Anda di halaman 1dari 3

H.

Evaluasi Apotek
Evaluasi mutu di apotek dilakukan terhadap terhadap mutu manajerial dan mutu
pelayanan farmasi klinik. Evaluasi dapat dilakukan dengan metode audit, review, survey dan
observasi.
1. Audit
Audit merupakan usaha untuk menyempurnakan kualitas pelayanan dengan pengukuran
kinerja bagi yang memberikan pelayanan dengan menentukan kinerja bagi yang berkaitan
dengan standar yang dikehendaki.Oleh karena itu, audit merupakan alat untuk menilai,
mengevaluasi, menyempurnakan pelayanan kefarmasian secara sistematis. Contoh audit yang
dilakukan adalah audit sediaan obat (stok opname), audit kesesuaian SPO, audit keuangan
(cash flow, neraca, laporan rugi laba), audit penyerahan obat kepada pasien oleh apoteker,
dan audit waktu pelayanan.
2. Review
Review yaitu tinjauan terhadap pelaksanaan pelayanan kefarmasian tanpa dibandingan
dengan standar. Review dilakukan oleh apoteker berdasarkan hasil monitoring terhadap
pengelolaan sediaan obat dan sumber daya yang digunakan serta pelayanan farmasi klinik.
Contoh review yang dilakukan adalah pengkajian obat fast dan slow moving, perbandingan
harga obat, dan review terhadap kerjadian medication error.
3. Survey
Survey yaitu pengumpulan data yang oleh apoteker berdasarkan hasil monitoring
terhadap mutu pelayanan dengan menggunakan angket/kuesioner atau wawancara langsung.
Contoh survey yang dilakukan adalah survey tingkat kepuasan pasien. Tingkat Kepuasan
pasien didefinisikan sebagai evaluasi pasca konsumsi bahwa suatu produk yang dipilih
setidaknya memenuhi atau melebihi harapan (Harianto dkk, 2005). Menurut Kuncahyo
(2004) bahwa kualitas pelayanan yang diberikan apoteker di apotek akan berpengaruh
terhadap kepuasan konsumen. Kepuasan konsumen juga akan sangat bergantung pada
kualitas dari pelayanan yang diberikan, yang mana dalam kualitas pelayanan terdapat
beberapa dimensi yang mempengaruhinya. Kualitas pelayanan pada berbagai dimensi
kualitas pelayanan yaitu dimensi ketanggapan, dimensi kehandalan, dimensi
jaminan/keyakinan, dimensi empati dan dimensi berwujud seperti pada tabel 1 (Harianto dkk,
2005).
 Dimensi Fasilitas Berwujud. Dimensi ini merupakan hal penunjang dasar dari
sebuah pelayanan. Hal yang dinilai pada dimensi ini adalah bukti fisik dari suatu
apotek.
 Dimensi kehandalan, dimensi ini merupakan persepsi dengan persentase terendah
dari semua dimensi. Hal ini dapat dilihat dari persepsi konsumen bahwa petugas
apotek yang kurang ramah dalam memberikan pelayanan dan kurangnya kesiapan
petugas apotek dalam memberikan pelayanan. Komunikasi yang baik merupakan
faktor penentu kualitas dari suatu pelayanan, sehingga menjadi penentu utama
dari kepuasan konsumen atau pasien. Disisi lain kegagalan komunikasi dalam
pelayanan kefarmasian, misalnya edukasi dan informasi obat, sehingga dapat
menyebabkan efektivitas terapi tidak tercapai.
 Dimensi Ketanggapan. Ketanggapan ditunjukkan sebagai kemampuan apotek
untuk membantu pelanggan dan memberikan jasa cepat. Apabila angka
indikatoritu menunjukkannilaiyang tinggi maka dalam lingkungan apotek
tersebut terjadinya komunikasi yang baik antara petugas dan konsumen, petugas
cepat tanggap terhadap keluhan konsumen.
 Dimensi Keyakinan. Hal yang dinilai pada dimensi ini adalah jaminan terhadap
pelayanan yang diberikan oleh apotek sebagai pemberi jasa untuk menimbulkan
kepercayaan dan keyakinan terhadap obat yang dibeli terjamin kualitasnya,
ditunjukkandengan petugas mempunyai pengetahuan dan keterampilan yang baik
dalam bekerja. Dimensi ini merupakan persepsi sangat baik dengan persentase
tertinggi dari semua dimensi yaitu pada kebenaran obat yang diberikan petugas
kepada konsumen.
 Dimensi Empati. Hal yang dinilai pada dimensi ini adalah perhatian pribadi yang
diberikan petugas apotek kepada konsumen/pasien, petugas memberikan
pelayanan kepada semua konsumen tanpa memandang status sosial, petugas
memberikan perhatian terhadap keluhan konsumen.
4. Observasi
Observasi dilakukan oleh apoteker berdasarkan hasil monitoring terhadap proses
pengelolaan obat dan pelayanan farmasi klinik, dilakukan dengan pengamatan langsung
aktivitas atau dengan menggunakan cek list atau perekaman. Contoh observasi yang
dilakukan adalah observasi terhadap penyimpanan obat, proses transaksi dengan distributor,
ketertiban dokumentasi, dan observasi pelaksanaan SPO pelayanan.
Indikator evaluasi mutu :
1. Kesesuaian proses terhadap standar
2. Efektifitas dan efisiensi
3. Pelayanan farmasi klinik diuasahakan zero defect dari medication error
4. Standar Prosedur Operasional (SPO) untuk menjamin mutu pelayanan sesuai dengan
standar yang telah ditetapkan
5. Lama pelayanan resep antara 15-30 menit
6. Keluaran pelayanan kefarmasian secara klinik berupa kesembuhan penyakit pasien,
pengurangan atau penghilangan gejala penyakit, pencegahan terhadap penyakit atau
gejala, memperlambat perkembangan penyakit.

Anda mungkin juga menyukai