Anda di halaman 1dari 16

Makalah tentang Ansietas

Ansietas ?? pasti masih bingung dengan penyakit ini kan? masalahnya, kita
semua jarang menemui orang dengan penyakit ini, di negara maju penyakit ini
banyak ditemui, walaupun di Indonesia jarang terjadi, akan lebih baik lagi kalau
kita juga mengetahui apa itu ansietas, faktor penyebabnya, tingkat ansietas dan
gejala-gejala penderita ansietas. Sebagai calon apoteker, kita juga harus
mengetahui, mekanisme kerja obat serta golongan-golongan antiansietas, selain
itu obat-obatan yang dapat menyembuhkan ansietas.
… langsung saja ya..
Latar belakang
Ansietas bisa dialami siapa saja dari latar belakang sosial, budaya maupun
ekonomi. Selain itu ansietas dapat menyerang lanjut usia, wanita, pria remaja
dan dewasa bahkan anak-anak sekalipun. Ansietas adalah perasaan yang dialami
ketika terlalu mengkhawatirkan kemungkinan peristiwa yang menakutkan yang
terjadi di masa depan yang tidak bisa dikendalikan jika itu terjadi, dan akan
dinilai sebagai ‘mengerikan’, atau dapat mengungkapkan bahwa kita adalah
orang yang benar-benar tidak mampu menata pikiran diri sendiri.
Pada dasarnya seluruh manusia itu dalam keadaan seimbang, namun dalam
hidup pasti ada masalah yang harus dihadapi, ada yang diterima dengan baik
adapula yang harus diproses, bahkan ditolak. Namun, masalah tak dapat ditolak
tetapi pikiran ingin menolak itulah yang menyebabkan cemas, stres sampai
depresi. Fenomena belakangan ini di kota-kota besar, bahkan di Negara maju
terutama Indonesia menunjukkan peningkatan tajam terhadap perilaku cemas
yang berlebihan atau ansietas, hal ini kelihatannya disebabkan oleh kondisi
ekonomi negara kita yang masih belum stabil, sehingga semakin banyak orang
yang mengalami kecemasan, stres, sampai depresi.
Menurut penelitian kecenderungan pengidap gangguan jiwa meningkat, hal ini
dapat dilihat dari data Bank Dunia pada 1995. Disebutkan bahwa telah
terjadi kehilangan hari-hari produktif (disability adjusted life years) di beberapa
negara, sebesar 8,1 % dari total Global Burden Disease akibat gangguan
kesehatan jiwa. Angka ini tercatat lebih tinggi jika dibandingkan dengan
penyakit lain seperti tuberculosis (7,2 %), kanker (5,8%), penyakit jantung (4,4
%) maupun malaria (2,6%). Gangguan kecemasan diperkirakan mengidap 1 dari
10 orang. Menurut data National Institute of Mental Health (2005) di Amerika
Serikat terdapat 40 juta orang mengalami gangguan kecemasan pada usia 18
tahun sampai pada usia lanjut (Anonim1, 2009).
Obat-obatan yang digunakan untuk menekan ansietas sudah berkembang sejak
1950 hingga sekarang. Hingga kini, antiansietas masih merupakan penangkal
utama, baik yang memiliki aksi tunggal maupun ganda.
Definisi Ansietas
Ansietas merupakan satu keadaan yang ditandai oleh rasa khawatir disertai
dengan gejala somatik yang menandakan suatu kegiatan berlebihan dari susunan
saraf autonomic (SSA). Ansietas merupakan gejala yang umum tetapi non-
spesifik yang sering merupakan satu fungsi emosi. Sedangkan depresi
merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan dengan alam
perasaan yang sedih dan gejala penyertanya termasuk perubahan pola tidur dan
nafsu makan, psikomotor, konsentrasi, kelelahan, rasa putus asa dan tak
berdaya, serta gagasan bunuh diri. Keadaan dimana individu/kelompok
mengalami perasaan gelisah (penilaian atau opini) dan aktivasi system syaraf
autonom dalam berespons terhadap ancaman tidak jelas, non spesifik (Ashadi,
2008).
Cemas atau ansietas merupakan reaksi emosional terhadap penilaian dari
stimulus. Keadaan emosi ini biasanya merupakan pengalaman individu yang
subyektif, yang tidak diketahui secara khusus penyebabnya. Ansietas berbneda
dengan takut. Takut adalah penilaian intelektual dari stimulus yang mengancam
dan obyeknya jelas. Individu tersebut dapat menggambarkan sumber dari rasa
takut. Ansietas dapat merupakan suatu sumber kekuatan dan energinya dapat
menghasilkan suatu tindakan yang destruktif atau konstruktif (Wahid, 2008).
Ansietas adalah suatu ketegangan yang tidak menyenangkan, rasa takut, gelisah
rasa takut yang mungkin timbul dari penyebab yang tidak diketahui. Keadan
ansietas ini merupakan gangguan mental yang sering dijumpai. Gejala ansietas
berat serupa dengan takut (seoerti takikardi, berkeringat, gemetar, palpitasi) dan
aktivitas simpatik. Episode ansietas ringan merupakan pengelaman hidup yang
biasa dan tidak memerlukan pengobatan. Tetapi bila gejala ansietas cukup berat,
kronis, mengganggu aktivitas sehari-hari, perlu diobati dengan obat anti-
ansietas (kadang-kadang disebut ansiolotik atau tranquilizer minor), dan/atau
bentuk lain terapi psikologik/tingkah laku. Karena semua obat ansietas
menyebabkan sedasi, obat yang sama dalam klinik sering berguna sebagai
ansiolotik dan hipnotik (menyebabkan tidur). Terdapat 5 varian ansietas yang
sering ditemukan, yaitu:
1. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder, yaitu Generalized
Anxiety Disorder (GAD)
2. Panic Disorder (PD)
3. Social Anxiety Disorder (SAD)
4. Obsessive Compulsive Disorder (OCD)
5. Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) (Harkness, 1989).
Ansietas terutama berguna untuk pengobatan simtomatik penyakit
psikoneurosis dan berguna sebagai obat tambahan pada terapi penyakit somatik
yang didasari penyakit ansietas (perasaan cemas) dan ketegangan mental.
Penggunaan ansietas dosis tinggi jangka lama, dapatmenimbulkan
ketergantungan fisik dan psikis. Dibanding dengan sedatif yang sudah lama
dikenal, ansietas tidak begitu banyak menimbulkan kantuk (Harkness, 1989).
Faktor-faktor Penyebab Ansietas
Ada beberapa penyebab ansietas, yang pertama adalah faktor biologis, termasuk
faktor genetik, dan yang kedua adalah faktor psiko-sosial. Faktor biologis
misalnya karena sakit, pengaruh hormonal atau depresi pasca-melahirkan.
Sedangkan faktor psiko-sosial misalnya konflik pribadi atau interpersonal,
masalah eksistensi atau masalah keluarga. Ansietas berupa gangguan perasaan
cemas berlebih sering dianggap sebagai masalah pribadi dan bukan sebagai
penyakit.
a) Faktor Pikiran
Orang yang selalu berfikir apa yang buruk nanti, padahal itu belum tentu dan
bahkan biasanya tidak akan terjadi namun mereka mengurung diri mereka di
bawah pengaruh ansietas atau kecemasan. ‘Dari pendekatan sosial, ansietas
dapat disebabkan karena frustasi, konflik, tekanan, krisis, ketakutan yang terus
menerus yang disebabkan oleh kesusahan dan kegagalan yang bertubi-tubi,
adanya kecenderungan-kecenderungan harga diri yang terhalang, represi
terhadap macam-macam masalah emosional, akan tetapi tidak bisa berlangsung
secara sempurna(incomplete repress), atau dorongan-dorongan seksual yang
tidak mendapat kepuasan dan terhambat, sehingga mengakibatkan banyak
konflik batin’ (Fatimah, 2009).
b) Faktor TFR
Tidak semua ansietas yang mungkin dialami muncul dari pikiran yang buruk
mengenai kemungkinan kelemahan-kelemahan pribadi atau kegagalan-
kegagalan yang terungkap secara luas. Namun bisa saja terjadi TFR atau
Toleransi Frustasi yang Rendah. Ide dasar dari TFR adalah sebagai berikut:
‘Hidup harus gampang dan berjalan sesuai dengan yang saya inginkan tanpa
terlalu banyak kesulitan atau kekesalan; dan jika itu tidak terjadi, adalah
mengerikan dan saya tidak tahan’. Jika memegang gagasan ini, maka kita
berada dalam ‘jebakan nyaman’. Variasi yang tipikal dari gagasan ini adalah,
“Saya harus merasa baik”, “Saya tidak boleh cemas”, Saya harus selalu sabar,
tenang, dan terkendali”. Jika kita menganut pikiran ini, sudah terbukti bahwa
kita akan mulai merasa tidak enak segera setelah memikirkan hal tersebut, dan
hampir dapat dipastikan bahwa serangan ansietas akan terjadi, bahkan kita
mencemaskan tentang keadaan cemas itu (Fatimah, 2009).
c) Faktor Lingkungan
Seorang anak yang ibunya menderita ansietas maka anaknya cenderung
meengalaminya pula, karena sang anak dapat mengenali dan merasakan apa
yang dialami oleh sang ibu dan tentunya mempengarahi prilaku dan cara
berpikir anak tersebut (Fatimah, 2009).
d) Faktor Biologis
Faktor biologis ansietas merupakan akibat dari reaksi syaraf otonom yang
berlebihan (tonus syaraf simpatis meningkat) dan terjadi pelepasan
katekholamine., sebagai contoh PMS atau Pre Menstrual Syndrome, disamping
dapat terjadi gangguan fisik ternyata PMS juga dapat memunculkan ansietas,
berupa gangguan mental seperti mudah tersinggung dan sensitif (Fatimah,
2009).
Dilihat dari aspek psikoanalisis kecemasan dapat terjadi akibat impuls-impuls
bawah sadar (seks, agresi, dan ancaman ) yang masuk ke alam sadar.
Mekanisme pertahanan jiwa yang tidak sepenuhnya berhasil dapat
menimbulkan kecemasan yang mengambang, displacement dapat
mengakibatkan reaksi fobia, reaksi formasi, dan undoing dapat mengakibatkan
gangguan obsesi kompulsif. Sedangkan ketidakberhasilan represi
mengakibatkan gangguan panik. Dari pendekatan sosial, ansietas dapat
disebabkan karena frustasi, konflik, tekanan atau krisis (Hidayat, 2007).
e) Faktor Psikologis
Sedangkan dari aspek psikoanalisis, ansietas dapat terjadi akibat impuls-impuls
bawah sadar (seks, agresi, dan ancaman) yang masuk ke alam sadar, atau
mekanisme pertahanan jiwa yang tidak sepenuhnya berhasil, dapat
menimbulkan ansietas yakni reaksi fobia (Fatimah, 2009).
f) Faktor Penyakit
Ansietas juga timbul sebagai efek sekunder dari suatu penyakit, misalnya pasien
yang menderita penyakit kanker ternyata juga sering menderita gangguan psikis
seperti depresi, ansietas dan gangguan lainnya, ketakutan pasien akan penyakit
yang dideritanya atau pun kesakitan fisik yang dialaminya dari suatu penyakit
itulah yang menjadi penyebab timbulnya ansietas (Fatimah, 2009).
g) Faktor Penyalahgunaan Obat
Penyalahgunaan atau penggunaan obat/zat tertentu yang berlebihan juga
merupakan salah satu penyebab utama ansietas. ”Seperti alkoholisme,
intoksikasi kafein, hipertiroidisme, dan feokromositoma harus disingkirkan
dalam mengatasi gejala ansietas ini” (Brust, 2007). Karena sebagian besar orang
akan berlari ke hal-hal tadi untuk menghadapi ansietas yang timbul pada
dirinya. Beberapa zat yang dapat menyebabkan ansietas anatara lain :
1. Anti kompulsan (Carbamazepine, ethosuximide)
2. Antihistamin
3. Antimicrobials (Cephalosporins, ofloxacin, aciclovir, isoniazid)
4. Bronchodilators (Theophyllines)
5. Digitalis (pada level toksik)
6. Oestrogen
7. Levodopa
8. Corticosteroids
9. Tiroksin
10. Non-steroidal anti-inflammatory drugs(Indomethacin)
(Fatimah, 2009).
Berbagai studi berupaya mencari hubungan antara gangguan psikiatrik (cemas)
dan penyalahgunaan zat. Itu terbukti antara keduanya ada hubungan yang kuat.
Mayoritas peneliti setuju bahwa penyalahgunaan zat lebih pada mengikuti
daripada mendahului onset gangguan psikiatrik (kecuali perilaku ). 60 – 80%
remaja penyalahguna zat memiliki beberapa psikopatologi yang lain. Lebih
kurang 20% remaja mengalami gangguan mental dan emosional yang
memungkinkan mereka terlibat inisiasi dan penyalahgunaan zat (Hidayat,
2007).
h) Faktor Keturunan
Ansietas juga dapat disebabkan karena adanya pengaruh faktor genetik dari
keluarga. Penelitian telah melaporkan bahwa duapertiga sampai tigaperempat
pasien yang terkena ansietas memiliki sekurang-kurangnya satu sanak saudara
derajat pertama dengan ansietas spesifik tipe spesifik yang sama (Brust, 2007).
Meskipun demikian masih banyak penyebab ansietas yang harus selalu dicari,
untuk itu diperlukan analisis yang lengkap seperti asal timbulnya gejala dan
matriks interpersonal dan social bermulanya gejala. Sama halnya dengan
mekanisme depresi yang kompleks, penyebab gangguan ini hingga kini juga
masih belum dapat ditentukan. Sejauh ini penyebabnya diduga berasal dari
faktor biologi (keturunan), penyakit (gangguan) neurologi, efek samping
pengobatan jangka panjang (pada reserpine atau beta blocker), penyalahgunaan
obat seperti amphetamine serta adanya penyakit kronis dan stress psikososial
(Fatimah, 2009).
Selain faktor-faktor di atas, ada beberapa faktor yang dikemukakan para ahli,
yaitu:
a) Faktor predisposisi
Teori yang dikembangkan untuk menjelaskan penyebab ansietas adalah :
1. Teori psikoanalitik
Menurut Sigmund Freud struktur kepribadian terdiri dari tiga elemen, yaitu id,
ego, dan superego. Id melambangkan dorongan insting dan impuls primitif.
Superego mencerminkan hati nurani seseorang dan dikendalikan oleh norma-
norma budaya seseorang, sedangkan ego atau aku digambarkan sebagai
mediator antara tuntutan dari id dan superego. Menurut teori psikoanalitik,
ansietas merupakan konflik emosional yang terjadi antara id dan superego, yang
berfungsi memperingatkan ego tentang sesuatu bahaya yang perlu diatasi
(Wahid, 2008).
1. Teori interpersonal
Ansietas terjadi dari ketakutan akan penolakan interpersonal. Hal ini juga
dihubungkan dengan trauma masa pertumbuhan seperti kehilangan, perpisahan
yang menyebabkan seseorang menjadi tidak berdaya. Individu yang mempunyai
harga diri rendah biasanya sangat mudah untuk mengalami ansietas yang berat
(Wahid, 2008).
1. Teori prilaku
Ansietas merupakan hasil frustasi dari segala sesuatu yang mengganggu
kemampuan seseorang untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Para ahli
prilaku menganggap ansietas merupakan sesuatu dorongan yang dipelajari
berdasarkan keinginan untuk menghindarkan rasa sakit. Teori ini meyakini
bahwa individu yang pada awal kehidupannya dihadapkan pada rasa takut
berlebihan akan menunjukkan kemungkinan ansietas berat pada kehidupan
masa dewasanya (Wahid, 2008).
1. Kajian keluarga
Kajian keluarga menunjukkan bahwa gangguan ansietas merupakan hal yang
biasa ditemui dalam suatu keluarga (Wahid, 2008).
1. Kajian biologis
Kajian biologis menunjukkan bahwa otak mengandung reseptor khusus untuk
benzodiazepin. Reseptor ini mungkin membantu mengatur ansietas. Selain itu
kesehatan umum seseorang mempunyai predisposisi terhadap ansietas. Ansietas
mungkin disertai dengan gangguan fisik dan selanjutnya menurunkan kapasitas
seseorang untuk mengatasi stressor (Wahid, 2008).
b) Faktor presipitasi
Faktor presipitasi ansietas dapat diklasifikasikan dalam dua jenis :
1. Ancaman terhadap integritas biologik
Merupakan ancaman terhadap kebutuhan dasar manusia, seperti kebutuhan akan
makanan, minuman, dan perumahan. Hal ini merupakan faktor umum penyebab
ansietas.
1. Ancaman terhadap rasa aman
Hal ini sulit digolongkan karena manusia unik. Ancaman keamanan diri
meliputi ; (1) tidak tercapainya harapan, (2) tidak terpenuhinya kebutuhan akan
status, (3) rasa bersalah atau pertentangan antara keyakinan diri dan prilaku, (4)
tidak mampu untuk mendapatkan penghargaan dari orang lain (Wahid, 2008).
c) Pengkajian pada ansietas juga dilakukan pada tiga aspek yaitu :
1. Aspek Fisiologis
Observasi status fisiologi klien dilakukan dengan mengidentifikasi respon
sistem saraf otonom, khususnya saraf simpatik. Klien dengan ansietas mungkin
terjadi peningkatan denyut jantung dan tekanan darah, susah bernafas, rasa
tercekik, mulut kering, rasa kembung pada perut dan nyeri, berkeringat pada
telapak tangan dan tremor. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan
peningkatan fungsi adrenal, peningkatan glukosa dan menurunnya fungsi
paratiroid, tingkat oksigen dan kalsium (Wahid, 2008).
1. Aspek kognitif
Pengkajian pada fungsi kognitif mungkin didapatkan : susah untuk
berkonsentrasi, menurunnya lapang persepsi, kurang perhatian terhadap hal
yang kecil atau susah untuk memfokuskan fikiran. Pada tingkat ansietas
ditentukan oleh luasnya gangguan pada fungsi kognitif (Wahid, 2008).
1. Aspek emosi atau prilaku
Gangguan pada aspek emosi atau prilaku antara lain : mudah tersinggung,
marah, menarik diri, merasa tidak berdaya, dan mudah menangis. Pengkajian
pada reaksi afektif didapatkan dari keluhan klien. Klien mungkin menceritakan
bahwa dirinya merasa gugup yang luar biasa, tegang, ketakutan, dan bingung
(Wahid, 2008).
Gejala-gejala Ansietas
Setiap orang mempunyai reaksi yang berbeda terhadap stres tergantung pada
kondisi masing-masing individu, beberapa simtom yang muncul tidaklah sama.
Kadang beberapa diantara simtom tersebut tidak berpengaruh berat pada
beberapa individu, lainnya sangat mengganggu. Gejala muncul biasanya
disebabkan interaksi dari aspek-aspek biopsikososial termasuk genetik dengan
beberapa situasi, stres atau trauma yang merupakan stressor munculnya gejala
ini. Di sistem saraf pusat beberapa mediator utama dari gejala ini adalah.
norepinephrine dan serotonin. Sebenarnya ansietas diperantarai oleh suatu
sistem kompleks yang melibatkan sistem limbic, thalamus, korteks frontal
secara anatomis dan norepinefrin, serotonin dan GABA pada sistem
neurokimia, yang mana hingga saat ini belum diketahui jelas bagaimana kerja
bagian-bagian tersebut menimbulkan ansietas (Ashadi, 2008).
Ansietas dan gangguannya dapat menampilkan diri dalam berbagai tanda dan
gejala fisik dan psikologik seperti gemetar, renjatan, rasa goyah, nyeri
punggung dan kepala, ketegangan otot, napas pendek, mudah lelah, sering
kaget, hiperaktivitas autonomik seperti wajah merah dan pucat, takikardi,
palpitasi, berkeringat, tangan rasa dingin, diare, mulut kering, sering kencing.
Rasa takut, sulit konsentrasi, insomnia, libido turun, rasa mengganjal di
tenggorok, rasa mual di perut dan sebagainya (Ashadi, 2008).
Beberapa teori membagi ansietas kedalam empat tingkat sesuai dengan rentang
respon ansietas yaitu :
1. Ansietas ringan
Ansietas ringan berhubungan dengan ketegangan akan kehidupan sehari-hari.
Pada tingkat ini lapang persepsi meningkat dan individu akan berhati-hati dan
waspada. Pada tingkat ini individu terdorong untuk belajar dan akan
menghasilkan pertumbuhan dan ktreativitas.
Respon Fisiologis
– Sesekali nafas pendek
– Nada dan tekanan darah naik
– Gejala ringan pada lambung
– Muka berkerut dan bibir bergetar
Respon Kognitif
– Mampu menerima rangsang yang kompleks
– Konsentrasi pada masalah
– Menyelesaikan masalah secara efektif
Respon Perilaku dan Emosi
– Tidak dapat duduk tenang
– Tremor halus pada tangan
– Suara kadang – kadang meninggi (Anonim2, 2009).
2. Ansietas sedang
Pada tingkat ini lapang persepsi terhadap lingkungan menurun. Individu lebih
memfokuskan pada hal yang penting saat itu dan mengesampingkan hal lain.
Respon fisiologik
– Sering nafas pendek
– Nadi dan tekanan darah naik
– Mulut kering
– Anorexia
– Diare / konstipasi
– Gelisah
Respon kognitif
– Lapang persepsi menyempit
– Rangsang luar tidak mampu diterima
– Berfokus pada apa yang menjadi perhatiannya
Respon perilaku dan emosi
– Gerakan tersentak – sentak / meremas tangan
– Bicara banyak dan lebih cepat
– Susah tidur
– Perasaan tidak aman (Anonim2, 2009).
3. Ansietas berat
Pada ansietas berat, lapang persepsi menjadi sangat menurun. Individu
cenderumng memikirkan hal yang kecil saja dan mengabaikan hal yang lain.
Individu tidak mampu berfikir berat lagi dan membutuhkan banyak pengarahan
(Wahid, 2008).
4. Ansietas panik
Pada tingkat ini individu sudah tidak dapat mengontrol diri lagi dan tidak dapat
melakukan apa-apa lagi walaupun sudah diberi pengarahan (Wahid, 2008).
Respon fisiologik
– Palpitasi
– Jantung berdenyut keras
– Berkeringat
– Gemetar/menggigil
– Sensasi sesak nafas
– Merasa tersedak
- Nyeri dada
- Mual,pusing, pening
Respon kognitif
– Merasa tidak nyata (derealisas)
– Merasa terasing pada diri sendiri (depersonalisasi)
– Takut kehilangan kendali (menjadi gila dan mati)
Respon perilaku dan emosi
– Parentesia (sensasi kebas/kesemutan)
– Merasa tidak tegap
– Perasaan tidak nyaman (Anonim2, 2009).
Stressor pencetus mungkin berasal dari sumber internal atau eksternal. Stressor
pencetus dapat dikelompokkan dalam dua kategori :
1. Ancaman terhadap integritas seseorang meliputi ketidak mampuan fisiologis
yang akan datang atau menurunnya kapasitas untuk melakukan aktifitas hidup
sehari– hari.
2. Ancaman terhadap sistem diri seseorang dapat membahayakan identitas, harga
diri dan fungsi sosial yang terintegrasi seseorang (Anonim2, 2009).

Antidepresan
Obat yang digunakan untuk pengobatan ansietas ialah sedatif atau obat-obatan
yang secara umum memiliki sifat yang sama dengan sedatif. Antiansietas yang
terutama ialah golongan benzodiazepin. Banyak golongan depresan SSP yang
lain telah digunakan untuk sedasi siang hari pada pengobatan ansietas, namun
penggunaannya saat ini telah ditinggalkan. Alasannya ialah obat-obat tersebut
antara lain golongan barbiturat dan memprobamat, lebih toksik pada takar lajak
(Defartik, 2007).
Antiansietas terbagi dua kelas: hipnosedatif dan sedatif otonomik. Hipnosedatif
dapat digunakan pada dosis yang lebih tinggi sebagai pil tidur dan dosis yang
lebih rendah untuk menghilangkan kecemasan. Semuanya dapat menyebabkan
ketergantungan. Obat yang lebih tua, kecuali benzodiazepin, dapat digunakan
untuk bunuh diri, lebih efektif sebagai antiansietas, dan bertahan lebih lama.
Efek terapi dapat berlanjut beberapa jam setelah dosis tunggal, yang membuat
obat ini berguna mengatasi gejala akibat penghentian konsumsi alkohol. Efek
samping terutama adalah sedasi dan lebih jarang berupa malkoordinasi dan atau
ataksia. Seperti penggunaan alkohol, dapat mengganggu proses mengemudi
kendaraan. Pada dosis rendah, hal ini tentunya bukanlah masalah. Kadang, obat
ini dapat menyebabkan pasien neurosis menjadi agresif dan cepat marah. Hal ini
hampir sama dengan efek penggunaan alkohol sekalipun pada praktisnya
dianggap tidak terlalu menimbulkan masalah (Mahmudin, 2000).
Sedatif otonomik lebih menyerupai antidepresan dan anti psikosis. Yang dapat
mengurangi kecemasan jika diberikan dengan dosis rendah. Obat ini
menyebabkan sedasi yang kurang menyenangkan dan sering menyebabkan
penurunan aktivitas. Efek otonomik seperti mulut kering lebih sering muncul
dan kadang kurang efektif dibandingkan dengan benzodiazepin (Mahmudin,
2000).
Keputusan untuk meresepkan suatu obat pada pasien dengan gangguan
kecemasan campuran anxietas dan depresi hams jarang dilakukan pada
kunjungan pertama. Karena sifat gangguan yang berlangsung lama, suatu
rencana pengobatan hares dengan cermat dijelaskan. Dua golongan obat utama
yang dipakai dalam pengobatan gangguan anxietas adalah Benzodiazepine dan
Non-Benzodiazepine, dengan Benzodiazepine sebagai pilihan utama (Ashadi,
2008).
Beberapa efek samping penggunaan obat antiansietas, yaitu:
- Sedative (rasa mengantuk, kewaspadaan menurun, kerja psikomotorik
menurun, dan kemampuan kognitif melemah)
- Rasa lemas dan cepat lelah
- Adiktif walaupun sifatnya lebih ringan dari narkotika. Ketergantungan obat
biasanya terjadi pada individu peminum alkohol, pengguna narkoba (maksimum
pemberian obat selama 3 bulan)
Penghentian obat secara mendadak memberikan gejala putus obat (rebound
phenomenon) seperti kegelisahan, keringat dingin, bingung, tremor, palpitasi
atau insomnia (Anonim1, 2009).
Golongan Benzodiazepin
Benzodiazepine (Diazepam). Benzodiazepin telah merupakan obat terpilih
untuk gangguan kecemasan umum. Benzodiazepin dapat diresepkan atas dasar
jika diperlukan, sehingga pasien menggunakan benzodiazepin kerja cepat jika
mereka merasakan kecemasan tertentu. Pendekatan alternatif adalah dengan
meresepkan benzodiazepin untuk suatu periode terbatas, selama mans
pendekatan terapetik psikososial diterapkan (Defartik, 2007).
Benzodiazepin yang dianjurkan sebagai antiantisietas ialah: klordiazepoksid,
diazepam, oksazepam, klorazepat, lorazepam, prazepam, alprazolam dan
halozepam. Sedangkan klorazepam dianjurkan untuk pengobatan panic
disorder (Defartik, 2007).
Contoh Antiansietas : Alprazolam, Diazepam, Clobazam, Lorazepam
a. Farmakodinamik. Klordiazepoksid dan diazepam merupakan prototip
derivat benzodiazepin yang digunakan secara meluas sebagai antiansietas.
b. Mekanisme kerja. Mekanisme kerja benzodiazepin merupakan potensial
inhibisi neuron dengan GABA sebagai mediatornya. Efek farmakodinamik
derivat benzodiazepin lebih luas daripada efek meprobamat dan barbiturat.
Klordiazepoksid tidak saja bekerja sentral, tetapi juga perifer pada susunan saraf
kolinergik, adrenergik dan triptaminergik (Defartik, 2007).
Klordiazepoksid lebih berguna untuk mengatasi sifat agresif hewan coba
(monyet) daripada penobarbital, meprobamat dan CPZ. Berbeda dengan CPZ,
klordiazepoksid dan diazepam bersifat nonselektif dalam menghambat respon
terkondisi. Setelah pemberian per oral, klordiazepoksid mencapai kadar
tertinggi dalam 8 jam dan tetap tinggi sampai 24 jam. Ekskresi klordiazepoksid
melalui ginjal lambat; setelah pemberian satu dosis, obat ini masih ditemukan
dalam urin beberapa hari (Defartik, 2007).
c. Efek Samping dan Kontraindikasi. Pada penggunaan dosis terapi jarang
menimbulkan kantuk; tetapi pada takar lajak benzodiazepin menimbulkan
depresi SSP. Efek samping akibat depresi susunan saraf pusat berupa kantuk
dan ataksia merupakan kelanjutan efek farmakodinamik obat-obat ini. Efek
antiansietas diazepam dapat diharapkan terjadi bila kadar dalam darah mencapai
300-400 ng/mL; pada kadar yang sama terjadi pula efek sedasi dan gangguan
psikomotor. Intoksikasi SSP yang menyeluruh terjadi pada kadar di atas 900-
1.000 ng/mL. Kadar terapi klordiazepoksid mendekati 750-1.000 ng/mL
(Defartik, 2007).
Peningkatan hostilitas dan iritabilitas dan mimpi-mimpi hidup (vivid dreams)
dan mengganggu kadang-kadang dikaitkan dengan pemberian benzodiazepin,
mungkin dengan kekecualian oksazepam. Hal yang ganjil adalah sesekali terjadi
peningkatan ansietas. Respon semacam ini rupa-rupanya terjadi pada pasien
yang merasa ketakutan dan terjadi penumpulan daya pikir akibat efek samping
sedasi antiansietas. Dapat ditambahkan bahwa salah satu penyebab yang paling
sering dari keadaan bingung yang reversibel pada orang-orang tua dalah
pemakaian yang berlebihan berbagai jenis sedatif, termasuk apa yang biasanya
disebut sebagai benzidiazepin “dosis kecil”. Efek yang unik adalah
perangsangan nafsu makan, yang mugkin ditimbulkan oleh derivat
benzodiazepin secara mental (Defartik, 2007).
Umumnya, toksisitas klinik benzodiazepin rendah. Bertambahnya berat badan,
yang mungkin disebabkan perbaikan nafsu makan terjdi pada beberapa pasien.
Banyak efek samping yang dilaporkan untuk obat ini tumpang tindih dengan
gejala ansietas, oleh karena itu perlu anamnesis yang cermat untuk mengetahui
apakah yang dilaporkan adalah benar sustu efek samping atau gejala ansietas.
Diantara reaksi toksik klordiazepoksid yang dijumpai adalah rash, mual, nyeri
kepala, gangguan fungsi seksual, vertigo, dan kepala rasa ringan.
Agranulositosis dan reaksi hepatik telah dilaporkan, namun jarang.
Ketidakteraturan menstruasi dilaporkan terjadi dan wanita yang sedang
menggunakan benzodiazepin dapat mengalami kegagalan ovulasi (Defartik,
2007).
Obat ini sering digunakan untuk percobaan bunuh diri oleh pasien dengan
mental yang labil, tetapi intoksikasi benzodiazepin biasanya tidak berat dan
tidak memerlukan terapi khusus. Beberapa kematian pernah dilaporkan dengan
dosis di atas 700 mg klordiazepoksid atau diazepam. Tidak jelas apakah hanya
karena obat ini, kombinasi dengan antidepresi lainnya atau kondisi tertentu
pasien. Derivat benzodiazepin sebaiknya jangan diberikan bersama alkohol,
barbiturat atau fenotfazin. Kombinasi ini mungkin menimbulkan efek depresi
yang berlebihan. Pada pasien gangguan pernafasan benzodiazepin dapat
memperberat gejala sesak nafas (Defartik, 2007)
d. Indikasi dan sediaan. Derivat benzodiazepin digunakan untuk
menimbulkan sedasi, menghilangkan rasa cemas dan keadaan psikosomatik
yang ada hubungan dengan rasa cemas. Selain sebagai ansietas, derivat
benzodiazepin digunakan juga sebagai hipnotik, antikonvulsi, pelemas otot dan
induksi anestesi umum. Sebagai ansietas, klordiazepoksid dapat diberikan
secara oral atau bila sangat diperlukan suntikkan, suntikan dapat diulang 2-4
jam dengan dosis 25-100 mg sehari dalam 2 atau 4 pemberian. Dosis diazepam
adalam 2-20 mg sehari; pemberian suntikan dapat diulang 3-4 jam. Klorazepat
diberikan sebagai oral 30 mg sehari dalam dosis terbagi. Klordiazepoksid
tersedia sebagai tablet 5 dan 10 mg. Diazepam berbentuk tablet 2 dan 5 mg.
Diazepam tersedia sebagai larutan untuk pemberian rektal pada anak dengan
kejang demam (Departik, 2007).
Untuk pengobatan kecemasan, biasanya memulai dengan obat pada rentang
rendah terapetiknya dan meningkatkan dosis untuk mencapai respon terapetik.
Pemakaian benzodiazepin dengan waktu paruh sedang (8 sampai 15 jam)
kemungkinan menghindari beberapa efek merugikan yang berhubungan dengan
penggunaan benzodiazepin dengan waktu paruh panjang. Pemakaian dosis
terbagi mencegah perkembangan efek merugikan yang berhubungan dengan
kadar plasma puncak yang tinggi. Perbaikan yang didapatkan dengan
benzodiazepin mungkin lebih dan sekedar efek antikecemasan. Sebagai
contohnya, obat dapat menyebabkan pasien memandang berbagai kejadian
dalam pandangan yang positif. Obat juga dapat memiliki kerja disinhibisi
ringah, serupa dengan yang dilihat setelah sejumlah kecil alkohol. Untuk
diazepam sediaan tab. 2-5mg, ampul 10 mg/2cc dosis anjuran l0-30mg/hari 2-
3xsehari, i.v./i.m 2-10mg /3-4 jam (Ashadi, 2008).
Non-Benzodiazepine (Buspiron)
Buspiron merupakan contoh dari golongan azaspirodekandion yang potensial
berguna dalam pengobatan ansietas. Semua golongan obat ini dikembangkan
sebagai antipsikosis. Buspiron memperlihatkan farmakodinamik yang berbeda
dengan benzodiazepine, yaitu tidak memperlihatkan aktivitas GABA-ergik dan
antikonvulsan, interaksi dengan antidepresi susunan saraf pusat minimal.
Buspiron merupakan antagonis selektif reseptor serotonin (5-HTIA); potensi
antagonis dopaminergiknya rendah, sehingga resiko menimbulkan efek samping
ekstrapiramidal pada dosis pengobatan ansietas kecil (Departik, 2007).
Studi klinik menunjukkan, buspiron merupakan ansietas efektif yang efek
sedatifnya relatif ringan. Diduga resiko timbulnya toleransi dan ketergantungan
juga kecil. Obat ini tidak efektif pada panic disorder. Efek antiansietas baru
timbul setelah 10-15 hari dan bukan antiansietas untuk penggunaan akut. Tidak
ada toleransi silang antara buspiron dengan benzodiazepin sehingga kedua obat
tidak dapat saling menggantikan (Departik, 2007).
Buspiron kemungkinan besar efektif pada 60 sampai 80 persen pasien dengan
gangguan cemas. Data menyatakan bahwa buspiron adalah lebih efektif dalam
menurunkan gejala kognitif dari gangguan kecemasan umum dibandingkan
dengan menurunkan gejala somatik. Bukti-bukti juga menyatakan bahwa pasien
yang sebelumnya telah diobati dengan benzodiazepin kemungkinan tidak
berespon dengan pengobatan buspiron. Tidak adanya respons tersebut mungkin
disebabkan oleh tidak adanya efek nonansiolitik dari benzodiazepin (seperti
relaksasi otot dan rasa kesehatan tambahan), yang terjadi pada terapi buspiron.
Namun demikian, rasio manfaat-risiko yang lebih balk, tidak adanya efek
kognitif dan psikomotor, dan tidak adanya gejala putus that menyebabkan
buspiron merupakan obat lini pertama dalam pengobatan gangguan kecemasan
umum. Kerugian utama dari buspiron adalah bahwa efeknya memerlukan dua
sampai tiga minggu sebelum terlihat, berbeda dengan efek ansiolitik
benzodiazepin yang hampir segera terlihat. Buspiron bukan merupakan terapi
efektif untuk putus benzodiazepin. Sediaan tab. 10mg dosis anjuran 3×25mg/h
(Ashadi, 2008).
Interaksi Obat Ansietas
Interaksi Obat pada Gelisah dan Cemas / Ansietas
1. Trankulansia (semua jenis) – Depresan lain
Trankulansia adalah depresan susunan saraf pusat. Obat akan menekan atau
mengganggu fungsi seperti koordinasi dan kewaspadaan. Penekanan yang
berlebihan dan gangguang fungsi dapat terjadi bila suatu trankulansia diberikan
bersamaan dengan depresan susunan saraf lainnya. Akibatnya : mengantuk,
pusing, hilang koordinasi otot dan kewaspadaan mental; dalam kasus berat
terjadi gangguan peredaran darah dan fungsi pernapasan yang menyebabkan
koma dan kematian (Harkness, 1989).
Kelompok depresan yang berinteraksi dengan trankulansia adalah
antikolinergik, antikonvulsan, antidepresan (jenis siklik), antihistamin,
antipsikotika, fenfluramin, antihipertensi, pelemas otot, narkotika, propoksifien,
sedative (Harkness, 1989).
2. Golongan benzodiazepin – Obat asma (golongan Teofilin)
Efek obat asma dapat berkurang. Obat asma digunakan untuk membuka jalan
udara di paru-paru dan untuk mempermudah pernapasan penderita asma,
sedangkan benzodiazepin melemaskan otot sehingga otot tidak dapat berfungsi
dengan baik. Akibatnya asma tidak sembuh sempurna (Harkness, 1989).
3. Benzodiazepin – pil KB
Efek pil KB dapat berkurang. Akibatnya : resiko hamil meningkat kecuali jika
digunakan cara kontrasepsi lain. Perdarahan sekonyong-konyong adalah gejala
kemungkinan terjadi interaksi. Efek beberapa trankulansia dapat meningkat
(klordiazepoksid, diazepam); efek trankulansi benzodiazepine lainnya dapat
berkurang (Harkness, 1989).
4. Benzodiazepin – simetidin (Tagamat)
Efek trankulansia dapat meningkat. Akibatnya timbul efek samping yang
merugikan karena terlalu banyak trankulansia. Gejalanya berupa sedasi
berlebihan, mengantuk, pusing, hilang koordinasi otot dan kewaspadaan mental;
pada kasus berat terjadi gangguan perdarahan dan fungsi pernapasan yang
menyebabkan koma dan kematian. Lorazepam dan oksazepam tidak
berinteraksi (Harkness, 1989).
5. Benzodiazepin – estrogen (hormone wanita)
Efek estrogen dapat meningkat. Estrogen digunakan untuk mengatasi
kekurangan estrogen selama haid dan sesudah histerektomi, untuk mencegah
pembengkakan payudara yang nyeri sesudah melahirkan karena ibu tidak
menyusui bayinya, dan untuk mengobati amenore. Akibatnya kondisi yang
sedang diobati mungkin tidak terobati dengan baik. Efek beberapa trankulansia
dapat meningkat (klordiazepoksid, diazepam); efek trankulansi benzodiazepine
lainnya dapat berkurang (Harkness, 1989).
6. Benzodiazepine – Levodopa
Efek levodopa dapat berkurang karena levodopa digunakan untuk mengobati
penyakit Parkinson (antikolinergik). Akibatnya kondisi yang dialami mungkin
tidak terkendali dengan baik. Interaksi yang terjadi hanyalah pada turunan
diazepam, tetapi benzodiazepine lainnya mungkin menunjukkan interaksi yang
sama (Harkness, 1989).
7. Benzodiazepin – Rifampin
Efek trankulansia dapat berkurang. Akibatnya kegelisahan dan kecemasan
mungkin tidak hilang sebagaimana yang diharapkan. Trankulansia turunan
lorazepam dan oksazepam mungkin tidak berinteraksi (Harkness, 1989).
8. Hidrokzin – Antikolinergika
Kombinasi ini menimbulkan efek samping antikolinergik yang berlebihan.
Akibatnya penglihatan kabur, mulut kering, sembelit, palpitasi jantung, bicara
tidak jelas, sulit kencing, rangsangan pada lambung, mungkin keracunan
psikosis (agitasi, nanar, meracau). Beberapa antikolinergik menimbulkan efek
samping yang berlebihan. Akibatnya mengantuk, pusing, hilang koordinasi otot
dan kewaspadaan mental; pada kasus berat terjadi gangguan perdarahan darah
dan fungsi pernapasan yang menyebabkan kematian dan koma (Harkness,
1989).
Interaksi obat turunan benzodiazepine
1. Diazepam
a. Peningkatan efek oleh obat – obat penekan SSP lain dan alcohol.
b. Eliminasi dihambat oleh cimetidin, dizulfiram, INH, kontrasepsi oral.
c. Eliminasi dipercepat oleh rifampicin dan obat penginduksi enzim lainnya.
2. Alprazolam
a. Peningkatan efek oleh obat – obat penekan SSP lain dan alcohol.
b. Eliminasi dihambat oleh cimetidin, dizulfiram, INH, kontrasepsi oral.
c. Eliminasi dipercepat oleh rifampicin dan obat penginduksi enzim lainnya.
3. Bromazepam
a. Peningkatan efek oleh obat – obat penekan SSP lain dan alcohol.
b. Eliminasi dihambat oleh cimetidin, dizulfiram, INH, kontrasepsi oral.
c. Eliminasi dipercepat oleh rifampicin dan obat penginduksi enzim lainnya.
4. Chlordiazepoksid
1. Peningkatan efek oleh obat – obat penekan SSP lain dan alcohol
2. Eliminasi dihambat oleh cimetidin, dizulfiram, INH, kontrasepsi oral.
3. Eliminasi dipercepat oleh rifampicin dan obat penginduksi enzim lainnya.
4. Kontrasepsi oral, alcohol, dan heparin menurunkan ikatan protein plasma pada
chlordiazepoksid.
5. Clonazepam
1. Peningkatan efek oleh obat – obat penekan SSP lain dan alcohol.
2. Eliminasi dihambat oleh cimetidin, dizulfiram, INH, kontrasepsi oral.
3. Eliminasi dipercepat oleh rifampicin, phenytoin, Phenobarbital, dan obat
penginduksi enzim lainnya.
6. Clorazepat
a. Peningkatan efek oleh obat – obat penekan SSP lain dan alcohol.
b.Pemberian bersama dengan antikonvulsi dan merokok mempercepat
eliminasi.
c. Pemberian bersama dengan antasida dan H2-Bloker menghambat reabsorbsi
d. Pemberian bersama dengan cimetidin dapan menghambat pemecahannya.
7. Flunitrazepam
a. Peningkatan efek oleh obat – obat penekan SSP lain dan alcohol.
b. Eliminasi dipercepat bila ada induksi enzim
8. Lorazepam
1. Peningkatan efek oleh obat – obat penekan SSP lain dan alcohol.
2. Eliminasi dipercepat dengan adanya induksi enzim.
3. Pada pemberian bersama dengan pyremethamin, dilaporkan terjadi tes fungsi
hati yang patologik.
9. Lormetazepam
a. Peningkatan efek oleh obat – obat penekan SSP lain dan alcohol.
b. Eliminasi dipercepat dengan adanya induksi enzim
10.Midazolam
a. Peningkatan efek oleh obat – obat penekan SSP lain dan alcohol.
b. Eliminasi dipercepat dengan adanya induksi enzim
11.Nitrazepam
a. Peningkatan efek oleh obat – obat penekan SSP lain dan alcohol.
b. Eliminasi dipercepat dengan adanya induksi enzim
12.Oxazepam
a. Peningkatan efek oleh obat – obat penekan SSP lain dan alcohol.
b. Eliminasi dipercepat dengan adanya induksi enzim
13.Temazepam
a. Peningkatan efek oleh obat – obat penekan SSP lain dan alcohol.
b. Eliminasi dipercepat dengan adanya induksi enzim
14.Triazolam
a. Peningkatan efek oleh obat – obat penekan SSP lain dan alcohol.
b. Eliminasi dipercepat dengan adanya induksi enzim
(Harkness, 1989).
Terapi Non farmakologi
Terapi pertama yang disarankan untuk penderita AD adalah dengan terapi non-
farmakologi (terapi tanpa menggunakan obat-obatan), pilihan terapi non-
farmakologi yang dapat dilakukan antara lain:
1. Supportive/ Dinamic Psycotherapy
Yaitu terapi berkomunikasi dengan pasien dengan memberikan perhatian
langsung terhadap pasien
2. Terapi kognitif
Pasien akan diajak memecahkan masalah-masalah menjadi beberapa bagian:
– Masalah sebagaimana orang melihatnya
– Pikiran seseorang mengenai masalah tersebut
– Emosi seseorang yang mengelilingi masalah tersebut
– Perasaan fisik seseorang pada saat itu
– Tindakan seseorang sebelum, selama, dan setelah masalah muncul
3. Terapi Behavioral
Konseling behavioral yang memfokuskan pada kegiatan (tindakan) yang
dilakukan pasien.
4. Relaxation Training
Meningkatkan pemahaman tentang variabilitas dan signifikasi klinis hasil
reduksi kecemasan

Anda mungkin juga menyukai