Judul
Asma Pada Anak Usia 13 tahun Dengan Faktor Risiko Riwayat
Alergi, Kondisi Lingkungan Rumah yang Lembab dan Berdebu
Puskesmas Kendalkerep
Periode 5 Maret 2018 – 1 April 2018
Pembimbing:
dr. Alidha Nur Rakhmani M.Sc
dr. Aulia Nur Aini
dr. Dewi Kurniati
1
HALAMAN PERSETUJUAN
Oleh:
Alfin Arifullah
NIM. 150070200011205
2
Tanggal kunjungan pasien ke Puskesmas : 20 Februari 2018
No. Rekam Medis :-
Identitas Pasien:
Nama : An. Amrizal
Umur : 13 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Jl Hamid rusdi 3b
Agama : Islam
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : Pelajar
Status perkawinan : Belum menikah
Sistem : BPJS
pembayaran
3
Keluhan lain yang dirasakan saat ini
Tidak ada keluhan lain saat ini. Selain sesak pasien juga mengeluh batuk kering
sejak 2 hari yang lalu. Pasien tidak minum obat batuk.
Pasien mengonsumsi salbutamol sebanyak 3 kali sehari saat kambuh. Akan tetapi pasien
lupa dosisnya.
4
pasien biasanya tidur sekitar jam 22.00. Pasien mengaku sering mengonsumsi jajanan yang
tidak sehat, dan jarang sarapan
Pemeriksaan Fisik
Status Generalis:
5
Thorax Inspeksi : bentuk dada normal, simetris (statis dan dinamis), tidak
didapatkan luka maupun jaringan parut.
Cor
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis teraba di intercostal space V
midclavicular line sinistra
Perkusi : batas jantung kesan normal
Auskultasi : denyut jantung reguler, S1S2 tunggal, murmur (-),
gallop (-)
Pulmo
Inspeksi : gerakan dinding dada simetris, retraksi (-) intercostal
Palpasi : gerakan dinding dada simetris
6
Extremitas Pemeriksaan Atas Bawah
Extremitas Kanan Kiri Kanan Kiri
Akral Hangat Hangat Hangat Hangat
Anemis - - - -
Ikterik - - - -
Edema - - - -
Sianosis - - - -
Capillary Refill Time <2 <2 <2 <2
detik detik detik detik
Pemeriksaan Penunjang :
-
Diagnosis Holistik
Aksis 1 - Aspek Personal:
Alasan Kedatangan: Sesak disertai mengi
Persepsi: Pasien menganggap keluhan sesak karena kelelahan dan suhu
udara yang dingin
Harapan: Pasien ingin keluhan sesak segera hilang
Kekhawatiran: Pasien khawatir jika sesak dapat menganggu aktivitas sehari-
hari sehingga pasien tidak bisa sekolah
Upaya: Datang ke Puskesmas bersama ibunya untuk menghilangkan sesak
7
Kondisi biologis : pasien riwayat persalinan premature dengan usia kehamila
28-30 minggu dengan faktor resiko riwayat alergi makanan dan minuman
dingin.
Perilaku / Gaya hidup : Pasien sering tidur di lantai, terdapat banyak
perabotan yang jarang dibersihkan di dalam rumah sehingga menjadi sarang
debu rumah, dan sistem ventilasi rumah yang kurang baik.
Definisi
Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan banyak sel
dan elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hiperesponsif jalan napas yang
menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat dan
batuk-batuk terutama malam dan atau dini hari. Episodik tersebut berhubungan dengan
obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau
tanpa pengobatan. (PDPI, 2003)
Hal-hal yang dapat memicu atau memperberat asma diantaranya adalah infeksi virus,
alergen domestik maupun okupasi seperti house dust mite, serbuk sari, merokok, olahraga,
udara yang dingin dan stres. Gejala asma dapat memburuk pada malam hari atau pasien
dapat terbangun di malam hari karena sesak. Beberapa obat yang dapat memicu asma
diantaranya adalah beta bloker dan NSAID. Asma eksaserbasi merupakan hal yang biasa
terjadi pada pasien asma, terutama pada pasien dengan asma yang tidak terkontrol atau
pada pasien dengan resiko tinggi (GINA, 2017).
8
Epidemiologi
Asma merupakan sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian di Indonesia, hal
itu tergambar dari data studi survei kesehatan rumah tangga (SKRT) di berbagai propinsi di
Indonesia. Survei kesehatan rumah tangga (SKRT) 1986 menunjukkan asma menduduki
urutan ke-5 dari 10 penyebab kesakitan (morbiditi) bersama-sama dengan bronkitis kronik
dan emfisema. Pada SKRT 1992, asma, bronkitis kronik dan emfisema sebagai penyebab
kematian (mortaliti) ke-4 di Indonesia atau sebesar 5,6 %. Tahun 1995, prevalensi asma di
seluruh Indonesia sebesar 13/ 1000, dibandingkan bronkitis kronik 11/ 1000 dan obstruksi
paru 2/ 1000. (PDPI, 2003)
Patofisiologi
Pada sekitar 70 persen pasien di bawah usia 30 tahun, asma disebabkan oleh
hipersensitivitas, terutama pada serbuk sari tanaman. Pada orang tua, penyebabnya hampir
selalu hipersensitivitas terhadap jenis iritasi non-alergi di udara, seperti iritasi pada asap.
Orang dengan alergi cenderung membentuk antibodi IgE dalam jumlah besar, dan antibodi
ini menyebabkan reaksi alergi saat bereaksi dengan antigen spesifik. Pada asma, antibodi
IgE menempel pada sel mast yang ada di interstitium paru yang berhubungan erat dengan
bronkiolus dan bronkus kecil. Ketika orang yang menderita asma menghirup alergen,
antigen akan bereaksi dengan antibodi yang menempel dengan sel mast dan menyebabkan
sel mast melepaskan histamin, zat anafilaksis yang bereaksi lambat (yang juga
mengandung leukotrien), faktor kemotaksis eosinofilik, dan bradikinin. Efek kombinasi dari
semua faktor ini, terutama zat anafilaksis yang bereaksi lambat, akan menyebabkan edema
lokal di dinding bronkiolus kecil, sekresi mukus kental ke lumen bronkiolus, dan spasme otot
polos bronkiolus. Hal-hal tersebut menyebabkan resistansi saluran napas meningkat. Pada
asma diameter bronkiolus menjadi lebih sempit saat ekspirasi, dikarenakan usaha ekspirasi
yang menekan bagian luar dari bronkiolus dpat menyebabkan kolaps bronkiolus. Oleh
karena itu pasien asma dapat melakukan inspirasi secara adekuat namun mengalami
kesulitan saat ekspirasi. Secara klinis akan didapatkan penurunan maximum expiratory rate
dan penurunan waktu volume ekspirasi (Hall dan Guyton, 2011).
Kapasitas residu fungsional dan volume residu paru meningkat selama serangan
asma akut karena kesulitan mengeluarkan udara dari paru-paru. Selain itu, selama kurun
9
waktu bertahun-tahun, terkadang dada akan membesar secara permanen, menyebabkan
"barrel chest", dan kapasitas residu fungsional dan volume residu paru-paru menjadi
meningkat secara permanen (Hall dan Guyton, 2011). Penurunan FEV1 dapat ditemukan
pada berbagai penyakit paru, namun penurunan rasio FEV1 terhadap FVC mengindikasikan
limitasi aliran udara. Rasio normal FEV1/FVC lebih dari 0,75 hingga 0,8 dan biasanya lebih
dari 0,9 pada anak-anak. Variasi dapat ditemukan pada pemeriksaan spirometri dalam satu
hari, hari ke hari, tiap kunjungan, tiap musim atau dengan tes reversibilitas. Pada tes
reversibilitas dianggap reversibel jika ada peningkatan yang cepat pada FEV1 sebesar
>12% atau PEF >10% beberapa menit setelah inhalasi bronkodilatior rapid action seperti
salbutamol 200-400 mcg atau perbaikan dalam beberapa hari atau minggu setelah
penggunakaan kontroler seperti steroid inhalasi. Selain itu bisa didapatkan penurunan
fungsi paru setelah olahraga atau pada tes provokasi bronkus. Penurunan fungsi paru pada
infeksi paru tidak mengindikasikan asma dan dapat terjadi pada pasien sehat dan PPOK
(GINA, 2017).
Faktor Risiko
Risiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor pejamu (host factor)
dan faktor lingkungan. Faktor pejamu disini termasuk predisposisi genetik yang
mempengaruhi untuk berkembangnya asma, yaitu genetik asma, alergik (atopi) ,
hipereaktiviti bronkus, jenis kelamin dan ras. Faktor lingkungan mempengaruhi individu
dengan kecenderungan/ predisposisi asma untuk berkembang menjadi asma,
menyebabkan terjadinya eksaserbasi dan atau menyebabkan gejala-gejala asma menetap.
Termasuk dalam faktor lingkungan yaitu alergen, sensitisasi lingkungan kerja, asap rokok,
polusi udara, infeksi pernapasan (virus), diet, status sosioekonomi dan besarnya keluarga.
Interaksi faktor genetik/ pejamu dengan lingkungan dipikirkan melalui kemungkinan
pajanan lingkungan hanya meningkatkan risiko asma pada individu dengan genetik asma,
baik lingkungan maupun genetik masing-masing meningkatkan risiko penyakit asma.
(PDPI, 2003)
Klasifikasi Asma
10
Penilaian Derajat Asma
11
Untuk menilai derajat asma digunakan penilaian dengan sistem skoring dengan Asthma
Control Quistionnaire (ACQ) dan Asthma Control Test (ACT). ACQ memiliki range dari 0-6
(Makin tinggi makin buruk). Skor 0-0,75 diklasifikasikan sebagai well controlled, skor 0,75-
1,5 merupakan area abu-abu dan skor >1,5 merupakan poorly controlled. ACT memiliki
range skor 5-25 (semakin tinggi semakin baik). Skor 20-25 diklasifikasikan sebagai well
controlled, 16-20 not well controlled dan 5-15 very poorly controlled (GINA, 2017).
12
Tatalaksana
Program penatalaksanaan asma, yang meliputi 7 komponen :
1. Edukasi
2. Menilai dan monitor berat asma secara berkala
3. Identifikasi dan mengendalikan faktor pencetus
4. Merencanakan dan memberikan pengobatan jangka panjang
5. Menetapkan pengobatan pada serangan akut
6. Kontrol secara teratur
7. Pola hidup sehat (PDPI, 2003)
Pengobatan Asma
Step 1 : short acting beta agonist (SABA) ketika serangan tanpa kontroler
Step 2 : inhaled corticosteroid (ICS) dosis rendah sebagai kontroler dan SABA
ketika serangan
13
Step 3 : ICS / long acting beta agonist (LABA) dosis rendah untuk kontroler dosis
rendah dan SABA ketika serangan
Step 4 : ICS/formoterol dosis rendah atau ICS/LABA dosis sedang sebagai
kontroler dan SABA saat serangan
Step 5 : Rujuk (GINA, 2017)
14
Tatalaksana Asma Eksaserbasi
15
26 hingga 52) dan fase pseudoglanduler (hari ke 52 hingga akhir minggu ke-16 kehamilan),
yang berikutnya adalah fase kanalikuler (17 hingga 26 minggu kehamilan), fase sakuler (26
hingga 36 minggu kehamilan) dan terakhir adalah fase alveolar (36 minggu sampai 24 bulan
postnatal). Setelah lima tahapan perkembangan paru, paru memasuki tahapan postnatal
growth pada usia 2-18 tahun. (Jobe, 2009)
Surfaktan adalah suatu senyawa percampuran yang dapat menurunkan tegangan
permukaan (atau tegangan antar permukaan) antara dua zat cair atau antara zat cair
dengan zat padat. Surfaktan pada paru manusia merupakan senyawa lipoprotein dengan
komposisi yang kompleks. Surfaktan dibuat oleh sel alveolus tipe II yang mulai tumbuh pada
gestasi 22-24 minggu dan mulai mengeluarkan keaktifan pada gestasi 24-26 minggu, yang
mulai berfungsi pada masa gestasi 32-36 minggu. Produksi surfaktan pada janin dikontrol
oleh kortisol melalui reseptor kortisol yang terdapat pada sel alveolus type II. Produksi
surfaktan dapat dipercepat lebih dini dengan meningkatnya pengeluaran kortisol janin yang
disebabkan oleh stres, atau oleh pengobatan betamethasone atau deksamethason yang
diberikan pada ibu yang diduga akan melahirkan bayi dengan defisiensi surfaktan atau
kehamilan preterm 24-34 minggu.(Sherwood, 2010)
Prematuritas merupakan salah satu penyebab mortilitas dan morbiditas pada bayi. Salah
satu penyebab kematian pada bayi prematur adalah respiratory distress syndrome (RDS).
RDS berhubungan dengan struktur dan fungsi paru yang imatur. Imaturitas struktur dan
fungsi paru akan mengurangi produksi surfaktan oleh sel alveolar tipe II sehingga terjadi
defisiensi surfaktan dan mengakibatkan RDS. Rasio lecithin/sphingomyelin (L/S)
merupakan gold standard pemeriksaan maturitas paru dari cairan amnion. Paru janin imatur
jika rasio L/S. (Mwansa, 2010)
Faringitis Akut
Faringitis dapat terjadi dengan tingkat keparahan yang berbeda. Pada infeksi ringan dapat
ditemukan ketidaknyamanan di tenggorokan, sedikit malaise dan demam ringan. Terjadi
kongesti pada faring tetapi tidak ada limfadenopati. Infeksi sedang dan berat memiliki
manifestasi nyeri tenggorokan, disfagia, sakit kepala, malaise dan demam tinggi. Pada
faring akan tampak eritema, eksudat serta pembesaran tonsil dan folikel limfoid pada
dinding faring posterior. Pada kasus yang sangat parah akan ditemukan edema palatum
mole dan uvula dengan pembesaran kelenjar getah bening servikal. Sulit untuk
16
membedakan infeksi virus dari infeksi bakteri dari pemeriksaan klinis, namun, infeksi virus
pada umumnya ringan dan disertai dengan rhinorea dan suara serak, sedangkan pada
bakteri gejala klinis tampak parah. Faringitis gonococcal biasanya ringan dan bahkan bisa
asimtomatik (Dhingra dan Shruti, 2014).
Tatalaksana : Istirahat, memperbanyak intake cairan, kumur salin hangat atau irigasi faring
dan analgesik merupakan pengobatan utama. Ketidaknyamanan lokal di tenggorokan pada
kasus yang parah dapat dikurangi dengan lignokain sebelum makan untuk memudahkan
menelan (Dhingra dan Shruti, 2014).
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Pada kasus ini, dari anamnesis didapatkan:
Keluhan sesak yang disertai mengi sejak satu hari yang lalu.
Pasien tidak bisa beraktivitas seperti biasa karena sesak
Keluhan memberat ketika pagi dan malam hari.
Pasien lebih nyaman jika duduk dan tidur dengan tiga bantal
alergi makanan dan minuman dingin, bersin pagi hari (+), sesak ketika udara
dingin (+).
Pasien juga mengeluh batuk berdahak sejak 2 hari yang lalu. Dahak berwarna
putih bening.
Pada usia 1 bulan pasien sering muntah saat diberi ASI..
Pada pasien ini faktor resiko yang dimiliki diantara lain adalah :
Riwayat asma menahun.
Diet pasien yang masih kurang baik
Buruknya sistem perputaran udara dirunah pasien dan antar rumah pasien
dengan tetangga berdempetan sehingga menyebabkan kelembaban udara
menjadi tinggi
Ayah pasien merokok
Pasien memelihara kucing di dalam rumah
Riwayat persalinan pasien lahir premature dengan usia kehamila 28-30 minggu
17
Pada pemeriksaan pulmo didapatkan suara nafas tambahan wheezing di
lapang paru atas dan tengah pada kanan dan kiri
Berdasarkan penilaian derajat asma pasien menggunakan ACT skor pasien adalah 22
sehingga dapat disimpulkan sebagai asma terkontrol baik.
Pasien mengalami eksaserbasi akut derajat ringan karena pasien masih dapat
berjalan namun saat pemeriksaan pasien lebih memilih untuk duduk, kemudian walaupun
pasien bisa berbicara dalam bentuk kalimat. Sedangkan tanda vital pasien yaitu: frekuensi
nafas 28x/menit, nadi 108x/menit, saturasi oksigen 93% dan pasien tidak tampak
menggunakan otot nafas tambahan.
Pasien kemudian diberikan nebul ventolin 1 amp di IGD, lalu obat pulangnya
salbutamol oral 3x2mg, ambroxol 3x1, dan pehavral 1x1. Selain itu pasien juga diajarkan
mengenai breathing exercise agar asma tidak sering kambuh.
Setelah mendapakan KIE berupa cara mencegah terjadinya serangan asma, pasien
berkomitmen untuk sebisa mungkin agar menghindari faktor pencetus terjadinya asma yaitu
dengan beristirahat yang cukup, tidak melakukan aktivitas yang berat, menghindari asap
rokok, menggunakan selimut tambahan saat tidur untuk mengurangi dingin, menghindari
perabotan rumah yang terlalu banyak agak tidak menjadi sarang berkumpulnya debu rumah
serta mengurangi jajanan yang tidak sehat.
Intervensi Komprehensif
18
Melakukan nebulizer agonist beta-2 kerja singkat yaitu
ventolin 2,5mg
- Memberikan obat oral sebagai obat controller dan
reliever agonis beta-2 kerja singkat yaitu salbutamol 2
mg diminum 3 kali sehari bila sesak
- Memberikan mukolitik yaitu ambroxol 3x1
- Memberikan vitamin dan mineral yaitu pehavral
1x1 untuk menjaga daya tahan tubuh.
Menjelaskan kepada pasien cara penggunakan obat,
dan jenis pengobatan yang diberikan
Aksis 3 Masalah : Riwayat alergi orangtua, riwayat persalinan pasien
premature dengan riwayat asma menahun, kondisi rumah yang
berdebu dan lembab, serta gaya hidup yang kurang baik.
Mengedukasi pasien tentang penanganan asma
mandiri
Mengedukasi pasien riwayat alergi orangtua
merupakan salah satu faktor terjadinya asma.
Mengedukasi pasien bahwa riwayat persalinan
premature merupakan predisposisi terjadinya asma.
Mengedukasi pasien untuk membersihkan perabotan
rumah serta selalu membuka jendela agar perputaran
udara di dalam rumah terus terjadi dan rumah tidak
lembab.
Mengedukasi pasien untuk memanfaatkan waktu
untuk istirahat agar tidak kelelahan dan mudah
stress
Mengedukasi pasien agar mengikuti arahan dokter
saat berobat seperti kontrol ke puskesmas agar respon
pengobatan dapat di evaluasi
Aksis 4 Masalah : Suhu di kota Malang akhir-akhir ini dingin, dan antar
rumah yang berdempetan. Pasien juga memiliki hewan
peliharaan di dalam rumah, serta pasien sering terkena
paparan asap rokok
Menjelaskan pada pasien untuk memberitahu orang
disekitar pasien jika terjadi serangan
Menyarankan kepada pasien untuk menjauh
apabila ada yang merokok atau menyuruh keluarga
untuk tidak merokok di dekat pasien
Menjelaskan kepada pasien untuk memakai selimut
tambahan saat tidur untuk menghindari udara dingin,
dan jangan tidur di lantai.
Mengedukasi agar tidak terlalu sering kontak
dengan hewan peliharaan karena bisa memicu
19
terjadinya serangan.
Aksis 5 Skala 2 (little bit of difficulty)
Diharapkan pasien mengikuti saran sehingga
keluhannya dapat teratasi
Menjelaskan pada keluarganya untuk memberi
support kepada pasien serta membantu
aktivitas pasien
Family Genogram
20
Family Apgar
Skor Family APGAR = 9, maka fungsi keluarga baik (High Functional Family)
21
Family SCREEM
Social (-)
Cultural (-)
Religion (-)
Economic Pasien ekonomi menengah kebawah
Education Pasien kurang memahami pentingnya menjaga kesehatan
Medical (-)
22
MANDALA OF HEALTH
Culture
Lifestyle
Psycho – socio –
Personal Behaviour economic
-Kesadaran pasien dan Environment
keluarga untuk kontrol -ayah pasien perokok
kesehatan baik -ekonomi menengah
-tidak pernah olahraga kebawah
Family
-Hubungan antarkeluarga dekat
-Pasien merupakan anak ke-2 dari 2
bersaudara
Human-made environment
-Tidak dibukanya jendela rumah dapat
mengurangi kualitas perputaran udara.
- Jarang membersihkan rumah
biosphere
23
Intervensi yang telah dilakukan pada kunjungan rumah pertama (22 Maret
2018)
24
tentang fungsi obat dan
cara menggunakan
obat
Aksis 3 Genetik : tidak ada Pasien memahami Mengedukasi pasien
yang memiliki perjalanan tentang penanganan
keluhan serupa, penyakitnya asma mandiri
tapi ayah memiliki Mengedukasi pasien
riwayat alergi agar mengikuti arahan
makanan laut. dokter saat berobat
Kondisi biologis : seperti kontrol ke
riwayat persalinan puskesmas agar
pasien premature respon pengobatan
uk 28-30 minggu dapat di evaluasi.
dengan riwayat
asma menahun
Perilaku / Gaya
hidup : Pasien
sering tidur di
lantai, rumah yang
memiliki banyak
perabotan
sehingga menjadi
sarang debu
rumah dan
dikarenakan
sistem ventilasi
rumah yang buruk
dan antar rumah
berdempetan
sehingga udara di
rumah menjadi
lembab serta
Pasien suka
mengonsumsi
jajanan yang tidak
sehat
25
Ventilasi di paparan asap keluarga terhadap
rumah buruk rokok bahaya asap rokok
Di rumah Pasien dan Mengedukasi pasien
banyak keluarga untuk rutin membuka
perabotan memahami pintu dan jendela agar
sehingga mengenai sirkulasi udara di rumah
menjadi ventilasi rumah baik
sarang debu yang baik. Mengedukasi pasien
Pasien dan agar menggunakan
keluarga kurang selimut tambahan saat
memahami tidur untuk mengurangi
pencetus dingin
serangan asma Mengurangi perabotan di
rumah untuk mengurangi
debu
Aksis 5 Derajat 2 Sedikit terganggu Menyarankan untuk
dalam menjalankan memeriksakan
aktivitas sehari-hari kapasitas paru di poli
paru.
Menjelaskan bahwa
menghindari pencetus
dapat mencegah
terjadinya serangan
26
Lampiran
Luas rumah : 10 x 5 m2
Luas Kamar : 3 x 3 m2
Ventilasi
Kelembapan kamar: lembab
Bantuan ventilasi di dalam rumah: kurang ventilasi
Sumber air
air minum dari: air sumur
air cuci dan masak dari: air sumuir
Jarak sumber air dari septic tank: 3 m
Jamban: ada
Bentuk jamban: jongkok
27
Denah Rumah Keluarga An. Amrizal
28
Resep Obat
S 1 dd 1 tab
Pro : An A
Usia : 13 tahun
Alamat : Jl. Hamid rusdi
29
FOTO KEGIATAN
Tampak Depan
Ruang Tamu
30
Ruang TV
Dapur
31
Daftar Pustaka
Dhingra PL, Shruti Dhingra. (2014), Disease of Ear, Nose and Throat 6th Ed, New
Delhi, Elsevier
Delgado, J., Barranco, P. and Quirce, S., 2008. Obesity and asthma. J Investig
Allergol Clin Immunol, 18(6), pp.420-425.
Global Initiative for Asthma.(2017). A Pocket Guide for Physician and Nurses. N.P.
GINA
Hall, J. E., & Guyton, A. C. (2011). Guyton and Hall textbook of medical physiology.
Philadelphia, PA: Saunders Elsevier.
Jobe AH. Fetal lung development and surfactant. Philadelphia: Saunders Elsevier;
2009. hlm. 193-205.
Surjanto, Eddy., Yusup Subagio., Natalie Duyen. 2017. Peran Stress pada Serangan
Asma (http://fk.uns.ac.id/index.php/penelitiandosen/detail/32/peran-stres-pada-
serangan-asma, diakses tanggal 5 Desember 2017)
Sherwood L. Human physiology : from cells to system. United States: Brooks Cole;
2010. hlm. 461-511.
Watanabe, N., Fukushima, M., Taniguchi, A., Okumura, T., Nomura, Y., Nishimura,
F., Nagasaka, S. (2011). Smoking, white blood cell counts, and TNF system activity in
Japanese male subjects with normal glucose tolerance. Tobacco Induced Diseases,
9(1), 12. http://doi.org/10.1186/1617-9625-9-12
32