Anda di halaman 1dari 22

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayahnya
khususnya bagi penulis yang telah menyelesaikan makalah yangberjudul “KOHLBERG'S
STAGES OF MORAL DEVELOPMENT”
Dalam menulis makalah ini, Alhamdulillah penulis tidak mendapatkan kendala –
kendala, sehingga penyelesaiannya dapat dikerjakan dengan baik. Selain itu penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada dosen sebagai pembimbing, orang tua dan semua orang
yang terlibat yang telah memberikan dorongan dan motivasi sehingga laporan ini dapat
terselesaikan.
Disini penulis juga sampaikan, jika seandainya dalam penulisan makalah ini terdapat hal
– hal yang tidak sesuai dengan harapan, untuk itu penulis dengan senang hati menerima
masukan, kritikan dan saran dari pembaca yang sifatnya membangun demi kesempurnaan
makalah ini. Semoga apa yang diharapkan penulis dapat dicapai dengan sempurna. Amin.

Cimahi, Maret 2018

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................................ i
DAFTAR ISI ............................................................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN ..........................................................................................................................1
1.1. LATAR BELAKANG ..................................................................................................................1
1.2. RUMUSAN MASALAH ..............................................................................................................1
1.3. TUJUAN .......................................................................................................................................1
1.4. MANFAAT ...................................................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN ...........................................................................................................................2
2.1 BIOGRAPHICAL INTRODUCTION .......................................................................................2
2.2 PIAGET’S STAGES OF MORAL JUDGMENT......................................................................2
2.3 KOHLBERG’S METHOD ..........................................................................................................3
2.4 KOHLBERG’S SIX STAGES.....................................................................................................3
2.4.1 Summary ...................................................................................................................................5
2.4.2 A Possible Seventh Stage .........................................................................................................6
2.5 THEORETICAL ISSUES ...........................................................................................................7
2.5.1 How Development Occurs .......................................................................................................7
2.5.2 The Stage Concept ...................................................................................................................7
2.5.3 Moral Thought and Other Forms of Cognition...................................................................10
2.5.4 Moral Thought and Moral Behavior ....................................................................................11
2.6 GILLIGAN ON THE FEMININE VOICE..............................................................................12
2.7 IMPLICATIONS FOR EDUCATION .....................................................................................15
2.8 EVALUATION...........................................................................................................................17
BAB III KESIMPULAN.........................................................................................................................19
3.1. KESIMPULAN...........................................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................................20

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Anak-anak memiliki potensi moral yang siap untuk dikembangkan, melalui berbagai
pengalaman sosial yang dialami, anak belajar tentang hal-hal yang boleh dan tidak boleh
dilakukan. Perkembangan moral pada anak penting untuk mendapat perhatian, dengan
moral yang baik, diharapkan anak dapat diterima dengan baik dilingkungan masyarakat.
Banyak pakar yang memberikan perhatian terhadapa perkembangan moral, diantaranya;
Piaget, Kohlberg, Elizabeth, Hurlock, Santrock dan lain-lain.
Dari berbagai individu yang menunjukkan semua perbedaan dari setiap tingkah dan
perilakunya, kita akan bahas melalui teori-teori tentang perkembangan moral. Teori
perkembangan moral dari Kohlberg kita gunakan untuk membahas moral apa yang dilalu
oleh anak-anak. Melalui tahapan moral Kohlberg kita gunakan untuk menjelaskan
perkembangan moral anak
Perkembangan moral adalah perubahan penalaran, perasaan, dan perilaku tentang
standar mengenai benar dan salah. Perkembangan moral memiliki dimensi interpersonal,
yang mengatur aktivitas seseorang ketika ia tidak terlebit dalam intraksi sosial dan dimensi
interpersonal yang mengatur intraksi sosial dan penyelesaian konflik. Tahap perkembangan
Kohlberg dibuat setelah terinspirasi hasil kerja Jean Piaget dan kekagumannya akan reaksi
anak-anak terhadap dilemma moral yang disebut tahap-tahap perkembangan moral dari
Kohlberg. Oleh karena itu, kami membahas makalah ini dengan berdasarkan teori
Kohlberg.
1.2. RUMUSAN MASALAH
1. Apa Yang Dimaksud Dengan Kohlberg's Stages of Moral Development?
2. Bagaimana Prinsip-Prinsip Dari Kohlberg's Stages of Moral Development?
3. Apa Inti Dari Kohlberg's Stages of Moral Development?
1.3. TUJUAN
1. Untuk Mengetahui Yang Dimaksud Dengan Kohlberg's Stages of Moral Development.
2. Untuk Mengetahui Prinsip-Prinsip Dari Kohlberg's Stages of Moral Development.
3. Untuk Mengatahui Inti Dari Kohlberg's Stages of Moral Development.
1.4. MANFAAT
Untuk Mengetahui dan Memahami Secara Rinci Kohlberg's Stages of Moral Development.

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 BIOGRAPHICAL INTRODUCTION


Kohlberg besar di Bronxville, New York, dan masuk Akademi Andover di
Massachusetts, sebuah sekolah menengah swasta. Dia tidak langsung kuliah, melainkan
membantu Israel, sebagai kapten kapal barang tua yang mengangkut pengungsi Eropa melewati
belokade Inggeris ke Israel. Pada tahun 1948, Kohlberg mendaftarkan diri di University of
Chicago, di mana dia mendapatkan nilai tes yang tinggi, sehingga dia hanya mengambil
beberapa kursus untuk mendapatkan gelar sarjana. Pada awalnya dia berpikir akan menjadi
seorang psikolog klinis. Namun dia tertarik dengan Piaget dan mulai mewawancarai anak-anak
dan remaja tentang masalah moral. Kohlberg mengajar di University of Chicago dari tahun
1962 sampai 1968 dan di Harvard University dari tahun 1968 sampai kematiannya pada tahun
1987.
Ketika mengajar, dia sering datang ke kelas mengenakan baju flanel dan celana longgar, dia
tampak sederhana dan seolah-olah dia mengira itu adalah hari libur baginya. Biasanya ketika
mulai dia mengajukan pertanyaan terlebih dahulu dengan cara off-the-cuff. Sayangnya,
Kohlberg menderita penyakit tropis dan serangan depresi yang menyebabkan dia sakit selama
20 tahun. Akhir hidupnya, Pada usia 59 tahun, dia mengakhiri hidupnya dengan tenggelam.

2.2 PIAGET’S STAGES OF MORAL JUDGMENT


Kohlberg sangat terkesan dengan studi yang dilakukan Piaget tentang penilaian moral.
Berbicara kepada anak-anak tentang masalah moral membuat dia menarik sebuah pemikiran.
Temuan Piaget tentang penilaian moral masuk ke dalam teori dua tahap. Anak-anak di bawah
10 atau 11 tahun berpikir tentang dilema moral, dan anak yang lebih tua menganggapnya
berbeda. Seperti yang di maksud, anak-anak muda mengangap sebuah aturan itu tetap dan
absolut, mereka menganggap peraturan tersebut di turunkan oleh orang dewasa atau tuhan dan
tidak dapat dirubah. Namun pada anak yang lebih tua, dia lebih Relativistic; mengerti bahwa
dia bisa merubah aturan jika semua orang menyetujui. Aturan digunakan untuk bergaul secara
kooperatif.
Pada usia 10 tahun, pemikiran moral anak mulai bergeser. Anak yang lebih muda
mendasarkan penilaian moral mereka atas konsekuesnsi, sedangkan anak yang lebih tua
mendasarkan penilaian moral mereka atas keinginan sendiri. Karya Piaget lebih lanjut tentang

2
penilaian moral adalah ketika anak mengalami serangkaian perubahan di sekitar usia 10 dan
12 tahun, tepat ketika anak measuki tahap umum dari formal operations. Perkembangan
intelektual tidak akan berhenti pada tahap ini saja, namun ini hanya awal dari formal operation
dan akan terus berkembang setidaknya sampai usia 16 tahun.

2.3 KOHLBERG’S METHOD


Kohlberg (1958a) mengambil sampel dari 72 anak laki-laki dari keluarga menengah
dan kelas bawah di Chicago. Mereka berusia 10, 13, dan 16. Dia kemudian menambahkan
sampel anak-anaknya nakal, dan anak laki-laki dan perempuan dari kota-kota A.S. dan dari
negara lain (Kohlberg, 1963, 1970).
Wawancara dasar yang konsistent untuk serangkaian dilema yang di lakukan Kohlberg
terhadap anak-anak tentang Heinz yang mencuri obat. Dalam wawancara tersebut diberikan
cerita tentang Heinz yang mencuri obat. Kohlberg tidak benar-benar tertarik pada apakah
subjek tersebut mengatakan "ya" atau "tidak" pada dilema ini namun tertarik dengan alasan di
balik jawabannya. Dia ingin tahu mengapa subjek menganggap Heinz melakukan hal tersebut
dan kenap Heinz seharusnya tidak melakukan hal tersebut. Kemudian dia bertanya kepada
anak-anak, apakah Heinz punya hak untuk mencuri obat bius, jika dia melanggar hak si
apoteker, dan hukuman apa yang harus diberikan hakim kepadanya begitu dia tertangkap.
Sekali lagi, perhatian utama adalah dengan alasan di balik jawaban. Wawancara
kemudian berlanjut untuk memberi dilema lebih banyak untuk mendapatkan contoh pemikiran
moral subjek yang baik. Begitu Kohlberg mengklasifikasikan berbagai respons ke dalam tahap,
dia ingin tahu apakah orang lain akan mencetak protokol dengan cara yang sama.

2.4 KOHLBERG’S SIX STAGES


Level I. Preconventional Morality
Tingkat pra-konvensional dari penalaran moral umumnya ada pada anak-anak,
walaupun orang dewasa juga dapat menunjukkan penalaran dalam tahap ini. Seseorang yang
berada dalam tingkat pra-konvensional menilai moralitas dari suatu tindakan berdasarkan
konsekuensinya langsung. Tingkat pra-konvensional terdiri dari dua tahapan awal dalam
perkembangan moral, dan murni melihat diri dalam bentuk egosentris.
Stage 1. Obedience and Punishment Orientation.
Individu-individu memfokuskan diri pada konsekuensi langsung dari tindakan mereka
yang dirasakan sendiri. Sebagai contoh, suatu tindakan dianggap salah secara moral

3
bila orang yang melakukannya dihukum. Semakin keras hukuman diberikan dianggap
semakin salah tindakan itu. Sebagai tambahan, ia tidak tahu bahwa sudut pandang orang
lain berbeda dari sudut pandang dirinya. Tahapan ini bisa dilihat sebagai sejenis
Stage 2. Individualism and Exchange.
Menempati posisi apa untungnya buat saya, perilaku yang benar didefinisikan dengan
apa yang paling diminatinya. Penalaran tahap dua kurang menunjukkan perhatian pada
kebutuhan orang lain, hanya sampai tahap bila kebutuhan itu juga berpengaruh terhadap
kebutuhannya sendiri, seperti “kamu garuk punggungku, dan akan kugaruk juga
punggungmu.

Level II. Conventional Morality


Tingkat konvensional umumnya ada pada seorang remaja atau orang dewasa. Orang di tahapan
ini menilai moralitas dari suatu tindakan dengan membandingkannya dengan pandangan dan
harapan masyarakat.
Stage 3. Good Interpersonal Relationships.
Seseorang memasuki masyarakat dan memiliki peran sosial. Individu mau menerima
persetujuan atau ketidaksetujuan dari orang-orang lain karena hal tersebut
merefleksikan persetujuan masyarakat terhadap peran yang dimilikinya. Mereka
mencoba menjadi seorang anak baik untuk memenuhi harapan tersebut, karena telah
mengetahui ada gunanya melakukan hal tersebut. Penalaran tahap tiga menilai
moralitas dari suatu tindakan dengan mengevaluasi konsekuensinya dalam bentuk
hubungan interpersonal, yang mulai menyertakan hal seperti rasa hormat, rasa
terimakasih, dan golden rule. Keinginan untuk mematuhi aturan dan otoritas ada hanya
untuk membantu peran sosial yang stereotip ini
Stage 4. Maintaining the Social Order.
Penting untuk mematuhi hukum, keputusan, dan konvensi sosial karena berguna dalam
memelihara fungsi dari masyarakat. Penalaran moral dalam tahap empat lebih dari
sekedar kebutuhan akan penerimaan individual seperti dalam tahap tiga; kebutuhan
masyarakat harus melebihi kebutuhan pribadi. Idealisme utama sering menentukan apa
yang benar dan apa yang salah, seperti dalam kasus fundamentalisme. Bila seseorang
bisa melanggar hukum, mungkin orang lain juga akan begitu - sehingga ada kewajiban
atau tugas untuk mematuhi hukum dan aturan. Bila seseorang melanggar hukum, maka
ia salah secara moral, sehingga celaan menjadi faktor yang signifikan dalam tahap ini
karena memisahkan yang buruk dari yang baik.

4
Level III. Postconventional Morality
Kenyataan bahwa individu-individu adalah entitas yang terpisah dari masyarakat kini menjadi
semakin jelas. Perspektif seseorang harus dilihat sebelum perspektif masyarakat.
Stage 5. Social Contract and Individual Rights.
Individu-individu dipandang sebagai memiliki pendapat-pendapat dan nilai-nilai yang
berbeda, dan penting bahwa mereka dihormati dan dihargai tanpa memihak.
Permasalahan yang tidak dianggap sebagai relatif seperti kehidupan dan pilihan jangan
sampai ditahan atau dihambat.
Stage 6. Universal Principles.
Penalaran moral berdasar pada penalaran abstrak menggunakan prinsip etika universal.
Hukum hanya valid bila berdasar pada keadilan, dan komitmen terhadap keadilan juga
menyertakan keharusan untuk tidak mematuhi hukum yang tidak adil

2.4.1 Summary
Pada tahap 1 anak memikirkan apa yang benar seperti yang dikatakan otoritas
yang benar. Melakukan hal yang benar adalah mematuhi otoritas dan menghindari
hukuman. Pada tahap ke 2 anak tidak lagi terkesan dengan satu otoritas pun; mereka
melihat bahwa ada sisi yang berbeda untuk masalah apapun. Karena semuanya relatif,
seseorang bebas mengejar kepentingan sendiri, meski sering berguna untuk melakukan
transaksi dan saling bertukar bantuan dengan orang lain.
Pada tahap 3 dan 4 orang muda berpikir sebagai anggota masyarakat
konvensional, dengan nilai, norma, dan harapannya. Di tahap 3 mereka menekankan
untuk menjadi orang baik, yang pada dasarnya berarti memiliki motif bermanfaat
terhadap orang-orang yang dekat dengan seseorang. Pada tahap 4 perhatian beralih ke
mematuhi undang-undang untuk menjaga masyarakat secara keseluruhan.
Pada tahap 5 dan 6 orang kurang peduli dengan menjaga masyarakat untuk
kepentingan dirinya sendiri, dan lebih peduli dengan prinsip dan nilai yang membuat
sebuah masyarakat baik. Pada tahap 5 mereka menekankan hak-hak dasar dan proses
demokrasi yang memberi setiap orang sebuah suara, dan pada tahap 6 mereka
mendefinisikan prinsip-prinsip yang paling sesuai kesepakatan.

5
2.4.2 A Possible Seventh Stage
Yang sering terjadi ketika mereka menghadapi kemunduran yang serius.
Mereka melewati keraguan dan keputusasaan. Martin Luther King dan aktivis gerakan
hak-hak sipil pada periode 1950-an. Setiap dari kita bisa melewatinya mungkin
bertanya kepada diri sendiri, Mengapa saya harus bertindak secara moral saat orang
lain sepertinya? Mengapa bertindak dengan murah hati bila dunia diperintah oleh
kepentingan pribadi? Mengapa saya harus repot-repot hidup ketika orang-orang yang
paling saya cintai sedang sekarat dan menderita dan saya tidak dapat berbuat apa-apa
tentang hal itu? Salah satu jawaban pertanyaan semacam ini berasal dari penganut
agama sekuler seperti Albert Camus (1948, 1955). Camus percaya bahwa meskipun
usaha kita mungkin sia-sia, kita mendapatkan harga diri dengan tetap berpegang pada
mereka. Meski dunia tidak menawarkan sesuatu yang berarti, kita menciptakan makna
dengan bekerja yang kita percaya benar.
Kohlberg menggambarkan sebuah alternatif. Dia mengamati bahwa jawaban
atas keputusasaan bisa datang dari sikap spiritual yang dia sebut Tahap 7 bukan tahap
penalaran moral, melainkan tahap perkembangan spiritual yang tumbuh dari
pengalaman dan refleksi pribadi. Ini tidak perlu dikaitkan dengan agama yang
terorganisir. Secara rasional mempertimbangkan apa yang adil atau benar, namun
memberi beberapa orang dukungan emosional untuk apa yang benar. Intinya, ini adalah
rasa menjadi bagian dari sesuatu yang jauh lebih besar daripada diri sendiri-sebuah
sense Nature. Merasakan bagian dari keseluruhan yang transenden, seseorang tidak lagi
merasa sia-sia atau tanpa harapan. merasa berani menghadapi kematian (Kohlberg &
Power, 1981).
Martin Luther King mengungkapkan pandangan pribadinya: "Saya yakin dan
bahwa yakin bahwa alam semesta berada di bawah kendali tujuan penuh kasih dalam
perjuangan untuk kebenaran manusia memiliki persahabatan kosmis" (1963, hal 153).
Tidak peduli apa yang dihadapi Raja, "persahabatan kosmis" ini membuat dia pergi
Kohlberg mendasarkan gagasannya pada tahap 7 tentang kehidupan para pemimpin
moral serta penelitian James Fowler mengenai pengembangan iman pada anak-anak
dan orang dewasa. Atas dasar data yang sangat terbatas, Kohlberg berspekulasi bahwa
tahap ke 7 mengikuti tahap penalaran moral. Muncul setelah tahap 6 sebagai jawaban
pertanyaan mengapa seseorang harus bertindak secara moral saat merasa kurang untuk
melakukannya. Jika muncul terlambat, stadium 7 sangat jarang terjadi (Kohlberg &
Power, 1981).

6
Salah satu rekan kerja Kohlberg, John Gibbs (2003), mengemukakan bahwa
tahap 7 berpikir sering kali umum terjadi pada masa remaja. Bagaimanapun, saya ingin
menekankan bahwa Kohlberg tidak mempertimbangkan tahap 7 dari urutan tahap
moralnya. Sebaliknya, dia menganggapnya sebagai jenis kesadaran yang melaluinya
beberapa individu mendapatkan kekuatan moral (Kohlberg & Power, 1981).

2.5 THEORETICAL ISSUES


2.5.1 How Development Occurs
Penting untuk diingat, Kohlberg adalah pengikut dekat Piaget. Kohlberg,
termasuk pada perubahan perkembangan, tercermin dari mentornya. Kohlberg
(misalnya, 1968; 1981, bab 3) mengatakan bahwa bukanlah produk pematangan - yaitu,
struktur panggung dan rangkaian yang tidak hanya terbentang sesuai dengan cetak biru
genetik. Dalam tahapan produk sosialiasinya. Agen sosialisasi (mis., Orang tua dan
guru) tidak secara langsung mengajarkan bentuk pemikiran baru. Memang sulit
membayangkannya secara sistematik dengan mengajarkan setiap struktur panggung
baru di tempat asalnya secara berurutan. Tahap-tahap itu muncul dari pemikiran kita
sendiri tentang masalah moral. Pengalaman sosial memang mendorong pengembangan,
tapi melakukannya dengan merangsang proses mental kita.
2.5.2 The Stage Concept
Tahap mental sejati memenuhi beberapa kriteria. Mereka (1) adalah cara
berpikir yang berbeda secara kualitatif, (2) terstruktur secara keseluruhan, (3) kemajuan
dalam urutan invarian, (4) dapat dicirikan sebagai integrasi hierarkis, dan (5) adalah
universal lintas budaya. Kohlberg menganggap serius teori ini, mencoba menunjukkan
bagaimana tahapannya bertemu mereka semua. Mari kita pertimbangkan titik-titik ini
satu persatu:
1. Qualitative Differences.
Tampaknya cukup jelas bahwa tahapan Kohlberg secara kualitatif
berbeda satu sama lain. Sebagai contoh, tanggapan tahap 1, yang berfokus pada
ketaatan kepada otoritas, terdengar sangat berbeda dari tanggapan tahap 2, yang
berpendapat bahwa setiap orang bebas untuk Kedua tahap tampaknya tidak
berbeda sepanjang dimensi kuantitatif; Mereka tampak berbeda secara
kualitatif. berperilaku sesuai keinginannya.

7
2. Structured Wholes.
Terstruktur secara keseluruhan, berarti bahwa tahap-tahap tersebut
bukan hanya respons terisolasi namun merupakan pola pemikiran umum yang
secara konsisten muncul dalam berbagai jenis masalah. Orang merasa ini benar
dengan membaca manual penilaiannya; orang menemukan jenis pemikiran yang
sama muncul kembali pada beragam item. Misalnya, satu item bertanya,
Mengapa janji harus dijaga? Seperti dilema Heinz, anak-anak di tahap 1 kembali
berbicara dalam hal ketaatan kepada peraturan, sedangkan mereka yang berada
di tahap 2 fokus untuk saling bertukar bantuan yang sesuai dengan kepentingan
seseorang (misalnya, "Anda tidak pernah tahu kapan Anda akan
membutuhkannya orang untuk melakukan sesuatu untukmu ").
Demikian pula, saat anak-anak melanjutkan tahapan, mereka tetap
memberi tanggapan yang serupa dengan yang dilema Heinz (Colby et al.,
1987c, hlm. 802-854). Selain itu, Kohlberg dan rekan kerjanya (Colby et a.,
1983) telah memperoleh perkiraan kuantitatif sejauh mana subjek merespons
dalam satu tahap tertentu. Karena beberapa subjek mungkin berada dalam
transisi 169.
Antara tahap, seseorang tidak mengharapkan konsistensi yang
sempurna. Kendati demikian, Kohlberg menemukan bahwa nilai mata pelajaran
pada tahap dominan mereka di sembilan dilema sekitar dua pertiga waktu. Hal
ini tampaknya merupakan tingkat konsistensi yang adil yang menunjukkan
bahwa tahapan tersebut mungkin mencerminkan mode pemikiran umum
3. Invariant Sequence.
Kohlberg percaya bahwa tahapannya terungkap selalu dari tahap 1 ke
tahap 2 ke tahap 3 dan urutan secara Invariant. Anak tidak melewatkan tahapan
atau mereka bergerak dalam pesanan campur aduk. Tidak semua anak harus
mencapai tahap tertinggi; mereka mungkin tidak memiliki stimulasi intelektual.
Tapi sejauh mana mereka melewati tahap demi tahap, mereka melakukannya
dengan teratur. Sebagian besar bukti Kohlberg pada urutan panggungnya
berasal dari data cross-sectional. Artinya, dia mewawancarai anak-anak yang
berbeda pada berbagai usia untuk melihat apakah yang lebih muda berada pada
tahap lebih rendah daripada yang lebih tua.

8
4. Hierarchic Integration.
Ketika Kohlberg mengatakan bahwa tahapannya terintegrasi secara
hierarki, berarti bahwa orang tidak kehilangan wawasan yang diperoleh tetapi
mengintegrasikannya ke dalam kerangka kerja baru yang lebih luas. Misalnya,
orang-orang di tahap 4 masih dapat memahami argumen tahap 3, namun
sekarang mereka mengkoordinasikan untuk pertimbangan yang lebih luas.
Struktur sosial akan runtuh Jadi tahap 4 mengesampingkan kekhawatiran akan
motif untuk perhatian yang lebih luas bagi masyarakat secara keseluruhan.
Konsep integrasi hierarkis sangat penting bagi Kohlberg karena
memungkinkan dia untuk menjelaskan arah urutan panggungnya. Karena dia
bukan seorang yang paham, dia tidak bisa hanya mengatakan urutannya
dihubungkan ke gen. Jadi, dia ingin menunjukkan bagaimana setiap tahap baru
memberikan kerangka kerja yang lebih luas untuk menangani masalah moral.
Tahap 4, disebutkan, melampaui keterbatasan tahap 3 dan menjadi lebih luas
berkaitan dengan Tahap Sosial pada gilirannya, masyarakat panggung lemah
belum tentu merupakan moral, Tahap 5 mempertimbangkan hak dan proses
yang dibuat sesuai untuk masyarakat moral. Setiap tahap baru mempertahankan
wawasan tahap sebelumnya, namun akan membuat mereka menjadi kerangka
yang lebih luas. Dalam pengertian ini, setiap tahap baru secara kognitif lebih
memadai daripada tahap sebelumnya.
Kohlberg benar tentang sifat hierarkis dari tahapannya, kita akan
mengharapkan orang masih dapat memahami tahap-tahap awal, namun
menganggapnya inferior. Faktanya, ketika Istirahat mempresentasikan remaja
dengan argumen dari berbagai tahap, inilah yang ia temukan. Mereka mengerti
tindakan tahap awal, tapi mereka tidak menyukainya. Apa yang mereka sukai
adalah tahap tertinggi yang mereka dengar, apakah mereka benar-benar
memahaminya atau tidak. Temuan ini menunjukkan, bagaimanapun, bahwa
mereka memiliki beberapa pengertian intuitif tentang kecukupan yang lebih
besar dari tahap yang lebih tinggi (Istirahat, 1973; Istirahat, Kohlberg, 1969).

5. Cross-Cultural Universality.
Tanggapan Kohlberg adalah bahwa budaya yang berbeda mengajarkan
kepercayaan yang berbeda, namun tahapannya tidak mengacu pada keyakinan
spesifik namun juga pada mode penalaran yang mendasarinya (Kohlberg &

9
Gilligan, 1971). Sebagai contoh, satu budaya dapat mencegah pertempuran
fisik, sementara yang lain mendorongnya lebih.
Akibatnya, anak-anak akan memiliki keyakinan yang berbeda tentang
pertempuran, namun mereka masih akan memikirkannya dengan cara yang
sama pada tahap yang sama. Pada tahap 1, misalnya, satu anak mungkin
mengatakan bahwa adalah salah jika berperang saat dihina "karena Anda akan
dihukum karena itu," sementara yang lain mengatakan bahwa "tidak apa-apa
untuk melawan; Anda tidak akan dihukum. "Keyakinannya berbeda, namun
kedua anak tersebut memikirkannya dengan cara yang sama-dalam hal
konsekuensi fisik (hukuman). Mereka melakukannya karena inilah yang bisa
mereka kuasai secara kognitif.
Kemudian, anak pertama mungkin berpendapat bahwa bertengkar itu
buruk "karena jika setiap orang berjuang sepanjang waktu akan terjadi anarki,"
sementara anak kedua berpendapat bahwa "orang harus mempertahankan
kehormatan mereka, karena jika mereka tidak semua orang akan menghina
semua orang , dan seluruh masyarakat akan hancur. "Sekali lagi, keyakinan
spesifik berbeda, mencerminkan ajaran budaya yang berbeda, namun penalaran
yang mendasarinya sama - dalam kasus ini adalah tahap 4, di mana orang dapat
menganggap sesuatu sebagai abstrak seperti tatanan sosial . Anak-anak, terlepas
dari keyakinan mereka, akan selalu berpindah ke tahap 4 berpikir beberapa saat
setelah tahap 1 berpikir karena secara kognitif jauh lebih canggih.

2.5.3 Moral Thought and Other Forms of Cognition


Kohlberg juga mencoba menghubungkan tahap moralnya dengan bentuk
kognisi lainnya. Dia pertama kali menganalisis tahapannya dalam hal struktur kognitif
mereka yang mendasarinya dan kemudian mencari kesejajaran dalam pemikiran logis
dan sosial murni. Untuk ini Tujuannya, dia menganalisis tahapannya sendiri dalam hal
kapasitas pengambilan keputusan implisit, kapasitas untuk mempertimbangkan sudut
pandang orang lain.
Pada tahap 1, anak-anak hampir tidak menyadari bahwa sudut pandangnya
berbeda. Mereka berasumsi bahwa hanya ada satu pandangan benar.
Tahap 2, sebaliknya, mereka menyadari bahwa orang memiliki kepentingan
dan sudut pandang yang berbeda. Mereka tampaknya mengatasi egosentrisme, dan
mereka melihat bahwa perspektif itu relatif terhadap individu. Mereka juga mulai

10
mempertimbangkan bagaimana individu dapat mengkoordinasikan kepentingan
mereka dalam hal kesepakatan yang saling menguntungkan.
Pada tahap 3, orang mengkonseptualisasikan pengambilan peran sebagai
proses yang lebih dalam dan lebih empati sehingga menjadi perhatian terhadap perasaan
orang lain.
Tahap 4, pada gilirannya, memiliki konsepsi masyarakat luas yang lebih luas
tentang bagaimana orang mengkoordinasikan peran mereka melalui sistem hukum.
Tahapan 5 dan 6, akhirnya, melihat lebih ideal bagaimana orang bisa
mengkoordinasikan kepentingan mereka. Tahap 5 menekankan proses demokrasi dan
Tahap 6 mempertimbangkan bagaimana semua pihak saling pandang satu sama lain
sesuai dengan prinsip keadilan.
Tahap moral, kemudian, mencerminkan wawasan yang diperluas tentang
bagaimana perspektif berbeda dan mungkin dikoordinasikan. Dengan demikian,
tahapan moral mungkin terkait dengan tahapan pemikiran logis dan sosial yang
mengandung wawasan serupa. Sejauh ini, bukti empiris menunjukkan bahwa kemajuan
dalam pemikiran moral dapat bergantung pada pencapaian sebelumnya di area arena
ini. Sebagai contoh, anak-anak tampaknya maju ke tahap 2, mengatasi egosentrisme
mereka di bidang moral, hanya setelah mereka mencapai kemajuan yang setara dalam
pemikiran logis dan sosial mereka. Jika pola ini benar, kita bisa berharap bisa banyak
menemukan cara anak memgatasi egosentrisme dalam bidang moral.

2.5.4 Moral Thought and Moral Behavior


Skala kohlberg berkaitan dengan pemikiran moral, bukan tindakan moral.
Dalam situasi ini, kita mungkin memiliki gagasan yang jelas tentang apa yang benar,
tapi kita mungkin tidak bertindak sesuai dengan itu. Kita mungkin mengutamakan
kepentingan diri sendiri atau mungkin merasa tindakan kita akan sia-sia atau kita
mungkin tidak memiliki keberanian atas keyakinan moral kita. Oleh karena itu, kita
tidak akan mengharapkan korelasi sempurna antara penilaian moral dan tindakan moral.
Meski begitu, Kohlberg mengira harus ada hubungan. Sebagai hipotesis umum, dia
mengusulkan agar perilaku moral lebih konsisten, dapat diprediksi, dan bertanggung
jawab pada tahap yang lebih tinggi.
Karena tahap-tahap itu sendiri semakin menerapkan standar yang lebih stabil
dan umum. Misalnya, keputusan tahap 3 atas persetujuan orang lain, yang dapat

11
bervariasi, namun tahap 4 mengacu pada peraturan dan undang-undang yang
ditetapkan. Dengan demikian kita bisa berharap bahwa perilaku moral juga akan
menjadi lebih konsisten saat orang-orang menaikkan urutannya. Secara umum, ada
beberapa penelitian yang mendukung hal ini hipotesis (misalnya, sehubungan dengan
kecurangan), namun buktinya tidak jelas.
Dalam sebuah studi yang relevan secara sosial, Haan, Smith, and Block (1968)
meneliti penalaran moral mereka yang berpartisipasi dalam Perpindahan Huru Hara
Berkeley pada tahun 1964. Mereka bertanya-tanya apakah para pemrotes dimotivasi
oleh prinsip-prinsip demokrasi postcon- ventional. Para peneliti menemukan bahwa
pemikiran tersebut lebih sering bersifat postkonvensional daripada sampel
nonpartisipan yang sesuai, namun temuan ini tidak direplikasi dengan beberapa
demonstrasi lainnya, mungkin karena prinsip moral tidak begitu dipertaruhkan. Secara
keseluruhan, penelitian telah menunjukkan hubungan yang agak sederhana antara
pemikiran moral dan tindakan moral. Pengikut Kohlberg tidak senang dengan hasilnya,
percaya pasti ada hubungan yang lebih kuat yang belum ditemukan.

2.6 GILLIGAN ON THE FEMININE VOICE


Pada tahun 1997, I Carol Gilligan, satu rekan atau rekan penulis Nohlberg,
menerbitkan sebuah esai yang mengkritik karya Kohlberg yang bias terhadap anak
perempuan dan perempuan. Gilligan memperluas artikel ini ke dalam sebuah buku, In
a Different Voice (1982), yang memicu banyak kontroversi dan merangsang sejumlah
besar pemikiran baru.
Gilligan mengamati bahwa pendapat Kohlberg selalu dibangun dari wawancara
dengan kaum pria, dan dia berpendapat bahwa tahapan tersebut hanya mencerminkan
orientasi pria saja. Bagi pria, pemikiran moral yang maju berkisar pada peraturan, hak,
dan prinsip-prinsip abstrak lainnya.
Sedangkan menurut Gilligan yang ideal adalah keadilan formal, di mana
seseorang mencoba bersikap tidak memihak atau tidak berat sebelah. Individu berdiri
terpisah dari situasi dan mencoba untuk menghasilkan solusi moral yang adil dalam
beberapa pengertian teoretis. Menurutnya, Konsepsi moralitas seperti ini
meninggalkan/tidak menggunakan suara wanita tentang masalah moral. Menurut nya
bagi wanita moralitas tidak berpusat pada hak-hak dan aturan-aturan saja, melainkan
hubungan-hubungan antar pribadi dan etika kasih sayang serta kepedulian. Yang ideal

12
bukan keadilan yang impesonal, tapi cara hidup lebih afiliatif dan terkoneksi. Moralitas
wanita lebih kontekstual, dia terikat pada hubungan-hubungan nyata yang sedang
berlangsung di hadapannya, daripada solusi-solusi abstrak untuk dilema hipotesis.
Karena perbedaan-perbedaan jenis kelamin inilah pria dan wanita sering kali
dinilai berada di tahapan yang berbeda oleh skala kolhberg. Wanita biasanya di skor
tahap 3, dengan fokus pada perasaan-perasaan antar pribadi, sementara pria umumnya
diskor tahap 4 dan 5, yang merefleksikan konsep-konsep organisasi sosial yang lebih
abstrak. Dengan demikian wanita lebih rendah dari pria. Karena jika skala kohlberg
menghargai orientasi antar pribadi wanita, meskinya skala ini juga menunjukkan kalau
wanita juga bisa menggambarkan pemikiran moral mereka melebihi tahap 3.
Beberapa peneliti telah menguji validitas tuduhan Gilligan yang mengkritik
bahwa teori kohlberg mengandung bias jenis kelamin. Anak perempuan sering
mencapai tahap 3 lebih awal dari pada anak laki-laki, tapi secara keseluruhan, wanita
dan laki-laki tampil di urutan yang sama dengan urutan Kohlberg. Hasilnya tidak
mendukung tuduhan Gilligan bahwa teori panggung Kohlberg membuat wanita tampak
inferior.
Pada saat bersamaan, Gilligan telah meminta perhatian pada etika perawatan
yang tampaknya berbeda dari orientasi keadilan abstrak yang dikemukakan Kohlberg
emphasized. Dalam sebuah penelitian awal (1983), Nora Lyons bertanya kepada pria
dan wanita, "Apa arti moralitas bagi Anda?" Perbedaan gender berikut adalah
tipikalnya :
a. Male (pria): "Moralitas pada dasarnya memiliki alasan untuk mengetahui apa yang
benar, apa yang harus dilakukan.
b. Female (Wanita): " Moralitas adalah jenis kesadaran, Iguess, kepekaan bahwa
Anda dapat mempengaruhi kehidupan orang lain. "

Tanggapan laki-laki lebih abstrak, sedangkan wanita, yang menggunakan etika


perawatan, lebih memperhatikan diri mereka sendiri dalam hubungannya dengan
orang lain.

Lyons melaporkan perbedaan gender yang substansial dalam penggunaan dua


orientasi moral. Penelitian selanjutnya menemukan perbedaan yang lebih sederhana,
antara laki-laki dan perempuan biasanya menggunakan baik orientasi keadilan
maupun perawatan setidaknya pada tingkat tertentu (Pratt, Skoe, & Arnold, 2004).
Kedua orientasi juga dipengaruhi oleh budaya beberapa budaya, seperti Jepang,

13
mensosialisasikan anak laki-laki dan perempuan untuk mengadopsi orientasi
perawatan (Berk 2009, Hal 499-450). Tetapi secara keseluruhan, tampaknya ada dua
orientasi moral, pada wanita lebih banyak diwakili oleh orientasi perawatan.

Gilligan juga membuat upaya terobosan untuk melacak perkembangan orientasi


moral wanita. Karena dia percaya bahwa konsepsi perawatan dan afiliasi perempuan
tertanam dalam situasi kehidupan nyata (bukan hipotesis). Dia pun mewawancarai
wanita-wanita yang menghadapi krisis pribadi, seperti keputusan untuk melakukan
aborsi. Lewat wawancara-wawancara ini, Gilligan menunjukkan bahwa wanita
berkembang dari model berfikir pre-conventional menjadi conventional dan menjadi
postconventional. Berikut adalah penjelasannya :

a. Pada tingkat pre-conventional (prasangka), wanita membicarakan masalah dalam


hal apa yang mereka maksudkan untuk diri mereka sendiri, dalam hal kepentingan
pribadi mereka.
b. Pada tingkat convensional, mereka mengadopsi posisi orang yang peduli dan ibu
seperti yang didefinisikan oleh orang lain dan masyarakat luas.
c. Pada tingkat postconvensional, mereka membentuk wawasan mereka sendiri
berdasarkan pengetahuan kumulatif mereka tentang hubungan manusia.

Selama Gilligan berdiskusi dengan wanita,dia mengatakan, kami mendengar


kekhawatiran akan apa yang "egois" dan apa yang "bertanggung jawab". Tingkat
pertama ada pada diri sendiri, pada tingkat convensional bergeser ke arah tanggung
jawab sosial terhadap orang lain. Pada tingkat postconventional, wanita
mengembangkan wawasan tentang cara dirinya dan orang lain benar-benar saling
bergantung.

Eva Skoe dan rekan-rekannya (Skoe & von der Lippe, 1998; Pratt et al., 2004)
telah memulai studi yang lebih sistematis mengenai perubahan perkembangan dalam
orientasi perawatan. Penyelidik ini telah menciptakan sebuah wawancara standar
(yang sebagian memungkinkan responden untuk membicarakan dilema kehidupan
nyata dari pilihan mereka sendiri) dan telah mengembangkan sistem penilaian formal.
Memfokuskan pada remaja dan orang dewasa muda, para periset pada dasarnya telah
menemukan perubahan perkembangan yang serupa dengan yang digariskan oleh
Gilligan Kadang-kadang ada sedikit kecenderungan wanita untuk mencetak skor lebih
tinggi daripada pria.

14
Namun, para periset belum menemukan individu yang mengartikulasikan
keterkaitan manusia dengan kefasihan Claire dalam penelitian Gilligan (dikutip di
atas). Mungkin tanggapan mendalam seperti itu muncul dengan frekuensi yang lebih
tinggi di masa dewasa nanti. Akan menarik untuk mengetahui apakah Claire dan
mereka yang berpikir seperti dia memperluas pandangan mereka tentang keterkaitan
di antara manusia dan mencakup semua kehidupan. Jika demikian, mereka mungkin
telah mencapai kebijaksanaan yang terkait dengan budaya non-Barat.

2.7 IMPLICATIONS FOR EDUCATION


Kohlberg ingin melihat masyarakat berkembang ketahap pemikiran moral
setinggi mungkin. Menurutnya masyarakat yang ideal bukan hanya orang-orang yang
memahami kebutuhan akan tata sosial, namun juga bisa menjangkau/menjalankan
prinsip-prinsip universal seperti keadilan dan kebebasan. Turiel (1966), menemukan
bahwa ketika anak menyimak penilaian moral orang dewasa, perubahan yang
dihasilkan hanya sedikit. Mungkin inilah yang sudah di duga kohlberg, dia yakin kalau
anak ingin mengorganisasikan atau menata ulang pemikiran mereka, maka mereka
sendirilah yang harus aktif.
Karena itu kohlberg mendukung muridnya yaitu Moshe Blatt, untuk memimpin
kelompok diskusi dimana anak-anak memiliki kesempatan untuk berperan secara aktif
dengan masalah-masalah moral. Blatt memberi anak-anak itu dilema-dilema moral
yang bisa memicu perdebatan hangat seluruh kelas. Dia berusaha membiarkan diskusi
dilakukan anak-anak sendiri, dimana peran Blatt hanya meringkas, mengklarifikasi dan
kadang-kadang memberikan pendapat pribadinya. Dia selalu mendukung argumen-
argumen tertentu yang paling unggul dari kebanyakan argumen yang dilontarkan anak-
anak. Secara umum, dia berusaha mengimplikasikan salah satu ide utama kohlberg
tentang bagaimana anak-anak melewati tahapan-tahapan berfikir yang ada. Dan anak-
anak ini memang pada akhirnya bisa bergerak melalui tahapan-tahapan tersebut dengan
menangkis/ menghindarkan pandangan-pandangan yang menantang pikiran mereka
dan menstimulasikannya guna merumuskan argumen-argumen yang lebih baik.
Blatt lalu bertanya pada anak-annak Apakah Mr. Jones seharusnya melakukan
itu?. Dalam diskusi yang diikuti, satu anak, siswa B, merasa Mr. Jones memiliki alasan
penting untuk mengambil mobil dan juga percaya orang asing itu dapat dikenai tuduhan
pembunuhan jika anaknya meninggal. Siswa C menunjukkan bahwa orang asing

15
tersebut tidak melanggar hukum. Siswa B masih merasa perilaku orang asing itu salah,
meski sekarang dia sadar itu tidak salah secara hukum. Jadi B berada dalam semacam
konflik. Dia merasa bingung terhadap perilaku orang asing itu, tapi dia tidak dapat
menyalahkan orang asing itu. Dia ditantang untuk memikirkan masalahnya lebih dalam.
Pada akhirnya, Blatt memberinya petunjuk. Perilaku orang asing itu, kata Blatt, tidak
salah secara hukum - salah sesuai dengan hukum Tuhan (ini adalah Kelas Sekolah
Minggu). Pada titik ini, Blatt adalah seseorang yang mengajarkan pandangan "benar".
Blatt bertanya lagi (mis., "Jadi ini bukan salah secara legal, tapi Anda masih memiliki
perasaan bahwa hal itu salah? '). Alhasil , diskusi ini memberikan efek secara moral
bagi siswa tersebut.
Metode Kohlberg-Blatt untuk menyelesaikan konflik kognitif mencontoh
Piaget's equilibration model. Anak itu memiliki satu pandangan, menjadi bingung
dengan informasi yang tidak sesuai, dan kemudian menyelesaikan kebingungan
tersebut dengan membentuk pemikiran yang lebih maju dan komprehensif. Metode ini
juga merupakan proses dialektika ajaran Sokrates. Para siswa memberi pandangan,
sang guru mengajukan pertanyaan yang membuat mereka melihat kekurangan
pemikiran mereka, dan kemudian mereka termotivasi untuk merumuskan pemikiran
yang lebih baik.
Dalam eksperimen pertama Blatt, siswa (siswa kelas enam) berpartisipasi dalam
12 kelompok diskusi mingguan. Blatt menemukan bahwa lebih dari setengah siswa naik
satu tahap penuh setelah 12 minggu. Blatt dkk telah mencoba untuk melakukan kembali
eksperimen ini, kadang-kadang menggunakan kelompok usia berbeda dan rangkaian
kelas yang lebih panjang. Seperti yang sering terjadi, hasilnya belum terlalu berhasil;
Perubahan ke tahap selanjutnya lebih rendah - biasanya sepertiga dari tahap itu atau
kurang. Namun, pada umumnya diskusi Socratic yang diadakan selama beberapa bulan
itu menghasilkan perubahan walaupun kecil, secara signifikan lebih besar daripada
kelompok yang tidak melakukan eksperimen ini (Rest, 1983).
Salah satu penemuan pembantu Blatt adalah bahwa para siswa yang melaporkan
bahwa mereka yang paling "tertarik" dalam diskusi membuat perubahan terbesar.
Temuan ini sesuai dengan teori Piagetian. Anak berkembang bukan karena mereka
terbentuk melalui eksternal tapi karena keingintahuan mereka yang besar. Mereka
tertarik pada informasi yang tidak sesuai dengan struktur kognitif mereka dan dengan
demikian termotivasi untuk merevisi pemikiran mereka.

16
Meskipun Kohlberg berkomitmen pada model perubahan kognitif-konflik, dia
juga mengembangkan model lain - the just community approach. Di sini, fokusnya
bukan pada individu tapi pada kelompok. Kohlberg dan beberapa rekannya (Power &
Reimer, 1979) mendirikan sebuah kelompok sekolah khusus yang terdiri dari sekitar
180 siswa dan mendorong mereka untuk berpikir demokrasi dan menganggap diri
mereka sebagai sebuah komunitas. Awalnya, sedikit siswa yang tertarik. Orientasi
dominan kelompok ini adalah tahap 2; kelompok menganggap bahwa mencuri hanya
masalah pribadi semata. Jika anak laki-laki memiliki mencuri, itu adalah hal buruk
baginya. Setelah satu tahun, norma kelompok naik ke tahap 3; para siswa sekarang
menganggap bahwa mencuri adalah hal buruk yang mempengaruhi tingkat kepercayaan
dan kepedulian dalam kelompok tersebut. Akibatnya, mencuri dan masalah perilaku
lainnya menurun tajam dan para siswa mulai saling membantu dalam banyak hal.
Proyek serupa telah menghasilkan hasil yang serupa (Power, Higgins, & Kohlberg,
1989)
Pendekatan the just community approach telah mempengaruhi beberapa
pengikut Kohlberg. Meskipun siswa tersebut telah didorong untuk berpartisipasi dalam
pengambilan keputusan yang demokratis, orang dewasa dalam program tersebut secara
aktif menyatakan posisi mereka sendiri. Meskipun the just community approach hanya
berfokus pada orientasi moral kelompok, peneliti bertanya-tanya apakah program
tersebut menghasilkan perubahan pada individu. Power, Higgins dan Kohleberg (1989)
membuktikan bahwa siswa yang berpartisipasi dalam program selama 2 atau 3 tahun,
dibandingkan dengan siswa lain di sekolah biasa, menunjukkan kemajuan yang lebih
besar dalam penilaian moral mereka, namun kemajuan mereka masih rendah. Paling
maju dari tahap 2 ke tahap 3.

2.8 EVALUATION
Kohlberg, seorang Piagetian, menjabarkan rangkaian tahapan baru yang lebih
rinci untuk pemikiran moral. Piaget pada dasarnya menemukan dua tahap pemikiran
moral, yang kedua muncul pada awal masa remaja; Kohlberg menemukan tahap
tambahan yang berkembang sampai usia remaja dan dewasa. Dia berpikir agar beberapa
orang sudah atau bahkan mencapai tingkat pemikiran moral postkonvensional dimana
mereka tidak lagi menerima masyarakat yang berpikir secara reflektif dan otonom
melainkan berpikir secara moral yang baik.

17
Pemikiran moral postkonvensional sulit diterapkan dalam ilmu sosial. Mungkin
dibutuhkan pembelajaran untuk menerapkan nya. Sedangkan kebanyakan ilmuwan
sosial telah terkesan dengan cara Kohlberg yang membentuk pemikiran anak-anak. Jika
anak-anak terlibat dalam pemikiran independen yang cukup, Kohlberg merasa bahwa
anak-anak telah mampu merumuskan konsepsi tentang hak, prinsip yang mereka
evaluasi mengenai pengaturan sosial yang ada.
Teori Kohlberg telah mempengaruhi kritik-kritik tajam. Kritik Gilligan tentang
male oriented dan juga kritik budaya bahwa teori Kohlberg mengandung Western bias.
Kedua kritik tersebut menunjukkan bahwa Kohlberg dibesarkan dalam tradisi
“Kantian” yang menekankan hak dan keadilan daripada ikatan, rasa persatuan dengan
orang lain atau dengan semua kehidupan.
Bagaimanapun, kita seharusnya tidak meminimalkan tradisi filosofis “Kantian”
di mana Kohlberg dibesarkan. Seperti yang dikatakan Broughton (1983), moralitas
keadilan ini telah mengilhami pertempuran melawan kekuatan negara yang represif
sehingga orientasi etis lainnya tampak kurang untuk ditangani. of care seems to
naturally focus on the interpersonal relationships of daily life, not the powerful legal
system that Martin Luther King challenged in the name of justice. Similarly, as Albert
Schweitzer (1929, pp. 302-304) observed, of the unity of life is more contemplative
than action oriented. In the pursuit of an abstract principle of justice, King acted.
Gilligan's ethic tampaknya secara alami berfokus pada hubungan interpersonal
kehidupan sehari-hari, bukan sistem hukum yang kuat yang ditantang Martin Luther
King atas nama keadilan. Demikian pula, sebagaimana observasi Albert Schweitzer
(1929, hlm 302-304), the Eastern consciousness tentang kesatuan kehidupan lebih
berpengaruh daripada tindakan yang berorientasi dalam mengejar prinsip keadilan
Kohlberg memberi gambaran bagaimana anak-anak, melalui pemikiran mereka sendiri,
berhasil mencapai pemikiran moralnya. Sedikit, tapi pasti, mereka akan dihadapi
dengan masalah moral lain dan sehingga mereka akan mampu berpikir seperti Kant,
Socrates, Gandhi, dan King. Tetapi tahap Kohlberg memberi kita visi yang mengilhami
tentang di mana perkembangan moral bisa terjadi.

18
BAB III
KESIMPULAN

3.1. KESIMPULAN
Moral adalah sikap perilaku seseorang yang didasari oleh norma - norma hukum
yang berada di lingkungan tempat dia hidup. Jadi seseorang dapat dikatakan memiliki
moral adalah ketika seseorang sudah hidup dengan mentaati hukum - hukum yang
berlaku di tempat dia hidup. Sedangkan menurut Lawrence Kohlberg, tahapan
perkembangan moral adalah ukuran dari tinggi rendahnya moral seseorang berdasarkan
perkembangan penalaran moralnya. Menurut Kohlberg ada 6 tahapan perkembangan
moral yang dapat teridentifikasi, hal ini didasarkan pada teorinya yang berpandangan
bahwa penalaran moral yang merupakan dasar dari perilaku etis. Ia mengikuti
perkembangan dari keputusan moral seiring penambahan usia yang semula diteliti
Piaget, yang menyatakan bahwa logika dan moralitas berkembang melalui tahapan-
tahapan konstruktif. Kohlberg memperluas pandangan dasar ini dengan menentukan
bahwa proses perkembangan moral pada prinsipnya berhubungan dengan keadilan dan
perkembangannya berlanjut selama kehidupan walaupun ada dialog yang
mempertanyakan implikasi filosofis dari penelitiannya.
Kohlberg menekankan bahwa perkembangan moral didasarkan pada penalaran
moral dan berkembang secara bertahap. Konsep kunci untuk memahami perkembangan
moral, khususnya teori Kohlberg ialah internalisasi (internalization); yakni perubahan
perkembangan dari perilaku yang dikendalikan secara eksternal menjadi perilaku yang
dikendalikan secara internal.
Dengan mengacu pada teori perkembangan moral Kohlberg dapat disimpulkan
bahwa betapa pentingnya moralitas diajarkan bagi perkembangan anak, karena anak
akan memiliki kepribadian yang baik sebagai individu di tengah masyarakat.

19
DAFTAR PUSTAKA

Crain, Wiliam 2000 : Theories of Develoment Concept and Applications Fourth Edirion.
New Jersey. Prenticretall

20

Anda mungkin juga menyukai