Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN PENDAHULUAN

SNNT
(STRUMA NODOSA NON TOKSIK)

OLEH:
Mohammad Wavy Azkiya
NIM. 172303101058

PRODI D3 KEPERAWATAN FAKULTAS KEPERAWATAN


UNIVERSITAS JEMBER KAMPUS LUMAJANG
2019
I. KONSEP PENYAKIT
A. Definisi
Struma nodusa adalah pembesaran pada tiroid yang disebabkan akibat adanya nodul
(Tonacchera, Pirichhera dan Vitty, 2009), biasanya di anggap membesar bila kelenjar tiroid lebih
dari 2x ukuran normal stuma nodusa non toksik merupakan struma nodusa tanpa disertai tanda-
tanda hipertiroidisme (Hermes dan Huysmans, 2009).
Struma nodosa non toksik adalah pembesaran kelenjar tiroid pada pasien eutiroid, tidak
berhubungan dengan neoplastik atau proses implasi (bambang sumantri Skep Ns 2011).
Struma adalah pembesaran pada kelenjar tiroid yang biasana terjadi karena foikel-
flikel terisi koloid secara berlebihan, setelah bertahun-tahun folikel tumbuh semakin membesar,
dengan membentuk kista dan kelenjar tersebut menjadi noduler (Smeltzer & Suzanne,2012)
Struma nodusa non toksik adalah pembesaran kelenjar tyroid yang secara klinik
teraba nodul satu/ lebih tanpa disertai tanda-tanda hypertiroidisme(Hartini,2010)

B. Etiologi
Adanya gangguan fungsional dalam pembentukan hormon tiroid merupakan faktor penyebab
pembedaran tiroid antara lain:
1. Defisiensi iodium :
Pada umumnya, penderita penyakit struma sering terdapat di daerah yang kondisi air minum
dan tanahnya kurang mengandung iodium, misalnya daerah pegunungan.
2. Kelainan metabolik kongenital yang menghambat hormon tiroid
3. Penghambatan sintesis hormon oleh zat kimia (seperti substansi dalam kol, lobal. dan kacang
kedelai)
4.Penghambatan sintesis hormon oleh obat-obatan (thiocarbamide, sulfonylyurea) (Brunicardi et
al, 2010)

C. Klasifikasi
Struma nodosa dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa hal yaitu (Roy, 2011):
a. Berdasarkan jumlah nodul: bila jumlah nodul hanya satu disebut struma nodosa soliter
(uninodosa) dan bila lebih dari satu disebut struma multinodosa.
b. Berdasarkan kemampuan menyerap yodium radioaktif, ada tiga bentuk nodul tiroid yaitu
nodul dingin, hangat, dan panas. Nodul dingin apabila penangkapan yodium tidak ada
atau kurang dibandingkan dengan bagian tiroid sekitarnya. Hal ini menunjukkan
aktivitas yang rendah. Nodul hangat apabila penangkapan yodium sama dengan
sekitarnya. Ini berarti fungsi nodul sama dengan bagian tiroid lainnya. Dan nodul panas
bila penangkapan yodium lebih banyak dari sekitarnya. Keadaan ini memperlihatkan
aktivitas yang berlebih.
c. Berdasarkan konsistensinya lunak, kistik, keras dan sangat keras.

Struma nodosa memiliki beberapa stadium, yaitu (Lewinski, 2002) :


a. Derajat 0 : tidak teraba pada pemeriksaan
b. Derajat I : teraba pada pemeriksaan, terlihat jika kepala ditegakkan
c. Derajat II : mudah terlihat pada posisi kepala normal
d. Derajat III : terlihat pada jarak jauh.

D. Manifesasi klinis
1. Gagguan menelan
2. Peningkatan metabolisme karena kien hiperaktif dengan meningkatnya denyut nadi
3. Peningkatan simpat (jantung berdebar-debar, gelisah, berkeringat, tidak tahan cuaca dingin,
diare, gemetar dan kelelahan)
Pada pemeriksaan status lokalis struma nodusa, dibedakan dalam hal :
1. Jumlah nodul ; satu (soliter), atau lebih dari satu (multipel)
2. Konsistensi : lunak, kistik, keras dan sangat keras
3. Nyeri pada penekanan; ada atau tidak ada.
4. Perlekatan dengan sekitarnya; ada atau tidak ada.
5. Pembesaran kelenjar getah bening di sekitar tyroid ; ada atau tidak ada.
(Brunicardi et al, 2010)

E. Patofisiologi
Iodium merupakan semua bahan utama yang dibutuhkan tubuh untuk pembentukan hormon
tiroid. Bahan yang mengandung iodium diserap usus, masuk ke dalam sirkulasi darah dan
ditangkap paling banyak oleh kelenjar tiroid. Dalam kelenjar tiroid, iodium dioksida menjadi
bentuk yang aktif yang distimuler oleh TSH kemudian disatukan menjadi molekul tiroksin yang
terjadi pada fase sel koloid. Senyawa yang terbentuk dalam molekul diidotironiin membentuk T4
dan T3. T4 menunjukkan pengaturan umpan balik negatif dari sekresi TSH dan bekerja langsung
pada tirotropihypofisis, sedang T3 merupakan hormon metabolik tidak aktif. Beberapa obat dan
keadaan dapat mempengaruhi sintesis, pelepasan dan metabolisme tiroid sekaligus menghambat
sintesis T4 dan melalui rangsangan umpan balik negatif meningkatkan pelepasan TSH oleh
kelenjar hipofisis. Keadaan ini menyebabkan pembesaran kelenjar tiroid.
Pathway Kelainan metab. Penghambat sintesa hormon
Defisiensi iodium
kongenital oleh zat kimia oleh obat

Struma nodusa non


toksik

Terdapat Pembesaran Menekan esofagus dan trakhea


Leher

Gangguan Kosep diri Obstruksi Jalan Suara Parau Disfagia


Pembedahan
(Gambaran Diri) Napas
(Tiroidektomi)
Gangguan Ketidakseimbangan
Ketidakefektifan Nyeri Telan
Komunikasi verbal Nutrisi kurang dari
Pola Napas
Kebutuhan tubuh
Terdapat
General
luka bekas
anastesi
operasi

Depresi
sistem
Resiko infeksi pernafasan
Risiko Perdarahan Nyeri Akut

Penurunan reflek
batuk

Akumulasi
sputum

Resiko bersihan
jalan nafas tidak
efektif
F. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk struma nodosa antara lain (Tonacchera, dkk, 2009):
1. Pemeriksaan laboratorium.
 Pemeriksaan tes fungsi hormon : T4 atau T3, dan TSH.
2. Pemeriksaan radiologi.
 Foto rontgen dapat memperjelas adanya deviasi trakea, atau pembesaran struma yang
pada umumnya secara klinis sudah bias diduga, foto rontgen pada leher lateral diperlukan
untuk evaluasi kondisi jalan nafas.
 Pemeriksaan ultrasonografi (USG). Manfaat USG dalam pemeriksaan tiroid :
 Untuk menentukan jumlah nodul.
 Dapat membedakan antara lesi tiroid padat dan kistik.
 Dapat mengukur volume dari nodul tiroid.
 Dapat mendeteksi adanya jaringan kanker tiroid residif yang tidak menangkap
yodium, dan tidak terlihat dengan sidik tiroid.
 Untuk mengetahui lokasi dengan tepat benjolan tiroid yang akan dilakukan biopsi
terarah.
 Pemeriksaan sidik tiroid. Hasil pemeriksaan dengan radioisotop adalah tentang
ukuran, bentuk, lokasi dan yang utama adalah fungsi bagian-bagian tiroid.
3. Biopsi aspirasi jarum halus (Fine Needle Aspiration Biopsy).
Biopsi ini dilakukan khusus pada keadaan yang mencurigakan suatu keganasan.

G. Penatalaksanan
Penatalaksanaan struma dapat dibedakan menjadi dua, yaitu :
1. Penatalaksanaan konservatif
 Pemberian Tiroksin dan obat Anti-Tiroid.
Tiroksin digunakan untuk menyusutkan ukuran struma, selama ini diyakini bahwa
pertumbuhan sel kanker tiroid dipengaruhi hormon TSH. Oleh karena itu untuk menekan
TSH serendah mungkin diberikan hormon tiroksin (T4) ini juga diberikan untuk mengatasi
hipotiroidisme yang terjadi sesudah operasi pengangkatan kelenjar tiroid. Obat anti-tiroid
(tionamid) yang digunakan saat ini adalah propiltiourasil (PTU) dan
metimasol/karbimasol.
 Terapi Yodium Radioaktif .
Yodium radioaktif memberikan radiasi dengan dosis yang tinggi pada kelenjar tiroid
sehingga menghasilkan ablasi jaringan. Pasien yang tidak mau dioperasi maka pemberian
yodium radioaktif dapat mengurangi gondok sekitar 50 %. Yodium radioaktif tersebut
berkumpul dalam kelenjar tiroid sehingga memperkecil penyinaran terhadap jaringan
tubuh lainnya. Terapi ini tidak meningkatkan resiko kanker, leukimia, atau kelainan
genetik. Yodium radioaktif diberikan dalam bentuk kapsul atau cairan yang harus diminum
di rumah sakit, obat ini ini biasanya diberikan empat minggu setelah operasi, sebelum
pemberian obat tiroksin.
2. Penatalaksanaan operatif
 Tiroidektomi
Tindakan pembedahan yang dilakukan untuk mengangkat kelenjar tiroid adalah
tiroidektomi, meliputi subtotal ataupun total. Tiroidektomi subtotal akan menyisakan
jaringan atau pengangkatan 5/6 kelenjar tiroid, sedangkan tiroidektomi total, yaitu
pengangkatan jaringan seluruh lobus termasuk istmus (Sudoyo, A., dkk., 2009).

H. Komplikasi
1. Gangguan menelan atau bernafas.
2. Gangguan jantung baik berupa gangguan irama hingga pnyakit jantung kongestif ( jantung
tidak mampu memompa darah keseluruh tubuh).
3. Osteoporosis, terjadi peningkatan proses penyerapan tulang sehingga tulang menjadi rapuh,
keropos dan mudah patah.
II. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian.
a. Pengumpulan Data
1) Identifikasi klien.
2) Keluhan utama klien.
Pada klien pre operasi mengeluh terdapat pembesaran pada leher. Kesulitan menelan dan
bernapas. Pada post operasi thyroidectomy keluhan yang dirasakan pada umumnya adalah
nyeri akibat luka operasi.
3) Riwayat penyakit sekarang
Biasanya didahului oleh adanya pembesaran nodul pada leher yang semakin membesar
sehingga mengakibatkan terganggunya pernafasan karena penekanan trakhea eusofagus
sehingga perlu dilakukan operasi.
4) Riwayat penyakit dahulu
Perlu ditanyakan riwayat penyakit dahulu yang berhubungan dengan penyakit gondok,
sebelumnya pernah menderita penyakit gondok.
5) Riwayat kesehatan keluarga.
Ada anggota keluarga yang menderita sama dengan klien saat ini.
6) Riwayat psikososial.
Akibat dari bekas luka operasi akan meninggalkan bekas atau sikatrik sehingga ada
kemungkinan klien merasa malu dengan orang lain.
2. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum
Pada umumnya keadaan penderita lemah dan kesadarannya composmentis dengan tanda-tanda
vital yang meliputi tensi, nadi, pernafasan dan suhu yang berubah.
b. Kepala dan leher
Pada klien dengan pre operasi terdapat pembesaran kelenjar tiroid. Pada post operasi
thyroidectomy biasanya didapatkan adanya luka operasi yang sudah ditutup dengan kasa steril
yang direkatkan dengan hypafik serta terpasang drain. Drain perlu diobservasi dalam dua
sampai tiga hari.
c. Sistem pernafasan
Biasanya pernafasan lebih sesak akibat dari penumpukan sekret efek dari anestesi, atau karena
adanya darah dalam jalan nafas.
d. Sistem Neurologi
Pada pemeriksaan reflek hasilnya positif tetapi dari nyeri akan didapatkan ekspresi wajah yang
tegang dan gelisah karena menahan sakit.
e. Sistem gastrointestinal
Komplikasi yang paling sering adalah mual akibat peningkatan asam lambung akibat anestesi
umum, dan pada akhirnya akan hilang sejalan dengan efek anestesi yang hilang.
f. Aktivitas/istirahat
Insomnia, otot lemah, gangguan koordinasi, kelelahan berat, atrofi otot.
g. Eliminasi
Urine dalam jumlah banyak, perubahan dalam faeces, diare.
h. Integritas ego
Mengalami stres yang berat baik emosional maupun fisik, emosi labil, depresi.
i. Makanan/cairan
Kehilangan berat badan yang mendadak, gangguan menelan, kehausan, mual dan muntah,
pembesaran tyroid.
j. Rasa nyeri/kenyamanan
Nyeri orbital, fotofobia.
k. Keamanan
Tidak toleransi terhadap panas, keringat yang berlebihan, alergi terhadap iodium (mungkin
digunakan pada pemeriksaan), suhu meningkat di atas 37,40C, diaforesis, kulit halus, hangat
dan kemerahan, rambut tipis, mengkilat dan lurus, eksoptamus : retraksi, iritasi pada
konjungtiva dan berair, pruritus, lesi eritema (sering terjadi pada pretibial) yang menjadi sangat
parah.
l. Seksualitas
Libido menurun, perdarahan sedikit atau tidak sama sekali, impotensi.

B. Diagnosa
1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan menyempitnya jalan napas
2. Resiko tinggi terjadi ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan perdarahan
dan spasme laringeal.
3. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan cedera pita suara/kerusakan laring,
edema jaringan, nyeri, ketidaknyamanan.
4. Gangguan nyeri telan berhubungan dengan menyempitnya esofagus
5. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan dengan tindakan bedah terhadap
jaringan/otot dan edema pasca operasi.
6. Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan menyempitnya esofagus
7. Risiko terjadinya perdarahan berhubungan dengan terputusnya pembuluh darah sekunder
terhadap pembedahan.
8. Gangguan Konsep diri berhubungan dengan kelainan gambaran diri
C. Intrvensi keperawatan
Perencanaan keperawatan
No DX
Tujuan Intervensi Rasional
1. Resiko tinggi Setelah dilakukan 1. Monitor pernafasan 1. Mengetahui
terjadi perawatan selama 1x24 dan kedalaman dan perkembangan
ketidakefektifan jamdiharapkan jalan nafas kecepatan nafas. dari gangguan
bersihan jalan klien dapat efektif dengan 2. Dengarkan suara pernafasan.
nafas kriteria hasil: nafas, barangkali ada 2. Ronchi bisa
berhubungan Tidak ada sumbatan pada ronchi. sebagai indikasi
dengan trakhea 3. Observasi adanya sumbatan
perdarahan dan kemungkinan jalan nafas.
spasme laringeal adanya stridor, 3. Indikasi adanya
sianosis. sumbatan pada
4. Atur posisi trakhea atau
semifowler laring.
5. Bantu klien dengan 4. Memberikan
teknik nafas dan suasana yang
batuk efektif. lebih nyaman.
6. Melakukan suction 5. Memudahkan
pada trakhea dan pengeluaran
mulut. sekret,
7. Perhatikan klien memelihara
dalam hal menelan bersihan jalan
apakah ada nafas.dan
kesulitan. ventilsassi
6. Sekresi yang
menumpuk
mengurangi
lancarnya jalan
nafas.
7. Mungkin ada
indikasi
perdarahan
sebagai efek
samping opersi.
2. Gangguan Setelah dilakukan 1. Kaji pembicaraan 1. Suara parau dan
komunikasi verbal perawatan selama 1x24 klien secara sakit pada
berhubungan jamdiharapkan rasa nyeri periodik tenggorokan
dengan cedera berkurang 2. Lakukan merupakan faktor
pita dg kriteria hasil: komunikasi dengan kedua dari odema
suara/kerusakan Dapat menyatakan nyeri singkat dengan jaringan / sebagai
laring, edema berkurang, tidak adanya jawaban ya/tidak. efek
jaringan, nyeri, perilaku uyg 3. Kunjungi klien pembedahan.
ketidaknyamanan. menunjukkan adanya sesering mungkin 2. Mengurangi
nyeri. 4. Ciptakan respon bicara
lingkungan yang yang terlalu
tenang. banyak.
3. Mengurangi
kecemasan klien
4. Klien dapat
mendengar
dengan jelas
komunikasi
antara perawat
dan klien.
3 Resiko tinggi Setelah dilakukan 1. Pantau tanda-tanda 1. Hypolkasemia
terhadap perawatan selama 1x24 vital dan catat dengan tetani
cedera/tetani jamdiharapkan klien adanya peningkatan (biasanya
berhubungan menunjukkan tidak ada suhu tubuh, takikardi sementara) dapat
dengan proses cedera dengan komplikasi (140 – 200/menit), terjadi 1 – 7 hari
pembedahan, terpenuhi/terkontrol dg kri disrtrimia, syanosis, pasca operasi dan
rangsangan pada teria hasil: sakit waktu bernafas merupakan
sistem saraf pusat. Tidak terdapat cedera (pembengkakan indikasi
paru). hypoparatiroid
2. Evaluasi reflesi yang dapat terjadi
secara periodik. sebagai akibat
Observasi adanya dari trauma yang
peka rangsang, tidak disengaja
misalnya gerakan pada
tersentak, adanya pengangkatan
kejang, prestesia. parsial atau total
3. Pertahankan kelenjar
penghalang tempat paratiroid selama
tidur/diberi bantalan, pembedahan.
tmpat tidur pada 2. Menurunkan
posisi yang rendah. kemungkinan
4. Memantau kadar adanya trauma
kalsium dalam jika terjadi
serum. kejang.
5. Kolaborasi 3. Kalsium kurang
Berikan pengobatan dari 7,5/100 ml
sesuai indikasi secara umum
(kalsium/glukonat, membutuhkan
laktat). terapi pengganti.
4. Memperbaiki
kekurangan
kalsium yang
biasanya
sementara tetapi
mungkin juga
menjadi
permanen.
4 Gangguan rasa Setelah dilakukan 1. Atur posisi semi 1. Mencegah
nyaman nyeri perawatan selama 1x24 fowler, ganjal hyperekstensi
berhubungan jamdiharapkan rasa nyeri kepala /leher leher dan
dengan dengan berkurangdg kriteria hasil: dengan bantal kecil melindungi
tindakan bedah Dapat menyatakan nyeri 2. Kaji respon verbal integritas pada
terhadap berkurang, tidak adanya /non verbal lokasi, jahitan pada luka.
jaringan/otot dan perilaku uyg intensitas dan 2. Mengevaluasi
edema pasca menunjukkan adanya lamanya nyeri. nyeri,
operasi. nyeri. 3. Intruksikan pada menentukan
klien agar rencana tindakan
menggunakan keefektifan
tangan untuk terapi.
menahan leher 3. Mengurangi
pada saat alih ketegangan otot.
posisi . 4. Makanan yang
4. Beri makanan halus lebih baik
/cairan yang halus. bagi klien yang
5. Lakukan menjalani
kolaborasi dengan kesulitan
dokter untuk menelan.
pemberian 5. Memutuskan
analgesik. transfusi SSP
pada rasa nyeri.
5 Risiko terjadinya Setelahdilakukan 1. Observasi tanda- 1. Dengan
perdarahan perawatan selama 1x24 tanda vital. mengetahui
berhubungan jamdiharapkanPerdarahan 2. Pada balutan tidak perubahan tanda-
dengan tidak terjadi dg kriteria didapatkan tanda- tanda vital dapat
terputusnya hasil : tanda basah karena digunakan untuk
pembuluh darah Tidak terdapat adanya darah. mengetahui
sekunder tanda-tanda perdarahan. 3. Dari drain tidak perdarahan secara
terhadap terdapat cairan dini.
pembedahan yang berlebih.( > 2. Dengan adanya
50 cc). balutan yang
basah berarti
adanya
perdarahan pada
luka operasi.
3. Cairan pada drain
dapat untuk
mengetahui
perdarahan luka
operasi.
Daftar Pustaka

Manjoer, Arief.dkk (2009). Kapita Selecta Kedokteran , jilid I Media Aesculapius: Jakarta
Smeltzer (2012), Buku ajar keperawatan medical bedah. Jakarta: EGC
Syarifuddin, drs. AMK. 2010. Anatomi Fisiologi untuk mahasiswa keperawatan, edisi 3. EGC :
Jakarta.
Potter, P.A. & Perry,A.G. (2009). Buku ajar fundamental keperawatan: konsep, proses, dan praktik
(Ed. Ke-4) (Renata, k., dkk, Penerjemah). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Tonacchera, M., Pinchera, A., & Vitty, P., (2009). Assesment of nodular goiter. Journal of best
practice & research clinical endocrinology and metabolism. Pisa : Elsevier.
Lewinski, A. (2002). The problem of goitre with particular consideration of goitre resulting from
iodine deficiency (I): Classification, diagnostics and treatment. Style Sheet :
http://www.nel.edu/23_4/NEL230402R04_Lewinski.htm
Roy, H. (2011). Short textbook of surgery : with focus on clinical skills. New Delhi : Jaypee Brothers
Medical Publishers
Sudoyo, dkk. (2009). Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid III Edisi V. Jakarta : Interna Publishing.

Anda mungkin juga menyukai