Resume
Resume
Diajukan untuk memenuhi dan melengkapi tugas mandiri Metodologi Studi Islam
Dosen Pembimbing :
Prof.Dr.H.Adang Djumhur S.,M.Ag
Disusun Oleh :
AHMAD HIDAYAT
NIM : 14112140028
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Setelah selesainya semua materi perkuliahan dalam program studi Metodologi Studi
Islam, maka saya bermaksud untuk meresume semua materi yang sudah didiskusikan oleh
para pemakalah. Selain itu dalam remuse ini bertujuan untuk melengkapi tugas mandiri yang
dibebankan kepada saya.
BAB 2
URGENSI STUDI ISLAM
a. Mulai muncul tradisi literer dimulai dengan pengumpulan al-qur’an (masa khulafaur
rasyidin)
b. Hadits juga mulai dikumpulkan dan ditulis dalam sebuah kitab (masa dinasti
abasiyyah). Para muhaddisin juga menyusun kriteria ilmiah bagi penerimaan hadits
dengan kategori shahih, hasan dan dha’if.
c. Perkembanggan studi islam mencapai puncaknya pada masa abasiyyah. Studi islam
yang dikembangkan hanya meliputi ilmu normatif islam yang bersumber pada teks
agama.
3. Studi Islam di Dunia Barat
BAB 3
RUANG LINGKUP STUDI ISLAM DAN PENDEKATANNYA
B. Pendekatan Antropologis
Pendekatan antropologis dalam memahami agama dapat diartikan sebagai salah satu
upaya memahami agama dengan cara melihat wujud praktek keagamaan yang tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat.[14] Melalui pendekatan ini agama Nampak lebih dekat
dengan masalah yang dihadapi manusia dan berupa menjelaskan dan memberikan
jawabannya.
Denganpendekatan antropologis kita melihat bahwa agama ternyata berkorelasi dengan
etos kerja dan perkembangan ekonomi masyarakat. Dalam hubungan ini, maka kita ingin
mengubah pandangan dan sikap etos kerja dengan cara mengubah pandangan keagamaannya.
Melalui penekatan ini juga, kita dapat melihat hubungan antara agama dan Negara.
Misalnya membandingkan Negara Republik Indonesia, yang mayoritas pendudukanya agama
islam, tetapi menjadikan pancasila sebagai dasar negaranya.[15]
Dengan demikian pendekatan antropologis sangat dibutuhkan dalam memahami ajaran
agama, karena dalam ajaran agama tersebut terdapat uraian dan informasi yang dapat
dijelaskan lewat bantuan ilmu antropologis.
C. Pendekatan Sosiologis
Sosiologi adalah ilmu yang menggambarkan tentang keadaan masyarakat lengkap dengan
struktur, lapisan,serta dengan gejala social.[16]Pendekatan sosiologis sangat penting dalam
memahami agama, karena dalam ajaran agama banyak yang berkaitan dengan masalah social.
Ilmu-ilmu social mendorong pemeluknya untuk belajar memahami agamanya.
Dalam ajaran islam, bahwa ibadah mengandung segi kemasyarakatan disbanding ganjaran
ibadah perorangan, terutama dalam hal shalat. Bili kita tidak mampu mengerjakan puasa pada
bulan ramadhan dikarenakan suatu hal, misal orang tua yang tak mampu puasa, maka ia
diwajibkan membayar fidhyah dalam bentuk memberikan makan kepada orang miskin. Dari
segi ini kita dapat melihat proses sosialnya.
Melalui pendekatan sosiologis agama akan dapat dipahami dengan mudah, karena agama
itu diturunkan umtuk kepentingan social. Dalm al-quran banyak terdapat ayat-ayat yang
berkenaan tentang hubungan manu8sia dengan manusia lainnya, sebab-sebab yang
menjadikan kemakmuran suatu bangsa. Semua itu dapat dijelaskan apabila yang
memahaminya mengetahui ilmu sosialnya.
D. Pendekatan Filosofis
Filsafat adalah berfikir secara mendalam, radikal, sistematik, universal dalam rangka
mencari kebenaran, inti, hikmah atau hakikat dalam mencari suatu jawaban. Mendalam
artinya dilakukan semaksimal munkgkin hingga batas akal tidak sanggup lagi. Radikal
artinya sampai ke akar permasalhan hingga tidah tersisa lagi. Sistematis artinya dilakukan
secara teratur dengan menggunakan metode berfikir tertentu. Universal artinya tidak dibatasi
hanya pada suatu kepentingan kelompok tertentu, tetapi menyeluruh.[17]
Berfikir secar filosofis dapat digunakan dalam memahami ajaran islam, dengan maksud
agar hikmah, hakikat atau inti dari agama dapat dimengerti dan dipaham secara seksama.
Ajaran agama misalnya mengajarkan agar melaksanakan salat berjamaah. Tujuannya antara
lain agar seseorang merasakan hikmahnya hidup secara berdampingan dengan orang lain.
Dengan mengerjakan puasa agar kita merasakan lapar dan menimbulkan rasa iba kepada
sesama yang hidup serba kekuranngan.[18]
Melalui pendekatan filosofis ini, seseorang tidak akan terjebak pada pengamalan agama
yang bersifat formalistic, yakni mengamalkan agama dengan susah payah tapi tidak dapat
makna apa pun, kosong tanpa arti. Yang mereka dapatkan hanyalah pengakuan formalisti,
misalnya sudah menunaikan ibadah haji, tapi mereka tidak dapat merasakan nilai-nilai
spiritual yang terkandung di dalamnya.
E. Pendekatan Historis
Sejarah atau historis adalah suatu ilmu yang di dalamya dibahas berbagai peristiwa dengan
memperhatikan unsure tempat, waktu, obyek, dan pelaku peristiwa.[19]
Pendekatan sejarah sangat penting dalam memahami agama, karenaagama itu turun dalam
situasi yang konkret bahkan berkaitan dengan kondisi social masyarakat. Kita mengenal
banyak kosep, baik konnsep abstrak maupun konsep konkret. Konsep tentang Allah,
malaikat, akhirat, merupakan suatu konsep abstrak. Sementaraitu dibutuhkan suatu konsep
konkret seperti: tentang dhua’fa (orang lemah), orang kafir, penguasa, serta koruptor-
koruptor. Melalui pendekatan sejarah ini seseorang diajak untuk memahami dan memasuki
keadaan yang sebenarnya berkenaan tentang suatu peristiwa.
F. Pendekatan Psikologis
Psikologi atau ilmu jiwa adalah ilmu yang mempelajari jiwa seseorang melalui gejala
perilaku yang dapat diamati. Menurut Zakiah Darajat, bahwa perilaku seseorang yang
Nampak lahiriyah terjadi karena pengaruh keyakinan yang di amutnya. Seseorang ketika
berjumpa saling mengucapkan salam, hormat kepada orang tua merupakan gejala keagamaan
yang dapat dijelaskan melalui ilmu jiwa. Dalam ajaran agama islam banyak kita jumpai
istilah-istilah yang menggambarkan sikap batin seseorang. Misalnya sikap beriman dan
bertaqwa kepada Allah, sebagai orang saleh, itu gemerupakan gejala-gejala yang berkaitan
dengan agama.
BAB 4
STUDI AL-QURAN DAN HADITS
4.1. AL-QURAN[20]
A. Pengertian Al-Qur’an
Secara etimologi, kata Al-Qur’an mengandung arti bacaan yang dibaca. Lafadz Al-
Qur’an berbentuk Isim Masdar dengan Isim Maful Lafadz Al-Qur’an dengan arti bacaan,
misalnya dapat dilihat pada Firman Alloh pada Surat Al-Qiyamah:17,Artinya:“Sesungguhnya
atas tanggungan Kamilahmengumpulkannya (di dalamu) dan (membuatmu pandai)
membacanya. Menurut pendapat yang peling kuat, seperti yang dikemukakan oleh Subhi
Sholih, Al-Qur’an berarti bacaan. Ia merupakan turunan (masdar) dari kata Qara’a (fiil madli)
dengan arti isim al Maf’ul, yaitu maqru’ yang artinya dibaca-baca.
Bertolak dari analisa pandangan beberapa tokoh atau Ulama’ dalam mengartikan Al-
Qur’an secara Terminologi, kiranya dapat ditegaskan bahwa Al-Qur’an adalah kalamulloh
yang mu’jiz, yang turunnya kepada Nabi Besar Muhammad Sholallohu ‘Alaihi Wa Sallam,
dengan melalui Malaikat Jibril, dengan lafadz Arab, yang ditulis dalam Mushaf yang
membacanya sebagai suatu ibadah, dan diriwayatkan secara Mutawatir.
B. Kandungan Al-Qur’an
Al-Qur’an merupakan kitab Suci yang didalamnya sudah si jelaskan sistem
perekonomian, Politik, Sosial, Budaya, Ilmu Pengetahuan dan seterusny, sehingga tidak ada
suatupun yang terlupakan olehnya. Hal ini di dasarkan pada Al-Qur’an Surat Al-Maidah ayat
3:
Artinya : Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang
disembelih atas nama selain Alloh, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk,
dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu sembelihnyadan (diharamkan
bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan
anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. Pada hari ini orang-
orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut
kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah kusempurnakan untuk kamu
agamamu, dan telah kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah kuridhoi Islam itu jadi
agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa,
sesungguhnya Alloh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Ayat-ayat di atas dan yang senada dengannya memang dapat diartikan bahwa Al-
Qur’an adalah kitab yang sempurna isinya dalam arti tidak ada sesuatupun yang dilupakan
dan segala-segalanya telah dijelaskan dalam isinya. Berikut ini adalah perkiraan komposisi
ayat Al-Qur’an dan isinya. Al-Qur’an-Al-Qur’an yang memuat ketentuan tentang Iman,
Ibadah, dan hidup kemasyarakatan kurang lebih hanya ada 500 buah ayat atau 8 prosen dari
keseluruhan Ayat Al-Qur’an. Dari sejumlah itu, ayat-ayat mengenai ibadah ada 140, dan
tentang hidup kemasyarakatan ada 228 ayat, dan kemudian sisanya berisi tentang keimanan.
C . Otentisitas Al-Qur’an
Janji Alloh untuk menjaga otentisitas Al-Qur’an. Penggalan ayat “Wa Inna Lahu
Lafaidhun” mengandung dua pengertian penting terkait dengan pemeliharaan Al-Qur’an.
Pertama, secara bahasa susunan kalimat semacam ini memiliki kaedah makna “istimror”
yakni terus menerus; kedua, dipergunakan kata “innd” sebagai kata ganti bagi Alloh dalam
penggalan ayat itu menunjukkan perlunya keteribatan manusia (selain Alloh) dalam
pemeliharaan Al-Qur’an itu. Atas dasar kedua hal ini dapatlah dipahami bahwa Alloh
senantiasa menjaga otentitas al-Qur’an sampai akhir zaman. Hanya saja dalm aktivitas
pemeliharaannya itu, Alloh menuntun kepada manusia agar ikut berperan aktif di dalamnya.
Dengan adanya jaminan setegas ini maka setiap muslim percaya betul dan wajib
percaya, bahwa apa yang dibaca dan didengarkan sebagai Al-Qur’an seperti ini tidak berbeda
sedikitpun dengan Al-Qur’an yang pernah dibaca oleh Rosululloh dan didengar serta
dibacanya oleh para Sahabat Nabi. Inilah makna sebenarnya dari otentitas Al-Qu’an.
E. Fungsi Al-Qur’an
Dari sudut isi atau subsitansinya, funsi Al-Qur’an sebagai tersurat dalam nama-
namanya adalah sebagai berikut :
a.Al-Huda (petunjuk)
b.Al-Furqon (pemisah)
c.Al-Syifa’ (obat)
d.Al-Mu’izhah (nasihat)
e.Al-Qur’an Sebagai Sistem Nilai
Keberagaman penafsiran ini merupakan perwujudan dari watak dasar yang dibawa oleh
Al-Qur’an, terbuka terhadap keragaman penafsiran (interpretable) atau qobil An-Niqash
dalam pemaknanya.Watak dasar Al-Qur’an yang menimbulkan keberagaman penafsiran di
atas digambarkan oleh Abdullah Darraz dengan, “Bagaikan Intan yang setiap sudutny
memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut yang lain,
dan tidak mustahil jika anda mempersilahkan orang lain memandangnya, maka ia akan
melihat lebih banyak dari apa yang anda lihat.
4.2 . HADIST[21]
Hadist sebagai sumber sumber ajaran Islam yang ke-dua setelah Al-Qur’an, telah
menjadi perhatian khusus dikalangan para intelektual Muslim ataupun Barat (Orientalis)
terutama perdebatan mereka tentang keotentikan Hadist-hadist nabi yang menyebabkan
timbulnya kelompok-kelompok penentang Hadist (Inkarussunah).
A . Ilmu Hadist
Ilmu Hadits merupakan ilmu pengetahuan yang ke-dua setelah ilmu al-Qur’an yang
mesti diketaui oleh setiap insan muslim. Berpegang kepada kedua sumber ilmu pengetahuan
islam yang paling mendasar ini merupakan cara islam menyelamatkan diri dari tersesat yang
salah.
Mempelajari al-Qur’an tidak bisa terlepas dari perhatian terhadap Ilmu Al-Hadist
terutama sekali tentang ayat-ayat tasy-ri’ dan Qodho. Mempelajari Al-Hadist memelukan
perhatian yang sangat teliti. Hal ini disebabkan berbagai asalan
a).Al-Hadist sebagai sumber Syari’ah yang kedua merupakan sumber ajaran yang
lahir dari seseorang manusia, tidak lahir seperti Al-Qur’an, yang selalu dicatat
oleh sahabat rosul setiap kali muncul.
b).Al-hadist sampai kepada kita melalui proses periwayatan para sahabat, tabi’in
dan seterusnya, dalam kadar keperibadian yang berbeda-beda ditinjau dari
kriteria para ahli ilmu hadist.
c).Al-Hadist sampai kepada kita lewat kurun waktu yang tidak terlepas dari
sejarah peradapan manusai yang tidak punya jaminan untuk tegaknya
kebenaran.
B . Pengertian Hadist
a).Melalui pendekatan kebahasaan (Linguistik)
Melalui pendekatan kebahasaan hadist berasal dari “Hadatsa –yuhdistu- hadtsan- wa
hadi-tsan” kata tersebut mempunyai arti yang bermacam-macam, yaitu :
1. Aljadid minal Asya : artinya sesuatu yang baru. Kata tersebut lawan dari kata al-qodim
artinya sesuatu yang telah lama, kuno, klasik. Pengunaan dalam arti demikian kita temukan
dalam ungkapan hadits albina dengan arti jadid al bina artinya bangunan baru.
2. Al-khobar : artinya maa ya kaddasa bihi wayaqol, artinya sesauatu yang dibicarakan atau
diberitakan dialihkan dari seseorang ke orang lain.
3.Al-Qorib artinya pada waktu yang dekat, pada waktu yang singkat, pengertian ini
digunakan pada ungkapan qorib al-‘ahd bi a- islam yang artinya orang yang baru masuk
islam.
Ada sebagian ulama yang menyatakan adanya arti “baru” dalam kata hadits kemudian
mereka menggunakan kata tersebut sebagai lawan kata qodim (lama) dengan maksud qodim
sebagai kitab Alloh, sedangkan yang “baru” yaitu apa yang didasarkan kepada belia nabi
muhammad sholalloohu ‘alaihi wa sallam. Syaikh islam ibnu hajar berkata : “Yang dimaksud
dengan hadits menurut pengertian syara’ adalah apa yang disandarkan kepada nabi
sholalloohu ‘alaihi wa sallam, dan hal itu seakan-akan sebagai bandingan al qur’an adalah
qodim yang dimana terdapat di dalam syarah al bukhori.
b. Melalui pendekatan Istilah (terminologis)
Selanjutnya kata hadist dari segi istilah (terminologi) di temukan pendapat yang
berbeda. Hal ini disebabkan berbedanya cara memandang yang digunakan oleh masing-
masing dalam melihat sesuatu masalah :
1.Para ulama hadist misalnya mengartikan bahwa hadist adalah ucapan, perbuatan, dan
keadaan Nabi Muhammad Sholallohu ‘Alaihi Wa Sallam.
2.Sementara ulama hadist lain seperti Atthibi berbeda, bahwa hadist bukan hanya perkataan,
perbuatan serta ketetapan rosullulah akan tetapi termasuk perkataan, perbuatan dan ketetapan
para sahabat dan tabi’in.
3.Ulama ahli usul fiqh mengartikan hadist dalam perkataan perbuatan serta ketetapan
rosulullah yang berkaitan dengan hukum.
4.Ulama ahli fiqih mengidentikan hadist dengan sunnah yaitu sebagai salah satu hukum
taklifi, bila dikerjakan dapat pahala bila ditinggalkan tidak apa-apa.
Para Muahadditsin (Ulama Ahli Hadits) berbeda-beda pendapatnya dalam menta’rifkan
al hadits. Perbedaan pendapat tersebut disebabkan karena terpengaruh oleh terbatas dan
luasnya obyek peninjauan mereka masing-masing. Dari perbedaan sifat peninjauan mereka
itu melahirkan dua macam ta’rif al hadits, yaitu : pengertian yang terbatas di satu pihak dan
pengertian yang luas di pihak lain.
Ta’rif atau pengertian yang terbatas, sebagaimana dikemukakan oleh jumhurul
muahadditsin, yaitu :
“Ialah sesuatu yang disandarkan kepada nabi muhammad sholalloohu ‘alaihi wa sallam,
baik berupa perkataan, perbuatan, pernyataan (taqrir) dan yang sebagainya”.
Dari pengertian diatas terdapat empat macam unsur yakni :
a.Perkataan yaitu perkataan yang pernah beliau Nabi Muhammad Sholalloohu ‘Alaihi Wa
Sallam ucapkan dalam berbagai bidang, seperti bidang hukum (Syari’ah), akhlaq, ‘aqidah,
pendidikan dan sebagainya. Sebagaimana contoh perkataan beliau yang mengandung hukum
Syari’ah, misalnya sabda beliau :
“hanya amal-amal perbuatan itu dengan niat, dan hanya bagi setiap orang itu memperoleh
apa yang ai niatkan .... Dan seterusnya”.
b.Perbuaatan yaitu perbuatan Nabi Muhammad Sholllaooohu ‘Alaihi Wa Sallam,
merupakan penjelasan praktis terhadap peraturan-peraturan Syari’ah yang belum jelas cara
pelaskanaannya.
Perbuatan beliau dalam masalah cara bersholat dan cara berhadap kiblat dalam sholat di
atas kendaraan yang sedang berjalan, telah dipraktekkan oleh nabi dengan perbuatan beliau di
hadapan para sahabat. Dapat kita ketahui berdasarkan berita dari sohabat Jabir RA. Yaitu :
“Dulu rodululloh sholalloohu ‘aliahi wa sallam bersabda di atas kendaraan (dengan
menghadap kiblat) menurut kendaraan itu menghadap. Apabila beliau hendak sholat fardu,
beliau sebentar, terus mengahdap kiblat”.
c.Taqrir ialah keadaan beliau mendiamkan, tidak mengadakan sanggahan atau menyetujui
apa yang telah dilakukan atau diperkatakan oleh para sahabat di hadapan beliau.
Contoh taqrir nabi tentang perbuatan sahabat dalam acara jamuan makan, menyajikan
makanan daging biawak dan mempersilahkan kepada nabi untuk menikmatinya bersama para
undangan. Beliau menjawab :
“Tidak (maaf) berhubung binatang ini tidak terdapat di kampung kaumku, aku jijik padanya
!”
Kata kholid : “segera aku memotongnya dan memakannya sedang rosulullooh sholalloohu
‘alaihi wa sallam, melihat kepadaku”.
d.Sifat-sifat, keadaaan-keadaan dan himmah (hasrat) Rosulullah Sholallohu ‘alaihi wa
sallam.
Secara terminologi al Hadits menurut Muhadditsin (ahli hadist), sinonim dengan
sunnah. Keduanya diartikan sebagai segala sesuatu yang diambil dari Rosululloh Sholallohu
‘alaihi wa sallam sebelum dan sesudah diangkat menjadi Rosul akan tetapi bila disebut kata
hadits, umumnya dipakai sebagai segala sesuatu yang diriwayatkan dari Rosul setelah
kenabian, baik serupa sabda, perbuatan maupun taqrir.
Hadits dan sunnah merupakan dua hal yang identik. Keduannya sehingga sering
digunakan secara bergantian untuk menyebut hal ikhwal tentang Nabi Sholallohu ‘alahi wa
sallam. Akan tetapi kajian terhadap berbagai literature awal menunjukkan sunnah dan hadits
merupakan dua hal yang berbeda.
2.Hadist Ahad
Hadist Ahad adalah hadist yang jumlah rawi pada thobaqoh pertama, kedua, ketiga dan
seterusnya terdiri dari tiga orang atau dua orang atau bahkan seorang. Haidts Ahad yaitu
hadits yang diriwayatkan oleh satu atau dua perowi, hadits Ahad ini tidak memenuhi hadits
mutawatir ataupun masyhur. Hadits ini tidak sampai pada jumlah periwayatan hadits mashur.
Imam syafi’I menyebut hasits ini dengan istilah khusus, yaitu khobar al khas. Yang mana
hadist ini dikelompokkan oleh ahli hadist menjadi tiga bagian yaitu hadist Masyhur, Hadist
‘Aziz dan Hadist Ghorib.
3.Hadits Masyhur
Yaitu hadits yang memiliki jalur terbatas oleh lebih dua perowi namun tidak mencapai
batas mutawatir.
G . Unsur-Unsur Hadist
Ada beberapa unsur-unsur yang terdapat dalam hadits diantaranya yaitu :
a. Rowi yaitu orang yang menyampiakan menuliskan suatu kitab apa-apa yang pernah
didengar dan diterimanya dari seorang gurunya.
b. Matnu’l Hadits yaitu pembicaraan (kalam) atau materi berita yang di over oleh sanad yang
terakhir, baik pembicaraan itu sabda Rosululloh saw. sahabat ataupun tabi’in.
c. Sanad yaitu jalan yang dapat menghubungkan materi hadits kepada Junjungan kita Nabi
Muhammad saw.
BAB 5
STUDI PEMIKIRAN ISLAM KALAM
3. Mutazilah
Arti kebahasaan dari kata mutazilah adala ‘sesuatu yang mengasingkan diri’. Sementara
yang dimaksud disini adalah golongan yang mengasingkan diri mayoritas umat islam karena
berpendapat bahawa seorang muslim yang fasiq idak dapat disebut mukmin atau kafir.
Imam Syafi’I menuturkan perdebatannya dengan orang yang menolak sunnah, namun
beliau tidak menelaskan siapa arang yang menolak sunah itu. Sementara sumber-sumber yang
menerankan sikap mutazilah erhadap sunnah masih terdapat kerancuan, apakah
mutazilah menerima sunnah keseluruhan, menolak keseluruhan, atau hanya menerima
sebagian sunnah saja.
Kelompok mutazilah menerima sunnah seperti halnya umat islam, tetapi mungkin ada
beberapa hadits yang mereka kritik apabila hal tersebut berlawanan dengan pemikiran
mazhab mereka. Hal ini tidak berarti mereka menolak hadits secara keseluruhan, melainkan
hanya menerima hadits yang bertaraf mutawatir saja.[24]
BAB 6
STUDI PEMIKIRAN ISLAM FIQH
6.1.Pengertian Ilmu Fiqih
Dilihat dari sudut bahasa, fiqih berasal dari kata “faqaha” yang berarti “memahami” dan
“mengerti”. Dalam peristilahan syar’I, ilmu fiqih dimaksudkan sebagai ilmu yang berbicara
tentang hukum-hukum syar’I amali (praktis) yang penetapannya diupayakan melalui
pemahaman yang mendalam terhadap dalil-dalilnya yang terperinci (baca: al-tafshili) dalam
nash (Al-qur’an dan hadis).
Fiqh menurut bahasa Arab ialah paham atau pengertian. Menurut istilah ialah ilmu untuk
mengetahui hukum-hukum syara’ yang pada perbuatan anggota, diambil dari dalil-dalilnya
yang tafsili (terinci).Fiqih atau fiqh (bahasa Arab: )ﻓﻘﻪadalah salah satu bidang ilmu dalam
syariat Islam yang secara khusus membahas persoalan hukum yang mengatur berbagai aspek
kehidupan manusia, baik kehidupan pribadi, bermasyarakat maupun kehidupan manusia
dengan Tuhannya.[25]
Hukum syar’I yang dimaksud dalam definisi di atas adalah segala perbuatan yang diberi
hukumnya itu sendiri dan diambil dari syariat yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.
Adapun kata ‘amali dalam definisi itu dimaksudkan sebagai penjelasan bahwa yang menjadi
lapangan pengkajian ilmu ini hanya yang berkaitan dengan perbuatan (‘amaliyah) mukallaf
dan tidak termasuk keyakinan atau itikad (‘aqidah) dari mukallaf itu. Sedangkan dalil-dalil
terperinci (al-tafshili) maksudnya adalah dalil-dalil yang terdapat dan terpapar dalam nash
dimana satu persatunya menunjuk pada satu hukum tertentu.
Dalam versi lain, fiqih juga disebut sebagai koleksi (majmu’) hukum-hukum syariat yang
berkaitan dengan perbuatan mukallaf dan diambil dari dalil-dalilnya yang tafshili.Dengan
sendirinya, ilmu fiqih dapat dikatakan sebagai ilmu yang bicara tentang hukum-hukum
sebagaimana disebutkan itu.
6.2. Sejarah Perkembangan Fiqh Islam[26]
1. Di Masa Rasulullah saw.
Rasulullah saw. semasa hidupnya menjadi referensi setiap muslim untuk mengetahui
hukum agamanya. Baik hukum itu diambil dari Al-Qur’an maupun dari Sunnahnya; yang
mencakup perbuatan, ucapan, dan ketetapannya. Hukum yang Rasulullah perintahkan adalah
hukum Allah yang bersifat qath’iy meskipun berbentuk pemahaman terhadap ayat Al-Qur’an
atau tafsirnya. Karena peran Rasulullah adalah menjelaskan Al-Qur’an. Firman Allah, “Dan
Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa
yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” (QS. An-Nahl: 44).
Kadang sekelompok sahabat berbeda ijtihadnya sehinggga ketika masalah disampaikan
kepada Rasulullah saw., Beliau menetapkan ijtihad yang benar dan menjelaskan kesalahan
yang salah. Pernah juga Rasulullah saw. menerima dua ijtihad yang bertentangan, yaitu
ketika Nabi memerintahkan kaum muslimin untuk berangkat ke Bani Quraidhah dengan
sabda, “Janganlah ada seseorang yang shalat ashar kecuali di Bani Quraidhah.”
(Selengkapnya hadits ini diriwayatkan oleh Al Bukhariy dalam Kitabul Maghaziy).
2. Sejak Wafat Nabi Sampai Wafatnya Empat Imam Madzhab
Setelah Rasulullah saw. wafat dan wilayah-wilayah baru Islam sangat luas, mulailah
kebutuhan ijtihad para sahabat meningkat tajam. Hal ini disebabkan oleh dua hal:
1. Masuknya Islam ke masyarakat baru membuat Islam berhadapan dengan problema yang
tidak pernah terjadi di masa Rasulullah saw., tidak ada wahyu yang turun, dan terdapat
keharusan untuk mengetahui hukum agama dan penjelasannya.
2. Seorang sahabat Nabi tidak mengetahui keseluruhan sunnah Nabi. Karena Rasulullah saw.
menyampaikan atau mempraktekkan satu hukum syar’i di hadapan sebagian sahabat, atau
bahkan di hadapan satu orang sahabat saja, tidak diliput oleh keseluruhan sahabat. Hal ini
mendorong sebagian sahabat berijtihad dalam masalah yang tidak diketahuinya dari
Rasulullah saw., pada saat yang sama mungkin sahabat lain menerima langsung hukum syar’i
itu dari Rasulullah saw.
Jarak antara para sahabat yang berjauhan setelah wafatnya Umar bin Al Khaththab r.a.,
terbukalah ruang tampilnya dua madrasah (sekolah) yang berbeda dalam menggali fiqh:
1. Madrasatul Hadits di Hijaz, disebut demikian karena kebanyakan mereka berpegang
kepada riwayat hadits. Hijaz adalah lahan Islam pertama. Setiap penduduknya kadang
memiliki satu hadits atau lebih. Sebagaimana tabiat dan problem masyarakat yang tidak
mengalami banyak perubahan, sehingga tidak memerlukan ijtihad.
2. Madrasatur-ra’yi di Kufah. Disebut demikian karena banyak menggunakan akal dalam
mengenali hukum-hukum syar’i. Hal ini terpulang kepada sedikitnya hadits akibat sedikitnya
sahabat di sana, dan karena banyaknya problema baru dalam masyarakat baru yang tidak ada
dasarnya sama sekali.
Pada awalnya perbedaan antara dua madrasah itu sangat tajam. Hanya saja kemudian
semakin menyempit bersamaan dengan perkembangan waktu, khususnya setelah hadits-
hadits ditulis dan terbitkan dalam bentuk buku (pembukuan buku-buku hadits). Ditambah
oleh keseriusan para ulama untuk menyaring dan menjelaskan mana yang shahih, dhaif
(lemah), dan palsu, sehingga tidak banyak membutuhkan pendapat kecuali ketika tidak ada
nash untuk satu masalah yang timbul. Adapun berijtihad dalam alur nash itu sendiri sudah
ada di Madrasatul Hadits sebagaimana terdapat di Madrasatur-ra’yi.
Pada fase inilah terjadi perkembangan fiqh yang sangat besar dan menjadi satu ilmu
tersendiri dengan menampilkan ulama-ulama besar yang terkenal. Mereka adalah ulama
empat madzhab, yaitu:
1. Abu Hanifah, An-Nu’man bin Tsabit (80-150 H) dikenal dengan sebutan Al-Imam
Al-A’zham (ulama besar), berasal dari Persia. Pemegang kepemimpinan ahlur-ra’yi,
pencetus pemikiran istihsan (menganggap baik sesuatu), dan menjadikannya sebagai
salah satu sumber hukum Islam. Kepadanyalah Madzhab Hanafi dinisbatkan.
2. Malik bin Anas Al-Ashbahi (93-179 H). Dialah Imam Ahli Madinah yang
menggabungkan antara hadits dan pemikiran dalam fiqihnya. Dialah pencetus istilah
al-mashalih al-mursalah (kebaikan yang tidak disebutkan dalam teks) dan
menjadikannya sebagai sumber hukum Islam. Kepadanyalah Madzhab Maliki
dinisbatkan.
3. Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i Al-Qurasyi (150-204 H). Madzhabnya lebih dekat
kepada ahlul hadits, meskipun ia banyak mengambil ilmu dari pengikut Abu Hanifah
dan Malik bin Anas. Kepadanyalah Madzhab Syafi’iy dinisbatkan.
4. Ahmad bin Hanbal Asy-Syaibaniy (164-241 H). Dia adalah murid Imam Syafi’i, dan
madzhabnya lebih dekat kepada ahlul hadits.
Dan kenyataannya sebelum munculnya para imam ini, bersama dan sesudah mereka itu,
terdapat ulama-ulama besar yang tidak kalah perannya, terutama ulama di kalangan sahabat,
seperti Abdullah ibn Mas’ud, Abdullah ibn Abbas, Abdullah ibn Umar, dan Zaid bin Tsabit.
Demikian juga ulama di masa tabi’in seperti Said bin Musayyib, Atha’ bin Abi Rabah,
Ibrahim an-Nakha’iy, Al-Hasan Al-Bashriy, Mak-hul, dan Thawus. Kemudian para gurunya
empat imam madzhab itu, dan ulama semasanya seperti Imam Ja’far Ash-Shadiq, Al-
Auza’iy, Ibnu Syubrumah, Al-Laits bin Sa’d, dan lain-lain.
Akan tetapi empat Imam Madzhab itu memiliki para pengikut yang merangkum
pendapatnya, merapikannya, menjelaskannya, atau meringkasnya untuk disajikan dengan
mudah kepada kaum muslimin. Sehingga, kaum muslimin dapat memperoleh apa saja yang
membantunya memahami hukum Islam dengan tersusun rapi. Kemudian diajarkan di masjid-
masjid beberapa tahun. Demikianlah sehingga menjadi pondasi bagi kehidupan kaum
muslimin, membuatnya sudah cukup sehingga mereka tidak perlu merujuk kepada buku-buku
tafsir, atau hadits untuk mengetahui hukum Islam karena telah disajikan dengan methode
madzhab fiqh yang instant.
3. Sejak Wafatnya Empat Imam Madzhab Sampai Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah
Kaum muslimin menerima empat madzhab dengan talaqqi, dan menjadikannya sebagai
pegangan fiqh Islam. Para ulama mempelajari dan mengajarkannya. Mulailah fiqh menyebar
luas dari terapi masalah sampai pada analisis kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi.
Kajian-kajian fiqh tersebar luas, dan mulai muncul fanatik madzhab yang menjadikan
pengikut suatu madzhab menganggap dirinyalah yang Islam, dari yang semula hanya
merupakan hukum dan pendapat yang berkembang dalam batas-batas ajaran Islam yang luas.
Kemudian para ulama empat madzhab itu mengeluarkan fatwa tentang tertutupnya pintu
ijtihad, sehingga orang-orang yang tidak berkompeten tidak masuk ke wilayah ini, lalu diikuti
oleh orang-orang awam sehingga umat Islam berada dalam gelombang ketidakpastian yang
menghapus apa yang sudah dibangun oleh para ulama besar sebelumnya.
Demikianlah sehingga berubah kepada taqlid. Para ulama mengarahkan usahanya untuk
mencari dalil atas pendapat-pendapat madzhab, berijtihad di dalam madzhab, mentarjih
antara pendapat yang berbeda-beda dalam satu madzhab. Jadilah fiqh berputar dalam dirinya
sendiri. Seorang ulama fiqh mensyarah (menjelaskan) kitab fiqh imam sebelumnya dengan
penjelasan rinci berjilid-jilid besar, lalu datang ulama berikutnya yang meringkasnya,
kemudian ada yang memberikan ta’liq (catatan) atas ringkasan itu untuk menguraikan
sebagian ketidakjelasan, lalu ada yang menulis hasyiyah (catatan pinggir)-nya, kemudian ada
yang kembali menguraikannya dengan detail.
Demikianlah fiqh mengalami kejumudan untuk menguraikan realitas yang ada. Terjadi
pembengkakan kajian masalah ibadah sementara masalah-masalah politik Islam, masalah
mu’amalat. Sehingga ketika terjadi serangan Barat terhadap negeri Islam pada akhir abad
sembilan belas ditemukan banyak sekali orang-orang yang sudah kalah jiwanya, lalu
menerima banyak sekali pikiran Barat yang bertentangan dengan syari’at Islam dan
menanggalkan atribut ke-Islam-an. Sehingga ada seorang tokoh yang berfatwa
memperbolehkan uang riba untuk memberi makan anak-anak yatim, mengesahkan aturan
yang menyamakan hak laki-laki dan wanita dalam memperoleh harta warisan.
1. Al-Ibadah, yaitu hukum yang berkaitan dengan shalat, haji dan zakat.
2. Al-Ahwal asy-Syahsiyyah, yaitu hukum yang berkaitan dengan keluarga sejak awal
sampai akhir.
3. Al-Mu’amalat, yaitu hukum yang berkaitan dengan hubungan antar manusia satu
dengan yang lain seperti hukum akad, hak kepemilikan, dan lain-lain.
4. Al-Ahkam as-Sulthaniyah, yaitu hukum yang berkaitan dengan hubungan negara
dan rakyat.
5. Ahakmus silmi wal harbi, yaitu yang mengatur hubungan antar negara.
Hukum syar’i yang bersifat qath’iy ini tidak ada peluang khilaf (beda pendapat) di
antara kaum muslimin di level ulama, madzhab, dan umat secara umum. Sebab, semua itu
adalah hukum-hukum agama yang secara aksiomatis diterima sebagai dharuriyyat
(kepastian). Dan jumlahnya relatif lebih kecil dibandingkan dengan hukum syar’i yang
zhanniy.
2. Zhanny, meliputi, pertama, sekumpulan hukum yang ditunjukkan oleh Al-Qur’an dan as-
Sunnah dengan kesimpulan zhanniy (hipotesa); dan kedua, sekumpulan hukum yang digali
oleh para ulama dari sumber-sumber syar’i yang lain dengan berijtihad.
BAB 7
STUDI PEMIKIRAN ISLAM FILSAFAT[28]
BAB 8
STUDI PEMIKIRAN ISLAM TASAWUF[29]
BAB 9
PENDEKATAN-PENDEKATAN STUDI ISLAM
Dewasa ini kehadiran agama semakin dituntut agar ikut terlibat secara aktif di dalam
memecahkan berbagai masalah yang dihadapi umat manusia. Agama tidak boleh hanya
sekedar menjadi lambang kesalehan atau berhenti sekadar disampikan dalam kotbah,
melainkan secara konsepsional menunjukkkan cara-cara yang paling efektif dalam
memecahkan masalah.
Tuntutan terhadap agama yang demikian itu dapat dijawab manakala pemahaman
agama yang selama ini banyak menggunakan pendekatan teologis dilengkapi dengan
pemahaman agama yang menggunakan pendekatan lain, yang secara operasional konseptual,
dapat memberikan jawaban terhadap masalah yang timbul.
Dalam memahami agama banyak pendekatan yang dilakukan. Hal demikian perlu
dilakukan, karena pendekatan tersebut kehadiran agama secara fungsional dapat dirasakan
oleh penganutnya.
Berbagai pendekatan tersebut meliputi pendekatan teologis normatif, antropologis,
sosiologis, psikologis, historis, kebudayaan dan pendekatan filosofis. Adapun yang dimaksud
dengan pendekatan di sini adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam suatu
bidang ilmu yang selanjutnya digunakan dalam memahami agama. Dalam hubungan ini,
Jalaluddin Rahmat mengatakan bahwa agama dapat diteliti dengan menggunakan berbagai
paradigma.
Untuk lebih jelasnya berbagai pendekatan tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut :
9.1. Pendekatan Teologis Normatif
Pendekatan teologis normatif termasuk salah satu pendekatan studi islam yang cukup
populer dikalangan umat islam. Pendapat ini dalam memahami agama dengan mengunakan
kerangka ilmu ketuhanan yang bertolak dari suatu keyakinan bahwa wujud empiris dari suatu
keagamaan dianggap yang paling benar dibandingkan dengan yang lainya.[30]
Dalam kamus inggris Indonesia, kata teologi diartikan ilmu agama, sedangkan dalam
arti istilah teologi adalah ilmu yang membicarakan tentang masalah ketuhanan, sifat-sifat
wajibnya, sifat-sifat mustahilnya dan hal-hal lain yang berhubungan dengan pmbuatanya
Dengan demikian teologi adalah istilah ilmu agama yang membahas ajaran ajaran dasar
dari suatu agama atau suatu keyakinan yang tertanam dihati sanubari. Setiap orang yang ingin
memahami seluk beluk agamanya, maka perlu mempelajari teologi yang terdapat dalam
agama yang diyakininya.
Adapun kata normatif berasal dari bahasa ingris norm yang berarti norma, ajaran,
acuan, ketentuan tentang masalah yang baik dan buruk yang boleh dilakukan dan yang tidak
boleh dilakukan. Sedangkan istilah normatif adalah prinsif prinsif atau pedoman pedoman
yang menjadi petunjuk manusia pada umumnya untuk hidup bermasyarakat.
Pendekatan teologi daam pendekatan pemahaman keagmaan adalah pendekatan yang
menekankan pada bentuk formal atau simbol simbol keagamaan tersebut mengklaim dirinya
sebagai yang paling benar sedangkan yang lainya adalah salah. Aliran teologi yang satu
begitu yakin dan fanatik bahwa fahamnyalah yang paling benar sedangkan yang lainya adalah
salah, sehingga memandang faham orang lain itu keliru, sesat, kafir, murtad dan seterusnya.
Pendekatan teologis ini erat kaitanya dengan pendekatan normatif, yaitu suatu
pendekatan yang memandang agama dari segi ajaranya yang pokok dan asli dari tuhan yang
di dalamnya belum terdapat penalaran pemikiran manusia. Dalam pendekatan teologi
normatif ini agama dilihat sebagai suatu kebenaran mutlakdari tuhan, tidak ada kekurangan
sedikitpun dan tempat bersikap ideal.
Dari uraian diatas, pendekatan ini menunjukkan adanya kekurangan, antara lain:
bersifat eklusif, dogmatis, dan tidak mau mengakui kebenaran agama lain. Kekurangan
pendekatan dapat dilengkapi dengan pendekatan sosiologis.
Sedangkan kelebihan dari pendekatan teologis normatif adalah melalui pendekatan ini
seorang akan memiliki sikap mencintai dalam beragama yakni berpegang teguh kepada
agama yang diyakininya sebagai yang bnar tanpa memandang dan meremehkan agama lain.
Dengan pendekatan yang demikian seseorang akan memiliki sikap fanatis terhadap agama
yang dianutnya.[31]
Klasifikasi atau pembidangan ilmu-ilmu agama islam erat hubungannya dengan
perkembangan islam dalam sejarah. Tidak bisa dipungkiri bahwa ajaran islam mengalami
perkembangan dalam sejarah, sejak zaman Nabi Muhammad Saw sampai ke zaman kita
sekarang, dan akan terus berkembang lagi pada masa depan.
Ajaran-ajaran islam tidak turun sekaligus begitu saja dari langit melainkan diturunkan
secara berangsur-angsur kepada Nabi Muhammad Saw. Sesuai dengan perkembangan umat
islam pada zaman beliau hidup. Alqur’an datang untuk meluruskan keyakinan manusia
dengan membuat ajaran tauhid. Tauhid adalah suatu ilmu yang membahas tentang wujud
Allah, tentang sifat-sifat yang wajib tetap pada Nya. Sifat-sifat yang lebih disifatkan
kepadaNya dan tentang sifat yang sama sekali wajib dilenyapkan dari padaNya.
9.2. Pendekatan Antropologis
Pendekatan antropologi dalam memahami agama dapat di artikan sebagagai salah satu
upaya memahami agama dengan cara melihat wujud praktis keagamaan yang tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat. Antropologi dalam kaitan ini sebagai mana dikatakan Dewan
Raharjo, lebih mengutamakan pengamatan langsung, bahkan sifatnya partisipatif. Penelitian
antropologi yang induktif, yaitu turun kelapangan tanpa berpijak pada, atau setidak-tidaknya
dengan upaya pembebasan diri kungkungan teori-teori formal yang pada dasarnya sangat
abstrak sebagai mana yang dilakukan dibidang sosiologis dan lebih-lebih ekonomi yang
mengunakan model model matematis.
Karl marx (1818-1883) sebagai contoh melihat agama sebagai opium atau candu
masyarakat tertentu sehingga mendorongnya untuk memperkenalkan teori konflik atau yang
biasa disebut dengan teori pertentangan kelas. Lain hanya dengan Max Weber (1964-1920).
Dia melihat adanya korelasi positif antara ajaran protestan dengan munculnya semangat
munculnya kapitalisme modern. Etika protestan dilihatnya sebagai cikal bakal etos kerja
masyarakat industri yang modern yang kapitalistik.
Melalui pendekatan antropologis sebagaimana disebut di atas, kita melihat bahwa
agama ternyata berkorelasi dengan etos kerja dan perkembangan ekonomi suatu masyarakat.
Dalam hubungan ini, maka jika kita ingin mengubah pandangan dan sikap etos kerja
seseorang, maka dapat dilakukan dengan cara mengubah pandangan keagamaanya.
Selanjutnya melaui pendekatan antropologis ini, kita dapat mlihat agama dalam
hubunganya dengan mekanisme pengorganisasian. Seperti kasus di Indonesia, peneliti
Clifford Geertz dalam karyanya The Religion of Java dapat dijadikan contoh Yang baik
dalam hal ini, Geertz melihat adanya klasifikasi social dalam masyarakat muslim di Java,
antara santri, priyayai dan abangan.
Pendekatan antropologis seperti itu diperlukan adanya, karena banyak berbagai hal yang
di bicarakan agama hanya bias dijelaskan dengan tuntas melalui pendekatan antropologis.
Dalam alquran alkarim, sebagai sumber utama ajaran islam misalnya kita memperoleh
informasi tentang kapan nabi nuh di gunung Arafat, kisah ashabul kafi yang dapat bertahan
dalam gua lebih dari tiga ratus tahun.
Dengan demikian pendekatan antropologi sangat dibutuhkan dalam memahami ajaran
agama, karena dalam ajaran agama tersebut terdapat uraiyan dan informasi yang dapat
dijelaskan lewat bantuan ilmu antropologi dengan cabang cabangnya.[32]
Salah satu konsep kunci terpenting dalam antropologi modern adalah holisme,
yaknipandangan bahwa praktik praktik sosial harus diteliti dalm konteks dan secara esensial
dilihat sebagai praktik yang berkaitan dengan yang lain dalam masyarakat yang sedang di
teliti. Para antropologis harus melihat agama dan praktik praktik pertanian, kekeluargan dan
politik, magig dan pengobatan “secara bersama-sama maka agama tidak bisa dilihat sebagai
system otonom yang tidak terpengaruh oleh praktik-praktik sosial lainya.
9.3. Pendekatan Sosiologis
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hidup bersama dalam masyarakat dan
menyelidiki ikatan-ikatan antara manusia yang menguasai hidupnya itu. Soerjono Soekanto
mengartikan sosiologi sebagai suatu ilmu pengetahuan yang membatasi diri terhadap
persoalan penilaian.
Dari dua definisi terlihat bahwa sosiologi adalah ilmu yang menggambarkan tentang
keadaan masyarakat lengkap dengan struktur, lapisan serta berbagai gejala sosial lainnya
yang saling berkaitan.
Selanjutnya, sosiologi dapat digunakan sebagai salah satu pendekatan dalam memahami
agama. Hal demikian dapat dimengerti, karena banyak bidang kajian agama yang baru dapat
dipahami secara proporsional dan tepat apabila menggunakan jasa bantuan dan ilmu
sosiologi.
9.4. Pendekatan Filosofis
Secara harfiah, kata filsafat berasal dari kata philo yang berarti cinta kepada kebenaran,
ilmu dan hikmah. Selain itu, filsafat dapat pula berarti mencari hakikat sesuatu, berusaha
manutkan sebab dan akibat serta berusaha manafsirkan pengalaman-pengalaman manusia.
Dalam Kamus Umum Bahsa Indonesia, Poerwadarminta mengartikan filsafat sebagai
pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai sebab-sebab, asas-asas, hukum
dan sebagainya terhadap segala yang ada di alam semesta ataupun mengenai kebenaran dan
arti ”adanya” sesuatu. Pengertian filsafat yang umumnya digunakan adalah pendapat yang
dikemukakan Sidi Gazalba. Menurutnya filsafat adalah berpikir secara mendalam, sitemik,
radikal dan universal dalam rangka mencari kebenaran, inti, hikmah atau hakikat mengenai
segala sesuatu yang ada.Filsafat mencari sesuatu yang mendasar, asas, dan inti yang terdapat
di balik yang bersifat lahiriah. [33]
BAB 10
FUNDAMENTALISME ISLAM, ISLAM DAN HAK ASASI MANUSIA[35]
10.1. Fundamentalisme Islam
Pada pertengahan abad masehi,lahirlah paham yang dinamakan fundamentalisme
islam yang artinya suatu gerakan islam yang berdiri di tengah arus globalisasi ini yang
semakin hari semakin berkembang di indonesia.paham ini didirikan oleh para tokoh islam
yang ada di sekitar masyarakatnya,seperti: amien rais dan teman-temannya.paham ini di
lindungi banyak tokoh islam dan ajaran-ajaran islam yang berdiri awal-awal ini.istilah
fundamentalis dalam islam ini sangat di pengaruhi oleh kelompok islam kontemporer sejenis
Hamas,Hizbullah,al-ikhwal muslimin,dan lain sebagainya.kelompok ini saling membantu
satu sama lain dalam memperjuangkan paham yang mengatas namakan islam dalam era
globalisasi ini.
Ada beberapa pandangan tentang islam dan fundamentalis menurut berbagai tokoh
islam di indonesia,seperti:
BAB 11
PENUTUP
11.1 Kesimpulan
Studi islam merupakan ilmu keislaman mendasar. Dengan studi ini, pemeluknya
mengetahui dan menetapkan ukuran ilmu, iman dan amal perbuatan kepada allah swt.
Diketahui pula bahwa islam sebagai agama yang memiliki banyak dimensi yaitu mulai dari
dimensi keimanan, akal fikiran, politik ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi lingkungan
hidup, dan masih banyak lagi yang lainnya. Untuk memahami berbagai dimensi ajaran islam
tersebut jelas memerlukan berbagai pendekatan (historis, teologis, antropologis, dll) yang
digali dari berbagai disiplin ilmu (tasawuf, fiqh, filsafat dan kalam). Selama ini islam banyak
dipahami dari segi teologis dan normative.