Anda di halaman 1dari 9

Tauhid yang Berkaitan dengan Af’alullah (Perbuatan-Perbuatan Allah)

4 Februari 2009 at 12:11 PM Hanafi Mohan 1 komentar

5 Votes

Menurut Muhammad Abduh, bahwa: “At-tauhid huwa wahdaniyatullah fi al-zat wa al-sifat


wa al-af’al wa al-‘ibadah wama siwazaalik”, artinya, “Tauhid itu adalah meng-esakan Allah
dalam zat, dalam sifat, dalam perbuatan, dalam ibadah, dalam pujian, dalam pemeliharaan,
dan dalam hal-hal lain.”

Perbuatan-perbuatan Allah adalah sesuatu yang unik, yang hanya itu saja, dan tidak ada
yang lain dapat menyamai apa yang dilakukan Allah. Artinya, perbuatan Allah adalah
sesuatu yang hanya dapat dilakukan Allah tanpa ada sesuatu lain yang dapat menyamai
ataupun menirukan apa yang dilakukan Allah Swt. Perbuatan-perbuatan Allah ini ditujukan
semuanya dalam rangka sifat Maha Rahman dan Maha Rahim yang tujuannya untuk
kebaikan makhluk-Nya, terutama untuk makhluk-Nya yang paling unggul, yaitu manusia.

Sehingga dengan demikian sebenarnya, apa yang dilakukan Allah Swt itu sesungguhnya
ditujukan untuk kebaikan manusia sendiri. Karena itulah, Allah Swt mengisyaratkan bahwa
apa yang dilakukan untuk manusia itu merupakan sesuatu yang pasti tujuannya untuk
kebaikan.

Pertama kali Allah menciptakan alam dan isinya, “fi khalqissamawaati wal ardh” (dalam
penciptaan langit-langit dan bumi), untuk apa itu? Yaitu untuk kebaikan kita. Allah
menciptakan bahwa di langit-langit itu atau di antara langit dan bumi terdapat ruang yang
berisi udara. Untuk apa itu? Semuanya untuk manusia pula. Dan karena itu pula, Allah
kemudian mengungkapkan, bahwa dalam rangka kebaikan itu, Allah telah menciptakan
manusia dalam bentuk yang terbaik pula. Sehingga diungkapkan dalam satu ayat yang
terdapat dalam Surat At-Tiin,

Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. (Q.S.
At-Tiin: 4)

Sehingga segala sesuatu yang diperbuat oleh Allah itu adalah mempunyai tujuan-tujuan
khusus. Ketika menciptakan kebaikan, Allah mempunyai tujuan. Demikian juga ketika ada
hal-hal yang ternyata itu merupakan sesuatu yang dinilai merugikan bagi manusia, tetapi
dalam hal-hal yang merugikan itu ada nilai-nilai positif yang dapat dijadikan sebagai sesuatu
yang bermanfaat bagi manusia.

Setiap Rasul mendapat anugerah mu’jizat yang dapat memberikan kenikmatan bagi
kaumnya. Nabi Isa mendapat mu’jizat pengobatan, sehingga dapat menolong sebagian
umatnya yang menderita penyakit yang ketika itu belum ada obatnya, dan nabi-nabi yang
lain pun juga mendapat mu’jizat yang kemudian dapat memberikan kenikmatan bagi
kaumnya (umatnya) ketika itu.

Lantas apakah anugerah Allah kepada Nabi Muhammad yang dapat memberikan nilai-nilai
positif atau kenikmatan-kenikmatan kepada umatnya seperti para nabi dan rasul yang
terdahulu yang mendapat anugerah mu’jizat sehingga dapat memberikan nilai-nilai positif
dan kenikmatan kepada umat-umatnya ketika itu?

Di dalam Surat Ali Imran ayat 190-191 disebutkan:

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang
terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (Q.S. Ali ‘Imraan: 190)

Siapakah ulil albab itu?

(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan
berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya
Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka
peliharalah kami dari siksa neraka. (Q.S. Ali ‘Imraan: 191)

Tampaknya di sini Allah telah memberikan perbandingan, bahwa umat-umat terdahulu


merupakan umat-umat yang keras, yang hanya mau percaya kalau mereka melihat sesuatu
yang diinformasikan itu secara nyata. Sampai-sampai ketika mereka dianjurkan untuk
beriman kepada Allah, jawaban mereka apa?

Lam nu’minalaka, hatta narallaha jahratan (Ya Musa, kami tidak akan beriman kepada apa
yang kamu informasikan, sampai kami melihat Allah yang merupakan Sang Khalik dapat kita
lihat secara nyata).

Sehingga pada ayat tadi sebetulnya adalah untuk teguran, bahwa umat Nabi Muhammad itu
secara budaya sudah lebih modern dibandingkan umat Nabi Musa. Sekarang kita ini secara
budaya dan secara ilmu pengetahuan, sudah lebih modern dibandingkan dengan para
sahabat. Tetapi, kemodernan akibat budaya, akibat kemajuan penalaran, mengapa masih
harus disertai dengan pemikiran umat masa lalu yang kalau sesuatu itu harus terlihat nyata
di depan kita.

Maka Allah menegur, sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, serta dalam
pergantian malam dan siang, itu sebetulnya sudah cukup sebagai tanda-tanda kekuasaan
Allah, sebagai tanda dan bukti bahwa Allah itu Wujud (ada), Allah itu Qadirun
(berkuasa/mampu melakukan segala sesuatu), tanpa harus ditunjukkan bahwa Allah itu
seperti ini dan seperti itu. Sehingga bukanlah cara yang terbaik untuk membuktikan bahwa
Allah itu ada, yaitu dengan meminta sesuatu yang nyata, walaupun itu memang mu’jizat.
Dalam bahasa aqidah, apa yang dianugerahkan kepada Nabi Musa, Nabi Isa, dan Nabi-nabi
terdahulu itu dinamakan “Mu’jizat Mu’aqqatah” (mu’jizat yang temporer), yang hanya
terjadi sekali dan tidak akan pernah terulang lagi. Sehingga, Nabi Musa memukulkan tongkat
maka laut terbelah menjadi jalan, itu takkan terulang lagi. Begitu juga ketika Nabi Musa
memukulkan tongkatnya pada batu dan batu itu memancarkan dua belas mata air, itu hanya
terjadi sekali dan takkan pernah terulang lagi.

Apakah Rasulullah Saw pernah mendapatkan mu’jizat mu’aqqatah? Pernah, yaitu ketika
dalam suatu peperangan, makanan habis, padahal ketika itu pasukan istirahat, perut lapar,
energi habis, maka kemudian Rasulullah bisa memperbanyak makanan yang sedikit. Tetapi
itupun hanya terjadi sekali.

Dengan seperti ini, apakah umat Rasulullah Saw (para sahabat ketika itu) hanya
menginginkan bukti yang hanya sekali saja, kemudian tidak dapat dinalar dan dibuktikan
kembali pada masa-masa yang akan datang. Maka kemudian Allah menegur, bahwa kalau
masih bersikap demikian (meminta bukti yang nyata berupa mu’jizat mu’aqqatah), maka
umat Rasulullah akan dikategorikan bukan termasuk “ulul albab”.

“albab” itu jamak dari “lubbun”, “lub” artinya intisari. Intisari dari manusia adalah akal dan
jiwanya. “ulul albab” adalah kelompok yang memiliki saripati kemanusiaan. Artinya yang
memiliki akal dan jiwa yang difungsikan. Sehingga kita-kita ini akan disebut sebagai orang
yang memiliki akal yang difungsikan, atau sebaliknya yaitu yang memiliki akal tapi tidak
difungsikan?

Pernah dikritik Allah, “lahum quluubun laa yafqahu nabiha” (mereka punya jiwa, punya hati,
punya akal, tapi tidak dipakai untuk memikirkan segala sesuatu. Mereka punya mata, tapi
tidak dipergunakan untuk melihat ciptaan Allah Yang Maha Sempurna. Mereka punya
telinga, tapi tidak dipergunakan untuk mendengar kebaikan-kebaikan yang disampaikan).

Sehingga kemudian Allah menegur, apakah kita (manusia) mau memilih mana antara “ulul
albab” atau orang-orang yang hanya puas dengan bukti sesaat. Kalau memilih “ulul albab”,
maka di situlah, “allazina yazkurunallah” yang selalu berzikir ingat kepada Allah kapan saja,
di mana saja, serta bagaimanapun keadaannya, selalu mengingat Allah.

Ketika kita ingat kepada Allah, apa implikasinya? Implikasinya adalah kita menjadi ingat
kepada ciptaan-Nya, Maha Kuasa-Nya, Maha Kebaikan-Nya. Sehingga ini akan mendorong
kita, kalau Allah Maha Baik, saya bisa tidak menjadi baik, kalau Allah Maha Pengampun, saya
bisa tidak mengampuni sesama. Ini akan mendorong kita untuk memiliki sifat-sifat yang ada
pada Allah. Sehingga nantinya akan, “Rabbana, maa khalaqta haaza baathila” (Ya Allah,
sungguh tidak sia-sia Engkau ciptakan sesuatu yang ada di dunia).

Sungguh tidak sia-sia Allah menciptakan segala sesuatunya di atas dunia ini. Bahkan
bencana alam sekalipun merupakan ciptaan Allah, yaitu ciptaan yang sesuai dengan
sunnatullah. Kalau begitu di mana letaknya kalau ciptaan ini memberikan kebaikan bagi
manusia? Dengan bencana alam, pada awalnya manusia memang mengalami banyak
kerugian, banyak yang mati, lingkungannya rusak dan sebagainya. Tapi dengan bencana
alam ini ternyata kemudian menimbulkan kesadaran, kepedulian dari sesama menyikapi
musibah yang menimpa saudaranya, sehingga tergerak untuk membantu. Inilah nilai
positifnya. Tidak ada hal yang sia-sia dari apa yang diciptakan oleh Allah di atas dunia ini,
meskipun bencana alam sekalipun.

Kalau kita menghayati semua ini, maka kita akan menemukan hikmah dan tujuan dari
penciptaan Allah tentang hal-hal yang kita temukan dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga
pasti pada akhirnya kita akan menemukan sesuatu yang memberikan nilai manfaat dan nilai
lebih bagi kehidupan kita.

Apakah tujuan Allah mengutus Nabi? Allah mengungkapkan, “Ketika Allah menciptakan
manusia dalam kondisi terbaik, maka di situ pula Allah kemudian tidak akan pernah
meninggalkan manusia dalam keterpurukannya.” Ketika manusia tersesat karena tidak lagi
dapat mengikuti ajaran-ajaran para Rasul terdahulu karena banyaknya polusi-polusi
kebudayaan serta noda-noda kemaksiatan yang mengotori akidah atau ajaran agama yang
disampaikan Rasul, sehingga umat cenderung untuk melakukan kemungkaran, maka Allah
tidak tinggal diam. Maka diutuslah para Nabi untuk mengingatkan lagi. Kemudian setelah
Sang Nabi wafat, tidak berapa lama kemudian digantikan dengan Nabi yang lain. Sehingga,
selalu ada Nabi yang menggantikan. Mengapa? Karena tujuannya adalah untuk
menghindarkan umat manusia dari kesesatan, dari kesalahan syari’at, serta dari kesalahan
ibadah.

Ketika Rasulullah ditetapkan sebagai Khatamun Nabiyyin (Nabi Yang Terakhir), apakah ini
berarti setelah Rasulullah Saw wafat, maka Allah kemudian akan meninggalkan manusia,
yang kemudian manusia akan hidup dalam keterpurukan dan kesesatan?

Namun Rasulullah kemudian menginformasikan:

Innallaha yursilu li kulli ummatin ‘ala ra’simiatin man yujaddidu laha diinaha (Sesungguhnya
Allah selalu akan mengirim pada setiap umat seseorang yang selalu akan memperbaharui
pemahaman agama yang sudah menyimpang, agar umat tadi terhindar dari kezaliman).

Sepeninggalan Rasulullah, maka muncullah mujaddid pertama di dalam Islam, yaitu Umar
bin Khattab (Khalifah Kedua dari Khulafaur Rasyidin). Apa jasa beliau sehingga dikenal
sebagai mujaddid pertama di dalam Islam yang mengingatkan umat? Jasa beliau adalah
untuk melestarikan Al-Qur’an, yaitu mengusulkan agar wahyu yang diterima Rasulullah
disatukan dalam satu jilid mushaf. Karena ketika itu, begitu Rasulullah wafat ternyata
sebagian Bangsa Arab ketika menyatakan memeluk Agama Islam lebih dikarenakan wibawa
Rasulullah atau lebih didorong karena akhlak Rasulullah. Dikhawatirkan sepeninggalan
Rasulullah, orang-orang yang memeluk Islam karena pengaruh wibawa Rasulullah itu akan
berbalik kepada kejahiliyahan. Semasa hidup Rasulullah, otoritas penetapan hukum berada
pada beliau selaku penerima wahyu. Sehingga sepeninggalan Rasulullah, tinggallah Al-
Qur’an sebagai pedoman hukum, selain juga Sunnah Rasulullah yang ketika itu juga belum
dikodifikasi (dibukukan), sama halnya dengan Al-Quran.

Dalam hal ini, Umar bin Khatthab memandang perlu dan pentingnya Al-Quran untuk segera
disatukan dalam satu jilid mushaf. Karena saat itu Al-Qur’an memang belum dibukukan,
melainkan pencatatannya masih tercerai berai dan lebih banyak mengandalkan catatan dan
hafalan para sahabat yang mencatat Al-Qur’an semasa hidupnya Rasulullah. Sedangkan saat
itu (masa kekhalifahan Abu Bakar Siddiq), banyak para sahabat penghafal Al-Qur’an yang
gugur di medan perang. Sehingga berkaitan dengan hal ini, maka ide Umar bin Khattab
untuk menyatukan Al-Qur’an dalam satu jilid mushaf dapat dikatakan sebagai ide
pembaharuan (tajdid). Umar bin Khatthab selaku tokoh tajdid (pembaharuan) itu dapatlah
dikatakan sebagai mujaddid (pembaharu).

Berkaitan dengan akhlak Rasulullah yang menjadi magnet tersendiri bagi syi’ar Agama Islam,
sehingga semasa hidupnya Rasulullah banyak Bangsa Arab yang masuk Islam karena akhlak
Rasulullah, bukan karena akidah yang ditawarkan. Maka sangat tepatlah ketika Rasulullah
menyatakan, “Innama bu’istimu li utammima makarimal akhlaq,” (Sesungguhnya Rasulullah
itu diutus untuk menyempurnakan akhlak).

Tentang kemuliaan akhlak Rasulullah ini, pernah terjadi ketika di Mekkah setiap kali
Rasulullah berangkat ke Ka’bah ketika itu untuk beribadah, yang saat itu wahyu untuk
melakukan perintah shalat lima waktu (shalat fardhu) belumlah diterima Rasulullah,
sehingga ibadah Rasulullah ketika itu hanya dilakukan dua kali, yaitu “bukratan wa ‘ashiila”,
yaitu pagi dan petang, yang mana ibadah seperti ini sudah dilakukan Rasulullah sejak beliau
menerima wahyu. Diceritakan bahwa setiap Rasulullah berangkat ke Ka’bah, di perempatan
jalan sudah menunggu seseorang. Begitu melihat Rasulullah, orang tersebut langsung
memaki-maki. Kadang-kadang makian tak mempan, maka diambilnya pasir lalu dilemparnya
ke arah Rasulullah. Tapi Rasulullah tak mempedulikan itu. Rasulullah hanya tersenyum saja
atas perlakuan orang tersebut. Sehingga orang tersebut semakin kesal saja.

Mengapakah orang tersebut kesal? Orang tersebut kesal, karena keinginannya ketika dia
memaki-maki Rasulullah, maka Rasulullah juga harus membalasnya dengan memaki-maki
ataupun marah. Karena kalau Rasulullah marah, maka dia (orang itu) mempunyai alasan
untuk melakukan perbuatan yang lebih dari itu. Namun Rasulullah hanya tersenyum saja
menanggapi itu semua.

Suatu saat ketika Rasulullah berangkat ke Ka’bah, ternyata orang yang biasanya memaki-
maki beliau tersebut tidak ada. Rasulullah pun heran, karena tak biasanya, dan Rasulullah
merasa ada sesuatu yang kurang dan janggal, karena biasanya disambut oleh sesuatu, tapi
saat itu tidak. Akhirnya Rasulullah melanjutkan perjalanan ke Ka’bah. Setelah dari Ka’bah,
Rasulullah pun bertanya-tanya, kemana gerangan orang yang biasanya memaki-maki dirinya
itu. Ternyata setelah diketahui, bahwa orang tersebut sedang sakit. Lalu Rasulullah bergegas
pulang, kemudian minta kepada istrinya (Khadijah) untuk membungkuskan makanan.
Dengan membawa makanan, Rasulullah pun langsung menjenguk orang tersebut ke
rumahnya.

Mengetahui bahwa yang datang adalah Rasulullah, orang tersebut semakin ketakutan, takut
kalau-kalau Rasulullah akan membalas perbuatannya. Rasulullah pun masuk ke rumah orang
tersebut. Ternyata ketakutan orang tersebut tak terbukti, karena Rasulullah datang
bukanlah untuk membalas dendam, melainkan untuk menjenguk orang tersebut yang
sedang sakit. Maka orang tersebut kemudian hilang rasa takutnya, malahan kemudian
muncul penghargaan dan rasa simpati terhadap Rasulullah, karena orang-orang di
sekitarnya belum ada yang peduli kalau dia sedang sakit. Tapi ini, orang yang selama ini
dimusuhinyalah (yaitu Rasulullah) yang peduli dan menjenguknya yang sedang sakit. Ketika
Rasulullah akan pamit pulang dan mau keluar dari rumah orang tersebut, tiba-tiba orang
tersebut memanggil: “Ya Muhammad, aslamtu bima da’awtani”, ya Muhammad, saya
menyatakan keislaman saya terhadap apa yang engkau dakwahkan kepada kami.

Islamnya orang tersebut karena apa? Bukan karena keyakinan bahwa yang didakwahkan
Rasulullah itu benar, bukan karena mempercayai bahwa yang didakwahkan Rasulullah itu
datang dari Allah. Tetapi lebih dikarenakan akhlak mulia Rasulullah.

Manusia, karena secara fitrah mempunyai potensi fujur (kekuatan yang selalu mengajak
kepada keburukan), maka pasti tidak ada satupun manusia yang terhindar dari keinginan
untuk melakukan keburukan. Sehingga berbuat buruk itu konon sudah menjadi sifat dasar
manusia. Namun di sinilah, ketika kita melakukan keburukan, hendaknya segera sadar
bahwa itu salah. Bagaimana memperbaikinya? Ikutilah perbuatan buruk tadi dengan
perbuatan baik yang dapat menghapus, yang dapat menjadi kompensasi dari perbuatan
buruk tadi. Oleh karena itulah, kita selalu dianjurkan untuk melakukan kebaikan-kebaikan.
Karena kebaikan itulah yang sesuai dengan tujuan Allah dalam penciptaannya, yaitu
penciptaan itu adalah untuk kebaikan.

Ketika menganjurkan umat, maka ungkapannya adalah: wal takum minkum ummatun,
yaf’uuna ila khairi “hendaknya di antara kamu ada sekelompok orang yang mau mengajak
kebaikan,” bukan mengajak kepada keimanan terlebih dahulu. Wa ya’muruna bil ma’ruf wa
yanhaw ‘anil munkar, setelah mengajak kepada kebaikan, baru kemudian mengajak kepada
ajaran syari’ah. Dan itu ternyata sesuai dengan misi pengutusan Allah terhadap Rasul-Nya, li
utammima makarimal akhlaq. Kemudian ungkapan tadi dilanjutkan, wa ahsin kama
ahsanallahu ilaika, “dan berbuatlah yang terbaik, sebagaimana Allah telah melakukan yang
terbaik bagi kita (bagi manusia)”. Pada yang pertama adalah perintah yang baik, maka
perintah selanjutnya adalah berbuat yang terbaik, sebagaimana Allah telah melakukan yang
terbaik bagi manusia. Jadi, semua yang dilakukan Allah terhadap manusia adalah segala
sesuatu yang terbaik.
Bandingkan dengan apa yang dilakukan manusia. Kalau kita (manusia) melakukan suatu
kegiatan, seringkali semampunya saja. Padahal ketika melakukan sesuatu, kadang kita
mengeluarkan tenaga, mungkin juga berfikir bagaimana melaksanakannya, mungkin juga
harus mengeluarkan uang. Namun karena di dalam hati niat melakukannya itu seenaknya,
maka hasil yang dicapaipun menjadi seenaknya. Berbeda ketika kita melakukan pekerjaan
dengan niat untuk mencari hasil yang terbaik, sama-sama mengeluarkan tenaga, biaya, dan
penalaran, namun karena dilandasi dengan niat untuk mencapai yang terbaik (ahsin), maka
hasilnyapun menjadi yang terbaik.

Manusia selalu ingin karyanya dihargai. Kalau itu yang diinginkan, tampaknya kita perlu
bersikap seperti yang dilakukan Allah, bahwa segala sesuatu yang diciptakan oleh Allah pasti
ada manfaatnya, pasti membawa sesuatu yang berfaedah bagi makhluk-Nya. Mengapa bagi
makhluk-Nya? Karena Allah tidak memerlukan sesuatu, Allah tidak memerlukan apa-apa.
Yang dilakukan Allah adalah untuk kepentingan makhluk-Nya, terutama manusia. Sehingga,
ketika kita menghayati Keesaan Allah dalam penciptaan, maka hanya Allah yang dapat
melakukan segala sesuatu dengan tanpa sia-sia. Rabbana maa khalaqta haaza baathila,
maksudnya adalah bahwa apapun yang dilakukan Allah, apapun yang yang diciptakan oleh
Allah, pasti akan memberikan nilai tambah bagi manusia. Ini keesaan Allah. Dan kewajiban
kita adalah meniru apa yang dilakukan oleh Allah. Yang pasti kita tidak dapat menyamai-
Nya, walam ya kullahu kufuwan ahad (tidak ada satupun yang dapat menyamai Allah-dalam
segala halnya), namun yang dapat kita lakukan hanyalah meniru-Nya. Kalau Allah
menciptakan sesuatu adalah selalu memiliki manfaat dan tujuan, kitapun bisa melakukan itu
apabila disertai keinginan untuk melakukan dengan yang terbaik, karena sesuatu yang
terbaik akan memberikan manfaat.

Dalam bahasa teologinya disebut bahwa pengiriman Rasul itu merupakan


“nazhariyatusshalah wal ashlah” yang artinya “teori kebaikan dan yang terbaik”, maksudnya
adalah bahwa yang dilakukan oleh Allah kepada makhluk-Nya itu adalah sesuatu yang baik
dan terbaik. Sehingga setiap makhluk mesti diberi sarana untuk menjadikan dirinya baik dan
terbaik. Makhluk yang lemah dan tak memiliki pertahanan diri yang dapat diandalkan
ternyata diberi kemampuan lain. Misalnya, kijang tidak mempunyai pertahanan diri, tapi dia
diberi kemampuan bisa lari cepat. Ini adalah untuk kebaikan makhluk itu sendiri. Cumi-cumi
tidak dapat menentang predator (hewan pemangsa), maka dia diberi kemampuan bisa
mengeluarkan cairan hitam yang bisa membuat gelap, sehingga dia bisa menyelamatkan
diri.

Manusiapun begitu. Bahkan kelengkapan dan kebaikan yang diberikan oleh Allah kepada
manusia adalah merupakan sesuatu yang komprehensif (menyeluruh), dari tangan, kaki,
akal , pendengaran, penciuman, dan sebagainya, yang semuanya bisa dimanfaatkan untuk
kebaikan manusia.

Maa khalaqta haaza bathila, untuk apa penciptaan Allah yang luar biasa itu? Semuanya
adalah ditujukan untuk manusia. Sehingga kita layak menyikapi apa yang ada di sekitar kita,
bahwa itu semua adalah ciptaan Allah yang harus kita hayati, kita sikapi, dan kita respon
dengan bijaksana. Sehingga kita tidak terlanjur menyikapi dengan sembrono, yang pada
akhirnya dapat menyebabkan sesuatu yang salah.

Pada saat Rasulullah telah dipastikan sebagai insan pilihan, sebagai manusia yang selalu
berjalan dalam kebenaran, mendapat wahyu yang berasal dari Allah, itupun beliau tidak
boleh sembarangan. Surat Yaasin mengungkapkan:

Yaasin, wal quranil hakim (Yaasin, Demi Qur’an yang penuh dengan ajaran-ajaran dengan
kebijaksanaan).

Innaka laminal mursalin (Sesungguhnya engkau ya Muhammad adalah benar-benar dari


kelompok yang dipilih Tuhan menjadi Rasul (yang diutus)).

‘Ala shiratal mustaqim (Yang pasti berada pada jalan yang benar).

Tanziilal ‘azizirrahim (Yang mendapat wahyu turun dari Allah).

Walaupun sebagai seorang Rasul, tapi tidak boleh berdakwah semaunya. Bagaimana
berdakwah? Seperti yang ada di dalam Al-Qur’an, yaitu “hakim”, “hikmah”, kebijaksanaan.
Ada ungkapan, qulil haqqa walaukaana murran (katakanlah yang benar walaupun itu pahit).
Tapi menurut Al-Qur’an tidak begitu. Kalau Al-Qur’an ajarannya adalah seperti yang
tersebut pada Surat Al-Baqarah: “wakuulu linnaasi husna”, artinya: “berbicaralah pada
manusia-manusia (orang-orang di sekitarmu) dengan cara yang terbaik,” maksudnya adalah
menyampaikan sesuatu kebenaran dengan nuansa kebaikan. Kalau ingin mengatakan yang
benar, bagaimana ungkapan yang benar tersebut dapat diinformasikan dengan cara yang
baik dan benar pula, sehingga tidak menyakitkan. Karena kalau “qulil haqqa walaukaana
murran” (katakanlah yang benar walaupun itu menyakitkan). Tapi kalau dalam Al-Qur’an
tidak seperti itu. Sebab kalau sesuatu yang benar disampaikan dengan cara yang keras,
maka orang-orang akan lari. Ayat Al-Qur’an juga mengisyaratkan itu: “fabima rahmatin min
rabbika lintalahum walau kunta fardhan ghalizal qalbi lan fazlu min haulik” (maka dengan
rahmat Allah, anugerah Allah, yang dikaruniakan kepadamu, hendaknya kamu bersikap
lemah-lembut, walaupun yang kamu sampaikan itu benar tapi kalau menyampaikannya
dengan cara yang keras dan kaku, maka orang-orang akan lari.

Apa saja yang diciptakan Allah ternyata untuk kebaikan manusia. Walaupun apa yang
dilakukan Allah itu benar dan bermanfaat, tapi apabila tidak disikapi secara bijak, justru akan
menyebabkan munculnya kebencian.

Mungkin ada di antara umat Islam yang kurang memperhatikan ini, sehingga kalau
menyampaikan kebenaran justru menimbulkan kebencian orang lain. Maka mungkin kita
harus menyikapi dengan: “fabima rahmatin min rabbika lintalahum”, bersikap lemah-
lembut. Jika mengajak kepada kebaikan dan memberantas kemungkaran, bagaimana
melaksanakan sesuai dengan petunjuk Allah, yaitu dengan cara yang lembut, sehingga tidak
menimbulkan kebencian.

Wal qur’anil hakim (demi Al-Qur’an yang di dalamnya penuh dengan ajaran-ajaran yang
bijaksana).

Ternyata Al-Qur’an itu ajarannya penuh dengan kebijakan-kebijakan. Sehingga sebenarnya


itulah tujuan Allah menciptakan hal-hal yang ada di sekitar kita. Itulah tujuan Allah dalam
mewahyukan Al-Qur’an kepada Rasul-Nya, yang kemudian menjadi imaman (pedoman), wa
nuuran, wa hudan, wa rahmah. Dan yang jangan dilupakan adalah “wa rahmah” (dan
rahmat), maksudnya adalah bahwa Al-Qur’an itu dapat menjadi hal-hal yang menimbulkan
kasih sayang. Dari kata “rahmat” muncul Ar-Rahman Ar-Rahim yang artinya kasih sayang.

Sehingga apa yang dilakukan Allah Swt betul-betul merupakan keesaan-Nya, yang semuanya
ditujukan untuk membangkitkan kebaikan-kebaikan, kasih sayang-kasih sayang di antara
kita sesama makhluk-Nya. Apabila ini dapat kita hayati, maka pasti akan menimbulkan
dorongan pada diri kita. Mengapa saya tidak melakukan yang terbaik, kalau yang burukpun
memerlukan tenaga, sama-sama lelahnya. Karena itu, mungkin seperti Allah Swt yang tidak
pernah membenci makhluk-Nya, walaupun makhluk-Nya ingkar, tapi Allah selalu membuka
pintu taubat, karena menginginkan kebaikan bagi makhluk-Nya.

Inilah keesaan Allah dalam perbuatan-Nya. Atau “at-tauhiid fi af’al”. []

Disarikan dari Pengajian Tauhid yang disampaikan oleh Prof. Dr. H. Hamdani Anwar, M.A.
pada tanggal 12 Juni 2007 di Masjid Agung Sunda Kelapa-Jakarta. Transkriptor: Hanafi
Mohan.

Anda mungkin juga menyukai