Anda di halaman 1dari 28

BAB I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Emulsi merupakan suatu sistem dispersi, dimana salah satu fase terdispersi

dalam fase lainnya dengan adanya suatu zat pengemulsi (Calderon dkk., 2007).

Emulsi terbagi menjadi dua tipe, yaitu emulsi sederhana atau emulsi ganda. Emulsi

sederhana dapat berbentuk emulsi air dalam minyak (A/M) atau emulsi minyak

dalam air (M/A). Emulsi ganda dapat berbentuk emulsi air dalam minyak dalam air

(A/M/A) atau emulsi minyak dalam air dalam minyak (M/A/M). Tipe emulsi akan

mempengaruhi sifat-sifat fisik emulsi. Selain itu, tipe emulsi yang berbeda juga

dapat menghasilkan pelepasan zat yang berbeda (Ainurofiq, 2006). Oleh sebab itu,

dalam kontrol kualitas suatu emulsi, determinasi tipe emulsi merupakan hal

mendasar yang perlu dilakukan.

Beberapa sifat fisik emulsi yang umumnya dipengaruhi oleh tipe emulsi

tersebut adalah viskositas, pemisahan fase, dan ukuran droplet. Emulsi sederhana

A/M dapat memiliki viskositas yang berbeda dengan emulsi ganda A/M/A. Hal ini

dapat disebabkan salah satunya oleh penambahan emulgator golongan hidrokoloid

seperti karbopol, carboxymethylcellulose, atau xanthan gum pada fase eksternal

emulsi ganda A/M/A dapat membuat viskositas emulsi ganda lebih tinggi

dibandingkan emulsi sederhana (Aserin, 2008). Karena memiliki viskositas yang

mungkin berbeda, emulsi sederhana dan emulsi ganda dapat memiliki pemisahan

1
2

fase yang berbeda pula. Hal ini dijelaskan dengan hukum Stokes, dimana viskositas

merupakan salah satu faktor penentu laju pemisahan emulsi (Tan, 2004). Tipe

emulsi juga menentukan ukuran droplet fase terdispersi. Droplet yang terdispersi

pada emulsi ganda mengandung droplet-droplet berukuran lebih kecil yang berbeda

fase, sehingga ukuran droplet emulsi ganda akan lebih besar daripada emulsi

sederhana (Aserin, 2008).

Tipe emulsi juga dapat mempengaruhi pelepasan zat dari sediaan. Sistem

emulsi ganda memiliki lebih banyak lapisan yang dapat menahan lepasnya zat dari

emulsi dibandingkan dengan emulsi sederhana. Untuk dapat lepas dari sediaan,

suatu zat yang terlarut dalam fase air internal dalam suatu emulsi ganda A/M/A

harus melewati barrier berupa lapisan minyak dan lapisan air eksternal (Benichou

dan Aserin, 2008). Sedangkan, apabila tipe emulsinya adalah emulsi sederhana

A/M, zat tersebut hanya perlu melewati satu lapisan minyak saja untuk lepas dari

emulsi. Oleh karena itu, emulsi bertipe A/M/A lebih berpotensi untuk menjadi agen

prolonged release dibandingkan emulsi tipe A/M (Pal, 2011). Pelepasan suatu zat

aktif dari emulsi ganda dapat terjadi melalui dua mekanisme. Mekanisme pertama

melalui breakdown droplet sebagai akibat dari aliran osmosis air ke fase internal

dan peristiwa koalesens partikel, sementara mekanisme kedua melalui lepasnya zat

melalui lapisan minyak yang berfungsi sebagai membran permeabel, dimana zat

aktif berdifusi dari fase internal (Aserin, 2008).

Untuk mengetahui pemisahan yang terjadi pada emulsi sederhana dan

emulsi ganda, dapat dilakukan uji stabilitas dipercepat, yaitu dengan menempatkan

emulsi pada stress condition. Menurut Block (1996), fluktuasi suhu dapat menjadi
3

stress condition yang dapat digunakan untuk mengamati pemisahan yang terjadi

pada emulsi. Salah satu pilihan metode untuk uji stabilitas dipercepat yang

menggunakan fluktuasi suhu adalah metode cycling. Dalam metode ini, suhu yang

digunakan untuk pengujian menggambarkan suhu paling ekstrim yang mungkin

terjadi selama sediaan atau produk dipakai dan disimpan oleh konsumen yang

terbatas pada daerah geografis tertentu (Ford dkk., 2004).

Sifat emulsi yang mampu melepaskan zat secara perlahan-lahan dapat

dimanfaatkan dalam dunia kosmetik, salah satunya adalah untuk formulasi

lipcream yang warnanya dapat bertahan lama dengan sekali aplikasi. Joint

FAO/WHO Expert Committee on Food Additives Monographs 11 menyatakan

bahwa zat warna yang diperbolehkan European Union dan World Health

Organization untuk makanan dan kosmetik salah satunya adalah Ponceau 4R

(E124). Zat warna ini berupa bubuk merah gelap dan bersifat larut dalam air. Dipilih

zat warna larut air karena zat warna tersebut diinginkan untuk berada pada fase air

internal emulsi A/M dan A/M/A sehingga dapat lebih menghasilkan efek lepas

lambat daripada jika berada di fase minyak.

Untuk membuat emulsi A/M, diperlukan suatu surfaktan lipofil untuk

mengurangi tegangan antarmuka air-minyak. Span 80 mampu menstabilkan fase air

yang terdispersi dalam fase minyak seperti parafin cair (Calderon dkk., 2007). Span

80 juga memiliki toksisitas dan sifat iritan yang rendah sehingga banyak digunakan

dalam sediaan topikal (Kim, 2004). Untuk pembuatan emulsi A/M/A, dapat

digunakan sodium carboxymethylcellulose (CMC Na) sebagai agen pengental

untuk menaikkan viskositas dan stabilitas emulsi (Aserin, 2008).


4

Dipilih kedua jenis emulgator ini karena keduanya telah banyak digunakan dan

tidak saling berinteraksi pada sistem emulsi.

Penelitian ini bertujuan untuk memformulasi dan menguji sifat-sifat fisik

emulsi A/M dan A/M/A berupa determinasi tipe emulsi, viskositas, ukuran droplet,

pemisahan fase setelah melalui uji cycling, serta evaluasi pelepasan zat warna.

Emulsi A/M dibuat dengan konsentrasi Span 80 5%, 10%, 15%, dan 20%. Emulsi

A/M/A dibuat dengan konsentrasi CMC Na 1%, 2%, dan 3%. Determinasi tipe

emulsi dan ukuran droplet emulsi dianalisis secara deskriptif. Data pemisahan fase

dan viskositas antarkonsentrasi emulgator dianalisis dengan ANOVA satu jalan,

sedangkan pemisahan fase, viskositas, dan pelepasan zat warna antartipe emulsi

dianalisis dengan Independent-Samples T Test jika data berdistribusi normal dan

dengan Mann-Whitney jika tidak berdistribusi normal.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pengaruh tipe emulsi A/M dan A/M/A terhadap sifat-sifat fisik

yang meliputi tipe emulsi, pemisahan fase, viskositas, dan ukuran droplet

emulsi?

2. Bagaimana pengaruh tipe emulsi A/M dan A/M/A terhadap pelepasan zat

warna Ponceau 4R dari sediaan?


5

C. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi pertimbangan bagi

penelitian selanjutnya yang bertujuan untuk mengetahui sifat-sifat dan pola

pelepasan zat dari emulsi sederhana dan emulsi ganda, serta pemanfaatan emulsi

sebagai agen prolonged release untuk obat-obatan, kosmetik, ataupun makanan.

D. Tujuan Penelitian

1. Memformulasikan emulsi A/M dan A/M/A serta menentukan pengaruh tipe

emulsi terhadap sifat-sifat fisik yang meliputi tipe emulsi, pemisahan fase,

viskositas, dan ukuran droplet emulsi

2. Menentukan pengaruh tipe emulsi A/M dan A/M/A terhadap pelepasan zat

warna Ponceau 4R dari emulsi

E. Tinjauan Pustaka

1. Emulsi

Emulsi adalah suatu sistem dispersi yang terdiri dari dua cairan tak saling

campur, dimana salah satu cairan terdispersi dalam cairan yang lain dengan adanya

suatu surface-active agents. Emulsi umumnya dibuat dari dua fase dimana tegangan

antar-mukanya bukan nol. Emulsi merupakan salah satu contoh dari koloid

metastabil (Calderon dkk., 2007). Sistem emulsi dapat memiliki beberapa wujud

mulai dari lotion yang memiliki viskositas relatif rendah sampai sediaan semipadat

seperti salep dan krim. Diameter fase terdispersi umumnya berkisar antara 0,1
6

sampai 10µm, tetapi dalam beberapa sediaan dapat berukuran lebih kecil atau lebih

besar (Sinko, 2011).

Fase dispers pada emulsi dianggap sebagai fase dalam dan medium dispers

sebagai fase luar atau fase kontinyu. Emulsi yang memiliki fase dispers berupa air

dan medium dispers berupa minyak disebut emulsi air dalam minyak dan biasanya

diberi tanda sebagai emulsi A/M. Sebaliknya, jika fase minyak terdispersi dalam

fase air, maka disebut emulsi minyak dalam air dan biasanya diberi tanda sebagai

emulsi M/A (Aserin, 2008). Karena fase luar dari suatu emulsi bersifat kontinyu,

suatu emulsi minyak dalam air bisa diencerkan atau ditambah dengan air atau suatu

preparat dalam air (Ansel, 2005).

Ada beberapa teori yang menjelaskan bagaimana terbentuknya emulsi, yaitu

teori penurunan tegangan permukaan, oriented-wedge theory, dan teori lapisan

antarmuka atau teori plastik (Anief, 2007). Menurut teori penurunan tegangan

permukaan, surfaktan atau surface active agent dapat menurunkan tegangan

antarmuka dari kedua cairan yang tidak saling bercampur (Ansel, 2005). Surfaktan

dapat mengurangi tegangan antarmuka karena teradsorpsi pada antarmuka air-

minyak dan membentuk lapisan film monomolekuler (Sinko, 2011).

Menurut oriented-wedge theory, emulsi terbentuk karena adanya kelarutan

selektif dari bagian molekul emulgator, ada yang bersifat polar dan ada yang

bersifat nonpolar. Emulgator akan menempatkan diri pada antarmuka air-minyak,

dimana bagian lipofilik berada pada fase minyak dan bagian hidrofilik berada pada

fase air (Anief, 2007). Dengan demikian, emulgator seolah menjadi pengikat
7

yang menyatukan dua cairan yang tidak saling campur. Fase dimana emulgator

lebih larut umumnya akan menjadi fase kontinyu atau medium dispers (Ansel,

2005).

Teori plastik atau teori lapisan antarmuka menyatakan bahwa emulgator

akan diserap pada batas air-minyak sehingga terbentuk lapisan tipis atau film yang

mengelilingi tetesan fase dispers. Lapisan ini mencegah kontak atau berkumpulnya

droplet-droplet sejenis (Anief, 2007). Makin lunak dan kuat lapisan tersebut, emulsi

akan semakin stabil, dengan catatan bahwa jumlah zat pengemulsi cukup untuk

melingkupi seluruh permukaan dari tiap tetesan fase dalam. Dalam kenyataannya,

dalam suatu sistem emulsi, lebih dari satu teori emulsifikasi berperan dalam

menjelaskan pembentukan dan kestabilan emulsi tersebut (Ansel, 2005). Tidak ada

teori emulsifikasi universal yang dapat diterapkan pada semua emulsi (Sinko,

2011).

2. Emulsi Ganda

Emulsi ganda atau multiple emulsion merupakan suatu sistem dispersi

cairan kompleks yang dikenal dengan istilah ‘emulsi dalam emulsi’, dimana

droplet suatu dispersi cairan (air dalam minyak atau minyak dalam air)

didispersikan ke cairan lainnya (air atau minyak) untuk menghasilkan emulsi

ganda A/M/A atau M/A/M (Lutz dan Aserin, 2008). Umumnya, diameter droplet

rata-rata pada emulsi ganda sedikit lebih besar daripada emulsi biasa, berkisar

antara 15-50 µm. Beberapa dapat berukuran lebih kecil, antara 2-5 µm yang
8

terdiri dari satu atau beberapa droplet air untuk setiap globul minyak (Garti dan

Bisperink, 1998).

Emulsi ganda, utamanya yang bertipe A/M/A merupakan sistem penghantar

yang potensial bagi zat-zat hidrofilik. Efek lepas lambat yang dapat diberikan oleh

emulsi ganda dimanfaatkan untuk penghantaran vaksin, vitamin, enzim, dan

hormon dalam dunia farmasi (Calderon dkk., 2007). Emulsi ganda juga dapat

diaplikasikan dalam industri kosmetik untuk memberikan feel yang nyaman dalam

pemakaian dan pelepasan lambat dari zat aktif (Lutz dan Aserin, 2008).

Gambar 1. Skema proses pembentukan emulsi ganda A/M/A dengan dua tahap (Garti dan

Benichou, 2004)

Proses pembuatan emulsi ganda dapat dilihat pada Gambar 1, dimana pada

umumnya emulsi ganda dibuat melalui dua tahap emulsifikasi dengan dua jenis
9

emulgator. Emulgator hidrofobik didesain untuk menstabilkan emulsi air dalam

minyak sedangkan emulgator hidrofilik digunakan untuk menstabilkan emulsi

minyak dalam air. Emulgator lipofilik dicampur dengan fase minyak kemudian

ditambahkan fase air dan dilakukan pengadukan. Emulsi A/M yang terbentuk

ditambahkan ke dalam campuran air dan emulgator hidrofilik lalu dilakukan

pengadukan hingga terbentuk emulsi ganda A/M/A (Garti dan Benichou, 2004).

Pembuatan emulsi air dalam minyak menggunakan kondisi kecepatan pengadukan

yang tinggi agar memperoleh droplet yang berukuran kecil. Tahap emulsifikasi

kedua dibuat tanpa pengadukan berlebihan karena dapat merusak droplet emulsi

primer sehingga hanya akan menghasilkan emulsi minyak dalam air (Garti, 1997).

3. Emulgator

Ada beberapa jenis emulgator yang digunakan dalam pembuatan emulsi,

yaitu surfaktan, hidrokoloid, dan zat padat halus yang terdispersi. Surfaktan bisa

bersifat ionik ataupun non-ionik. Dalam zat anionik, bagian lipofilik bermuatan

negatif, sedangkan dalam zat kationik, bagian ini bermuatan positif. Oleh karena

itu, surfaktan anionik dan kationik cenderung saling menetralkan apabila terdapat

dalam satu sistem yang sama. Surfaktan non-ionik tidak menunjukkan

kecenderungan untuk mengion (Ansel, 2005). Kemampuan surfaktan dalam

menstabilkan emulsi bergantung pada penurunan energi bebas permukaan,

pembentukan lapisan monolayer, dan adanya surface charge dapat menyebabkan

partikel saling tolak-menolak sehingga turut membantu menstabilkan emulsi

(Sinko, 2011).
10

Surfaktan lipofilik seperti span 80 dapat digunakan untuk menstabilkan

emulsi A/M (Calderon dkk., 2007). Hidrofilisitas dari span 80 berasal dari gugus

hidroksil pada cincin siklik jenuh. Bagian hidrokarbon dari span 80 berada pada

fase minyak dan radikal sorbitan berada pada fase air. Karena termasuk surfaktan

nonionik, mekanisme span 80 dalam menstabilkan emulsi bukan melalui tolak-

menolak listrik antar droplet fase dispers, melainkan melalui pembentukan lapisan

film di antarmuka air-minyak dan halangan sterik antardroplet serta mencegah

koalesens (Kim, 2004).

Hidrokoloid merupakan kelompok heterogen dari polimer rantai panjang

(polisakarida dan protein) yang mampu membentuk dispersi kental dan/atau gel

ketika didispersikan dalam air. Adanya gugus hidroksil (-OH) dalam jumlah besar

dapat meningkatkan kemampuan mengikat molekul air. Hidrokoloid dapat

menghasilkan sebuah dispersi intermediet antara larutan dan suspensi, yang

menunjukkan sifat-sifat koloid. Hidrokoloid mampu membentuk lapisan film

multimolekuler dan menaikkan viskositas emulsi sehingga menghalangi droplet-

droplet untuk bergabung (Sinko, 2011). Carboxymethylcellulose atau CMC

merupakan salah satu hidrokoloid yang digunakan untuk menstabilkan emulsi M/A.

CMC menstabilkan emulsi dengan pembentukan lapisan film multimolekuler yang

kuat dan elastis pada antarmuka air-minyak dan memberikan perlindungan mekanis

dari koalesens (Kim, 2004). Hidrokoloid lain yang umumnya digunakan adalah

xanthan gum, guar gum, karagenan, dan derivat selulosa lainnya (Lutz dan Aserin,

2008).
11

Zat padat seperti bentonit, magnesium hidroksida, dan aluminium

hidroksida umumnya membentuk emulsi M/A jika bahan tersebut ditambahkan ke

fase air dan jika ada sejumlah volume fase air yang lebih besar daripada fase

minyaknya. Namun, jika ditambahkan ke dalam minyak dan volume fase minyak

lebih besar, suatu zat seperti bentonit dapat membentuk emulsi A/M (Ansel, 2005).

Zat padat halus teradsorpsi pada antarmuka dua cairan dan membentuk lapisan

partikel di sekitar droplet fase dispers. Tiga jenis emulgator ini sama-sama dapat

membentuk lapisan film, baik monomolekuler, multimolekuler, atau partikulat

(Sinko, 2011).

4. Kestabilan Emulsi

Stabilitas emulsi merupakan suatu hal yang penting untuk diperhatikan.

Ketidakstabilan yang dapat terjadi terhadap emulsi di antaranya adalah flokulasi

dan creaming, koalesens dan breaking, perubahan fisika kimia, dan inversi fase

(Sinko, 2011). Selain itu, emulsi juga dapat mengalami ketidakstabilan biologi,

seperti adanya kontaminasi dan pertumbuhan mikroba (Ansel, 2005). Peristiwa

creaming dari suatu emulsi berkaitan dengan persamaan Stokes:

𝑑 2 (𝜌1−𝜌2)𝑔
V= (1)
18𝜂

keterangan: V = kecepatan jatuhnya suatu partikel bulat


g = konstanta gravitasi
d = diameter rata-rata partikel
𝜌1 = kerapatan partikel bulat
𝜌2 = kerapatan cairan
𝜂 = viskositas medium dispersi
12

Menurut persamaan (1) di atas, laju pemisahan dari fase dispers dapat

dihubungkan dengan faktor-faktor seperti ukuran droplet dari fase dispers,

perbedaan kerapatan antarfase, dan viskositas fase luar. Laju pemisahan meningkat

dengan makin besarnya ukuran droplet fase dalam, makin besarnya perbedaan

kerapatan kedua fase, dan berkurangnya viskositas fase luar (Ansel, 2005). Oleh

karena itu, untuk meningkatkan stabilitas suatu emulsi, ukuran droplet harus dibuat

sehalus mungkin, perbedaan kerapatan antarfase harus sekecil mungkin, dan

viskositas fase luar harus cukup tinggi (Sinko, 2011).

Agregat dari bulatan fase dalam cenderung naik ke permukaan atau jatuh ke

dasar emulsi. Terjadinya bulatan-bulatan tersebut disebut creaming. Upward

creaming terjadi jika fase dispers memiliki kerapatan lebih rendah daripada

medium dispers, sedangkan downward creaming terjadi jika fase dispers memiliki

kerapatan lebih tinggi daripada medium dispers (Sinko, 2011). Kecepatan creaming

dapat dikurangi dengan cara mengecilkan ukuran droplet, menyamakan berat jenis

dari dua fase, dan menambah viskositas meedium dispers. Creaming merupakan

suatu proses bolak-balik dan seringkali tidak menyebabkan masalah stabilitas yang

serius, tetapi dapat memberikan kesan yang buruk pada produk (Kim, 2004).

Koalesens terjadi ketika dua droplet saling mendekati satu sama lain dan

tidak ada pembatas di antara kedua droplet tersebut (Kim, 2004). Peristiwa ini dapat

mengarah kepada penggabungan bulatan-bulatan fase dalam dan pemisahan emulsi

tersebut menjadi suatu lapisan. Peristiwa ini disebut breaking dan emulsinya

disebut “pecah” atau “retak” (cracking), dimana sifatnya adalah


13

ireversibel karena lapisan pelindung di sekitar bulatan fase terdispersi tidak ada lagi

(Ansel, 2005). Inversi fase terjadi ketika medium dispers pada suatu emulsi menjadi

fase dispers atau sebaliknya. Peristiwa ini dapat terjadi karena perubahan rasio

volume masing-masing fase, perubahan suhu, atau perubahan tekanan (Calderon

dkk., 2007).

Gambar 2. Ketidakstabilan emulsi ganda A/M/A (Mezzenga dkk., 2004)

Ketidakstabilan yang dapat terjadi pada emulsi ganda A/M/A dijelaskan

pada Gambar 2. Pada emulsi ganda A/M/A, koalesens dapat terjadi baik antara

droplet-droplet air internal maupun antara droplet-droplet minyak. Peristiwa ini

akan menyebabkan peningkatan ukuran droplet air maupun minyak (Lutz dan

Aserin, 2008). Selain itu, ketidakstabilan yang dapat terjadi pada emulsi ganda

A/M/A adalah difusi air dan molekul yang terlarut di dalamnya melintasi lapisan

minyak dari fase air internal ke fase air eksternal atau sebaliknya, tergantung dari

gradien tekanan osmosis antara dua fase air. Air dari fase internal yang berdifusi ke

luar akan mengosongkan droplet internal sehingga emulsi A/M/A akan berubah
14

menjadi emulsi M/A. Transpor air dari fase eksternal ke fase internal dapat

menyebabkan pecahnya fase air dalam. Dengan demikian, emulsi ganda tipe

A/M/A dapat rusak atau pecah karena tekanan osmotik yang tidak sama antara fase

air internal dan eksternal. Penambahan elektrolit seperti NaCl atau non-elektrolit

seperti protein atau glukosa dapat membantu menyamakan tekanan osmotik antara

kedua fase air (Rosen, 2005).

Pada emulsi ganda A/M/A, droplet minyak dapat mengalami creaming,

flokulasi, dan koalesens. Ketidakstabilan ini dapat dikurangi dengan mengecilkan

ukuran droplet minyak atau meningkatkan viskositas dari fase air eksternal melalui

penambahan stabilisator polimerik atau thickener (Lutz dan Aserin, 2008).

5. Kontrol Kualitas Emulsi

Beberapa kontrol stabilitas yang dapat dilakukan terhadap suatu sediaan

emulsi adalah :

a. Determinasi tipe emulsi

Tipe emulsi dapat ditentukan dengan beberapa cara (Anief, 2007):

1). Pengukuran daya hantar (konduktivitas elektrik)

Apabila elektroda yang terhubung dengan lampu dan sumber listrik

dicelupkan ke dalam emulsi dapat mengakibatkan menyalanya lampu

pada alat uji, maka tipe emulsi tersebut adalah M/A. Sebaliknya, apabila

lampu tidak menyala, maka tipe emulsi tersebut adalah M/A.


15

Hal ini disebabkan karena air memiliki sifat penghantar listrik yang lebih

baik daripada minyak.

2). Metode pengenceran fase

Suatu emulsi dikatakan bertipe M/A apabila dapat segera diencerkan

dengan air dan bertipe emulsi A/M apabila tidak dapat diencerkan

dengan air.

3). Metode warna

Dalam metode ini digunakan dua jenis pewarna, yang pertama

adalah pewarna yang larut dalam air dan yang kedua larut dalam minyak.

Pewarna yang dapat digunakan misalnya biru metilen atau amaranth

untuk pewarna larut air dan sudan III untuk pewarna larut minyak.

Emulsi yang terwarnai homogen oleh pewarna larut air adalah emulsi

tipe M/A dan emulsi yang terwarnai oleh pewarna larut minyak adalah

emulsi tipe A/M.

4). Metode pembasahan kertas saring

Emulsi diteteskan di atas kertas saring kemudian diamati ada

tidaknya cincin air di sekeliling tetesan emulsi. Apabila terbentuk cincin

air, maka tipe emulsi adalah M/A.

5). Metode fluoresensi

Emulsi yang semua bagiannya terfluoresensi ketika diamati di

bawah mikroskop dengan sinar fluoresen memiliki tipe A/M, sedangkan

emulsi yang hanya menampakkan noda-noda kecil dengan sinar

fluoresen adalah emulsi yang bertipe M/A.


16

b. Sifat reologi

Kebanyakan emulsi memiliki sifat alir non-Newton. Sifat alir emulsi dapat

dipengaruhi oleh fase dispers, medium dispers, dan emulgator. Faktor-faktor yang

berkaitan dengan fase dispersi adalah rasio volume, distribusi ukuran partikel, dan

viskositas dari fase internal itu sendiri. Sistem akan memiliki sifat Newtonian jika

volume droplet emulsi dibanding total volume emulsi adalah kurang dari 0,05. Jika

lebih dari nilai tersebut, sistem akan semakin resisten untuk mengalir dan mulai

menunjukkan ciri aliran pseudoplastik. Viskositas emulsi akan meningkat seiring

mengecilnya ukuran partikel dan menyempitnya distribusi ukuran partikel. Faktor

yang juga mempengaruhi sifat alir emulsi adalah medium dispers. Berkurangnya

viskositas seiring dengan peningkatan shear dapat terjadi karena meningkatnya

jarak yang memisahkan globul-globul (Sinko, 2011).

Selain itu, sifat alir juga berkaitan dengan tipe emulgator. Tipe emulgator

dapat mempengaruhi flokulasi dan tarik-menarik antarpartikel. Emulgator yang

termasuk dalam golongan hidrokoloid menstabilkan emulsi dengan membentuk

film multimolekuler yang kuat dan menaikkan secara siginifikan viskositas

medium dispers (Sinko, 2011). Surfaktan juga dapat membentuk film yang bersifat

monomolekuler, tetapi tidak menaikkan viskositas emulsi seperti oleh hidrokoloid.

Oleh karena itu, emulsi ganda yang di samping menggunakan surfaktan juga

menambahkan hidrokoloid sebagai emulgatornya akan memiliki viskositas yang

lebih tinggi dibandingkan emulsi sederhana yang hanya menggunakan surfaktan

sebagai emulgator. Viskositas yang tinggi ini dapat menjadi penghalang bagi

terjadinya flokulasi atau koalesens (Claesson dkk., 2001).


17

c. Pemisahan fase

Emulsi merupakan suatu sistem yang tidak stabil secara termodinamika.

Dua cairan yang tidak saling campur dalam sistem emulsi cenderung untuk

memisah karena gaya kohesif di antara cairan sejenis lebih besar dibandingkan gaya

adhesif kedua cairan (Sinko, 2011). Butir-butir cairan berupaya untuk menstabilkan

diri dengan mengurangi energi permukaan yang tinggi akibat luas permukaan yang

besar. Untuk mengurangi energi permukaan, butir-butir cairan tersebut akan

menyatu membentuk butiran yang lebih besar sehingga luas permukaannya dapat

berkurang dan terjadilah pemisahan fase (Ainurofiq, 2006).

Pemisahan fase yang terjadi dapat berbeda-beda pada tiap tipe emulsi.

Peristiwa creaming atau koalesens pada emulsi sederhana A/M terjadi antardroplet

fase dispers air. Pada emulsi ganda A/M/A, penggabungan butir-butir dapat terjadi

antardroplet minyak atau antardroplet air internal (Lutz dan Aserin, 2008). Emulsi

ganda A/M/A yang viskositasnya yang lebih tinggi daripada emulsi sederhana A/M

akan memiliki laju pemisahan yang lebih kecil, seperti yang dinyatakan oleh hukum

Stokes (Calderon dkk., 2007).

d. Ukuran droplet

Ukuran droplet dapat bervariasi pada berbagai tipe emulsi. Emulsi

sederhana umumnya memiliki ukuran fase dispers 0,1-10µm, beberapa emulsi

dapat memiliki ukuran lebih kecil atau lebih besar (Sinko, 2011). Pada emulsi

ganda, droplet-droplet emulsi primer terlingkupi oleh bulatan yang lebih besar.

Diameter droplet rata-rata pada emulsi ganda berkisar antara 15-50 µm, beberapa

berukuran antara 2-5 µm (Garti dan Bisperink, 1998). Ukuran fase dispers dapat
18

mengalami perubahan jika emulsi tidak stabil, misalnya koalesens antardroplet

minyak pada emulsi tipe A/M/A dapat menyebabkan ukuran droplet minyak

bertambah besar, atau difusi air dari fase eksternal ke fase internal yang

menyebabkan ukuran fase air internal pada emulsi A/M/A bertambah besar

(Aserin, 2008).

Ukuran droplet merupakan salah satu faktor yang dapat menentukan

stabilitas emulsi. Emulsi yang memiliki ukuran droplet yang lebih besar akan

memiliki laju pemisahan yang lebih cepat. Ada beberapa teknik pengamatan ukuran

droplet, misalnya dengan mikroskop elektron, electroacoustic spectroscopy, dan

light scattering (Dalgleish, 2004).

6. Uji Stabilitas Dipercepat

Uji stabilitas bertujuan untuk menyediakan informasi mengenai bagaimana

variasi kualitas produk seiring berjalannya waktu dengan adanya pengaruh

lingkungan seperti suhu, kelembaban, atau cahaya (Estanqueiro dkk., 2014). Uji

stabilitas memberikan keyakinan bahwa suatu produk tetap memiliki kualitas yang

acceptable dalam jangka waktu tertentu selama dipasarkan dan dapat memenuhi

kebutuhan konsumen sampai pada pemakaian terakhir. Untuk dapat mengamati

stabilitas emulsi dalam waktu singkat, dapat dilakukan uji stabilitas dipercepat,

yaitu dengan menempatkan emulsi pada stress condition seperti suhu, kelembaban,

cahaya, pengadukan, pH, atau gravitasi (Bajaj dkk., 2012).


19

Beberapa prinsip uji stabilitas dipercepat yaitu:

a. Gravitationally accelerated stability testing

Sentrifugasi merupakan salah satu metode yang telah lama digunakan untuk

menguji stabilitas dipercepat suatu emulsi dengan pengaruh gravitasi. Peningkatan

kecepatan sentrifugasi sebanding dengan besarnya pemisahan emulsi. Hal ini

terjadi karena fase internal yang terdispersi dapat mengalami perubahan bentuk dan

memicu terjadinya koalesen pada kecepatan sentrifugasi yang tinggi (Zulkarnain

dkk., 2013). Ultrasentrifugasi banyak diaplikasikan dalam evaluasi kinetika

flokulasi droplet dan koalesens. Metode sentrifugasi memiliki keterbatasan antara

lain tidak cocok untuk sediaan yang sangat kental seperti berbagai sediaan

semisolid (Block, 1996).

b. Thermally accelerated stability testing

Ketidakstabilan emulsi oleh adanya suhu secara umum mengikuti

persamaan Arrhenius yaitu:

𝐸𝑎 1
ln 𝑘 = ln 𝐴 − [ 𝑅 ] 𝑇 (2)

keterangan: k = konstanta laju reaksi

A = konstanta Arrhenius

Ea = energi aktivasi

R = konstanta molar gas

T = temperatur absolut (K)

Persamaan (2) menunjukkan hubungan antara suhu penyimpanan dan

kecepatan degradasi. Konstanta laju reaksi akan meningkat seiring naiknya suhu

(Block, 1996). Dengan persamaan Arrhenius, ketika energi aktivasi diketahui, laju
20

degradasi pada suhu rendah dapat digambarkan oleh hasil pengamatan pada suhu

stress condition (Bajaj dkk., 2012).

c. Miscellaneous Accelerants of Stability Testing

Berbagai macam stress selain suhu dan gravitasi dapat menginduksi

ketidakstabilan pada emulsi, misalnya gojogan (agitation) dan getaran (vibration)

yang dapat meningkatkan frekuensi tabrakan antarpartikel dan potensi terjadinya

koalesens. Apabila sifat reologi emulsi adalah shear-thinning system, tendensi

untuk terjadinya koalesens akan lebih besar sebagai akibat dari berkurangnya

viskositas yang menahan pergerakan droplet (Block, 1996).

d. Freeze-Thaw Testing

Pengujian freeze-thaw dilakukan untuk melihat pemisahan fase air dan

minyak akibat pengaruh stress suhu. Freeze-thaw testing dibatasi oleh

ketidakseragaman temperatur yang mungkin terjadi pada sistem emulsi atau

ketidakstabilan komponen penyusun emulsi oleh pengaruh panas (Block, 1996).

7. Pelepasan Zat Aktif dari Emulsi

Kecepatan pelepasan suatu zat dari emulsi bergantung pada tipe emulsinya.

Pada emulsi sederhana A/M, lepasnya zat dapat disebabkan karena proses difusi zat

menembus lapisan minyak sebagai membran permeabel atau karena penipisan

lapisan minyak sehingga tidak ada yang menghalangi keluarnya zat aktif dari

sediaan (Ainurofiq, 2006). Pada emulsi ganda, lepasnya zat aktif juga dapat terjadi

melalui dua mekanisme, yaitu melalui lapisan minyak semipermeabel yang

memisahkan fase air internal dan eksternal sehingga lepasnya solut dari emulsi
21

A/M/A dapat terjadi jika ada aliran osmotik air ke fase internal dan adanya

koalesens, atau melalui lapisan minyak yang bersifat permeabel, dimana pelepasan

terjadi karena difusi dan/atau permeasi dari zat aktif melintasi fase minyak (Aserin,

2008).

Karena masing-masing tipe emulsi memiliki jumlah lapisan barrier yang

berbeda, maka kecepatan pelepasan zat dari emulsi juga berbeda. Pada umumnya,

emulsi sederhana akan lebih cepat melepaskan zat karena hanya memiliki satu

lapisan yang harus ditembus oleh zat untuk dapat keluar dari sediaan. Emulsi ganda

memiliki dua lapisan penghalang keluarnya zat dari sediaan (Benichou dan Aserin,

2008). Selain itu, emulsi ganda yang menggunakan emulgator hidrokoloid

umumnya juga memiliki viskositas tinggi yang memperlambat difusi zat ke luar

dan membantu terciptanya prolonged release (Dwisari, 2012).

Hukum Stokes-Einstein menyatakan hubungan antara koefisien difusi

dengan suhu, jari-jari molekul, dan viskositas medium.

Hukum Stokes-Einstein:

𝑘𝑇
𝐷= (3)
6 𝜋𝑟η

keterangan: D = koefisien difusi

k = konstanta Boltzman

T = temperatur absolut (K)

r = jari-jari molekul zat

η = viskositas

Menurut persamaan (3), koefisien difusi berbanding terbalik dengan

viskositas dan jari-jari molekul zat aktif, dan akan meningkat dengan bertambahnya
22

suhu. Peningkatan suhu medium akan menyebabkan bertambahnya tenaga gerak

molekul zat sehingga proses difusi melalui lapisan film ke dalam larutan menjadi

lebih mudah dan kecepatan pelarutan yang semakin besar akan memberikan

kenaikan gradien konsentrasi yang berujung pada kenaikan kecepatan disolusi

(Ainurofiq, 2006).

Sel difusi Franz tipe vertikal yang dapat digunakan untuk uji pelepasan zat

memiliki tiga bagian, yaitu kompartemen donor, kompartemen aseptor, dan

membran/kulit (Hendriati dan Nugroho, 2012). Uji pelepasan zat dari emulsi dapat

dilakukan dengan metode difusi menggunakan membran sintetis. Salah satu

membran sintetis yang sering digunakan adalah membran porous seperti selofan,

selulosa asetat, dan collodion (Ainurofiq, 2006). Membran porous ini digunakan

untuk menguji pelepasan suatu zat dari basis.

Kecepatan pelepasan obat secara in-vitro dari suatu emulsi dapat

dipengaruhi oleh sifat fisika kimia zat, faktor formulasi, dan faktor uji pelarutan in-

vitro. Sifat fisika kimia yang dapat mempengaruhi pelepasan suatu zat yaitu derajat

kelarutan dan koefisien partisinya. Faktor formulasi yang dapat mempengaruhi

pelepasan zat misalnya konsentrasi emulgator yang digunakan. Faktor uji pelarutan

in-vitro seperti kondisi percobaan juga dapat mempengaruhi pelepasan zat dari

sediaan (Ainurofiq, 2006). Data lepasnya zat dari suatu sediaan dapat dinyatakan

dalam kumulatif zat yang berdifusi, kecepatan absorbsi dari kompartemen donor ke

membran, atau kecepatan pelepasan dari membran ke aseptor (Hendriati dan

Nugroho, 2012).
23

8. Tinjauan Bahan

a. Ponceau 4R

Gambar 3. Struktur Ponceau 4R (JECFA, 2011)

Ponceau 4R atau Brilliant Scarlet (E124, CAS number: 2611-82-7) terdiri

dari trinatrium-2-hidroksi-1-(4-sulfonato-1-naftilazo)-6,8-naftalendisulfonat, zat-

zat warna tambahan, dan natrium klorida dan/atau natrum sulfat sebagai komponen

bukan pewarna yang utama. Ponceau 4R merupakan senyawa azo dengan rumus

kimia C20H11N2Na3O10S3 dan bobot molekul 604,48 g/mol. Ponceau 4R memiliki

sistem konjugasi yang cukup panjang pada strukturnya seperti yang dapat dilihat

pada Gambar 3. Ponceau 4R dapat menyerap sinar tampak dengan panjang

gelombang maksimum antara 505-510 nm. Ponceau 4R adalah salah satu jenis zat

pewarna yang digunakan pada kosmetik dan makanan yang telah mendapatkan

approval dari EU dan WHO. Ponceau 4R berbentuk bubuk merah gelap dengan

kelarutan dalam air pada suhu 200C adalah 120 g/L (JECFA, 2011).

b. Parafin Cair

Parafin cair atau mineral oil adalah cairan transparan, tidak berwarna,

kental, dan tidak berfluoresensi yang diperoleh dari penyulingan petroleum. Parafin

cair tersusun dari hidrokarbon alifatik (C14-C18) dan siklik. Umumnya parafin cair
24

digunakan sebagai emolien, lubrikan, pembawa atau solven, dan adjuvan vaksin

dalam berbagai preparasi dental, kapsul, tablet, transdermal, topikal, bahkan

makanan dan kosmetik . Parafin cair memiliki titik didih >3600C, praktis tidak larut

dalam etanol (95%), gliserin, dan air; larut dalam aseton, benzen, kloroform, karbon

disulfida, eter, dan petroleum eter; dapat campur dengan minyak menguap dan fixed

oils, kecuali minyak jarak. Adanya cahaya dan panas dapat mengoksidasi parafin

cair. Parafin cair sebaiknya disimpan dalam wadah kedap udara, terlindung dari

cahaya, dalam ruangan kering dan sejuk (Rowe dkk., 2009).

c. Span 80

Span 80 atau sorbitan monooleat memiliki rumus kimia C24H44O6 (BM: 429

g/mol) dan termasuk dalam kelompok ester sorbitan. Span 80 merupakan cairan

kental berwarna kuning dengan nilai HLB 4,3, larut atau terdispersi dalam minyak

dan kebanyakan solven organik, tidak larut tetapi terdispersi dalam air. Ester

sorbitan banyak digunakan sebagai surfaktan non-ionik lipofilik. Jika digunakan

sendiri akan menghasilkan emulsi air dalam minyakdan mikroemulsi, tetapi juga

sering digunakan dalam kombinasi dengan polisorbat untuk menghasilkan emulsi

air dalam minyak atau minyak dalam air atau krim dalam berbagai konsistensi. Span

80 banyak digunakan dalam kosmetik, makanan, maupun sediaan farmasetik oral

dan topikal sebagai emulgator, solubilizing agent, dan wetting agent. Span 80

sebaiknya disimpan dalam wadah tertutup rapat dalam ruangan kering dan sejuk

(Rowe dkk., 2009).


25

d. Carboxymethylcellulose Sodium (CMC Na)

CMC Na memiliki bentuk serbuk atau granul putih atau hampir putih, tidak

berbau dan tidak berasa. Karakter utama CMC Na adalah pembentuk viskositas

(Murray, 2009). CMC Na banyak digunakan sebagai stabilizing agent, coating

agent, disintegran pada tablet dan kapsul, dan bahan penambah viskositas yang

umum terdapat pada sediaan oral maupun topikal. Pada konsentrasi 3-6% CMC Na

digunakan sebagai gelling agent. CMC Na praktis tidak larut dalam aseton, etanol

95%, eter, dan toluen, tetapi dapat terdispersi dengan mudah dalam air pada semua

temperatur, membentuk larutan koloidal jernih (Rowe dkk., 2009).

F. Landasan Teori

Emulsi merupakan salah satu pilihan bentuk sediaan yang dapat melepaskan

zat aktif perlahan-lahan atau prolonged release (Ainurofiq, 2006). Zat warna larut

air yang diemulsikan dalam emulsi A/M dapat mengalami pelepasan lambat karena

zat warna terhalang oleh lapisan minyak. Jika zat warna tersebut diemulsikan dalam

emulsi A/M/A, maka akan ada dua lapisan yang menghalangi lepasnya zat warna

dari emulsi, yakni lapisan minyak dan lapisan air eksternal (Benichou dan Aserin,

2008).

Ponceau 4R merupakan zat model yang bersifat larut dan dapat

diformulasikan ke dalam emulsi tipe A/M ataupun tipe A/M/A. Penggunaan Span

80 sebagai emulgator primer telah banyak digunakan karena mampu menghasilkan

emulsi A/M yang stabil dan memiliki toksisitas dan sifat iritan yang rendah (Kim,

2004). Span 80 digunakan untuk menstabilkan emulsi primer baik secara tunggal
26

seperti yang dilakukan oleh Hajda dan Dickinson (1996) dan Ainurofiq (2006), atau

dalam kombinasi dengan emulgator lain seperti Tween 80 (Dwisari, 2012).

Penggunaan CMC Na sebagai penstabil emulsi juga banyak digunakan, misalnya

dalam kombinasi dengan natrium kaseinat (Liu dkk., 2012) dan sebagai gelling

agent dalam sediaan gel topikal (Patel dkk., 2011). CMC Na termasuk golongan

hidrokoloid dan dapat meningkatkan stabilitas emulsi ganda karena membantu

enkapsulasi yang lebih baik pada fase dalam sehingga mencegah pelepasan tidak

terkendali dari bahan yang terjerap (Dwisari, 2012).

Perbedaan tipe emulsi berpengaruh terhadap sifat-sifat fisik dan pelepasan

zat dari emulsi. Pada emulsi ganda A/M/A yang dibuat dengan menggunakan

hidrokoloid sebagai penstabil antara fase dispers A/M dan fase air eksternal,

viskositasnya dapat lebih tinggi dibandingkan dengan emulsi sederhana A/M

karena sifat hidrokoloid yang dapat menaikkan viskositas emulsi (Aserin, 2008).

Viskositas yang tinggi merupakan salah satu faktor yang menyebabkan rendahnya

laju pemisahan emulsi. Dengan kata lain, emulsi akan semakin resisten terhadap

pemisahan fase apabila memiliki viskositas yang tinggi (Ansel, 2005). Sifat fisik

lainnya yang juga dipengaruhi oleh tipe emulsi adalah ukuran droplet. Pada emulsi

sederhana A/M, droplet fase dispers akan berukuran lebih kecil karena hanya terdiri

dari satu fase, yakni fase air. Sedangkan, pada emulsi ganda A/M/A, droplet minyak

akan berukuran lebih besar karena droplet tersebut mengandung droplet air yang

berukuran lebih kecil di dalamnya (Calderon dkk., 2007).

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Ainurofiq (2006), emulsi ganda

A/M/A mampu melepaskan secara lambat zat aktif larut air, yakni natrium salisilat.
27

Kemampuan emulsi ganda A/M/A lebih baik dibandingkan emulsi sederhana A/M

dalam melepaskan zat aktif secara lambat karena emulsi A/M/A memiliki viskositas

tinggi yang menghalangi lepasnya zat aktif dan memiliki lapisan barrier yang lebih

banyak daripada emulsi A/M. Dari penelitian tersebut juga teramati bahwa

pemisahan fase emulsi A/M lebih besar dibandingkan pada emulsi A/M/A dan

viskositasnya juga lebih rendah. Hal ini menunjukkan bahwa stabilitas dan

kemampuan emulsi sederhana A/M dalam melepaskan zat aktif secara lambat

masih lebih rendah dibandingkan emulsi A/M/A.

Untuk mengetahui pengaruh tipe emulsi terhadap sifat-sifat fisik emulsi,

dilakukan pengukuran viskositas, ukuran droplet, dan pemisahan fase. Untuk

mengetahui pengaruh tipe emulsi terhadap pelepasan zat warna, dapat dilakukan uji

pelepasan dengan model membran sintetis yang dilakukan secara in vitro

menggunakan sel difusi Franz tipe vertikal.


28

G. Hipotesis

1. Emulsi A/M dan A/M/A memiliki sifat fisik yang berbeda signifikan. Emulsi

A/M/A yang menggunakan hidrokoloid akan memiliki viskositas lebih besar,

pemisahan fase lebih kecil akibat besarnya viskositas, dan ukuran droplet yang

lebih besar dibandingkan emulsi A/M.

2. Emulsi ganda A/M/A mampu menghasilkan pelepasan zat warna yang lebih

lama dan lebih berpotensi menjadi agen prolonged release dibandingkan emulsi

A/M karena emulsi A/M/A memiliki lapisan barrier lebih banyak. Perbedaan

tipe emulsi berpengaruh secara signifikan terhadap pelepasan zat warna dari

emulsi.

Anda mungkin juga menyukai