Anda di halaman 1dari 5

Pendahuluan

Untuk mengawali tulisan ini, saya ingin memberikan penegasan beberapa hal, yang kemudian akan dicoba
menjadi kerangka pikiran dalam uraian makalah ini. Pertama, tulisan ini hendak membahas pentingnya
warna bagi orang Melayu di Malaysia sebagai norma adat yang harus dipatuhi oleh masyarakatnya. Warna
itu merupakan sistem nilai estetis yang dijadikan pedoman bagi orang Melayu dalam menginterpretasi dan
mengadaptasi dunia kehidupannya. Kedua, tulisan ini membicarakan tradisi lisan mengenai pentingnya
warna yang tetap signifikan, dalam konteks kehidupannya dewasa ini, yang mencakup kelestarian nilai-nilai
warna Melayu dalam menghadapi tantangan zaman serta ketegaran mereka dalam mempertahankannya
terhadap intervensi budaya yang datang dari luar. Melalui nilai dan perwatakan warna mereka tetap
meneruskan tradisi ke Melayuannya.

Ketiga, kajian ini merupakan pengamatan saya sebagai orang luar terhadap budaya orang Melayu di
Malaysia yang saya lakukan lebih kurang selama lima tahun. Dalam posisi ini saya mencoba menghayati
dan berfikir sebagaimana yang dilakukan orang Melayu Malaysia. Berbagai pengalaman yang saya rasakan
selama bergaul dan saya telah pula menjadi bagian dari mereka yang berlanjut terus hingga kini, maka yang
saya pahami tentang masyarakat Melayu adalah mereka hidup dan mengamalkan pelbagai adat
kepercayaan yang bernafaskan Islam. Mereka memilih tetap bertahan sebagaimana kehidupan tradisional
mereka di masa lalu, tetap setia pada adat budaya seperti terungkap pada salah satu pantun mereka: …Jika
orang bergelar itu patut bergajah, dibawa gajah; yang patut berkuda dibawa kuda; dan jika tiada patut
bergajah dan berkuda, tapi ada payung itu ada hijau ada biru, ada merah. Payung kuning untuk anak-anak
raja dan orang-orang besar dengan payung ungu dan merah dan hijau itu untuk sida-sida dan bentara
hulubalang biru dan hitam itu akan payung orang bergelar juga…yang artinya: Kedudukan warna payung
sebagai simbol status dalam budaya tradisional Melayu di Malaysia sebagaimana dapat dikenali para
pemakainya ketika suatu masa dulu.

Citra Warna Dikalangan Masyarakat Melayu Malaysia


Peranan warna, itu tampak dalam kehidupan sehari-hari. Agaknya, keberadaannya ini erat berkaitan dengan
kebutuhan hidup masyarakat Melayu. Perkara adat bagi mereka adalah soal mempertahankan warisan
turun-temurun. Kebutuhan manusia untuk mengungkapkan perasaan melalui keindahan warna tampaknya
berlaku dikalangan masyarakat Melayu?. Tidak ada kepastian. Tidak adanya data tertulis atau prasasti
menyulitkan para peneliti untuk melacak masa silam peranan warna dalam masyarakat Melayu. Tidak
mengherankan bila beberapa peneliti mengemukakan pendapat yang berbeda-beda, berdasarkan spekulasi
dan kesimpulan masing-masing.

Upaya klasifikasi warna yang dikerjakan oleh Siti Zainon (1985), yang menulis buku Getaran, Jalur dan
Warna terhadap warna kuning sebagai simbol status raja, kuning adalah warna raja dan anak raja dari
golongan istana bermakna larangan bagi bukan golongan keturunan raja untuk memakai warna itu.
Sedangkan menurut Sejarah Melayu (1984),… bajunya juga seribu banyaknya, berbagai rupa dan warna,…
Ada juga yang menganggap warna kuning menjadi populer karena begitu seringnya warna itu dipakai
dikalangan kerabat raja dan penghuni istana. Pada mulanya penggunaan warna kuning sangat disukai oleh
mereka yang sudah ratusan tahun turun temurun menetap dikawasan istana.

Sekarang penggunaan warna kuni masih tetap digunakan untuk orang-orang dari keturunan raja dan juga
para petinggi kerajaan di dalam upacara-upacara resmi. Penggunaan warna kuning semakin sering
digunakan, makin banyaknya kegiatan upacara-upacara peresmian yang bersifat protokoler dalam
kehidupan masyarakat Melayu, kini adanya perbedaan berbagai nilai yang mendasar yang membuat
perwatakan warna tampak berbeda. Warna kuning adalah sebuah warna penuh simbolis dalam komunitas
Melayu saat ini yang melambangkan keagungan dan status pemakainya dengan niat khusus.

Memasuki tapak upacara pertabalan raja akan segera disambut dengan panorama kekuning-keemasan,
yang menandai hampir seluruh dekorasi ruangan. Kuning itu menurut kepercayaan masyarakat Melayu
secara tradisional. Pertama adalah lambang keagungan raja-raja yang sering disebut Sultan. Kedua
melambangkan keagungan pimpinan tertinggi dalam struktur pemerintahan di Malaysia yang biasa disebut
sebagai Yang Dipertuan Agong. Yang membedakan keduanya adalah gelar Sultan diperoleh secara turun
temurun sedangkan Agong dipilih oleh majelis raja-raja. Aksesori pelantikan (pertabalan) dicirikan oleh
warna yang serba kuning sedangkan masyarakat biasa dicirikan oleh pakaian hitam atau warna lainnya.
Pengaruh istana raja nampak dalam napas kehidupan sehari-hari para petinggi kerajaan di Malaysia hingga
saat ini. Masyarakat Melayu berusaha untuk melestarikan kebiasaan ini. Mereka mepunyai wawasan luas
tentang arti dan peranan warna kuning ini, segala tindakan mereka berpedoman pada tata cara dan
kebiasaan yang, selain sudah menjadi kebiasaan dan adat budaya, juga tabu untuk dilanggar.

Sejak dahulu, masyarakat Melayu mempunyai tradisi dan tatanan adat yang kuat. Terpelihara sejak ratusan
tahun hingga sekarang, mitologi menjadi nilai turun temurun dan berlaku sebagai inti adat-istiadat milik
warganya. Perkara ini telah ujud sejak berabad-abad yang lalu, malahan dipercayai ujud sejak zaman pra
sejarah. Menurut Siti Zainon (1985), warna merupakan amalan yang telah digunakan sejak permulaan
peradaban manusia, manusia waktu itu memakai ekstrak dari tumbuh-tumbuhan bagi berbagai kebutuhan
hidup sehari-hari, warna digunakan sebagai media komunikasi dan juga digunapakai dalam perobatan
masyarakat Melayu lama. Dari segi estetis terdapat hubungan yang erat antara kreativitas dan unsur-unsur
warna serta betapa pentingnya peranan warna dalam proses kreatif manusia Melayu ketika suatu masa dulu.

Kajian-kajian mengenai simbol warna dalam kebudayaan manusia (Franz Boas : 1927; Turner 1967; Peter
Belwood 2000; Siti Zainon 1985) mendapati bahwa warna mempunyai makna dan arti tertentu yang
diproyeksikan sebagai lambang dalam kehidupan manusia. Simbol warna adalah sesuatu yang dapat
mengekspresikan atau memberi makna – sebuah warna, suatu konstitusi, suatu lambang. Banyak simbol
warna berupa objek-objek fisik yang telah memperoleh makna kultural dan dipergunakan untuk tujuan-tujuan
yang bersifat simbolik ketimbang tujuan-tujuan instrumental. Suatu bendera, misalnya, sesungguhnya tidak
lain hanyalah sepotong kain berwarna namun dihormati dengan suatu upacara yang khusuk, dan bias
membangkitkan rasa kebanggan, patriotisme, persaudaran. Dalam masa perang, bendera musuh bisa
menimbulkan rasa benci dan amarah yang hebat (Radael Raga Maran, 2000).

Simbol-simbol warna orang Melayu pada zaman dulu menampakkan kepercayaan, nilai-nilai dan norma-
norma kultural dan mengandung banyak arti. Warna digunakan secara meluas dalam masyarakat Melayu,
warna biasanya berupa barang sehari-hari, barang berguna yang sudah memperoleh arti khusus. Warna-
warna tertentu pada masyarakat Melayu menunjukkan status dan pangkat seseorang, kekayaan dan gaya
hidup pemiliknya. Sementara di lingkungan kebudayaan lain, seekor kerbau dengan warna tertentu yang
membangkitkan perasaan serupa.

Jika warna pada masyarakat Melayu Malaysia adalah sebuah representamen, maka ia secara potensial
dapat berhubungan dengan tanda-tanda lain sebagai interpretannya, misalnya saja warna kuning pada
gilirannya akan berkedudukan sebagai sebuah lambang status seseorang. Suatu warna, misalnya memiliki
hubungan ikonik dengan warna raja atau pucuk pimpinan tertinggi dari suatu institusi Diraja Malaysia. Apabila
kita secara khusus hendak membaca mitos-mitos yang bersifat citrawi, kita lebih dahulu harus membedakan
dua buah tipe pesan yang terkandung didalam sebuah citra. Citra itu sendiri sebagai pesan ikonik (iconic
message) yang dapat kita lihat (Kris Budiman, 2003). Citra warna Melayu menurut mitos ini biasanya
dituturkan lewat petatah-petitih dan serangkap pantun yang dilantunkan para tetua adat Melayu, untuk
menyampaikan pesan-pesan leluhur agar taat kepada adat. Apalagi, adat dianggap bernilai sakral, dan
sudah pasti diyakini sebagai pedoman hidup yang mengatur perilaku hidup masyarakat Melayu untuk
mencapai kebahagiaan, kedamaian dan jauh dari malapetaka. Dalam konteks ini, warna adalah satu dari
simbol dari citra peradaban masa lalu. Warna adalah media terawal sekali yang digunakan oleh masyarakat
Melayu. Warna memamerkan lambang dan nilai-nilai moral serta kepakaran manusia zaman dulu
membentuk citra dan makna yang indah. Alam menjadi sumber inspirasi bagi seniman-seniman Melayu
dalam menghasilkan seni rupa, warna yang dihasilkan berasal dari alam lingkungan dimana mereka tinggal
(Raja Fauziah, 2001).

Menurut Syed Ahmad Jamal (1992), warna memainkan peranan yang penting dalam kebudayaan Melayu,
mereka menggunakan ekspresi warna dalam berbagai simbol dan estetika, masyarakat Melayu gemar
terhadap warna yang cerah, seperti warna kuning. Warna kuning penting dan salah satu warna yang populer
dikalangan orang Melayu sebagai warna diraja yang penuh kebesaran. Disamping itu, orang-orang Melayu
percaya bahwa warna kuning sebagai warna diraja, warna kuning sebagai lambang kekuasaan raja-raja
waktu dulu. Oleh karena itu, warna kuning pada zaman dulu jelas memperlihatkan perbedaan antara warna
rumah orang biasa dengan istana raja, ini dapat disebut pula sebagai bukti bahwa adanya perbedaan antara
warna milik raja dengan golongan hamba atau rakyat biasa. Sekiranya adat ini dilanggar mereka akan dicap
sebagai menderhaka. Dalam hikayat-hikayat lama perintah dari raja bagi rakyatnya yang memakai warna
kuning seperti pakaian atau rumah serta peralatan lainnya yang berwarna kuning akan dihukum sula, sejenis
hukuman yang dilakukan kepada pelanggar adat dengan menusukkan kayu yang telah diruncingkan
ujungnya ke lubang dubur pesalah hingga mati.

Jika nilai-nilai, norma-norma adalah suatu aturan khusus, atau seperangkat peraturan tenang apa yang
harus dan apa yang tidak harus dilakukan oleh masyarakat Melayu yang bukan dari golongan atau kerabat
raja. Kebiasaan menggunakan warna kuning yang diulang dalam bentuk sama, kekal hingga ke hari ini dalam
upacara-upacara mencerminkan betapa kukuhnya perilaku manusia menjaga adat tradisinya. Misalnya
kebiasaan menggunakan warna kuning dikalangan masyarakat di Malaysia itu berbeda. Seorang Sultan atau
Agong, misalnya berwewenang memakai pakaian warna kuning atau aksesori kelengkapan upacara, tapi
sebaliknya rakyat biasa tentu tidak bisa menggunakan warna kuning yang digunakan oleh Sultan atau Agong
dalam satu pesta resmi.
Pantun dibawah ini menggambarkan pemakaian pakaian istiadat istana yang lengkap. Hal itu tercermin
dalam serangkap pantun yaitu :

Kain kuning batu telepuk,


Ketiga selendang madukara,
Emas kuning jangan merajuk,
Mari ditimbang dengan nyawa.

Jika ada orang Melayu yang melanggar larangan maka para pimpinan adat akan memberi peringatan agar
mereka kembali mengikuti tatacara yang diwarisinya. Dariuraian diatas tampak bahwa, dilihat dalam konteks
kebudayaan, pada seluruh kehidupan orang Melayu (jika sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat
Melayu) selalu berorientasi pada adat budaya dari para nenek moyangnya. Artinya, alam dan lingkungannya
sebagai sumber daya kehidupan yang dimanfaatkan sesama orang Melayu dalam pelestarian adat dan
kehidupan sehari-hari bagi kesejahteraan masyarakatnya. Pelestarian adat akan tampak pada upacara-
upacara yang bersifat seremonial seperti pertabalan (pelantikan) Sultan, pertabalan Agong dan berbagai
aktivitas harian mereka. Penggunaan warna-warna yang khas, seperti kuning menampakkan kepercayaan,
nilai-nilai dan norma-norma kultural mempunyai arti yang spesifik. Hal ini membuktikan arti pentingnya warna
dalam kehidupan mereka dari dulu hingga saat ini.

Itulah yang membuat masyarakat Melayu mampu bersahabat dan melestarikan adanya. Bagi mereka, adat
leluhur tidak terbantah serta tak boleh luntur dalam era apapun. Ketaatan dalam menjalankan adat budaya
serta ketaatan warga pada adat terasa jelas dalam pelaksanaan berbagai upacara ritual. Mulai dari upacara
kelahiran, pendewasaan, ritus pengantin, sampai prosesi kematian. Seluruh upacara itu dimaksudkan untuk
memuliakan adatnya. Upacara lingkaran hidup merupakan rangkaian ritual yang menyertai peralihan dari
satu status ke status lainnya yang dialami oleh seseorang selama perjalanan hidupnya. Misalnya, seorang
remaja yang akan memasuki kehidupan berumah tangga. Perubahan status dalam masyarakat Melayu tak
boleh dilewatkan begitu saja. Tahapan demi tahapan merupakan kejadian yang selalu diperhatikan dan,
malahan ditandai dengan berbagai warna yang menyertainya. Sebab, bagi mereka perubahan status selalu
memiliki aspek sakral.

Kearifan untuk memahami budaya warna, antara lain pada upacara pertabalan diraja, dan prosesi
pengobatan. Begitu juga dalam prosesi mengobati orang yang sakit di Kelantandan Terengganu yang
disebut Main Teri, yang semarak penuh tuturan serta diiringi pantun bermusik rebab. Sebuah upacara yang
mereka maksudkan untuk mengobati orang sakit kena guna-guna, gangguan hantu dan penyakit yang
berhubungan dengan alam gaib. Upacara ini dilaksanakan dengan pelbagai warna sebagai terapi. Tok teri
menyiapkan diri dengan memakai kain kuning di pinggang, menyuci dan membersihkan diri dengan asap
kemenyan dan membaca jampi serta mantera. Zaman mulai berubah. Namun sehingga sekarang mereka
mampu untuk mempertahankan budaya – dengan mengamalkan cara-cara tradisional dalam arus kehidupan
modern. Mereka terus bertahan melestarikan, serta mengolah berbagai warna untuk kesejahteraan hidupnya
sebagai titipan leluhurnya.

Dalam suasana seperti itulah, budaya Melayu dapat bertahan dan menumpukkan harapan pada
kelangsungan adat dari fenomena globalisasi. Globalisasi akan bermanfaat bagi penerima dan pemberi jika
tatanan dunia baru disadari oleh jaring-jaring hubungan kekuasaan yang horisontal. Setiap orang, butuh
informasi; kepentingan yang besar tergantung pada relasi dengan yang kecil, karena informasilah yang
menandai logika relasi diantara keduanya (Rohendi Rohindi, 2000). Selanjutnya dikemukakan bahwa
globalisasi kebudayaan seyogianya dihadapi dengan melihat diri sendiri, membandingkan diri dengan orang
lain, menilai dan merenungkan asumsi-asumsi mendasar berbagai pemikiran dan cakrawala.

Bentuk kepatuhan pada adat dan tradisi leluhur, antara lain, tergambar pada orang-orang Melayu diseluruh
negeri Malaysia yang selalu menggunakan berbagai warna. Adat dan budaya memang tidak membolehkan
penggunaan warna tertentu seperti warna kuning mas. Dimana pun ada warna kuning keemasan sudah bisa
dipastikan di tempat itu adalah ada keramaian atau ada pesta diraja. Ini sangat berbeda dengan masyarakat
lain di Nusantara. Di Indonesia, misalnya, warna kuning, digunakan oleh Golkar untuk menandai partainya.
Satu masa dulu pernah dimana-mana demam kuningisasi. Lihatlah bagaimana partisipan Golkar itu
mewarnai ajang kampanye ketika pesta pemilihan wakil rakyat digelar di Republik ini. Mereka selalu
memakai kuning – semacam identitas partai. Mereka berkampanye, baik untuk pertisipan hingga ke wakil
rakyatnya, guna mencapai kemenangan dalam Pemilu dari tahun ke tahun. Menurut Kris Budiman (2003),
objek yang sama bahkan kalau dipakai untuk tujuan yang sama pun bisa berbeda sekali artinya dalam
lingkungan kebudayaan yang berbeda.

Mengetahui pola penataan secara tradisional atas unsur-unsur alam sesuai dengan tata nilai, sikap sosial
dan keyakinan mereka tetap hidup dan kehidupan yang dapat menjadi indikator pencagaran sumber daya
alam skala mikro, misalnya usaha mencagaran dan perlindungan terhadap budaya adat dan kebiasaan
tradisional yang terus diamalkan dalam masyarakat modern diera globalisasi ini. Pengetahuan tentang jagat,
seperti diungkapkan oleh konsep warna dalam mitologi Melayu, tampaknya tidak hanya tentang dunia nyata
tetapi juga dunia abstrak, kehidupan mendatang.

Dapat dikatakan, bahwa adat-istiadat masyarakat Melayu di Semenanjung Malaysia ini merupakan
penjabaran dari pandangan hidup dan budaya adat yang mereka anut. Kehidupan sehari-hari
masyarakatnya berdasarkan pada adat yang secara turun temurun, sehingga kehadirannya sebagai
pelengkap budaya diakui sejak lama sebagai bukti pentingnya warna dalam kehidupan sehari-hari. Dewasa
ini warna kuning mempunyai pengaruh yang besar terhadap manusia Melayu di Malaysia, tidak hanya
terhadap cara hidup manusia tetapi juga memberi makna kepada kehidupan budayanya. Warna kuning yang
umumnya menggambarkan adat istiadat dan perasaan masyarakat Melayu disampaikan dengan bahasa
lisan.

Pewarisan kemampuan seperti ini dilakukan secara turun temurun dan hingga kini masih tetap
dipertahankan. Sisi lain dari kemampuan yang dimiliki masyarakat Melayu di Malaysia adalah
menyampaikan bahasa lisan. Bagi mereka bahasa lisan merupakan satu-satunya sarana untuk
menyampaikan pengetahuan guna dapat dirujuk kembali seterusnya. Hal ini dapat kita saksikan pada tetua-
tetua adat yang dapat melantunkan pantun yang berbait-bait panjangnya. Demikian pula persepsi dan
respon masyarakat Melayu pedesaan terhadap warna kuning, adalah sebagai media yang mempu
mengakomodasi kebutuhan ritual dan sekaligus kebutuhan adanya. Ibu bapa mengajarkan kepada anak-
anaknya bagaimana menggunakan warna-warna, meracik warna dengan bahan-bahan dari alam dimana
mereka tinggal. Mereka akan tetap mempertahankan dan menyelenggarakan penggunaan warna sebagai
bagian dari kebutuhan integratifnya, sepanjang warna itu menampung pandangan, aspirasi, dan gagasan
sesuai dengan kebudayaan yang mereka anut.

Pandangan, aspirasi, dan gagasan masyarakat Melayu lazim diidentikkan dengan tradisi yang diciptakan
pemegang kekuasaan dan pemerintah. Bagi mereka, warna memiliki dua fungsi selain sebagai lambang
status juga menjadi lambang adat. Dengan adanya bahasa lisan, pengetahuan yang telah diperoleh dan
disimpan dapat dengan mudah dituturkan melalui berbagai pengetahuan di zaman dahulu Siti Zainon (1985)
menyatakan bahwa pada umumnya orang Melayu menggunakan warna untuk berhubungan dengan
kegiatan sehari-hari, misalnya warna kuning sebagai lambang diraja yang dikomunikasikan secara lisan dan
memiliki keindahan estetik yang penuh makna. Ungkapan orang Melayu dalam bentuk warna dalam berbagai
barang-barang kerajinan tangan memainkan peranan yang penting dalam kehidupan mereka. Hal ini sejajar
dengan peranyataan S. Husen Ali (1985), bahwa dalam hirarki pada zaman itu, kedudukan itu ditentukan
oleh tradisi. Mereka diakui sebagai pemimpin. Masalah politik, ekonomi, dan kekuasaan militer dikendalikan
oleh mereka. Jelas bahwa pimpinan tertinggi dari semua kekuasaan yang ada berada di tangan Sultan
Sendiri. Warna kuning salah satu hakikat dari penciptaan dan nilainya adalah sebagai media pengungkapan
dan penyampaian ekspresi kreatif dari dulu hingga ke hari ini untuk memuliakan rajanya. Dengan demikian
relasi dengan raja, semakin erat hubungannya. Peranan raja meskipun di zaman kontemporer, namun tetap
memainkan peranan penting dalam kehidupan manusia Melayu di Malaysia. Dengan perkataan lain adat
diraja sebagai gejala universal dalam kehidupan manusia pada dasarnya menunjukkan adanya kelestarian
budaya tempatan.

Menurut Nakula (1990), Perwatakan dan nilai warna kuning yang dihasilkan oleh pandai tukang Melayu
mengimplikasikan kerja-kerja kreatif, memiliki kekhasan ia merupakan kemahiran yang tinggi sebagai hasil
daya kreasi, mengikuti rentak alam dimana ia berada untuk tujuan pengabdian kepada raja. Justeru sifatnya
yang demikian itu pada suku-suku bangsa tertentu memberi kekuatan magis kepada kemahiran bertukang
yang harus dihafal tanpa salah supaya efektif. Tak ada tukany yang melafalkan patron warna kuning dengan
membacanya dari buku atau tulisan. Kiranya tidak terbantahkan bahwa hal ini secara mendalam berakar
dalam kondisi dan situasi pandai tukang mengambil sikap tertentu demi keselarasan hubungannya dengan
kerabat diraja.

Dapat dipastikan bahwa dari dulu hingga sekarang masyarakat Melayu telah menggunakan bahasa lisan
untuk melestarikan budaya adat, lebih-lebih lagi kalau itu berupa petuah yang ingin dialihkan kepada orang
lain, misalnya generasi berikutnya. Daya ingat menjadi sangat penting dan sangat dihargai dan diusahakan
seperti dikatakan dalam bait-bait pantunMelayu. Hingga kini pun sastra lisan masih dilestarikan di
Semenanjung Malaysia, khususnya dalam berbagai upacara adat. Menurut A. Aziz Deraman (2003), adat
budaya Melayu disampaikan secara lisan. Dalam peristiwa-peristiwa ini tradisi lisan dapat dikatakan
merupakan penjabaran dari pandangan hidup dan tata ajaran orang-orang Melayu. Aziz memperkirakan
bahwa kehidupan sehari-hari masyarakat Melayu didasarkan pada adat dan agama Islam yang secara turun
temurun harus dijaga kelestariannya. Karena itu, kehidupan budaya masyarakat Melayu itu menjadi tetap,
sehingga dalan pelisanannya tidak lagi akan terjadi perubahan.
Struktur sosial yang ada didalam masyarakat Melayu memang erat kaitannya dengan tata religi mereka,
yang akhirnya norma hidup utama, seperti kehidupan yang dijalani oleh ornga Melayu – yang diajarkan
kepada anak-anak yang menjadi dasar bagi warga komunitas bersangkutan untuk tujuan alih generasi.
Karena sangat kuatnya kepercayaan terhadap budaya adat warisan leluhurnya.

Penutup
Masyarakat Melayu di Malaysia beserta perilaku sosial budayanya dan unsur-unsur biofisiknya dianggap
merupakan satu kesatuan padudalam sistem biosfer Melayu. Kearifan dalam melaksanakan berbagai
peraturan adat, dan kepercayaan masyarakat Melayu terhadap nilai-nilai dan perwatakan tercermin dalam
kebiasaan masyarakat ini dalam kehidupan sehari-harinya. Disisi lain, bahasa lisan yang dimiliki bersama
oleh suatu komunitas, justeru menyebabkan adat budaya itu tetap terjaga kelestariannya dari dulu hingga
kini. Upaya orang Melayu untuk mempertahankan tradisi lisannya ditengah arus modernisasi, menjadi dasar
bagi warga komunitas bersangkutan untuk tetap menjunjung tinggi pesan-pesan leluhurnya melalui
pentingnya penggunaan warna sudah menjadi tradisi mereka yang penuh makna dan mempunyai nilai yang
luhur. Meskipun demikian, sebagai suatu masyarakat yang sangat maju dan modern mereka tetap
menjunjung tinggi adat budaya. Antara komponen manusia dengan segala gatra sosial – ekonomi –
budayanya terdapat interaksi yang lebih bersifat sinerjetik dengan komponen sumber daya alam seperti
pelestarian adat dan tradisinya.

Saya mengharapkan melalui seminar ini, kita dapat berkongsi maklumat, bertukar-tukar fikiran dan input
dengan pakar-pakar dalam bidang yang berkaitan mengenai peranan warna yang berkaitan dengan nilai-
nilai perwatakan Melayu melalui citra warna yang telah diwariskan dari satu generasi ke generasi. Citra
warna dalam masyarakat Melayu di Malaysia telah menjadi identitas diri dan khazanah ekspresi budaya yang
telah dilestarikan sampai hari ini.

Rujukan
Abdullah Muhammed/Nakula (1990). “Warisan Kelantan IX”. Monograd Perbadanan Muzium Kelantan: Kota
Bharu.

A. Aziz Deraman (2003), Manusia & Kebudayaan Malaysia. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Bellwood, Peter. (2000). Eprasejarah Kepulauan Indo-Malaysia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Kris Budiman. (2003). Semiotika Visual. Yogyakarta: Penerbit Buku Baik.

Maman S, Mahayana. (2001). Akar Melayu. Indonesian: Magelang.

Muhammad Haji Saleh (2000). Puitika Sastera Melayu. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Raja Fauziah (2001). Seni Alam dan Kenegaraan. Kuala Lumpur: Balai Seni Lukis Negara.

Rohendi Rohidi, (2000). Kesenian dalam Pendekatan Kebudayaan. STSI Press Indonesia: Bandung.

S. Husen Ali (1985), Rakyat Melayu Nasib dan Masa Depannya. Jakarta: PT Inti Sarana Aksara.

Syed Ahmad Jamal (1992) Rupa dan Jiwa. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Siti Zainon Ismail. (1985). Getaran, Jalur dan Warna. Petaling Jaya: Penerbit Fajar Bakti.

----------------------. (1991). Warna dalam adat Melayu Tradisi. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Sumber:
Makalah disampaikan dalam Seminar “Pluralitas dan Identitas Melayu” dan Lokakarya “Revitalisasi Seni
Tradisi Melayu” di Senggarang, Tanjungpinang, Kepulauan Riau, Tanggal 28 Juli – 1 Agustus 2004.

Anda mungkin juga menyukai