Anda di halaman 1dari 97

1

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keseimbangan hormon penting untuk menjaga fungsi tubuh tetap
normal. Jika terganggu, akan terjadi masalah kesehatan, termasuk penyakit
struma. Fungsi kelenjar gondok yang membesar dan metabolisme tubuh yang
meningkat (hipermetabolisme) juga terkadang disertai kelelahan, jari-jari
gemetar atau tremor dan mata menonjol. Terjadinya goiter atau penyakit
gondok memang terkait kelainan yang menyerang kelenjar tiroid yang letaknya
di depan leher di bawah jakun. Kelenjar ini menghasilkan hormon tiroid yang
fungsinya mengendalikan kecepatan metabolisme tubuh seseorang. Jika
kelenjar kurang aktif memproduksi hormon, terjadilah defisiensi hormon.
Begitu juga jika terlalu aktif, hormon yang dihasilkan akan berlebihan. Dua
kondisi ketidaknormalan ini memicu perbesaran kelenjar yang hasil akhirnya
antara lain penyakit gondok (struma endemik). Gangguan Akibat Kekurangan
Yodium (GAKY) merupakan salah satu masalah gizi utama di Indonesia, dan
tersebar hampir di seluruh provinsi. Survei Pemetaan GAKY tahun 1997/1998
menemukan 354 kecamatan di Indonesia merupakan daerah endemik berat.
Kekurangan iodium ini tidak hanya memicu pembesaran kelenjar gondok, bisa
juga timbul kelainan lain seperti kretinisme (kerdil), bisu, tuli, gangguan
mental, dan gangguan neuromotor. Untuk itu, penting menerapkan pola makan
sadar iodium sejak dini.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka kami tertarik untuk mengambil studi kasus tentang
“Asuhan Keperawatan Perioperatif Dan Penatalaksanaan Anestesi Umum Pada Ny.E
Dengan Tindakan Ismolobectomy Atas Indikasi Snnt Di Ruang Instalasi Bedah
Sentral Rsud Dr. Soekardjo Tasikmalaya”.

1
2

C. Tujuan Pembelajaran
1. Tujuan Umum
Penulis mampu mengaplikasikan ilmu dan memperoleh pengalaman dalam
melakukan asuhan keperawatan perioperatif dan penatalaksanaan anestesi
regional pada Ny.E dengan tindakan Ismolobectomy pada kasus SNNT di
Rumah Sakit Umum Daerah dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya.
2. Tujuan khusus
a. Mengetahui dan memahami persiapan tindakan Pre-operatif pada
Ny.E dengan SNNT yang akan dilakukan Ismolobectomy di Instalasi
Bedah Sentral Rumah Sakit Umum Daerah dr.Soekardjo Kota
Tasikmalaya.
b. Mengetahui dan memahami persiapan tindakan Intra-operatif pada
Ny.E dengan SNNT yang akan dilakukan Ismolobectomy di Instalasi
Bedah Sentral Rumah Sakit Umum Daerah dr.Soekardjo Kota
Tasikmalaya.
c. Mengetahui dan memahami persiapan tindakan Post-operatif pada
Ny.E dengan SNNT yang akan dilakukan Ismolobectomy di Instalasi
Bedah Sentral Rumah Sakit Umum Daerah dr.Soekardjo Kota
Tasikmalaya.
3

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. KONSEP DASAR PENYAKIT


1. Definisi
Struma nodosa non toksik adalah pembesaran kelenjar tiroid yang
secara klinik teraba nodul satu atau lebih tanpa disertai tanda-tanda
adanya hipertiroidisme. Struma adalah pembesaran pada kelenjar tiroid
yang biasanya terjadi karena folikel-folikel terisi koloid secara berlebihan.
Setelah bertahun-tahun sebagian folikel tumbuh semakin besar dengan
membentuk kista dan kelenjar tersebut menjadi noduler. Struma non
toksik adalah pembesaran kelenjar tiroid pada pasien eutiroid, tidak
berhubungan dengan neoplastik atau proses inflamasi. Dapat difus dan
simetri atau nodular. Apabila dalam pemeriksaan kelenjar tiroid teraba
suatu nodul, maka pembesaran ini disebut struma nodosa.
Struma nodosa tanpa disertai tanda-tanda adanya hipertiroidisme
disebut struma nodosa non-toksik. Pada keadaan ini biasanya tiroid sudah
mulai membesar pada usia muda dan berkembang menjadi multinodular
pada saat dewasa.
Struma nodosa atau struma adenomatosa terutama di temukan di
daerah pegunungan karena defisiensi iodium karena asupan makanan.
Struma endemik ini dapat dicegah dengan substitusi iodium. Di luar
daerah endemik, struma nodosa ditemukan secara insidental atau pada
keluarga tertentu. Etiologinya umumnya multifaktorial. Biasanya tiroid
sudah membesar sejak usia muda dan berkembang menjadi multinodular
pada saat dewasa.
Struma multinodosa biasanya ditemukan pada wanita berusia lanjut,
dan perubahan yang terdapat pada kelenjar berupa hiperplasia sampai
4

bentuk involusi. Kebanyakan struma multinodosa dapat dihambat oleh


tiroksin. Penderita struma nodosa biasanya tidak mengalami keluhan
karena tidak ada hipotiroidisme atau hipertiroidisme. Nodul mungkin
tunggal, tetapi kebanyakan berkembang menjadi multinoduler yang tidak
berfungsi. Degenerasi jaringan menyebabkan kista atau adenoma. Karena
pertumbuhannya yang sering berangsur-angsur, struma dapat menjadi
besar tanpa gejala kecuali benjolan di leher. Sebagian penderita dengan
struma nodosa dapat hidup dengan strumanya tanpa gangguan.
Istilah Toksik dan Non Toksik dipakai karena adanya perubahan dari
segi fungsi fisiologis kelenjar tiroid seperti hipertiroid dan hipotiroid,
sedangkan istilah nodosa dan diffusa lebih kepada perubahan bentuk
anatomi.
Struma nodosa non toksik adalah pembesaran dari kelenjar tiroid yang
berbatas jelas tanpa disertai dengan gejala-gejala hipertiroid.
2. Anatomi
Glandula thyroidea terdiri atas lobus kiri dan kanan yang dihubungkan
oleh isthmus yang sempit. Setiap lobus berbentuk buah avokad, dengan
puncaknya ke atas sampai linea oblique cartilaginis thyroidea dan
basisnya terdapat dibawah, setinggi cincin trachea ke-4 atau ke-5.
Glandula thyroidea merupakan organ yang sangat vascular, dibungkus
oleh selubung yang berasal dari lamina pretrachealis. Selubung ini
melekatkan kelenjar ini ke larynx dan trachea. Juga sering didapatkan
lobus piramidalis, yang menjalar ke atas dari isthmus, biasanya ke kiri
garis tengah. Lobus ini merupakan sisa jaringan embryonic thyroid yang
ketinggalan pada waktu migrasi jaringan ini ke bagian anterior di
hipofaring. Bagian atas dari lobus ini dikenal sebagai pole atas dari
kelenjar tiroid, dan bagian bawah disebut sebagai pole bawah. Suatu pita
fibrosa atau muscular sering menghubungkan lobus piramidalis dengan os
hyoideum; jika ia muscular disebut sebagai muskulus levator glandulae
thyroidea.
5

Berat tiroid pada orang dewasa normal adalah 10-30 gram tergantung
kepada ukuran tubuh dan suplai Iodium. Lebar dan panjang dari isthmus
sekitar 20 mm, dan ketebalannya 2-6 mm. Ukuran lobus lateral dari pole
superior ke inferior sekitar 4 cm. Lebarnya 15-20 mm, dan ketebalan 20-
39 mm. Kelenjar tiroid terletak antara fascia colli media dan fascia
prevertebralis. Di dalam ruangan yang sama terdapat trakea, esophagus,
pembuluh darah besar, dan saraf. Kelenjar tiroid melekat pada trakea dan
fascia pretrachealis dan melingkari 2/3 bahkan sampai 3/4 lingkaran.
Arteri carotis communis, vena jugularis interna, dan nervus vagus
terletak bersama di dalam suatu ruang tertutup di laterodorsal tiroid.
Nervus recurrens terletak di dorsal sebelum masuk ke laring. Nervus
phrenicus dan truncus symphaticus tidak masuk ke dalam ruang antara
fascia media dan prevertebralis.
Limfe dari kelenjar tiroid terutama dicurahkan ke lateral, ke dalam
nodi limfatici cervicales profundi. Beberapa pembuluh limfe berjalan
turun ke nl. paratracheales. Seluruh cincin tiroid dibungkus oleh suatu
lapisan jaringan yang dinamakan true capsule. Sedangkan extension dari
lapisan tengah fascia servicalis profundus yang mengelilingi tiroid
dinamakan false capsule atau surgical capsule. Seluruh arteri dan vena,
plexus limphaticus dan kelenjar paratiroid terletak antara kedua kapsul
tersebut. Ligamentum Berry menjadi penghubung di bagian posterior
antara kedua kapsul tersebut. Ligamentum Berry menjadi penghubung di
bagian posterior antara kedua lobus tiroid. Aa. carotis superior dextra et
sinistra, dan kedua aa. thyroidea inferior dextra et sinistra memberikan
vaskularisasi untuk tiroid. Kadang kala dijumpai a. ima, cabang truncus
brachiocephalica. Sistem vena berjalan bersama arterinya, persarafan
diatur oleh nervus recurrens dan cabang dari nervus laryngeus superior,
sedangkan sistem limfatik yang penting menerima aliran limfe tiroid
terdiri dari pembuluh limfe superior yang menerima cairan limfe dari
pinggir atas isthmus, sebagian besar permukaan medial lobus lateral, dan
6

permukaan ventral dan dorsal bagian atas lobus lateral dan pembuluh
limfe inferior yang menerima cairan limfe dari sebagian besar isthmus dan
bagian bawah lobus lateral.
Pada pembedahan tiroid penting memperhatikan jalan arteri pada pool
atas kanan dan kiri, karena ligasi tinggi pada arteri tersebut dapat
mencederai n. laryngeus superior, kerusakan nervus ini dapat
mengakibatkan perubahan suara menjadi parau yang bersifat sementara
namun dapat pula permanen.

3. Fisiologi
Sel tiroid adalah satu-satunya sel dalam tubuh manusia yang dapat
menyerap iodin atau yodium yang diambil melalui pencernaan makanan.
Iodin ini akan bergabung dengan asam amino tirosin yang kemudian akan
diubah menjadi T3 (triiodotironin) dan T4 (tiroksin). Dalam keadaan
normal pengeluaran T4 sekitar 80% dan T3 15%. Sedangkan yang 5%
adalah hormon-hormon lain seperti T2.
T3 dan T4 membantu sel mengubah oksigen dan kalori menjadi
tenaga (ATP = adenosin tri fosfat). T3 bersifat lebih aktif daripada T4. T4
yang tidak aktif itu diubah menjadi T3 oleh enzim 5-deiodinase yang ada
di dalam hati dan ginjal. Proses ini juga berlaku di organ-organ lain seperti
hipotalamus yang berada di otak tengah.
Hormon-hormon lain yang berkaitan dengan fungsi tiroid ialah TRH
(thyroid releasing hormon) dan TSH (thyroid stimulating hormon).
Hormon-hormon ini membentuk satu sistem aksis otak (hipotalamus dan
pituitari)- kelenjar tiroid. TRH dikeluarkan oleh hipotalamus yang
kemudian merangsang kelenjar pituitari mengeluarkan TSH. TSH yang
dihasilkan akan merangasang tiroid untuk mengeluarkan T3 dan T4. Oleh
kerena itu hal yang mengganggu jalur di atas akan menyebabkan produksi
T3 dan T4.
Kelenjar tiroid menghasilkan hormone tiroid utama yaitu tiroksin (T4)
yang kemudian berubah menjadi bentuk aktifnya yaitu triyodotironin
7

(T3). Iodium nonorganic yang diserap dari saluran cerna merupakan


bahan baku hormone tiroid. Zat ini dipekatkan kadarnya menjadi 30-40
kali sehingga mempunyai afinitas yang sangat tinggi di dalam jaringan
tiroid. Sebagian besar T4 kemudian akan dilepaskan ke sirkulasi
sedangkan sisanya tetap didalam kelenjar yang kemudian mengalami daur
ulang. Di sirkulasi, hormone tiroid akan terikat dengan protein yaitu
globulin pengikat tiroid (thyroid binding globulin, TBG) atau prealbumin
pengikat albumin (thyroxine binding prealbumine, TBPA). Hormon
stimulator tiroid (thyroid stimulating hormone, TSH) memegang peranan
penting untuk mengatur sekresi dari kelenjar tiroid. TSH dihasilkan oleh
lobus anterior kelenjar hipofisis.
Proses yang dikenal sebagai negative feedback sangat penting dalam
pengeluaran hormone tiroid ke sirkulasi. Pada pemeriksaan akan terlihat
adanya sel parafolikuler yang menghasilkan kalsitonin yang berfungsi
untuk mengatur metabolism kalsium, yaitu menurunkan kadar kalsium
serum terhadap tulang.
4. Etiologi
Penyebab kelainan ini bermacam-macam. Pada setiap orang dapat
dijumpai masa dimana kebutuhan terhadap tiroksin bertambah, terutama
masa pertumbuhan, pubertas, menstruasi, kehamilan, laktasi, menopause,
infeksi, atau stres lain. Pada masa-masa tersebut dapat ditemui hiperplasi
dan involusi kelenjar tiroid. Perubahan ini dapat menimbulkan nodularitas
kelenjar tiroid serta kelainan arsitektur yang dapat berlanjut dengan
berkurangnya aliran darah di daerah tersebut sehingga terjadi iskemia.
Penyebab terbanyak dari struma non toksik adalah kekurangan
iodium. Akan tetapi pasien dengan pembentukan struma yang sporadis,
penyebabnya belum diketahui.
Struma non toksik disebabkan oleh beberapa hal, yaitu :
a. Kekurangan (defisiensi) yodium (iodine): Pembentukan struma terjadi
pada defisiensi sedang iodium yang kurang dari 50 mcg/d. Sedangkan
8

defisiensi berat iodium adalah kurang dari 25 mcg/d dihubungkan


dengan hipotiroidisme dan kreatinisme.
b. Kelebihan iodium: jarang terjadi dan pada umumnya terjadi pada
penyakit tiroid autoimun yang ada sebelumnya
c. Goitrogen :
Obat : Propylthiouracil, litium, phenylbutazone, amino-glutethimide,
expectorants, thiocarbamide, sulfonilurea yang mengandung iodium
(Penghambatan sintesa hormon)
Agen lingkungan : Phenolic dan phthalate ester derivative dan
resorcinol berasal dari tambang batu dan batubara.
Makanan, Sayur jenis Brassica (misalnya, kubis, lobak cina, brussels
kecambah), padi-padian millet, singkong, dan goitrin dalam rumput
liar. (Menghambat sintesis hormon)
d. Dishormonogenesis: Kerusakan dalam jalur biosintesis hormon kelejar
tiroid
e. Hiperplasi dan involusi kelenjar tiroid. Pada umumnya ditemui pada
masa pertumbuan, puberitas, menstruasi, kehamilan, laktasi,
menopause, infeksi dan stress lainnya. Dimana menimbulkan
nodularitas kelenjar tiroid serta kelainan struktural yang dapat
berkelanjutan dengan berkurangnya aliran darah didaerah tersebut.
f. Riwayat radiasi kepala dan leher : Riwayat radiasi selama masa kanak-
kanak mengakibatkan nodul benigna dan maligna.
Pada beberapa penderita struma nodosa, di dalam kelenjar tiroid
timbul kelainan pada sistem enzim yang dibutuhkan untuk
pembentukan hormon tiroid. Di antara kelainan-kelainan yang dapat
dijumpai adalah:
1) Defisiensi mekanisme pengikatan iodida, sehingga iodium
dipompakan ke dalam sel jumlahnya tidak adekuat.
2) Defisiensi sistem peroksidase, di mana iodida tidak dioksidasi
menjadi iodium.
9

3) Defisiensi penggandengan tirosin teriodinasi di dalam molekul


tiroglobulin, sehingga bentuk akhir dari hormon tiroid tidak
terbentuk.
4) Defisiensi enzim deiodinase, yang mencegah pulihnya iodium dari
tirosin teriodinasi, yang tidak mengalami penggandengan untuk
membentuk hormon tiroid, sehingga menyebabkan defisiensi
iodium.
5. Patofisiologi
Iodium (Iodine) merupakan semua bahan utama yang dibutuhkan
tubuh untuk pembentukan hormon tiroid. Bahan yang mengandung
iodium diserap usus, masuk ke dalam sirkulasi darah dan ditangkap paling
banyak oleh kelenjar tiroid. Dalam kelenjar, iodium dioksida menjadi
bentuk yang aktif yang distimulasi oleh Thyroid Stimulating Hormon
kemudian disatukan menjadi molekul tiroksin yang terjadi pada fase sel
koloid.
Senyawa yang terbentuk dalam molekul diyodotironin membentuk
tiroksin (T4) dan molekul triyoditironin (T3). Tiroksin (T4) menunjukkan
pengaturan umpan balik negatif dari sekresi Thyroid Stimulating Hormon
dan bekerja langsung pada tirotropihipofisis, sedang tyrodotironin (T3)
merupakan hormon metabolik tidak aktif. Beberapa obat dan keadaan
dapat mempengaruhi sintesis, pelepasan dan metabolisme tiroid sekaligus
menghambat sintesis tiroksin (T4) dan melalui rangsangan umpan balik
negatif meningkatkan pelepasan TSH oleh kelenjar hypofisis. Keadaan ini
menyebabkan pembesaran kelenjar tiroid. Pembesaran pada kelenjar
tiroid biasanya terjadi ketika folikel-folikel terisi koloid secara berlebihan.
Setelah bertahun-tahun lamanya sebagian folikel tumbuh semakin besar
dengan membentuk kista dan kelenjar tersebut menjadi noduler.
10
11

1. Klasifikasi
Kelainan kelenjar tiroid dapat berupa gangguan fungsi atau
perubahan susunan kelenjar dan morfologinya. Struma atau goiter
adalah setiap pembesaran dari kelenjar tiroid.
Dari aspek fungsi kelenjar tiroid, yang tugasnya memproduksi
hormon tiroksin, maka bisa dibagi menjadi:
a. Hipertiroidi : sering juga disebut toksik (walaupun pada
kenyataannya pada penderita ini tidak dijumpai adanya
toksin), bila produksi hormon tiroksin berlebihan.
b. Eutiroid : bila produksi hormon tiroksin normal.
c. Hipotiroidi : bila produksi hormon tiroksin kurang.
d. Struma nodosa non toksik: bila tanpa tanda-tanda hipertiroidi
Pembesaran kelenjar tiroid (kecuali keganasan), menurut
American society for Study of Goiter terbagi menjadi :
a. Struma Non Toxic Diffusa
b. Struma Non Toxic Nodosa
c. Struma Toxic Diffusa
d. Struma Toxic Nodosa

Istilah Toksik dan Non Toksik dipakai karena adanya


perubahan dari segi fungsi fisiologis kelenjar tiroid seperti
hipertiroid dan hipotiroid, sedangkan istilah nodosa dan diffusa
lebih kepada perubahan bentuk anatomi.

Struma nodosa non toksik adalah pembesaran dari kelenjar


tiroid yang berbatas jelas tanpa disertai dengan gejala-gejala
hipertiroid.

Struma nodosa dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa hal :


12

a. Berdasarkan jumlah nodul: bila jumlah nodul hanya satu


disebut struma nodosa soliter (uninodosa) dan bila lebih dari
satu disebut multinodosa.
b. Berdasarkan kemampuan menangkap iodium radioaktif: nodul
dingin (cold nodule), nodul hangat (warm nodule), dan nodul
panas (hot nodule).
c. Berdasarkan konsistensinya: nodul lunak, kistik, keras, atau
sangat keras.

Pada struma gondok (goiter) endemik, Perez membagi


klasifikasi menjadi:

a. Derajat 0 :tidak teraba pada pemeriksaaan


b. Derajat I :teraba pada pemeriksaan, terlihat
hanya kalau kepala ditegakkan
c. Derajat II :mudah terlihat pada posisi kepala
normal
d. Derajat III :terlihat pada jarak jauh.

2. Manifestasi Klinis
Pada penyakit struma nodosa nontoksik tiroid membesar
dengan lambat. Awalnya kelenjar ini membesar secara difus dan
permukaan licin. Jika struma cukup besar, akan menekan area trakea
yang dapat mengakibatkan gangguan pada respirasi dan juga esofagus
tertekan sehingga terjadi gangguan menelan. Pasien dapat tidak
mempunyai keluhan karena tidak ada hipo atau hipertirodisme.
Adanya benjolan yang dapat diraba di leher. Peningkatan metabolisme
karena klien hiperaktif dengan meningkatnya denyut nadi.
Peningkatan aktivitas simpatis seperti ; jantung menjadi berdebar-
debar, gelisah, berkeringat, tidak tahan cuaca dingin, diare, gemetar,
dan kelelahan.
13

Pada pemeriksaan status lokalis struma nodosa, dibedakan dalam


hal :
a. Jumlah nodul :satu (soliter) atau lebih dari
satu (multipel).
b. Konsistensi :lunak, kistik, keras atau sangat
keras
c. Nyeri pada penekanan :ada atau tidak ada
d. Perlekatan dengan sekitarnya :ada atau tidak ada.
e. Pembesaran kelenjar getah bening di sekitar tiroid : ada atau
tidak ada.

Akibat berulangnya episode hiperplasia dan involusi dapat


terjadi berbagai bentuk degenerasi seperti fibrosis, nekrosis,
kalsifikasi, pembentukan kista, dan perdarahan ke dalam kista
tersebut. Pada umumnya kelainan-kelainan yang dapat menampakkan
diri sebagai struma nodosa nontoksik ialah adenoma, kista,
perdarahan, tiroditis, dan karsinoma.

3. Penatalaksanaan
Pilihan terapi nodul tiroid:
a. Terapi supresi dengan hormon levotirosin
b. Pembedahan
c. Iodium radioaktif
d. Suntikan etanol
e. US (ultrasound) Guided Laser Therapy
f. Observasi, bila yakin nodul tidak ganas.
Program pemberian kapsul minyak beriodium terutama dapat
diberikan bagi penduduk di daerah endemik sedang dan berat. Edukasi
dilakukan untuk merubah prilaku masyarakat, dalam hal pola makan
dan memasyarakatkan pemakaian garam beriodium.
14

Penyuntikan lipidol dapat diberikan untuk penduduk yang tinggal


di daerah endemik dengan diberi suntikan 40 % tiga tahun sekali
dengan dosis untuk orang dewasa dan anak di atas enam tahun 1 cc,
sedang kurang dari enam tahun diberi 0,2 cc – 0,8 cc.
Pemberian preparat L-tiroksin selama 4-5 bulan dapat diberikan
apabila terdapat nodul hangat, lalu dilakukan pemeriksaan sidik tiroid
ulang. Apabila nodul mengecil maka terapi diteruskan namun apabila
tidak mengecil atau bahkan membesar, dilakukan biopsi aspirasi atau
operasi. Pemeriksaan klinis dilakukan untuk menentukan apakah
nodul tiroid tersebut suspek maligna atau suspek benigna.
Bila nodul tersebut suspek maligna dibedakan atas apakah kasus
tersebut operabel atau inoperabel. Bila kasus yang dihadapi inoperabel
maka dilakukan tindakan biopsi insisi dengan pemeriksaan
histopatologi secara blok parafin. Dilanjutkan dengan tindakan
debulking dan radiasi eksterna atau khemoradioterapi. Bila nodul
tiroid suspek maligna tersebut operabel dilakukan tindakan
isthmolobektomi dan pemeriksaan potong beku (Vries coupe).
Ada 5 kemungkinan hasil yang didapat :
a. Lesi jinak. Maka tindakan operasi dapat menjadi pilihan
setelah selesai dilanjutkan dengan observasi
b. Karsinoma papilare. Dibedakan atas risiko tinggi dan risiko
rendah berdasarkan klasifikasi AMES.
1) Bila risiko rendah tindakan operasi selesai dilanjutkan
dengan observasi.
2) Bila risiko tinggi dilakukan tindakan tiroidektomi total.
c. Karsinoma folikulare. Dilakukan tindakan tiroidektomi total
d. Karsinoma medulare. Dilakukan tindakan tiroidektomi total
e. Karsinoma anaplastik.
1) Bila memungkinkan dilakukan tindakan tiroidektomi total.
15

2) Bila tidak memungkinkan, cukup dilakukan tindakan


debulking dilanjutkan dengan radiasi eksterna atau
kemoradioterapi.
Bila nodul tiroid secara klinis suspek benigna dilakukan tindakan
FNAB ( Biopsi Jarum Halus ). Ada 2 kelompok hasil yang mungkin
didapat yaitu :
a. Hasil FNAB suspek maligna, “foliculare Pattern” dan “Hurthle
Cell”. Dilakukan tindakan isthmolobektomi dengan
pemeriksaan potong beku seperti diatas.
b. Hasil FNAB benigna. FNA dilakukan pada kista tiroid hingga
nodul kurang dari 10 mm. Dilakukan terapi supresi TSH dengan
tablet Thyrax selama 6 bulan kemudian dievaluasi, bila nodul
tersebut mengecil diikuti dengan tindakan observasi dan apabila
nodul tersebut tidak ada perubahan atau bertambah besar
sebaiknya dilakukan tindakan isthmolobektomi dengan
pemeriksaan potong beku (Frozen section) seperti diatas.
Diagram penatalaksanaan struma nodosa nontoksik :
Sesuai hasil biopsi aspirasi jarum halus (BAJAH / FNAB), maka
terapi :
a. Ganas : operasi tiroidektomi near total
b. Curiga ganas : operasi dengan lebih dulu melakukan
potong beku (VC)
1) Bila hasil ganas ->operasi tiroidektomi near total
2) Bila hasil jinak ->operasi lobektomi,atau tiroidektomi
near Total.

alternatif : sidik tiroid, bila hasil = cold nodule -> operasi

c. Tak cukup / sediaan tak representatif Jika nodul solid ( saat


FNAB ); ulang FNAB.
1) Bila klinis curiga ganas tinggi -> operasi lobektomi
16

2) Bila klinis curiga ganas rendah -> observasi


3) Jika nodul kistik (saat FNAB ) ; aspirasi
4) Bila kista regresi -> observasi
5) Bila kista rekurens,klinis curiga ganas rendah ->
observasi
6) Bila kista rekurens, klinis curiga ganas tinggi -> operasi
lobektomi
d. Jinak
1) Terapi dengan levo-tiroksin ( LT4) dosis subtoksis.
2) Dosis dititrasi mulai 2 x 25 ug ( 3 hari ).
3) Dilanjutkan 3 x 25 ug ( 3 – 4 hari ).
4) Bila tidak ada efek samping atau tanda toksis ; dosis -
menjadi 2 x 100 ug sampai 4 - 6 minggu, kemudian
evaluasi TSH ( target 0,1 - 0,3 ulU /L).
5) Supresi TSH dipertahankan selama 6 bulan
6) Evaluasi dengan USG : apakah nodul berhasil mengecil
atau tidak ( berhasil bila mengecil > 50 % dari volume
awal )
7) Bila nodul mengecil atau tetap -> L–tiroksin dihentikan
dan diobservasi;
8) Bila setelah itu struma membesar lagi, maka L-tiroksin
dimulai lagi ( target TSH 0,1 – 0,3 ul U/L )
9) Bila setelah L-tiroksin dihentikan, struma tidak
berubah, diobservasi saja.
10) Bila nodul membesar dalam 6 bulan atau saat terapi
supresi -> obat dihentikan dan operasi tiroidektomi dan
dilakukan pemeriksaan histopatologi
17

B. KONSEP DASAR KEPERAWATAN


Proses keperawatan adalah suatu metode asuhan keperawatan (askep)
yang sisitematis, dinamis, ilmiah (menurut kajian teoritis), dan dilakukan
secara berkesinambungan dalam rangka pemecahan maslah kesehatan pasien
dimulai dari beberapa proses pengkajian iyaitu diagnosis keperawatan,
pelaksanana keperawtan, kemudian penilian atau evalwasi terhadap tindakan
keperawtan hingga kemudian pendokumentasian hasil tindakan keperawatan
itu sendiri sehingga jika sewaktu-waktu dibutuhkan maka dapat dipergunakan
kembali keberadaannya (Ali:1997).

1. Pengkajian
Pengkajian adalah tahap awal dan dasar dalam proses keperawatan,
yang paling menentukan bagi tahap berikutnya. Kegiatan dalam
pengkajian adalah pengumpulan data. Pengumpulan data ini merupakan
kegiatan menghimpun informasi tentang status kesehatan klien (Romah
Nikmatur, Walid Saiful,2010)
a. Macam-macam data antara lain:
1) Data Dasar
Data dasar merupakan seluruh informasi tentang status
kesehatan pasien,yang meliputi: data umum, data demografis,
riwayat keperawatan, pola fungsing kesehatan, dan
pemeriksaan.
2) Data Fokus
Data fokus adalah informasi tentang status kesehatan klien
yang menyimpang dari keadaan normal. Data ini berupa
ungkapan klien maupun hasil pemeriksaan langsung oleh
perawat.
3) Data Subjektif
Data ini merupakan ungkapan keluhan klien secara langsung
oleh klien sendiri maupun secara tak langsung oleh orang lain
18

yang mengetahui keadaan klien secara langsung dan


disampaikan kepada perawat.
4) Data Objektif
Data objektif merupakan data yang di pperoleh secara llangsung
melalui observasi dan pemeriksaan kepada klien
b. Sumber Data
1) Sumber Data Primer
Sumber data perimer adalah klien
2) Sumber Data Sekunder
Sumber data sekunder adalah keluarga, teman dekat, atau orang
lain yang mengetahui status kesehatan klien.
c. Teknik Pengumpulan Data
1) Anamnesis
Ananmnesis adalah tanya jawab atau komunikasi secara
langsung dengan klien maupun secara tak langsung oleh
keluarganya untuk menggali informasi tentang status kesehatan
klien
2) Observasi
Observasi adalah pengamatan secara umum terhadap prilaku
dan keadaan klien.
3) Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik merupakan cara pengumpulan data melalui
pemeriksaan dengan 4 cara, yaitu: infeksi, palfasi, perkusi dan
auskultasi
d. Pengkajian pada klien meliputi
1) Identitas pasien/ biodata (rekawati, 2013)
Meliputi nama lengkap, tempat tinggal, jenis kelamin, tanggal
lahir, umur, tempat lahir, asal suku bangsang, nama orang tua,
pekerjaan orang tua.
2) Keluhan Utama
Keluhan utama yang dirasakan klien diuraikan dalam:
a) Provokatif : penyebab yang memperberat dan
menngurangi
b) Kualiti : dirasakan seperti apa, tampilannya, suaranya,
dan berapa banyak.
c) Region : Lokasi dimana dan penyebarannya.
d) Scale : Itensitasnya (skala) pengaruh terhadap aktifitas
19

e) Timing : Kapan keluhan tersebut muncul berapa lama


dan bersifat (tiba-tiba sering dan bertahap)
3) Riwayat Kesehatan Dahulu
Diisi dengan riwayat penyakit yang diderita klien yang
berhubungan dengan penyakit saat ini atau penyakit yang
mungkin dapat dipengaruhi atau memengaruhi penyakit yang
diderita klien saat ini.
4) Riwayat kesehatan keluarga
Mengidentifikasi apakah di keluarga da penyakit menular,
turunan tau keduanya.
a) Bila ditemukan riwayat penyakit menular dibat struktur
keluarga, dimana diidentivikasi individu-individu yang
tinggal serumah berupa genogram.
b) Bila ditemukan riwayat penyakit keturunan minimal tiga
generasi
5) Pola Aktivitas Sehari-hari
Pola aktivitas sehari-hari meliputi perbedaan pola nutrisi,
eliminasi, intirahata tidur, personal hygin dan aktivitas atau
rutinitas.
a) Nutrisi
Perlu dikaji keadaan makanan dan minuman klien meliputi
- Makan: Dikaji tentang frekuensi makan, jenis diet, porsi
makan, riwayat alergi terhadap suatu jenis makanan
tertentu (Brunner & Suddart, 2001 : 1625)
- Minum dikaji tentang jumlah dan jenis minuman swtiap
hari.
b) Eliminasi
- Buang air besar (BAB): Frekuensi BABA, warna, bau,
konsistensi feses dan keluahn klien yang berkaitan
denagn BAB (Doenges,2000 : 671)
- Buang air kecil (BAK): frekuensi, warna, bau (Brunner
& Suddart,2001 : 1625).
c) Pola Istirahat
Waktu tidur, lamanya tidur setiap hari apakah ada kesulitan
dalam tidur. ( Brunner 7 Suddart,2001, 1625).
d) Personal Hygine
Dikaji mengenaik frekuensi dan kebiasaan mandi , keramas,
gosok gigi dan menggunting kuku.
e) Aktifitas
20

Dikaji tentang kegiatan dalam pekerjaan, mobilisasi, olah


raga, kegiatan diwaktu luang dan apakah keluhan yang
dirasakan klien mengganggu aktivitas klien tersebut.
6) Keluhan Utama
Keluhan utama adalah hal yang paing dirasakan klien sebagai
sesuatu yang sangat mengganggu klien saat dilakukan
pengkajian. Keluhan utama hanya 1, keluhan utama pada klien
dengan struma nudusa non toksik adalah suatu kondisi yang
sangat berbahaya bagi klien dan merupakan masalah utama bagi
klien.
Tiap bagian tubuh perlu dinili secara umum kesadaran klien
compos mentis, apatis, somnolen, sopor dan soporokomatus,
atau koma. Seseorang perawat perlu mempunyai pengalaman
dan pengetahuan tentang konsep anatomi fisiologi umum
sehingga dengan cepat mampu menilai keadaan umum,
kesadaran, dan pengukuran GCS. Bila kesadaran klien menurun
yang memerlukan kecepatan dan ketepatan penilaian. Pada
pemeriksaan keadaan umum klien dengan gangguan sistem
perkemihan biasanya didapatkan kesadaran baik ataupun
compos mentis dan akan berubah sesuai tingkat gangguan yang
melibatkan perfusi sistem saraf pusat (Muttaqin,2009 : 70).
7) Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan kesehatan meliputi pemeriksaan fisik umum secara
persistem berdasarkan hasil observasi keadaan umum,
pemeriksaan persistem meliputi: Sistem pernafasan, sistem
pencernaan, sistem persyarafan, sistem urinaria, sistem
muskuloskoletal, sistem Integumen, Sistem endokrin, Sistem
pendeengaran, Sistem pengellihatan dan pengkajian, sistem
psikososial. Biasanya pemeriksaan berfokus menyeluruh pada
sistem perkemihan.
a) Sistem kardiovaskuler
Inspeksi
Jantung, secara topografik jantung berada di bagian depan
rongga mediastinum.
Dilakukan inspeksi pada prekordial penderita yang
berbaring terlentang atau dalam posisi sedikit dekubitus
lateral kiri karena apek kadang sulit ditemukan misalnya
pada stenosis mitral. dan pemeriksa berdiri disebelah kanan
penderita. Pulsasi ini letaknya sesuai dengan apeks jantung.
Diameter pulsasi kira-kira 2 cm, dengan punctum
maksimum di tengah-tengah daerah tersebut. Pulsasi timbul
21

pada waktu sistolis ventrikel. Bila ictus kordis bergeser ke


kiri dan melebar, kemungkinan adanya pembesaran
ventrikel kiri.
Palpasi
Denyut apeks jantung (iktus kordis)
Dalam keadaaan normal, dengan sikap duduk, tidur
terlentang atau berdiri iktus terlihat didalam ruangan
interkostal V sisi kiri agak medial dari linea midclavicularis
sinistra. Pada anak-anak iktus tampak pada ruang interkostal
IV.
Denyutan nadi pada dada
Apabila di dada bagian atas terdapat denyutan maka harus
curiga adanya kelainan pada aorta. Aneurisma aorta
ascenden dapat menimbulkan denyutan di ruang interkostal
II kanan, sedangkan denyutan dada di daerah ruang
interkostal II kiri menunjukkan adanya dilatasi a.
pulmonalis dan aneurisma aorta descenden.
Getaran/Trhill
Adanya getaran seringkali menunjukkan adanya kelainan
katup bawaan atau penyakit jantung congenital. Getaran
yang lemah akan lebih mudah dipalpasi apabila orang
tersebut melakukan pekerjaan fisik karena frekuensi jantung
dan darah akan mengalir lebih cepat. Dengan terabanya
getaran maka pada auskultasi nantinya akan terdengar
bising jantung.
Perkusi
Kita melakukan perkusi untuk menetapkan batas-batas
jantung.
Perkusi jantung mempunyai arti pada dua macam penyakit
jantung yaitu efusi pericardium dan aneurisma aorta. Batas
kiri jantung
Kita melakukan perkusi dari arah lateral ke medial.
Perubahan antara bunyi sonor dari paru-paru ke redup relatif
kita tetapkan sebagai batas jantung kiri.
Batas Kanan Jantung
Perkusi juga dilakukan dari arah lateral ke medial.
Disini agak sulit menentukan batas jantung karena letaknya
agak jauh dari dinding depan thorak
Auskultasi
Auskultasi bunyi jantung dilakukan pada tempat-tempat
sebagai berikut :
22

Dengarkan BJ I pada :
- ICS IV line sternalis kiri (BJ I Tricuspidalis)
- ICS V line midclavicula/ICS III linea sternalis kanan (BJ
I Mitral)
Dengarkan BJ II pada :
- ICS II lines sternalis kanan (BJ II Aorta)
- ICS II linea sternalis kiri/ICS III linea sternalis kanan
(BJ II Pulmonal)
Dengarkan BJ III (kalau ada)
- Terdengar di daerah mitral
- BJ III terdengar setelah BJ II dengan jarak cukup jauh,
tetapi tidak melebihi separo dari fase diastolik, nada
rendah
Pada anak-anak dan dewasa muda, BJ III adalah normal,
Pada orang dewasa/tua yang disertai tanda-tanda
oedema/dipneu, BJ III merupakan tanda abnormal.
b) Sistem pencernaan
Inspeksi
- Pasien berbaring terlentang dengan kedua tangan di sisi
tubuh.
- Inspeksi cavum oris, lidah untuk melihat ada tidaknya
kelainan.
- Letakan bantal kecil dibawah lutut dan dibelakang kepala
untuk melemaskan/relaksasi otot- otot abdomen.
- Perhatikan ada tidaknya penegangan abdomen.
- Pemeriksa berdirilah pada sisi kanan pasien dan
perhatikan kulit dan warna abdomen, bentuk perut,
simetrisitas, jaringan parut, luka, pola vena, dan striae
serta bayangan vena dan pergerakkan abnormal.
- Perhatikan posisi, bentuk, warna, dan inflamasi dari
umbilikus.
- Perhatikan pula gerakan permukaan, massa, pembesaran
atau penegangan. Bila abdomen tampak menegang,
minta pasien untuk berbalik kesamping dan inspeksi
mengenai ada tidaknya pembesaran area antara iga-iga
dan panggul, tanyakan kepada pasien apakah abdomen
terasa lebih tegang dari biasanya.
- Bila terjadi penegangan abdomen, ukur lingkar abdomen
dengan memasang tali/ perban seputar abdomen melalui
23

umbilikus. Buatlah simpul dikedua sisi tali/ perban untuk


menandai dimana batas lingkar abdomen, lakukan
monitoring, bila terjadi peningkatan perenggangan
abdomen, maka jarak kedua simpul makin menjauh.
- Inspeksi abdomen untuk gerakan pernapasan yang
normal.
- Mintalah pasien mengangkat kepalanya dan perhatikan
adanya gerakan peristaltik atau denyutan aortik.
Palpasi
Abdomen
- Posisi pasien berbaring terlentang dan pemeriksa
disebelah kanannya.
- Lakukan palpasi ringan di tiap kuadran abdomen dan
hindari area yang telah diketahui sebelumnya sebagai
titik bermasalah, seperti apendisitis.
- Tempatkan tangan pemeriksa diatas abdomen secara
datar, dengan jari- jari ekstensi dan berhimpitan serta
pertahankan sejajar permukaan abdomen.
- Palpasi dimulai perlahan dan hati-hati dari superfisial
sedalam 1 cm untuk mendeteksi area nyeri, penegangan
abnormal atau adanya massa.
- Bila otot sudah lemas dapat dilakukan palpasi sedalam
2,5 – 7,5 cm, untuk mengetahui keadaaan organ dan
mendeteksi adanya massa yang kurang jelas teraba
selama palpasi
- Perhatikan karakteristik dari setiap massa pada lokasi
yang dalam, meliputi ukuran, lokasi, bentuk, konsistensi,
nyeri, denyutan dan gerakan
- Perhatikan wajah pasien selama palpasi untuk melihat
adanya tanda/ rasa tidak nyaman.
- Bila ditemukan rasa nyeri, uji akan adanya nyeri lepas,
tekan dalam kemudian lepas dengan cepat untuk
mendeteksi apakah nyeri timbul dengan melepaskan
tekanan.
- Minta pasien mengangkat kepala dari meja periksa untuk
melihat kontraksi otot-otot abdominal
24

Hepar
- Posisi pasien tidur terlentang.
- Pemeriksa disamping kanan dan menghadap pasien.
- Letakkan tangan kiri pemeriksa dibawah torak/ dada
kanan posterior pasien pada iga kesebelas dan
keduabelas dan tekananlah kearah atas.
- Letakkan telapak tangan kanan di atas abdomen, jari-jari
mengarah ke kepala / superior pasien dan ekstensikan
sehingga ujung-ujung jari terletak di garis klavikular di
bawah batas bawah hati.
- Kemudian tekanlah dengan lembut ke dalam dan ke atas.
- Minta pasien menarik napas dan cobalah meraba tepi hati
saat abdomen mengempis.
Kandung Empedu
- Posisi pasien tidur terlentang.
- Pemeriksa disamping kanan dan menghadap pasien.
- Letakkan telapak tangan kiri pemeriksa dibawah dada
kanan posterior pasien pada iga XI dan XII dan
tekananlah kearah atas.
- Letakkan telapak tangan kanan di atas abdomen, jari-jari
mengarah ke kepala / superior pasien dan ekstensikan
sehingga ujung-ujung jari terletak di garis klavikular di
bawah batas bawah hati.
- Kemudian tekan lembut ke dalam dan ke atas.
- Mintalah pasien menarik napas dan coba meraba tepi hati
saat abdomen mengempis.
- Palpasi di bawah tepi hati pada sisi lateral dari otot
rektus.
- Bila diduga ada penyakit kandung empedu, minta pasien
untuk menarik napas dalam selama palpasi.
Limpa
- Posisi pasien tidur terlentang
- Pemeriksa disamping kanan dan menghadap pasien
- Letakkan secara menyilang telapak tangan kiri pemeriksa
di bawah pinggang kiri pasien dan tekanlah keatas.
- Letakkan telapak tangan kanan dengan jari-jari ektensi
diatas abdomen dibawah tepi kiri kostal.
- Tekanlah ujung jari kearah limpa kemudian minta pasien
untuk menarik napas dalam.
25

- Palpasilah tepi limpa saat limpa bergerak ke bawah


kearah tangan pemeriksa
- Apabila dalam posisi terlentang tidak bisa diraba, maka
posisi pasien berbaring miring kekanan dengan kedua
tungkai bawah difleksikan.
- Pada keadaan tertentu diperlukan Schuffner tes
Auskultasi
- Pasien berbaring terlentang dengan tangan dikedua sisi.
- Letakan bantal kecil dibawah lutut dan dibelakang
kepala.
- Letakkan kepala stetoskop sisi diafragma di daerah
kuadran kiri bawah. Berikan tekanan ringan, minta
pasien agar tidak berbicara. Bila mungkin diperlukan 5
menit terus menerus untuk mendengar sebelum
pemeriksaan menentukan tidak adanya bising usus.
- Dengarkan bising usus apakah normal, hiperaktif,
hipoaktif, tidak ada bising usus dan perhatikan
frekwensi/karakternya.
- Bila bising usus tidak mudah terdengar, lanjutkan
pemeriksaan dengan sistematis dan dengarkan tiap
kuadran abdomen.
- Kemudian gunakan sisi bel stetoskop, untuk
mendengarkan bunyi desiran dibagian epigastrik dan
pada tiap kuadran diatas arteri aortik, ginjal, iliaka,
femoral dan aorta torakal. Pada orang kurus mungkin
dapat terlihat gerakan peristaltik usus atau denyutan
aorta.
Perkusi
Abdomen
Lakukan perkusi di empat kuadran dan perhatikan suara
yang timbul pada saat melakukannya dan bedakan batas-
batas dari organ dibawah kulit. Organ berongga seperti
lambung, usus, kandung kemih berbunyi timpani,
sedangkan bunyi pekak terdapat pada hati, limfa, pankreas,
ginjal.
Perkusi Batas Hati
- Posisi pasien tidur terlentang dan pemeriksa berdirilah
disisi kanan pasien.
26

- Lakukan perkusi pada garis midklavikular kanan setinggi


umbilikus, geser perlahan keatas, sampai terjadi
perubahan suara dari timpani menjadi pekak, tandai batas
bawah hati tersebut.
- Ukur jarak antara subcostae kanan kebatas bawah hati.
- Batas hati bagian bawah berada ditepi batas bawah tulang
iga kanan.
- Batas hati bagian atas terletak antara celah tulang iga ke
5 sampai ke celah tulang iga ke 7.
- Jarak batas atas dengan bawah hati berkisar 6 – 12 cm
dan pergerakan bagian bawah hati pada waktu bernapas
yaitu berkisar 2 – 3 cm.
Perkusi Lambung
- Posisi pasien tidur terlentang.
- Pemeriksa disamping kanan dan menghadap pasien.
- Lakukan perkusi pada tulang iga bagian bawah anterior
dan bagian epigastrium kiri.
- Gelembung udara lambung bila di perkusi akan berbunyi
timpani
c) Sistem pernafasan
Inspeksi
- Pemeriksaan dada dimulai dari thorax posterior, klien
pada posisi duduk.
- Dada diobservasi dengan membandingkan satu sisi
dengan yang lainnya.
- Inspeksi thorax poterior terhadap warna kulit dan
kondisinya, lesi, massa, gangguan tulang belakang
seperti : kyphosis, scoliosis dan lordosis, jumlah irama,
kedalaman pernafasan, dan kesimetrisan pergerakan
dada.
- Observasi type pernafasan, seperti : pernafasan hidung
atau pernafasan diafragma, dan penggunaan otot bantu
pernafasan.
- Saat mengobservasi respirasi, catat durasi dari fase
inspirasi (I) dan fase ekspirasi (E). ratio pada fase ini
normalnya 1 : 2. Fase ekspirasi yang memanjang
menunjukkan adanya obstruksi pada jalan nafas dan
sering ditemukan pada klien Chronic Airflow Limitation
(CAL)/COPD.
27

- Kaji konfigurasi dada dan bandingkan diameter


anteroposterior (AP) dengan diameter lateral/tranversal
(T). ratio ini normalnya berkisar 1:2 sampai 5:7,
tergantung dari cairan tubuh klien.
- Observasi kesimetrisan pergerakan dada. Gangguan
pergerakan atau tidak adekuatnya ekspansi dada
mengindikasikan penyakit pada paru atau pleura.
- Observasi retraksi abnormal ruang interkostal selama
inspirasi, yang dapat mengindikasikan obstruksi jalan
nafas.
Palpasi
- Dilakukan untuk mengkaji kesimetrisan pergerakan dada
dan mengobservasi abnormalitas, mengidentifikasi
keadaan kulit dan mengetahui vocal premitus (vibrasi).
- Palpasi thoraks untuk mengetahui abnormalitas yang
terkaji saat inspeksi seperti : massa, lesi, bengkak.
- Kaji juga kelembutan kulit, terutama jika klien mengeluh
nyeri.
- Vocal premitus : getaran dinding dada yang dihasilkan
ketika berbicara.
Perkusi
- Perawat melakukan perkusi untuk mengkaji resonansi
pulmoner, organ yang ada disekitarnya dan
pengembangan (ekskursi) diafragma.
- Jenis suara perkusi :Suara perkusi normal resonan
(sonor) : dihasilkan untuk mengetahui batas antara
bagian jantung dan paru.
Auskultasi
- Merupakan pengkajian yang sangat bermakna,
mencakup mendengarkan suara nafas normal, suara
tambahan (abnormal), dan suara.
- Suara nafas normal dihasilkan dari getaran udara ketika
melalui jalan nafas dari laring ke alveoli, dengan sifat
bersih.
Suara nafas normal :
 Bronchial : Normal terdengar di atas trachea atau
daerah suprasternal notch. Fase ekspirasinya
28

lebih panjang daripada inspirasi, dan tidak ada


henti diantara kedua fase tersebut.
 Vesikular : terdengar lembut, halus, seperti angin
sepoi-sepoi. Inspirasi lebih panjang dari
ekspirasi, ekspirasi terdengar seperti tiupan.
 Bronchovesikular : merupakan gabungan dari
suara nafas bronchial dan vesikular. Suaranya
terdengar nyaring dan dengan intensitas yang
sedang. Inspirasi sama panjang dengan ekspirasi.
Suara ini terdengar di daerah thoraks dimana
bronchi tertutup oleh dinding dada.
d) Sistem muskuloskeletal
Inspeksi
- Pada saat inspeksi tulang belakang, buka baju pasien
untuk menampakkan seluruh tubuh.
- Inspeksi ukuran otot, bandingkan satu sisi dengan sisi
yang lain dan amati adanya atrofi atau hipertrofi.
Kelurusan tulang belakang, diperiksa dengan pasien
berdiri tegak dan membungkuk ke depan.
- Jika didapatkan adanya perbedaan antara kedua sisi, ukur
keduanya dengan menggunakan meteran.
- Amati adanya otot dan tendo untuk mengetahui
kemungkinan kontraktur yang ditunjukkan oleh
malposisi suatu bagian tubuh.
- Amati kenormalan susunan tulang dan adanya
deformitas.
- Skoliosis ditandai dengan kulvatura lateral abnormal
tulang belakang, bahu yang tidak sama tinggi, garis
pinggang yang tidak simetris, dan skapula yang
menonjol, akan lebih jelas dengan uji membungkuk ke
depan.
- Amati keadaan tulang untuk mengetahui adanya
pembengkakan Persendian.
- Inspeksi persendian untuk mengetahui adanya kelainan
persendian.
- Inspeksi pergerakkan persendian.
29

Palpasi
- Palpasi pada saat otot istirahat dan pada saat otot
bergerak secara aktif dan pasif untuk mengetahui adanya
kelemahan (flasiditas), kontraksi tiba-tiba secara
involunter (spastisitas)
- Uji kekuatan otot dengan cara menyuruh klien menarik
atau mendorong tangan pemeriksa, bandingkan kekuatan
otot ekstremitas kanan dengan ekstremitas kiri.
- Palpasi untuk mengetahui adanya edema atau nyeri
tekan.
- Palpasi sendi sementara sendi digerakkan secara pasif
akan memberikan informasi mengenai integritas sendi.
Normalnya, sendi bergerak secara halus. Suara gemletuk
dapat menunjukkan adanya ligament yang tergelincir di
antara tonjolan tulang. Permukaan yang kurang rata,
seprti pada keadaan arthritis, mengakibatkan adanya
krepitus karena permukaan yang tidak rata tersebut yang
saling bergeseran satu sama lain.
- Periksa adanya benjolan, rheumatoid arthritis, gout, dan
osteoarthritis menimbulkan benjolan yang khas.
Benjolan dibawah kulit pada rheumatoid arthritis lunak
dan terdapat di dalam dan sepanjang tendon yang
memberikan fungsi ekstensi pada sendi biasanya,
keterlibatan sendi mempunya pola yang simetris.
Benjolan pada GOUT keras dan terletak dalam dan tepat
disebelah kapsul sendi itu sendiri.
- Gunakan penentuan singkat kekuatan otot dengan skala
Lovett’s (memiliki nilai 0 – 5)
0 = Tidak ada kontraksi sama sekali.
1 = Gerakan kontraksi.
2 = Kemampuan untuk bergerak, tetapi tidak kuat
3 = Cukup kuat untuk mengatasi gravitasi.
4 = Cukup kuat tetapi bukan kekuatan penuh.
5 = Kekuatan kontraksi yang penuh.
Perkusi
- Refleks patela, Tendon patella (ditengah-tengah patella
dan tuberositas tibiae) dipukul dengan refleks hammer.
Respon berupa kontraksi otot quadriceps femoris yaitu
ekstensi dari lutut.
30

- Refleks biceps, lengan difleksikan terhadap siku dengan


sudut 90º, supinasi dan lengan bawah ditopang pada alas
tertentu (meja periksa). Jari pemeriksa ditempatkan pada
tendon m. biceps (diatas lipatan siku), kemudian dipukul
dengan refleks hammer. Normal jika timbul kontraksi
otot biceps, sedikit meningkat bila terjadi fleksi sebagian
dan gerakan pronasi. Bila hyperaktif maka akan terjadi
penyebaran gerakan fleksi pada lengan dan jari-jari atau
sendi bahu.
- Refleks triceps, lengan ditopang dan difleksikan pada
sudut 90º, tendon triceps diketok dengan refleks hammer
(tendon triceps berada pada jarak 1-2 cm diatas
olekranon). Respon yang normal adalah kontraksi otot
triceps, sedikit meningkat bila ekstensi ringan dan
hyperaktif bila ekstensi siku tersebut menyebar keatas
sampai otot-otot bahu atau mungkin ada klonus yang
sementara.
- Refleks achilles, posisi kaki adalah dorsofleksi, untuk
memudahkan pemeriksaan refleks ini kaki yang
diperiksa bisa diletakkan/disilangkan diatas tungkai
bawah kontralateral.Tendon achilles dipukul dengan
refleks hammer, respon normal berupa gerakan plantar
fleksi kaki.
- Refleks abdominal, dilakukan dengan menggores
abdomen diatas dan dibawah umbilikus. Kalau digores
seperti itu, umbilikus akan bergerak keatas dan kearah
daerah yang digores.
- Refleks Babinski, merupakan refleks yang paling
penting . Ia hanya dijumpai pada penyakit traktus
kortikospinal. Untuk melakukan test ini, goreslah kuat-
kuat bagian lateral telapak kaki dari tumit kearah jari
kelingking dan kemudian melintasi bagian jantung kaki.
Respon Babinski timbul jika ibu jari kaki melakukan
dorsifleksi dan jari-jari lainnya tersebar. Respon yang
normal adalah fleksi plantar semua jari kaki.
e) Sistem endokrin
Inspeksi
- (warna kulit) : Hiperpigmentasi ditemukan pada klien
addison desease atau cushing syndrom. Hipopigmentasi
terlihat pada klien diabetes mellitus, hipertiroidisme,
hipotiroidisme.
31

- Wajah : Variasi, bentuk dan struktur muka mungkin


dapat diindikasikan dengan penyakit akromegali mata.
- Kuku dan rambut : Peningkatan pigmentasi pada kuku
diperlihatkan oleh klien dengan penyakit addison
desease, kering, tebal dan rapuh terdapat pada penyakit
hipotiroidisme, rambut lembut hipertyroidisme.
Hirsutisme terdapat pada penyakit cushing syndrom.
- Inspeksi ukuran dan proporsional struktur tubuh klien :
Orang jangkung, yang disebabkan karena insufisiensi
growth hormon. Tulang yang sangat besar, bisa
merupakan indikasi akromegali.
- Tanda trousseaus dan tanda chvoteks : Peningkatan kadar
kalsium tangan dan jari-jari klien kontraksi (spasme
karpal).
Palpasi
- Kulit kasar, kering ditemukan pada klien dengan
hipotiroidisme. Dimana kelembutan dan bilasan kulit
bisa menjadi tanda pada klien dengan hipertiroidisme.
Lesi pada ekstremitas bawah mengindikasikan DM.
- Palpasi kelenjar tiroid (tempatkan kedua tangan anda
pada sisi lain pada trachea dibawah kartilago thyroid.
Minta klien untuk miringkan kepala ke kanan Minta klien
untuk menelan. Setelah klien menelan. pindahkan pada
sebelah kiri. selama palpasi pada dada kiri bawah) :
Tidak membesar pada klien dengan penyakit graves atau
goiter.
Auskultasi
Auskultasi pada daerah leher diata tiroid dapat
mengidentifikasi bunyi "bruit“. Bunyi yg dihasilkan oleh
karena turbulensi pada pembuluh darah tiroidea. Normalnya
tidak ada bunyi.
f) Sistem integumen
Inspeksi
- Kaji integritas kulit warna flushing, cyanosis, jaundice,
pigmentasi yang tidak teratur
- Kaji membrane mukosa, turgor, dan keadaan umum,
kulit
- Kaji bentuk, integritas, warna kuku.
- Kaji adanya luka, bekas operasi/skar, drain, dekubitus.
32

Palpasi
- Adanya nyeri, edema, dan penurunan suhu.
- Tekstur kulit.
- Turgor kulit, normal < 3 detik
- Area edema dipalpasi untuk menentukan konsistensi,
temperatur, bentuk, mobilisasi.
- Palpasi Capillary refill time : warna kembali normal
setelah 3 – 5 detik.
g) Sistem neurologi
Inspeksi
- Keadaan umum, pemeriksaan khusus obstetri,
pemeriksaan dalam, dan pemeriksaan tambahan.
- Inspeksi tentang status gizi : anemia, ikterus.
- Kaji pola pernapasan (sianosis, dispnea).
- Apakah terdapat edema, bagaimana bentuk dan tinggi
badan, apakah ada perubahan pigmentasi, kloasma
gravidarum, striae alba, striae lividae, striae nigra,
hiperpigmentasi, dan areola mamma.
Palpasi
- Palpasi menurut Leopold I-IV
- Serviks, yaitu untuk mengetahui pelunakan serviks dan
pembukaan serviks.
- Ketuban, yaitu untuk mengetahui apakah sudah pecah atau
belum dan apakah ada ketegangan ketuban.
- Bagian terendah janin, yaitu untuk mengetahui bagian
apakah yang terendah dari janin, penurunan bagian
terendah, apakah ada kedudukan rangkap, apakah ada
penghalang di bagian bawah yang dapat mengganggu
jalannya persalinan.
- Perabaan forniks, yaitu untuk mengetahui apakah ada
bantalan forniks dan apakah bagian janin masih dapat
didorong ke atas.
Auskultasi
Auskultasi untuk mengetahui bising usus, gerak janin dalam
rahim, denyut jantung janin, aliran tali pusat, aorta
abdominalis, dan perdarahan retroplasenter.
h) Sistem perkemihan
Inspeksi
33

- Kaji kebiasaan pola BAK, output/jumlah urine 24 jam,


warna, kekeruhan dan ada/tidaknya sedimen.
- Kaji keluhan gangguan frekuensi BAK, adanya dysuria dan
hematuria, serta riwayat infeksi saluran kemih.
- Inspeksi penggunaan condom catheter, folleys catheter,
silikon kateter atau urostomy atau supra pubik kateter.
- Kaji kembali riwayat pengobatan dan pengkajian diagnostik
yang terkait dengan sistem perkemihan.
Palpasi
- Palpasi adanya distesi bladder (kandung kemih)
- Untuk melakukan palpasi Ginjal Kanan: Posisi di sebelah
kanan pasien. Tangan kiri diletakkan di belakang penderita,
paralel pada costa ke-12, ujung cari menyentuh sudut
costovertebral (angkat untuk mendorong ginjal ke depan).
Tangan kanan diletakkan dengan lembut pada kuadran
kanan atas di lateral otot rectus, minta pasien menarik nafas
dalam, pada puncak inspirasi tekan tangan kanan dalam-
dalam di bawah arcus aorta untuk menangkap ginjal di antar
kedua tangan (tentukan ukuran, nyeri tekan ga). Pasien
diminta membuang nafas dan berhenti napas, lepaskan
tangan kanan, dan rasakan bagaimana ginjal kembali waktu
ekspirasi.
- Dilanjutkan dengan palpasi Ginjal Kiri : Pindah di sebelah
kiri penderita, Tangan kanan untuk menyangga dan
mengangkat dari belakan. Tangan kiri diletakkan dengan
lembut pada kuadran kiri atas di lateral otot rectus, minta
pasien menarik nafas dalam, pada puncak inspirasi tekan
tangan kiri dalam-dalam di bawah arcus aorta untuk
menangkap ginjal di antar kedua tangan (normalnya jarang
teraba).
Perkusi
Untuk pemeriksaan ketok ginjal prosedur tambahannya
dengan mempersilahkan penderita untuk duduk menghadap
ke salah satu sisi, dan pemeriksa berdiri di belakang
penderita. Satu tangan diletakkan pada sudut kostovertebra
kanan setinggi vertebra torakalis 12 dan lumbal 1 dan
memukul dengan sisi ulnar dengan kepalan tangan (ginjal
kanan). Satu tangan diletakkan pada sudut kostovertebra
kanan setinggi vertebra torakalis 12 dan lumbal 1 dan
34

memukul dengan sisi ulnar dengan kepalan tangan (ginjal


kiri). Penderita diminta untuk memberiksan respons
terhadap pemeriksaan bila ada rasa sakit.
i) Sistem persyarafan
- N I Olfactorius
Pastikan rongga hidung tidak tersumbat oleh apapun dan
cukup bersih. Lakukan pemeriksaan dengan menutup
sebelah lubang hidung klien dan dekatkan bau-bauan seperti
kopi dengan mata tertutup klien diminta menebak bau
tersebut. Lakukan untuk lubang hidung yang satunya.
- N II Optikus
Catat kelainan pada mata seperti katarak dan infeksi
sebelum pemeriksaan. Periksa ketajaman dengan membaca,
perhatikan jarak baca atau menggunakan snellenchart untuk
jarak jauh.
Periksa lapang pandang: Klien berhadapan dengan
pemeriksa 60-100 cm, minta untuk menutup sebelah mata
dan pemeriksa juga menutup sebelah mata dengan mata
yang berlawanan dengan mata klien. Gunakan benda yang
berasal dari arah luar klien dank lien diminta ,mengucapkan
ya bila pertama melihat benda tersebut. Ulangi
pemeriksaan yang sama dengan mata yang sebelahnya.
Ukur berapa derajat kemampuan klien saat pertama kali
melihat objek. Gunakan opthalmoskop untuk melihat
fundus dan optic disk (warna dan bentuk)
- N III , N IV, dan N VI (occulomotorius, trochlear, dan
abducen):
Pada mata diobservasi apakah ada odema palpebra,
hiperemi konjungtiva, dan ptosis kelopak mata
Pada pupil diperiksa reaksi terhadap cahaya, ukuran pupil,
dan adanya perdarahan pupil
Pada gerakan bola mata diperiksa enam lapang pandang
(enam posisi cardinal) yaitu lateral, lateral ke atas, medial
atas, medial bawah lateral bawah. Minta klien mengikuti
arah telunjuk pemeriksa dengan bolamatanya
- N V Trigeminus
Fungsi sensorik diperiksa dengan menyentuh kilit wajah
daerah maxilla, mandibula dan frontal dengan
mengguanakan kapas. Minta klien mengucapkan ya bila
merasakan sentuhan, lakukan kanan dan kiri.
35

Dengan menggunakan sensori nyeri menggunakan ujung


jarum atau peniti di ketiga area wajah tadi dan minta
membedakan benda tajam dan tumpul.
Dengan mengguanakan suhu panas dan dingin juag dapat
dilakukan diketiga area wajah tersebut. Minta klien
menyebutkan area mana yang merasakan sentuhan. Jangan
lupa mata klien ditutup sebelum pemeriksaan.
Dengan rasa getar dapat pukla dilakukan dengan
menggunakan garputala yang digetarkan dan disentuhkan
ke ketiga daerah wajah tadi dan minta klien mengatakan
getaran tersebut terasa atau tidak
Pemerikasaan corneal dapat dilakukan dengan meminta
klien melihat lurus ke depan, dekatkan gulungan kapas kecil
dari samping kea rah mata dan lihat refleks menutup mata.
Pemeriksaan motorik dengan mengatupkan rahang dan
merapatkan gigi periksa otot maseter dan temporalis kiri dan
kanan periksa kekuatan ototnya, minta klien melakukan
gerakan mengunyah dan lihat kesimetrisan gerakan
mandibula.
- N VII Facialis:
Fungsi sensorik dengan mencelupkan lidi kapas ke air
garam dan sentuhkan ke ujung lidah, minta klien
mengidentifikasi rasa ulangi untuk gula dan asam.
Fungsi mootorik dengan meminta klien tersenyum, bersiul,
mengangkat kedua al;is berbarengan, menggembungkan
pipi. Lihat kesimetrisan kanan dan kiri. Periksa kekuatan
otot bagian atas dan bawah, minta klien memejampan mata
kuat-kuat dan coba untuk membukanya, minta pula klien
utnuk menggembungkan pipi dan tekan dengan kedua jari.
- N VIII Vestibulotrochlear
Cabang vestibulo dengan menggunakan test pendengaran
mengguanakan weber test dan rhinne test.
Cabang choclear dengan rombreng test dengan cara
meminta klien berdiri tegak, kedua kaki rapat, kedua lengan
disisi tubuh, lalu observasi adanya ayunan tubuh, minta
klien menutup mata tanpa mengubah posisi, lihat apakah
klien dapat mempertahankan posisi.
- NIX dan NX Glossofaringeus dan Vagus
Minta klien mengucapkan aa lihat gerakan ovula dan
palatum, normal bila uvula terletak di tengan dan palatum
sedikit terangkat.
36

Periksa gag refleks dengan menyentuh bagian dinding


belakang faring menggunakan aplikator dan observasi
gerakan faring.
Periksa aktifitas motorik faring dengan meminta klien
menel;an air sedikit, observasi gerakan meelan dan
kesulitan menelan. Periksa getaran pita suara saat klien
berbicara.
- N XI Assesorius
Periksa fungsi trapezius dengan meminta klien
menggerakkan kedua bahu secara bersamaan dan observasi
kesimetrisan gerakan.
Periksa fungsi otot sternocleidomastoideus dengan meminta
klien menoleh ke kanan dank e kiri, minta klien
mendekatkan telinga ke bahu kanan dan kiri bergantian
tanpa mengangkat bahu lalu observasi rentang pergerakan
sendi.
Periksa kekuatanotottrapezius dengan menahan kedua bahu
klien dengan kedua telapak tangan danminta klien
mendorong telapak tangan pemeriksa sekuat-kuatnya ke
atas, perhatikan kekuatan daya dorong.
Periksa kekuatan otot sternocleidomastoideus dengan
meminta klien untuk menoleh kesatu sisi melawan tahanan
telapak tangan pemeriksa, perhatikan kekuatan daya
dorong.
- N XII Hipoglosus
Periksa pergerakan lidah, menggerakkan lidah kekiri dan ke
kanan, observasi kesimetrisan gerakan lidah
Periksa kekuatan lidah dengan meminta klien mendorong
salah satu pipi dengan ujung lidah, dorong bagian luar pipi
dengan ujung lidah, dorong kedua pipi dengan kedua jari,
observasi kekuatan lidah, ulangi pemeriksaan sisi yang lain.
8) Data psikologis
a) Status emosional dikaji tentang keadaan emosi klien
b) Konsep diri
- Citra tubuh
Sikap seseorang terhadap tubuhnya secara sadar maupun tidka sadar.
- Identitas diri
Kesadaran tentang diri sendiri yang dapat diperoleh individu dari
observasi dan penilaian terhadap dirinya menyadari individu bahwa
dirinya berbeda dengan orang lain.
c) Peran
37

Serangkaian pola sikap perilaku, nilai dan tujuan yang diharapkan oleh
masyarakat dihubungkan dengan fungsi individu didalam kelompok
sosialnya.
d) Ideal diri
Persepsi individu tentang bagaimana ia seharusnya bertingkahlaku
berdasarkan standar pribadi.
e) Harga diri
Penilaian pribadi terhadap hasl yang dicapai dengan menganalisis
seberapa banyak kesesuaian tingkah laku dengan dirinya.
f) Mekanisme koping
Perilaku yang mewakili upaya untuk melindungi diri sendiri dari
pengalaman yang menakutkan berhubungan dengan respon
neurobiologik. Mekanisme koping terdiri dari:
9) Data sosial dan budaya
a) Pola komunikasi dan interaksi kejelasan klien dalam kebiasaan
berbicara, kemampuan dan keterampilan klien berkomunikasi dan
berinteraksi dengan orang lain.
b) Support sistem dikaji bagaimana dukungan keluarga dan orang
terdekat dalam proses penyembuhan penyakit klien.
10) Data spiritual
a) Pola religius
Agama yang dianut klien, kegiatan agama dan kepercayaan yang
dilakukan klien selama ini apakah ada gangguan aktivitas beribadah
selama sakit.
b) Kepercayaan dan keyakinan
Bagaimana sikap klien terhadap petugas kesehatan dan keyakinan
klien terhadap penyakit yang dideritanya.
11) Data penunjang
Data penunjang meliputi farmakoterapi dan prosedur diagnostik medik
seperti pemeriksaan darah, urine, radiologi dan cystoscopy.
38

2. Analisa Data
Analisa data adalah suatu tahapan yang mengkaitkan dan
menghubungkan data dengan konsep teori dan penutup yang relevan
untuk membuat kumpulan dalam menentukan masalah kesehatan dan
keperawatn pasien (Juniartha Semara Putra). Dari data yang telah d
kumpulkan kemudian di klompokan menjadi dua macam yaitu data
objektif d sampaikan yang d temuakan secara nyata (data ini didapat
melalu observasi atau pemeriksaan langsung) dan data subjektif yang
dsamapaikan secara lisan oleh klaien dan kluarga nya (data ini didapat
dari wawancara perawat kepana klaien dan kluarga)

3. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah penilaian klinik tentang individu,
keluarga atau amasyarakat yang berasal dari proses pengumpulan dan
analisa data yang cermat dan sistematis. Berdasarkan patofisiologis dan
dari pengkajian , diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada klien
dengan nefrolisis:

4. Intervensi
Intervensi keperawatan adalah tindakan yang di rencanakan untuk
membantu klien dalam beralih dari tingkat kesehatan saat ini ke tingkat
yang diinginkan dalam hasil yang diharapkan.( Juniartha Semara Putra)

5. Pelaksanaan
Pelaksanaan adalah perbandingan sismetik dan terancam tentang
kesehatan klien dengan tujuan yang telah d dapat . kegiatan dalam
pelaksanan juga meliputi pengumpulan data berkelanjutan, serta menilai
data yang baru. (Juniartha Semara Putra)
39

6. Evaluasi
Evaluasi adalah perbandingan yang sistemik dan terencana tentang
kesehatan klien dengan tujuan yang telah di tetapkan, di lakukan dengan
cara bersinambungan dengan melibatkanklien dan tenaga kesehatan
lainnya.

C. Konsep Dasar Anestesi


1. Definisi Anestesi Umum
Anestesi umum adalah tindakan meniadakan rasa nyeri/sakit secara
sentral disertai hilangnya kesadaran dan dapat pulih kembali (reversible).
Komonen anestesi yang ideal terdiri dari: hipnotik, analgetik dan relaksasi
otot. (Morghan, 1995)

2. Jenis Anestesi Umum


Anestesi umum dibagi menurut bentuk fisiknya terdiri dari 2 cara, yaitu
a. Anestesi Inhalasi
Obat anastetik inhalasi yang pertama kali dikenal dan dignakan
untuk membantu pembedahan ialah N2O. Dalam dunia modern,
anastetik inhalasi yang umum digunakan untuk praktek klinik ialah
N2O, halotan, enfluran, desfluran, dan sevofluran. Agen ini dapat
diberikan dan diserap secara terkontrol dan cepat,karena diserap
serta dikeluarkan melalui paru-paru (alveoli).
Konsentrasi alveolar minimal (KAM) atau MAC (Minimum
Alveolar Consentration) ialah kadar minimal zat tersebut dalam
alveolus pada tekanan 1 atmosfir yang diperlukan untuk mencegah
gerakan pada 50% pasien yang dilakukan insisi standar. Anestesi
inhalasi diantaranya:
2) Nitrous oxide(N2O)
Memiliki daya analgesi yang kuat tetapi daya anestesinya
lemah,harus diberikan bersama-sama dengan oksigen yang cukup,
konsentrasi tertinggi yang dianjurkan adalah 70% bila lebih dari
itu terjadi hipoksia.
40

3) Halotane
Merupakan alkaline berhalogen, cairan bening tidak berwarna
berbau harum. Tidak merangsang jalan nafas. Termasuk halogen
hydrocarbon MAC 0,72%.
4) Enflurane
Merupakan cairan volatil degan bau menyanangkan seperti ether,
suatu larutan sodium methexide metanol normal. Reflex fharing
dan laring dengan cepat hilang sehingga memudahkan tindakan
intubasi endotracheal. Termasuk halogen ether. MAC 1,68 vol%.
5) Isoflurane
Merupakan cairan volatil yang mudah terbakar dan berbau ether
yang menyengat, reflek fharing dan laring cepat bilang sehingga
memudahkan tindakan intubasi endotraceal. Termasuk halogen
ether. MAC 1,12 vol%
6) Sevovlurane
Baunya tidak menyengat dan peningkatan di alveolar yang cepat
membuatnya sebagai pilihan yang baik untuk induksi inhalasi
pada pasien pediatrik atau orang dewasa. Termasuk golongan
halogen ether. MAC 2,05 vol%.
b. Anestesi Intravena
1) Propofol
Propofol adalah obat anestesi intravena yang memiliki onset cepat
dan durasi pendek dengan recorvery anestesi yang cepat tanpa rasa
pusing dan mual. Dengan OOA 30 detik dan DOA 5-10 menit.
Dosis induksi : 2-2,5 mg/kg
Dosis maintenance : 6-10 mg/kgBB/jam
2) Golongan Barbiturat (pentotal, Tiopenton)
Pentotal atau sodium thiopenton adalah obat anestesi intravena
golongan barbiturate yang bekerja cepat (short acting barbiturate).
Mudah larut didalam air dan alkohol. Dikemas dalam bentuk
bubuk berwarna kuning, berbau belerang, biasanya dalam ampul
41

500 mg atau 1.000 mg. Sebelum digunakan dilarutan dalam


aquades steril sampai kepekatan 2,5 % (1 ml =25 mg), larutan ini
sangat alkalis dengan pH 10-11, sehingga suntikan keluar vena
akan menimbulkan nyeri hebat apalagi masuk arteri akan
menyebabkan vasokontriksi dan nekrosis jaringan sekitar. Dengan
OOA 10 detik dan DOA 5-15 menit.
Dosis induksi : 4-6mg/KgBB
Dosis Maintenance : 1-3 mg/kgBB/jam
Dosis sedasi : 0,2-0,4 mg/kgBB
3) Ketamin
Ketamin adalah derivate fensiklidin yang menghasilkan anestesi
disosiatif yang menyerupai keadaan kateleptik dimana mata
pasien tetap terbuka dan nistagnus lambat. Pada saat yang sama
pasien tidak dapat berkomunikasi, terjadi amnesia dan analgesia
yang sangat baik. Dapat menyebabkan halusinasi dan delirium
serta meningkatkan tekanan darah sistolik 23% dari baseline dan
hypersejresi. Dengan OOA 30 detik dan DOA 10-20.
Dosis induksi IV : 1-3 mg/KgBB
IM : 9-11 mg/KgBB
4) Golongan benzodiazepin (Midazolam, Diazepam)
Obat induksi tidur jangka pendek atau premedikasi,pemeliharaan
anestesi, bekerja cepat dan karena transformasi metaboliknya
cepat dan lama kerjanya singkat, bekerja kuat menimbulkan
sedasi dan induksi tidur. Setelah pemberiam IM atau IV terjadi
amnesia antrograde.
Midazolam memiiki OOA 30 detik dan DOA 15-80 menit.
Dosis premedikasi : 0,03-0,04 mg/kgBB
Dosis induksi : 0,02-0,04 mg/kgBB
Infus : 4-6 mg/jam
42

Diazepam memiliki OOA sedasi 30-60 detik dan OOA induksi


45 detik serta DOA sedasi 10-15 menit dan DOA induksi 15-30
menit.
Dosis sedasi : 0,04-0,2 mg/kgBB
Dosis induksi : 0,3-0,6 mg/kgBB
5) Muscle relaxan
a) Depolarizing
- Suksinikolin
Suksinilkolin terdiri dari 2 molekul asetilkolin yang
bergabung. obat ini memiliki onset yang cepat (30-60 detik)
dan duration of action yang pendek (kurang dari 10 menit).
Ketika suksinilkolin memasuki sirkulasi, sebagian besar
dimetabolisme oleh pseudokolinesterase menjadi
suksinilmonokolin. Proses ini sangat efisien, sehingga
hanya fraksi kecil dari dosis yang dinjeksikan yang
mencapai neuromuscular junction. Duration of action akan
memanjang pada dosis besar atau dengan metabolisme
abnormal, seperti hipotermia atau rendanya level
pseudokolinesterase. Rendahnya level pseudokolinesterase
ini ditemukan pada kehamilan, penyakit hati, gagal ginjal
dan beberapa terapi obat. Pada beberapa orang juga
ditemukan gen pseudokolinesterase abnormal yang
menyebabkan blokade yang memanjang.
b) Non depolarizing
- Pavulon
Pavulon merupakan steroid sintetis yang banyak digunakan.
Mulai kerja pada menit kedua-ketiga untuk selama 30-40
menit. Memiliki efek akumulasi pada pemberian berulang
sehingga dosis rumatan harus dikurangi dan selamg waktu
diperpanjang. Dosis awal untuk relaksasi otot 0,08
43

mg/kgBB intravena pada dewasa. Dosis rumatan setengah


dosis awal. Dosis Intubasi trakea 0,15 mg/kgBB intravena.
Kemasan ampul 2 ml berisi 4 mg pavulon.
- Atracurium
Atracurium mempunyai struktur benzilisoquinolin yang
berasal dari tanaman Leontice Leontopeltalum.
Keunggulannya adalah metabolisme terjadi di dalam darah,
tidak bergantung pada fungsi hati dan ginjal, tidak
mempunyai efek akumulasi pada pemberian berulang.
Dosis 0,5 mg/kg iv, 30-60 menit untuk intubasi. Relaksasi
intraoperative 0,25 mg/kg initial, laly 0,1 mg/kg setiap 10-
20 menit. Infuse 5-10 mcg/kg/menit efektif menggantikan
bolus.
Lebih cepat durasinya pada anak dibandingkan dewasa.
Tersedia dengan sediaan cairan 10 mg/cc. disimpan dalam
suhu 2-8OC, potensinya hilang 5-10 % tiap bulan bila
disimpan pada suhu ruangan. Digunakan dalam 14 hari bila
terpapar suhu ruangan. Efek samping dan pertimbangan
klinis.
Histamine release pada dosis diatas 0,5 mg/kg.
- Vekuronium
Vekuronium merupakan homolog pankuronium bromida
yang berkekuatan lebih besar dan lama kerjanya singkat Zat
anestetik ini tidak mempunyai efek akumulasi pada
pemberian berulang dan tidak menyebabkan perubahan
fungsi kardiovaskuler yang bermakna.
Metabolisme dan ekskresi.Tergantung dari eksresi empedu
dan ginjal. Pemberian jangka panjang dapat
memperpanjang blokade neuromuskuler. Karena akumulasi
44

metabolit 3-hidroksi, perubahan klirens obat atau terjadi


polineuropati.
Faktor risiko wanita, gagal ginjal, terapi kortikosteroid yang
lama dan sepsis. Efek pelemas otot memanjang pada pasien
AIDS. Toleransi dengan pelemas otot memperpanjang
penggunaan.
Dosis intubasi 0,08 – 0,12 mg/kg. Dosis 0,04 mg/kg diikuti
0,01 mg/kg setiap 15 – 20 menit. Drip 1 – 2 mcg/kg/menit.
Umur tidak mempengaruhi dosis. Dapat memanjang durasi
pada pasien post partum. Karena gangguan pada hepatic
blood flow.
Sediaan 10 mg serbuk. Dicampur cairan sebelumnya.
- Rekuronium
Zat ini merupakan analog vekuronium dengan awal kerja
lebih cepat. Keuntungannya adalah tidak mengganggu
fungsi ginjal, sedangkan kerugiannya adalah terjadi
gangguan fungsi hati dan efek kerja yang lebih lama.
Eliminasi terutama oleh hati dan sedikit oleh ginjal. Durasi
tidak terpengaruh oleh kelainan ginjal, tapi diperpanjang
oleh kelainan hepar berat dan kehamilan, baik untuk infusan
jangka panjang (di ICU). Pasien orang tua menunjukan
prolong durasi.
Potensi lebih kecil dibandingkan relaksant steroid lainnya.
0,45 – 0,9 mg / kg iv untuk intubasi dan 0,15 mg/kg bolus
untuk rumatan. Dosis kecil 0,4 mg/kg dapat pulih 25 menit
setelah intubasi. Im ( 1 mg/kg untuk infant ; 2 mg/kg untuk
anak kecil) adekuat pita suara dan paralisis diafragma untuk
intubasi. Tapi tidak sampai 3 – 6 menit dapat kembali
sampai 1 jam. Untuk drip 5 – 12 mcg/kg/menit. Dapat
memanjang pada pasien orang tua.
45

Efek samping dan manifestasi klinis.


Onset cepat hampir mendekati suksinilkolin tapi harganya
mahal.
Diberikan 20 detik sebelum propofol dan thiopental.
Rocuronium (0,1 mg/kg) cepat 90 detik dan efektif untuk
prekurasisasi sebelum suksinilkolin. Ada tendensi vagalitik.
- Penawar Pelumpuh Otot
Antikolinesterase bekerja dengan menghambat
kolinesterase sehingga asetilkolin dapat bekerja.
Antikolinesterase yang paling sering digunakan adalah
neostigmin (dosis 0,04-0,08 mg/kg), piridostigmin (dosis
0,1-0,4 mg/kg) dan edrophonium (dosis 0,5-1,0 mg/kg), dan
fisostigmin yang hanya untuk penggunaan oral (dosis 0,01-
0,03 mg/kg). Penawar pelumpuh otot bersifat muskarinik
sehingga menyebabkan hipersalivasi, keringatan,
bradikardi, kejang bronkus, hipermotilitas usus dan
pandangan kabur sehingga pemberiannya harus disertai
vagolitik seperti atropine (dosis 0,01-0,02mg/kg) atau
glikopirolat (dosis 0,005-0,01 mg/kg sampai 0,2-0,3 mg
pada dewasa)
6) Analgetik narkotik (OPIOID)
a) Fentanyl
Fentanyl adalah zat sintetik seperti petidin dengan kekuatan
100 x morfin. Fentanil merupakan opioid sintetik dari
kelompok fenilpiperedin. Lebih larut dalam lemak dan lebih
mudah menembus sawar jaringan.2,3
Farmakodinamik
Turunan fenilpiperidin ini merupakan agonis opioid poten.
Sebagai suatu analgesik, fentanil 75-125 kali lebih
potendibandingkan dengan morfin. Awitan yang cepat dan
46

lama aksi yang singkat mencerminkan kelarutan lipid yang


lebih besar dari fentanil dibandingkan dengan morfin. Fentanil
(dan opioid lain) meningkatkan aksi anestetik lokal pada blok
saraf tepi. Keadaan itu sebagian disebabkan oleh sifat anestetsi
lokal yamg lemah (dosis yang tinggi menekan hantara saraf)
dan efeknya terhadap reseptor opioid pada terminal saraf tepi.
Fentanil dikombinasikan dengan droperidol untuk
menimbulkan neureptanalgesia.2
Farmakokinetik
Setelah suntikan intravena ambilan dan distribusinya secara
kualitatif hampir sama dengan dengan morfin, tetapi fraksi
terbesar dirusak paru ketika pertama kali melewatinya.
Fentanil dimetabolisir oleh hati dengan N-dealkilase dan
hidrosilasidan, sedangkan sisa metabolismenya dikeluarkan
lewat urin.
Indikasi
Efek depresinya lebih lama dibandingkan efek analgesinya.
Dosis 1-3 /kg BB analgesianya hanya berlangsung 30 menit,
karena itu hanya dipergunakan untuk anastesia pembedahan
dan tidak untuk pasca bedah. Dosis besar 50-150 mg/kg BB
digunakan untuk induksi anastesia dan pemeliharaan anastesia
dengan kombinasi bensodioazepam dan inhalasi dosis rendah,
pada bedah jantung. Sediaan yang tersedia adalah suntikan 50
mg/ml.
Efek samping
Efek yang tidak disukai ialah kekakuan otot punggung yang
sebenarnya dapat dicegah dengan pelumpuh otot. Dosis besar
dapat mencegah peningkatan kadar gula, katekolamin plasma,
ADH, rennin, aldosteron dan kortisol.
47

Obat terbaru dari golongan fentanil adalah remifentanil, yang


dimetabolisir oleh esterase plasma nonspesifik, yang
menghasilkan obat dengan waktu paruh yang singkat, tidak
seperti narkotik lain durasi efeknya relatif tidak tergantung
dengan durasi infusinya.
b) Morfin
Meskipun morfin dapat dibuat secara sintetik, tetapi secara
komersial lebih mudah dan menguntungkan, yang dibuat dari
bahan getah papaver somniferum. Morfin paling mudah larut
dalam air dibandingkan golongan opioid lain dan kerja
analgesinya cukup panjang (long acting).
Efek kerja dari morfin (dan juga opioid pada umumnya)
relatife selektif, yakni tidak begitu mempengaharui unsur
sensoris lain, yaitu rasa raba, rasa getar (vibrasi), penglihatan
dan pendengaran ; bahkan persepsi nyeripun tidak selalu
hilang setelah pemberian morfin dosis terapi.
Efek analgesi morfin timbul berdasarkan 3 mekanisme ; (1)
morfin meninggikan ambang rangsang nyeri ; (2) morfin dapat
mempengaharui emosi, artinya morfin dapat mengubah reaksi
yang timbul dikorteks serebri pada waktu persepsi nyeri
diterima oleh korteks serebri dari thalamus ; (3) morfin
memudahkan tidur dan pada waktu tidur ambang rangsang
nyeri meningkat.
Farmakodinamik
Efek morfin terjadi pada susunan syaraf pusat dan organ yang
mengandung otot polos. Efek morfin pada system syaraf pusat
mempunyai dua sifat yaitu depresi dan stimulasi. Digolongkan
depresi yaitu analgesia, sedasi, perubahan emosi, hipoventilasi
alveolar. Stimulasi termasuk stimulasi parasimpatis, miosis,
48

mual muntah, hiper aktif reflek spinal, konvulsi dan sekresi


hormone anti diuretika (ADH).
Farmakokinetik
Morfin tidak dapat menembus kulit utuh, tetapi dapat
menembus kulit yang luka. Morfin juga dapat mmenembus
mukosa. Morfin dapat diabsorsi usus, tetapi efek analgesik
setelah pemberian oral jauh lebih rendah daripada efek
analgesik yang timbul setelah pemberian parenteral dengan
dosis yang sama. Morfin dapat melewati sawar uri dan
mempengaharui janin. Ekresi morfin terutama melalui ginjal.
Sebagian kecil morfin bebas ditemukan dalam tinja dan
keringat.
Indikasi
Morfin dan opioid lain terutama diidentifikasikan untuk
meredakan atau menghilangkan nyeri hebat yang tidak dapat
diobati dengan analgesik non-opioid. Lebih hebat nyerinya
makin besar dosis yang diperlukan. Morfin sering diperlukan
untuk nyeri yang menyertai ; (1) Infark miokard ; (2)
Neoplasma ; (3) Kolik renal atau kolik empedu ; (4) Oklusi
akut pembuluh darah perifer, pulmonal atau koroner ; (5)
Perikarditis akut, pleuritis dan pneumotorak spontan ; (6)
Nyeri akibat trauma misalnya luka bakar, fraktur dan nyeri
pasca bedah.
Efek samping
Efek samping morfin (dan derivat opioid pada umumnya)
meliputi depresi pernafasan, nausea, vomitus, dizzines, mental
berkabut, disforia, pruritus, konstipasi kenaikkan tekanan pada
traktus bilier, retensi urin, dan hipotensi.
Dosis dan sediaan
49

Morfin tersedia dalam tablet, injeksi, supositoria. Morfin oral


dalam bentuk larutan diberikan teratur dalam tiap 4 jam. Dosis
anjuran untuk menghilangkan atau mengguranggi nyeri
sedang adalah 0,1-0,2 mg/ kg BB. Untuk nyeri hebat pada
dewasa 1-2 mg intravena dan dapat diulang sesuai yamg
diperlukan.
c) Petidin
Petidin ( meperidin, demerol) adalah zat sintetik yang
formulanya sangat berbeda dengan morfin, tetapi mempunyai
efek klinik dan efek samping yang mendekati sama. Secara
kimia petidin adalah etil-1metil-fenilpiperidin-4-karboksilat.
Farmakodinamik
Meperidin (petidin) secara farmakologik bekerja sebagai
agonis reseptor m (mu). Seperti halnya morfin, meperidin
(petidin) menimbulkan efek analgesia, sedasi, euforia, depresi
nafas dan efek sentral lainnya. Waktu paruh petidin adalah 5
jam. Efektivitasnya lebih rendah dibanding morfin, tetapi leih
tinggi dari kodein. Durasi analgesinya pada penggunaan klinis
3-5 jam. Dibandingkan dengan morfin, meperidin lebih efektif
terhadap nyeri neuropatik.
Perbedaan antara petidin (meperidin) dengan morfin sebagai
berikut :
- Petidin lebih larut dalam lemak dibandingkan dengan
morfin yang larut dalam air.
- Metabolisme oleh hepar lebih cepat dan menghasilkan
normeperidin, asam meperidinat dan asam normeperidinat.
Normeperidin adalah metabolit yang masih aktif memiliki
sifat konvulsi dua kali lipat petidin, tetapi efek analgesinya
sudah berkurang 50%. Kurang dari 10% petidin bentuk asli
ditemukan dalam urin.
50

- Petidin bersifat atropin menyebabkan kekeringan mulut,


kekaburan pandangan dan takikardia.
- Seperti morpin ia menyebabkan konstipasi, tetapi efek
terhadap sfingter oddi lebih ringan.
- Petidin cukup efektif untuk menghilangkan gemetaran
pasca bedah yang tidak ada hubungannya dengan hipiotermi
dengan dosis 20-25 mg i.v pada dewasa. Morfin tidak.
- Lama kerja petidin lebih pendek dibandingkan morfin.
Farmakokinetik
Absorbsi meperidin setelah cara pemberian apapun
berlangsung baik. Akan tetapi kecepatan absorbsi mungkin
tidak teratur setelah suntikan IM. Kadar puncak dalam plasma
biasanya dicapai dalam 45 menit dan kadar yang dicapai antar
individu sangat bervariasi. Setelah pemberian meperidin IV,
kadarnya dalam plasma menurun secara cepat dalam 1-2 jam
pertama, kemudian penurunan berlangsung lebih lambat.
Kurang lebih 60% meperidin dalam plasma terikat protein.
Metabolisme meperidin terutama dalam hati. Pada manusia
meperidin mengalami hidrolisis menjadi asam meperidinat
yang kemudian sebagian mengalami konyugasi. Meperidin
dalam bentuk utuh sangat sedikit ditemukan dalam urin.
Sebanyak 1/3 dari satu dosis meperidin ditemukan dalam urin
dalam bentuk derivat N-demitilasi.
Meperidin dapat menurunkan aliran darah otak, kecepatan
metabolik otak, dan tekanan intra kranial. Berbeda dengan
morfin, petidin tidak menunda persalinan, akan tetapi dapat
masuk kefetus dan menimbulkan depresi respirasi pada
kelahiran.
Indikasi
51

Meperidin hanya digunakan untuk menimbulkan analgesia.


Pada beberapa keadaan klinis, meperidin diindikasikan atas
dasar masa kerjanya yang lebih pendek daripada morfin.
Meperidin digunakan juga untuk menimbulkan analgesia
obstetrik dan sebagai obat preanestetik, untuk menimbulkan
analgesia obstetrik dibandingkan dengan morfin, meperidin
kurang karena menyebabkan depresi nafas pada janin.
Dosis dan sediaan
Sediaan yang tersedia adalah tablet 50 dan 100 mg ; suntikan
10 mg/ml, 25 mg/ml, 50 mg/ml, 75 mg/ml, 100 mg/ml. ;
larutan oral 50 mg/ml. Sebagian besar pasien tertolong dengan
dosis parenteral 100 mg. Dosis untuk bayi dan anak ; 1-1,8
mg/kg BB.
Efek samping
Efek samping meperidin dan derivat fenilpiperidin yang
ringan berupa pusing, berkeringat, euforia, mulut kering,
mual-muntah, perasaan lemah, gangguan penglihatan,
palpitasi, disforia, sinkop dan sedasi.
7) Antagonis Opioid
a) Nalokson
Nalokson adalah antagonis murni opioid dan bekerja pada
reseptor Mu, delta, Kappa, dan Sigma. Pemberian nalokson
pada pasien setelah amendapat morfin akan terlihat laju nafas
meningkat, kantuk menghilang, pupil mata dilatasi, tekanan
darah kalau sebelumnya rendah akan meningkat.
Nalokson biasanya digunakan untuk melawan depresi nafas
pada akhir pembedahan dengan dosis dicicil 1-2
mikrogram/kgBB intravena dan dapat diulang tiap 3-5 menit,
sampai ventilasi dianggap baik. Dosis lebih dari 0,2 mg jarang
digunakan. Dosis intramuscular 2x dosis intravena. Pada
52

keracunan opioid naloksondapat diberikan per-infus dosis 3-


10µg/kgBB.
Untuk depresi napas neonates yang ibunya mendapat opioid
berikan nalokson 10 µg/kgBB dan dapat diulang setelah 2
menit. Biasanya 1 ampul nalokson 0,4 mg diencerkan sampai
10ml, sehingga tiap ml mengandung 0,04 mg.
b) Naltrekson
Naltrekson merupakan antagonis opiod kerja panjang yang
biasanya diberikan peroral, pada pasien dengan
ketergantungan opioid. Waktu paro plasma 8-12 jam.
Pemberian per oral dapat bertahan sampai 24 jam. Naltrekson
per oral 5 atau 10 mg dapat mengurangi pruritus, mual muntah
pada analgesia epidural saat persalinan, tampa menghilangkan
efek analgesianya.
8) Obat penyerta
a) Neostigmin
b) Sulfas atropine
c) Ketorolac
d) Tramadol

3. Persiapan dan Penilaian Praanestesi


a. Persiapan Tindakan Anestesi.
1) Dokter anestesi memberi salam kepada pasien dan
memperkenalkan dirinya.
2) Memeriksa identitas pasien, bila perlu: tanggal lahir, jenis dan
lokasi operasi (misalnya, lutut kanan).
3) Bertanya mengenai kapan pasien makan terakhir kali.
4) Memeriksa mulut dan keadaan gigi (dalam keadaan terbuka).
53

5) Memasang alat monitor standar: EKG, oksimetri nadi, pengukur


tekanandarah yang tidak invasive, jalan masuk melalui vena, bila
perlu: pengukur tekanan darah arteri.

Tujuan utama kunjungan pra anesthesia ialah untuk mengurangi angka


kesakitanoperasi, mengurangi biaya operasi dan meningkatkan
kualitas pelayanan kesehatan.

Kunjungan pre-anestesi dilakukan untuk mempersiapkan pasien


sebelum pasienmenjalani suatu tindakan operasi. Pada saat kunjungan,
dilakukan wawancara(anamnesis) sepertinya menanyakan apakah
pernah mendapat anestesi sebelumnya,adakah penyakit--penyakit
sistemik, saluran napas, dan alergi obat. Kemudian pada pemeriksaan
fisik, dilakukan pemeriksaan gigi-geligi, tindakan buka mulut,
ukuranlidah, leher kaku dan pendek. Perhatikan pula hasil
pemeriksaan laboratorium atasindikasi sesuai dengan penyakit yang
sedang dicurigai, misalnya pemeriksaan darah(Hb, leukosit, masa
pendarahan, masa pembekuan), radiologi, EKG.

Dari hasil kunjungan ini dapat diketahui kondisi pasien dan


dinyatakan dengan statusanestesi menurut The American Society Of
Anesthesiologist (ASA).

ASA I : Pasien dalam keadaan normal dan sehat.

ASA II: Pasien dengan kelainan sistemik ringan sampai sedang baik
karena penyakit bedah maupun penyakit lain. Contohnya : pasien batu
ureter dengan hipertensi sedang terkontrol, atau pasien appendisitis
akutdengan lekositosis dan febris.

ASA III : Pasien dengan gangguan atau penyakit sistemik berat


yangdiakibatkan karena berbagai penyebab. Contohnya:
54

pasienappendisitis perforasi dengan septisemia, atau pasien ileus


obstrukstif dengan iskemia miokardium.

ASA IV : Pasien dengan kelainan sistemik berat yang secara


langsungmengancam kehidupannya. Contohn ya : Pasien dengan
syok ataudekompensasi kordis.

ASA V : Pasien tak diharapkan hidup setelah 24 jam walaupun


dioperasi atautidak.Contohnya : pasien tua dengan perdarahan basis
kranii dan syok hemoragik karena ruptur hepatik.Klasifikasi ASA juga
dipakai pada pembedahan darurat dengan mencantumkan tandadarurat
( E = EMERGENCY ), misalnya ASA IE atau IIEPengosongan
lambung untuk anestesia penting untuk mencegah aspirasi lambung
karena regurgutasi atau muntah. Pada pembedahan elektif,
pengosongan lambungdilakukan dengan puasa : anak dan dewasa 4-6
jam, bayi 3-4 jam. pada pembedahan darurat pengosongan lambung
dapat dilakukan dengan memasang pipa nasogastrik atau dengan cara
lain nya yaitu menetralkan asam lambung dengan membrikan dengan
antasida (magnesium trisilikat) atau antagonis reseptor h2 (ranitidin).
Kandung kemih juga harus dalam keadaan kosong sehingga perlu
pemasangan kateter . sebelum pasien masuk dalam kamar bedah,
dalam kadaan seteril ,priksa ulang apakah pasien kamar bedah , priksa
ulang apakah pasien atau keluarga sudah memberi izin pembrdahan
secara tertulis (informasi consent).

b. Penilaian pra bedah identitas setiap pasien


Identitas setiap pasien harus lengkap dan harus lengkap dan harus
dicocokan dengan gelang identitas yang dikenakan pasien, ditanya
lagi mengenai hari dan jenis bagian tubuh yang akan dioprasi.
1) Anamnesis
55

Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapatkan anestesia


sebelum nya sangatlah penting untuk mengetahui apakah ada hal-
hal yamg perlu mendapatkan perhatian khusus nya, misalnya
alergi, mual muntah, nyeri oto, gatal-gatal atau sesak nafas pasca
bedah, sehingga kita dapat merancang anestesia berikutnya dengan
lebih baik.
Kebiasaan merokok sebaiknya dihentikan 1-2hari sebelumnya
untuk eliminasi nikotin yang mempengaruhi sistem kardiovaskuler,
dihentikan beberapa hari untuk mengaktifkan kerja silia jalan
pernapasan dan 1-2 minggu untuk mengurangi produksi sputum.
Kebiasaan minum alkohol juga harus dicurigai akan adanya
penyakit hepar.
2) Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan keadaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, lidah
relative besar sangat oenting untuk diketahui apakah akan
menyulitkan tindakan laringoskopi intubasi. Leher pendek dan
kaku juga akan menyulitkan laringoskopi intubasi.
Pemeriksaan rutin lain secara sistematik tentang keadaan umum
tentu tidak boleh dilewatkan seperti inspeksi, palpasi, perkusi dan
auskultasi semua sistem organ tubuh pasien.
3) Pemeriksaan Penunjang
Uji laboratotrium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan
dugaan penyakit yang walaupun pada pasien sehat untuk bedah
minor, misalnya pemeriksaan darah kecil (Hb, leukosit, masa
perdarahan dan masa pembekuan) dan uniralisis. Pada usia pasien
diatas 50tahun ada anjuran pemeriksaan EKG dan foto toraks.
4) Kebugaran untuk Anestesi
Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu untuk
menyiapkan agar pasien dalam keadaan bugar, sebaliknya pada
operasi sito penundaan yang tidak perlu harus diindari.
56

5) Tujuan ASA
Klasifikasi yang digunakan untuk menilai kebugaran fisik
seseorang ialah yang berasal dari ASA. Klasifikasi fisik ini bukan
alat prakiraan risiko anestesia, karena dampak samping anestesia
tidak dapat dipisahkan dari dampak samping pembedahan.
6) Masukan Oral
Refleks laring mengalami penurunan selama anestesia. Regurgitasi
isi lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan napas
merupakan risiko utama pada pasien-pasien yang mengalami
anestesia. Untuk meminimalkan risiko tersebut, semua jadwal
pasien yang d jadwalkan dengan oprasia anestesia harus d
pantangkan diri masukan oral (puasa) selama priode tertentu
sebelum induksi anestesia.

c. Premedikasi
Premedikasi adalah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesia
dengan tujuan untuk melancarkan induksi,rumatan, dan bangun dari
anestesi nya dantaranya:
1) Meredakan kecemasan dan ketakutan.
2) Memperlancar induksi anestesia.
3) Menguranggi sekresi kelenjar ludah dan bronkus.
4) Meminimalkan jumlah obat anestetik.
5) Mencegah mual-muntah pasca bedah.
6) Menciptakan amnesia.
7) Mengurangi isi cairan lambung.
8) Mencegah reflek yg membahayakan

Kecemasan merupakan reaksi alami, jika seseorang dihadapkan pada


situasi yang tidak pasti. Membina hubungan baik dengan pasien dapat
membnagun kepercayaan dan menentramkan hati pasien. Obat pereda
57

kecemasan bisa digunakan diazepam peroral 10-15 mg beberapa jam


sebelum induksi anesthesia.

d. Induksi
1) Induksi Anestesi Umum
Induksi adalah usaha membawa / membuat kondisi pasien dari
sadar ke setadium pembedahan (stadium III skala guedel ).
Merupakan tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi
tidak sadar menjadi tidak sadar sehungga memungkunkan
dimulainya anestesi dan pembedahan ko-induksi adalah setiap
tindakan untuk mempermudah kegiatan indukksi
anestesi.pemberian obat premedikasi di kamar bedah beberapa
menit sebelum induksi anestesi dapat di katagorikan sebagai ko-
induksi.
Untuk persiapan induksi anestesia sebaiknya kita inget kata
STATICS:

S : Scope Stetoskop, untuk mendengar suara paru dan jantung.


laringo-scope. Pilih bilah atau daun yang sesuai dengan usia pasien.
lampu harus cukup terang.

T : Tubes Pipa trakea. pilih sesuai usia, usia <> 5 tahun dengan
balon.

A : Airway Pipa mulut-faring ( Guedel, orotracheal airway ) atau


pipa hidung-faring ( naso-tracheal airway ). pipa ini untuk menahan
lidah saat pasien tidak sadar untuk menjaga supaya lidah tidak
menyumbat jalan napas.

T : Tape Plaster untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau


tercabut.
58

I : Introduser Mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastik


(kabel) yang mudah dibengkokan untuk memandu supaya pipa
trachea mudah dimasukan.

C : Conector Penyambung antara pipa dan peralatan anestesia.

S : Suction Penyedot lendir, ludah dan lain-lainya.

Induksi anestesi umum dapat dikerjakan melalui cara / rute:

a) Induksi intravena
Induksi intravena paling banyak dikerjakan an digemari,
apalagi sudah terpasang jalur vena ( infus ), karena cepat dan
menyenangkan. Induksi intravena hendaknya dikerjakan
dengan hati-hati, pelan-pelan, lembut dan terkendali. Obat
induksi disuntikan dalam kecepatan antara 30 - 60 detik.
Selama induksi anestesi, pernapasan pasien, nadi dan tekanan
darah harus diawasi dan selalu diberikan oksigen. Induksi cara
ini dikerjakan pada pasien yang kooperatif.
b) Induksi inhalasi
Induksi inhalasi hanya dikerjakan dengan halotan (fluotan)
atau sevofluran. Cara induksi ini dikerjakan pada bayi atau
anak yang belum terpasang jalur vena atau dewasa yang takut
disuntik. Induksi halotan memerlukan gas pendorong 02 atau
campuran N20 dan02.
c) Induksi Intramuskular
Induksi intramuscular biasanya menggunakan injeksi ketamin
(ketalar) yang dapat diberikan secara intramuscular dengan
dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5 menit pasien tidur.
d) Induksi per rectal
Cara ini hanya untuk anak atau bayi yang menggunakan
thiopental atau midazolam.
59

Tanda-tanda induksi berhasil adalah hilangnya reflex bulu mata. Ika


bulu mata disentuh, tidak ada gerakan pada kelopak mata. Induksi,
pemeliharaan dan pulih dari anesthesia yang disusun oleh Guedel
pasien napas spontan dapat terlihat jelas

a) Stadium I Analgesia
Mulai induksi sampai mulai tidak sadar
b) Stadium II Eksitasi, Delirium
Mulai tidak sadar sampai mulai napas teratur otomatis. Pada
stadium ini pasien batuk, mual muntah, henti napas dan lain-
lainnya.
c) Stadium III Anestesia Bedah
Mulai napas otomatis sampai mulai napas berhenti.
- Plana 1 Mulai napas otomatis sampai gerak bola mata berhenti.
- Plana 2 Mulai napas torakal lemah sampai napas torakal
berhenti.
- Plana 3 Mulai napas torakal lemah sampai napas torakal
berhenti.
- Plana 4 Mulai napas torakal berhenti sampai nafas diafragma
berhenti.
d) Stadium VI Intoksikasi
Mulai paralisis diafragma sampai henti jantung atau meninggal.
Tanda Refleks Pada Mata
- Refleks Pupil
Pada keadaa teranastesi maka reflex pupil akan miosis apabila
anestesinya dangkal, midriasis ringan menandakan anestesi
reaksinya cukup dan baik/ stadium yang paling baik untuk
dilakukan pembedahan, midriasis maksimal menandakan pasien
mati.
- Refleks Bulu Mata
60

Refleks bulu mata sudah disinggung tadi dibagian stadium


anestesi. Apabila saat dicek reflex bulun mata (-) maka paien
tersebut sudah pada staium 1.
- Refleks kelopak mata
Pengecekan reflex kelopak mata jarang dilalukan tetapi bisa
digunakan untuk memastikan efek anestesi sudah bekerja atau
belum, caranya adalah kita tarik palpebra atas ada respon tidak,
kalau tidak berarti menandakan pasien sudah masuk stadium 1
ataupun 2.
- Refleks cahaya
Untuk refl;eks cahaya yang kita liat adalah pupilnya, ada / tidak
respon saat kita beri rangsangan cahaya.
3) Teknik Anestesi Umum\
a) Sungkup muka (face mask) dengan napas spontan
indikasi :
- Tindakan singkat (1/2-jam)
- keadaan umum baik (ASA I-II)
- Lambung harus kosong
b) Intubasi Endotrakeal dengan napas spontan
Intubasi endotrakea adalah memasukan pipa (tube) endotrakea (ETT
= endotrakeal tube) kedalam trakea via oral atau nasal. Indikasi:
operasi lama, sulit mempertahankan air way (operasi dibagian leher
dan kepala)
Untuk persiapan induksi sebaiknya kita ingat STATICS
Teknik intubasi
- Pastikan semua persiapan dan alat sudah lengkap
- Induksi sampai tidur, berikan suksinikolin fasikulasi (+)
- Bila fasikulasi (-) ventilasi dengan 02 100% selama kira-kikra 1
menit
61

- Batang laringoskopi pegang dengan tangan kiri, tangan kanan


mendorong kepala seikit ekstens sampai mulut membuka
- Masukan laringoskop (bilah) mulai dari mulut sebelah kanan
lidah, menggesere lidah kekiri
- Cari epiglotis sampai tempat bilah didepan epiglotis (pada bilah
bengkok) ataun angkat epiglotis ( pada bilah lurus)
- Cari rima glotis (ndapat dengan bantuan asisten menekan trakea
dari luar)
- Temukan pita suara sampai warnanya putih dan sekitarnya
merah
- Masukan ETT melalui rima glottis
- Hubungkan pangkal ETT dengan mesin anestesi dan atau alat
bantu napas( alat resusitasi)
c) Intubasi Endotrakeal dengan napas kemdali (kontrol)
Pasien sengaja dilumpuhkan/ benar2 tidak bisa bernafas dan pasien
dikontrol pernafasannya dengan kita memberikan ventilasi 12-20 x
permenit. Setelah operasi selesai pasien dipancing dan akhirnya bisa
nafas spontan kemudian kita akhiri efek anestesinya.
- Teknik sama dengan di atas
- Obat pelumpuh otot non depolar (durasinya lama)
- Pemeliharaan, obat pelumpuh otot dapat diulang
pemberiannya.
e. Rumatan anestesi
Rumatan anestesi adalah menjaga tingkat kedalaman anestesi dengan
cara mengatur konsentrasi obat anestesi didalam tubuh pasien. Jika
konsentrasi obat tinggi maka akan dihasilkan anestesi yang dalam,
sebaliknya jika konsentrasi obat rendah, maka akan di dapat anestesi
yang dangkal. Anestesi yang ideal adalah anestesi yang adekuat.
Untuk diperlukan pemantauan secara ketat terhadap indicator—
indikator kedalaman anestesi.
62

f. Pengakhiran Anestesi
1) Pengakhiran pemberian anesthesia diulakukan sesaat sebelum
operasi berakhir ( pada penggunaan remifentanil, anestesi baru
diakhiri setelah kulit di jahit).
2) Fi02 100% dipasang selama beberapa menit sebelum renncana
ekstubasi.
3) Penyedotan secret yang terkumpul didalam mulut dan faring.
4) Ekstubasi, bila pernapasan spontan mencukupi dan reflex
perlindungan telah kembali (antagonis dari relaksasi otot).
5) Pasien yang stabil secara hemodinamik dean respiratorik
diletakkan didalam ruangan pasca-bedah.
g. Recorvery room (PACU)
Setelah selesai tindakan pembedahan, pasien harus dirawat
sempentara diruang pulih sadar (recorvery room : RR) sampai
kondisi pasien stabil, tidak mengalami komplikasi operasi dan
memenuhi syarat untuk dipindahkan ke ruang perawatan (bangsal
perawatan).
Alat monitoring yang terdapat diruang ini digunakan untuk
memberikan penilaian terhadap kondisi pasien. Jenis peralatan yang
ada diantaranya adalah alat bantu pernapasan : oksigen,
laringoskop,set trakeostomi, perealatan bronchial, kateter nasal,
ventilator mekanik dan peralatan suction.
Kriteria penilaian yang digunakan untuk menentukan kesiapan
pasien untuk dikeluarkan dari pacu adalah :
1) Fungsi pulmonal yang tidak terganggu
2) Hasil oksimetri nadi menunjukan saturasi oksigen yang adekuat
3) Tanda-tanda vital stabil, termasuk tekanan darah
4) Orientasi pasien terhadap tempat, waktu dan orang
5) Urine output 0,5 – 1 cc/kgBB/jam
6) Mual dan muntah dalam control
63

7) Nyeri minimal
64

4. Kontra Indikasi Obat-obatan Anestesi Umum


Tergantung efek farmakologi pada organ yang mengalami kelainan
(harus hindarkan pemakaian atau dosis dikurangi/diturunkan).
a. Hepar :Obat hepatotoksik/obat yang toksis terhadap hepar.
b. Jantung :Obat-obat yang mendepresi miokard/ menurunkan
aliran darah koroner.
c. Ginjal :Obat yang di ekskresi di ginjal.
d. Paru-paru :Obat yang merangsang sekresi paru/bronkus
e. Endokrin :Hindari obat yang meningkatkan kadar gula darah/
hindarkan pemakaian obat yang merangsang susunan saraf simpatis
pada diabetes penyakit basedow, karena bisa menyababkan
peninggian gula darah.

5. Komplikasi Anestesi Umum


Komplikasi (penyulit) kadang-kadang datangnya tidak diduga
kendatipun tindakan anestesi sudah dilaksanakan dengan baik. Komplikasi
dapat dicetuskan oleh tindakan anesthesia sendiri atau kondisi pasien.
Penyulit dapat timbul pada waktu pembedahan atau kemudian segera
ataupun belakangan setelah pembedahan (lebih dari 12 jam).
a. Komplikasi kardiovaskular
1) Hipotensi : Tekanan systole kurang dari 70mmHg atau turun 25%
dari sebelumnya.
2) Hipertensi : Umumnya tekanan darah dapat meningkat pada periode
induksi dan pemulihan anesthesia. Komplikasi ini dapat
membahayakan khususnya pada penyakit jantung, karena Antung
akan bekerja keras dengan kebutuhan 02 miokard yang meningkat,
bila tak tercukupi dapat timbul iskemia atau infark miokard. Namun
bila hipertensi karena tidak adekuat dapat timbul iskemia atau infark
miokard. Namun bila hipertensi karena tidak adekuat dapat
dihilangkan dengan menambah dosis anestetika.
3) Aritmia jantung : anestesi ringan yang disertai maniplasi operasi
dapat merangsang saraf simpatiks , dapat menyebabkan aritmia.
Bradikardia yang terjadi dapat diobati dengan atropine
65

4) Payah jantung : Mungkin terjadi bila pasien mendapat cairan iv


berlebihan.
b. Komplikasi Respirasi\
1) Obstruksi jalan nafas
2) Batuk
3) Cekukan (hiccup)
4) Apnoe
5) Atelektasis
6) Pneumotoraks
7) Muntah dan regurgitasi
c. Komplikasi Mata
Abrasi kornea karena mata terbuka terlalu lama
d. Komplikasi Neurologi
Konvulsi, terlambat sadar, cedera saraf tepi (perifer)
e. Perubahan Cairan Tubuh
Hipovolemia, Hipervolemia
f. Komplikasi Lain-lain
Menggigil, gelisa setelah anestesi, mimpi buruk, sadar selama
operasi, kenaikan suhu tubuh.

D. Konsep Dasar Terapi Cairan Perioperatif


Terapi cairan perioperatif termasuk penggantian deficit cairan, kehilangan
cairan normal dan kehilangan cairan lewat luka operasi termasuk kehilangan
darah.
1. Kebutuhan Pemeliharaan Normal
Pada waktu intake oral tidak ada, deficit cairan dan elektrolit dapat terjadi
dengan cepat karena adanya pembentukan urin yang terus
berlangsung,sekresi gastrointestinal, keringat dan insensible losses dari
kulit dan paru. Kebutuhan pemeliharaan normal dapat diestimasi dari tabel
berikut:
66

Tabel Estimasi Kebutuhan Cairan Pemeliharaan

Berat Kebutuhan
10 kg pertama 4
ml/kg/jam
10-20 kg kedua 2
ml/kg/jam
Masing-masing kg > 20 kg 1
ml/kg/jam

2. Preexisting Deficit
Pasien yang akan dioperasi setelah semalam puasa tanpa intake cairan
akan menyebabkan defisit cairan sebanding dengan lamanya puasa. Defisit
ini dapat diperkirakan dengan mengalikan normal maintenance dengan
lamanya puasa. Untuk 70 kg, puasa 8 jam, perhitingannya
(40+20+50)ml/jam x 8 jam atau 880 ml. Pada kenyataannya, defisit ini
dapat kurang sebagai hasil dari konservasi ginjal. Kehilangan cairan
abnormal sering dihubungkan dengan defisit preoperatif. Sering terdapat
hubungan antara perdarahan preoperatif, muntah, diuresis dan diare.

3. Penggantian Cairan Intraoperatif


Terapi cairan intraoperatif meliputi kebutuhan cairan dasar dan
penggantian deficit cairan preoperative seperti halnya kehilangan cairan
intraoperative ( darah, redistribusi dari cairan, dan penguapan). Pemilihan
jenis cairan intravena tergantung dari prosedur pembedahan dan
perkiraan kehilangan darah. Pada kasus kehilangan darah minimal dan
adanya pergeseran cairan, maka maintenance solution dapat digunakan.
Untuk semua prosedur yang lain Ringer Lactate biasa digunakan untuk
pemeliharaan cairan. Idealnya, kehilangan darah harus digantikan dengan
cairan kristaloid atau koloid untuk memelihara volume cairan
intravascular ( normovolemia) sampai bahaya anemia berberat lebih
(dibanding) resiko transfusi. Pada kehilangan darah dapat diganti dengan
67

transfuse sel darah merah. Transfusi dapat diberikan pada Hb 7-8 g/dL
(hematocrit 21-24%).
Hb < 7 g/dL cardiac output meningkat untuk menjaga agar transport
Oksigen tetap normal. Hb 10 g/dL biasanya pada pasien orang tua dan
penyakit yang berhubungan dengan jantung dan paru-paru. Batas lebih
tinggi mungkin digunakan jika diperkirakan ada kehilangan darah yang
terus menerus. Dalam prakteknya, banyak dokter memberi Ringer Laktat
kira-kira 3-4 kali dari banyaknya darah yang hilang, dan cairan koloid
dengan perbandingan 1:1 sampai dicapai Hb yang diharapkan.
Pada keadaan ini kehilangan darah dapat diganti dengan Packed red
blood cell.
Banyaknya transfusi dapat ditentukan dari hematocrit preoperatif dan
dengan perkiraan volume darah. Pasien dengan hematocrit normal
biasanya ditransfusi hanya setelah kehilangan darah >10-20% dari
volume darah mereka. Sebenarnya tergantung daripada kondisi pasien]
dan prosedur dari pembedahan . Perlu diketahui jumlah darah yang hilang
untuk penurunan hematocrit sampai 30%, dapat dihitung sebagai
berikut:
f.Estimasi volume darah dari Tabel 29-5.
a. Estimasi volume sel darah merah (RBCV) hematocrit preoperative
(RBCV preop).
b. Estimasi RBCV pada hematocrit 30% ( RBCV30%), untuk menjaga
volume darah normal .
c. Memperkirakan volume sel darah merah yang hilang ketika
hematocrit 30% adalah RBCV lost = RBCV preop - RBCV 30%.
d. Perkiraan jumlah darah yang hilang = RBCV lost X 3

Oleh karena itu, transfusi harus dipertimbangkan hanya jika pasien


kehilangan darah melebihi 800 ml. Transfusi tidak direkomendasikan
sampai terjadi penurunan hematocrit hingga 24% (hemoglobin< 8.0
68

g/dL), tetapi ini diperlukan untuk menghitung banyaknya darah yang


hilang, contohnya pada penyakit jantung dimana diberikan transfusi jika
kehilangan darah 800 mL.

Tabel Redistribusi dan evaporasi kehilangn cairan saat pembedahan

DERAJAT DARI TRAUMA PENAMBAHAN


JARINGAN
MINIMAL (contoh hernioraphy) 0 – 2 ML/KG
SEDANG ( contoh 2 – 4 ML/KG
cholecystectomy)
BERAT (contohreseksi usus) 4 – 8 ML/KG

Petunjuk lain yang biasa digunakan sebagai berikut:

a. satu unit sel darah merah sel akan meningkatkan hemoglobin 1 g/dL
dan hematocrit 2-3% (pada orang dewasa)
b. 10mL/kg transfusi sel darah merah akan meningkatkan hemoglobin
3g/dL dan hematocrit 10%.

4. Menggantikan Hilangnya Cairan Redistribusi dan Evaporasi


Sebab kehilangan cairan ini dihubungkan dengan ukuran luka dan tingkat
manipulasi dan pembedahan, dapat digolongkan menurut derajat trauma
jaringan. Kehilangan cairan tambahan ini dapat digantikan menurut tabel
di atas, berdasar pada apakah trauma jaringan adalah minimal, moderat,
atau berat. Ini hanyalah petunjuk, dan kebutuhan yang sebenarnya
bervariasi pada masing-masing pasien.
69

BAB III

TINJAUAN KASUS

A. Pengkajian
1. Identitas
a. Identitas klien
Nama : Ny. E
Umur : 64 Thn
RM : 16861809
Ruang Perawatan : Ruang 3B
Pendidikan : SD
Pekerjaan : IRT
Suku Bangsa : Sunda / Indonesia
Alamat : Karangnunggal
Diagnosa Medis : SNNT
Jenis Pembedahan : Isthmulobektomy
Dokter Bedah : dr, T, Sp. B
Dokter Anestesi : dr.A.Sp.A
Asisten Bedah : Br. A. Zr. W
Asisten Anestesi : Br.R
Tanggal Masuk RS : 01 Februari 2018
Tanggal Pengkajian : 02 Februari 2018
Tanggal Operasi : 02 Februari 2018
b. Identitas Penanggung Jawab
Nama : Tn A
Umur : 41 Thn
Hubungan dengan Pasien : Anak
Alamat : Karangnunggal
70

2. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan Utama
Klien mengeluh nyeri dan terdapat benjolan didaerah leher.
b. Riwayat Kesehatan Sekarang
Klien mengatakan datang nyeri dibagian leher, benjolan terdapat
disebelah kiri, nyeri dirasakan seperti ditusuk-tusuk benda tajam,skala
nyeri 6(0-10),nyeri dirasakan ketika klien menelan,dan berkurang
ketika klien berbaring. Keluhan lain yang dirasakan sering merasa
sesak karena ada penekanan esofagus akibat pembesara nodulnya serta
klien mengatakan mengalami penurunan berat badan satu bulan
terakhir.
c. Riwayat Kesehatan Masa Lalu
Klien mengatakan benjolan tersebut dirasakan sejak beberapa bulan
yang lalu.
d. Riwayat Kesehatan Keluarga
Menurut klien tidak ada keluarganya yang menderita penyakit yang
sama dengan klien, juga tidak ada anggota keluarganya yang
mempunyai penyakit tuberculosis paru, diabetes mellitus, hipertensi,
asma, serta penyakit keturunan dan menular lainnya, baik pasien dan
anggota keluarganya tidak ada yang mempunyai riwayat operasi dan
anestesi sebelumnya.
3. Pola Aktivitas Sehari-hari
No Jenis Aktivitas Di Rumah Di RS
1. Nutrisi
a. Jenis Nasi lauk pauk Bubur, lauk pauk
b. Frekuensi 3x/hari 3x/hari
c. Porsi 1 porsi 1 porsi

2. Eliminasi
a. BAB
- Frekuensi 2x/hari 1x/hari
- Konsistensi Lunak Lunak
- Warna Kuning Kuning
71

b. BAK
- Frekuensi 5x/hari >5x/hari
- Warna Kuning Kuning

3. Istirahat Tidur
- Siang 2 jam 3 jam
- Malam 8 jam 8 jam
4. Personal Hygiene
- Mandi 2x/hari 1x/hari
- Gunting Kuku 1x/seminggu 1x/minggu
- Keramas 2x/hari Tidak pernah
4. Data Psikologis
a. Suatu Emosi
Emosi klien tampak tidak stabil.
b. Pola Koping
Klien tampak takut serta gelisah dengan tindakan pengobatan dan
operasi serta pembiusan yang akan dilakukan.
c. Gaya Komunikasi
Kemampuan bicara klien kurang baik, klien kesulitan dalam berbicara
serta merangkai kalimat.
d. Gambaran Diri
Klien menyadari bahwa dirinya seorang ibu.
e. Harga Diri
Klien tidak menunjukan rasa malu atas penyakitnya.
f. Identitas Diri
Klien mengungkapkan bahwa dirinya seorang ibu rumah tangga.
g. Ideal Diri
Klien ingin segera sembuh agar dapat berkumpul bersama
keluarganya lagi.
5. Data Sosial
Klien memiliki hubungan yang sangat baik dengan keluarganya, terbukti
beberapa keluarganya bergantian untuk menemaninya selama dirawat.
6. Data Spiritual
72

Klien merupakan seorang muslimah yang taat, dan pola ibadah klien
selama dirawat meningkat.

7. Pemeriksaan Fisik
a. Status Kesehatan Umum
Keadaan/penampilan umum : Baik
Kesadaran : GCS E4 M6 V5
BB : 45kg
TTV
Tekanan Darah : 120/90 mmHg
Nadi : 80x/menit
Suhu : 36,2oC
Respirasi : 26x/menit
Asa : II

b. Pemeriksaan Fisik Melalui Pendekatan Persistem


1) Sistem Pengindraan
a) Penglihatan
Inspeksi : Bentuk mata bulat, sclera putih, konjungtiva merah
muda, tidak ikterik, pupil isokor
b) Penciuman
Inspeksi : Bentuk simetris, tidak ditemukan secret,
penciuman berfungsi dengan baik dan tidak terdapat kotoran.
Palpasi : Polip dan nyeri tekan tidak ada
c) Telinga
Inspeksi : Bentuk dan ukuran telinga simetris, fungsi
pendengaran baik, tidak terdapat kotoran dan dapat
membedakan suara.
Palpasi : Tidak terdapat nyeri tekan.
73

d) Pengecapan
Inspeksi : Bentuk dan ukuran lidah simetris, fungsi
pengecapan baik, dapat membedakan rasa manis, asin, pahit,
dan asam serta jumlah gigi kurang dari 32.
e) Sistem Integumen
(1) Kulit
Inspeksi :Turgor kulit baik, kebersihan cukup, warna
kulit sawo matang, kult klien halus, berkeringat.
(2) Kuku
Inspeksi :Keadaan kuku bersih, tidak ada kelainan,
capillary refill time kurang dari 2 detik
(3) Rambut
Inspeksi :Rambut klien hitam dan kuat tidak terdapat
lesi
2) Sistem Pernafasan
Inspeksi : Hidung simetris, tidak ada pengeluaran cairan
dari hidung dan frekuensi nafas 20x/menit regular
Palpasi : Tidak ada nyeri tekan dibagian thorax
Perkusi : Resonan positif
Auskultasi : Ronchi negative, wheezing negative
3) Sistem Kardiovaskular
Inpeksi : Warna kulit sawo matang, warna konjungtiva
merah muda, tidak terdapat oedema pada wajah
Perkusi : Dulness positif
Auskultasi : Bunyi S1 S2 normal dengan frekuensi
84x/menit
4) Sistem Persyarafan
74

Inspeksi :Tingkat kesadaran compos mentis, GCS E6


M4 V5
a) N I Nervus olfactorius
klien dapat membedakan bau
b) N II Nervus optikus
Klien dapat melihat dengan jelas
c) N III Nervus okulomotorius
Mata klien dapat bergerak kesegala arah
d) N IV Nervus Trokhealis
Klien dapat mengarahkan bola mata kebawah
e) N V Nervus Trigeminus
Klien dapat mengunyah dengan baik
f) N VI Nervus Apduscen
Bola mata klien dapat bergerak kesamping
g) N VII Nervus Fasialis
Raut wajah klien simetris
h) N VIII Nervus Auditorius
Klien dapat mendengar suara detak jam
i) N IX Nervus Glossoharingeus
Klien dapat merasakan sakit saat menelan
j) N X Nervus Vagus
Klien tidak dapat menelan dengan baik
k) N XI Nervus Assesorius
Klien dapat mengangkat bahu
l) N XII Nervus Hipoglossus
Klien dapat menggerakkan lidah
5) Sistem Pencernaan
Inspeksi : Tidak terdapat kelebihan cairan
Palpasi : Tidak terdapat nyeri tekan
Auskultasi : Bising usus positif
75

Perkusi : Tidak terdapat nyeri tekan


6) Sistem Muskuloskeletal
Inspeksi :Postur tubuh normal, tidak terjadi
pembengkaan, sendi paha extreminitas atas dan bawah tidak
terdapat krepitasi.

5 5

5 5

7) Sistem Urogenital
Tidak terdapat masalah pada urogenital
8. Pemeriksaan Penunjang
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Satuan
normal
Hematologi
1. Hb 10,7 12 - 16 g/dL
2. Hct 33 35 - 45 %
3. Leukosit 7,200 5000-10000 /mm3
4. Trombosit 241,000 150.000- /mm3
350000

Kimia Klinik
1. Protein Total 7,17 6,6 - 8,7 g/dL
2. Albumin 3,9 3,5 - 5 g/dL
3. SGOT 13 10 - 31 U/L
4. SGPT 14 9 - 32 U/L
5. Ureum 15 15 - 45 Mg/dL
6. Creatinin 1,15 0,5 – 0,9 Mg/dL
76

Serologi
T3 0,85 0,69 – 2,15 ng/ml
T4 86 52 – 127 ng/ml
TSH 1,66 0,3 – 4,5 ng/ml

 Foto Thorax PA
- Jantung tidak membesar
- Corakan bronkovesikuler paru kanan dan kiri baik
Kesan : normal
B. Persiapan Operasi
Pada tanggal 02 Februari 2018 dilakukan visite pre op, saat dikaji klien
mengungkapkan bahwa nyeri masih terasa sampai saat ini
1. Pre Operatif
a. Pengkajian
1) TTV
Tekanan Darah : 120/90 mmHg
Nadi : 78x/menit
Respirasi : 19x/menit
Suhu : 36,4
2) Persiapan Operasi
Mulai Puasa : 8 jam
IVFD : Terpasang RL di tangan kanan
3) Aksesoris Pasien
Gigi Palsu : Tidak ada
Kacamata : Tidak pakai
Lensa Kontak : Tidak pakai
Alat Bantu Dengar : Tidak pakai
Perhiasan : Tidak ada
77

4) Penyakit Penyerta
Kardiovaskular : Tidak ada
Respirasi : Tidak ada
Endokrin : Tidak ada
Gastrointestinal : Tidak ada
Neurologi : Tidak ada
Alergi : Tidak ada
Jalan Nafas : Tidak ada
5) Kelengkapan Administrasi
Informed consent : Sudah dilaksanakan
Surat ijin operasi : Sudah dilaksanakan
Surat ijin anestesi : Sudah dilaksanakan
Hasil Lab : Ada
6) Kesiapan Operasi
Pasien : Secara bi, psiko social, spiritual klien
siap dilakukan operasi
Alat anestesi :Scope : Stetoskop, Laryngoskop
Tube : ETT, NGT
Airway : Mayo, LMA
Tape : Plester
Introducer : Forcep Magill, Sylet
Connector : Currogated, Angelny
Suction
Mesin Anestesi
Premedikasi : Ondansentron 4mg
Obat emergensi : Ephedrin, Sulfat Atropin, Oxytosin,
Ephenefrin, Asam Tranexamat
IV Line : Terpasang di tangan kanan, nomor 20
tetesan lancar
Kateter Urine : Terpasang
78

2. Intra Operatif
a. Induksi dan Intubasi
Persiapan pasien dikamar operasi telah dilakukan dan diputuskan
menggunakan tehnik anestesi umum dengan intubasi ETT no 6,5,
Pasien tergolong ASA II dan menggunakan inhalasi O2 dan N2O
dengan perbandingan 50% : 50% serta agent volatile isoflurance
2vol%. Adapun obat yang digunakan menggunakan trias anestesi,
yaitu:
1) Fentanyl 100 mcg
2) Propofol 100 mg
3) Roculax / Rocuronium 25 mg
Obat penunjang lain yang digunakan:
1) Ketorolac 30 mg
2) Tramadol 100 mg
b. Monitoring Intraoperatif
Selama intraoperatif dilakukan monitoring ketat. Selama dilakukan
monitoring, dilakukan juga pemantauan terhadap intake dan output.
Dari pemantauan tanda-tanda vital didapatkan
Waktu Tensi Nadi SpO2
09.30 110/70 mmHg 80 x/menit 99%
09.35 112/72 mmHg 83x/menit 99%
09.40 108/69 mmHg 84x/menit 99%
09.45 100/65 mmHg 82 x/menit 100%
09.50 95/63 mmHg 75 x/menit 100%
09.55 122/75mmHg 83 x/menit 100%
10.00 130/78 mmHg 85 x/menit 100%

c. Monitoring Intake Output


Kebutuhan Cairan
BB : 45 kg
Puasa : 8 jam
79

Maintenance
4 × 10 = 40
2 × 10 = 20
1 × 25 = 25 +
85 cc/jam
Puasa

8 jam × 85 = 680 cc

IWL

Stress Op × BB

6 × 45 = 270 cc

Intake :

Jam I = ½Puasa + IWL + Maintenance

= ½(680) + 270 + 85

= 340 + 270 + 85

= 695 cc

Jam II = 1/4Puasa + IWL + Maintanance

= 1/4(680) + 270 + 85

= 525 cc

Jam III = 1/4Puasa + IWL + Maintanance


80

= 1/4Puasa + IWL + Maintanance

= 1/4(680) + 270 + 85

= 525 cc

Jam IV = IWL + Maintanance

= 270 + 85

= 355 cc

Intake :

Cairan di Pre Op : RL 500cc

Cairan Intra Op : Asering 500cc

Cairan Post Op : Tutofusion 500cc

d. Pengakhiran Anestesi (Ekstubasi dan Monitoring Post Op)


Operasi telah selesai pada pukul 10.45, pasien telah bernafas secara
adekuat (tidal volume 450cc) pengakhiran anstesi dilakukan dengan
ekstubasi dalam. Sebelumnya dilakukan pengisapan secret yang ada
di mulut dan didalam orofaringeal lalu plester dilepas serta balon ETT
dikempiskan dan ETT di ekstubasi dengan SpO2 100%, HR
80x/menit dan tekanan darah 124/80 mmHg. Kemudian 5 menit
setelah selesai operasi dipindahkan keruang pemulihan (RR)
3. Post Operatif
Pasien keluar dari kamar operasi pada pukul 10.50 dan langsung masuk
ke ruang pemulihan dengan kondisi yang stabil. Pada saat monitoring post
op Tekanan darah 100/60 mmHg, Nadi 75×/menit, Respirasi 19×/menit.
Terpasang analgetik post op drip tramadol 100 mg dan keterolac 60mg
dalam 500cc tutofusion 100 ml/jam.
Table Penilaian Aldert Score
81

No Jenis Jenis Penilaian Nilai Nilai Score


Score Score Jam
Jam
1 Aktivitas a. dapat 1 2
menggerakkan 4
ekstremitas
b. dapat
menggerakkan 2
ekstremitas
c. tidak dapat
menggerakkan
sama sekali
2 Respirasi a. bernafas 1 2
dalam dan batuk
b. dyspnea
c. apneu
3 Sirkulasi a. tekanan darah 1 2
20% dari
keadaan preop
b. tekanan darah
20-50% dari pre
op
c. tekanan >50%
dari preop
4 Kesadaran a. sadar penuh 1 2
b. respon bila
dipanggil
c. tidak ada
respon
5 Warna a. normal 1 2
Kulit b. pucat
c sianosis
Jumlah : - nilai score jam 10:30 = 7

- nilai score jam 10:45 = 10

Catatan : pasien dapat masuk ke ruang pemulihan bila score 8-


10, bila kurang dari 7 pasien masuk ICU
82

C. Analisa Data
N Data Interpretasi Data Masalah
o
Pre-operatif

1 DS : Masa pertumbuhan, Ketidaksei


pubertas, mbangan
-klien mengeluh ada menstruasi, nutrisi
penurunan berat badan 1 kehamilan, laktasi,
bulan terakhir menopause, infeksi,
stress
DO : ↓
Kebutuhan tiroksin
- Klien terlihat kurus meningkat
- Berat badan klien ↓
45kg Hiperplasi dan
involusi kelenjar
tyroid

Menurunnya
sirkulasi darah

Iskemia

Degenerasi kelenjar
tyroid (fibrosis,
nekrosis, kalsifikasi,
pembentukan kista,
perdarahan)

Obstruksi pada
trakea

Ketidakseimbangan
nutrisi

2 DS : Kurangnya informasi Gangguan


rasa aman :
- Klien mengeluh takut ↓ cemas
dan cemas dengan
tindakan operasi dan
83

penatalaksaan anestesi Pasien tidak


yang akan dilakukan mengetahui prosedur
tindakan anestesi dan
DO : operasi

- Raut wajah klien ↓


tampak ketakutan
- Perilaku klien tampak stressor
cemas

TD:120/90 mmhg
Pasien terlihat
N:80X/mnt gelisah

R:20X/mnt ↓

S:36’2 Cemas

Intra-Operatif

3 DS : - Masa pertumbuhan, Ketidakefe


. pubertas, ktivan
DO: menstruasi, jalan nafas
kehamilan, laktasi,
- TTV menopause, infeksi,
TD : 120/90 mmHg stress
Nadi : 80x/menit ↓
Suhu : 36,2oC Kebutuhan tiroksin
R : 26x/menit meningkat
- Terdapat obstruksi ↓
pada jalan nafas Hiperplasi dan
klien involusi kelenjar
tyroid

Menurunnya
sirkulasi darah

Iskemia

Degenerasi kelenjar
tyroid (fibrosis,
84

nekrosis, kalsifikasi,
pembentukan kista,
perdarahan)

Obstruksi pada
trakea

Bersihan jalan nafas


tidak efektif
Post-Operatif

4 Ds : Masa pertumbuhan, Nyeri akut


. pubertas,
- Klien mengeluh nyeri menstruasi,
pada bagian luka post kehamilan, laktasi,
op menopause, infeksi,
stress
Do : ↓
Kebutuhan tiroksin
- Skala nyeri 3 meningkat
- Klien tampak lemah ↓
Hiperplasi dan
involusi kelenjar
tyroid

Menurunnya
sirkulasi darah

Iskemia

Degenerasi kelenjar
tyroid (fibrosis,
nekrosis, kalsifikasi,
pembentukan kista,
perdarahan)

Obstruksi pada
trakea

Strumektomi
tiroidektomi

85

Terpputusnya
kontinuitas jaringan

Nyeri akut

5 DS : keleuarga klien Hambatan


mengatakan klien kesulitan komunikas
untuk bicara i verbal

DO: Kemampuan bicara klien


kurang baik, klien kesulitan
dalam berbicara serta
merangkai kalimat.

D. Diagnosa Keperawatan

Preoperatif
1. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake nutrisi
kurang,disfagia
2. Ganguan rasa aman : cemas sehubungan dengan kurangnya pengetahuan
akan tindakan oprasi dan anestesin yang ingin di jalanin.

Intaraopratif

3. Ketidakefektifan bersihan jalan b.d obstruksi


trakea,pembengkakan,perdarahan dan spasme laryngeal

Postoperatif

4. Nyeri akut b.d tindakan bedah terhadap jaringan / otot dan edema pasca
operasi
5. Hambatan komunikasi verbal b.d cedera pita suara / kerusakan
laring,edema jaringan,nyeri,ketidaknyamanan
86

E. Intervensi
Diagnosa Perencanaan
No
Keperawatan Tujuan Intervensi Rasional
Pre opratif
1. Ketidakseimbang Setelah dilakukan Nutrition - Agar
an nutrisi kurang tindakan management dapat
dari kebutuhan keperawatan - Kaji adanya mengetah
diharapkan nutrisi alergi makanan ui tingkat
tubuh b.d intake
klien dapat - Kolaborasi nyeri yang
nutrisi terpenuhi dengan di alami
kurang,disfagia dengan ahli
criteria hasil: klien
- Adanya gizi untuk - Untuk
peningkata menentukan mngatasi
n berat jumlah kalori nyeri
badan dan nutrisi klien
sesuai yang - Untuk
dengan dibutuhkan memberik
tujuan an rasa
pasien
- Berat badan aman dan
ideal sesuai Nutrition nyaman
dengan monitoring pada klie
tinggi - Monitor
badan adanya
- Mampu penurunan
mengidenti berat badan
fikasi - Monitor mual
kebutuhan dan muntah
nutrisi
- Tidak ada
tanda tanda
malnutrisi
- Menunjukk
an
peningkata
n fungsi
pengecapan
dari
menelan
- Tidak
terjadi
penurunan
berat badan
yang berarti
87

2 Ganguan rasa Setelah dilakukan - Berikan - Agar klien


aman : cemas tindakan informasi mengatah
sehubungan keperawatan tentang ui dan
dengan diharapkan cemas prosedur memaham
kurangnya pasiei teratasi pembedahan i tindakan
pengetahuan dengan kriteria dan tehnik dan efek
akan tindakan hasil : pasien anestesi yang akan
oprasi dan tampak rileks dan - Beri terjadi
anestesin yang tenang. kesempatan - Agar klien
ingin di jalanin. kepada klien lebih
untuk rileks dan
menyatakan tidak
masalahnya khawatir
- Libatkan - Agar klien
keluarga tidak
dalam merasa
pengobatan terbebani
dan lebih
tenang

Intraoperatif
3. Ketidakefektiva Setelah dilakukan Airway suction
n bersihan jalan tindakan - Pastikan
b.d obstruksi keperawatan kebutuhan oral
trakea,pembeng diharapkan jalan / tracheal
kakan,perdaraha nafas klien kembali
suctioning
n dan spasme stabil dengan
laryngeal kriteria hasil : - Auskultasi
- Menunjukka suara nafas
n jalan nafas sebelum dan
yang paten sesudah
(klien tidak suctioning.
merasa
tercekik,iram
a Airway
Management
nafas,frekuen
- Buka jalan
si pernafasan
nafas gunakan
dalam
teknik chin lift
keadaan
atau jaw thrust
rentang
bila perlu
normal,tidak
- Pasang mayo
ada suara
bila perlu
88

nafas - Auskultasi
abnormal) suara nafas,
- Mampu catat adanya
mngidentifik suara
asikan dan tambahan
mencegah - Monitor
factor yang respirasi dan
dapat status O2
menghambat
jalan nafas

Postoperatif
4. Nyeri akut b.d Setelah dilakukan - Kaji tingkat - Bermanfa
tindakan bedah tindakan nyeri. at dalam
terhadap keperawatan - Atur posisi evaluasi.
jaringan / otot diharapkan nyeri pasien - Nyeri
dan edema yang dirasakan senyaman menentuk
pasca operasi oleh klien hilang mungkin. an
atau tidak - Ajarkan tenik efektivitas
dirasakan lagi. distraksi dan terapi.
Dengan kriteria relaksasi. - Meningka
hasil : - Kolaborasi tkan
- Klien dengan tim relaksasi
tampak dokter dalam dan
tenang pemberian Meningka
- Skala nyeri terapi tkan
berkurang analgetik kemampu
drip. an koping
pasien.
- Membant
u
memfokus
kan
perhatian
dan
membantu
pasien
untuk
mengatasi
nyeri.
5. Hambatan Setelah dilakukan - Dorong klien
komunikasi tindakan untuk
keperawatan berkomunika
89

verbal b.d cedera diharapkan klien si secara


pita suara / dapat perlahan
kerusakan berkomunikasi - Dengarkan
dengan baik dengan
laring,edema
dengan kriteria penuh
jaringan,nyeri,keti hasil : perhatian
daknyamanan - Komunikas - Berdiri
i : didepan klien
penerimaan saat
, berbicara
interpretasi - Berikan
dan pujian
ekspresi positive bila
pesan lisan, diperlukan
tulisan dan
non verbal
meningkat
- Pengolahan
informasi :
klien
mampu
untuk
memperole
h, mengatur
dan
menggunak
an
informasi
dengan baik

F. Implementasi
No Diagnosa Tanggal/Jam Implementasi Paraf
Pre op
1. 1 08-02-2018 / Nutrition management
11:20 - Mengkaji adanya alergi makanan
Hasil : tidak ada alergi makanan
- Mengkolaborasi dengan ahli gizi
untuk menentukan jumlah kalori
dan nutrisi yang dibutuhkan
pasien
90

Hasil : jumlah kalori dan nutrisi


tercukupi
Nutrition monitoring
- Memonitor adanya penurunan
berat badan
Hasil : terdapat penurunan berat
badan satu bulan terakhir
- Memonitor mual dan muntah
Hasil : tidak terdapat mual dan
muntah

2. 2 - Memberikan informasi tentang


prosedur pembedahan dan
tehnik anestesi
Hasil : klien mengerti dengan
prosedur pembedahan dan
tekhnik anestesi yang akan
dilakukan
- Memberi kesempatan kepada
klien untuk menyatakan
masalahnya
Hasil : klien menggunakan
kesempatan itu untuk
mengutarakan masalahnya
- Melibatkan keluarga dalam
pengobatan
Hasil : keluarga mengerti
dengan teknik pengobatan yang
akan dilakukan

Intra op Airway suction


3. 3 - Memastikan kebutuhan oral /
tracheal suctioning
Hasil : dibutuhkan tindakan
suctioning dikarenakan adanya
secret
- Mengauskultasi suara nafas
sebelum dan sesudah suctioning.
Hasil : sebelum : terdapat
gurgling
Sesudah : terdapat vesikuer
91

Airway Management
- Membuka jalan nafas gunakan
teknik chin lift atau jaw thrust
bila perlu
Hasil : jalan nafas adekuat
- Memasang mayo bila perlu
Hasil : mayo dipasang, agar ETT
tidak tergigit
- Mengauskultasi suara nafas,
catat adanya suara tambahan
Hasil : tidak ada suara nafas
tambahan
- Memonitor respirasi dan status
O2
Hasil : respirasi : 14x/menit
Saturasi O2 : 100%

Post-op - Mengkaji tingkat nyeri.


4. 4 Hasil : skala nyeri 3
- Mengatur posisi pasien
senyaman mungkin.
Hasil : posisi pasien supine/
telentang
- Mengajarkan teknik distraksi
dan relaksasi.
Hasil : setelah dilakukan teknik
distraksi dan relaksasi nyeri
pasien sedikit berkurang
- Mengkolaborasi dengan tim
dokter dalam pemberian terapi
analgetik drip
Hasil : klien tampak tenang,
nyeri berkurang

5. 5 - Mendorong klien untuk


berkomunikasi secara perlahan
Hasil : klien dapat
berkomunikasi secara perlahan
92

- Mendengarkan dengan penuh


perhatian
Hasil : klien merasa dihargai
- Berdiri didepan klien saat
berbicara
Hasil : informasi yang
diutarakan oleh klien dapat
ditangkap dengan jelas
- Memberikan pujian positive
bila diperlukan
- Hasil : klien terlihat
termotivasi

G. Evaluasi Sumatif
No Tanggal DP Catatan Perkembangan Paraf
Pre op 1 S:Pasien mengatakan tidak
1 02-02-2018 terdapat mual, masih adanya
penururnan berat badan
O: berat badan klien 45 kg
A: Masalah teratasi sebagian
P: Intervensi dilanjutkan
I: Mengkolaborasi dengan
ahli gizi untuk menentukan
jumlah kalori dan nutrisi yang
dibutuhkan pasien
E: kebutuhan nutrisi klien
terpenuhi
R : Masalah teratasi,
intervensi dipertahankan
2 2 S: klien mengatakan
mengerti dan memahami
tentang prosedur
pembedahan dan tehnik
anestesi
O: Klien terlihat rileks dan
tenang,
A: masalah teratasi
P:intervensi dipertahankan

Intraop
3 3 S: -
93

O : tidak terdapat suara


nafas tambahan, jalan nafas
paten
A : Masalah teratasi
P: Intervensi dipertahankan
Postop
4 4 S : klien mengatakan nyeri
berkurang
O : Tidak terdapat ekspresi
kesakitan, klien tampak
tenang
A : Masalah teratasi
P : Intervensi dipertahankan
5 5 S : klien mengisyaratkan
masih kesulitan dalam
berkomunikasi, klien merasa
dihargai
O : klien dapat
berkomunikasi secara
perlahan
A : masalah teratasi sebagian
P : intervensi dilanjutkan
I : Berdiri didepan klien saat
berbicara, memberikan
pujian positive bila
diperlukan
E : informasi yang
diutarakan oleh klien dapat
ditangkap dengan jelas,
klien termotivasi
R : masalah teratasi,
intervensi dipertahankan
94

BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan

Maka bisa diambil kesimpulan bahwa SNNT atau Struma Nudusa Non Toksik
adalah suatu penyakit yang terjadi akibat pembesaran kelenjar tiroid yang
secara klinik teraba nodul satu atau lebih tanpa disertai tanda-tanda adanya
hipertiroidisme. Penatalaksanaa perioperatif yang dilakukan

1. Pre Operatif

Kesiapan operasi

Pasien : secara bio, psiko sosial, spiritual klien siap


dilaksanakan operasi

Alat anestesi : Scope : stetoskop, laryngoskop

Tube : ETT, NGT

Airway : LMA, mayo

Tape : Plester

Introducer : Stylet, forcep magill

Conector : Corugated, angelny

Suction

Premedikasi : Ondansentron 4 mg

Obat emergensi : Siap pakai

IV line : Terpasang di tangan kanan dengan tetesan lancar

Kateter urine : Terpasang

2. Intra Operatif
Induksi dan Intubasi :
95

Persiapan pasien dikamar operasi telah dilakukan sehingga


menggunakan teknik anestesi umum dengan intubasi dengan ETT No.
6,5, pasien tergolong ASA II dan menggunakan Inhalasi O2 dan N2O
dengan perbandingan 50%:50% serta agent volatile isoflurance 2vol%.
Adapun obat yang digunakan menggunakan balance anestesi, yaitu:
a. Fentanyl 100 mcg
b. Propofol 100 mg
c. Roculax 25 mg
Obat penunjang lain yang digunakan:
a. Ketorolac 30 mg
b. Tramadol 100 mg
c. Monitoring intraoperatif dilakukan monitoring ketat. Selama
dilakukan monitoring, dilakukan juga pemantauan terhadap intake
dan output.
3. Post operatif
Pasien keluar dari kamar operasi pukul 10:10 dan langsung masuk ke
ruang pemulihan dengan kondisi stabil. Pada saat masuk ruang
pemulihan TD 125/80 mmHg, Nadi 89x/menit terpasang analgetik post
op drip tramadol 100 mg dan ketorolac 60 mg dalan 500 cc Futrolit 20-
30gtt/menit. Secara umum selama operasi terdapat perubahan
hemodinamik yang bergejolak, pemberian cairan sesuai dengan
kebutuhan, pemasukan oksigenasi 2-3 liter/menit dengan nasal kanul
yang bertujuan untuk mencegah pengurangan supali oksigen ke jaringan.

B. Saran

1. Bagi Pendidikan

Pendidikan lebih sering meningkatkan keaktifan daya fikir mahasiswa


untuk lebih sering membaca banyak referensi untuk meningkatkan
kemampuan dalam menganalisis.

2. Bagi Rumah Sakit


96

Rumah sakit diharapkan lebih meningkatkan pelayanan Asuhan


Keperawatan Anestesi Perioperatif pada Ny.H dengan tindakan
ismolobectomy di Rumah Sakir Umum Daerah dr. Soekardjo

3. Bagi Mahasiswa

Mahasiswa diharapkan untuk lebih giat lagi menambah wawasan


tentang penyakit kemudian tindakan operasi, obat anestesi dan tekhnik
anestesi yang dilakukan.

Daftar Pustaka

Ariani, Lisa. Diakses pada 10 Februari 2018. Pukul 15.30


Makalah Farmakologi I Sedatif-Hipnotik dan Anestetika.
https://chamaiiaariani.wordpress.com/penyebab-diare/sedatif-hipnotik-
dan-anestetika/
97

Tatuhey, Syukuriah Wahyuni., Nikijuluw, Helfi., Mainase,


Josepina. (2014). Karakteristik Kanker Kolorektal Di Rsud Dr. M
Haulussy Ambon Periode Januari 2012–Juni 2013. Jurnal Molucca
Medica (Mm) Jurnal Kedokteran Dan Kesehatan Issn 1979 – 6358,
Volume 4, Nomor 2, Maret 2014.

Wikipedia, Tim. Diakses pada 10 Februari 2018. Pukul 15.30.


https://id.wikipedia.org/wiki/Anestesi.

Anda mungkin juga menyukai