Anda di halaman 1dari 7

PENULARAN BEAN COMMON MOSAIC VIRUS (BCMV)

A. Penularan BCMV secara Mekanis


Penularan virus secara mekanis dapat dilakukan dengan cara mengoleskan
cairan perasan tanaman sakit pada permukaan daun. Efisiensi penularan dapat
dilakukan dengan penaburan karborundum pada permukaan daun. Karborundum
dapat menyebabkan abrasi saat cairan perasan tanaman dioleskan pada permukaan
daun tanaman (Walkey 1991).
Sumber inokulum BCMV yang digunakan dapat diambil dari tanaman
kacang panjang yang terinfeksi. Sampel tanaman yang diambil berupa daun yang
menunjukkan gejala BCMV yaitu gejala mosaik, penebalan tulang daun, helaian
daun tidak rata (malformasi daun), mengkerut, dan ukuran daun mengecil. Untuk
memastikan daun benar terinfeksi dilakukan uji ELISA (Karismayati I.G. et al,
2017)
Pada penelitian yang dilakukan oleh Karismayati I.G. et al (2017),
Inokulasi dimulai dengan membuat cairan perasan daun yang terinfeksi dengan
menggerus daun kacang panjang sebanyak 1 gr dalam buffer fosfat sebanyak 5 ml
pada mortal dan pestle, dengan perbandingan 1:5 (b/v). Tanaman kacang panjang
yang akan diinokulasi virus ditaburi dengan corborundum. Penaburan
corborundum dilakukan pada dua helai daun muda yang sudah membuka penuh.
Cairan perasan kemudian dioleskan pada permukaan atas daun. Satu jam
kemudian corborundum yang masih menempel pada daun dibersihkan dengan air
mengalir. Perlakuan inokulasi BCMV dilakukan pada umur tanaman yang
berbeda dengan selisih waktu satu minggu. Perlakuan umur inokulasi tanaman
kacang panjang yang diuji ialah 2, 3, 4, 5, 6, 7 mst. Inokulasi dilakukan pada pagi
hari. Untuk perlakuan tanaman yang berasal dari benih yang terinfeksi BCMV
tidak diinokulasi virus
Sementara itu, Pada penelitian yang dilakukan oleh Damayanti, TA dan
Pebriyeni, L (2015), metode yang dilakukan pada saat penularan yaitu inokulum
diperbanyak pada tanaman kacang panjang. Kacang panjang yang berumur 7 hari
setelah tanam (HST) diinokulasi dengan BCMV secara mekanis dan dipelihara
sebagai sumber inokulum. Penularan mekanis BCMV dilakukan sesuai dengan
yang dilakukan oleh Damayanti et al. (2013). Daun sakit (sumber inokulum)
digerus dalam bufer fosfat pH 7 dengan perbandingan 1:10 (b/v). Sap dioleskan
ke daun tanaman sehat yang telah diberi carborundum 600 mesh, kemudian
setelah diinokulasi daun ibilas dengan air mengalir.
Isolat BCMV dan BCMNV yang positif pada ELISA disebarkan dan
dipelihara pada Phaseolus vulgaris L cv. Dubbele Witte atau Sutter Pink.
Tanaman kacang dioleskan dengan inokulasi serbuk carborandum (400-500 mesh)
pada tahap daun primer bila ukuran daun mencapai ½ - ¾ dari ukuran keseluruhan
(Drijfhout et al., 1978). Benih kultivar kacang diferensial ditaburkan di pot
plastik. Daun yang terinfeksi pada tanaman berumur 2-6 minggu telah dipanen
dan dihomogenisasi dengan mortar dingin dan alu steril dengan buffer fosfat (1%
K2HPO4 yang mengandung 0,1% Na2SO3, pH: 7.5) (Sengooba et al., 1997).
Setiap isolat diinokulasi ke daun kultivar kacang yang sama, dan kemudian
tanaman yang diinokulasi disimpan dalam kondisi ruangan terkontrol pada suhu
22 ° C ± 1 dan 12 jam dari fotoperiod. Dalam studi paralel, tanaman yang
mengandung gen dominan I dipertahankan pada suhu 30 ° C ± 1 setelah inokulasi
untuk membedakan strain BCMV-nekrotik (Deligoz I & Miray Arli, 2008)
Dari beberapa jurnal, didapatkan bahwa penularan virus secara mekanis
hasilnya cukup efektif. Hasil pengamatan dengan cara pemindahan virus dari
cairan tumbuhan sakit ke tumbuhan sehat (mekanis) menunjukkan gejala yang
terkait dengan BCMV. Hal ini menandakan bahwa virus yang ditularkan melalui
penularan mekanis ini cukup stabil dalam cairan perasan sehingga berhasil
menimbulkan gejala pada tanaman sehat,.
Keberhasilan penularan mekanis bergantung pada virus, sumber inokulum
dan inokulum tambahan juga bergantung pada tumbuhan yang diuji. Penularan
mekanis tidak akan berhasil apabila virus terbatas pada floem yang kebanyakan
memerlukakn serangga penghisap untuk dapat menularkannya (Wahyuni Sri W,
2005)
B. Penularan BCMV Melalui Vektor
Vektor BCMV yang paling penting pada tanaman kacang panjang adalah
Aphis craccivora, karena merupakan hama utama pada tanaman kacang panjang
di Indonesia. BCMV akan ditularkan oleh kutu daun ke tanaman secara
nonpersisten. Penularan virus tipe ini menunjukkan bahwa virus dalam vektor
tidak dapat memperbanyak diri dalam vektor karena hanya terdapat di alat mulut
dan (Hull, 2002).
Zaumeyer dan Meiners (1975) melaporkan selain A. craccivora Koch,
Aphis gossypii Glover, A. medicaginis Koch, A. rumicis Linnaeus., Hyalopterus
atriplicis Linnaeus, Macrosiphon ambrosiae (Thomas), M. pisi (Kaltenbach) dan
M. solanifolii Ashmead dapat menjadi vektor BCMV pada tanaman Phaseolus
vulgaris dan Vigna unguiculata di Amerika (Halbert et al. 1994).
Penularan melalui serangga vektor dilakukan dengan melalui beberapa
tahap, yaitu perbanyakan serangga, periode makan akuisisi, dan periode makan
inokulasi.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Megasari D. et al (2014), Kutu daun
yang akan dijadikan vector dikumpulkan terlebih dahulu dari pertanaman kacang
panjang sekitar, kemudian dilakukan identifikasi. Identifikasi dilakukan
berdasarkan buku identifikasi Blackman & Eastop (2000) dan menggunakan kutu
daun yang tidak bersayap (apterae).
Pada tahapan awal penularan , imago Aphis craccivora yang berperan
sebagai vector dari lapangan dibebas viruskan pada cawan petri yang berisi daun
talas yang ujungnya telah diberi kapas basah selama semalam. Kutu daun yang
kemudian dipelihara hingga melahirkan keturunan sampai menjadi nimpa, nimfa
tersebut kemudian dipindahkan dan dipelihara pada tanaman kacang panjang
sehat hingga berkembang biak menjadi imago untuk digunakan sebagai serangga
vektor dalam penularan BCMV. Kutu daun dipelihara dalam kurungan kasa dan
ditempatkan di rumah kasa (Megasari D. et al.,2014). Kutu daun tersebut
kemudian dipindahkan kedalam cawan petri untuk di puasakan selama 30
menit.setelah itu kutu daun di beri periode makan akuisisi (PMA) pada tanaman
kacang panjang yang sakit selama 5 menit. Setelah melewati PMA kutu duan
diberikan periode makan inokulasi (PMI) selama 30 menit pada tanaman kacang
panjang yang sehat.

C. Penularan BCMV Melalui Benih


Shukla et al., (1994) dan Agrios (2005) dalam Damayanti TA. et al., (2010)
menjelaskan bahwa BCMV dapat ditularkan melalui benih, jika tanaman induk
terinveksi pada saat masih muda, dengan efisiensi mencapai 83%.
Menurut Galvez et al., (1977) dalam Mandour et al (2013), tingkat transmisi
benih berkisar antara 3 sampai 95% . Hal ini tergantung pada toleransi kultivar
kacang dan tahap pertumbuhan di mana tanaman terinfeksi.
Sementara itu Ekpo dan Saettler (1974) dalam Mandour et al (2013)
menjelaskan bahwa penularan BCMV melalui benih disebabkan karena BCMV
mungkin dapat melintasi dinding sel antara testa dan suspensor oleh mekanisme
tak dikenal yang tidak memerlukan plasmodesmata, atau virus tersebut dapat
menginduksi pembentukan plasmodesmata baru, sehingga memungkinkan invasi
langsung embrio (). Oleh sebab itu, baik rute langsung dan tidak langsung infeksi
embrio terjadi pada sistem ini. Penyebaran ekstensif BCMV melalui testa dan
endosperma hanya terlihat pada kultivar kacang yang mentransmisikan BCMV
melalui benih. Dalam kultivar transmisi non-benih, BCMV menyebabkan invasi
testa dan endosperma yang sangat terbatas (Kaiser et al, 1968, Morales dan
Castano, 1987 dalam Mandour et al (2013).
Pada penelitian Mandour et al (2013) metode yang dilakukan pada set benih
P. vulgaris cvs. Royal Nell, Savana, dan Giza 4 diuji untuk tingkat transmisi benih
virus dengan menabur 100 biji setiap kultivar di bawah kondisi rumah kaca
standar. Pemeriksaan visual bibit untuk gejala BCMV digunakan pada tahap
persarafan pertama dan diperiksa setiap hari selama 4 minggu setelah
kemunculan. Selain itu, semua bibit diuji secara tidak langsung ELISA.
Pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Hamdayanty dan Tri Asmira
Damayanti (2014), Benih kacang tunggak yang terinfeksi BCMV sebesar 10, 5,
dan 3% dapat menyebabkan insidensi penyakit pada pertanaman selanjutnya
sebesar 90, 53, dan 37% serta kehilangan hasil sebesar 74, 54, dan 36%.
Berdasarkan keparahan penyakit dan kehilangan hasil akibat BCMV terbawa
benih, dapat diketahui bahwa BCMV terbawa benih memiliki peran yang sangat
penting terhadap kehilangan hasil walaupun dalam persentase terbawa benih yang
kecil. Tingginya persentase BCMV terbawa benih pada penelitian ini dapat
menggambarkan tingginya keparahan penyakit yang akan timbul jika benih-benih
tersebut ditanam.
Hasil yang didapat dari penelitian Mandour et al (2013) yaitu cara penularan
BCMV yang dilakukan melalui bibit varietas kacang yang berbeda dipelajari.
Semua lima puluh tanaman yang diinokulasi menunjukkan gejala khas BCMV.
Pada perlakuan G1, masing-masing varietas yang diteliti memiliki gejala BCMV
yang jelas dan terdeteksi oleh ELISA tidak langsung pada bagian jaringan (organ)
yang diuji, kecuali kotiledon cv. Giza 4 dan embrio cvs. Savana dan Giza 4. Hasil
ini menunjukkan bahwa embrio yang terinfeksi menghasilkan bibit yang terinfeksi
dan transmisi BCMV ke dalam embrio melalui serbuk sari atau ovula tidak terjadi
dan oleh karena itu transmisi benih dapat dikaitkan dengan invasi langsung benih
kacang yang belum menghasilkan (Gugielmetti, 1974 ).
Sebagai komplikasi lebih lanjut, BCMV terjadi pada konsentrasi yang
relatif tinggi pada benih yang dikumpulkan dari tanaman induk tanpa gejala
sebelum ekspresi gejala di mana virus tidak terdeteksi pada daun dengan metode
serologis, dengan menggunakan uji ELISA. BCMV terdeteksi dengan mudah di
dalam bagian bunga dan biji tanaman generasi pertama yang tumbuh dari biji
yang terinfeksi dan inilah yang disebut "kejadian subliminal" atau "gerhana"
virus, pada tahap vegetatif pertumbuhan tanaman, yang mungkin juga
menjelaskan jenis bimodal transmisi benih BCMV seperti yang dijelaskan oleh
Hunter dan Bowyer, 1993 dalam Mandour et al (2013).
Berdasarkan hasil penelitian Handayani Ni Putu Eka et al (2017), uji
daya kecambah menunjukkan bahwa benih pada perlakuan 2 mst, 3 mst dan 4 mst
tidak tumbuh. Nur Aeni. (2007), menyatakan bahwa terhambatnya aliran hasil
fotosintat dari daun ke biji karena virus yang ada di dalam tanaman menguasai
floem (floem limited virus) dapat menganggu pertumbuhan dan perkembangan
tanaman. Biji yang dihasilkan pada tanaman yang terinfeksi virus pada perlakuan
2 mst, 3 mst dan 4 mst yaitu berwarna coklat tua, ukuran biji kecil, mengkerut dan
tidak bernas. Perlakuan 5 mst, 6 mst dan 7 mst memiliki kemampuan
berkecambah sebesar (85%), (87,5%) dan (95%). Biji yang dihasilkan pada
perlakuan waktu inokulasi 5 mst, 6 mst dan 7 mst yaitu berwarna coklat muda,
ukuran biji lebih besar berbentuk bulat panjang agak melengkung dan bernas ( Ni
Putu Eka Handayani et al.,2017).
Hasil penelitian Handayani Ni Putu, et al. (2017) menunjukkan bahwa
umur tanaman saat terinfeksi BCMV mempengaruhi persentase BCMV terbawa
benih. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 10 benih pada tiap perlakuan
dengan 4 kali ulangan yang diuji didapatkan persentase BCMV terbawa benih
pada perlakuan 5 mst, 6 mst, 7 mst dan K berturut-turut yaitu (11,28%), (8,1%),
(0%) dan (0%) . Persentase BCMV terbawa benih pada perlakuan 2 mst, 3 mst,
dan 4 mst tidak memiliki nilai karena saat pengujian daya kecambah tidak ada
benih yang tumbuh sehingga BCMV terbawa benih tidak dapat diamati. Virus
mampu menginfeksi serbuk sari atau sel telur dan mampu bertahan pada gamet
dan akan berkembang seiring dengan pertumbuhan benih (Agarwal dan Sinclair
1997). Sutic et al. (1999) lebih lanjut menyatakan bahwa infeksi BCMV pada
benih umumnya terjadi sebelum fase inisiasi bunga.
DAFTAR PUSTAKA

Damayanti, TA dan Pebriyeni, L. 2015. Tanaman Penghalang dan Ekstrak Daun


Pagoda untuk Mengendalikan Bean Common Mosaic Virus pada
Kacang Panjang di Lapangan (Barrier Crop and Pagoda Leaf
Extract to Control Bean Common Mosaic Virus on Yard Long Bean
in the Field). J. Hort. Vol. 25 ( 3): 238-245.
Deligoz I & Miray Arli. 2008. Differentiation of Bean Common Mosaic Virus
(BCMV) and Bean Common Mosaic Necrosis Virus (BCMNV)
Strains Infecting Common Bean in Samsun Province. J. Turk.
Phytopath., Vol. 37 (1-3): 1-14.
Hamdayanty & Damayanti. 2014. Infeksi Bean common mosaic virus pada Umur
Tanaman Kacang Panjang yang Berbeda. Jurnal fitopatologi. Vol.
10(6): 181–187
Handayani Ni Putu Eka, et al. 2017. Pengaruh Waktu Inokulasi terhadap Kejadian
Penyakit Tular Benih Bean Common Mosaik Virus (BCMV) pada
Tanaman Kacang Panjang (Vigna sinensis L.) E-Jurnal
Agroekoteknologi Tropika ISSN: 2301-6515 Vol. 6, No. 2
Karismayati, I Gusti Ayu, et al. 2017. Pengaruh Waktu Inokulasi Terhadap Laju
Infeksi Penyakit Bean Common Mosaic Virus (BCMV) pada
Tanaman Kacang Panjang (Vigna Sinensis L.) E-Jurnal
Agroekoteknologi Tropika ISSN: 2301-6515 Vol. 6(1)
Mandour et al. 2013. Seed transmission of bean common mosaic virus. Egypt.
Journal Agric. Res., 91(2) : 403-410
Megasari D, et al. 2014. Pengendalian Aphis craccivora Koch. dengan kitosan dan
pengaruhnya terhadap penularan Bean common mosaic virus strain
Black eye cowpea (BCMV-BlC) pada kacang panjang Jurnal
Entomologi Indonesia Vol. 11(2): 72–80

Anda mungkin juga menyukai