringkas, patofisiologi bergantung pada tingkat
kerusakan jaringna lunak dan penurunan suplai darah,
ketidakstabilan fragmen fraktur, serta inokulasi flora bakteri pada
system kekebalan tubuh.
Infeksi umumnya menyebar dari fokus intramedula utama
melalui kanal haversian dari korteks ke ruang subperiosteal,
membentuk abses subperiosteal. Jika ini pecah, infeksi meluas ke
jaringan lunak di atasnya. Peradangan metafiseal menyebabkan
eksudasi, peningkatan tekanan intraoseous, stasis pembuluh
darah, thrombosis, nekrosis tulang, dan resorbsi tulang. Terkadang
infeksi meluas ke sendi yang berdekatan.
Osteomyelitis paling sering disebabkan oleh staphylococcus
aureus. Organisme penyebab yang lain yaitu salmonella,
streptococcus, dan pneumococcus. Metafisis tulang terkena dan
seluruh tulang mungkin terkena. Tulang terinfeksi oleh bakteri
melalui 3 jalur : hematogen, melalui infeksi di dekatnya atau scara
langsung selama pembedahan. Reaksi inflamasi awal
menyebabkan trombosis, iskemia dan nekrosis tulang. Pus
mungkin menyebar ke bawah ke dalam rongga medula atau
menyebabkan abses superiosteal. Suquestra tulang yang mati
terbentuk. Pembentukan tulang baru dibawah periteum, yang,
terangkan, diatas, dan sekitar jaringan granulasi, berlubang oleh
sinus-sinus yang memungkinkan pus keluar (Overdoff,2002).

5. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis menurut Heryati et al (2008):
- Jika infeksi hematogen, pasien mengalami demam tinggi,
pasien menggigil, denyut nadi cepat, dan malaise umum.
- Setelah infeksi menyebar dari rongga sumsum ke korteks
tulang, akan mengenai periosteum dan jaringan lunak. Bagian
yang terinfeksi menjadi nyeri, bengkak dan sangat nyeri tekan.
- Jika infeksi terjadi akibat penyebaran infeksi di sekitarnya atau
kontaminasi langsung, tidak ada gejala septicemia. Gejalanya,
yaitu daerah infeksi membengkak, hangat , nyeri, dan nyeri
tekan
- Osteomielitis kronis ditandai oleh pus yang selalu mengalir
keluar dari sinus atau mengalami periode berulang nyeri,
inflamasi, pembengkakan dan pengeluaran pus.

Menifestasi klinis tergantung pada etiologi dan lokasi tulang


yang cedera, dapat berkembang secara progresif atau cepat.
Infeksi hematogen akut sering terjadi dengan manifestasi klinis
septikimia yaitu menggigil, demam tinggi, denyut nadi cepat dan
malaise umum, sedangkan gejala local yang terjadi berupa nyeri ,
nyeri tekan, bengkak, dan kesulitan menggerakkan anggota tubuh
yang sakit (Smeltzer, 2002; Sjamsuhidajat, 1997). Klien
menggambarkan nyeri konstan berdenyut, semakin nyeri bila
digerakkan, dan berhubungan dengan tekanan pus yang terkumpul
(Lukman dan Ningsih, 2009).

Osteomielitis yang terjadi akibat penyebaran infeksi di


sekitarnya atau kontaminasi, tidak akan ada gejala septicemia.
Daerah terinfeksi membengkak, teraba hangat, rasa nyeri dan nyeri
tekan. Sementara osteomielitis kronik akan ditandai dengan pus
yang mengalir keluar, periode nyeri berulang, inflamasi , dan
pembengkakan (Lukman dan Ningsih, 2009).

6. Pemeriksaan Diagnostik

Pemeriksaan diagnostic menurut (Helmi ,2012) :

- Pada pemeriksaan darah rutin didapatkan adanya peningkatan


kadar leukosit, LED, dan protein C- reaktif.
- Pemeriksaan kultur sangat diperlukan untuk pemberian
antimikroba yang rasional
- Pemeriksaan foto polos akan didapatkan adanya sekuestrum
pada tulang tibia dan fibula atau destruksi tulang akibat adanya
nekrosis dari tulang yang mengalami osteomielitis
Pemeriksaan Diagnostik menurut Lukman dan Ningsih (2009):

a. Pemeriksaan Darah: Sel darah putih meningkat sampai


30.000 gr/dl disertai peningkatan laju endap darah.
b. Pemeriksaan titer antibody –antistaphylococcus:
pemeriksaan kultur darah untuk menentukan bakteri (50%
positif) dan diikuti dengan uji sensitivitas.
c. Pemeriksaan Feses : pemeriksaan kultur feses dilakukan
apabila terdapat kecurigaan infeksi oleh bakteri Salmonella
d. Pemeriksaan biopsy tulang
e. Pemeriksaan ultrasound: pemeriksaan ini untuk
memperlihatkan adanya efusi pada sendi.
f. Pemeriksaan Radiologis: pemeriksaan foto polos dalam 10
hari pertama biasanya tidak ditemukan kelainan radiologic,
setelah 2 minggu akan terlihat berupa refraksi tulang yang
bersifat difuse.
g. HBO
Adapun cara HBOT pada prinsipnya adalah diawali
dengan pemberianO2 100%, tekanan 2 – 3 Atm. Tahap
selanjutnya dilanjutkan dengan pengobatan decompresion
sickness. Maka akan terjadi kerusakan jaringan, penyembuhan
luka, hipoksia sekitar luka. Kondisi ini akan memicu
meningkatnya fibroblast, sintesa kolagen, rasio RNA/DNA,
peningkatan leukosit killing, serta angiogenesis yang
menyebabkan neovaskularisasi jaringan luka. Kemudian akan
terjadi peningkatan dan perbaikan aliran darah mikrovaskular.
Densitas kapiler meningkat sehingga daerah yang mengalami
iskemia akan mengalami reperfusi. Sebagai respon, akan
terjadi peningkatan NO hingga 4 – 5 kali dengan diiringi
pemberian oksigen hiperbarik 2-3 ATA selama 2 jam. Hasilnya
pun cukup memuaskan, yaitu penyembuhan jaringan luka.
Terapi ini paling banyak dilakukan pada pasien dengan
diabetes mellitus dimana memiliki luka yang sukar sembuh
karena buruknya perfusi perifer dan oksigenasi jaringan di
distal.

Terapi oksigen hiperbarik adalah salah satu terapi


adjuvant yang paling potensial dan yang tersering digunakan
sebagai adjuvant pada terapi osteomyelitis. Terapi HBO
meningkatkan tekanan oksigen jaringan, tulang dan jaringan
lunak yang mengalami penyembuhan akibat iskemik .

Tekanan oksigen normal pada tulang yang sehat adalah


sekitar 45 mmHg oksigen di bawah kondisi ruangan. Jaringan
tulang yang terinfeksi dan nekrotik menyebabkan penurunan
tekanan oksigen yaitu 23 mmHg. Hal ini menyebabkan
gangguan vaskular, pembentukan jaringan parut pada jaringan
tulang yang terinfeksi. Sehingga untuk memperbaiki kondisi
tersebut dibutuhkan tekanan oksigen sekitar 30- 40 mmHg.
Tekanan ini dibutuhkan untuk pembentukan neurovaskularisasi
dalam jaringan yang mengalami iskemik dan meningkatkan
killing leukosit. Walaupun pemberian antibiotik dapat
membunuh meikoorganisme dalam jaringan lunak di area
infeksi dan operasi menghilangkan jaringan yang mati pada
tulang yang terinfeksi namun HBO memperbaiki respon host
dengan membuat lingkungan lebih menguntungkan untuk
membunuh leukosit oksidatif, neurovaskularisasi dan resorspsi
tulang yang mengalami iskemik dan tersinfeksi. Selian itu terapi
HBO meningkatkan transportasi dan menambahkan
kemanjuran terapi antibiotik karena pemberian antibiotik akan
terhambat jika terdapat area yang mengalami hipoksia . (Robert
C.et al. 2009)

7. Pencegahan

Beberapa tindakan dan upaya yang dapat mencegah terjadinya


osteomielitis menurut Lukman dan Ningsih,( 2009), antara lain
sebagai berikut:
- Penangan infeksi local dapat menurunkan angka penyebaran
hematogen
- Penanganan infeski jaringan lunak dapat mengontrol erosi
tulang
- Pemeriksaan klien secara teliti, perhatikan lingkungan
pembedahan, dan teknik pembedahan
- Penggunaan antibiotic profilaksis untuk mencapai kadar
jaringan yang memadai saat pembedahan dan selama 24-48
jam setelah operasi
- Teknik perawatan luka pascaoperasi aseptic.

8. Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan osteomielitis, yaitu: a) Istirahat dan
pemberian analgetik untuk menghilangkan nyeri, b) Pemberian
cairan intravena dan kalau perlu transfusi darah , c) Istirahat local
dengan pemasangan bidai atau traksi, d) Pemberian antibiotika
secepatnya sesuai penyebab, dan e) Drainase bedah (Lukman dan
Ningsih, 2009).

Sasaran awal dari penatalaksanaan osteomielitis adalah


untuk mengontrol dan memusnahkan proses infeksi (Boughman,
2000).

1. Imobilisasi area yang sakit : lakukan rendam salin noral


hangat selama 20 menit beberapa kali sehari.

2. Kultur darah : lakukan smear cairan abses untuk


mengindentifikasi organisme dan memilih antibiotik.

3. Terapi antibiotik intravena sepanjang waktu.

4. Berikan antibiotik peroral jika infeksi tampak dapat terkontrol


: teruskan selama 3 bulan.
5. Bedah debridement tulang jika tidak berespon terhadap
antibiotic pertahankan terapi antibiotik tambahan.

Penatalaksanaan Farmakologi :
a. Antibiotik Lokal
Penggunaan PMMA beads dengan antibiotik lokal dapat
mengurangi insiden infeksi pada patah tulang terbuka yang
berat. Bila perlu, debridemen ulang dapat dilakukan setelah 24
hingga 48 jam berdasarkan tingkat kontaminasi dan kerusakan
jaringan lunak. Konsentrasi antibiotik lokal yang tinggi dan
rendahnya level sistemik meningkatkan kerja terhadap patogen
dan mengurangi efek sistemik. Jumlah yang direkomendasikan
per 40 g PMMA adalah 2.4 hingga 4.8 g tobramycin, dan
vancomycin. Pada patah tulang tertutup, konsentrasi tinggi
antibiotik dari antibioticimpregnated polymethylmethacrylate
(PMMA) beads dapat menghilangkan koloni biofilm. Setelah
penyembuhan luka, depot dapat dibuang dan dapat dilakukan
rekonstruksi sebagai pembedahan yang bersih.
b. Antibiotik Sistemik
Pemberian secara intravena biasanya diberikan selama 4
sampai 6 minggu dan dapat dikerjakan pada pasien rawat jalan.
Manajemen dengan periode yang lebih singkat dari terapi
intravena (hingga 1 minggu), diiikuti oleh antibiotik oral selama 6
minggu, sukses dicatat pada 91% pasien.

Berdasarkan Jurnal Pediatric Osteomyelitis Treatment &


Management yang di tulis oleh Sabah Kalyoussef (2016),
didapatkan bahwa :

a. Seleksi antibiotik yang optimal, dosis yang cukup, dan


waktu pemberian antibiotik yang cukup lama dengan
pemantauan respons klinis dan toksisitas terapi sangat
penting untuk pasien ostemielitis. Keputusan harus
disesuaikan dengan usia pasien, pola resistensi lokal,
dugaan patogen, dan kepatuhan terhadap agen yang
ditentukan.

b. Sebaiknya setelah mendapatkan aspirasi darah dan


tulang untuk kultur segera memulai pengobatan antibiotik.
Awalnya, pilih satu atau lebih agen antimikroba yang
memberikan cakupan yang cukup untuk patogen umum,
sampai terapi bisa dipersempit.

c. Pilihan antibiotik biasanya adalah antibiotik


antistaphylococcal; nafcillin, vancomycin, clindamycin, dan
cefazolin. Clindamycin dapat digunakan jika resistansi
kurang dari atau sama dengan 10% di setting komunitas
setelah dilakukan pengujian D- Testing.

d. Linezolid memiliki cakupan Gram-positif yang baik,


termasuk MRSA dan memiliki bioavailabilitas oral yang
sangat baik dan sudah ada studi tambahan yang mendukung
penggunaannya yang bervariasi. Namun, ini adalah pilihan
yang mahal dan tidak dipelajari dengan baik dalam
pengobatan osteomielitis.

e. Terapi intravena masih dianjurkan untuk pengobatan


awal. Berbagai penelitian telah memulai terapi oral setelah
beberapa hari menjalani terapi intravena. Seluruh durasi
pengobatan tetap antara 3-6 minggu sampai normalisasi
tingkat protein C-reaktif.

f. Pertimbangkan vancomycin sebagai alternatif


klindamisin untuk terapi empiris pada pasien yang tinggal di
komunitas yang memiliki insidensi S-pneumoniae resisten
penisilin atau CA-MRSA yang lebih tinggi.
g. Jangan menggunakan sefalosporin generasi ketiga
untuk mengobati osteomielitis karena mereka tidak optimal
untuk mengobati infeksi serius aureus.

h. Cefuroxime, sefalosporin generasi kedua, dapat


digunakan sebagai agen tunggal untuk melawan S-aureus
dan Hib yang sensitif terhadap methicillin, jika mereka adalah
patogen yang dicurigai.

i. Meningkatnya kejadian pneumonia S resisten penisilin


menjamin penggunaan kombinasi klindamisin dan
sefotaksim / ceftriakson pada bayi dan anak-anak.

j. Saat merawat osteomielitis neonatal, pertimbangkan


kombinasi narkotika dan tobramycin atau vankomisin dan
gentamisin untuk memberikan pertolongan bakteri dari famili
Enterobacteriaceae, selain streptokokus grup B dan S.
Aureus

Penatalaksanaan Pembedahan :

a. Debridemen

Squestrektomi, dengan pengangkatan involukrum


secukupnya dapat dilakukan .Semua tulang dan kartilgo yang
terinfeksi dan mati diangkat supaya dapat terjadi proses
penyembuhan yang permanen. Luka ditutup rapat atau
dipasang tampon agar dapat diisi oleh jaringan granulasi atau
dilakukan grafting dikemudian hari .Dapat juga dipasang
drainase untuk mengontrol hematoma dan mengangkat debris .
Irigasi larutan salin normal dapat diberikan selama 7-8 hari.

Tahap pertama dimulai dengan debridemen radikal terhadap


semua jaringan mati dan terinfeksi, termasuk kulit, jaringan
lunak dan tulang. Tidak ada perbedaan bermakna dari angka
kejadian infeksi pada patah tulang terbuka yang dilakukan
debridemen awal dan terlambat berdasarkan waktu. Bila
terdapat jaringan lunak yang sehat untuk menutup luka dan
pembentukan involucrum yang cukup, sequesterektomi,
drainase, debridemen jaringan nekrotik dan irigasi yang banyak
harus dikerjakan.

Infeksi yang lebih ekstensif dan berlangsung lama mungkin


memerlukan pembedahan yang lebih radikal seperti diafisektomi
atau amputasi.

b. Stabilisasi tulang

Stabilisasi tulang pada fraktur nonunion diperlukan untuk


kontrol infeksi. Namun, dengan adanya fiksasi interna,
mikroorganisme dilindungi oleh biofilm yang melekat pada
permukaan implan. Oleh karena itu, keputusan untuk
mempertahankan atau mengeluarkan implant yang terinfeksi
berbeda-beda untuk setiap pasien, bergantung pada beberapa
faktor yaitu status penyambungan tulang, stabilitas yang
disediakan oleh implant, lokasi fraktur, dan waktu sejak
dilakukan fiksasi fraktur.

c. NPWT
Penutupan luka primer setelah debridemen yang cermat
tidak berhubungan dengan peningkatan resiko infeksi, dapat
mencegah kontaminasi sekunder dan dapat mengurangi
morbiditas, lama dirawat dan biaya. Akan tetapi dapat
berpotensi terjadinya clostridial myonecrosis, yang dapat
berakhir bukan hanya hilangnya ekstremitas tetapi juga
kehilangan nyawa (Zalavras, 2003). .
Negative pressure wound therapy (NPWT) telah menjadi
terapi tambahan yang penting pada manajemen luka trauma
dan insisi pembedahan yang berhubungan dengan trauma
musculoskeletal. Mekanisme kerja NPWT termasuk stabilisasi
lingkungan luka, mengurangi edema, meningkatkan perfusi
jaringan, dan stimulasi sel-sel pada permukaan luka. NPWT
menstimulasi jaringan granulasi dan angiogenesis dapat
mendukung penutupan primer dan mengurangi kebutuhan
untuk transfer jaringan. Sebagai tambahan, NPWT mengurangi
kontaminasi bakteri gram negatif (Streubel dkk, 2012)
DAFTAR PUSTAKA

Baughman, Diane C.2000 . Keperawatan Medikal Bedah: Buku Saku


Untuk Brunner dan Suddart. Alih bahasa oleh Yasmin Asih. Jakarta: EGC.
Brunner,suddarth.2001.Buku ajar Keperawatan Medikal Bedah.Jakarta:
EGC.

Cierny G 3rd, Mader JT, Penninck JJ (2003) A clinical staging system for
adult osteomyelitis. Clin Orthop Relat Res 414:7–24 [PubMed].

Davey, Patrick. 2002.Medicine at Glance. Jakarta: Penerbit Erlangga

Helmi ZN. 2012. Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal. Jakarta: Salemba


Medika.

Heryati S, Manurung S, dan Raenah E. 2008. Klien Gangguan Sistem


Muskuloskeletal Seri Asuhan Keperawatan. Jakarta: Penerbit buku
kedokteran EGC.

Lukman dan Ningsih N. 2009. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan


Gangguan Sistem Muskuloskeletal. Jakarta: Salemba Medika.

Overdoff, D.. 2002. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi revisi, hal 150-153,
Hendarton Natadidjaja (eds), Fakultas Kedokteran, Universitas Tri Sakti,
Jakarta.
Kalyoussef,Sabah. 2016. Pediatric Osteomyelitis Treatment &
Management.(https://emedicine.medscape.com/article/967095-
treatment#d5) ( Online ) . Di akses pada tanggal 8 Desember 2017

Price, Sylvia.A, Lorraine, M. Wilson. 1995. Buku 1 Patofisiologi “Konsep


Klinis Proses - Proses Penyakit” . edisi 4 . Jakarta : EGC.

Rasjad C. 2008. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi: Infeksi dan Inflamasi,


Edisi ke-3.Jakarta: PT Yarsif Watampone.

Reeves CJ, Roux G and Lockhart R. 2001. Keperawatan Medikal Bedah.


Buku I. Jakarta : Salemba Medika.
Smeltzer,Suzanne C.2001.Buku Ajar Keperawatan Medikal bedah
Brunner dan Suddarth Volume 3 Edisi 8.Jakarta:EGC

Sylvia A. Price. (2001). Patofisiologi : Konsep Klinis Proses – Proses


Penyakit.Edisi 4 Buku 2. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta

Robert C. Fang, M.D. and Robert D. Galiano, M.D. 2009. Adjunctive


Therapies in the Treatment of Osteomyelitis [Online].
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2884899/. Diakses pada 8
Desember 2017, 09.41.
NURSING CARE
OSTEOMILITIS

1. PENGKAJIAN

1. Pasien yang datang dengan awitan gejala akut (misal, nyeri local,
pembengkakan, eritema, demam) atau kambuhan keluarnya pus
dari sinus disertai nyeri, eritema, dan demam sedang.
2. Kaji adanya faktor risiko (misal, lansia, diabetes, terapi
kortikosteroid jangka panjang) dan cedera, infeksi atau bedah
ortopedi sebelumnya.
3. Pasien selalu menghindar dari tekanan di daerah tersebut dan
melakukan gerakan perlindungan.
4. Pada osteomyelitis akut, pasien akan mengalami kelemahan umum
akibat reaksi sistemik infeksi.
5. Pemeriksaan fisik memperlihatkan adanya daerah inflamasi,
pembengkakan nyata, hangat yang nyeri tekan. Cairan purulent
dapat terlihat. Pasien akan mengalami kelemahan umum akibat
reaksi sistemuk infeksi.
6. Pasien akan mengalami peningkatan suhu tubuh.
7. Pada osteomyelitik kronik, peningkatan suhu mungkin minimal,
yang terjadi pada sore dan malam hari.
(Lukman dan Ningsih, 2009).

Pemeriksaan Penunjang :

- Pada pemeriksaan darah rutin didapatkan adanya peningkatan


kadar leukosit, LED, dan protein C- reaktif.
- Pemeriksaan kultur sangat diperlukan untuk pemberian
antimikroba yang rasional
- Pemeriksaan foto polos akan didapatkan adanya sekuestrum
pada tulang tibia dan fibula atau destruksi tulang akibat adanya
nekrosis dari tulang yang mengalami osteomielitis.
(Helmi, 2012).
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN

Berdasarkan pengkajian, diagnosis keperawatan yang dapat


ditemukan pada klien osteomyelitis adalah sebagai berikut :

1. Nyeri berhubungan dengan inflamasi dan pembengkakan


2. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri, alat
imobilisasi, dan keterbatasan beban berat badan.
3. Risiko infeksi berhubungan dengan pembentukan abses
tulang yang infeksinya bisa menyebar.
4. Defisiensi Pengatahuan berhubungan dengan program
pengobatan.
5. Kerusakan Integritas Kulit berhubungan dengan proses
pembentukan tulang baru, pengeluaran pus tirah baring lama
dan penekanan lokal.

3. RENCANA DAN TINDAKAN KEPERAWATAN


a. Nyeri berhubungan dengan inflamasi dan pembengkakan

NOC: Kontrol Nyeri

No. Intervensi 1 2 3 4 5

1. Mengenali kapan nyeri terjadi

2. Menggunakan tindakan pencegahan

Menggunakan analgesik, yang


3.
direkomentasinya
4. Melaporkan nyeri yang terkontrol
5. Sakit kepala

NIC : Pemberian Analgesik


No. Intervensi
Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas dan keparahan nyeri
1.
sebelum mengobati pasien.
Cek perintah pengobatan melalui obat, dosis, dan fekuensi
2.
obat analgesik yang diresepkan.
3. Berikan kebutuhan kenyamanan dan aktivitas lain yang dapat
membantu relaksasi untuk memfasilitasi penurunan nyeri
4. Berikan analgesic sesuai waktu paruhnya, terutama pada
nyeri yang berat.
5. Dokumentasikan respon terhadap analgesik dan adanya efek
samping.
6. Lakukan tindakan-tindakan untuk menurunkan efek samping
analgesik (misalnya, konstipasi dan iritasi lambung).

NIC : Bantuan pasien untuk mengotrol pemberian analgesik


No. Intervensi
Rekomendasikan pemberian aspirin dan obat-obatan anti
1. inflamasi non steroid sebagai pengganti narkotik, sesuai
kebutuhan.
Pastikan pasien tidak alergi terhadap analgesik yang
2.
diberikan.
3. Bantu pasien dan keluarga untuk memberikan dosis bolus
analgesik yang tepat.
4. Konsultasikan dengan pasien, anggota keluarga dan dokter
utuk menyesuaikan interval penghentian, laju dasar dan dosis
yang dibutuhkan sesuai dengan respon pasien.
5. Intruksikan pasien dan anggota keluarga terkait reaksi dan
efek samping dari agen pengurang rasa nyeri.
6. Konsultasikan dengan ahli nyeri di klinik bagi pasien yang
mengalami kesulitan dalam mencapai pengontrolan nyeri.

NIC : Manajemen Nyeri


No. Intervensi
Observasi adanya petunjuk nonverbal mengenai
1. ketidaknyamanan terutama pada mereka yang tidak dapat
berkomunikasi secara efektif.
Gunakan strategi komunikasi terapeutik untuk mengetahui
2. pengalaman nyeri dan sampaikan penerimaan pasien
terhadap nyeri.
3. Gali pengetahuan dan kepercayaan pasien mengenai nyeri.
4. Berikan informasi mengenai nyeri, seperti penyebab nyeri,
berapa lama nyeri dirasakan, dan antisipasi dari
ketidaknyamanan akibat prosedur.
5. Pertimbangkan tipe dan sumber nyeri ketika memilih strategi
penurunan nyeri.
6. Dorong pasien untuk mendiskusikan pengalaman nyerinya,
sesuai kebutuhan.
b. Hambatan Mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri, alat
imobilisasi, dan keterbatasan beban berat badan

NOC:Konsekuensi Imobilitas : Fisiologi

No. Intervensi 1 2 3 4 5

1. Nyeri tekan

2. Fraktur tulang

3. Kontractur sendi
4. Kekuatan otot dan spasi
5. Pergerakan sendi

NIC: Terapi latihan : Mobilitas, pergerakan (sendi)

No Intervensi
1 Tentukan batasan pergerakan sendi dan efeknta terahadapfungsi
sendi
2 Kolaborasi dengan ahli terap fisiki pusang dalam mengembakan
dan membubarkan sebuah program
3 Dukungan latihan room aktif , sesuai jadwal yang daiatur dan
direnaca
4 Bantu pasien mendapatkan posisi tubuh Yang optimaL
5 Tentukan batasan pergerakan sendi dan efeknta terahadapfungsi
sendi
c. Risiko infeksi berhubungan dengan pembentukan abses
tulang yang infeksinya bisa menyebar.

NOC -> Keparahan Infeksi


5
2 3 4 Tida
1
No. Indikator Cukup Seda Ringa k
Berat
Berat ng n Ada

1. Kemerahan

2. Cairan (luka) yang berbau


busuk
3. Sputum dan drainase
purulent
4. Demam

5. Malaise

6. Lethargy

7. Peningkatan atau depresi


sel darah putih

NIC -> Perlindungan Infeksi


No. Intervensi
1. Pertahankan asepsis untuk pasien berisiko.
Berikan perawatan kulit yang tepat untuk area (yang
2.
mengalami) edema.
3. Periksa kondisi setiap sayatan bedah atau luka.
4. Instruksikan pasien untuk minum antibiotik yang diresepkan.
5. Ajarkan pasien dan keluarga pasien mengenai tanda dan
gejala infeksi kapan harus melaporkannya, kepada pemberi
layanan kesehatan.
6. Ajarkan pasien dan anggota keluarga bagaimana cara
menghindari infeksi.

d. Defisit Perawatan diri berhubungan dengan program pengobatan.

NOC – Perawatan Diri : Aktivitas Sehari- hari


No Indikator 1 2 3 4 5
1. Ketoilet
2. Mobilitas ke kursi roda
3. Berpindah
4. Memposisikan diri

Keterangan :
1: Sangat terganggu 4: Sedikit terganggu
2: Banyak terganggu 5: Tidak terganggu
3: Cukup terganggu

NIC – Perawatan Diri


No Intervensi
1 Kaji kemampuan dan tingkat penurunan dalam skala 0-4
untuk melakukan aktivitas hidup sehari-hari.
2 Hindari apa yang tidak dapat dilakukan klien dan bantu bila
perlu.
3 Ajak klien untuk berpikir positif tentang kelemahan yang
dimilikinya. Berikan klien motivasi dan izinkan klien
melakukan tugas, beri umpan balik positif.
4 Rencanakan tindakan untuk penurunan gerakan pada sisi
yang sakit, seperti tempatkan makanan dan alat di dekat
klien.
5 Identifikasi kebiasaan defekasi. Anjurkan klien untuk
minum dan meningkatkan latihan.

e. Kerusakan Integritas Kulit berhubungan dengan proses


pembentukan tulang baru, pengeluaran pus tirah baring lama
dan penekanan lokal.

NOC – Integritas Jaringan :Kulit dan Membran Mukosa


No Indikator 1 2 3 4 5
1. Sensasi
2. Perfusi Jaringan
3. Intergritas kulit
4. Lesi pada kulit
5. Pengelupasan kulit
6. Eritema
7. Nekrosis

NIC : Pengecekan Kulit

NO Intervensi
1 Kaji kerusakan jaringan lunak

2 Lakukan perawatan luka :


Lakukan perawatan luka dengan teknik steril.

3 . Kaji keadaan luka dengan teknik membuka balutan dan


mengurangi stimulus nyeri, bila perban melekat kuat, peran
diguyur dengan NaCl.
4 Lakukan pembilasan luka dari arah dalam keluar dengan
caira NaCl.

5 Tutup luka dengan kasa steril atau kompres dengan NaCl


yang dicampur dengan antibiotic.

6 Lakukan nekrotomi pada jaringan yang sudah mati.

7 Rawat luka setiap hari atau setiap kali bila pembalut basah
atau kotor.

8 Hindari pemakaian peralatan perawatan luka yang sudah


kontak dengan klien osteomielitis, jangan digunakan lagi
untuk melakukan perawatan luka pada klien lain.

9 Gunakan perban elastis dan gips pada luka yang disertai


kerusakan tulang atau pembengkakan sendi

10 Evaluasi perban elastis terhadap resolusi edema

11 Evaluasi kerusakan jaringan dan perkembangan


pertumbuhan jaringan dan lakukan perubahan intervensi bila
pada waktu yang ditetapkan tidak ada perkembangan
pertumbuhan jaringan yang optimal.

12 .Kolaborasi dengan tim bedah untuk bedah perbaikan pada


kerusakan jaringan agar tingkat kesembuhan dapat
dipercepat.

13 Pemeriksaan kulur cairan ( pus ) yang keluar dari luka dan


Pemberian antibiotik/antimikroba
DAFTAR PUSTAKA

Bulecheck,M.Gloria dkk. 2013 .Nursing Intervention Classification .


Elsevier.

Helmi ZN. 2012. Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal. Jakarta: Salemba


Medika.
Herdman ,T Haether dan Shigami,Kangitsuru. 2015. Nursing Diagnose
Definition and Classification .EGC

Lukman dan Ningsih N. 2009. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan


Gangguan Sistem Muskuloskeletal. Jakarta: Salemba Medika.

Moorhead,Sue dkk. 2013. Nursing Outcome Clasiification .Elsevier.

Smeltzer, Suzanne C. 2002. Buku ajar keperawatan medical-bedah.


Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai