Anda di halaman 1dari 25

BAB 1

PENDAHULUAN

Pada abad ke 19, penurunan tingkat fertilitas dan pertumbuhan tingkat populasi
usia tua mulai diamati. Dalam hal ini termasuk diantaranya peningkatan kualitas hidup,
berkurangnya mortalitas, urbanisasi, peningkatan tingkat nutrisi, perkembangan imunisasi,
sanitasi, kesediaan air, perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi dan tingkat
pendidikan yang lebih tinggi.1
Menurut data di Amerika, pertumbuhan populasi akan bertambah 11 % antara
tahun 2000 dan 2050. Bahkan suatu penelitian yang dilakukan oleh Brazilian Institute of
Geography and Statistic (IBGE), di Brazil peningkatan jumlah usia tua lebih besar dari
15% antara 2010 dan 2015. Peningkatan usia tua ini juga sangat berhubungan dengan
penyakit kronis yang tidak menular yang membutuhkan perhatian lebih terhadap
kesehatan. Salah satunya adalah masalah psikogeriatri.1

Gambar 1. Pertumbuhan usia lanjut di beberapa negara2

Jumlah lanjut usia terus meningkat dan menurut proyeksi WHO pada 1995
dimanapada tahun 2050 dibandingkan dengan tahun 1990 bahwa pertumbuhan penduduk
lanjut usia Indonesia mengalami pertumbuhan terbesar di Asia, yaitu sebesar 414%, Thailand
337%, India 242%, dan China 220% (Martono, 2011). Menurut Kemenkes RI (2013)
pertumbuhan penduduk lanjut usia (lansia) diprediksi akan meningkat cepat di masa yang akan
datang terutama di negara-negara berkembang. Indonesia sebagai salah satu negara

1
berkembang juga akan mengalami ledakan jumlah penduduk lansia. Kelompok umur lansia
(50-64 tahun dan 65+) berdasarkan proyeksi 2010-2035 terus meningkat.1,20
Bukti epidemologis menunjukkan bahwa kecemasan merupakan masalah umum
dan akan bertambah besar dikemudian hari. Akan tetapi, kecemasan sering kurang
mendapat perhatian dibandingkan gangguan depresi. Gangguan kecemasan sering
dikaitkan dengan kondisi medis yang berkaitan dengan usia seperti asma, penyakit tiroid,
penyakit arteri koroner, demensia, dan gangguan sensorik . Kecemasan di usia lanjut juga
telah diidentifikasi sebagai faktor risiko terjadinya keterbatasan pada usia dan juga
dikaitkan dengan kurang berhasilnya kompensasi diri, dan hasil dari layanan rehabilitasi
geriatrik. Peneliti dan praktisi mulai menyadari bahwa penuaan dan kecemasan tidak
selalu berkaitan. Kecamasan pada usia tua sama dengan usia muda walaupun penyebab
dan waktu munculnya berbeda pada setiap orang.3
Untuk mengurangi morbiditas tersebut, penggunaan obat psikotropik sering
digunakan pada usia tua. Salah satu obat yang paling sering diresepkan adalah jenis
benzodiazepine. Benzodiazepine berguna dalam pengobatan agitasi, insomnia, kecemasan,
kejang, sindrome withdrawal, dan sebagai terapi ansietas. Benzodiazepine dapat
menghasilkan efek hipnotis, sedatif, anti konvulsan , dan anti ansietas. Waktu kerja dari
benzodiazepine bisa pendek , menengah, atau panjang. Akan tetapi pada pemberian jangka
panjang, penggunaan benzodiazepine mungkin memiliki merugikan efek psikologis dan
fisik, obat ini rentan menyebabkan toleransi, ketergantungan fisik, dan sindrome
withdrawal.5

2
BAB 2

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

1. Ansietas
1.1 Ansietas pada Usia Lanjut
Semakin meningkatnya jumlah lanjut usia di Indonesia akan menimbulkan
permasalahan yang cukup komplek baik dari masalah fisik maupun psikososial. Masalah
psikososial yang paling banyak terjadi pada lansia seperti kesepian, perasaan sedih,
depresi dan ansietas (kecemasan). Ansietas (kecemasan) termasuk salah satu masalah
kesehatan jiwa yang paling sering muncul. Prevalensi ansietas (kecemasan) di negara
berkembang pada usia dewasa dan lansia sebanyak 50%. 20
Gangguan kecemasan pada usia lanjut umum terjadi dan dapat menghabiskan
banyak biaya. Dengan perubahan demografi penduduk secara umum, gangguan
kecemasan pada usia lanjut juga akan menjadi sumber biaya baik secara pribadi maupun
sosial. Bagaimanapun, deteksi dan diagnosis gangguan kecemasan di usia lanjut dipersulit
oleh penyakit komorbid, penurunan kognitif dan adanya perubahan hidup yang tidak
dialami oleh kelompok usia muda. Selain itu, ekspresi dan laporan terhadap gejala
kecemasan mungkin berbeda disetiap usia. Karena alasan ini , gangguan kecemasan pada
usia lanjut mungkin lebih cenderung kurang terdiagnosis dibandingkan pada kelompok
usia muda. Tanpa deteksi yang tepat, perawatan yang tepat mungkin tidak akan dapat
diberikan kepada orang usia lanjut yang mengalami kecemasan.6
Resiko tinggi terjadinya ansietas pada usia lanjut antara lain terlihat pada :18
- Adanya penyakit kronis ( seperti Penyakit Paru Obstruksi Kronik, Penyakit
jantung, penyakit tiroid atau Diabetes Mellitus )
- Merasa memiliki kesehatan yang buruk
- Adanya gangguan tidur
- Efek saming dari pengobatan (steroid, anti depresan, stimulan,
bronchodilator/ inhaler)
- Penyalahgunaan alhohol atau penyalahgunaan obat
- Keterbatasan aktifitas fisik sehari – hari
- Hidup yang penuh ketegangan

3
- Kejadian negatif atau kesulitan di masa kecil
- Cemas yang berlebihan terhadap gejala penyakit

1.2 Epidemologi ansietas pada usia lanjut


Meskipun gangguan kecemasan, seperti kondisi kejiwaan lain , mungkin kurang
terlihat pada usia lanjut dibandingkan orang-orang yang lebih muda, namun bukti
epidemiologis tetap menunjukkan bahwa kecemasan adalah masalah besar pada usia
lanjut. Sebuah kajian terbaru oleh Wolitzky-Taylor tahun 2010 melaporkan bahwa
perkiraan prevalensi gangguan kecemasan pada orang usia lanjut, mulai dari 3,2% menjadi
14,2%. Sebagai contoh, National Komorbiditas Survei-Replikasi (NCS-R) melaporkan 7%
dari orang usia lanjut yang berusia 65 tahun atau lebih memenuhi kriteria gangguan
kecemasan dalam satu tahun terakhir. Sementara itu, penelitian lain menemukan bahwa
33,7% dari peserta, yang berusia 55-tahun dan lebih tua saat ini didiagnosis dengan
Generalized Anxiety Disorder (GAD), dan dilaporkan timbulnya gejala GAD pada usia 50
tahun.4
Dalam satu penelitian dengan metode wawancara yang melibatkan hampir
6.000 orang melaporkan tingkat prevalensi 15,3% untuk gangguan kecemasan. Studi lain
menunjukkan dari sekitar 500 tetua masyarakat triethnic, dilaporkan tingkat prevalensi
gangguan kecemasan sebesar 11,3% pada orang kulit hitam, 12,4% di Hispanik, dan
21,6% dalam putih non-Hispanik pada usia 75 dan lebih. Myers et al. melaporkan
prevalensi gangguan kecemasan pada akhir kehidupan yang berkisar antara 6,6% sampai
14,9% di tiga Epidemiologi. Gangguan kecemasan secara keseluruhan menjadi kelas yang
paling umum dari gangguan kejiwaan antara orang-orang usia lanjut, lebih menonjol
daripada gangguan depresi atau gangguan kognitif berat.3
Angka kejadian gangguan ansietas pada lansia di Indonesia sekitar 39 juta jiwa
dari 238 juta jiwa penduduk. Hal yang dapat menimbulkan kecemasan biasanya bersumber
dari ancaman integritas biologi meliputi gangguan terhadap kebutuhan dasar makan,
minum, hubungan sosial, dan ancaman terhadap keselamatan diri seperti tidak menemukan
integritas diri, tidak menemukan status prestise, tidak memperoleh pengakuan dari orang
lain dan ketidaksesuaian pandangan diri dengan lingkungan nyata .4

4
1.3 Tipe gangguan kecemasan pada usia lanjut
Ada 7 tipe gangguan kecemasan yang seering terjadi pada usia tua, gangguan
tersebut antara lain 3,18,21
1. Acute Sress Disorder (ASD). ASD adalah reaksi maladaptif yang terjadi selama
awal bulan berikutnya setelah pengalaman traumatis. Hal ini dapat terjadi akibat
pertempuran atau bencana alam
2. Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD). Gejala dari acute stress diorder yang
menetap lebih dari satu bulan. (PTSD) adalah reaksi maladaptif yang terlalu lama
untuk suatu pengalaman traumatis. Berbeda dengan ASD, PTSD dapat bertahan
selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun setelah peristiwa traumatis. Banyak
orang dengan ASD, tapi tidak semua berkembang menjadi PTSD. PTSD dapat
berkembang setelah peristiwa tidak menyenangkan atau situasi yang bersifat sangat
mengancam atau bencana yang mungkin dapat menyebabkan tekanan hingga
meresap dalam pikiran hampir semua orang .
3. Panic Attack, kecemasan yang timbulnya tiba- tiba, tidak dapat diprediksi, kuat dan
takut yang tidak logis. Gangguan panik dapat dicirikan oleh adanya serangan
panik berulang yang tak terduga, diikuti oleh setidaknya satu bulan rasa khawatir
yang terus-menerus tentang terjadinya serangan panik lain dan kekhawatiran
tentang akibat dari serangan panik tersebut, atau perubahan signifikan dalam
perilaku yang terkait dengan serangan panik. Diperlukan setidaknya dua serangan
panik yang tak terduga untuk diagnosis dan serangan tersebut tidak diakibatkan
oleh suatu zat , kondisi medis umum atau masalah psikologis lain
4. Social Anxiety, phobia sosial adalah ketakutan yang kuat dan menetap dari situasi
sosial atau dalam hal kinerja. Orang takut mereka akan diteliti dan dinilai negatif
oleh orang lain. Fobia sosial dapat mengganggu kehidupan seseorang secara
signifikan sehingga mereka mengatasi hal tersebut dengan menghindari situasi
sosial atau tetap berada dengan ketakutan. Mereka dapat membatasi apa yang
mereka lakukan di depan orang lain-terutama makan, berbicara, minum, atau
menulis - atau menarik diri dari kontak dengan orang lain.
5. Generalized Anxiety Disorder (GAD): GAD ditandai dengan perasaan cemas yang
terus-menerus yang tidak dipicu oleh suatu objek, situasi, atau kegiatan tertentu.
Kelainan ini ditandai dengan perasaan kecemasan yang menetap . Gejala utama
dari GAD adalah khawatir). Orang dengan GAD cenderung merupakan pencemas,
dimana cemas dapat berlangsung lama atau bahkan seumur hidup. Mereka dapat

5
khawatir tentang banyak hal, termasuk keadaan keuangan mereka, kesejahteraan
mereka anak-anak, hubungan sosial mereka, dan sebagainya. Untuk mendiagnosis
GAD, gejala harus hadir selama minimal 6 bulan dan harus menyebabkan
gangguan klinis secara signifikan atau penurunan di bidang sosial, pekerjaan atau
lainnya .
6. Phobia , ketakutan yang tidak lazim terhadap sesuatu hal. Setiap orang memiliki
beberapa ketakutan yang tidak lazim, tetapi fobia adalah ketakutan yang dalam
tentang tertentu objek atau situasi yang mengganggu pada kehidupan seseorang. Ini
mungkin termasuk takut ketinggian, air, anjing, ruang tertutup, ular, atau laba-laba.
Seseorang dengan fobia akan baik-baik saja ketika objek yang dikhawatirkan tidak
ada. Namun, ketika dihadapkan dengan objek atau situasi ditakuti, mereka bisa
menjadi sangat cemas dan mengalami serangan panik.
7. Obsessive-compulsive Disorder (OCD), bentuk dari gangguan pikiran yang
menimbulkan kecemasan yang hanya bisa dikurangi dengan suatu tindakan yang
dilakukan berulang. OCD ditandai dengan adanya obsesi atau dorongan. Obsesi
didefinisikan sebagai pikiran yang mengganggu , yang tidak diinginkan atau
gambar atau dorongan yang berulang kali memasuki pikiran seseorang . Konvulsi
adalah perilaku berulang atau tindakan dimana orang tersebut merasa didorong
untuk melakukan hal tersebut. Gejala tersebut dapat menyebabkan gangguan
fungsional.

1.4 Patofisiologi ansietas


Mekanisme patofisiologi ansietas yang pasti belum bisa dipastikan. Tetapi gejala
kecemasan dan gangguan yang dihasilkan diyakini karena modulasi yang terganggu dalam
sistem saraf pusat. Manifestasi fisik dan emosional dari disregulasi ini adalah hasil dari
rangsangan simpatik yang tinggi dalam berbagai derajat. Beberapa sistem neurotransmitter
diyakini terlibat dalam satu atau beberapa langkah rangsangan sistem saraf pusat.22,23
Mekanisme yang paling sering diyakini dalam patofosiologi ansietas adalah
adalah sistem serotoninergic dan sistem neurotransmitter noradrenergik. Dalam istilah
yang umum, diyakini bahwa aktifasi yang rendah dari sistem serotoninergic dan aktifasi
berlebih dari sistem noradrenergik yang mungkin terlibat. Sistem ini mengatur dan diatur
oleh jalur lain dalam sirkuit saraf di berbagai daerah di otak, termasuk coeruleus lokus dan
struktur limbik, yang mengakibatkan disregulasi rangsangan fisiologis dan pengalaman
emosional.22,23
6
Neuroanatomic cirkuit yang mendukung rasa takut dan kecemasan dipengaruhi
oleh berbagai sistem neurotransmitter kimia. Termasuk diantaranya neurotransmitter
peptidergic, Corticothropin Realisisng Hormon (CRH), neuropeptide Y (NPY), dan
substansi P, monoaminergic transmitter, Norepinephrin, serotonin (5-hydroxytryptamine
atau 5-HT), dopamin (DA), amino acid transmitters, GABA dan glutamat. Sistem
neurotransmitter paling tepat dipelajari dalam hubungannya dengan respon terhadap stres
yang melibatkan sumbu Hypothalamus–Pituitary-Adrenal (HPA Aksis) dan sistem pusat
noradrenergik. Sistem neurokimia ini bertanggung jawab dalam fungsinya untuk
mempersiapkan organisme untuk menanggapi ancaman atau stres, dengan cara
meningkatkan kewaspadaan, modulasi memori, mobilisasi dalam menyimpan energi, dan
meningkatkan fungsi kardiovaskular. Namun demikian, respons biologis terhadap
ancaman dan stres ini dapat menjadi maladaptif jika berlangsung dalam waktu lama atau
tidak tepat diaktifkan. sistem neurokimia tambahan yang juga memainkan peran penting
dalam modulasi respon stres dan perilaku emosional mencakup pusat GABAnergic,
serotonergik, dopaminergik, opiat, dan NPY sistem.23
Gangguan sistem asam gamma-aminobutyric (GABA) diyakini telah terlibat
karena melihat respon dari benzodiazepine sebagai pengobatan terhadap ansietas. Terlihat
juga adanya peran regulasi kortikosteroid dan kaitannya dengan gejala rasa takut dan
kecemasan. Kortikosteroid bisa meningkatkan atau menurunkan aktivitas jalur saraf
tertentu, yang mempengaruhi perilaku baik keadaan stress atau rangsangan terhadap rasa
takut.22 Beberapa bukti praklinis dan klinis telah menetapkan bahwa agonis
Benzodiazepine -reseptor memberi efek ansietas dan mengalami perubahan fungsi dalam
gangguan kecemasan. Reseptor Central Benzodiazepine terdapat seluruh otak, tetapi
paling banyak terkonsentrasi di bagian cortical gray. Benzodiazepine dan reseptor GABA
membentuk bagian dari makromolekul yang kompleks, dan meskipun mereka merupakan
bagian yang berbeda, mereka secara fungsional bergabung dan saling mengatur satu sama
lain secara alosterik.23
Meskipun kecenderungan genetik memiliki peran untuk berkembang menjadi
gangguan kecemasan, stres terhadap lingkungan jelas memainkan peran dalam berbagai
derajat kecemasan. Semua gangguan dianggap sebagai isyarat eksternal dan sangat
tergantung dengan bagaimana cara penderita merespon hal tersebut22,23

7
Gambar 2. Patofisiologi ansietas23

8
2. Penggunaan Benzodiazepine
2.1 Penggunaan Benzodiazepin Pada usia lanjut
Sebuah penelitian yang menilai kesehatan mental pada orang usia 55 – 85 tahun
di Belanda menemukan nilai yang signifikan terhadap rendahnya persentase peserta
dengan gangguan kecemasan yang mencari bantuan dari seorang psikiater (2,6%), sosial
pekerja (2,5%), atau lembaga kesehatan mental masyarakat (3,8%). Selain itu, 25,3% dari
usia lanjut dengan gangguan kecemasan tersebut, dilaporkan telah mendapatkan
benzodiazepine, sedangkan 3,8% dilaporkan mendapatkan antidepresan. Benzodiazepine
merupakan bentuk yang paling umum dari obat yang digunakan untuk mengobati
gangguan kecemasan pada usia lanjut dibandingkan obat jenis lain, meskipun memiliki
efek samping yang serius seperti termasuk peningkatan risiko fraktur dan gangguan
kognitif dan psikomotor.5 Tiga puluh persen dari semua resep obat yang diresepkan untuk
orang tua, sebagian besar merupakan psikotropika . Dari yang tersedia, obat hipnotik
sedatif, benzodiazepin adalah yang paling sering ditemukan. Dalam sebuah studi oleh
Morgan dan rekan pada Nationally Representative British, prevalensi penggunaan obat
hipnotik (92 % nya adalah benzodizepine) di antara orang berusia 65 tahun atau lebih
adalah 16 persen.7
Penggunaan benzodiazepine juga ditemukan secara luas di negara berkembang.
Di prancis 30 % usia 65 tahun dan lebih menggunakan benzodiazepine. Begitu juga di
Kanada, digunakan pada usia lanjut sebanyak 20 %, dan 15 % di gunakan usia lanjut di
Australia. DI Amerika, benzodiazepin ditemukan lebih sedikit, namun tetap lebih tinggi
penggunaannya pada usia lanjut. penggunaan benzodiazepine dilakukan jangka panjang
walaupun beberapa literatur dan penelitian menyarankan penggunaan hanya beberapa
minggu. 13,14,15
Penggunaan obat hipnotik lebih umum pada wanita dibandingkan laki-laki dan
meningkat secara signifikan dengan usia. Tingkat penggunaan adalah 13 % antara orang-
orang berusia 65 sampai 74 tahun dan 20% di antara mereka yang berusia 75 tahun atau
lebih. Durasi penggunaan yang berkisar satu sampai lima tahun adalah 13 %, durasi
penggunaan lima sampai sepuluh tahun di adalah 19 %, dan selama lebih dari sepuluh
tahun 25 %. Dua penelitian lainnya , satu dari Eropa dan satu dari prevalensi Quebec-
menunjukkan nilai 19,8% dan 23 % untuk terus menggunakan benzodiazepin antara
orang dewasa yang lebih tua .7
Benzodiazepine bahkan lebih sering diresepkan untuk pasien usia lanjut yang
berada dalam panti sosial. Data dari Survei Keperawatan Nasional Amerika Serikat

9
menunjukkan bahwa dari semua resep obat psikotropika untuk pasien berusia 65 tahun
atau lebih dalam suatu tahun, 41% merupakan anti ansietas, terutama benzodiazepine.16

Gambar 3. Penggunaan benzodiazepine berdasarkan usia dan jenis kelamin di USA 200816

Banyak faktor yang mempengaruhi penggunaan benzodiazepine jangka panjang


pada usia lanjut. Faktor tersebut antara lain pengobatan terhadap ansietas yang menetap,
kurangnya pengetahuan yang berhubungan dengan resiko penggunaan benzodiazepine
pada usia lanjut, terbatasnya alternatif lain yang lebih efektif untuk pengobatan seperti
Cognitive Behavioral Therapy, sikap pasien yang tidak mau mengurangi atau
menghentikan pengobatannya, dan sikap bersaing dari pelaku medis untuk memberikan
bantuan terhadap keluhan pasien.16

2.2 Farmakologi Benzodiazepine


2.2.1 Farmakodinamik Benzodiazepine
Benzodiazepine merupakan modulator positif terhadap reseptor-A Asam Gama
Butirat Acid (GABA). Sementara GABA adalah neurotransmitter yang paling umum
dalam sistem saraf pusat, yang ditemukan dalam konsentrasi tinggi di daerah korteks dan
sistem limbik . GABA adalah penghambat alami dengan efek mengurangi rangsangan dari
neuron. GABA menghasilkan efek menenangkan terhadap otak. GABA memiliki 3
reseptor yaitu reseptor A, B, dan C. Reseptor yang berinteraksi dengan benzodiazepine
adalah reseptor A. Komplek reseptor – A GABA sendiri terdiri dari 5 glikoprotein sub
unit, yang masing-masing memiliki beberapa isoform. Reseptor GABA - A terdiri dari 2
subunit α , 2 sub unit β, dan 1 sub unit γ. Setiap kompleks reseptor memiliki 2 ikatan
GABA namun hanya satu ikatan terhadap benzodiazepine. Tempat pengikatan
benzodiazepine adalah sebuah lekukan antara sub unit α dan γ . Dalam sebuah subunit
10
dari isoform 1, 2, 3 , dan 5 . Residu histidin ( H101 , H101 , H126 , H105) masing-masing
memiliki afinitas tinggi untuk benzodiazepine . Isoform 4 dan 6 dari subunit mengandung
residu arginine dan tidak memiliki afinitas untuk benzodiazepine. Lekukan
benzodiazepine dibuat oleh sub unit α dan γ sehingga menyebabkan perubahan bentuk
dalam reseptor – A GABA reseptor, termasuk ikatan GABA. Hal ini juga menyebabkan
perubahan bentuk pada chanel klorida reseptor –A GABA ( GABA-A receptor chloride
channel) sehingga terjadi hiperpolarisasi sel dan menghambat efek GABA melalui sistem
saraf pusat .8

Gambar 5. Reseptor GABA

2.2.2. Reseptor Spesifik Benzodiazepine


Reseptor benzodiazepine terdiri dari beberapa tipe, berdasarkan subunit isoform α
dan efek klinis untuk masing – masing tipe. Reseptor benzodiazepine - 1 terdiri dari
isoform α 1. Reseptor benzodiazepine - 1 memiliki konsentrasi paling daerah korteks,
thalamus dan serebellum. Reseptor ini yang berperan untuk efek sedatif , amnesia
retrograde, dan efek antikonvulsif pada jenis diazepam. Sebanyak 60% dari reseptor –A
GABA terdiri dari unit α 1. Amnesia adalah efek samping paling sering dari
benzodiazepine , hal ini karena sebagian besar dari reseptor- A GABA terdiri dari reseptor
benzodiazepine- 1 yang bertanggung jawab terhadap amnesia. Faktor utama untuk
memprediksi resiko terjadinya amnesia adalah daya larut terhadap lemak, dimana semakin
tinggi daya larut terhadap lemak, semakin tinggi juga resiko untuk amnesia.
Benzodiazepine pada daya larut lemak yang lebih tinggi, memiliki rata- rata penyerapan
yang lebih tingi dan onset yang lebih cepat.8

11
Reseptor benzodiazepine- 2 terdiri dari isoform α 2 dan menyebabkan efek
anti ansietas yang dalam jumlah besar akan menyebabkan efek miorelaksan. Reseptor
benzodiazepine- 2 berada dalam konsentrasi yang paling tinggi pada sistem limbik, motor
neuron, dan cornu dorsal dari saraf spinal. Efek anti ansietas dari benzodiazepine diyakini
dimediasi melalui reseptor benzodiazepine -2 yang berlokasi di sistem limbik, dan efek
miorelaksan dipercaya di mediasi oleh receptor benzodiazepine - 2 yang berada di saraf
spinal dan motor neuron. Tidak semua interaksi benzodiazepine dengan tipe reseptor
memiliki daya afinitas yang sama terhadap reseptor spesifik. Ada perbedaan pada sub unit
isoform α, jenis afinitas reseptor benzodiazepine dan lokasi sistem saraf pusat memiliki
perbedaan efek terhadap berbagai jenis benzodiazepine.8

Sub unit α Persentase reseptor –A Efek mediasi yang diketahui


Reseptor Pada CNS (%)
GABA
α-1 60 Sedatif , amnemsia , partial antikonvulsif
α-2 15 - 20 Anti ansietas, miorelaksan
α-3 10 - 15 Miorelaksan ( hanya pada dosis tinggi)
α- 4 <5 Insensitif terhadap reseptor A
benzodiazepine
α- 5 <5 Partial Miorelaksan
α- 6 <5 Insensitif terhadap reseptor A
benzodiazepine

Tabel 1. Sub unit reseptor A GABA

2.2.3 Farmakokinetik Benzodiazepine


Farmakokinetika obat adalah menentukan onset of action dan durasi efek dari
obat tersebut. Secara spesifik farmakokinetik menggambarkan absorbsi, distribusi,
metabolisme dan eksresi dari sebuah obat ( apa respon tubuh terhadap obat). Sementara
farmakodinamik menggambarkan responsifitas reseptor terhadap obat dan mekanisme
agar efek obat tersebut terlihat. ( apa efek obat terhadap tubuh). Respon setiap individual
berbeda setiap orangnya. Respon yang berbeda tersebut membuat farmakokinetik dan
farmakodinamik obat juga menjadi berbeda.8
Farmakokinetik dipengaruhi oleh cara pemberian, absorbsi, dan distribusi.
Benzodiazepine bisa diberikan secara intramuscular, intravena, oral, sublingual,

12
intranasal, atau secara rectal. Karakteristik dari obat, termasuk daya larut terhadap lemak,
ikatan dengan protein plasma, dan ukuran molekul, termasuk pengaruh jumlah distribusi
ikut mempengaruhi farmakokinetik. Farmakodinamik dan efek farmakologi obat
menjelaskan waktu dari dose response sehingga bisa menggambarkan hubungan antara
dosis efek farmakologi yang dihasilkan. Dose response bisa memprediksi efek dari obat
pada pasien bila dosis ditingkatkan. Titrasi dari obat sebaiknya diberikan dari dosis
rendah. Penyesuaian selama titrasi diberikan dengan pilihan yang tepat untuk setiap
keadaan pasien .8
Proses penyakit sebelumnya dan perubahan usia mempengaruhi waktu paruh
eliminasi , sangat penting pada pemberian benzodiazepine. Waktu paruh adalah waktu
yang dibutuhkan oleh konsentrasi plasma obat berkurang sampai 50 % selama fase
eliminasi. Dari sudut pandang farmakologi, benzodiazepine biasanya diserap oleh saluran
cerna setelah pemberian secara oral. Setelah pemberian secara intravena, benzodiazepine
dengan cepat didistribusi ke otak dan sistem saraf pusat. Setelah pemberian injeksi
intramuscular, penyerapan diazepam atau chlordiazopoxide berjalan pelan dan tidak
teratur, sementara penyerapan intra muscular lorazepam dam midazolam terlihat lebih
cepat dan lengkap. Lorazepam paling baik diserap setelah pemberian sublingual dengan
waktu puncak dalam 60 menit.8
Benzodiazepine dan metabolitnya memiliki ikatan protein yang tinggi, mereka
didistribusikan di tubuh dan lebih banyak terakumulasi di area yang kaya akan lemak
seperti sistem saraf pusat dan jaringan lemak. Seperti yang telah dsebutkan diatas, semakin
besar 2daya larut terhadap lemak, semakin tinggi penyerapan dan cepat mencapai efek .
Sebagian besar benzodiazepine mengalami metabolik oksidatif oleh enzim sitokrom P450
( fase I), berkonjugasi dengan glucuronide ( fase II) dan eksresikan secara keseluruhan
melalui urin.8
Gambar 3. Mekanisme kerja benzodiazepine8

13
Beberapa jenis benzodiazepine menambah aksinya dengan memproduksi
metabolite aktif. Midazolam, salah satu jenis benzodiazepine short acting tidak
memproduksi metabolite aktif. Sementara diazepam, jenis benzodiazepine long acting ,
memproduksi metabolite aktif yaitu oxazepam, desmethyldiazepam dan tesmazepam.
Metabolite ini meningkatkan durasi aksi obat dan dapat menimbulkan pengaruh serius
terhadap beberapa kelompok pasien yaitu pasiaen usia lanjut dan pasien dengan gangguan
hati.8

2.3 Jenis benzodiazepine


Secara umum, ada beberapa jenis dan tipe benzodiazepine yang beredar di masyarakat,
diantaranya adalah 7,8, 20

- Alprazolam - Food Drug Association (FDA) merekomendasikan penggunaan


obat ini untuk terapi panic dan ansietas. Alprazolam merupakan jenis
benzodiazepine yang paling banyak diresepkan di Amerika
- Chlordiazepoxide - digunakan untuk terapi alcohol withdrawal syndrome.
- Clorazepate - Diberikan untukanti ansietas , gangguan tidur dan gangguan
kecemasan yang berat
- Diazepam - anti ansietas, sedatif, dan anti konvulsif dengan onset cepat.
- Estazolam – sedatif dan anti ansietas yang biasanya diberikan pada pengobatan
insomnia jangka pendek .
- Flurazepam - biasanya diberikan pada pengobatan insomnia ringan sampai
sedang.
- Loprazolam - anti ansietas yang diberikan untuk gangguan tidur berat,
- Oxazepam - digunakan untuk terapi ansietas dan insomnia serta mengontrol
gejala alcohol withdrawal.
- Temazepam - Digunakan untuk insomnia jangka pendek
-
Triazolam - Hanya digunakan untuk insomnia berat

Masing - masing benzodiazepine memiliki potensi dan masa kerja yang berbeda – beda.
Dari keseluruhan benzodiazepine, ada lima jenis benzodiazepine yang sering diresepkan
dan digunakan, terutama pada usia lanjut antara lain7,8

14
1. Alprazolam
Alprazolam merupakan short acting high potency benzodiazepine dengan waktu
paruh 6 – 27 jam. Alprazolam awalnya merupakan terapi untuk panic disorder dan
terbukti memiliki toleransi yang baik dan efektif. Alprazolam sering diresepkan untuk
keadaan panic disorder dan ansietas. Dosis yang direkomendasikan untuk ansietas dimulai
dengan 0,25 – 0,5 mg per oral, dapat diberikan sampai 3 x sehari. Maksimum pemberian
untuk ansietas tidak boleh melebihi 4 mg dalam sehari. Untuk panic disorder pemberian
yang direkomendasikan maksimal 6 – 10 mg / hari. Efek samping yang umum terjadi
adalah rebound anxiety yang diakibatkan putusnya obat akibat waktu paruh eliminasi yang
pendek.
2. Clonazepam
Clonazepam adalah high potency benzodiazepine yang merupakan agonist
receptor –A GABA dengan potensi tinggi sekaligus merupakan agonist serotonin.
Clonazepam memiliki memiliki efek anti konvulsi dan anti ansietas. Dari penelitian,
disebutkan bahwa clonazepam sama efektifnya untuk mengobati gejala manik akut, sama
efektifnya seperti alprazolam sebagai terapi anti ansietas dan penghentiannya tidak
menyebabkan rebound anxiety symptom. Karena waktu paruh eliminasi yang panjang,
clonazepam sering menyebabkan amnesia retrograde. Untuk serangan panik, clonazepam
diberikan dosis rendah dengan maksimal dosis 1 – 4 mg/ hari. Sementara untuk mengobati
gangguan kejang, dosis dimulai dengan 0,5 mg dengan maksimal dosis 20 mg / hari.
3. Lorazepam
Lorazepam merupakan high potency benzodiazepine lain yang memiliki
karakteristik short acting. Sifatnya yang sedikit kurang larut terhadap lemak jika
dibandingkan dengan alprazolam, membuat lorazepam memiliki resiko rendah untuk
terjadinya amnesia dibandingkan alprazolam. Lorazepam mengikat Alfa GABA dengan
afinitas yang lebih rendah dibandingkan alprazolam, namun lebih tinggi dibandingkan
clonazepam. Lorazepam lebih efektif sebagai anti konvulsif . Lorazepam diserap cepat dan
lengkap, dan mencapai puncak dalam 60 menit. Lorazepam memliki kekhasan yaitu
mengalami glucurinidation langsung tanpa metabolisme sitokrom P450. Karena
karakteristik ini, lorazepam dapat dipakai pada pasien dengan disfungsi hati atau ginjal
dan hanya memiliki sedikit efek farmakokinetik.
4. Midazolam
Midazolam, merupakan short acting benzodiazepine , dengan efek lebih kuat 1,5
– 2 kali lebih potensial dibandingkan diazepam karena efek kerja yang bertentangan

15
dengan reuptake GABA. Midazolam utama digunakan sebagai anti ansietas dan sedatif
pada premedikasi ( tidak untuk diresepkan pada rawat jalan, karena durasi kerja yang
pendek). Midazolam memiliki daya serap yang cepat, mudah melewati blood brain barrier
, onset yang cepat, dan cepat didistribusi sehingga memiliki durasi kerja yang pendek dan
waktu paruh yang singkat dan sering digunakan dalam sediaan injeksi. Komplikasi
amnesia dari midazolam lebih dalam dibandingkan diazepam namun lebih rendah
dibandingkan lorazepam. Untuk sedasi dan ansietas pre operasi disarankan dosisi 1 – 5
mg , 1 jam sebelum operasi. Pada pasien dengan resiko yang lebih tinggi seperti usia lebih
dari 60 tahun, atau dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis ( PPOK) diberikan tidak lebih
dari 3 mg , tetap 1 jam sebelum operasi.
5. Diazepam
Diazepam adalah long acting benzodiazepine dengan medium potency yang
digunakan segala anti konvulsif, anti ansietas, sedasi dan miorelaksasi. Diazepam
merupakan salah satu dari obat yang paling banyak digunakan untuk ansietas dan ada
dalam sediaan intramuscular, intravena, oral dan rektal. Diazepam memiliki afinitas yang
sama dengan semua reseptor sensitif lainnya pada sistem saraf pusat. Efeknya sebagai anti
ansietas terlihat dalam dosis yang rendah karena interaksinya dengan α 2 reseptor pada
sistem limbik. Dalam dosis yang lebih tinggi, diazepam dapat berfungsi sebagai
miorelaksan dibandingkan dengan efek anti ansietas. Efek miorelaksan ini dimediasi
melalui α 2 reseptor pada saraf spinal dan motor neuron dan sedikit lebih luas dapat
berinteraksi dengan α 3 reseptor. Dosis yang lebih tinggi juga menyebabkan sedasi dan
amnesia retrograde. Diazepam memiliki metabolisme unik karena pada metabolismenya
di hati, diazepam memproduksi metabolite yaitu oxazepam, temazepam, dan
desmethyldiazepam. Dimana masing – masing memiliki aksi tersendiri. Ini membuat
diazepam memiliki waktu paruh yang panjang dengan peningkatan 1 jam untuk setiap
penambahan usia diatas 40 tahun. Dalam hal ini, setiap peresepan diazepam, harus
memperhatikan efek samping yang diakibatkan produksi metabolite seperti oversedasi dan
anterograde amnesia . Efek samping ini dapat menjadi serius dan berkepanjangan pada
pasien lanjut usia dan dengan gangguan hari atau gangguan ginjal. Sebagai terapi anti
ansietas, diazepam dapat diberikan 2 – 10 mg / hari oral, 2 – 4 kali sehari tergantung
derajat kecemasan dan usia pasien. Sebagai miorelaksasi dapat diberikan 2 – 10 mg ,
empat kali sehari dan untuk status epileptikus diberikan 5 – 10 mg intravena setiap 15
menit sampai dosis maksimum 30 mg.

16
Jenis Benzodiazepine Dosis Equivalen Rentang dosis efektif ( sesuaikan
dengan respon pasien
Waktu paruh < 12 jam
Alprazolam 0,25 0,5 – 1 mg , 3 -4 kali sehari
Oxazepam 30 10 – 30 mg , 3 atau 4 kali sehari
Temazepam 15 7,5 – 30 mg , malam hari
Triazolam 5 0,25 – 0,5 , malam hari
Waktu paruh sedang
12-24 jam
Alprazolam XR 5 1-4 mg , sekali sehari
Lorazepam 1 2-10 mg, terbagi 2 -3 dalam sehari
Estazolam 2 1 – 2 mg , malam hari
Waktu paruh panjang >
12 jam
Chlordiazepoxide 25 5 – 25 mg , 3 /4 kali sehari
Chorazepate 3,75 15 – 60 mg, terbagi 2-3 dalam sehari
Clonazepam 25 0,5 – 2 mg , 2 kali sehari
Diazepam 5 2 – 10 mg, 2 – 4 kali sehari
Halazepam 40 20 – 40 mg, 3/4 kali sehari
Flurazepam 15 15 – 30 mg , malam hari
Quazepam 15 7,5 – 30 mg , malam hari

Tabel 2. Dosis ekuivalen beberapa benzodiazepine sediaan oral untuk ansietas dan
insomnia6,18,19

2.4 Hubungan farmakologi benzodiazepine dengan usia lanjut


Dengan meningkatnya usia, orang usia lanjut lebih sensitif terhadap efek
samping potensial dari benzodiazepine akibat adanya perubahan farmakodinamik dan
farmakokinetik. Beberapa penelitian yang berhubungan dengan farmakokinetika
benzodiazepine menunjukkan perubahan distribusi dan eliminasi dari obat ini pada usia
lanjut. Golongan benzodiazepine dengan jalur oksidatif dan waktu paruh panjang dapat
terakumulasi di tubuh dan menyebabkan prolonged sedation.7
Lebih lanjut, perubahan farmakodinamik pada usia lanjut lebih penting untuk di
mengerti dibandingkan farmakokinetik sehubungan dengan perubahan respon terhadap
pemberian benzodiazepine. Peningkatan sensitivitas pada usia lanjut terhadap pemberian

17
benzodiazepine berhubungan dengan perubahan reseptor di sistem saraf pusat. Reseptor
saraf yang lebih sensitif terhadap benzodiazepine menyebabkan meningkatnya sedasi,
keadaan tidak nyaman kehilangan memori, dan disinhibisi. Penelitian psikomotor pada
orang tua yang menggunakan benzodiazepine menyebutkan bahwa usia lanjut, terutama
pasien dengan demensia, hipoalbuminemia dan gangguan ginjal kronik memiliki resiko
tinggi untuk terjadi sedasi.8,13

2.5 Efek samping benzodiazepine pada usia lanjut


Suatu penelitian tentang hubungan obat pada pasien rawatan yang berusia lanjut
menunjukkan 10 % nya akibat penggunaan benzodiazepine. Reaksi akibat obat ditemui
pada pasien dengan ketergantungan benzodiazepine, dimana benzodiazepine digunakan
lebih sering dan dalam jangka waktu yang lama.8
Sebuah penelitian metaanalisis yang melihat efek samping dari benzodiazepine
menyebutkan bahwa penggunaan obat ini memberikan resiko terjadinya efek yang tidak
menyenangkan sebanyak 2,45 kali lebih besar dibandingkan dengan plasebo.9
Penggunaan benzodiazepine diantara usia lanjut berhubungan dengan gangguan
intelektual dan kognitif. Gangguan kognitif di tandai dengan amnesia retograde,
berkurangnya ingatan, dan bertambahnya kelupaan. Gejala ini sesuai dengan gejala awal
demensia, tapi juga dapat terjadi pada usia normal. Gangguan fungsi kognitif
memperlihatkan perkembangan yang membahayakan akibat komplikasi dari penggunaan
benzodiazepine. Efek jangka panjang dari benzodiazepine sangat berhubungan dengan
penurunan fungsi kognitif. Pasien usia lanjut dengan penurunan fungsi kognitif
menunjukkan perbaikan setelah pemberian obat dihentikan.7
Benzodiazepine juga berperan dalam gangguan psikomotor dan peningkatan
resiko jatuh dan kecelakaan. Gangguan psikomotor ditandai dengan lambatnya waktu
respon, berkurangnya kecepatan. Beberapa penelitian meunjukkan adanya peningkatan
resiko fraktur paha dan jatuh yang berulang pada usia lanjut yang menggunakan
benzodiazepine. Resiko jatuh berhubungan dengan peningkatan dosis dan penggunaan
benzodiazepine yang terus – menerus.7

18
Gambar 2. Perubahan reseptor-A GABA selama pemberian Benzodiazepine 7

2.6 Penyalahgunaan dan ketergantungan Benzodiazepine


Pasien lanjut usia sering menggunakan benzodiazepine dalam jangka waktu yang
lama. Masalah dan gangguan yang kronik dapat memperpanjang penggunaan dan bisa
menimbulkan ketergantungan. Resiko ketergantungan pada usia lanjut meningkat sesuai
usia dan umumnya terjadi pada pasien dengan keadaan yang membutuhkan banyak obat
dan diantara pasien yang mengalami depresi serta ketergantungan alkohol.7,10
Tidak semua yang menggunakan obat benzodiazepine akan mengalami
ketergantungan. Ketergantungan benzodiazepine secara umum dapat menjadi masalah
diantara usia lanjut . Sindrom ansietas, demensia dan depresi adalah hal yang paling sering
menyebabkan ketergantungan. Ketergantungan benzodiazepine juga dapat mencetuskan
syndrome withdrawal. Hal ini terjadi saat obat dihentikan tiba- tiba atau langsung
dikurangi dengan perbedaan dosis yang bermakna. Syndrom withdrawal ditandai dengan
ansietas, agitasi, disforia, peningkatan rangsangan sensorik, gangguan persepsi,
depersonalisasi, bingung, delirium dan kejang. Gejala pada usia lanjut berbeda dengan
gejala pada usia muda. Gejala pada usia lanjut umunya ditandai dengan kebingungan atau
disorientasi baik disertai halusinasi atau tidak.7

2.7 Efisiensi pengobatan ansietas pada usia lanjut


Pengobatan ansietas tetap mengacu pada pendekatan secara psikososial dan
pendekatan secara farmakologi. Dalam pendekatan psikososial, Cognitive Behavioral

19
Therapy (CBT) merupakan pendekatan yang paling efektif dibandingkan pengobatan
psikososial lain seperti ,supportif therapy, cognitive therapy, Relaxation Training , dan
Lesser Extent Supportive Therapy . Bahkan dari beberapa penelitian disebutkan CBT
merupakan pendekatan yang lebih efektif dibandingkan terapi farmakologi.6
Cognitive Behavioral Therapy (CBT) merupakan pengobatan psikoterapi jangka
pendek, berorientasi pada tujuan berupa pendekatan praktis untuk pemecahan masalah.
Tujuannya adalah untuk mengubah pola berpikir atau perilaku yang ada pada penderita,
serta mengubah cara mereka merasakan hal yang mereka alami. CBT bekerja dengan
mengubah sikap dan perilaku mereka dengan berfokus pada pikiran, gambaran, keyakinan
dan sikap yang dimiliki (proses kognitif seseorang) dan bagaimana proses ini berhubungan
dengan cara seseorang berperilaku, sebagai cara untuk menangani masalah emosional.6
Cognitive Therapy merupakan jenis terapi yang berdasarkan prinsip bahwa apa
yang kita pikirkan akan mempengaruhi emosi kita, apa yang kita pilih untuk melakukan
atau menghindari, atau bereaksi reaksi terhadapnya. Penelitian telah menunjukkan bahwa
banyak emosi negatif yang berhubungan dengan pemikiran yang tidak tepat. Cognitive
Therapy melibatkan keterampilan belajar yang memungkinkan untuk melihat hubungan
antara pikiran dan perasaan yang tidak menyenangkan , untuk menilai ketepatan pikiran-
pikiran yang menyebabkan perasaan yang tidak menyenangkan, dan membantu untuk
lebih berpikir tepat.24
Relaxation Training juga merupakan salah satu jenis pengobatan anti ansietas non
farmakologi yang dianggap efektif dalam megatasi kecemasan. Ada berbagai metode
relaksasi yang bertujuan mengurangi ketegangan dan kecemasan melalui teknik yang
berbeda yaitu autogenic training, progressive muscular relaxation, applied relaxation
dan, meditation. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Relaxation training efektif dalam
mengurangi kecemasan baik terhadap laki-laki atau perempuan, muda ataupun tua, dan
terpengaruh atau tidak oleh gangguan fisik atau psikologis. Relaxation training terbukti
menjadi pilihan pengobatan yang valid untuk banyak gangguan yang berhubungan dengan
kecemasan dan dapat disarankan untuk semua orang dengan keluhan terkait kecemasan.25
Sebagai terapi farmakologis, penelitian menunjukkan secara umum digunakan
benzodiazepine sebagai terapi ansietas pada usia lanjut, walaupun memiliki efek samping
yang cukup banyak. Beberapa penelitian menyebutkan penggunaan antidepresan efektif
untuk terapi ansietas, terutama jenis General Anxietas Disorder (GAD) dan Panic
Disorder (PD) pada usia lanjut. Dari penelitian tersebut mereka tidak menunujukkan
adanya efek samping yang bermakna dengan penggunaan anti depresan pada usia lanjut

20
dan dewasa muda. Namun benzodiazepine lebih menjadi pilihan karena penggunaan anti
depressan memiliki efek yang tidak menyenangkan. 6
Meskipun banyak guideline yang merekomendasikan anti depressan terbaru untuk
menggantikan benzodiazepine sebagai anti ansietas pilihan pertama, namun tidak ada
evidence based yang menunjukkan nilai superior anti depressan untuk keberhasilan terapi
jangka pendek.16
Penelitian – penelitian menunjukkan agar benzodiazepine diberikan dengan
perhatian, dosis rendah dan jangka waktu yang singkat. Sebaiknya pemberian
benzodiazepine diberikan tidak lebih dari satu bulan.17 Benzodiazepine dengan waktu
paruh yang pendek seperti oxazepam, alprazolam, dan triazolam merupakan jenis
benzodiazepine yang direkomendasikan untuk usia lanjut, karena agen ini tidak
terakumulasi dalam darah, cepat dibersihkan dari sirkulasi dan dosisnya mudah diubah.
Lorazepam dapat di dapat diberikan 0,25 mg/ hari , dua atau tiga kali sehari. Temazepam
dapat diberikan 10 – 20 mg malam hari, dan alprazolam dapat diberikan 0,25 mg, dua atau
tiga kali sehari.19 Benzodiazepine dengan masa paruh panjang , yang memiliki metabolit
seperti chlordizepoxide, flurazepam, nitrazepam dan diazepam harus dihindari. Akan
tetapi benzodiazepine dengan waktu paruh singkat juga berhubungan dengan syndrome
withdrawal dan lebih potensial untuk disalahgunakan. Penelitian lain menyebutkan bahwa
penggunaan jangka panjang alprazolam memiliki resiko rendah untuk disalahgunakan.
Akan tetapi tidak ada penelitian yang menghubungkan pengunaan panjang alprazolam
pada usia lanjut. Efek samping benzodiazepine terlihat lebih banyak terlihat pada usia
lanjut dan sebanding dengan pertambahan usia.7, 12,13,14
Sebelum memberikan benzodiazepine bagi usia lanjut, banyak hal yang harus
diperhatikan, antara lain menanyakan riwayat pengunaan alkohol dan penggunaan obat
lain, menjelaskan kepada pasien tentang efek samping obat benzodiazepine dan
memberikan informasi melalui leaflet, sesuaikan dengan jenis pengobatan dan penyakit
pencetus, pertimbangkan alternatif lain, pemberian obat diberikan jikan memang sangat
diperlukan.19
Jika pemberian obat benzodiazepine pertama kali dilakukan, maka sebaiknya
dimulai dari dosis terendah yang direkomendasikan, namun tetap disesusaikan dengan
respon yang diterima oleh pasien. Direkomendasikan pemberian obat tidak lebih dari 4
minggu, gunakan fase bebas obat jika memungkinkan. Pasien dan dokter harus memiliki
kesepakatan yang tercatat atau terdokumentasikan dengan baik, dan semua rekam medis
tentang penggunaan obat harus lengkap dengan lama pengobatan. Disarankan untuk

21
memberikan penjelasan yang jelas, efektif mengenai pengobatan selama dan sesudah
kunjungan.19
Pasien usia lanjut yang mendapat terapi benzodiazepine harus disarankan untuk
selalu kontrol ulang, terutama pada usia lanjut yang baru pertama mendapat terapi, untuk
meminimalkan dosis atau frekuensi penggunaan, sehingga dapat mencegah efek yang
tidak menyenangkan akibat akumulasi benzodiazepine. Pengawasan dari keluarga juga
sangat diperlukan untuk mencegah hal – hal yang tidak diinginkan.19
Ketergantungan benzodiazepine adalah masalah serius diantara usia lanjut.
diperlukan pengawasan yang baik untuk mengurangi efek yang akan timbul akibat
pemberian yang lama. Evaluasi dan pengawasan yang menyeluruh juga harus dilakukan
setiap melakukan peresepan obat benzodiazepine. Penelitian lebih lanjut juga dibutuhkan
untuk melihat penggunaan obat ini. Dokter harus berhati – hati melihat prevalensi
ketergantungan benzodiazepine pada populasi usia lanjut untuk mencegah, mendeteksi
dan mengatasi masalah.19

22
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Ansietas merupakan hal yang umum yang sering terjadi pada usia lanjut. Banyak
hal pada orang tua yang bisa memicu timbulnya ansietas dan bahkan depresi, termasuk
diantaranya adanya penyakit menahun, masalah sosial ekonomi, kurangnya edukasi,
kurangnya perhatian dan dukungan keluarga, perhatian terhadap kesehatan yang buruk dan
kurangnya manajemen stress pada usia lanjut. Diperlukan pemberian farmakologi dan
psikoterapi yang baik untuk mengurangi morbiditas pada usia lanjut.2,5
Benzodiazepine merupakan obat yang paling umum di gunakan untuk mengobati
ansietas pada usia lanjut. Onset kerja yang cepat membuat benzodiazepine menjadi pilihan
dalam pengobatan walaupun memiliki efek samping. Efek samping yang paling sering
terjadi ialah gangguan fungsi kognitif, berkurangnya mobilitas dan kemampuan
mengemudi, meningkatkan resiko untuk jatuh dan cedera, resiko tinggi untuk
disalahgunakan dan adanya ketergantungan terhadap benzodiazepine sendiri.15 Pemberian
jangka panjang dapat menyebabkan efek samping serius yang sebanding dengan
pertambahan usia. Efek samping yang terjadi pada usia lanjut ini merupakan salah satu
masalah di bidang kesehatan yang akan menimbulkan banyak biaya praktisi medis harus
melakukan pengawasan dalam pemberian obat benzodiazepine agar meminimalkan efek
samping yang akan terjadi.2,9
Penggunaan benzodiazepine sesuai rekomendasi untuk usia lanjut penting untuk
diterapkan. Penjelasan sebelum penggunaan kepada pasien dan keluarga tentang cara
kerja, efek samping dan akibat penghentian obat juga harus diberikan dengan jelas.
Pengawasan oleh keluarga terhadap segala macam gejala yang berhubungan dengan efek
samping sangat diperlukan untuk mencegah morbiditas pada pasien.2,9

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Christiane Dias dos Anjos Cunha, Maria Cristina Correa de Souza, Graziella Almeida
Andrade Cattanio1,Et all . Benzodiazepine use and associated factors in elderly in the
city of Dourados, MS, Brazil: a cross-sectional population-based study J Bras
Psiquiatr. 2015;64(3):207-12.
2. Richard Suzman, PhD. Global Health and Aging. National Institute on Aging. World
Health Organization. 2011 : 4
3. Zvi D. Gellis, Eunhae Grace Kim, and Stanley G. McCracken . Anxiety Disorder In
Older Adult Literature Review. National center for gerontological social work
Education. University of Chicago 2014 : 1- 9.
4. Priyono, H. Saraswati. Pengaruh Terapi Aktivitas Kelompok Model Psikodarma
Terhadap Perubahan Tingkat Kecemasan Lansia di Panti Sosial Tresna Werda
Ilomata, Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Ilmu-ilmu Kesehatan dan
Keolahragaan Universitas Negeri Gorontalo : 2015
5. K Sithamparanathan, A Sadera, L Leung. Adverse effects of benzodiazepine use in
elderly people: a meta-analysis. Asian J Gerontol Geriatr 2012; 7: 107–11
6. Kate B. Wolitzky-Taylor, Natalie Castriotta, M.A.. Eric J. Lenze. Anxiety Disorder
In Older Adult : A Comprehensive Review 2011 : 190–211
7. Olivera J. Bogunovic. Shelly F. Greenfield. Use of Benzodiazepines Among Elderly
Patients. Practical Geriatric. 2004 march : vol.55
8. Charles E. Griffin III, Adam M. Kaye,Franklin Rivera Bueno, Alan D. Kaye.
Benzodiazepine Pharmacology and Central Nervous System–Mediated Effects The
Ochsner Journal. 2013 .13:214–223.
9. A.Mudjaddid, S.Budi Halim, S.Sukatman. Psikofarmaka dan Psikosomatik. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam . 2015 ; 473: 3578 – 3580
10. Arbanas Goran , Dahna Arbanas, Dujam. Adversed Effect Of Benzodiazepine In
Psichiatric Outpatients. Psychiatria Danubina, 2009; Vol. 21, No. 1, pp 103–107
11. European Medicines Agency.Summary of product characteristics for benzodiazepines
as anxiolytic or hipnotics .1994. www.ema.europa.eu/docs/en_GB/document_library/
Scientific_guideline/2009/09/WC500003774.pdf.
12. Egan M, Moride Y, Wolfson C, Monette J. Long-term continuous use of
benzodiazepines by older adults in Quebec: prevalence, incidence and risk factors. J
Am Geriatr Soc 2000;48:811-6.

24
13. Neutel CI. The epidemiology of long-term benzodiazepine use. Int Rev Psychiatry
2005;17:189-97.
14. Vinkers CH, Olivier B. Mechanisms underlying tolerance after long-term
benzodiazepine use: a future for subtype-selective GABA(A) receptor modulators?
Adv Pharmacol Sci 2012: 416864.
15. Sophie Billioti de Gage Bernard Bégaud. Benzodiazepine use and risk of dementia:
prospective population based study. BMJ 2012; 345e6231.
16. Olfson Mark, Marissa King, Michael Schoenbaum, Benzodiazepine Use in the United
States.JAMA Psychiatry. 2015;72(2):136-142.
17. Johnson, Bryan. Risks Associated with Long-Term Benzodiazepine Use.
http//www.aafp.org. 2013:231
18. U.S. Administration on Aging/Substance Abuse and Mental Health Services
Administration. Older Americans behavioral health issue brief 6: Depression and
anxiety: Screening and intervention. (2013). Retrieved April 2, 2015, from
http://www.ncoa.org/improve-health/center-for-healthy-aging/content
library/IssueBrief_6_
19. Crowley, Delargy. Benzodiazepines, Good Practice Guidelines for Clinicians.
Departement of Health and Children. 2002 : 1-28.
20. Nordqvist, Joseph. Benzodiazepines: Uses, Side Effects, and Risks. Medical News
Today : 2016
21. Nevid, Jeffrey.S. Anxiety Disorder in book Essential of Psichology. 2010 Chapter 6 :
171-200.
22. Rowney Jess. Hermida Teresa, Malone Donald. Anxiety Disorder. Running on http://
clevelandclinicmeded.com.
23. Charney Dennis S, Drevets Wayne. Neurobiological Basis of Anxiety Disorder.
Neuropsychopharmacology: The Fifth Generation of Progress. 63: 903-930.
24. Mark E, Oakley. Cognitive Therapy. Center of Cognitive Therapi : 2016.
25. Francesco Pagnini , Gian Mauro Manzoni, Gianluca Castelnuovo . Enrico Molinari .
The efficacy of relaxation training in treating anxiety. International Journal Of
Behavioral Consultation and Therapy .Vol 5: 264-269.

25

Anda mungkin juga menyukai