Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH GERONTIK

ASUHAN KEPERAWATAN LANSIA DENGAN RISIKO JATUH

Disusun Oleh:
1. Dian Susilawati (P2782071616)
2. Hisni Suhaila (P2782071617)
3. Aliyfia Syahadah (P2782071624)
4. M. Insan Dzaky (P2782071626)
5. Arikhah Nafsiyah (P2782071636)
6. Vika Fatimah S. (P2782071640)

PROGRAM STUDI D IV KEPERAWATAN GAWAT DARURAT


JURUSAN KEPERAWATAN
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTRIAN KESEHATAN SURABAYA
TAHUN AKADEMIK 2017/2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun panjatkan ke hadirat Allah SWT., karena berkat rahmatNya
kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Asuhan Keperawatan Lansia
dengan Risiko Jatuh”. Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah
Keperawatan Gerontik.

Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Makalah ini masih
jauh dari sempurna, oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun
sangat kami harapkan demi sempurnanya makalah ini.

Semoga makalah ini memberikan informasi bagi masyarakat dan bermanfaat


untuk pengembangan wawasan dan peningkatan ilmu pengetahuan bagi kita
semua.

Surabaya, 13 April 2018

Penyusun
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i


KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................1
1.1 Daftar Pustaka ................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah ..........................................................................................2
1.3 Tujuan Penulisan ............................................................................................2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................3
2.1 Risiko Jatuh ....................................................................................................3
2.1.1 Pengertian ................................................................................................3
2.1.2 Faktor yang Mempengaruhi Risiko Jatuh ................................................3
2.1.3 Dampak Jatuh pada Lansia ....................................................................11
2.1.4 Pencegahan Jatuh pada Lansia ...............................................................12
2.1.5 Latihan Otago Home Exercise Programmed dan Balance Strategy
Exercise ..........................................................................................................13
2.2 Mekanisme Penurunan Risiko Jatuh Setelah Latihan ..................................14
BAB III TINJAUAN KASUS ..................................................................................
Type chapter title (level 2) .....................................................................................
Type chapter title (level 3) ..................................................................................
BAB IV PENUTUP ..................................................................................................
3.1 Kesimpulan .......................................................................................................
3.2 Saran .................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Lanjut usia adalah fase menurunnya kemampuan akal dan fisik, yang dimulai
dengan adanya beberapa perubahan dalam hidup. Sebagaimana diketahui,
ketika manusia mencapai usia dewasa, ia mempunyai kemampuan reproduksi
dn melahirkan anak. Ketika kondisi hidup berubah, seseorang akan
kehilangan tugas dan fungsi ini, dan memasuki selanjutnya, yaitu usia lanjut
kemudian mati. Bagi manusia yang normal, siapa orangnya, tentu telah siap
menerima keadaan baru dalam setiap fase hidupnya dan mencoba
menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungannya (Darmojo, 2009).
Jatuh merupakan masalah fisik yang sering terjadi pada lansia, dengan
bertambahnya usia kondisi fisik, mental, dan fungsi tubuh pun menurun.
Jatuh dan kecelakaan pada lansia merupakan penyebab kecacatan yang
utama. Jatuh adalah kejadian secara tiba-tiba dan tidak sengaja yang
mengakibatkan seseorang mendadak terbaring atau terduduk di lantai
(Maryam, 2008).
Berdasarkan penduduk lansia di Indonesia pada tahun 2020 mendatang sudah
mencapai angka 11,4% atau tercatat sekitar 28,8 juta orang yang
menyebabkan jumlah penduduk lansia terbesar di dunia (BPS, 2007). Insiden
jatuh di Indonesia tercatat dari 115 penghuni panti sebanyak 30 lansia atau
sekitar 43,47% mengalami jatuh. Kejadian jatuh pada lansia dipengaruhi oleh
beberapa faktor intrinsik maupun ekstrinsik (Darmojo, 2009).
Faktor risiko jatuh meliputi faktor intrinsik dan ekstrinsik, faktor intrinsik
antara lain sistem saraf pusat, demensia, gangguan sistem sensorik, gangguan
sistem kardiovaskuler, gangguan metabolisme, dan gangguan gaya berjalan.
Faktor ekstrinsik meliputi lingkungan, aktifitas, dan obat-obatan, selama
proses menua, lansia mempunyai konsekuensi untuk jatuh salah satu masalah
kesehatan yang sering terjadi pada lansia adalah instabilitas yaitu berdiri dan
berjalan tidak stabil atau mudah jatuh. Jatuh dianggap sebagai konsekuensi
alami tetapi jatuh bukan merupakan bagian normal dari proses penuaan
(Stanley, 2006).
Upaya pencegahan perlu dilakukan untuk meminimalisir kejadian jatuh pada
lansia. Pencegahan yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya jatuh
pada lansia, mengidentifikasi faktor risiko dilakukan untuk mencari adanya
faktor intrinsik risiko jatuh, keadaan lingkungan rumah yang berbahaya yang
dapat menyebabkan jatuh harus dihilangkan. Penilaian keseimbangan dan
gaya berjalan dilakukan untuk berpindah tempat dan pindah posisi, penilaian
postural sangat diperlukan untuk mengurangi faktor penyebab terjadinya
risiko jatuh, serta mengatur atau mengatasi fraktur situasional dapat dicegah
dengan melakukan pemeriksaan rutin kesehatan lansia secara periodic
(Maryam, 2008).
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis membuat makalah yang berjudul
“Asuhan Keperawatan Lansia dengan Risiko Jatuh”.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa pengertian dari risiko jatuh?
2. Apa saja faktor yang mempengaruhi risiko jatuh?
3. Apa saja dampak jatuh pada lansia?
4. Bagaimana pencegahan jatuh pada lansia?
5. Apa yang dimaksud dengan latihan Otago Home Exercise Programmed
dan Balance Strategy Exercise?
6. Bagaimana mekanisme penurunan risiko jatuh setelah latihan?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Untuk mengetahui pengertian dari risiko jatuh.
2. Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi risiko jatuh.
3. Untuk mengetahui dampak jatuh pada lansia.
4. Untuk mengetahui pencegahan jatuh pada lansia.
5. Untuk mengetahui latihan Otago Home Exercise Programmed dan
Balance Strategy Exercise.
6. Untuk mengetahui mekanisme penurunan risiko jatuh setelah latihan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Risiko Jatuh


2.1.1 Pengertian
Risiko jatuh (risk for fall) merupakan diagnosa keperawatan
berdasarkan North American Nursing Diagnosis Association
(NANDA), yang didefinisikan sebagai peningkatan kemungkinan
terjadinya jatuh yang dapat menyebabkan cedera fisik (Wilkinson,
2005).
Jatuh merupakan suatu kondisi dimana seseorang tidak sengaja
tergeletak di lantai, tanah atau tempat yang lebih rendah, hal tersebut
tidak termasuk orang yang sengaja berpindah posisi ketika tidur (WHO,
2007).
2.1.2 Faktor yang Mempengaruhi Risiko Jatuh
1) Faktor Intrinsik
a) Usia
Usia mempengaruhi risiko jatuh dari seseorang, dimana usia atau
umur erat kaitannya dengan proses pertumbuhan dan proses
penuaan. Pada lansia yang telah mengalami proses penuaan,
terjadi penurunan fisiologis pada tubuhnya, dan proses penuaan
tersebut berlangsung secara terus menerus.
Proses penuaan menyebabkan terjadinya perubahan fisiologis
pada lansia. Perubahan fisiologis yang terjadi pada sistem
muskuloskeletal, saraf, kardio-vaskuler-respirasi, indra dan
integumen.
1. Sistem Muskuloskeletal
a. Jaringan Penghubung (kolagen dan elastin)
Kolagen sebagai protein pendukung utama pada kulit,
tendon, tulang, kartilago dan jaringan pengikat mengalami
perubahan dan penurunan hubungan tarikan linear sehingga
terjadi penurunan mobilitas pada jaringan tubuh karena
penuaan. Penuaan menyebabkan perubahan kualitatif dan
kuantitatif pada kolagen sehingga terjadi penurunan daya
mekanik, daya elastik dan timbul kekakuan (Timiras &
Navazio, 2008). Perubahan pada kolagen itu merupakan
penyebab turunnya fleksibilitas pada lansia sehingga
menimbulkan dampak berupa nyeri, penurunan kekuatan
otot dan penurunan kemampuan bergerak dari duduk ke
berdiri, jongkok dan berjalan, serta terjadi hambatan dalam
melakukan aktivitas setiap hari (Lewis & Bernstein, 1996).
Dimana hambatan tersebut dapat mempengaruhi aktivitas
sehari – hari pada lansia.
b. Kartilago
Karena penuaan jaringan kartilago pada persendian menjadi
lunak dan akhirnya menjadi rata, sehingga kemampuan
kartilago untuk regenerasi berkurang dan degenerasi yang
terjadi cenderung ke arah progesif. Proteoglikan yang
merupakan komponen dasar matriks kartilago berkurang
atau hilang secara bertahap. Kartilago di persendian
mengalami kalsifikasi, sehingga fungsinya sebagai peredam
kejut dan permukaan sendi yang berpelumas menurun,
sehingga kartilago pada persendian rentan terhadap
gesekan. Perubahan tersebut sering terjadi pada sendi besar
penumpu berat badan. Akibat perubahan tersebut sendi
mudah mengalami peradangan, kekakuan, nyeri,
keterbatasan gerak dan terganggunya aktivitas setiap hari
(Sri Surini & Utomo, 2002).
c. Tulang
Secara fisiologis penuaan berdampak pada menurunnya
kepadatan tulang. Trabecula longitudinal menjadi tipis dan
trabekula transversal terabsorbsi kembali, sehingga jumlah
spongiosa berkurang dan tulang kompakta menjadi tipis.
Perubahan yang lain berupa penurunan estrogen sehingga
produksi osteoklast tidak terkendali, penurunan penyerapan
kalsium di usus, peningkatan kanal Haversi sehingga tulang
keropos. Berkurangnya jaringan dan ukuran tulang secara
keseluruhannya menyebabkan kekakuan dan penurunan
kekuatan tulang sehingga berdampak munculnya
osteoporosis yang selanjutnya dapat mengakibatkan nyeri,
deformitas dan fraktur (Timiras & Navazio, 2008). Kondisi
tersebut dapat membatasi kemampuan dari lansia dan
menyebabkan lansia mengalami gangguan dalam aktivitas
fisiknya sehari-hari.
d. Otot
Perubahan struktur otot karena penuaan bervariasi pada
masing – masing orang. Perubahan tersebut meliputi
penurunan jumlah dan ukuran serabut otot, atropi pada
beberapa serabut otot dan hipertropi pada beberapa serabut
otot yang lain, peningkatan jaringan lemak dan jaringan
penghubung dan lain-lain mengakibatkan efek negatif. Efek
tersebut adalah penurunan kekuatan, otot penurunan
fleksibilitas otot, perlambatan waktu reaksi dan penurunan
kemampuan fungsional (Bonder & Wagner, 1994).
e. Sendi
Jaringan ikat disekitar sendi seperti tendon, ligamen dan
fasia pada lansia mengalami penurunan elastisitas.
Ligamen, kartilago dan jaringan partikular mengalami
penurunan daya lentur dan elastisitas. Terjadi degenerasi,
erosi dan kalsifikasi pada kartilago dan kapsul sendi
sehingga sendi kehilangan fleksibilitasnya yang berdampak
pada penurunan luas gerak sendi dan menimbulkan
kekakuan sendi.
2. Sistem Saraf
Penuaan menyebabkan penurunan persepsi sensorik dan
respons motorik pada susunan saraf pusat dan penurunan
reseptor proprioseptif, hal ini menyebabkan terjadinya
gangguan koordinasi dan kemampuan dalam beraktivitas pada
lansia. Hal ini terjadi karena susunan saraf pusat pada lansia
mengalami perubahan morfologis dan biokimia. Akson,
dendrit dan badan sel saraf banyak yang mengalami kematian,
sedangkan yang hidup mengalami perubahan. Dendrit yang
berfungsi untuk komunikasi antar sel saraf mengalami
perubahan menjadi lebih tipis dan kehilangan hubungan
dengan sel saraf lain. Daya hantar saraf mengalami penurunan
10 % sehingga gerakan menjadi lamban. Akson dalam medula
spinalis menurun 37 % (Timiras & Maletta, 2008). Kondisi
tersebut mengakibatkan penurunan fungsi kognitif, koordinasi,
keseimbangan, kekuatan otot, refleksi, proprioseptif,
perubahan postur dan peningkatan waktu reaksi. Hal ini dapat
dicegah dengan pemberian latihan koordinasi dan
keseimbangan serta latihan untuk menjaga mobilitas dan
postur (Sri Surini & Utomo, 2002). Latihan untuk menjaga dan
mengoptimalkan kebugaran lansia juga harus diberikan untuk
memaksimalkan kondisi sistem saraf lansia.
3. Sistem Kardiovaskuler
Massa jantung bertambah, ventrikel kiri mengalami
hipertrofi dan kemampuan peregangan jantung berkurang
karena perubahan pada jaringan ikat katup jantung mengalami
fibrosis. Sinoatrial node (SA node) dan jaringan konduksi
berubah menjadi jaringan ikat. Kemampuan arteri dalam
menjalankan fungsinya berkurang sampai 50%. Pembuluh
darah kapiler mengalami penurunan elastisitas dan
permeabilitas. Terjadi perubahan fungsional berupa kenaikan
tahanan vaskular sehingga menyebabkan peningkatan takanan
sistole dan penurunan perfusi jaringan (Timiras & Navazio,
2008). Curah jantung (cardiac output) menurun akibat
penurunan denyut jantung maksimal dan volume sekuncup.
Respon vasokontriksi untuk mencegah terjadinya penumpukan
darah (poling of bload) menurun, sehingga respon terhadap
hipoksia menjadi lambat. Konsumsi oksigen pada tingkat
maksimal (VO2 maksimum) berkurang, sehingga kapasitas
vital paru menurun. Latihan berguna untuk meningkatkan VO2
maksimum, mengurangi tekanan darah dan berat badan
(Timiras & Navazio, 2008 ).
4. Sistem Indera
Semua sistem indera yang berhubungan dengan keseimbangan
statik dan dinamik akan menurun bersamaan dengan
menurunnya usia, seperti penglihatan (visual) dan vestibular.
Perubahan pada sistem penglihatan (visual) menyebabkan
cahaya yang dihantar ke retina berkurang sehingga ambang
visual meningkat dan daya adaptasi terang-gelap menurun,
ketajaman penglihatan serta jarak pandang menurun.
Penurunan tajam penglihatan pada lansia disebabkan oleh
katarak, degenerasi makuler dan penglihatan perifer yang
menghilang. Pada sistem vestibular terjadi degenerasi sel-sel
rambut dalam makula dan sel saraf. Karena kondisi tersebut
lansia akan kesulitan memperkirakan jarak dan memposisikan
kepala pada garis keseimbangan sehingga sering terjadi
gangguan keseimbangan fungsional pada lansia (Sri Surini &
Utomo, 2002 ).
b) Kekuatan Otot
Kekuatan otot adalah kekuatan suatu otot atau group otot yang
dihasilkan untuk dapat melawan tahanan dengan usaha yang
maksimum. Kekuatan otot diperlukan saat melakukan aktivitas.
Semua gerakan yang dihasilkan merupakan hasil dari adanya
suatu peningkatan tegangan otot sebagai respon motorik.
Kekuatan otot dapat dijabarkan sebagai kemampuan otot menahan
beban baik berupa beban internal (internal force) maupun beban
eksternal (external force). Kekuatan otot sangat berhubungan
dengan sistem neuromuskuler yaitu seberapa besar kemampuan
sistem saraf mengaktivasi otot untuk melakukan kontraksi,
sehingga semakin banyak serabut otot yang teraktivasi, maka
semakin besar pula kekuatan yang dihasilkan otot tersebut (Irfan,
2012).
Kekuatan otot dari kaki, lutut serta pinggul harus adekuat agar
bisa menggerakan anggota gerak bawah untuk melakukan gerakan
fungsionalnya (Nugroho, 2011). Kekuatan otot tersebut
berhubungan langsung dengan kemampuan otot untuk melawan
gaya gravitasi serta beban eksternal lainnya yang secara
berkelanjutan mempengaruhi posisi tubuh. Kemampuan otot
untuk mempertahankan posisi tegak dan stabil merupakan bentuk
dari aktivitas otot untuk menjaga keseimbangan baik saat statis
maupun dinamis saat melakukan suatu gerakan. Hal tersebut
dapat dilakukan apabila otot memiliki kekuatan dengan besaran
tertentu.
Perubahan morfologis pada otot menyebabkan perubahan
fungsional otot, yaitu terjadinya penurunan kekuatan otot,
elastisitas dan fleksibilitas otot, kecepatan waktu reaksi dan
rileksasi, dan kinerja fungsional. Setelah melewati usia 30 tahun,
manusia akan kehilangan kira-kira 3-5 % jaringan otot total per
dekade. Penurunan fungsi dan kekuatan otot akan mengakibatkan
yaitu (1) penurunan kemampuan mempertahankan keseimbangan
tubuh, (2) hambatan dalam gerak duduk ke berdiri, (3)
peningkatan risiko jatuh, (4) perubahan postur. Masalah pada
kemampuan gerak dan fungsi lansia berhubungan erat dengan
kekuatan otot yang bersifat individual. Lansia dengan kekuatan
otot quadrisep yang baik dapat melakukan aktivitas berdiri dari
posisi duduk dan berjalan 6 meter dengan lebih cepat (Bonder &
Wagner, 1994). Penelitian lain menunjukkan bahwa kelemahan
otot abduktor sendi panggul dapat mengurangi kemampuan lansia
mempertahankan keseimbangan berdiri pada satu tungkai dan
timbulnya gangguan postural. Penurunan serabut otot reaksi cepat
(tipe II) dapat meningkatkan risiko jatuh karena penurunan
respons terhadap keseimbangan (Bonder & Wagner, 1994).
Penurunan terhadap respon keseimbangan meyebabkan timbulnya
ganngguan dalam mengontrol keseimbangan.
c) Keseimbangan
Penurunan keseimbangan pada lansia disebabkan oleh berbagai
macam faktor di antaranya adalah adanya gangguan pada sistem
sensorik, gangguan pada sistem saraf pusat (SSP), maupun
adanya gangguan pada sistem muskuloskeletal. Informasi
mengenai posisi tubuh terhadap lingkungan atau gravitasi
diberikan oleh sistem sensorik, sedangkan sistem saraf pusat
berfungsi untuk memodifikasi komponen motorik dan sensorik
sehingga stabilitas dapat dipertahankan melalui kondisi yang
berubah-rubah. Gangguan pada sistem sensorik meliputi
gangguan pada sistem visual, vestibular, dan somatosensoris
(Suadnyana, 2013).
Sistem visual seperti sistem organ lain mengalami degenerasi
karena proses penuaan. Pada sistem visual lansia, terjadi
penebalan jaringan fibrosa dan atrofi serabut saraf, berkurangnya
sel-sel reseptor di retina, serta perubahan elastisitas lensa dan otot
siliaris. Penurunan fungsi visual tersebut, menyebabkan masalah
dalam persepsi bentuk dan kedalaman serta informasi visual
mengenai posisi tubuh yang diperlukan untuk kontrol postural
(Barnedh, 2006).
Sistem lain yang mengalami penurunan fungsi adalah sistem
vestibular. Perubahan degeneratif tersebut mengenai organ
vestibular seperti: otolith, epithelium sensorik dan sel rambut,
nervus vestibularis, dan serebelum. Makula secara progresif
mengalami demineralisasi dan menjadi terpecah-pecah. Hal ini
mengakibatkan penurunan kemampuan dalam menjaga respon
postural terhadap gravitasi dan pergerakan linear. Selain itu
terjadi pula atrofi sel rambut disertai pembentukan jaringan parut
dan setelah usia di atas 70 tahun terjadi penurunan sebanyak 20%
jumlah sel rambut di makula dan 40% di krista ampularis kanalis
semisirkularis (Barnedh, 2006).
Sistem somatosensori memberikan informasi tentang posisi tubuh
dan kontak dari kulit melalui tekanan, taktil sensor, getaran, serta
proprioseptor sendi dan otot. Sensasi kulit melalui sentuhan,
getaran dan tekanan sensor penting dalam setiap aktivitas sehari-
hari, terutama yang melibatkan gerakan. Sensitivitas kulit
berkurang dengan bertambahnya usia. Kurangnya masukan dari
taktil, tekanan dan getaran reseptor membuatnya sulit untuk
berdiri atau berjalan dan mendeteksi perubahan dalam pergeseran,
yang penting dalam menjaga keseimbangan (Suadnyana, 2013).
Lansia juga mengalami penurunan dalam kemampuan motorik.
Hal ini berhubungan dengan penurunan terhadap kontrol
neuromuskular, perubahan sendi, dan struktur lainnya.
Menurunnya sistem muskuloskeletal berpengaruh terhadap
keseimbangan tubuh lansia karena terjadinya atropi otot yang
menyebabkan penurunan kekuatan otot, terutama ekstremitas
bawah, sehingga menyebabkan langkah kaki lansia menjadi lebih
pendek, jalan menjadi lebih lambat, tidak dapat menapak dengan
kuat dan cenderung mudah goyah, serta ada kecenderungan untuk
tersandung. Hal ini mengakibatkan lansia menjadi kurang percaya
diri dan lebih berhati-hati dalam berjalan. Penurunan kekuatan
otot pelvis dan tungkai juga menjadi faktor kontribusi bagi
penurunan respon postural tersebut. Secara bersamaan, hampir
seluruh gerakan menjadi tidak elastis dan halus. Gangguan
motorik ini utamanya disebabkan oleh mulai hilangnya neuron-
neuron di medulla spinalis, otak, dan serebelum (Siti, 2009).
d) Indeks Massa Tubuh (IMT)
Dengan bertambahnya usia akan meningkatkan berat badan
karena penumpukan lemak di dalam otot sementara sel otot
sendiri berkurang jumlah dan volumenya, sehingga ada
kecenderungan untuk mengurangi aktifitas fisik karena obesitas.
Hal ini menyebabkan kelemahan fisik yang dapat membatasi
mobilitas yang berpengaruh terhadap keseimbangan karena
menjadi lamban di dalam bergerak dan kurangnya reaksi
antisipasi terhadap perubahan CentreOf Gravity (COG) serta
secara umum akan menurunkan kualitas hidup lansia.
2) Faktor Ekstrinsik
a) Lingkungan
Faktor lingkungan yang mempengaruhi risiko jatuh adalah
penerangan yang tidak baik, lantai yang licin dan basah, tempat
berpegangan yang tidak kuat/tidak mudah dipegang, dan alat –
alat atau perlengkapan rumah yang tidak stabil
b) Latihan atau Aktivitas Fisik
Menurut WHO (2007) salah satu intervensi yang bisa digunakan
untuk memperbaiki faktor fisiologis yang menyebabkan kejadian
jatuh adalah program latihan fisik. Latihan fisik dapat
didefinisikan sebagai sebuah tipe aktivitas yang direncanakan,
terstruktur dan berupa gerakan tubuh yang berulang – ulang yang
dilakukan untuk meningkatkan atau mempertahankan satu atau
lebih komponen kebugaran fisik.
2.1.3 Dampak Jatuh pada Lansia
Jatuh dapat mengakibatkan berbagai jenis cedera, kerusakan fisik dan
psikologis. Kerusakan fisik yang paling ditakuti dari kejadian jatuh
adalah fraktur collum femur. Jenis fraktur lain yang sering terjadi akibat
jatuh adalah frakturpergelangan tangan, lengan atas dan pelvis serta
kerusakan jaringan lunak. Dampak psikologis yang terjadi antara lain
syok setelah jatuh dan rasa takut akan jatuh lagi dapat memiliki banyak
konsekuensi termasuk ansietas, hilangnya rasa percaya diri, pembatasan
dalam aktivitas sehari-hari, falafobia atau fobia jatuh meskipun kejadian
jatuh yang dialami tidak menimbulkan cedera fisik (Stanley & Beare,
2006). Selain dampak diatas, kejadian jatuh pada lansia juga bisa
menyebabkan komplikasi antara lain:
1) Perlukaan (injury)
Perlukaan (injury) mengakibatkan rusaknya jaringan lunak yang
terasa sangat sakit berupa robek atau tertariknya jaringan otot,
robeknya arteri/vena, patah tulang atau fraktur misalnya fraktur
pelvis, femur, humerus, lengan bawah, tungkai atas.
2) Disabilitas
Disabilitas mengakibatkan penurunan mobilitas yang berhubungan
dengan perlukaan fisik dan penurunan mobilitas akibat jatuh yaitu
kehilangan kepercayaan diri dan pembatasan gerak.
3) Kematian
2.1.4 Pencegahan Jatuh pada Lansia
Menurut Tinetti (1992), yang dikutip dari (Darmojo, 2004), ada 3 usaha
pokok untuk pencegahan jatuh yaitu :
1) Identifikasi Faktor Risiko
Pada setiap lanjut usia perlu dilakukan pemeriksaan untuk mencari
adanya faktor instrinsik risiko jatuh, perlu dilakukan assessment
keadaan sensorik, neurologis, muskuloskeletal dan penyakit sistemik
yang sering menyebabkan jatuh. Keadaan lingkungan rumah yang
berbahaya dan dapat menyebabkan jatuh harus dihilangkan.
Penerangan rumah harus cukup tetapi tidak menyilaukan. Lantai
rumah datar, tidak licin, bersih dari benda-benda kecil yang susah
dilihat, peralatan rumah tangga yang sudah tidak aman (lapuk, dapat
bergerser sendiri) sebaiknya diganti, peralatan rumah ini sebaiknya
diletakkan sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu jalan/tempat
aktivitas lanjut usia. Kamar mandi dibuat tidak licin sebaiknya diberi
pegangan pada dindingnya, pintu yang mudah dibuka. WC
sebaiknya dengan kloset duduk dan diberi pegangan di dinding.
2) Penilaian Keseimbangan dan Gaya Berjalan (Gait)
Setiap lanjut usia harus dievaluasi bagaimana keseimbangan
badannya dalam melakukan gerakan pindah tempat, pindah posisi.
Evaluasi yang dapat dilakukan salah satunya dengan TUG Test
untuk menilai mobilitas, keseimbanan dan risiko jatuh. Bila badan
tidak stabil saat berjalan sangat berisiko jatuh, maka diperlukan
bantuan latihan oleh rehabilitasi medis, latihan yang bias di lakukan
antara lain Otago Home Exercise Programme yang menitikberatkan
pada pelatihanberdasarkan kemampuan fungsional dan Balance
Strategy Exercise yang menitikberatkan pada mengaturan postur
selama melakukan gerakan. Penilaian gaya berjalan juga harus
dilakukan dengan cermat, apakah kakinya menapak dengan baik,
tidak mudah goyah, apakah penderita mengangkat kaki dengan benar
pada saat berjalan, apakah kekuatan otot ekstremitas bawah
penderita cukup untuk berjalan tanpa bantuan. Kesemuanya itu harus
dikoreksi bila terdapat kelainan/penurunan.
3) Mengatur atau Mengatasi Faktor Situasional
Faktor situasional yang bersifat serangan akut yang diderita lanjut
usia dapat dicegah dengan pemeriksaan rutin kesehatan lanjut usia
secara periodik. Faktor situasional bahaya lingkungan dapat dicegah
dengan mengusahakan perbaikan lingkungan , faktor situasional
yang berupa aktifitas fisik dapat dibatasi sesuai dengan kondisi
kesehatan lanjut usia. Aktifitas tersebut tidak boleh melampaui
batasan yang diperbolehkan baginya sesuai hasil pemeriksaan
kondisi fisik. Maka di anjurkan lanjut usia tidak melakukan aktifitas
fisik yang sangat melelahkan atau berisiko tinggi untuk terjadinya
jatuh.
2.1.5 Latihan Otago Home Exercise Programmed dan Balance Strategy
Exercise
Otago Home Exercise Programme dan Balance Strategy Exercise
sama–sama merupakan latihan yang bertujuan untuk meningkatkan
keseimbangan dan mengurangi risiko jatuh. Perbedaan dari kedua
latihan tersebut antara lain:
1) Latihan keseimbangan pada Balance Strategy Exercise menekankan
pada kontrol postural, sedangkan pada Otago Home Exercise
Programme latihan keseimbangan dilakukan dengan latihan gerak
fungsional yang merupakan gerakan sehari – hari yang dilakukan
dalam beraktivitas. Dengan demikian maka akan terjadi perbaikan
keseimbangan sekaligus mengoptimalkan keseimbangan dalam
melakukan suatu gerakan.
2) Dalam Balance Strategy Exercise terjadi penguatan otot sebagai
hasil dari latihan keseimbangan dengan memanfaatkan berat badan,
sedangkan dalam Otago Home Exercise Programme terdapat latihan
penguatan otot dengan menggunakan tahanan yang ditingkatkan
secara progresif, sehingga akan tercipta peningkatan kekuatan otot
yang akan menunjang terbentuknya keseimbangan.
3) Latihan berjalan dalam Balance Strategy Exercise bertujuan untuk
mengatasi ketidakstabilan saat melangkah, dalam Otago Home
ExerciseProgramme dilakukan untuk meningkatkan kestabilan saat
berjalan danuntuk mengoptimalkan kebugaran fisik.
2.2 Mekanisme Penurunan Risiko Jatuh Setelah Latihan
Latihan utama dalam penurunkan risiko jatuh pada lansia adalah latihan untuk
meningkatkan keseimbangan lansia. Keseimbangan berkaitan dengan sistem
kontrol postural. Systematical review yang dikemukakan oleh Horak (2006)
dan meta analisis Sibley et al (2015) menyimpulkan bahwa terdapat 6
komponen dasar penyusun sistem kontrol postural, meliputi: (1) Kendala
biomekanik, terkait kekuatan otot dan limit of stability yaitu kemampuan
seseorang dalam menggerakkan pusat gravitasi tubuh dan mengontrol
keseimbangan tanpa mengubah bidang tumpu, (2) Strategi gerakan berupa
feedback dan feedforward, (3) Strategi sensoris meliputi: sensory integration
dan sensory re-weighting, yaitu kemampuan untuk meningkatkan bobot
sensorik bergantung pada seberapa penting konteks sensori dalam menjaga
stabilitas, (4) Orientasi ruang, yaitu kemampuan untuk mengarahkan bagian
tubuh sehubungan dengan gravitasi, bidang tumpu, sistem visual, dan
referensi internal, (5) Kontrol dinamik, dan (6) Proses kognitif terkait
perhatian dan proses pembelajaran.
Sistem saraf pusat menggunakan tiga sistem gerakan untuk mengontrol
keseimbangan ketika tubuh mengalami gangguan, melalui gerak refleks,
respon postural otomatis, dan gerakan volunter. Gerakan volunter dimediasi
oleh sistem kortikal dengan tingkat latensi paling lama dibandingkan gerakan
lainnya seperti respon postural otomatis yang dimediasi oleh batang otak atau
bagian subkortikal dengan tingkat latensi menengah, dan gerak refleks yang
dimediasi oleh medula. Ketiga sistem gerakan ini akan berintegrasi dalam
menjaga keseimbangan postural tubuh (Colby & Kisner, 2007).
Pelatihan keseimbangan mengaktifkan sistem gerakan volunter dan respon
postural otomatis tubuh. Ketika melakukan pelatihan maka tubuh
mengirimkan informasi sensoris melalui mekanoreseptor terkait perubahan
sensasi posisi tubuh dari persendian ke sistem saraf bermielin besar.
Informasi ini diteruskan ke dalam sistem kolumna dorsalis lemniskus
medialis dan berakhir pada girus postsentralis dari korteks serebri (area
somatosensorik I) untuk kemudian diolah di dalam korteks serebri (Squire et
al, 2008).
Korteks serebri (area korteks motorik primer, area premotorik, dan area
motorik pelengkap) akan mengolah informasi sensoris untuk menghasilkan
sinyal motorik. Penjalaran sinyal motorik ini akan diteruskan ke serabut
piramidal melalui traktus kortikospinal lateralis medula spinalis dan berakhir
pada interneuron di region intermediet dari substansia grisea medula,
beberapa berakhir di neuron penyiar radiks dorsalis, dan berakhir secara
langsung di neuron-neuron motorik anterior. Neuron motorik anterior
mengadakan potensial aksi pada terminal saraf (Squire et al, 2008).
Potensial aksi akan membuka banyak kanal kalsium dalam membran saraf
terminal, akibatnya konsentrasi ion kalsium di dalam membran terminal
meningkat. Peningkatan konsentrasi ion Ca2+ di dalam membran terminal
akan meningkatkan laju penggabungan vesikel asetilkolin dan menimbulkan
eksositosis asetilkolin ke dalam ruang sinaps. Kanal asetilkolin yang terbuka
memungkinkan ion positif yang penting seperti natrium (Na+), kalium (K+),
dan kalsium (Ca2+) dapat bergerak mudah melewatinya. Peristiwa ini akan
menciptakan suatu perubahan potensial positif setempat di dalam membran
serabut otot yang disebut potensial end plate dan akan menimbulkan suatu
potensial aksi yang menyebar di sepanjang membran otot. Potensial aksi
menyebabkan retikulum sarkoplasma melepaskan sejumlah besar ion kalsium
dan ion-ion ini akan menimbulkan kekuatan tarik-menarik antara filamen
aktin dan miosin dan menghasilkan proses kontraksi otot (Squire et al, 2008).
Sistem somatosensoris juga akan memberikan feedback ke korteks motorik
melalui sistem sensorik radiks dorsalis dengan mengatur ketepatan kontraksi
otot. Sinyal somatosensorik ini timbul di kumparan otot, organ tendon otot,
dan reseptor taktil kulit yang menutupi otot dan akan menimbulkan positive
feedbackenhancement dengan lebih merangsang kontraksi otot (Guyton &
Hall, 2008).
Neuron berada pada keadaan terfasilitasi pada awal pelatihan, yaitu besarnya
potensial membran mendekati nilai ambang untuk peletupan daripada
keadaan normal tetapi belum cukup mencapai batas peletupan. Pelatihan
keseimbangan yang dilakukan dengan frekuensi tiga kali seminggu selama
lima minggu memberikan efek berupa adaptasi neural. Adaptasi neural
meliputi sumasi spasial dan sumasi temporal pada sistem saraf. Sumasi
spasial diartikan sebagai penjumlahan potensial postsinaps yang simultan
dengan cara mengaktivasi ujung-ujung saraf multipel pada daerah membran
neuron yang luas sedangkan sumasi temporal peningkatan tempo peletupan
ujung saraf presinaptik sehingga dapat meningkatkan potensial efektif
postsinaps yang terjadi. Adaptasi neural ini menimbulkan sumasi serabut
multipel yaitu suatu keadaan peningkatan jumlah unit motorik yang
berkontraksi secara bersama-sama. Dengan meningkatnya jumlah unit
motorik, maka akan terjadi peningkatan kekuatan otot (Guyton & Hall, 2008).
Dengan adanya peningkatan keseimbangan dan kekuatan otot akan
meningkatkan kontrol dinamik berkaitan dengan gait dan locomotion. Dengan
peningkatan semua komponen tersebut maka akan menurunkan risiko jatuh.
BAB IV
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Risiko jatuh (risk for fall) merupakan diagnosa keperawatan berdasarkan
North American Nursing Diagnosis Association (NANDA), yang
didefinisikan sebagai peningkatan kemungkinan terjadinya jatuh yang dapat
menyebabkan cedera fisik (Wilkinson, 2005). Usia mempengaruhi risiko
jatuh dari seseorang, dimana usia atau umur erat kaitannya dengan proses
pertumbuhan dan proses penuaan. Pada lansia yang telah mengalami proses
penuaan, terjadi penurunan fisiologis yang terjadi pada sistem
muskuloskeletal, saraf, kardio-vaskuler-respirasi, indra dan integumen. Jatuh
dapat mengakibatkan berbagai jenis cedera, kerusakan fisik dan psikologis.
Ada 3 usaha pokok untuk pencegahan jatuh yaitu: (1) Penilaian
Keseimbangan dan Gaya Berjalan (Gait), (2) Identifikasi Faktor Risiko, (3)
Mengatur atau Mengatasi Faktor Situasional. Untuk mengurangi risiko jatuh
dapat melakukan pelatihan Otago Home Exercise Programme dan Balance
Strategy Exercise yang merupakan latihan yang bertujuan untuk
meningkatkan keseimbangan dan mengurangi risiko jatuh. Latihan utama
dalam penurunkan risiko jatuh pada lansia adalah latihan untuk meningkatkan
keseimbangan lansia. Keseimbangan berkaitan dengan sistem kontrol
postural. Dengan adanya peningkatan keseimbangan dan kekuatan otot akan
meningkatkan kontrol dinamik berkaitan dengan gait dan locomotion. Dengan
peningkatan semua komponen tersebut maka akan menurunkan risiko jatuh.

3.2 Saran

Sebaiknya pada orang orang lansia harus diberi pengetahuan yang lebih
tentang resiko jatuh yang dialami oleh lansia pada umunnya. Dan sebagai
tenaga kesehatan harus memberikan HE ( Health Education ) ke masyarakat
khusunya kepada Lansia.
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai