Anda di halaman 1dari 13

Kejang Demam Sederhana

Roykedona Lisa Triksi

Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana, Jakarta

Pendahuluan

Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu
rektal >38°C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranial. Kejang demam adalah suatu
kejadian pada bayi atau anak, biasanya terjadi antara umur 6 bulan dan 5 tahun. Anak yang
pernah mengalami kejang tanpa demam, kemudian kejang demam kembali tidak termasuk
dalam kejang demam. Kejang demam diklasifikasikan menjadi 2, yaitu kejang demam
sederhana dan kompleks. Kejang demam kompleks adalah kejang demam fokal, lebih dari 15
menit, atau berulang dalam 24 jam. Pada kejang demam sederhana kejang bersifat umum,
singkat, dan hanya sekali dalam 24 jam.

Kejang demam merupakan masalah yang paling lazim pada anak, dengan prognosis
yang baik secara seragam. Namun, kejang demam dapat menandakan infeksi akut serius yang
mendasari seperti sepsis aatau meningitis bakteria sehingga setiap anak harus diperiksa secara
cermat dan secara tepat diamati mengenai penyebab demam yang menyertai.1 Sesuai dengan
skenario, seorang anak perempuan 3 tahun dengan kejang-kejang di seluruh tubuhnya 30
menit yang lau. Maka dari itu, untuk mengetahui secara lengkap dan jelas, penulis akan
membahas tentang kejang demam sederhana mulai dari anamnesa, pemeriksaan fisik,
diagnosis dan lain sebagainya.

Alamat korespondensi: Roykedona Lisa Triksi (102011207)


Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Terusan Arjuna No.6 Jakarta Barat 11510 Telp. 021-56942061 Fax. 021-5631731
Email : roykedona@gmail.com
1
Anamnesa
Menanyakan riwayat penyakit disebut ‘Anamnesa’. Anamnesa berarti ‘tahu lagi’,
‘kenangan’. Jadi anamnesa merupakan suatu percakapan antara penderita dan dokter, peminta
bantuan dan pemberi bantuan. Tujuan anamnesa pertama-tama mengumpulkan keterangan
yang berkaitan dengan penyakitnya dan yang dapat menjadi dasar penentuan diagnosis.
Mencatat (merekam) riwayat penyakit, sejak gejala pertama dan kemudian
perkembangan gejala serta keluhan, sangatlah penting. Perjalanan penyakit hampir selalu khas
untuk penyakit bersangkutan.2 Anamnesis dilakukan biasanya dengan alloanamnesis, yaitu
dengan menanyakan kepada orangtua atau pengasuh yang membawanya datang ke dokter atau
kepada si anak tersebut jika dia mengerti apa yang dimaksud.3
1. Waktu terjadi kejang, durasi, frekuensi, interval antara 2 serangan kejang
2. Sifat kejang (fokal atau umum)
3. Bentuk kejang (tonik, klonik, tonik-klonik)
4. Kesadaran sebelum dan sesudah kejang (menyingkirkan diagnosis meningoensefalitis)
5. Riwayat demam ( sejak kapan, timbul mendadak atau perlahan, menetap atau naik
turun)
6. Menentukan penyakit yang mendasari terjadinya demam (ISPA, OMA, GE)
7. Riwayat kejang sebelumnya (kejang disertai demam maupun tidak disertai demam
atau epilepsi)
8. Riwayat gangguan neurologis (menyingkirkan diagnosis epilepsi)
9. Riwayat keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan
10. Trauma kepala

Pemeriksaan
Diagnosis suatu penyakit dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik yang ditemukan
pada pemeriksaan fisik, terutama sekali bagi penyakit yang memiliki gejala klinik spesifik.
Pemeriksaan yang dilakukan dapat berupa pemeriksaan fisik namun, bagi penyakit yang tidak
memiliki gejala klinik khas, untuk menegakkan diagnosisnya kadang-kadang diperlukan
pemeriksaan laboratorium (diagnosis laboratorium).
1. Pemeriksaan Fisik
Dari pemeriksaan umum dan fisik sering didapat keterangan – keterangan yang
menuju ke arah tertentu dalam usaha membuat diagnosis. Pemeriksaan fisik

2
dilakukan dengan berbagai cara diantaranya adalah pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.
Pemeriksaan fisik dilakukan dengan melihat keadaan umum pasien, kesadaran,
tanda-tanda vital (TTV), pemeriksaan mulai dari bagian kepala dan berakhir pada
anggota gerak yaitu kaki. Pada pemeriksaan fisik ditemukan beberapa hal berikut:3
 Tanda Vital
 Pemeriksaan Fokus Infeksi
- Melihat apa tonsil memerah atau tidak.
- Apakah gendang telinga hipereremi atau tidak.
- Apakah ada ruam kulit atau tidak
 Tanda Rangsang Meningeal
- Kaku kuduk (Nuchal rigidity)
Bila leher ditekuk secara pasif terdapat tahanan, sehingga dagu tidak
dapat menepel pada dada.
- Brudzinski I (Brudzinski’s neck sign)
Letakkan satu tangan pemeriksa di bawah kepala pasien dan tangan
lainnya di dada pasien untuk mencegah agar badan tidak terangkat,
kemudian kepala pasien difleksikan ke dada secara pasif. Bila terdapat
rangsang meningeal maka kedua tungkai bawah akan fleksi pada sendi
panggul dan lutut.
- Brudzinski II (Brudzinski’s contralateral leg sign)
Fleksi tungkai pasien pada sendi panggul secara pasif akan diikuti oleh
fleksi tungkai lainnya ada sendi panggul dan sendi lutut.
- Kernig
Penderita dalam posisi terlentang dilakukan fleksi tungkai atas tegak
lurus, kemudian dicoba meluruskan tungkai bawah pada sendi lutut.

3
Gambar 1. Kernig dan Brudzinski I

Hasil pemeriksaan fisik sebagai berikut:


 KU aktif, compos mentis, lain-lain dalam batas normal
 Kaku kuduk -, brudzinski I&II -, babinsky -, kernig -, saraf kranial dalam batas
normal
2. Pemeriksaan Penunjang
Kegunaan dari pemeriksaan penunjang adalah untuk keakuratan diagnosis
suatu penyakit. Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya kejang pada seorang anak
yang mengalami demam dan sebelumnya tidak ada riwayat epilepsi. Selanjutnya
dilakukan pemeriksaan lanjutan yang perlu dilakukan jika didapatkan karakteristik
khusus pada anak yaitu:4
 Pungsi lumbal
Pemeriksaan cairan serebrospinal yang dilakukan untuk menyingkirkan meningitis
terutama pada pasien kejang demam pertama. Pada bayi-bayi kecil seringkali gejala
meningitis tidak jelas sehingga pungsi lumbal harus dilakukan pada bayi berumur
kurang dari 6 bulan dan dianjurkan untuk yang berumur kurang dari 18 bulan.
Berdasarkan penelitian yang telah diterbitkan, cairan cerebrospinal yang abnormal
umumnya diperoleh pada anak dengan kejang demam yang:
-Memiliki tanda peradangan selaput otak (contoh: kaku kuduk).
-mengalami complex partial seizure.
-Kunjungan ke dokter dalam 48 jam sebelumnya (sudah sakit dalam 48 jam
sebelumnya).
-Kejang saat tiba di IGD.
-Keadaan post ictal (pasca kejang) yang berkelanjutan. Mengantuk hingga sekitar
1 jam setelah kejang demam adalah normal.
-kejang pertama setelah usia 3 tahun.
Pada anak dengan usia lebih dari 18 bulan, pungsi lumbal dilakukan jika tampak
tanda peradangan selaput otak atau ada riwayat yang menimbulkan kecurigaan
infeksi sistem sarap pusat. Pada anak dengan kejang demam yang telah menerima
terapi antibiotikk sebelumnya, gejala meningitis dapat tertutupi, karena itu pada
kasus seperti itu pungsi lumbal sangat dianjurkan untuk dilakukan.
 EEG
Pemeriksaan gelombang otak untuk meneliti ketidaknormalan gelombang.
4
Pemeriksaan ini tidak dianjurkan untuk dilakukan pada kejang demam yang baru
terjadi sekali tanpa adanya defisit neurologis.4 Saat ini pemeriksaan EEG tidak
dianjurkan untuk pasien kejang demam sederhana.3
 Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan seperti pemeriksaan darah rutin, kadar elektrolit., kalsium, fosfor,
magnesium, atau gula darah tidak rutin dilakukan pada kejang demam pertama.
Pemeriksaan laboratorium harus ditujukan untuk mencari sumber demam, bukan
sekedar sebagai pemeriksaan rutin.
 Pemeriksaan Imaging
Pemeriksaan imaging (CT Scan atau MRI) dapat dindikasikan pada keadaan:
a. Adanya riwayat dan tanda klinis trauma kepala.
b. Kemungkinan adanya lesi struktural diotak (mikrosefali, spastik).
c. Adanya tanda peningkatan tekanan intrakranial (kesadaran menurun, muntah
berulang, fontanel anterior membonjol, paresis saraf otak VI, edema papil).
Diagnosis
Proses diagnosa medis merupakan langkah pertama yang dilakukan untuk menangani
suatu penyakit. Proses diagnosa adalah proses yang dilakukan seorang ahli kesehatan untuk
menentukan jenis penyakit yang diderita oleh pasien, kemudian menentukan diagnosis
penyakit pasien tersebut sehingga dapat memberi pengobatan yang tepat dengan jenis
penyakit (etiologik) maupun gejalanya (simptomatik).5
Diagnosa dilakukan berdasarkan prinsip bahwa suatu penyakit dapat dikenali dengan
memperhatikan ciri gejala klinis pada tubuh pasien yang ditimbulkan penyakit tersebut.
Keadaan penyakit yang diderita dapat juga di ukur dengan memperhatikan gejala klinis.
I. Differential Diagnosis
Differential diagnosis atau diagnosis pembanding merupakan diagnosis yang
dilakukan dengan membanding-bandingkan tanda klinis suatu penyakit dengan tanda
klinis penyakit lain. Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik dan gejala yang dialami
pasien, pasien bias dicurigai menderita beberapa penyakit seperti:
a. Kejang Demam Kompleks
Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI 2004), membagi kejang demam
menjadi dua:
a. Kejang demam sederhana (harus memenuhi semua kriteria berikut)
– Berlangsung singkat

5
– Umumnya serangan berhenti sendiri dalam waktu < 15 menit
– Bangkitan kejang tonik, tonik-klonik tanpa gerakan fokal
– Tidak berulang dalam waktu 24 jam
b. Kejang demam kompleks (hanya dengan salah satu kriteria berikut)
– Kejang berlangsung lama, lebih dari 15 menit
– Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului dengan kejang
parsial
– Kejang berulang 2 kali atau lebih dalam 24 jam, anak sadar kembali di antara
bangkitan kejang
b. Epilepsi
Merupakan kompleks gejala yang timbul akibat akibat gangguan fungsi otak yang
gangguan fungsinya sendiri dapat disebabkan oleh berbagai proses patologik. Epilepsi
adalah gangguan kronik, dengan tanda utama adalah kejang spontan yang berulang.
Gejala-gejala atau tanda-tanda penyakit ayan ini adalah apabila penyakit ini akan
kambuh, penderita biasanya merasa pusing, pandangan berkunang-kunang, alat
pendengaran kurang sempurna. Selain itu, keluar keringat berlebihan dan mulut keluar
busa. Sesaat kemudian, penderita jatuh pingsan diiringi dengan jeritan. Semua urat-
urat mengejang, lengan dan tungkai menjulur kaku, tangan menggenggam dengan
eratnya, acapkali lidah luka tergigit karena rahang terkatup rapat, si penderita sulit
bernafas dan muka merah atau kebiru-biruan. Selama terserang ayan, biasanya mata
tertutup dan akhirnya tertidur pulas lebih dari 45 menit. Apabila telah bangun dan
ditanya, tidak lagi ingat apa-apa yang telah terjadi atas dirinya. Serangan ayan yang
demikian itu senantiasa datang berulang-ulang.
c. Meningitis Bakterialis
Meningitis adalah infeksi ruang subarachnoid dan leptomeningen yang disebabkan
oleh berbagai organism pathogen. Aspek penting yang harus dipertimbangkan
mencakup usia, etnik, musim, factor pejamu, dan pola resistensi antibiotic regional di
antara pathogen yang mungkin. Trias klasik gejala meningitis adalah demam, sakit
kepala, dan kaku kuduk. Namun, pada anak di bawah dua tahun, kaku kuduk atau
tanda iritasi meningen lain mungkin tidak ditemui. Perubahan tingkat kesadaran lazim
terjadi, sebagian besar penderita mengalami letargi, iritabilitas, atau delirium.
Pemeriksaan fisik mungkin memperlihatkan tanda-tanda iritasi meningen – kaku
kuduk, tanda krenig dan Brudzinski yang positif. Pleositosis sering dijumpai pada

6
meningitis bakterialis, sel polimorfonuklear mendominasi dan biasanya melebihi 90%
total. Hipoglikorakia biasanya ditemukan dengan kadar glukosa CSS biasnya kurang
dari 30-50% kadar glukosa serum. Konsentrasi protein biasanya meningkat dalam
100-500mg/dL. Perwarnaan gram akan positif pada lebih dari 90% pasien.5

Tabel 1. Differential diagnosis

II. Working Diagnosis


Working Diagnosis atau diagnosis kerja merupakan suatu kesimpulan berupa
hipotesis tentang kemungkinan penyakit yang ada pada pasien. Berdasarkan gejala-
gejala yang timbul dan hasil dari pemeriksaan fisik serta penunjang, dapat ditarik
kesimpulan kalau pasien tersebut menderita kejang demam sederhana.
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh
(suhu rektal lebih dari 38ºC) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium.
Mengenai definisi kejang demam ini masing-masing peneliti membuat batasan-
batasan sendiri, tetapi pada garis besarnya hampir sama. Menurut Consensus
Statement on Febrile Seizures, kejang demam adalah suatu kejadian pada bayi atau
anak, biasanya terjadi antara umur antara umur 3 bulan dan 5 tahun, berhubungan
dengan demam tetapi tidak terbukti adanya infeksi intrakranial atau penyebab
tertentu. Anak yang pernah kejang tanpa demam dan bayi berumur kurang dari 4
minggu tidak termasuk. Derajat tingginya demam yang dianggap cukup untuk
7
diagnosis kejang demam ialah 38ºC atau lebih, tetapi suhu sebenarnya saat kejang
tidak diketahui.3 Anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam, kemudian
kejang demam kembali tidak termasuk dalam kejang
demam. Kejang disertai demam pada bayi usia kurang dari 1 bulan tidak termasuk
kejang demam.1

Etiologi
Hingga kini belum diketahui dengan pasti penyebab kejang demam. Demam sering
disebabkan infeksi saluran pernapasan atas, radang telinga tengah, infeksi saluran cerna dan
infeksi saluran kemih. Kejang tidak selalu timbul pada suhu yang tinggi. Kadang-kadang
demam yang tidak begitu tinggi dapat menyebabkan kejang.6

Faktor risiko kejang demam adalah sebagai berikut:7


 Demam
 Riwayat kejang demam pada orangtua atau saudara kandung
 Perkembangan terlambat
 Problem pada masa neonatus
 Anak dalam perawatan khusus
 Kadar natrium rendah

Epidemiologi
Diperkirakan 3% anak-anak dibawah usia 6 tahun pernah menderita kejang demam.
Anak laki-laki lebih sering pada anak perempuan dengan perbandingan 1.4:1.0. Menurut ras
maka kulit putih lebih banyak daripada kulit berwarna.6

Patofisiologi
Pada keadaan demam kenaikan suhu 1ºC akan mengakibatkan kenaikan metabolisme
basal 10%-15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada seorang anak berumur 3
tahun sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh, dibandingkan dengan orang dewasa
yang hanya 15%. Jadi pada kenaikan suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan
keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu singkat terjadi difusi dari ion
kalium maupun ion natrium melalui membran tadi, dengan akibat terjadinya lepas muatan
listrik. Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas keseluruh sel
maupun membran sel tetangganya dengan bantuan bahan yang disebut neurotransmitter dan
terjadilah kejang.3
8
Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda dan tergantung dari tinggi
rendahnya ambang kejang seseorang anak menderita kejang pada kenaikan suhu tertentu.
Pada anak dengan ambang kejang yang rendah, kejang telah terjadi pada suhu 38º C
sedangkan pada anak dengan ambang kejang tinggi , kejang baru terjadi pada suhu 40ºC atau
lebih. Dari kenyataan ini dapatlah disimpulkan bahwa terulangnya kejang demam lebih sering
terjadi pada ambang kejang yang rendah sehingga dalam penanggulangannya perlu
diperhatikan pada tingkat suhu berapa penderita kejang.3

Gambar 2. Patofisiologi Kejang Demam

Manifestasi Klinik
Terjadinya bangkitan kejang pada bayi dan anak kebanyakan bersamaan dengn
kenaikan suhu badan yang tinggi dan cepat yang disebabkan oleh infeksi diluar susunan saraf
pusat, misalnya tonsilitis, otitis media akuta, bronkitis, furunkulosis, dan lainlain. Serangan
kejang biasanya terjadi dalam 24 jam pertama sewaktu demam, berlangsung singkat dengan
sifat bangkitan kejang dapat berbentuk tonik-klonik bilateral, tonik, klonik, fokal atau
akinetik. Bentuk kejang yang lain dapat juga terjadi seperti mata terbalik keatas dengan
disertai kekakuan atau kelemahan, gerakan semakin berulang tanpa didahului kekakuan atau
hanya sentakan atau kekakuan fokal.6
Saat kejang, anak akan mengalami berbagai macam gejala seperti:8
1. Anak hilang kesadaran
2. Tangan dan kaki kaku atau tersentak-sentak

9
3. Sulit bernapas
4. Busa di mulut
5. Wajah dan kulit menjadi pucat atau kebiruan
6. Mata berputar-putar, sehingga hanya putih mata yang terlihat

Komplikasi
- Kejang Berulang
- Epilepsi
- Hemiparesis (Kelumpuhan)
- Retardasi Mental, gangguan belajar dan perilaku, defisit koordiansi dan motorik dll.

Penatalaksanaan
Dalam penanggulangan kejang demam ada 3 faktor yang perlu dikerjakan, yaitu:
pengobatan fase akut, mencari dan mengobati penyebab, dan pengobatan profilaksis terhadap
berulangnya kejang demam.7
1. Pengobatan fase akut
Seringkali kejang berhenti sendiri. Pada waktu kejang pasien dimiringkan untuk
mencegah aspirasi ludah atau muntahan. Jalan nafas harus bebas agar oksigenasi terjamin.
Suhu tubuh yang tinggi diturunkan dengan kompres air dingin dan pemberian antipiretik.7
Obat yang paling cepat untuk menghilangkan kejang adalah diazepam yang diberikan
secara intravena atau intrarektal. Diazepam intrarektal dengan dosis 0,5-0,75mg/kgBB atau
sebanyak 5 mg pada anak dengan berat badan kurang dari 10 kg dan 10 mg untuk berat badan
lebih dari 10 kg. Bila kejang tidak berhenti diberikan fenitoin dengan dosis awal 10-20
mg/kgBB secara intravena perlahanlahan dengan kecpatan 1 mg/kg/menit atau kurang dari 50
mg/kg/menit.
2. Mencari dan Mengobati Penyebab
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk meyingkirkan kemungkinan
meningitis, terutama pada pasien kejang demam yang pertama. Walaupun demikian
kebanyakan dokter melakukan pungsi lumbal hanya pada kasus yang dicurigai mengalami
meningitis atau bila kejang demam berlangsung lama. Pada bayi kecil sering manifestasi
meningitis tidak jelas, sehingga pungsi lumbar harus dilakukan pada bayi berumur kurang
dari 6 bulan dan dianjurkan pada pasien berumur kurang dari 18 bulan. Pemeriksaan
laboratorium lain perlu dilakukan untuk mencari penyebab.4

10
Gambar 3: Penatalaksanaan kejang demam sederhana

Pencegahan
Pencegahan berulangnya kejang demam perlu dilakukan karena menakutkan dan bila
sering berulang menyebabkan kerusakan otak menetap. Ada 2 cara profilaksis, yaitu:
1. Profilaksis intermittent pada waktu demam:
Antikonvulsan hanya diberikan pada waktu pasien demam dengan ketentuan orangtua
pasien atau pengasuh mengetahui dengan cepat adanya demam pada pasien. Dapat digunakan
diazepam intrarektal tiap 8 jam sebanyak 5 mg untuk pasien dengan berat badan kurang dari
10 kg dan 10 mg untuk pasien dengan berat badan lebih dari 10 kg, setiap pasien
menunjukkan suhu 38,50 C atau lebih. Diazepam dapat pula diberikan oral dengan dosis 0,5
mg/kg BB/hari dibagi dalam 3 dosis pada waktu pasien demam.7
2. Profilaksis terus menerus dengan antikonvulsan tiap hari (rumatan):
Profilaksis terus menerus berguna untuk mencegah berulangnya kejang demam berat
yang dapat menyebabkan kerusakan otak tapi tidak dapat mencegah terjadinya epilepsi
dikemudian hari. Profilaksis setiap hari terus menerus dengan fenobarbital 4-5 mg/kg BB/hari
dibagi dalam 2 dosis. Obat lain yang digunakan adalah asam valproat dengan dosis 15-40

11
mg/kgBB/hari.1 Antikonvulsan terus menerus diberikan selama 1-2 tahun setelah kejang
terakhir dan dihentikan bertahap selama 1-2 bulan. Profilaksis terus menerus dapat
dipertimbangkan bila ada 2 kriteria ( termasuk poin 1 atau 2) yaitu:
1. Sebelum kejang demam yang pertama sudah ada kelainan neurologis atau perkembangan
2. Kejang demam lebih lama dari 15 menit, fokal, atau diikuti oleh kelainan neurologis
sementara atau menetap.
3. Ada riwayat kejang tanpa demam pada orangtua atau saudara kandung.
4. Bila kejang demam terjadi pada bayi berumur kurang dari 12 bulan atau terjadi kejang
multipel dalam satu episode demam.
Bila hanya memenuhi satu kriteria saja dan ingin memberikan pengobatan jangka
panjang, maka berikan profilaksis intermittent yaitu pada waktu anak demam dengan
diazepam oral atau rektal tiap 8 jam disamping antipiretik.7

Prognosis
Dengan penanggulangan yang tepat dan cepat, prognosisnya baik dan tidak perlu
menyebabkan kematian. Dua penyelidikan masing-masing mendapat angka kematian 0,46%
dan 0,74%. 8

Kesimpulan
Penyakit kejang demam merupakan penyakit yang paling sering menyerang pada bayi
dan balita dan lebih banyak menyerang pada anak laki-laki. Yang jika tidak diobati dengan
cepat dan baik akan meyebabkan gangguan pada syaraf dan berakibat pada terganggunya
pertumbuhan dan perkembangan pada bayi dan balita. Maka berdasarkan keluhan utama,
pemeriksaan fisik dan penunjang dapat disimpulkan bahwa pasien menderita kejang demam
sederhana.

12
DAFTAR PUSTAKA

1. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Buku kuliah 2 ilmu kesehatan anak.
Jakarta: Infomedika; 2007.h.847-54.
2. Jong WD. Kanker, apakah itu? Jakarta: Arcan; 2005.h.104.
3. Rudolf M, Levene M. Pediatric and child health. 2nd edition. United States: Blackwell
Publishing; 2006.h.72-90.
4. Soetomenggolo S, Taslim IS. Buku ajar neurologis anak. Jakarta: BP. IDAI; 2003.h.
244-251.
5. Nelson WE, Behrman ER, Kliegman R, Arvin MA. Nelson ilmu kesehatan anak.
Volume 2. Edisi ke-15. Jakarta: EGC; 2012.h.1658-63, 1455-8.
6. Behrman. Ilmu Kesehatan Anak. Edisi ke-15. Jakarta : Kedokteran EGC; 2008.h
2053-67.
7. Mansjoer A, Suprohaita, Wardhan WI, Setiowulan W. Kapita selekta kedokteran. Jilid
2. Edisi ke-3. Jakarta: Media Aesculapius FK UI; 2006.h.434-7.
8. Latief A, Napitupulu PM, Pudjiadi A, Ghazali M, Putra TS. Ilmu kesehatan anak.
Edisi ke-9. Jakarta: Infomedika Jakarta; 2005.h.850-4.

13

Anda mungkin juga menyukai