Anda di halaman 1dari 17

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN

OSTEOMIELITIS DI RUANG CENDANA


RUMAH

D
I
S
U
S
U
N

OLEH

KELOMPOK 2

ERIC CRISMASON SIMATU[ANG


ERVINA TIALUN
MARSINTA ROMEWATY
REPENTINA SIMAJUNTAK

STIKES MAHARATU PEKANBARU


TAHUN AJARAN 2022
1. LATAR BELAKANG

Osteomielitis dapat didefinisikan sebagai suatu kondisi inflamasi tulang yang


berawal dari infeksi ruang medula dan dengan cepat melibatkan sistem haversian,
kemudian meluas sehinggan melibatkan periosteum daerah sekitar. Kondisi ini dapat
dikategorikan menjadi akut, subakut dan kronis, tergantung pada gambaran klinis
(Topazian RG, 2002) .
Osteomielitis akut sering diasosiasikan dengan perubahan
inflamasi pada tulang yang disebabkan oleh bakteri patogen dengan gejala terjadi
dalam waktu 2 minggu setelah infeksi. Pada osteomielitis kronis, nekrosis tulang
dapat terjadi hingga 6 minggu pasca infeksi (Schmitt, S.K, 2017)
Osteomielitis merupakan patologi infeksi yang bersifat inflamasi pada tulang,
yang lebih sering diamati pada pasien dari negara berkembang, merupakan masalah
kesehatan masyarakat karena morbiditas yang tinggi terkait dengan potensi kecacatan
pada orang tersebut karena penyakitnya. Oleh karena itu, jika tidak diobati dengan
benar, ia memiliki efek yang menghancurkan dan prognosis yang buruk bagi individu
yang terkena. Agen penyebab osteomielitis umumnya terkait dengan faktor risiko
tertentu yang mendukung pertumbuhan mikroorganisme tertentu. Di antara agen
infeksi yang paling sering dikaitkan dengan penyakit ini adalah agen bakteri seperti
Staphylococcus aureus. Namun, dalam beberapa kasus, terutama bila ada beberapa
jenis gangguan sistem kekebalan atau penyakit kronis yang melemahkan, agen
etiologi yang terlibat mungkin bakteri atipikal atau agen jamur (Freire, LFL,
Gavilanes, 2019)
Sekitar 50-70% kasus osteomielitis disebabkan oleh kuman Staphylococcus
aureus. Bakteri dapat masuk ke dalam tubuh jika terdapat luka terbuka seperti patah
tulang terbuka atau kontaminasi langsung saat bedah othopedi (Suratun dkk, 2008).
Penatalaksaan pada pasien osteomielitis antara lain adalah tindakan
pembedahan, yang mana tindakan ini dilakukan jika tidak menunjukkan respon
terhadap antibiotik (Suratun dkk, 2008). Kelainan yang timbul pascabedah dapat
terjadi akibat tindakan bedah luka bedah akibat anestesi nya atau akibat faktor lain
faktor lain ini termasuk status imunologi seperti komorbiditas atau masalah
psikologis(Syamsuhidayat,2005).

2. KONSEP DASAR OSTEOMIELITIS

A. Pengertian

Osteomielitis adalah suatu penyakit infeksi yang terjadi pada tulang. Infeksi
yang mengenai tulang lebih sulit disembuhkan dari pada infeksi yang mengenai
jaringan lunak karena terbatasnya asupan darah, respon jaringan terhadap inflamasi,
tingginya tekanan jaringan dan pembentukan tulang baru disekeliling jaringan juga
mati (Brunner dan Suddarth, 2000). Osteomielitis adalah infeksi akut yang yang
dapat terjadi karena penyebaran infeksi dari darah (osteomielitis hematogen) atau
yang lebih sering setelah kontaminasi fraktur terbuka (osteomielitis oksogen)
(Corwin, 2015). Osteomielitis merupakan penyakit yang sulit diobati karena dapat
terbentuk abses local. Abses tulang biasanya memiliki suplai darah yang buruk,
dengan demikian pelepasan swl imun dan antibiotik terbatas (Corwin, 2015).

B. Klasifikasi

Klasifikasi menurut kejadiannya osteomielitis ada 2 yaitu (Suratun dkk, 2008):


1) Osteomielitis Primer, Penyebarannya secara hematogen dimana mikroorganisme
berasal dari focus ditempat lain dan beredar melalui sirkulasi darah.
2) Osteomielitis Sekunder adalah Terjadi akibat penyebaran kuman dari sekitarnya
akibat Dari bisul, luka fraktur dan sebagainya.

Berdasarkan lamanya infeksi, osteomielitis dapat dibagi menjadi 3 antara lain


(Suratundkk,2008):

1) Osteomielitis akut yaitu osteomielitis yang terjadi dalam 2 minggu sejak


infeksi. Pertama atau sejak penyakit pendahulu timbul. Osteomielitis akut ini
biasanya terjadi pada anak-anak dari pada orang dewasa dan biasanya terjadi
sebagai komplikasi dari infeksi di dalam darah.(osteomielitis hematogen).
2) Osteomielitis sub-akut yaitu osteomielitis yang terjadi dalam 1-2 bulan sejak
infeksi pertama atau sejak penyakit pendahulu timbul.
2) 3) Osteomielitis kronis Yaitu osteomielitis yang terjadi dalam 2 bulan atau
lebih sejak infeksi pertama atau sejak penyakit pendahulu timbul. Osteomielitis
sub-akut dan kronis biasanya terjadi pada orang dewasa dan biasanya terjadi
karena ada luka atau trauma (osteomielitis kontangiosa), misalnya osteomielitis
yang terjadi pada tulang yang fraktur (Suratun dkk, 2008)

C. Etiologi

Penyebab utama osteomilitis adalah bakteri staphylococcus aureus. Bakteri


tersebut bisa terdapat dikulit atau di hidung dan umumnya tidak menimbulkan
masalah kesehatan. Namun, saat sistem kekebalan tubuh sedang lemah karena suatu
penyakit, maka bakteri tersebut dapat menyebabkan infeksi.
Masuknya bakteri staphylococcus hingga ke tulang dapat melalui beberapa cara,
yaitu:
1. Melalui aliran darah: Bakteri dari bagian tubuh lain dapat menyebar ke tulang
melalui aliran darah.
2. Melalui jaringan atau sendi yang terinfeksi: Kondisi ini memungkinkan bakteri
bisa menyebar ke tulang di dekat jaringan atau sendi yang terinfeksi.
3. Melalui luka terbuka: Bakteri dapat masuk ke dalam tubuh jika terdapat luka
terbuka seperti patah tulang terbuka atau kontaminasi langsung saat bedah ortopedi
Staphylococcus aureus merupakan penyebab 70-80% osteomielitis.

Organisme patogenik lainnya yang sering di jumpai yaitu proteus,


pseudomonas, dan escherichia coli. Infeksi dapat terjadi melalui:
1) Penyebaran ematogen dari fokus infeksi di yempat lain: tonsil yang terinfeksi,
infeksi gigi, infeksi saluran napas bagian atas.
2) Penyebaran infeksi jaringan lunak: ulkus dekubitus yang terinfeksi atau ulkus
vaskular.
3) Kontaminasi langsung dengan tulang: fraktur terbuka, cedera traumatik (luka
tembak, pembedahan tulang).

D. Tanda dan Gejala


Manifestasi klinis meliputi demam, bengkak, nyeri, dan keterbatasan gerak.
Tulang yang paling terpengaruh adalah tibia, tulang paha dan pada tingkat lebih
rendah dari tungkai atas. Kekambuhan infeksi terjadi pada pasien dengan fraktur dan
perubahan keselarasan segmen fraktur. Diperkirakan bahwa tulang terinfeksi antara 1
dan 2% dari operasi musculoskeletal (Reyes, H., Navarro, P,2001).

Gejala osteomielitis dapat terjadi secara akut atau kronis. Berikut ini adalah
penjelasannya:
1) Osteomielitis akut
Osteomielitis jenis ini terjadi secara mendadak dan berkembang dalam waktu 7
sampai 10 hari.
2) Osteomielitis kronis
Osteomielitis kronis dapat terjadi tanpa menimbulkan gejala selama beberapa bulan
bahkan tahun, sehingga terkadang sulit untuk dideteksi. Osteomielitis jenis ini juga
dapat terjadi akibat osteomielitis akut yang sulit ditangani dan terjadi secara berulang
untuk waktu yang lama.

E. Penatalaksanaan
Antibiotik dapat diberikan pada individu yang mengalmi patah tulang atau luka
tusuk pada jaringan lunak yang memgelilingi suatu tulang sebelum tanda-tanda
infeksi timbul. Apabila infeksi tulang terjadi, diperlukan antibiotik agresif.
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada pasien dengan osteomielitis antara lain
(Suratun dkk, 2008):
1) Daerah yang terkena diimobilisasi untuk mengurangi ketidaknyaman dan
mencegah terjadinya fraktur.
2) Lakukan rendaman air hangat selama 20 menit beberapa kali sehari untuk
mengingkatakan aliran darah.
3) Sasaran awal terapi adalah mengontrol dan menghentikan proses infeksi.
8
4) Berdasarkan hasil kultur, dimulai pemberian antibiotik intravena. Jika infeksi
tampak terkontrol dapat diberikan per oral dan dilanjutkan sampai 3 bulan.
5) Pembedahan dilakukan jika tidak menujukkan respon terhadap antibiotic
6) Lakukan irigasi dengan larutan salin fisiologis steril 7-8 hari pada jaringan purulen
dan jaringan nekrotik di angkat. Terapi antibiotic dilanjutkan.
Pencegahan yang dapat dilakukan untuk penyakit ini antara lain (Suratun dkk, 2008):
1) Penanganan infeksi fokal dapat menurunkan angka penyebaran hematogen
2) Penanganan infeksi jaringan lunak dapat mengontrol erosi tulang.
3) Lingkungan operasi dan teknik operasi dapat menurunkan insiden osteomielitis
4) Pemberian antibiotik profilaksis pada pasien pembedahan
5) Teknik merawat luka aseptik pada pasca operasi

F. Komplikasi

Komplikasi osteomielitis akut meliputi (Reyes, H., Navarro, P, 2001):


1) Osteomielitis berulang.
2) Osteomielitis kronis.
3) Amiloidosis.
4) Perubahan ganas.
5) Deformitas ortopedi permanen.
6) Impotensi fungsional

3. KONSEP DASAR KEPERAWATAN

1. Pengkajian

Pada pengkajian osteomielitis, diagnosis, perencanaan tindakan, implementasi


dan evalusi penulis menyusun asuhan keperawatan tersebut dengan pendekatan
perencanaan dan intervensi bedah. Disebabkan keterbatasan literatur. Pengkajian
adalah tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan suatu proses yang
sistematis dalam mengumpulkan data dari beberapa Sumber data untuk mengevaluasi
dan mengidentifikasi status kesehatan klien. Data bergantung pada durasi/ keparahan
dari masalah-masalah dasar dan keikutsertaan dari sistem tubuh lainnya. Mengacu
kepada rencana khusus keperawatan untuk dan studi diagnosis yang relevan dengan

Prosedur dan diagnosis keperawatan tambahan. Berikut adalah data pengkajian


pada pasien dengan post op bedah (Marilyn E, Doenges & Frances, 2014):
1) Sirkulasi
Gejala: Riwayat masalah jantung, gagal jantung kongesti (GJK), edema pulmonal,
penyakit vaskular perifer, atau statis vaskular (peningkatan risiko pembentukan
thrombus).

2) Integritas ego
Gejala: Perasaan cemas, takut, marah, apatis. Faktor-faktor stres multiple, misalnya
finansial, hubungan, gaya hidup. Tanda: Tidak dapat beristirahat, peningkatan
ketegangan/ peka rangsang. Stimulasi simptis.

3) Makanan/cairan
Gejala: Insufisiensi pancreas/ DM (predisposisi untuk hipoglikemia/ ketoasidosis).
Malnutrisi, Membran mukosa yang kering (pembatasan pemasukan atau periode
penguasa pra operasi).

4) PernapasanGejala: Infeksi, kondisi yang kronis/ batuk, merokok.

5) Keamanan Gejala: Alergi atau sensitif terhadap obat, makanan, plester dan larutan.
Defisiensi imun (peningkatan resiko infeksi sistemik dan penundaan penyembuhan).
Munculnya kanker/ terapi kanker terbaru. Riwayat keluarga tentang hipertermia
malignan/ reaksi anestesi. Riwayat penyakit hepatik (efek dari detoksifikasi obat-
obatan dan dapat mengubah koagulasi). Riwayat transfusi darah/ reaksi transfusi
Tanda: Munculnya proses infeksi yang melelahkan; demam.

6) Penyuluhan/pembelajaran
Gejala: Penggunaan antikoagulasi, steroid antibiotic, antihipertensi, kardiotonik,
glikosit, antidisritmia, bronkodilator, diuretic, dekongestan analgesic,
antiinflamasi, antikonvulsan atau tranquilizer dan juga obat yang dijual bebas, atau
obat obat-obatan rekreasi rekreasional. Penggunaan alcohol (resiko akan kerusakan
ginjal yang mempengaruhi koagulasi dan pilihan anesthesia, dan juga potensial
bagi penarikan diri pasca operasi).

2. Diagnosis
Diagnosis keperawatan adalah cara mengidentifikasi, memfokuskan, mengatasi
kebutuhan spesifik pasien serta respons terhadap masalah actual dan resiko tinggi.
Label diagnosis keperawatan memberi format untuk mengekspresikan bagian
identifikasi masalah dari proses keperawatan (Marilyn E, Doenges & Frances, 2014).
Adapun diagnosis setelah pembedahan dilakukan pada post bedah adalah sebagai
berikut (Marilyn E, Doenges & Frances, 2014):

1) Pola nafas tidak efektif dapat dihubungkan dengan neuromuscular,


ketidaksimbangan perseptual/ kognitif, peningkatan ekspansi paru, energy. Obstruksi
trakeobronkial dibuktikan dengan perubahan pada frekuensi dan kedalaman
pernafasan, pengurangan kapasitas vital, apnea, sianosis, pernafsan yang gaduh.

2) Perubahan persepsi/ sensori: (uraikan) proses pikir, perubahan dapat dihubungkan


dengan perubahan kimia: penggunaan obat-obatan parmasi, hipoksia. Lingkungan
terapuetik yang terbatas: stimulus sensori yang berlebihan. Stress fisiologis.
Dibuktikan oleh disorientasi terhadap orang, tempat, waktu: perubahan dalam
membeikan respon terhadap stimulus.

3) Kekurangan volume cairan, risiko tinggi terhadap, faktor resiko meliputi:


pembatasan pemasukan cairan secara oral (proses penyakit/ prosedur/ medis/ adanya
rasa mual). Hilangnya cairan tubuh secara tindak normal seperti melalui kateter,
selang, jalur normal seperti muntah. Pengeluaran integritas pembuluh darah,
perubahan dalam kemampuan pembekuan darah. Usia dan berat badan yang
berlebihan.
4)Nyeri akut dihubungkan dengan: gangguan pada kulit, jaringan, dan integritas otot,
trauma musculoskeletal/ tulang. Munculnya saluran dan selang. Dibuktikan dengan:
melaporkan rasa sakit, perubahan pada tonus otot; masker wajah rasa sakit, distraksi/
penjagaan/ prilaku protektif. Pemfokusan diri; pandangan yang sempit.Respon
sautonomik.

5) Kerusakan integritas kulit/ jaringan dihubungkan dengan: interupsi mekanis pada


kulit/ jaringan. Perubahan sirkulasi, efek-efek yang ditimbulkan oleh medikasi;
akumulasi drein; perubahan status metabolis dibuktikan dengan: gangguan pada
permukaan/ lapisan kulit dan jaringan.

6) Perfusi jaringan, perubahan, resiko tinggi terhadap. Faktor resiko: gangguan aliran
vena, arteri, hiperpolemik dibuktikan.

7) Kurang pengetahuan tentang kondisi/ situasi, prognosis, kebutuhan pengobatan


dihubungkan dengan kurangnya pemajanan/ mengingat, kesalahan interpretasi
informasi. Tidak mengenal sumber informasi, keterbatasan kognitif dibuktikan
dengan pertnyaan/ permintaan informasi. Pernyataan kesalahan konsep. Intruksi
lanjutan yang tidak akurat/ perkembangan komplikasi yang tidak dapat dicegah

3. Intervensi
Intervensi keperawatan adalah mencapai hasil pasien yang diharapkan dan
tujuan pemulangan. Harapannya adalah bahwa perilaku yang dipreskripsikan akan
menguntungkan pasien dan keluarga dalam cara yang dapat diprediksi, yang
berhubungan dengan masalah yang diidentifikasi dan tujuan yang telah dipilih.
Intervensi mempunyai maksud mengindividualkan perawatan dengan memenuhi
kebutuhan spesifik pasien serta harus menyertakan kekuatan-kekuatan pasien yang
telah diidentifikasi bila memungkinkan. Dalam intervensi/ tindakan keperawatan
dibagi menjadi dua yaitu, mandiri (dilakukan perawat) dan kolaboratif (dilakukan
oleh pemberi perawatan lainnya). Contoh: Independen, menciptakan lingkungan yang
tenang, nyaman, mengurangi, kebisingan/ aktifitas lingkungan, dan membatasi
jumlah pengunjung serta lamanya waktu di rawat. Kolaboratif, memberikan obat
antiansietas seperti yang dipesankan (Marilyn E, Doenges & Frances, 2014).

1. Pola nafas tidak efektif dapat dihubungkan dengan neuromuscular,


ketidaksimbangan perseptual/ kognitif, peningkatan ekspansi paru, energy. Obstruksi
trakeobronkial dibuktikan dengan perubahan pada frekuensi dan kedalaman
pernafasan, pengurangan kapasitas vital, apnea, sianosis, pernafsan yang gaduh.

Kriteri hasil: Menetapkan pola nafas yang normal/ efektif dan bebas dari sianosis
atau tanda-tanda hipoksia lainnya.
Intervensi:
1) Pertahankan jalan udara pasien dengan memiringkan kepala, hiperektensi rahang,
aliran udara faringeal oral. R/ mencegah obstruksi jalan nafas
2) Auskultasi suara nafas. Dengarkan adanya kumur-kumur, mengi, crow, dan
keheningan setelah ekstubasi. R/ kurangnya suara napas adalah indikasi adanya
obstruksi oleh mukus atau lidah dan dapat dibenahi dengan mengubah posisi atau
penghisapan. Berkurangnya suara pernapasan diperkirakan telah
terjadinya atelectasis. Suara ini menunjukkan adanya spasme bronkus, di mana suara
crow dan diam menggambarkan spasme laring parsial sampai total.
3) Observasi frekuensi dan kedalaman pernafasan, pemakaian otot-otot bantu
pernapasan, perluasan rongga dada, retraksi atau pernapasan cuping hidung, warna
kulit, dan aliran udara. R/ dilakukan untuk memastikan efektivitas pernapasan
sehingga upaya memperbaikinya dapat segera dilakukan.
4) Pantau tanda tanda-tanda vital secara terus menerus. R/ meningkatnya pernapasan
takikardia dan bradikardia menunjukkan kemungkinan terjadinya hipoksia.
5) Letakkan pasien pada posisi yang sesuai, tergantung pada kekuatan pernapasan dan
jenis pembedahan. R/ elevasi kepala dan posisi miring akan mencegah terjadinya
aspirasi dari muntah, posisi yang benar akan mendorong pentilasi Pada lobus paru
bagian bawah dan menunjukkan tekanan pada diafragma.
6) Observasi pengembalian fungsi otot terutama otot-otot pernafasan. R/ setelah
pemberian otot relaksasi otot selama masa intraoperatif, pengembalian fungsi otot
pertama kali terjadi pada diafragma otot-otot intercostal, dan laring yang akan diikuti
dengan relaksasi kelompok otot-otot utama seperti leher, bahu dan otot abdominal.
Selanjutnya diikuti oleh otot-otot berukuran sedang seperti lidah, faring, otot-otot
ekstensi dan fleksi dan diakhiri oleh mata, mulut, wajah dan jari-jari tangan.

7) Lakukan latihan gerak segera mungkin pada pasien yang reaktif dan lanjutkan
pada periode pasca operasi. R/ ventilasi dalam yang aktif membuka alveolus,
mengeluarkan sekresi, meningkatkan pengangkutan oksigen, membuang gas anestesi;
batuk membantu mengeluarkan sekresi dari sistem pernafasan.

8) Observasi terjadinya somnolen yang berlebihan. R/ induksi narkotik dan akan


menyebabkan terjadinya depresi pernapasan atau menekan relaksasi otot-otot dalam
sistem pernapasan. Kedua hal ini mungkin terjadi dan membentuk siklus yang
memberi pola depresi dan keadaan darurat kembali. Selain itu, pentotal diabsorpsi
dalam jaringan lemak dan dengan adanya pergerakan sirkulasi, obat-
obatan ini dapat terdistribusi kembali melalui aliran darah.

9) Lakukan penghisapan lendir jika diperlukan. R/ obstruksi Jalan napas dapat terjadi
karena adanya darah atau mukus dalam tenggorokan atau trakea.

10) Kolaborasikan, berikan tambahan oksigen sesuai kebutuhan. R/ dilakukanuntuk


meningkatkan atau memaksimalkan pengambilan oksigen yang akan
diikat oleh hb yang menggantikan tempat gas anestesi dan mendorong pengeluaran
gas tersebut melalui zat-zat inhalasi.

11) Kolaborasikan, berikan obat-obatan IV seperti nalokson (Narkan) atau


Doksapram (dopram). R/ narkan akan mengubah induksi narkotik yang menekan
susunan saraf pusat dan dopram menstimulus gerakan otot pernapasan. Kedua obat
ini bekerja secara alami dalam siklus dan depresi pernapasan mungkin akan terjadi
kembali.

2. Perubahan persepsi/ sensori: (uraikan) proses pikir, perubahan dapat dihubungkan


dengan perubahan kimia: penggunaan obat-obatan parmasi, hipoksia. Lingkungan
terapuetik yang terbatas: stimulus sensori yang berlebihan. Stress fisiologis.
Dibuktikan oleh disorientasi terhadap orang, tempat, waktu: perubahan dalam
membeikan respon terhadap stimulus.
Kriteria hasil: Meningkatkan tingkat kesadaran, mengenali keterbatasan diri dan
mencari sumber bantuan sesuai kebutuhan

Intervensi:
1) Orientasikan kembali pasien secara terus-menerus setelah keluar dari pengaruh
anestesi; menyatakan bahwa operasi telah selesai dilakukan. R/ karena pasientelah
meningkat kesegarannya, maka dukungan dan jaminan akan membantu
menghilangkan anestesi.

2) Bicara pada pasien dengan suara yang jelas dan normal tanpa membentak, sadar
penuh akan apa yang diucapkan minimalkan diskusi yang bersifat negatif dalam
jangkauan pendengaran pasien (misalnya: masalah-masalah personal atau
masalah pasien). Jelaskan prosedur yang akan dilakukan meskipun pasien
belum pulih secara penuh. R/ tidak dapat ditentukan kapan pasien akan sadar
penuh, namun sensori pendengaran perubahan kemampuan yang pertama kali
akan pulih; oleh karena itu sangatlah penting untuk tidak mengatakan sesuatu
yang mungkin menimbulkan kesalahan interpretasi. Berikan informasi-
informasi yang membantu pasien dalam meningkatkan rasa percaya diri dan
dalam persiapan untuk melakukan aktivitas.

3) Evaluasi sensasi pergerakan ekstremitas dan batang tenggorok yang sesuai. R/


pengembalian fungsi setelah dilakukan blok saraf spinal atau lokal yang
bergantung pada jenis atau jumlah obat yang digunakan dan lamanya prosedur
yang dilakukan.

4) Gunakan bantalan pada tepi tempat tidur, lakukan pengangkatan jika


diperlukan. R/ berikan keamanan bagi pasien selama tahap darurat, mencegah
terjadinya cedera pada kepala dan ekstremitas bila pasien melakukan
perlawanan selama masa disorientasi.

5) Periksa aliran infus, selang endotrakeal, kateter bila dipasang, dan pastikan
kepatenannya. R/ pada pasien yang mengalami disorientasi mungkin akan
terjadi bendungan pada aliran impuls dan sistem pengeluaran lainnya, terlepas
atau tertekuk.

6) Pertahankan lingkungan yang tenang dan nyaman. R/ stimulus eksternal seperti


suara bising, cahaya, sentuhan mungkin menyebabkan abstraksi psikis ketika terjadi
disosiasi obat-obatan anestesi yang telah diberikan (misalnya obat
ketamin)

7) Observasi akan adanya halusinasi, dilusi, depresi atau keadaan yang berlebihan.
R/ keadaan-keadaan ini mungkin mengikuti trauma dan mengidentifikasi
adanya keadaan delirium. Pada pasien yang meminum alkohol secara berlebihan
diperkirakan akan mengalami delirium yang hebat.

8) Kaji kembali pengembalian kemampuan sensorik dan proses berpikir untuk


persiapan pulang sesuai indikasi. R/ pasien yang mengalami perbedahan dan
telah melakukan ambulasi harus dapat merawat dirinya sendiri dengan bantuan
orang yang dekat untuk mencegah terjadinya perlukaan setelah pulang.

9) Kolaborasi, pertahankan untuk tingkat di dalam ruang pasca operasi sebelum


pulang. R/ masa disorientasi.

3. Kekurangan volume cairan, risiko tinggi terhadap, faktor resiko meliputi:


pembatasan pemasukan cairan secara oral (proses penyakit/ prosedur/ medis/
adanya rasa mual). Hilangnya cairan tubuh secara tindak normal seperti melalui
kateter, selang, jalur normal seperti muntah. Pengeluaran integritas pembuluh
darah, perubahan dalam kemampuan pembekuan darah. Usia dan berat badan yang
berlebihan.

Kriteria hasil: Mendemonstrasikan Keseimbangan cairan yang adekuat,


sebagaimana ditunjukkan dengan adanya tanda-tanda vital yang stabil, palpasi
denyut nadi dengan kualitas yang baik, turgor kulit normal, membran mukosa
lembab, dan pengeluaran urin individu yang sesuai.

Intervensi:
1) mungkin timbul dan orang yang dekat dengan pasien mungkin tidak akan dapat
menolong pasien apabila ini terjadi di rumah.
2) Ukur dan catat pemasukan dan pengeluaran, termasuk pengeluaran cairan
gastrointestinal. Tinjau ulang catatan intraoperasi. R/ dokumentasi yang akurat
akan membantu dalam mengidentifikasi pengeluaran cairan/ kebutuhan
penggantian dan pilihan-pilihan yang mempengaruhi intervensi.

3) Kaji pengeluaran urinarius, terutama untuk tipe prosedur operasi yang


dilakukan. R/ mungkin akan menjadi penurunan ataupun penghilangan setelah
prosedur pada sistem genitourinaria dan struktur yang berdekatan.

4) Berikan bantuan pengukuran berkemih sesuai kebutuhan misalnya privasi,


posisi duduk, air yang mengalir dalam bak, mengalirkan air hangat di atas
perineum. R/ meningkatkan relaksasi otot perineal dan memudahkan upaya
penggosokan.
5) Pantau tanda-tanda vital. R/ hipotensi, takikardi, peningkatan pernapasan
mengidentifikasi kekurangan cairan, misalnya dehidrasi/ hipovolemia.

6) Catat munculnya mual/ muntah, riwayat pasien mabuk perjalanan. R/


wanita,pasien dengan obesitas, dan mereka yang memiliki kecenderungan mabuk
perjalanan penyakit memiliki resiko mual/ muntah yang lebih tinggi pada masa
pascaoperasi. Selain itu, semakin lama durasi anestesi semakin besar resiko
mual muntah.

7) Periksa pembalut, alat drain pada interval regular, kaji luka untuk terjadinya
pembengkakan. R/ perdarahan yang berlebihan dapat mengacu kepada
hipovolemia/ hemoragi. Pembengkakan lokal mungkin mengidentifikasi
formasi hematoma/ perdarahan.

8) Pantau suhu kulit, palpasi denyut perifer. R/ kulit yang dingin/ lembab, denyut
yang lemah mengidentifikasi penurunan sirkulasi perifer dan dibutuhkan untuk
menggantikan cairan tambahan.

9) Kolaborasi, berikan cairan parenteral, produksi darah/ plasma expander sesuai


petunjuk. Tingkatkan kecepatan IV jika diperlukan. R/ gantikan kehilangan
cairan yang telah didokumentasikan, catat waktu penggantian volume sirkulasi
yang potensial bagi penurunan komplikasi, misalnya ketidakseimbangan
elektrolit, dehidrasi, pingsan kardiovaskular.

10) Kolaborasi, pasang kateter urinarius dengan atau tanpa urinemeter sesuai
kebutuhan.
R/ memberikan mekanisme untuk memantau pengeluaran urinarius
secara akurat

4. Nyeri akut dihubungkan dengan: gangguan pada kulit, jaringan, dan integritas otot,
trauma musculoskeletal/ tulang. Munculnya saluran dan selang. Dibuktikan
dengan: melaporkan rasa sakit, perubahan pada tonus otot; masker wajah rasa
sakit, distraksi/ penjagaan/ prilaku protektif. Pemfokusan diri; pandangan yang
sempit. Respons autonomik.

Kriteria hasil: mengatakan bahwa rasa sakit telah terkonrol/ dihilangkan. Tampak
santai, dapat beristirahat tidur dan ikut serta dalam aktifitas sesuai kemampuan.

Intervensi:
1) Ulangi rekaman intraoperasi/ ruang penyembuhan untuk tipe anestesi dan
medikasi yang diberikan sebelumnya. R/ munculnya narkotika atau droperidol
pada sistem dapat menyebabkan analgesia narkotik dimana pasien dibius
dengan Floathane dan Ethrane yang tidak memiliki efek analgesik residual.
Selain itu, intraoperasi blok regional/ lokal memiliki berbagai durasi misalnya,
1-2 jam untuk regional atau 2-6 jam untuk local.
2) Evaluasi rasa sakit secara reguler (misalnya setiap 2 jam x 12) catat
karakteristik, lokasi, dan intensitas, skala 0-10. R/ sediakan informasi mengenai
kebutuhan atau efektivitas intervensi. Catatan: sakit kepala frontal dan oksipital
mungkin berkembang dalam 24-72 jam yang mengikuti anestesi spinal,
mengharuskan posisi terlentang, peningkatan pemasukan cairan, dan
pemberitahuan ahli anastesi.
3) Catat munculnya rasa cemas/ takut dan hubungkan dengan lingkungan dan
persiapkan untuk prosedur. R/ perhatikan hal-hal yang tidak diketahui (misalnya
hasil biopsy) dan persiapan adekuat (misalnya appendectomy darurat) dapat
memperburuk persepsi pasien akan rasa sakit.
4) Kaji tanda-tanda vital, perhatikan takikardia, hipertensi, dan peningkatan
pernapasan, bahkan jika pasien menyangkal adanya rasa sakit. R/ dapat
mengidentifikasikan rasa sakit akut dan ketidaknyamanan. Catatan: sebagian
pasien mungkin mengalami sedikit penurunan tekanan darah yang akan kembali
ke dalam jangkauan normal setelah rasa sakit berhasil dihilangkan.
5) Kaji penyebab ketidaknyamanan yang mungkin selain dari prosedur operasi.
R/ ketidaknyamanan mungkin disebabkan/ diperburuk dengan penekanan pada
kateter indwelling yang tidak tetap, selang NGT, jalur parenteral (sakit kandung
kemih, akumulasi cairan dan gas Gaster dan infiltrasi cairan/ medikasi.
6) Berikan informasi mengenai sifat ketidaknyamanan, sesuai kebutuhan. R/ pahami
penyebab ketidaknyamanan (misalnya sakit otot dari pemberian
suksinilkolin dapat bertahan sampai 48 jam pascaoperasi, sakit kepala sinus
yang diasosiasikan dengan nitrus oksida dan sakit tenggorokan dan disediakan
jaminan emosional. Catatan: paresthesia bagian-bagian tubuh dapat
menyebabkan cedera saraf. Gejala-gejala mungkin bertahan sampai berjam-jam
atau bahkan berbulan-bulan dan membutuhkan evaluasi tambahan.
7) Lakukan reposisi sesuai petunjuk misalnya semi fowler/ miring. R/ mungkin
mengurangi rasa sakit dan meningkatkan sirkulasi, posisi semi fowler dapat
mengurangi tegangan otot abdominal dan otot punggung artritis sedangkan
miring mengurangi tekanan dorsal.
8) Dorong penggunaan teknik relaksasi misalnya, latihan nafas dalam, bimbingan
imajinasi, visualisasi. R/ lepaskan tegangan emosional dan otot, tingkatkan
perasaan kontrol yang mungkin dapat meningkatkan kemampuan koping.
9) Berikan perawatan oral regular. R/ mengurangi ketidaknyamanan yang
dihubungkan dengan membran mukosa yang kering pada zat-zat anestesi,
restriksi oral.
10) Observasi efek analgesic. R/ respirasi mungkin menurun pada pemberian narkotik
dan mungkin menimbulkan efek-efek sinergistik dengan zat-zat anestesi.
11) Kolaborasi, berikan obat sesuai petunjuk. Analgesik IV (setelah mengulangi
catatan anestesi untuk kontraindikasi dan munculnya zat-zat yang dapat
menyebabkan analgesia) menyediakan analgesia setiap saat dengan dosis
penyelamatan yang intermiten. R/ analgesic IV akan dengan segera mencapai pusat
rasa sakit menimbulkan penghilangan yang lebih efektif dengan obat dosis kecil.
Pemberian IM akan memakan waktu lebih lama dan keefektifannya bergantung pada
tingkat dan absorpsi sirkulasi. Catatan: dosis narkotik harus dikurangi seperempat
atau sepertiga setelah penggunaan Innovar atau Inafsin untuk mencegah perpanjangan
tranquilisasi selama 10 jam pertama pascaoperasi. Penelitian yang terbaru akan
mendukung kebutuhan untuk memberikan analgesik setiap saat daripada prn dalam
rangka untuk mencegah
daripada mengobati rasa sakit.

5. Kerusakan integritas kulit/ jaringan dihubungkan dengan: interupsi mekanis pada


kulit/ jaringan. Perubahan sirkulasi, efek-efek yang ditimbulkan oleh medikasi;
akumulasi drein; perubahan status metabolis dibuktikan dengan: gangguan pada
permukaan/ lapisan kulit dan jaringan.

Kriteria hasil: mencapai penyembuhan luka, mendemonstrasikan tingkah laku/


teknik untuk meningkatkan kesembuhan dan untuk mencegah komplikasi.

Intervensi:
1) Beri penguatan pada balutan awal penggantian sesuai indikasi. Gunakan teknik
aseptik yang tepat. R/ melindungi luka dari perlukaan mekanis dan kontaminasi.
Mencegah akumulasi cairan yang dapat menyebabkan ekskoriasi.
2) Secara hati-hati lepaskan perekat sesuai arah pertumbuhan rambut dan pembalut
pada waktu mengganti. R/ mengurangi risiko trauma kulit dan gangguan pada
luka.
3) Gunakan sealant/ barier kulit sebelum perekat jika diperlukan. Gunakan
perangkat yang halus/ silk (hipoalergi/ perekat mountgoumery/ elastis untuk
membalut luka yang membutuhkan penggantian balutan yang sering.
R/ menurunkan risiko terjadinya trauma kulit dan abrasi dan memberi
perlindungan tambahan untuk kulit atau jaringan yang halus.
4) Periksa tegangan balutan. Beri perekat pada pusat insisi menuju ke tepi luar dari
balutan luka. Hindari menutup pada seluruh ekstremitas.
R/ dapat mengganggu atau membentuk sirkulasi pada luka sekaligus bagian distal
dari ekstremitas.
5) Periksa luka secara teratur, catat karakteristik dan integritas kulit.
R/ pengenalan akan adanya kegagalan proses penyembuhan luka atau
berkembangnya komplikasi secara dini dapat mencegah terjadinya kondisi yang lebih
serius

6) Kaji jumlah dan karakteristik cairan luka. R/ menurunnya cairan menandakan


adanya evolusi dan proses penyembuhan apabila pengeluaran cairan terus-
menerus atau adanya eksudat yang bau menunjukkan terjadinya komplikasi
(misalnya pembentukan fistula, perdarahan, infeksi).
7) Pertahankan ketepatan saluran pengeluaran cairan, berikan kantong penampung
cairan pada drain/ insisi yang mengalami pengeluaran cairan yang berbau. R/
fasilitas letak kantong dekat luka, menurunkan resiko terjadinya infeksi dan
kecelakaan secara kimiawi pada jaringan/ kulit.
8) Tinggikan daerah yang dioperasi sesuai kebutuhan. R/ meningkatkan
pengembalian aliran vena dan menurunkan pembentukan edema. Catatan:
meningkatkan daerah yang mengalami insufisiensi pada vena mungkin
menyebabkan kerusakan.
9) Tekan areal/ insisi dan abdominal dan dada dengan menggunakan bantal selama
batuk atau bergerak. R/ menetralisir tekanan pada luka, meminimalkan resiko
terjadinya rupture/ dehisens.
10) Ingatkan untuk tidak menyentuh daerah luka. R/ mencegah kontaminasi luka.
11) Biarkan terjadi kontak antara luka dengan udara sesegera mungkin atau tutup
dengan kain kasa tipis/ bantalan Telfa sesuai kebutuhan. R/ membantu
mengeringkan luka dan memfasilitasi proses penyembuhan luka. Pemberian
cahaya mungkin diperlukan untuk mencegah iritasi bila tepi luka/ sutura
bergesekan dengan pakaian linen.
12) Bersihkan permukaan kulit dengan menggunakan hidrogen peroksida atau
dengan air yang mengalir dan sabun lunak setelah daerah insisi ditutup. R/
menurunkan kontaminasi kulit membantu dalam membersihkan eksudat.
13) Kolaborasi, berikan es pada daerah luka jika dibutuhkan. R/ menurunkan
pembentukan edema yang mungkin menyebabkan tekanan yang tidak dapat
diidentifikasi pada luka selama periode pascaoperasi tertentu.
14) Kolaborasi, gunakan korset pada abdominal bila dibutuhkan. R/ memberi
pengencangan tambahan pada insisi yang berisiko tinggi (misalnya pada pasien
yang obesitas
21
15) Kolaborasi, irigasi luka; bantu dengan melakukan debridement sesuai
kebutuhan membuang jaringan nekrotik atau luka yang sudah untuk
meningkatkan penyembuhan.

6. Perfusi jaringan, perubahan, resiko tinggi terhadap. Faktor resiko: gangguan aliran
vena, arteri, hiperpolemik.

Kriteria hasil: mendemostrasikan adanya perfusi jaringang yang adekuat dengan


tanda-tanda vital yang stabil, adanya denyut nadi perifer yang kuat; kulit hangat/
kering; kesadaran normal, dan pengeluaran urinarius individu sesuai.

Intervensi:
1) Ubah posisi secara perlahan di tempat tidur dan pada saat pemindahan (terutama
pada pasien yang mendapatkan obat anastesi Flouthane). R/ mekanisme
vasokontriksi ditekan dan akan bergerak dengan cepat pada kondisi hipotensi.
2) Bantu latihan tentang gerak, meliputi latihan aktif kaki dan lutut. R/
menstimulasi sirkulasi perifer membantu mencegah terjadinya vena statis
sehingga menurunkan risiko pembentukan thrombus.
3) Bantu dengan ambulasi awal. R/ meningkatkan sirkulasi dan mengembalikan
fungsi normal organ.
4) Cegah dengan menggunakan bantal yang diletakkan di bawah lutut. Ingatkan
pasien agar tidak menyilangkan kaki atau duduk dengan kaki tergantung lama.
R/ mencegah terjadinya sirkulasi statis yang menurunkan resiko tromboflebitis.
5) Kaji ekstremitas bagian bawah seperti adanya eritema, tanda Homan positif. R/
sirkulasi mungkin harus dibatasi untuk beberapa posisi selama proses operasi,
sementara itu obat-obatan anestesi dan menurunnya aktivitas dapat mengganggu
tonusitas vasomotor, kemungkinan bendungan vaskular dan peningkatan resiko
pembentukan trombus.
6) Pantau tanda-tanda vital; palpasi denyut nadi perifer, catat suhu/ warna kulit,
dan pengisian kapiler. Evaluasi waktu dan pengeluaran cairan urine. R/
merupakan indikator dari volume sirkulasi dan fungsi organ perfusi jaringan
yang adekuat.
7) Kolaborasi, beri cairan atau produk-produk darah sesuai kebutuhan. R/
mempertahankan volume sirkulasi mendukung terjadinya frekuensi jaringan.
8) Kolaborasi, berikan obat-obatan antiembolik sesuai indikasi. R/ meningkatkan
pengembalian aliran vena dan mencegah aliran vena statis pada kaki untuk
menurunkan resiko trombosis.
7. Kurang pengetahuan tentang kondisi/ situasi, prognosis, kebutuhan pengobatan
dihubungkan dengan kurangnya pemajanan/ mengingat, kesalahan interpretasi
informasi. Tidak mengenal sumber informasi, keterbatasan kognitif dibuktikan
dengan pertnyaan/ permintaan informasi. Pernyataan kesalahan konsep. Intruksi
lanjutan yang tidak akurat / perkembangan komplikasi yang tidak dapat dicegah.
Kriteria hasil: menuturkan pemahaman kondisi efek prosedur dan pengobatan
dengan tepat. Menunjukkan prosedur yang diperlukan dan menjelaskan alasan
suatu tindakan. Memulai perubahan gaya hidup yang diperlukan dan ikut serta
dalam program perawatan.
Intervensi:
1) Tinjau ulang pembedahan/ prosedur khusus yang dilakukan dan harapan masa
datang. R/ sediakan pengetahuan dasar dimana pasien dapat membuat pilihan.
2) Tinjau ulang dan minta pasien atau orang terdekat untuk menunjukkan
perawatan luka atau/ balutan jika diindikasikan. Identifikasi sumber-sumber
untuk persediaan. R/ meningkatkan kompetensi perawatan diri dan
meningkatkan kemandirian.
3) Tinjau ulang penghindaran faktor-faktor risiko, misalnya pemanjangan pada
lingkungan/ orang yang terinfeksi. R/ mengurangi potensial untuk infeksi yang
diperoleh.
4) Diskusikan terapi obat-obatan meliputi penggunaan resep dan analgesik yang
dijual bebas. R/ Meningkatkan kerjasama dengan regiment mengurangi resiko
reaksi merugikan atau efek-efek yang tidak dapat menguntungkan.
5) Identifikasi keterbatasan aktivitas khusus, R/ mencegah ragangan yang tidak
diinginkan di lokasi operasi.
6) Rekomendasikan bencana/ latihan progresif. R/ meningkatkan pengembalian ke
fungsi normal dan meningkatkan perasaan sehat.
7) Jadwalkan periode istirahat adekuat. R/ mencegah kepenatan dan
mengumpulkan energi untuk kesembuhan.
8) Ulangi pentingnya diet nutrisi dan pemasukan cairan adekuat. R/ sediakan
elemen yang dibutuhkan untuk meregenerasi/ penyembuhan jaringan dan
mendukung fungsi jaringan dan fungsi organ.
9) Dorong penghentian merokok. R/ meningkatkan risiko infeksi pulmonal.
Menyebabkan pasokan dan mengurangi kapasitas penjepitan oksigen oleh darah
yang mengakibatkan fungsi seluler dan potensial penyimpangan penyembuhan.
10) Identifikasi tanda-tanda dan gejala-gejala yang membutuhkan evaluasi medical,
misalnya mual/ muntah, kesulitan dalam berkemih, demam, drein luka yang
berlanjut/ berbau, pembengkakan insisional, eritema, atau pemisahan tapi
karakteristik tanda sakit yang tidak terpecahkan atau berubah. R/ pengenalan
awal dan pengobatan perkembangan komplikasi (misalnya, ileus, retensi
urinenarius, infeksi, penundaan penyembuhan dapat mencegah perkembangan
ke arah situasi yang lebih serius untuk membahayakan jiwa.
11) Tekankan pentingnya kunjungan lanjutan. R/ memantau perkembangan
penyembuhan dan mengevaluasi keefektifan regiment.
12) Libatkan orang terdekat dalam program pengajaran. Menyediakan instruksi
tertulis/ materi pengajaran. R/ memberikan sumber-sumber tambahan untuk
referensi setelah penghentian.
13) Identifikasi sumber-sumber yang tersedia (misalnya, layanan perawatan di
rumah, kunjungan perawat, makanan pada terapi luar, nomor telepon untuk
saling berhubungan dan bertanya. R/ meningkatkan dukungan untuk pasien
selama periode penyembuhan dan memberikan evaluasi tambahan pada
kebutuhan yang sedang berjalan atau perhatian baru.

4. Implementasi
Pelaksanaan adalah realisasi rencana tindakan untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan. Kegiatan dalam pelaksanaan juga meliputi pengumpulan data
berkelanjutan, mengobservasi respon klien selama dan sesudah pelaksanaan tindakan,
serta menilai data yang baru (Budiono, 2016).

5. Evaluasi
Evaluasi adalah penilaian dengan cara membandingkan perubahan keadaan pasien
dengan tujuan dan kriteria hasil yang telah dibuat pada tahap perencanaan (Budiono,
2016).
Evaluasi adalah hasil yang didapatkan dengan menyebutkan item-item atau
perilaku yang dapat diamati dan dipantau untuk menentukan apakah hasil sudah
tercapai atau belum dalam jangka waktu yang telah ditentukan (Marilyn E, Doenges
& Frances, 2014). Evaluasi dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan SOAP
diantara diantaranya sebagai:
1) Subjektif
Respon subjektif klien terhadap tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan
dapat diukur.
2) Objektif
Respon objektif klien terhadap tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan.
dapat diukur dengan mengobservasi perilaku klien pada saat tindakan dilakukan
atau menanyakan kembali apa yang telah diajarkan atau memberi umpan balik
sesuai dengan hasil observasi.
3) Analisis
Analisis ulang atas data subjektif dan objektif untuk menyimpulkan apakah masih
tetap atau muncul masalah baru, atau ada data yang kontraindikasi dengan masalah
yang ada dapat pula membandingkan hasil dengan tujuan.
4) Perencanaan
perencanaan atau tindak lanjut berdasarkan hasil analisis pada respon klien yang
terdiri dari tindak lanjut klien dan tindak lanjut oleh perawat.

Anda mungkin juga menyukai