Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH PEMERIKSAAN TELINGA

Disusun oleh : Santi Marliana


Nim : 21115095
Kelas : PSIK II B

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
MUHAMMADIYAH PALEMBANG
2015/2016
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke khadirat Tuhan Yang Maha Esa. atas rahmat dan
karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah kelompok ini. Kami menyadari
masih banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini yang tentunya jauh dari
kesempurnaan. Karena itu kelompok kami selalu membuka diri untuk setiap saran dan kritik
yang bersifat membangun untuk kesempurnaan karya kami selanjutnya.

Terselesaikannya makalah ini tidak terlepas dari bantuan berbagi pihak. Untuk itu
kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang membantu,baik secara langsung
ataupun tidak langsung.

Akhirnya semoga sumbangan amal bakti semua pihak tersebut mendapat balasan yang
setimpal dari- Nya. Dan semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan kelompok kami
khususnya dan masyarakat pecinta ilmu pengetahuan pada umumnya.

Palembang, JULI 2017

HESTI NOVARINDA
Daftar isi

Teori pemeriksaan telinga

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Pendengaran adalah persepsi terhadap rangsangan bunyi. Organ yang berperan dalam sistem
pendengaran adalah telinga. Telinga merupakan organ pendengaran dan juga memainkan peran
penting dalam mempertahankan keseimbangan. Peran telinga itu sendiri dalam sistem pendengaran
yaitu menerima gelombang suara, membedakan frekuensinya dan akhirnya mengirimkan informasi
suara ke dalam sistem saraf pusat.

Semua bagian-bagian telinga mempunyai peran tersendiri dalam proses mendengar. Telinga
dibagi dalam tiga bagian yaitu telinga luar, telinga tengah dan telinga dalam. Telinga luar terdiri dari
pinna atau aurikula (daun telinga) dan meatus akustikus eksternus (liang telinga).

Telinga tengah merupakan sebuah rongga, dinding lateralnya adalah membrana timpani dan
dinding medialnya adalah permukaan luar telinga dalam. Rongga ini dilalui oleh tiga buah tulang
kecil (Osikuli) yaitu malleus, inkus dan stapes, yang membentang dari membrana timpani ke telinga
dalam (foramen ovale). Rongga ini berhubungan dengan nasofaring melalui tuba eustachius.

Telinga dalam ( disebut juga labirin ) terdiri atas sebuah sistem saluran yang tak beraturan (labirin
membranosa) yang dibatasi oleh tulang (labirin tulang). Labirin tulang dibagi dalam tiga bagian yang
secara struktural dan fungsional berbeda, yaitu vestibulum, koklea dan kanalis semisirkularis. Labirin
membranosa terdapat di dalam tulang labirin walaupun ukrannya lebih kecil. Membran ini meliputi
utrikel, sakul, duktus semikular dan duktus koklea. Adapun saraf – saraf yang berperan dalam sistem
ini adalah serabut saraf koklear dari saraf vestibulokoklear yang bersinapsis dalam medula dan
dalam otak tengah untuk berasenden menuju korteks auditori, yang terletak jauh di dalam fisura
lateral hemisfer serebral.

Mekanisme pendengaran terjadi dimulai dari gelombang bunyi yang ditangkap oleh aurikula
kemudian menjalar ke meatus akustikus eksternus. Dari meatus akustikus eksternus gelombang
bunyi diteruskan dan menghasilkan getaran dalam membrana timpani. Getaran ini kemudian
menjalar di sepanjang osikuli menuju fenestra vestibuli, mendorongnya masuk dan membentuk
gelombang tekanan pada prelimfe skala vestibuli yang tidak dapat terkompresi. Vibrasi prelimfe
menyebabkan vibrasi pada endolimfe, sehingga rambut-rambut getar menonjol ke dalam dan
merangsang ujung-ujung saraf pada membran koklea. Saraf membawa rangsang ke dalam pusat
pendengaran di lobus temporal otak, tempat rangsang dinilai dan diinterpretasi.

Gangguan dalam sistem pendengaran atau biasa disebut tuli biasanya terjadi karena beberapa hal
diantaranya yaitu adanya kerusakan pada bagian-bagian telinga yang biasanya terjadi karena
frekuensi bunyi yang didengar terlalu besar sehingga menimbulkan kerusakan bagian telinga. Faktor
lainnya yaitu adanya kerusakan pada saraf-saraf yang berperan dalam pendengaran.

I.2 Tujuan Pembelajaran

1. Mengetahui cara-cara pemeriksaan fungsi pendengaran

2. Menentukan macam-macam ketulian

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Telinga merupakan organ pendengaran dan juga meainkan peran penting dalam mempertahankan
keseimbangan. Bagian-bagian yang berperan dalam pendengaran : bagian luar, bagian tengah, dan
koklea. Bagian-bagian yang berperan dalam keseimbangan : kanal semisirkular, utrikel, dan sakulus.
(Roger watson, 2002 : 102)

Telinga luar terdiri dari atas aurikula (daun telinga) dan liang telinga luar (meatus akustikus
eksternus). Meatus akustikus eksternus terdapat di antara daun telinga dan membrana timpani .
Seluruhnya dilapisi kulit, denan rambut, kelenjar sebasea dan kelenjar apokrin yang telah
dimodifikasi disebut kelenjar seruminosa. Kelenjar ini mensekresi serumen atau tahi telinga.
Normalnya harus basah, sesuai fungsinya untuk menangkap benda asing dan mencegah serangga
masuk. Telinga luar dipisahkan dari telinga luar oleh membrana timpani. (dr.Jan Tambayong, Hal.57 :
2001)

Telinga bagian tengah merupakan merupakan ruang kecil dalam tulang temporal, dipisahkan oleh
membran timpani dari telinga bagian luar, dinding selanjutnya dibentuk oleh dinding bagian lateral
telinga dalam. Rongga tersebut dikelilingi membran mukosa dan berisi udara yang masuk dari faring
melalui saluran pendengaran. Hal ini membuat tekanan udara di kedua sisi membran timpani sama.
Telinga tengah terdiri dari tiga tulang tipis, yang disebut osikel, yang menghantarkan getaran ke
membrana timpani melalui telinga dalam. Membran timpani tipis dan semitransparan dan tempat
melekatnya malleus, osikel pertama, melekat dengan kuat ke permukaan dalam. Inkus berartikulasi
dengan malleus dan stapes, bagian dasar osikel, yang menempel pada fenestra vestibuli dan
mengarah ke bagian dalam telinga. Dinding posterior telinga tengah terbuka tidak beraturan,
mengarah ke mastoid antrum dan membelok ke sekolompok sel udara mastoid, seperti sinus nasal
yang terinfeksi. (Roger watson, Hal.103 : 2002)

Telinga dalam (disebut juga labirin) terdiri atas sebuah sistem saluran yang tak beraturan (labirin
membranosa) yang dibatasi oleh tulang (labirin tulang). Labirin tulang dapat dibagi dalam tiga bagian
yang secara struktural dan fungsional berbeda, yaitu vestibulum, koklea dan kanalis semisirkularis.
Labirin tulang ini berisikan prelimfe. Labirin membranosa, yang dikelilingi dan berenang dalam
prelimfe, berisikan endolimfe. (dr.Jan Tambayong, Hal.58 : 2001)

Di dalam vestibulum terdapat dua kantong labirin bermembran, yaitu sakulus dan utrikulus. Sakulus,
yang lebih kecil, berhubungan dengan duktus koklearis melalui saluran kecil, sedangkan utrikulus
berhubungan dengan kanalis semisirkularis. Pada sakulus dan utrikulus terdapat reseptor
keseimbangan yang disebut makula, untuk memantau perubahan posisi kepala. (dr.Jan tambayong,
Hal.58 : 2001)

Terdapat tiga kanalis semisirkularis, yang tersusun dalam tiga bidang berbeda (anterior, posterior
dan lateral). Di dalam kanalis semisirkularis tulang terdapat tiga duktus semisirkularis. Masing-
masing duktus memiliki satu ujung yang melebar disebut ampula, yang berisikan reseptor
keseimbangan disebut krista ampularis. Reseptor ini berespons terhadap gerak anguler (rotasi) dari
kepala. (dr.Jan Tambayong, Hal.58 : 2001)

Koklea adalah saluran tulang berpilin konis (rumah siput). Ia meluas dari bagian anteroir vestibulum
dan berpilin 2 ½ kali mengelilingi tulang yang disebut modiolus. Di dalamnya terdapat duktus
koklearis, yang berakhir buntu di apeks koklea. Di dalam duktus koklearis terdapat organ corti,
reseptor pendengaran. Duktus koklearis bersama lamina spiralis membagi rongga koklea menjadi
tiga bagian (skala) terpisah, yaitu skala vestibuli (atas), skala media atau duktus koklearis (tengah)
dan skala timpani (bawah). (dr.Jan Tambayong, Hal.58 : 2001)

Dua bagian labirin tulang yang terletak di atas dan di bawah skala media adalah skala vestibuli dan
skala timpani. Kedua skala tersebut mengandung cairan prelimfe dan terus memanjang melalui
lubang pada apeks koklea, yang disebut helikotrema. Membran reissner memisahkan skala media
dari skala vestibuli, yang berhubungan dengan fenestra vestibuli. Membran basilar memisahkan
skala media dari skala timpani, yang berhubungan dengan fenestra cochleae. (Ethel Sloane, Hal.191 :
2004)

Penghantaran Suara

Duktus koklearis atau skala media, yang merupakan bagian labirin membranosa yang terhubung ke
sakulus, adalah saluran tengah yang berisi cairan endolimfe. Skala media berisi organ corti yang
terletak pada membran basilar. Organ corti terdiri dari reseptor, disebut sel rambut, dan sel
penunjang, yang menutupi ujung bawah sel-sel rambut dan berada pada membran basilar.
Membran tektorial adalah struktur gelatin seperti pita yang merentang di atas sel-sel rambut. Ujung
basal sel rambut bersentuhan dengan cabang bagian koklear saraf vestibulokoklear. Sel rambut tidak
memiliki akson dan langsung bersinapsis dengan ujung saraf koklear. (Ethel Sloane, Hal.191 : 2004)

Telinga mengubah gelombang suara dari dunia luar menjadi potensial aksi dalam nervus koklearis.
Gelombang diubah oleh gendang telinga dan tulang-tulang pendengar menjadi gerakan papan kaki
stapes. Gerakan ini menimbulkan gelombang pada cairan telinga dalam gelombang pada organ korti
sehingga menimbulkan potensial aksi pada serabut-serabut saraf. (Syaifuddin, Hal.235 : 2009)

Sebagai respons yang ditimbulkan, gelombang suara pada membran timpani bergerak ke dalam
suatu resonator yang menghasilkan getaran dari sumber suara. Gerakan diteruskan pada
manubrium maleus, berayun pada poros melalui batas antara saluran panjang dan pendek, lalu
meneruskan getaran dari manubrium ke inkus lalu dihantarkan ke stapes. (Syaifuddin, Hal.235 :
2009)

Penghantaran suara mengubah resonansi (intensifikasi suara) yang menghasilkan getaran dari
membran timpani menjadi gerakan stapes untuk mengarahkan skala vestibuli koklea yang terisi
dengan prelimfe. Sistem ini dinamakan tekanan suara yang sampai pada jendela lonjong. Hasil kerja
dari maleus dan inkus memperbesar gaya 1,3 kali dari luas membran timpani, jauh lebih besar dari
luas papan kaki stapes, pemborosan energi suara karena resistensi 60 % dari enerfi suara yang telah
sampai pada membran timpani berhasil dihantarkan ke cairan dalam koklea. (Syaifuddin, Hal.235 :
2009)

1. Refleksi gendang : apabila otot telinga tengah (M.Tensor timpani dan M.Stapedius)
berkontraksi menarik manubrium maleolus ke dalam dan papan kaki stapes keluar. Suara yang keras
menimbulkan refleks kontraksi otot yang dinamakan refleks gendang. Refleks gendang ini berfungsi
untuk melindungi dan mencegah gelombang suara keras yang dapat menyebabkan perangsangan
yang berlebihan pada reseptor pendengar. Akan tetapi, waktu reaksi untuk refleks adalah 40-160 ms
sehingga refleks tidak melindungi dari rangsangan yang sangat singkat seperti suara tembakan.

2. Penghantaran tulang dan udara

a. Penghantaran gelombang suara ke cairan telinga dalam melalui membran timpani dan tulang-
tulang pendengar yang dinamakan penghantaran tulang telinga tengah.

b. Gelombang suara menimbulkan getaran pada membran timpani sekunder yang menutup
jendela bundar (penghantaran udara)

c. Penghantaran tulang transmisi, getaran dari tulang-tulang tengkorak ke cairan telinga dalam.
Banyak terjadi konduksi tulang bila garpu penala diletakkan langsung pada tengkorak. Jalan ini
memegang peranan penting dalam penghantaran yang sangat keras.

3. Gelombang jalan papan kaki stapes menimbulkan serangkaian gelombang berjalan pada
prelimfe dalam skala vestibuli. Apabila gelombang bergerak ke arah koklea, tinggi gelombang
meningkat sampai maksimum dan kemudian menurun dengan cepat. Jarak dari sapes sampai
ketinggian maksimum berubah-ubah tergantung pada frekuensi getaran. Gelombang suara dengan
nada tinggi akan menimbulkan gelombang yang mencapai tinggi maksimum dekat pada basis koklea,
sedangkan suara nada rendah menimbulkan gelombang yang memuncak dekat dengan apeks
dinding. Tulang dari skala vestibuli menjadi kaku, tetapi membran ini fleksibel. Membran basilaris
tidak dalam keadaan tegang dan dapat dilakukan ke dalam skala timpani oleh puncak gelombang
dalam skala vestibuli. (Syaifuddin, Hal.235-236 : 2009)

Pendesakan cairan dalam skala timpani dilepaskan ke dalam udara pada foramen rotundum. Suara
akan menimbulkan distorsi (pilihan) pada membran basilaris, tempat dimana distorsi ini maksimum
yang ditentukan oleh frekuensi gelombang suara. Ujung-ujung sel rambut pada organ korti
dipertahankan tetap kaku oleh lamina retikularis dan rambut-rambutnya terbenama dalam
membran tektorial. (Syaifuddin, Hal.236 : 2009)

Apabila membran basilaris ditekan, gerakan relatif dari membran tektorial lamina retikularis akan
membengkokkan rambut-rambut. Pembengkokan ini menimbulkan potensial aksi pada saraf
pendengar. (Syaifuddin, Hal.236 : 2009)

Ketulian adalah gangguan hantaran bunyi di dalam telinga luar atau telinga tengah (tuli hantar) atau
kerusakan sel rambut jaras saraf (tuli saraf) atau kerusakan pada kedua bagian itu (tuli campuran).
Penyebab tuli hantar atau biasa juga disebut tuli konduksi adalah sumbatan meatus akustikus
eksternus oleh serumen atau benda asing, perusakan ossikula auditus, penebalan membran timpani
setelah infeksi telinga tengah berulang, dan kekuatan abnormal perlengketan stapes ke foramen
ovale. Tuli saraf disebabkan oleh degenerasi toksin sel rambut, dan kerusakan pada saraf-saraf yang
terlibat dalam sistem pendengaran. Tuli campuran adalah tuli yang terjadi karena adanya kerusakan
pada bagian-bagian telinga dan kerusakan pada syaraf-syaraf pendengaran. (Syaifuddin, Hal.239 :
2009)
BAB III

METODOLOGI PERCOBAAN

III.1 Alat dan Bahan

1. Garpu tala (288 atau 512 Hz)

2. Arloji

III.2 Cara Kerja

A. Pemeriksaan fungsi pendengaran

1. Tes Bisik

Tes ini merupakan tes yang sederhana dan walaupun kurang akurat tetapi cukup inovatif bagi
pemeriksaan rutin. Untuk ini memerlukan ruangan sepanjang 6 meter (minimal) dan bersifa kedap
suara sehingga bising tidak mempengaruhi jalannya pemeriksaan. Orang coba duduk menyamping
sehingga telinga yang akan diperiksa menghadap ke mulut pemeriksa. Menutup telinga yang tidak
diperiksa dan kalau perlu menutup mata juga agar orang coba tidak dapat melihat gerakan bibir
pemeriksa. Pemeriksa mengucapkan kata-kata secara berbisik (intensitas suara halus sekeras bisikan
sejauh 30 cm dari telinga), dan orang coba harus dapat mengulanginya dengna benar. Bila dapat
didengar dari jarak :

6 meter berarti normal

5 meter berarti masih dalam batas normal

4 meter berarti tuli ringan

2-3 meter berarti tuli sedang

1 meter atau kurang berarti tuli berat

Dapat pula diketahui bila orang coba menderita gangguan pendengaran dengan frekuensi rendah
atau tinggi. Untuk ini pemeriksa membisikkan kata-kata yang frekuensinya tinggi misalnya karcis,
kikis, tangis dan sebagainya. Sedang kata-kata denga frekuensi rendah misalnya letup, rendum,
beban dan sebagainya.

2. Tes Arloji

Harus menggunakan arloji yang berdetik misalnya arloji saku. Arloji “quarts” tak dapat digunakan.
Pemeriksaan ini kurang cukup untuk menentukan jenis ketulian. Orang coba diminta mendengarkan
detik arloji mula-mula telinga kiri kemudian telinga kanan.

3. Tes dengan garpu tala

a. Tes rinne
Menggetarkan garpu tala kemudian menempelkan pangkalnya pada tulang mastoid orang coba.
Meminta orang coba untuk memberitahukan jika bunyi garpu tala tidak terdengar lagi.
Memindahkan garpu tala sehingga ujungnya yang bergetar berada pada kira-kira 3 cm di depan liang
telinga. Bila suara masih terdengar maka rinne positif, sedang bila tidak dapat terdengar lagi disebut
rinne negatif

Rinne negatif : normal atau tuli sensorineural

Rinne positif : tuli konduktif

b. Tes weber

Menggetarkan garpu tala dan menempatkannya di vertex orang coba. Bila suara terdengar lebih
keras pada salah satu telinga misalnya yang kanan maka ini dusebut lateralisasi kanan,

Ini dapatt disebabkan beberapa kemungkinan :

Telinga kana tuli konduktif, kiri normal atau tuli sensorineural (perseptif)

Telinga kanan normal, kiri tuli perseptif

Keduanya tuli konduktif, kanan lebih berat dari kiri

Keduanya tuli perseptif, kiri lebih berat dari pada kanan.

c. Tes schwabach

Menggetarkan garpu tala dan ditempatkan pada tulang mastoid orang coba. Meminta orang coba
memberitahukan bila tidak dipindahkan ke tulang mastoid pemeriksa. Bila pemeriksa juga tidak
mendengar suara maka prosedur pemeriksaan dibalik. Mula-mula meletakkan garpu tala pada
tulang mastoid pemeriksa dan setelah tak terdengar memindahkannya ke orang coba. Bila orang
coba tidak mendengar lagi berarti telinga orang coba normal.

Schwabach memendek : jika setelah garpu tala dipindahkan pada pemeriksa, masih dapat didengar
getaran. Berarti orang coba tuli perseptif.

Schwabach memanjang : setelah memindahkan pada pemeriksa tidak lagi terdengar getaran, tetapi
bila prosedur dibalik maka setelah pemeriksa tidak lagi mendengar bunyi. Berarti orang coba tuli
konduktif.
Pemeriksaan Visus

I.tujuan

Mahasiswa dapat mengetahui cara pemeriksaan dan perhitungan visus

II.Dasar teori

Visus (ketjamn penglihatan) adalah ukuran berapa jauh dan detail suatu benda dapat tertangkap
oleh mata.sehingga visus dapat disebut sebagai fisiologi mata yang paling penting.ketajaman
penglihatan didasarkan pada prinip tentang adanya daya pisah minimumyaitu jarak yang paling kecil
antra 2 garis yang masih mungkin dipisahkan dan dapat ditangkap sebagai 2 garis. (Muniati
dkk.2010)

Dikenal beberapa titik di dalam bidang refraksi,seperti pungtum proksimum merupakan titik
terdekat dimana seseorang masih dapat melihat dengan jelas,titik ini merupakan titik didalam ruang
yang berhubungan dengan retina atau foveola bila mata istirahat.pada emetropia,pungtum
remotum terletak didepan mata (ilyas,2004 dalam gita.2009)

Ada 2 macam visus yaitu :

1.visus contraksi/centralis

a.visus centralis jauh :ketajaman penglihatan untuk melihat benda yang jauh letaknya.disini mata
tidak mngatakan akomodasi ,benda sinar sudah dapat jatuh pada reina/fovea centralis

b.visus centralis dekat :ketajaman penglihatan untuk melihat benda benda yng dekat.misal :
membaca,menjahit

Disini , mata berakomodasi supaya bayangan benda yang dilihat jatuh pada retina.

2.visus perifer
Diperiksa dengan perimeter.

Yang penting dari visus perimeter ini adalah luasnya penglihatan.fungsi’’visus perifer adalah :

-orientasi : kemampuan untuk mengenal tempat suatu benda terhadap sekitarnya

-pertahanan tubuh : misalnya kita melihat ular yang menggigit kita,kita melihatnya.

Secara klinik kelainan refraksi adalah akibat kerusakan ada akomodasi visual, entah itu sebagai
akibat perubahan biji mata, maupun kelainan pada lensa. Kelainan refraksi yang sering dihadapi
sehari-hari adalah miopia, hipermetropia, presbiopia, dan astigmatisma.

a) Miopi
Pada miopia panjang bola mata anteroposterior dapat terlalu besar atau kekuatan pembiasan media
refraksi terlalu kuat. Pasien dengan miopia akan menyatakan melihat jelas bila dekat, sedangkan
melihat jauh kabur atau disebut pasien adalah rabun jauh. Seseorang miopia mempunyai kebiasaan
mengeryitkan matanya untuk mencegah aberasi sferis atau untuk mendapatkan efek pinhole
(lubang kecil) (Ilyas, 2004 dalam Gita, 2009). Miopia tampak bersifat genetika, tetapi pengalaman
penglihatan abnormal seperti kerja dekat berlebihan dapat mempercepat perkembangannya. Cacat
ini dapat dikoreksi dengan kacamata lensa bikonkaf (lensa cekung), yang membuat sinar cahaya
sejajar berdivergensi sedikit sebelum ia mengenai mata (Ganong, 2002).

b) Hipermetropia
Hipermetropia atau rabun dekat merupakan keadaan gangguan kekuatan pembiasan mata dimana
sinar sejajar jauh tidak cukup dibiaskan sehingga titik fokusnya terletak di belakang retina. Pasien
dengan hipermetropia apapun penyebabnya akan mengeluh matanya lelah dan sakit karena terus
menerus harus berakomodasi untuk melihat atau memfokuskan bayangan yang terletak di belakang
makula agar terletak di daerah makula lutea. Keadaan ini disebut astenopia akomodatif. Akibat terus
menerus berakomodasi, maka bola mata bersama-sama melakukan konvergensi dan mata akan
sering terlihat mempunyai kedudukan estropia atau juling ke dalam (Ilyas, 2004 dalam Gita, 2009).
Cacat ini dapat dikoreksi dengan menggunakan kacamata lensa cembung, yang membantu kekuatan
refraksi mata dalam memperpendek jarak fokus (Ganong, 2002)

c) Astigmatisma
Kelainan refraksi karena kelengkungan kornea yang tidak teratur disebut astigmatisma. Pada
penderita astigmatisma, sistem optik yang astigmatismatik menimbulkan perbesaran atas satu objek
dalam berbagai arah yang berbeda. Satu titik cahaya yang coba difokuskan, akan terlihat sebagai
satu garis kabur yang panjang. Mata yang astigmatisma memiliki kornea yang bulat telur, bukannya
seperti kornea biasa yang bulat sferik. Kornea yang bulat telur memiliki lengkung (meridian) yang
tidak sama akan memfokus satu titik cahaya atau satu objek pada dua tempat, jauh dan dekat. Lensa
yang digunakan untuk mengatasi astigmatisma adalah lensa silinder. Tetapi pada umumnya, di
samping lensa silinder ini, orang yang astigmatisma membutuhkan juga lensa sferik plus atau minus
yang dipasang sesuai dengan porosnya (Youngson, 1995 dalam Gita, 2009).

“presbiopi” ini fisiologis.jadi,tidak termasuk anomaly refraksi.pada umur 40 th,daya presbiopi


1D,setiap tambah lagi 10 th tambah 1D.maksimal 3D karena jarak baca 30cm (D=1/f meter).

Rumus perhitungan visus =


V = d/D

Keterangan :

V = visus

d = jarak optotype dengan probandus

D = angka disamping deretan huruf pada optotype yang terkecil yang masih bisa dibaca probandus
(Anonim.2016)

III. Alat dan Bahan

1.Alat :

a.optotype snellen

b. pulpen

c.buku/kertas catatan

d. penggaris

2.bahan

a.probandus (10 probandus)

IV. Cara kerja

1.siapkan optotype snellen dan probandus

2.probandus duduk pada jarak 6m dari optotype

3.mata probandus diperiksa satu persatu ,mata yang tidak diperiksa ditutup.

4.kemudian pemeriksa menunjuk uruf huruf pada deretan yang paling atas pada optotype
snellen

5.pemeriksa menunjuk huruf huruf pada optotype snellen semakin kebawah,sampai probandus tidak
dapat membaca lagi.

6.catat hasil pemeriksaan visus


No. Probandus Usia Jarak Jarak Jarak Visus Visus keterangan
(kelamin) (th) (d) huruf huruf Mata Mata
kiri (kanan) kanan kiri
1 Probandus I (Pr) 18 6m 15 20 6/15 6/20 Normal
2 Probandus II 18 6m 120 120 6/120 6/120 Miopi
(pr)
3 Probandus III 19 6m 15 15 6/15 6/15 Normal
(lk)
4 Probandus IV 19 6m 15 15 6/15 6/15 Normal
(pr)
5 Probandus V 19 6m 15 15 6/15 6/15 Normal
(pr)
6 Probandus VI 19 6m 20 25 6/20 6/25 Kanan =
(pr) normal,kiri
= miopi

7 Probandus VII 18 6m 20 20 6/20 6/20 Normal


(pr)
8 Probandus VIII 22 6m 20 25 6/20 6/25 Kanan =
(pr) normal
Kiri =
miopi
9 Probandus IX 19 6m 15 15 6/15 6/15 Normal
(pr)

Keterangan : D dari 20-15 masih dikatakan normal

D dari 25-200 dikatakan miopi

Pr = perempuan

Lk = laki laki

VI. pembahasan
Pada praktikum kali ini melakukan tes visus (ketajamn penglihatan) yang berarti ukuran,berapa
jauh,dan detail suatu benda dapat tertangkap oleh mata. (muniati,dkk.2010)

Dalam praktikum in disiapkan 9 probandus dengan usia dan jenis kelamin yang berbeda,agar
data yang dihasilkan bervarian.sehingga dapat membedakan anatra yang normal dan tidak.faktor
dari berkurangnya ketajaman penglihatan itu sendiri antara lain :

Waktu papar,umur/usia seseorang,karena kuat penerangan atau pencahayaan nya serta karena
kelainan refraksi.

Pemeriksaan visus ini dapat dilakukan dengan menggunakan optotype snellen yaitu sebuah
ukuran kuantitatif .suatu kemampuan untuk mengidentifikasi simbol simbol yang berwarna hitam
dengan latar belakang putih dengan jarak jarak yang telah distandarisasi serta ukuran yang
bervariasi.ini adalah pengukuran funsi visual yang tersering digunakan dalam klinik.

Optotype snellen ini terdiri atas deretan huruf dengan ukuran yang berbeda dan bertingkat serta
disusun dalam baris mendatar.huruf yang teratas adalah yang paling besar dan makin kebawah
semakin kecil.

Pemeriksaan visus ini mula mula probandus diperkenankan untuk duduk dengan jarak 6m dari
optotype snellen.kemudian probandus menutup salah satu matanya yang tidak diperiksa.karna
pemeriksaan ini dilakukan satu persatu mata secara bergantian.pemeriksa menunjuk deretan huruf
huruf pada optotype snellen dari atas sampai kebawah sampai probandus tidak dapat melihat lagi
huruf tersebut.

Probandus harus membaca pada jarak 6m,karena pada jarak ini mata akan melihat benda dalam
keadadn beristirahat dan tanpa akomodasi.dan ada jarak 6m nilah mata normal mampu menangkap
bayangan benda agar jatuh tepat pada retina mata.

Pada praktikum ini probandus I,III,IV,V,VII.&IX visusnya dinyatakan normal.pada probandus II


visusnya dnyatakan miopi dan pada probandus VII dan VII pada mata sebelah kananny
normalteteapi pada mata kirinya miopi.

Pada jarak huruf (D) 20-15 probandus dinyatakan normal,tetapi pada jarak huruf (D) dari 25-200
dinyatak miopi.

Cara mengatasi miopi seseorang dapat menggunakan kaca mata lensa cekung (kaca mata
minus)yang akan membantu mendapatkan bayangan jatuh tepat pada retina.

VII.kesimpulan

Maka,berdasarkan pemerisaan hasil visus menggunakan optype snellen ini,probandus


I,II,IV,V,VII,dan IX dinyatakan normal.

Probandus II dinyatakan miopi dan probandus VI,dan VII dinyatakan mata kanannya normal
sedangkan mata kirinya miopi.
VIII. Daftar pustaka

Anonim.2016.buku petunjuk praktikum.universitas pekalongan:pekalongan

Edi.S.affandi.2010 dalam buku gita: 2009

Ganong,f.william.2002.buku ajar fisiologi kedokteran.jakarta : ed.20.EGC jakarta

https : //inayahqalem.blogspot.com

Diposting oleh Mutma Ina di 04.15

Anda mungkin juga menyukai