Lapsus ROSC Post VT VF Dengan STEMI
Lapsus ROSC Post VT VF Dengan STEMI
Oleh:
Dr. Indra Kusuma
Pendamping:
dr. Triyono
dr. Ismy
Nama : Tn. NM
Umur : 53 tahun
Jenis kelamin : Pria
Agama : Islam
Suku : Jawa
Alamat : Magelang
Tgl MRS : 15 Agustus 2016
Tgl Pemeriksaan : 15 Agustus 2016
No. RM : 26-68-81
I. Primary Survey
Pasien datang dengan henti nafas ± 5 menit
A: Apneu
B: Apneu
C: Nadi = -
TD = -
D: GCS E1V1M1
Pupil isokor, midriasis -
RJP + Bagging ( 30 : 2 )
Siap kan Defiblator, Defib siap, liat monitor VT/VF, defib 360 j
RJP + Bagging ( 30 : 2 )
Pasang IV line RL
2 menit liat monitor VT, cek nadi -
Siap kan Defiblator, Defib siap, liat monitor VT, defib 360 j
RJP + Bagging ( 30 : 2 ) Pasang ET
Adrenalin 1 amp
2 menit liat monitor VT, cek nadi -
Siap kan Defiblator, Defib siap, liat monitor VT, defib 360 j
RJP + Bagging
Amiodaron 300 mg
2 menit liat monitor VT, cek nadi -
Siap kan Defiblator, Defib siap, liat monitor VT, defib 360 j
RJP + Bagging
Adrenalin 1 amp
2 menit liat monitor VT, cek nadi -
Siap kan Defiblator, Defib siap, liat monitor VT, defib 360 j
RJP + Bagging
Amiodaron 150 mg
2 menit liat monitor PEA, cek nadi –
RJP + Bagging
Adrenalin 1 amp
2 menit liat monitor PEA, cek nadi –
RJP + Bagging
Adrenalin 1 amp
2 menit liat monitor PEA, cek nadi –
RJP + Bagging
Adrenalin 1 amp
2 menit liat monitor ROSC, cek nadi +
Jam 16:00 stop RJP, A : Terpasang ET
B : Tidak adequat lanjut Bagging SpO2 : 93%
C : TD 90/60, N 62x/menit Loading 1000cc
Pasang DC + NGT
A : Terpasang ET
B : Tidak adequat lanjut Bagging SpO2 : 95 %
C : TD 110/70, N 72x/menit
Pupil isokor, midriasis –
EKG : ST Elevasi di V1 – V6
II. Secondary Survey
Anamnesis
Allo-anamnesis dilakukan ke keluarga pasien pada tanggal 15 Agustus 2016
Riwayat Kebiasaan
Kebiasaan merokok + > 10 tahun
Kebiasaan minum minuman beralkohol disangkal
Kebiasaan penggunaan narkoba disangkal.
Kebiasaan konsumsi disangkal
Kebiasaan konsumsi jamu-jamuan disangkal
III.Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : tidak sadar
Kesadaran : GCS : 3 E1V1M1
Tanda-tanda vital :
Tekanan darah : 110/70 mmHg
HR : 72 kali/menit
Laju napas : terpasang ET dan terbagging
Suhu : 36,5° C
Saturasi O2: 95%
Kulit : sawo matang, turgor kulit baik
Kepala : mesosefal, edema wajah -/-
Mata : konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, pupil bulat isokor 3mm/3mm,
refleks cahaya langsung dan tidak langsung +/+
Telinga : sekret -/-
Hidung : sekret -/-, terpasang NGT -> keluar cairan hitam pekat
Mulut : pucat (-), merot (-), terpasang ET
Leher : KGB tidak membesar, trakea teraba di tengah, JVP: R+0 cm, simetris,
pembesaran tiroid (-)
Thorax
Paru :
Inspeksi : simetris,
Palpasi : susah dinilai
Perkusi : sonor
Auskultasi : suara dasar vesikuler, suara tambahan (-)
Jantung :
Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : ictus cordis pada sela iga V LMCS
Perkusi : cardiomegaly (-)
Auskultasi : bunyi jantung regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : datar
Auskultasi : BU (+) N
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : timpani seluruh kuadran abdomen
Ekstremitas
Superior : Akral Hangat : +/+
Oedem : -/-
Sianosis : -/-
Inferior : Akral Hangat : +/+
Oedem : -/-
Sianosis : -/-
DARAH RUTIN
Hemoglobin Meningkat
Hematokrit Meningkat
Jumlah leukosit Meningkat
Jumlah trombosit Normal
HITUNG JENIS
Basofil Normal
Eosinofil Normal
Neutrofil Meningkat
Limfosit Normal
Monosit Menurun
KIMIA DARAH
SGOT/AST
SGPT/ALT
Ureum
Jenis pemeriksaan
Kreatinin Hasil Nilai rujukan Satuan
Na 138.8 135 - 148 Mmol
K 4.43 3.5 – 5.3 Mmol
Cl 103.1 9 - 106 Mmol
V. Resume
Laki – laki usia 53 tahun datang dengan tidak sadae sejak 10 menit SMRS dan
kaku sejak 1 jam SMRS. Riw sebelum tidak sadar : pasien mengeluh nyeri dada
dan keringat dingin Pemeriksaan fisik didapatkan apneu dan henti jantung. Pada
pemeriksaan EKG ST elevasi pada V1 – V6
VI. Diagnosis
Perempuan 53 tahun dengan:
• Cardiac arrest
• STEMI
VII. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan planning sementara pada kasus ini adalah :
Algoritma VT/VF
Konsul dr. Novi Sp. An
Dobutamin 3 meq/KgBB
Pantoprazole 1 amp/ 24 jam
Bilas Lambung
Vit K 1 x 1
Pasang Ventilator : Mode : VsimV
PEEP : 5
Rare : 16
V. tidal : 400 – 500
FiO2 : 40 – 50%
Rujuk ICU e.c ICU penuh
Konsul dr. Ferry Sp.PD
EKG ulang
Inj. Ceftriaxon 2 gr / 24 jam
Drip Paantoprazole 1 amp / 12 jam
Inj. Kalnex 500 mg / jam
IVFD Komafusin Hepar 1:1 asering
Rujuk ICU
VIII. Prognosis:
• Quo ad vitam : dubia ad sanam
• Quo ad functionam : dubia ad sanam
• Quo ad sanactionam : dubia ad sanam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Cardio-respiratory Arrest atau yang dikenal dengan henti jantung dan henti nafas
merupakan salah satu penyebab kematian utama di dunia. Henti jantung mendadak
menyerang jutaan individu tiap tahunnya dan tak jarang berujung pada kematian. Saat ini
tingkat mortalitas yang diakibatkan oleh henti jantung dan henti nafas tergolong tinggi, namun
perkembangan prosedur resusitasi telah meningkatkan angka kelangsungan hidup pasien
(Wahyuningsih, Andi. 2012).
Cardio-respiratory Arrest adalah suatu keadaan dimana fungsi sirkulasi dan respirasi
berhenti bekerja. Jantung menjadi berhenti memompa darah ke seluruh tubuh dan individu
tersebut berhenti bernafas. Henti jantung dan henti nafas terjadi ketika tidak terdapat adanya
suplai jantung yang efektif. Sebelum terapi spesifik dimulai, bantuan hidup dasar yang
dikenal dengan Basic Life Support (BLS) harus terlebih dahulu diberikan sebagai pertolongan
pertama pada pasien (British Heart Foundation. 2008).
Individu yang menderita Cardio-respiratory Arrest menjadi tidak responsif dan
mengalami penurunan kesadaran dalam waktu singkat dan tidak terdapat adanya fungsi organ
vital. Kasus ini merupakan kegawatdaruratan yang mengancam nyawa. Bila tidak dilakukan
bantuan hidup dasar dengan segera, tingkat kelangsungan hidup pasien akan berkurang 10%
tiap menitnya (Koike, S et al. 2011)
Tingkat perbaikan pada pasien yang bertahan dari keadaan Cardio-respiratory Arrest
pada umumnya sangat rendah pada kasus-kasus yang terjadi diluar Rumah Sakit. Pertolongan
pertama berupa Basic Life Support (BLS) dan Advance Cardiac Life Support (ACLS)
merupakan tindakan penting yang dapat meningkatkan kelangsungan hidup pasien. Resusitasi
jantung paru yang dilakukan sedini mungkin berdampak terhadap kehidupan jangka panjang
pasien yang lebih baik (Weston, Cliff , 2008).
2.1 DEFINISI
Henti jantung adalah penghentian tiba-tiba fungsi pemompaan jantung dan hilangnya
tekanan darah arteri. Saat terjadinya serangan jantung, penghantaran oksigen dan pengeluaran
karbon dioksida terhenti, metabolisme sel jaringan menjadi anaerobik, sehingga asidosis
metabolik dan respiratorik terjadi. Pada keadaan tersebut, inisiasi langsung dari resusitasi
jantung paru diperlukan untuk mencegah terjadinya kerusakan jantung, paru-paru, ginjal,
kerusakan otak dan kematian.
Cardiac arrest adalah hilangnya fungsi jantung secara tiba-tiba dan mendadak, bisa
terjadi pada seseorang yang memang didiagnosa dengan penyakit jantung ataupun tidak.
Waktu kejadiannya tidak bisa diperkirakan, terjadi dengan sangat cepat begitu gejala dan
tanda tampak. American Heart Association menyatakan bahwa cardiac arrest adalah
penghentian sirkulasi normal darah akibat kegagalan jantung untuk berkontraksi secara
efektif.
Berdasarkan pengertian di atas maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa henti
jantung atau cardiac arrest adalah hilangnya fungsi jantung secara mendadak untuk
mempertahankan sirkulasi normal darah untuk memberi kebutuhan oksigen ke otak dan organ
vital lainnya akibat kegagalan jantung untuk berkontraksi secara efektif.
Henti nafas atau gagal nafas adalah suatu kondisi dimana sistem respirasi gagal untuk
melakukan fungsi pertukaran gas, pemasukan oksigen dan pengeluaran karbondioksida.
Keadekuatan itu dapat dilihat dari kemampuan jaringan untuk memasukkan oksigen dan
mengeluarkan karbondioksida (Wahyuningsih, Andi. 2012).
2.2 FAKTOR PREDISPOSISI
Laki-laki usia 40 tahun atau lebih, memiliki kemungkinan untuk terkena cardiac
arrest satu berbanding delapan orang, sedangkan pada wanita adalah satu berbanding 24
orang. Semakin tua seseorang, semakin rendah risiko henti jantung mendadak. Orang dengan
faktor risiko untuk penyakit jantung, seperti hipertensi, hiperkholesterolemia dan merokok
memiliki peningkatan risiko terjadinya cardiac arrest.
Menurut American Heart Association (2010), seseorang dikatakan mempunyai risiko
tinggi untuk terkena cardiac arrest dengan kondisi:
a) Ada jejas di jantung akibat dari serangan jantung terdahulu.
Adanya jejas di jantung karena serangan jantung terdahulu atau oleh sebab lain;
jantung yang terjejas atau mengalami pembesaran karena sebab tertentu cenderung untuk
mengalami aritmia ventrikel yang mengancam jiwa. Enam bulan pertama setelah
seseorang mengalami serangan jantung adalah periode risiko tinggi untuk terjadinya
cardiac arrest pada pasien dengan penyakit jantung atherosclerotic.
b) Penebalan otot jantung (Cardiomyopathy).
Penebalan otot jantung (cardiomyopathy) karena berbagai sebab (umumnya karena
tekanan darah tinggi, kelainan katup jantung) membuat seseorang cenderung untuk
terkena cardiac arrest.
2.3 PATOGENESIS
Kebanyakan korban henti jantung diakibatkan oleh timbulnya aritmia: fibrilasi ventrikel
(VF), takhikardi ventrikel (VT), aktifitas listrik tanpa nadi (PEA), dan asistol (Hazinski
M, et all. 2010)
a) Fibrilasi ventrikel
Merupakan kasus terbanyak yang sering menimbulkan kematian mendadak, pada
keadaan ini jantung tidak dapat melakukan fungsi kontraksinya, jantung hanya mampu
bergetar saja. Pada kasus ini tindakan yang harus segera dilakukan adalah CPR dan
DC shock atau defibrilasi.
b) Takikardi ventrikel
Mekanisme penyebab terjadinyan takhikardi ventrikel biasanya karena adanya
gangguan otomatisasi (pembentukan impuls) ataupaun akibat adanya gangguan
konduksi. Frekuensi nadi yang cepat akan menyebabkan fase pengisian ventrikel kiri
akan memendek, akibatnya pengisian darah ke
ventrikel juga berkurang sehingga curah jantung akan menurun. VT dengan keadaan
hemodinamik stabil, pemilihan terapi dengan medika mentosa lebih diutamakan. Pada
kasus VTdengan gangguan hemodinamik sampai terjadi henti jantung (VT tanpa
nadi), pemberian terapi defibrilasi dengan menggunakan DC shock dan CPR adalah
pilihan utama.
d) Asistole
Keadaan ini ditandai dengan tidak terdapatnya aktifitas listrik pada jantung, dan pada
monitor irama yang terbentuk adalah seperti garis lurus. Pada kondisi ini tindakan
yang harus segera diambil adalah CPR.
2.5 PENATALAKSANAAN
Resusitasi Jantung Paru / Cardio Pulmonary Resusitation
a. Pengertian
Bila korban yang tidak sadar bernafas spontan dan adekuat (tidak ada sianosis), korban
sebaiknya diletakkan dalam posisi sisi mantap untuk mencegah aspirasi. Ekstensikan
kepalanya dan pertahankan mukanya lebih rendah. Letakkan tangan pasien sebelah atas di
bawah pipi sebelah bawah untuk mempertahankan ekstensi kepala dan mencegah pasien
berguling ke depan. Lengan sebelah bawah yang berada di punggungnya, mencegah pasien
terguling ke belakang (Zafari, et all. 2008.)
5. Beri nafas buatan pertama 2x
Breathing support yang diberikan pertama kali adalah ventilasi buatan sebanyak 2x
setelah airway baik pada oksigenasi paru darurat. Pertukaran gas yang terjadi pada saat
bernafas mutlak untuk pertukaran oksigen dan mengeluarkan karbondioksida dari tubuh.
Bila pernafasan spontan tidak timbul, diperlukan ventilasi buatan. Nafas buatan tanpa
alat dapat dilakukan dengan cara mulut ke mulut (mouth-to-mouth), mulut ke hidung
(mouth-to-nose), mulut ke stoma trakeostomi atau mulut ke mulut via sungkup muka.
Untuk melakukan ventilasi mulut-kemulut penolong hendaknya mempertahankan kepala
dan leher korban dalam salah satu sikap yang telah disebutkan di atas dan memencet
hidung korban dengan satu tangan atau menutup lubang hidung pasien dengan pipi
penolong. Selanjutnya diberikan 2 kali ventilasi dalam dalam (1 kali ventilasi = 1-1 ½
detik). Kemudian segera raba denyut nadi karotis atau femoralis. Bila ia tetap henti nafas
tetapi masih mempunyai denyut nadi diberikan ventilasi dalam (800-1200 ml) setiap 5
detik.2 Bila denyut nadi karotis tak teraba, 2 kali ventilasi dalam harus diberikan sesudah
tiap 30 kompresi dada.
Gambar 2.8. Metode Mouth to Mouth
Bila ventilasi mulut ke mulut atau mulut ke hidung tidak berhasil baik, walaupun jalan
nafas telah dicoba dibuka, faring korban harus diperiksa untuk melihat apakah ada sekresi
atau benda asing. Pada tindakan jari menyapu hendaknya korban digulingkan pada salah
satu sisinya. Sesudah dengan paksa membuka mulut korban dengan satu tangan memegang
lidah dan rahangnya, penolong memasukkan jari telunjuk dan jari tengah tangan yang lain
ke dalam satu sisi mulut korban, melalui bagian belakang faring, keluar lagi melalui sisi
lain mulut korban dalam satu gerakan menyapu. Bila tindakan ini gagal untuk
mengeluarkan benda asing, hendaknya dikerjakan hentakan abdomen (abdominal thrust,
gerak heimlich) atau hentakan dada (chest thrust). Hentakan dada dilakukan pada korban
yang terlentang, tekhnik ini sama dengan kompresi dada luar. Urutan yang dianjurkan
adalah berikan 6-10 x hentakan abdomen, buka mulut dan lakukan sapuan jari, reposisi
pasien, buka jalan nafas dan beri ventilasi buatan. Urutan ini hendaknya diulang sampai
benda asing keluar dan ventilasi buatan dapat dilakukan dengan sukses.
Bila sesudah dilakukan gerakan triple (ekstensi kepala, buka mulut dan dorong
mandibula) dan pembersihan mulut dan faring, ternyata masih ada sumbatan jalan nafas,
dapat dicoba pemasangan orofaringeal airway atau nasofaringeal airway. Bila dengan ini
belum berhasil, perlu dilakukan intubasi trakheal. Bila tidak mungkin atau tidak dapat
dilakukan intubasi trakheal sebagai alternatifnya, krikotirotomi atau punksi membran
krikotiroid dengan jarum berlumen besar ( misal dengan kanula intra vena 14 G). (Zafari,
et all. 2008.)
6. Kompresi jantung + nafas buatan (30 : 2)
Telah dikembangkan teknik baru manual RJP sebagai usaha untuk memperbaiki
perfusi selama resusitasi pada pasien dengan henti jantung, untuk memperbaiki kurva
harapan hidup. Dibandingkan dengan teknik RJP sebelumnya, teknik-teknik dan peralatan
lebih membutuhkan banyak orang, pelatihan dan alat-alat, atau teknik spesifik lainnya.
Beberapa teknik dari RJP dan peralatannya memperbaiki hemodinamik dan angka
keselamatan jangka pendek jika digunakan oleh penolong yang terlatih
Penggunaan beberapa peralatan telah menjadi fokus utama dari penelitian klinis baru.
Penggunaan dari Impedance Threshold Device (ITD) meningkatkan terjadinya ROSC
(kembalinya sirkulasi secara spontan) dan survival jangka pendek jika digunakan pada
pasien henti jantung di luar rumah sakit, namun tidak ada kemajuan berarti pada pasien
yang berhasil selamat dan keluar dari rumah sakit atau secara neurologi klinisnya
membaik.
Teknik RJP dimulai dengan mengkompresi dada sebelum memberikan bantuan nafas
(C-A-B daripada A-B-C). Kompresi dada dapat dimulai sesegera mungkin, sedangkan
tindakan mengatur posisi kepala, mendapatkan lapisan penutup untuk bantuan nafas dari
mulut ke mulut atau memasang masker akan memakan waktu. Dengan memulai kompresi
dada 30 kali dibandingkan ventilasi 2 kali akan mempersingkat perlambatan kompresi
pertama.
Kompresi dada yang adekuat memerlukan kompresi dengan kedalaman dan kecepatan
yang sesuai, dengan pengembangan dada yang komplit setelah setiap kompresi dan
penekanan dalam meminimalkan penghentian kompresi dan menghindari ventilasi yang
berlebihan. Penolong harus memastikan bahwa kompresi dada dilakukan dengan benar.
Kedalaman kompresi yang direkomendasikan pada korban dewasa meningkat dari
kedalaman 1,5-2 inci menjadi setidaknya 2 inci (Latief S, Suryadi K 2007)
2.9 KOMPLIKASI
Komplikasi yang paling terjadi adalah pada pasien IMA adalah aritmia dan gagal
jantung.Komplikasi lainnya, seperti syok kardiogenik, ruptur septum atau dinding
ventrikel, perikarditis, myocardial stunning, dan tromboemboli.
2.10 PROGNOSIS
Kematian otak dan kematian permanen dapat terjadi hanya dalam jangka waktu 8
sampai 10 menit dari seseorang tersebut mengalami henti jantung. Kondisi tersebut dapat
dicegah dengan pemberian resusitasi jantung paru dan defibrilasi segera (sebelum
melebihi batas maksimal waktu untuk terjadinya kerusakan otak), untuk secepat mungkin
mengembalikan fungsi jantung normal. Resusitasi jantung paru dan defibrilasi yang
diberikan antara 5 sampai 7 menit dari korban mengalami henti jantung, akan
memberikan kesempatan korban untuk hidup rata-rata sebesar 30% sampai 45 %. Sebuah
penelitian menunjukkan bahwa dengan penyediaan defibrillator yang mudah diakses di
tempat-tempat umum seperti pelabuhan udara, dalam arti meningkatkan kemampuan
untuk bisa memberikan pertolongan (defibrilasi) sesegera mungkin, akan meningkatkan
kesempatan hidup rata-rata bagi korban cardiac arrest sebesar 64%.
DAFTAR PUSTAKA
Wahyuningsih, Andi. 2012. Pengelolaan Pasien Henti Jantung di Intensive Care Unit.
Jakarta : Majalah Kedokteran Terapi Intensif
British Heart Foundation. 2008. Cardiac Arrest. Available at www.bhf.org.uk
Koike, S., Ogawwa, T., Tanabe, S., Matsumoto, S., Akahane, M., yasunaga, H, et al.
Collapse-to-emergency Medical Service Cardiopulmonary Resuscitation Interval and
Outcomes of out-of-hospital Cardiopulmonary Arrest : a Nationwide Observational
Study. BioMed Central. 2011
Weston, Cliff. Cardiorespiratory Arrest : Emergency Presentation. Elsevier. 2008
Latief S, Suryadi K, Dachlan R. Petunjuk Praktis Anestesiologi Edisi 2. Jakarta: Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI. 2007.
Hazinski M, et all. 2010 Hand book of emergency cardiovaskular care for healthcare
provider. Chicago: American Heart Association. 2010.
Zafari, et all. 2008. Advance in the Acute Management of Cardiac Arrest. Newyork:
Emergency Medicine Practice