Anda di halaman 1dari 27

Laporan Kasus

Seorang Pria 53 Tahun dengan Cardiac Arrest

Oleh:
Dr. Indra Kusuma

Pendamping:
dr. Triyono
dr. Ismy

INTERNSHIP RSUD Muntilan Kab. Magelang


2016
Portofolio Kasus
Nama Peserta : Indra Kusuma
Nama Wahana : RSUD Muntilan Kab. Magelang
Topik : Seorang Pria 53 Tahun dengan Cardiac Arrest
Tanggal (kasus) : 15 Agustus 2016
Nama Pasien : Tn. NM No. RM : 26-68-81
Tanggal Presentasi : Nama Pendamping :
19 September 2016 dr. Triyono
Tempat Presentasi :
RSUD Muntilan Kab. Magelang
Obyektif Presentasi :
■ Keilmuan □ Keterampilan □ Penyegaran □ Tinjauan Pustaka
□ Diagnostik □ Manajemen ■ Masalah □ Istimewa
□ Neonatus □ Bayi □ Anak □ Remaja ■ Dewasa □ Lansia □ Bumil
Deskripsi : Pria, usia 53 tahun datang dengan henti jantung
Tujuan : Mempelajari cara mendiagnosis dan tatalaksana pada pasien cardiac
arrest
Bahan Bahasan : □ Tinjauan Pustaka □ Riset ■ Kasus □ Audit
Cara Membahas : □ Diskusi ■ Presentasi dan diskusi □ Email □ Pos
Data Pasien :
Nama : Tn. NM No. Register : 26-68-81
Nama RS : RSUD Muntilan Kab. Telp : - Terdaftar sejak : 5
Magelang Juli 2016
IDENTITAS PENDERITA

Nama : Tn. NM
Umur : 53 tahun
Jenis kelamin : Pria
Agama : Islam
Suku : Jawa
Alamat : Magelang
Tgl MRS : 15 Agustus 2016
Tgl Pemeriksaan : 15 Agustus 2016
No. RM : 26-68-81

I. Primary Survey
Pasien datang dengan henti nafas ± 5 menit
A: Apneu
B: Apneu
C: Nadi = -
TD = -
D: GCS E1V1M1
Pupil isokor, midriasis -

Tindakan Primary Survey


Pukul 15.30 RJP + Bagging ( 30 : 2 )
Pasang monitor EKG gelombang VT/VF

RJP + Bagging ( 30 : 2 )
Siap kan Defiblator, Defib siap, liat monitor VT/VF, defib 360 j

RJP + Bagging ( 30 : 2 )
Pasang IV line RL
2 menit liat monitor VT, cek nadi -

Siap kan Defiblator, Defib siap, liat monitor VT, defib 360 j
RJP + Bagging ( 30 : 2 ) Pasang ET
Adrenalin 1 amp
2 menit liat monitor VT, cek nadi -
Siap kan Defiblator, Defib siap, liat monitor VT, defib 360 j
RJP + Bagging
Amiodaron 300 mg
2 menit liat monitor VT, cek nadi -
Siap kan Defiblator, Defib siap, liat monitor VT, defib 360 j
RJP + Bagging
Adrenalin 1 amp
2 menit liat monitor VT, cek nadi -
Siap kan Defiblator, Defib siap, liat monitor VT, defib 360 j
RJP + Bagging
Amiodaron 150 mg
2 menit liat monitor PEA, cek nadi –
RJP + Bagging
Adrenalin 1 amp
2 menit liat monitor PEA, cek nadi –
RJP + Bagging
Adrenalin 1 amp
2 menit liat monitor PEA, cek nadi –
RJP + Bagging
Adrenalin 1 amp
2 menit liat monitor ROSC, cek nadi +
Jam 16:00 stop RJP, A : Terpasang ET
B : Tidak adequat lanjut Bagging SpO2 : 93%
C : TD 90/60, N 62x/menit Loading 1000cc
Pasang DC + NGT
A : Terpasang ET
B : Tidak adequat lanjut Bagging SpO2 : 95 %
C : TD 110/70, N 72x/menit
Pupil isokor, midriasis –
EKG : ST Elevasi di V1 – V6
II. Secondary Survey
Anamnesis
Allo-anamnesis dilakukan ke keluarga pasien pada tanggal 15 Agustus 2016

Keluhan Utama : Pasien tidak sadar


Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD tanggal 15 Agustus 2016 diantar oleh keluarganya
dengan keluhan tidak sadar ± 10 menit SMRS.
Riw sebelum tidak sadar : pasien mengeluh nyeri dada, keringat dingin, lemah
anggota gerak -, pusing -, muntah -

Riwayat Penyakit Dahulu


 Riwayat tidak sadar seperti ini disangkal
 Riwayat Kaku dan kejang disangkal
 Riwayat hipertensi disangkal
 Riwayat diabetes disangkal
 Riwayat asma disangkal
 Riwayat alergi disangkal
 Riwayat sakit jantung disangkal
 Riwayat sakit ginjal disangkal

Riwayat penyakit keluarga


 Riwayat Kaku dan kejang disangkal
 Riwayat hipertensi disangkal
 Riwayat sakit gula disangkal
 Riwayat asma disangkal
 Riwayat alergi disangkal
 Riwayat sakit jantung disangkal
 Riwayat sakit ginjal disangkal

Riwayat Kebiasaan
 Kebiasaan merokok + > 10 tahun
 Kebiasaan minum minuman beralkohol disangkal
 Kebiasaan penggunaan narkoba disangkal.
 Kebiasaan konsumsi disangkal
 Kebiasaan konsumsi jamu-jamuan disangkal

III.Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : tidak sadar
Kesadaran : GCS : 3 E1V1M1
Tanda-tanda vital :
 Tekanan darah : 110/70 mmHg
 HR : 72 kali/menit
 Laju napas : terpasang ET dan terbagging
 Suhu : 36,5° C
Saturasi O2: 95%
Kulit : sawo matang, turgor kulit baik
Kepala : mesosefal, edema wajah -/-
Mata : konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, pupil bulat isokor 3mm/3mm,
refleks cahaya langsung dan tidak langsung +/+
Telinga : sekret -/-
Hidung : sekret -/-, terpasang NGT -> keluar cairan hitam pekat
Mulut : pucat (-), merot (-), terpasang ET
Leher : KGB tidak membesar, trakea teraba di tengah, JVP: R+0 cm, simetris,
pembesaran tiroid (-)
Thorax
Paru :
Inspeksi : simetris,
Palpasi : susah dinilai
Perkusi : sonor
Auskultasi : suara dasar vesikuler, suara tambahan (-)
Jantung :
Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : ictus cordis pada sela iga V LMCS
Perkusi : cardiomegaly (-)
Auskultasi : bunyi jantung regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : datar
Auskultasi : BU (+) N
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : timpani seluruh kuadran abdomen

Ekstremitas
Superior : Akral Hangat : +/+
Oedem : -/-
Sianosis : -/-
Inferior : Akral Hangat : +/+
Oedem : -/-
Sianosis : -/-

IV. Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan Laboratorium

Jenis Pemeriksaan Hasil Keterangan

DARAH RUTIN
Hemoglobin Meningkat
Hematokrit Meningkat
Jumlah leukosit Meningkat
Jumlah trombosit Normal
HITUNG JENIS
Basofil Normal
Eosinofil Normal
Neutrofil Meningkat
Limfosit Normal
Monosit Menurun

Jenis Pemeriksaan Hasil

KIMIA DARAH
SGOT/AST
SGPT/ALT
Ureum
Jenis pemeriksaan
Kreatinin Hasil Nilai rujukan Satuan
Na 138.8 135 - 148 Mmol
K 4.43 3.5 – 5.3 Mmol
Cl 103.1 9 - 106 Mmol
V. Resume
Laki – laki usia 53 tahun datang dengan tidak sadae sejak 10 menit SMRS dan
kaku sejak 1 jam SMRS. Riw sebelum tidak sadar : pasien mengeluh nyeri dada
dan keringat dingin Pemeriksaan fisik didapatkan apneu dan henti jantung. Pada
pemeriksaan EKG ST elevasi pada V1 – V6

VI. Diagnosis
Perempuan 53 tahun dengan:
• Cardiac arrest
• STEMI

VII. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan planning sementara pada kasus ini adalah :
 Algoritma VT/VF
 Konsul dr. Novi Sp. An
Dobutamin 3 meq/KgBB
Pantoprazole 1 amp/ 24 jam
Bilas Lambung
Vit K 1 x 1
Pasang Ventilator : Mode : VsimV
PEEP : 5
Rare : 16
V. tidal : 400 – 500
FiO2 : 40 – 50%
Rujuk ICU e.c ICU penuh
 Konsul dr. Ferry Sp.PD
EKG ulang
Inj. Ceftriaxon 2 gr / 24 jam
Drip Paantoprazole 1 amp / 12 jam
Inj. Kalnex 500 mg / jam
IVFD Komafusin Hepar 1:1 asering
Rujuk ICU

VIII. Prognosis:
• Quo ad vitam : dubia ad sanam
• Quo ad functionam : dubia ad sanam
• Quo ad sanactionam : dubia ad sanam

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Cardio-respiratory Arrest atau yang dikenal dengan henti jantung dan henti nafas
merupakan salah satu penyebab kematian utama di dunia. Henti jantung mendadak
menyerang jutaan individu tiap tahunnya dan tak jarang berujung pada kematian. Saat ini
tingkat mortalitas yang diakibatkan oleh henti jantung dan henti nafas tergolong tinggi, namun
perkembangan prosedur resusitasi telah meningkatkan angka kelangsungan hidup pasien
(Wahyuningsih, Andi. 2012).
Cardio-respiratory Arrest adalah suatu keadaan dimana fungsi sirkulasi dan respirasi
berhenti bekerja. Jantung menjadi berhenti memompa darah ke seluruh tubuh dan individu
tersebut berhenti bernafas. Henti jantung dan henti nafas terjadi ketika tidak terdapat adanya
suplai jantung yang efektif. Sebelum terapi spesifik dimulai, bantuan hidup dasar yang
dikenal dengan Basic Life Support (BLS) harus terlebih dahulu diberikan sebagai pertolongan
pertama pada pasien (British Heart Foundation. 2008).
Individu yang menderita Cardio-respiratory Arrest menjadi tidak responsif dan
mengalami penurunan kesadaran dalam waktu singkat dan tidak terdapat adanya fungsi organ
vital. Kasus ini merupakan kegawatdaruratan yang mengancam nyawa. Bila tidak dilakukan
bantuan hidup dasar dengan segera, tingkat kelangsungan hidup pasien akan berkurang 10%
tiap menitnya (Koike, S et al. 2011)
Tingkat perbaikan pada pasien yang bertahan dari keadaan Cardio-respiratory Arrest
pada umumnya sangat rendah pada kasus-kasus yang terjadi diluar Rumah Sakit. Pertolongan
pertama berupa Basic Life Support (BLS) dan Advance Cardiac Life Support (ACLS)
merupakan tindakan penting yang dapat meningkatkan kelangsungan hidup pasien. Resusitasi
jantung paru yang dilakukan sedini mungkin berdampak terhadap kehidupan jangka panjang
pasien yang lebih baik (Weston, Cliff , 2008).

2.1 DEFINISI
Henti jantung adalah penghentian tiba-tiba fungsi pemompaan jantung dan hilangnya
tekanan darah arteri. Saat terjadinya serangan jantung, penghantaran oksigen dan pengeluaran
karbon dioksida terhenti, metabolisme sel jaringan menjadi anaerobik, sehingga asidosis
metabolik dan respiratorik terjadi. Pada keadaan tersebut, inisiasi langsung dari resusitasi
jantung paru diperlukan untuk mencegah terjadinya kerusakan jantung, paru-paru, ginjal,
kerusakan otak dan kematian.
Cardiac arrest adalah hilangnya fungsi jantung secara tiba-tiba dan mendadak, bisa
terjadi pada seseorang yang memang didiagnosa dengan penyakit jantung ataupun tidak.
Waktu kejadiannya tidak bisa diperkirakan, terjadi dengan sangat cepat begitu gejala dan
tanda tampak. American Heart Association menyatakan bahwa cardiac arrest adalah
penghentian sirkulasi normal darah akibat kegagalan jantung untuk berkontraksi secara
efektif.
Berdasarkan pengertian di atas maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa henti
jantung atau cardiac arrest adalah hilangnya fungsi jantung secara mendadak untuk
mempertahankan sirkulasi normal darah untuk memberi kebutuhan oksigen ke otak dan organ
vital lainnya akibat kegagalan jantung untuk berkontraksi secara efektif.
Henti nafas atau gagal nafas adalah suatu kondisi dimana sistem respirasi gagal untuk
melakukan fungsi pertukaran gas, pemasukan oksigen dan pengeluaran karbondioksida.
Keadekuatan itu dapat dilihat dari kemampuan jaringan untuk memasukkan oksigen dan
mengeluarkan karbondioksida (Wahyuningsih, Andi. 2012).
2.2 FAKTOR PREDISPOSISI
Laki-laki usia 40 tahun atau lebih, memiliki kemungkinan untuk terkena cardiac
arrest satu berbanding delapan orang, sedangkan pada wanita adalah satu berbanding 24
orang. Semakin tua seseorang, semakin rendah risiko henti jantung mendadak. Orang dengan
faktor risiko untuk penyakit jantung, seperti hipertensi, hiperkholesterolemia dan merokok
memiliki peningkatan risiko terjadinya cardiac arrest.
Menurut American Heart Association (2010), seseorang dikatakan mempunyai risiko
tinggi untuk terkena cardiac arrest dengan kondisi:
a) Ada jejas di jantung akibat dari serangan jantung terdahulu.
Adanya jejas di jantung karena serangan jantung terdahulu atau oleh sebab lain;
jantung yang terjejas atau mengalami pembesaran karena sebab tertentu cenderung untuk
mengalami aritmia ventrikel yang mengancam jiwa. Enam bulan pertama setelah
seseorang mengalami serangan jantung adalah periode risiko tinggi untuk terjadinya
cardiac arrest pada pasien dengan penyakit jantung atherosclerotic.
b) Penebalan otot jantung (Cardiomyopathy).
Penebalan otot jantung (cardiomyopathy) karena berbagai sebab (umumnya karena
tekanan darah tinggi, kelainan katup jantung) membuat seseorang cenderung untuk
terkena cardiac arrest.

c) Seseorang yang sedang menggunakan obat-obatan untuk jantung.


Beberapa obat-obatan untuk jantung (anti aritmia) justru merangsang timbulnya
aritmia ventrikel dan berakibat cardiac arrest. Kondisi seperti ini disebut proarrythmic
effect. Pemakaian obat-obatan yang bisa mempengaruhi perubahan kadar potasium dan
magnesium dalam darah (misalnya penggunaan diuretik) juga dapat menyebabkan aritmia
yang mengancam jiwa dan cardiac arrest
d) Kelistrikan jantung yang tidak normal.
Beberapa kelistrikan jantung yang tidak normal seperti Wolff-Parkinson-White-
Syndrome dan sindroma gelombang QT yang memanjang bisa menyebabkan cardiac
arrest pada anak dan dewasa muda.
e) Pembuluh darah yang tidak normal.
Pembuluh darah yang tidak normal, jarang dijumpai (khususnya di arteri koronari
dan aorta) sering menyebabkan kematian mendadak pada dewasa muda. Pelepasan
adrenalin ketika berolah raga atau melakukan aktifitas fisik yang berat, bisa menjadi
pemicu terjadinya cardiac arrest apabila dijumpai kelainan tadi.
f) Penyalahgunaan obat.
Penyalahgunaan obat adalah faktor utama terjadinya cardiac arrest pada penderita
yang sebenarnya tidak mempunyai kelainan pada organ jantung.

2.3 PATOGENESIS
Kebanyakan korban henti jantung diakibatkan oleh timbulnya aritmia: fibrilasi ventrikel
(VF), takhikardi ventrikel (VT), aktifitas listrik tanpa nadi (PEA), dan asistol (Hazinski
M, et all. 2010)

a) Fibrilasi ventrikel
Merupakan kasus terbanyak yang sering menimbulkan kematian mendadak, pada
keadaan ini jantung tidak dapat melakukan fungsi kontraksinya, jantung hanya mampu
bergetar saja. Pada kasus ini tindakan yang harus segera dilakukan adalah CPR dan
DC shock atau defibrilasi.

Gambar 2.1. Gambaran Ventrikel Fibrilasi

b) Takikardi ventrikel
Mekanisme penyebab terjadinyan takhikardi ventrikel biasanya karena adanya
gangguan otomatisasi (pembentukan impuls) ataupaun akibat adanya gangguan
konduksi. Frekuensi nadi yang cepat akan menyebabkan fase pengisian ventrikel kiri
akan memendek, akibatnya pengisian darah ke
ventrikel juga berkurang sehingga curah jantung akan menurun. VT dengan keadaan
hemodinamik stabil, pemilihan terapi dengan medika mentosa lebih diutamakan. Pada
kasus VTdengan gangguan hemodinamik sampai terjadi henti jantung (VT tanpa
nadi), pemberian terapi defibrilasi dengan menggunakan DC shock dan CPR adalah
pilihan utama.

2.2 Gambaran Takikardi Ventrikel

c) Pulseless Electrical Activity (PEA)


Merupakan keadaan dimana aktifitas listrik jantung tidak menghasilkan
kontraktilitas atau menghasilkan kontraktilitas tetapi tidak adekuat sehingga tekanan
darah tidak dapat diukur dan nadi tidak teraba. Pada kasus ini CPR adalah tindakan
yang harus segera dilakukan.

2.4 Gambaran Pulseless Electrical Activity (PEA)

d) Asistole
Keadaan ini ditandai dengan tidak terdapatnya aktifitas listrik pada jantung, dan pada
monitor irama yang terbentuk adalah seperti garis lurus. Pada kondisi ini tindakan
yang harus segera diambil adalah CPR.

2.5 Gambaran Asistole

2.4 GEJALA KLINIS


Tanda- tanda cardiac arrest yaitu:
a. Ketiadaan respon; pasien tidak berespon terhadap rangsangan suara,
tepukan di pundak ataupun cubitan.
b. Ketiadaan pernafasan normal; tidak terdapat pernafasan normal ketika jalan
pernafasan dibuka.
c. Tidak teraba denyut nadi di arteri besar (karotis, femoralis, radialis).

2.5 PENATALAKSANAAN
Resusitasi Jantung Paru / Cardio Pulmonary Resusitation
a. Pengertian

Resusitasi Jantung-Paru (RJP) adalah suatu cara untuk memfungsikan kembali


jantung dan paru. Cardio Pulmonary Resusitation (CPR) adalah suatu teknik bantuan
hidup dasar yang bertujuan untuk memberikan oksigen ke otak dan jantung sampai ke
kondisi layak, dan mengembalikan fungsi jantung dan pernafasan ke kondisi normal
(Zafari, et all. 2008.)

b. Prosedur Cardio Pulmonary Resusitation


Pada penanganan korban cardiac arrest dikenal istilah rantai untuk
bertahan hidup (chin of survival); cara untuk menggambarkan penanganan
ideal yang harus diberikan ketika ada kejadian cardiac arrest. Jika salah satu dari
rangkaian ini terputus, maka kesempatan korban untuk bertahan hidup menjadi
berkurang, sebaliknya jika rangkaian ini kuat maka korban
mempunyai kesempatan besar untuk bisa bertahan hidup (Weston, Cliff. 2008)
Chin of survival terdiri dari 4 rangkaian: early acces, early CPR, early
defibrillator,dan early advance care.
a. Early acces: kemampuan untuk mengenali/mengidentifikasi gejala dan
tanda awal serta segera memanggil pertolongan untuk mengaktifasi EMS.
b. Early CPR: CPR akan mensuplai sejumlah minimal darah ke jantung dan otak,
sampai defibrilator dan petugas yang terlatih tersedia/datang.
c. Early defibrillator: pada beberapa korban, pemberian defibrilasi segera ke jantung
korban bisa mengembalikan denyut jantung.
d. Early advance care: pemberian terapi IV, obat-obatan, dan ketersediaan peralatan
bantuan pernafasan.
2.5. Algoritme Henti Jantung

2.6 Bantuan Hidup Dasar


Bantuan hidup dasar merupakan dasar dalam penyelamatan hidup setelah terjadinya
henti jantung. Aspek penting dari bantuan hidup dasar pada usia dewasa meliputi
identifikasi secara cepat henti jantung mendadak, tindakan awal resusitasi jantung yang
berkualitas (kuat dan cepat), dan defibrilasi secepatnya. Bantuan hidup dasar bertujuan
untuk oksigenasi darurat secara efektif pada organ vital seperti otak dan jantung melalui
ventilasi buatan dan sirkulasi buatan sampai paru dan jantung dapat menyediakan oksigen
dengan kekuatan sendiri secara normal. Resusitasi mencegah agar sel-sel tidak rusak akibat
kekurangan oksigen. Sirkulasi yang berhenti 3-4 menit akan mengakibatkan kerusakan
otak yang permanen. Jika pasien mengalami hipoksemia sebelumnya, batas waktu menjadi
lebih pendek (Weston, Cliff. 2008).
Tanpa bantuan hidup dasar (Resusitasi Jantung Paru) kemungkinan korban untuk
bertahan hidup berkurang antara 7-10% /menit, dengan bantuan hidup dasar (Resusitasi
Jantung Paru) kemungkinan korban untuk bertahan hidup bertambah antara 3-4% /menit
sampai dilakukan defibrilasi (Zafari, et all. 2008.)
Indikasi bantuan hidup dasar yakni :
1. Henti nafas (apnue)
Bila terjadi henti nafas primer, jantung dapat terus memompa darah selama beberapa
menit, dan sisa O2 yang ada di dalam paru dan darah akan terus beredar ke otak dan organ
vital lain. Penanganan dini pada korban dengan henti nafas atau sumbatan jalan nafas dapat
mencegah henti jantung.
2. Henti jantung (cardiac arrest)
Bila terjadi henti jantung primer, Oksigen tidak beredar dan oksigen yang tersisa
dalam organ vital akan habis dalam beberapa detik.
Perkembangan terbaru pada Guideline American Heart Asosiation (AHA) untuk RJP
dan perawatan kegawatan kardiovaskular tahun 2010 adalah perubahan urutan langkah
Bantuan Hidup Dasar dari ABC menjadi CAB baik untuk pasien dewasa maupun anak-
anak (anak dan balita kecuali bayi baru lahir). Guideline AHA untuk RJP dan perawatan
kegawatan kardiovaskular tahun 2010 merekomendasikan perubahan ini karena:
1. Sebagian besar henti jantung terjadi pada dewasa dan angka keberhasilan
tertinggi adalah henti jantung yang terjadi pada pasien henti jantung dengan irama VF
(ventricular fibrillation) atau VT (ventricular tachycardia) tanpa nadi. Pada pasien-pasien
ini elemen awal yang paling penting dari RJP adalah kompresi dada dan defibrilasi
secepatnya.
2. Pada urutan kompresi dada ABC seringkali terlambat ketika penolong
membuka jalan nafas untuk memberikan bantuan nafas dari mulut ke mulut atau
memasukkan perlengkapan ventilasi. Dengan merubah ke urutan CAB, kompresi dada
dapat dimulai lebih cepat dan ventilasi hanya akan sedikit memperlambat kompresi dada
hingga selesai satu siklus (kompresi 30 kali diselesaikan dalam waktu 18 detik).
Langkah-langkah bantuan dasar hidup:
1. Pastikan keamanan
Sebelum melakukan pertolongan hal yang paling diutamakan adalah keamanan bagi si
penolong.
2. Periksa kesadaran
Lihat tingkat kesadaran penderita misalnya dengan cara seperti mengguncangkan bahu
dengan lembut lalu menanyakan : ”apakah anda baik-baik saja?” Jika ada respons maka :
• Jangan ubah posisi korban.
• Cari hal yang tidak beres.
• Ulangi pemeriksaan berkala.
3. Panggil bantuan / telpon ambulan
4. Buka jalan nafas & nilai pernafasan
Nilai Airway Control dengan Look, Listen and Feel dalam waktu kurang dari 10 detik.
Pastikan korban bernafas spontan dan normal. Jika tidak ada nafas spontan buka jalan
nafas penderita.
Sumbatan jalan nafas oleh lidah yang menutupi dinding posterior faring merupakan
persoalan yang sering timbul pada pasien tidak sadar yang terlentang. Ada cara yang
dianjurkan untuk menjaga agar jalan nafas tetap terbuka, yaitu : (Zafari, et all. 2008.)
a. Metode Head Tilt
Penolong mengekstensikan kepala korban dan dengan satu tangan sementara tangan
yang lain menyangga bagian atas leher korban.
b. Metode Chin lift
Kepala diekstensikan dan dagu diangkat ke atas. Metode ini dilakukan jika tidak ada
trauma pada leher. Satu tangan penolong mendorong dahi ke bawah supaya kepala
tengadah, tangan lain mendorong dagu dengan hati-hati tengadah, sehingga hidung
menghadap ke atas dan epiglotis terbuka.

Gambar 2.6. Metode Head Tilt dan Chin Lift

c. Metode Jaw Thrust


Kepala diekstensikan dan mandibula didorong maju dengan memegang sudut
mandibula korban pada kedua sisi dan mendorongnya ke depan. Pada pasien dengan
trauma leher, rahang bawah diangkat didorong ke depan pada sendinya tanpa
menggerakkan kepala-leher. Pendorongan mandibula saja tanpa ekstensi kepala juga
merupakan metode paling aman untuk memelihara jalan nafas atas tetap terbuka, pada
pasien dengan dugaan patah tulang leher.

Gambar 2.7 Metode Jaw Thrust

Bila korban yang tidak sadar bernafas spontan dan adekuat (tidak ada sianosis), korban
sebaiknya diletakkan dalam posisi sisi mantap untuk mencegah aspirasi. Ekstensikan
kepalanya dan pertahankan mukanya lebih rendah. Letakkan tangan pasien sebelah atas di
bawah pipi sebelah bawah untuk mempertahankan ekstensi kepala dan mencegah pasien
berguling ke depan. Lengan sebelah bawah yang berada di punggungnya, mencegah pasien
terguling ke belakang (Zafari, et all. 2008.)
5. Beri nafas buatan pertama 2x
Breathing support yang diberikan pertama kali adalah ventilasi buatan sebanyak 2x
setelah airway baik pada oksigenasi paru darurat. Pertukaran gas yang terjadi pada saat
bernafas mutlak untuk pertukaran oksigen dan mengeluarkan karbondioksida dari tubuh.
Bila pernafasan spontan tidak timbul, diperlukan ventilasi buatan. Nafas buatan tanpa
alat dapat dilakukan dengan cara mulut ke mulut (mouth-to-mouth), mulut ke hidung
(mouth-to-nose), mulut ke stoma trakeostomi atau mulut ke mulut via sungkup muka.
Untuk melakukan ventilasi mulut-kemulut penolong hendaknya mempertahankan kepala
dan leher korban dalam salah satu sikap yang telah disebutkan di atas dan memencet
hidung korban dengan satu tangan atau menutup lubang hidung pasien dengan pipi
penolong. Selanjutnya diberikan 2 kali ventilasi dalam dalam (1 kali ventilasi = 1-1 ½
detik). Kemudian segera raba denyut nadi karotis atau femoralis. Bila ia tetap henti nafas
tetapi masih mempunyai denyut nadi diberikan ventilasi dalam (800-1200 ml) setiap 5
detik.2 Bila denyut nadi karotis tak teraba, 2 kali ventilasi dalam harus diberikan sesudah
tiap 30 kompresi dada.
Gambar 2.8. Metode Mouth to Mouth

Bila ventilasi mulut ke mulut atau mulut ke hidung tidak berhasil baik, walaupun jalan
nafas telah dicoba dibuka, faring korban harus diperiksa untuk melihat apakah ada sekresi
atau benda asing. Pada tindakan jari menyapu hendaknya korban digulingkan pada salah
satu sisinya. Sesudah dengan paksa membuka mulut korban dengan satu tangan memegang
lidah dan rahangnya, penolong memasukkan jari telunjuk dan jari tengah tangan yang lain
ke dalam satu sisi mulut korban, melalui bagian belakang faring, keluar lagi melalui sisi
lain mulut korban dalam satu gerakan menyapu. Bila tindakan ini gagal untuk
mengeluarkan benda asing, hendaknya dikerjakan hentakan abdomen (abdominal thrust,
gerak heimlich) atau hentakan dada (chest thrust). Hentakan dada dilakukan pada korban
yang terlentang, tekhnik ini sama dengan kompresi dada luar. Urutan yang dianjurkan
adalah berikan 6-10 x hentakan abdomen, buka mulut dan lakukan sapuan jari, reposisi
pasien, buka jalan nafas dan beri ventilasi buatan. Urutan ini hendaknya diulang sampai
benda asing keluar dan ventilasi buatan dapat dilakukan dengan sukses.
Bila sesudah dilakukan gerakan triple (ekstensi kepala, buka mulut dan dorong
mandibula) dan pembersihan mulut dan faring, ternyata masih ada sumbatan jalan nafas,
dapat dicoba pemasangan orofaringeal airway atau nasofaringeal airway. Bila dengan ini
belum berhasil, perlu dilakukan intubasi trakheal. Bila tidak mungkin atau tidak dapat
dilakukan intubasi trakheal sebagai alternatifnya, krikotirotomi atau punksi membran
krikotiroid dengan jarum berlumen besar ( misal dengan kanula intra vena 14 G). (Zafari,
et all. 2008.)
6. Kompresi jantung + nafas buatan (30 : 2)
Telah dikembangkan teknik baru manual RJP sebagai usaha untuk memperbaiki
perfusi selama resusitasi pada pasien dengan henti jantung, untuk memperbaiki kurva
harapan hidup. Dibandingkan dengan teknik RJP sebelumnya, teknik-teknik dan peralatan
lebih membutuhkan banyak orang, pelatihan dan alat-alat, atau teknik spesifik lainnya.
Beberapa teknik dari RJP dan peralatannya memperbaiki hemodinamik dan angka
keselamatan jangka pendek jika digunakan oleh penolong yang terlatih
Penggunaan beberapa peralatan telah menjadi fokus utama dari penelitian klinis baru.
Penggunaan dari Impedance Threshold Device (ITD) meningkatkan terjadinya ROSC
(kembalinya sirkulasi secara spontan) dan survival jangka pendek jika digunakan pada
pasien henti jantung di luar rumah sakit, namun tidak ada kemajuan berarti pada pasien
yang berhasil selamat dan keluar dari rumah sakit atau secara neurologi klinisnya
membaik.
Teknik RJP dimulai dengan mengkompresi dada sebelum memberikan bantuan nafas
(C-A-B daripada A-B-C). Kompresi dada dapat dimulai sesegera mungkin, sedangkan
tindakan mengatur posisi kepala, mendapatkan lapisan penutup untuk bantuan nafas dari
mulut ke mulut atau memasang masker akan memakan waktu. Dengan memulai kompresi
dada 30 kali dibandingkan ventilasi 2 kali akan mempersingkat perlambatan kompresi
pertama.
Kompresi dada yang adekuat memerlukan kompresi dengan kedalaman dan kecepatan
yang sesuai, dengan pengembangan dada yang komplit setelah setiap kompresi dan
penekanan dalam meminimalkan penghentian kompresi dan menghindari ventilasi yang
berlebihan. Penolong harus memastikan bahwa kompresi dada dilakukan dengan benar.
Kedalaman kompresi yang direkomendasikan pada korban dewasa meningkat dari
kedalaman 1,5-2 inci menjadi setidaknya 2 inci (Latief S, Suryadi K 2007)

Gambar 2.9. Pijat jantung


Langkah dalam melakukan kompresi dada luar yakni korban hendaknya terlentang
pada permukaan yang keras bila kompresi dada luar dilakukan. Penolong berlutut di
samping korban dan meletakkan pangkal sebelah tangannya di atas tengah pertengahan
bawah sternum korban sepanjang sumbu panjangnya dengan jarak 2 jari sefalad dari
persambungan sifisternum. Tangan penolong yang lain diletakkan di atas tangan pertama.
Dengan jari-jari terkunci, lengan lurus dan kedua bahu tepat di atas sternum korban,
penolong memberikan tekanan vertikal ke bawah yang cukup untuk menekan sternum 4-5
cm. Setelah kompresi harus ada relaksasi.7 Penderita dewasa baik terdiri dari satu atau dua
penolong, dilakukan 30 kompresi dada luar (laju : 80-100 kali/menit = 9-12 detik) harus
diikuti dengan pemberian 2 kali ventilasi dalam (2-3 detik). Bila penderita anak-anak dan
bayi, bila terdiri dari satu penolong diberikan 30 kompresi dada luar dan 2 ventilasi dalam.
Sedangkan bila terdapat dua penolong , dilakukan 15 kompresi dada luar dan 2 ventilasi
dalam.
7. Evaluasi setiap 2 menit
Setiap 2 menit setelah dilakukan kompresi jantung + nafas buatan lakukan penilaian
terhadap penderita. Periksa apakah ada tanda-tanda sirkulasi seperti bergerak, bernafas
atau batuk.
8. Jangan hentikan Kompresi jantung dan nafas buatan 30:2 sampai ada indikasi stop
BHD
Keadaan penderita yang tidak sadar, tidak ada pernafasan spontan, reflek muntah dan
dilatasi pupil yang menetap selama 15-30 menit atau lebih merupakan petunjuk kematian
otak kecuali pasien hipotermik atau dibwah efek barbiturat atau dalam anestesi umum.
Akan tetapi, tidak adanya tanggapan jantung terhadap tindakan resusitasi dibanding dengan
tanda-tanda klinis kematian otak, adalah titik akhir yang lebih baik untuk membuat
keputusan mengakhiri upaya resusitasi. Tidak ada aktifitas listrik jantung (asistole) selama
paling sedikit 30 menit walaupun dilakukan upaya RJP dan terapi obat yang optimal, ini
menandakan mati jantung.9
Indikasi stop BHD adalah :
 Kembalinya sirkulasi dan ventilasi spontan
 Pasien dialihrawatkan kepada yang lebih berwenang
 Baru diketahui telah ada tanda-tanda kematian yang irreversibel
 Penolong lelah atau keselamatannya terancam
 Jika 30’ setelah ACLS yang adekuat tidak didapatkan tanda-tanda kembalinya
sirkulasi spontan (asistole yang menetap), bukan intoksikasi obat atau
hipotermia.
Gambar 2.10. Algoritme Perawatan Pasca Henti Jantung

Seseorang dinyatakan mati jantung bila :


1. Fungsi spontan pernafasan dan jantung telah berhenti secara pasti atau irreversibel.
2. Telah terbukti terjadi kematian batang otak
Dalam keadaan darurat tidak mungkin untuk menegakkan diagnosis mati
batang otak. Dalam resusitasi darurat, seseorang dapat dinyatakan mati jika : (Zafari, et all.
2008)
1. Terdapat tanda-tanda mati jantung
2. Sesudah dimulai resusitasi pasien tetap tidak sadar, tidak timbul ventilasi spontan
dan refleks muntah (“gag reflex”), serta pupil tetap dilatasi selama 15-30 menit
atau lebih, kecuali kalau pasien hipotermik atau dibawah pengaruh barbiturat atau
anestesi umum
Circulation support merupakan langkah untuk pengenalan tidak adanya denyut nadi
dan pengadaan sirkulasi buatan dengan kompresi jantung, penghentian perdarahan dan
posisi untuk shock. Circulation support digambarkan melalui :
a. Volume darah dan cardiac output
Perdarahan merupakan sebab utama kematian pasca bedah. Suatu keadaan hipotensi
pada penderita trauma harus dianggap disebabkan oleh hipovolemi sampai terbukti
sebaliknya. Ada tiga penemuan klinis yang dalam hitungan detik dapat memberikan
informasi mengenai keadaan hemodinamik yakni tingkat kesadaran, warna kulit dan nadi.
b. Tingkat kesadaran
Bila volume darah menurun, perfusi otak dapat berkurang, yang dapat mengakibatkan
penurunan kesadaran.
c. Warna kulit
Warna kulit dapat membantu diagnosis hipovolemia. Penderita trauma yang kulitnya
kemerahan terutama pada wajah dan ekstremitas, jarang dalam keadaan hipovolemia.
Sebaliknya wajah pucat keabu-abuan dan kulit ekstremitas yang pucat merupakan tanda
hipovolemia.
d. Nadi
Pemeriksaan nadi besar seperti a.femoralis atau a.karotis (kiri-kanan), untuk kekuatan
nadi, kecepatan dan irama. Nadi yang tidak cepat, kuat dan teratur biasanya merupakan
tanda normo-volemia (bila penderita tidak minum obat beta-blocker). Nadi yang cepat dan
kecil merupakan tanda hipovolemia, walaupun dapat disebabkan keadaan yang lain.
Kecepatan nadi yang normal bukan jaminan bahwa normovolemia. Nadi yang tidak teratur
biasanya merupakan tanda gangguan jantung. Tidak ditemukannya pulsasi dari arteri besar
merupakan pertanda diperlukannya resusitasi segera.
e. Perdarahan
Perdarahan eksternal dihentikan dengan penekanan pada luka. Spalk udara (pneumatic
splinting device) juga dapat digunakan untuk mengontrol perdarahan. Sumber perdarahan
internal (tidak terlihat) adalah perdarahan dalam rongga toraks, abdomen, sekitar fraktur
dari tulang panjang, retro-peritoneal akibat fraktur pelvis atau sebagai akibat daari luka
tembus dada/perut.
Penilaian lain dapat dilihat juga pada tanda-tanda henti jantung, yakni kesadaran
hilang (dalam waktu 15 detik setelah henti jantung), tak teraba denyut arteri besar
(femoralis dan karotis pada orang dewasa atau brakialis pada bayi), henti nafas atau
mengap-mengap (gasping), terlihat seperti mati (death like appearance), warna kulit pucat
sampai kelabu, pupil dilatasi (45 detik setelah henti jantung). Diagnosis henti jantung dapat
ditegakkan bila pasien tidak sadar dan tidak teraba denyut arteri besar. Pemberian ventilasi
buatan dan kompresi dada luar diperlukan pada keadaan sangat gawat ini.

2.7 Bantuan Hidup Lanjut


Bantuan hidup lanjut berhubungan dengan teknik untuk memperbaiki ventilasi dan
oksigenasi korban dan pada diagnosis serta terapi gangguan irama utama selama henti
jantung.7 Bantuan hidup kardiovaskular lanjut meliputi intervensi untuk mencegah henti
jantung, menangani henti jantung, dan meningkatkan luaran pasien yang mencapai
kembalinya sirkulasi yang spontan setelah henti jantung.5 Setelah dilakukan CAB RJP dan
belum timbul denyut jantung spontan, maka resusitasi diteruskan seperti langkah berikut :
(Zafari, et all. 2008)
1. Disability
Menjelang akhir primary survey, dilakukan evaluasi terhadap keadaan neurologis
secara cepat, yang dinilai adalah tingkat kesadaran serta ukuran dan reaksi pupil. Satu
cara sederhana untuk menilai tingkat kesadaran adalah metode AVPU.
A : Alert (sadar)
V : Respon terhadap rangsangan vokal (suara)
P : Respon terhadap rangsangan nyeri (pain)
U : Unresponsive (tidak ada respon)
Cara lain yang digunakan sebagai pengganti AVPU yaitu GCS (Glasgow Coma
Scale) yang merupakan sistem scoring yang sederhana yang dapat meramal kesudahan
atau outcome penderita.
Penurunan kesadaran dapat disebabkan penurunan oksigenasi dan atau penurunan
perfusi ke otak atau disebabkan trauma langsung pada otak. Penurunan kesadaran
menuntut dilakukannya reevaluasi terhadap keadaan oksigenasi ventilasi dan perfusi.
Alkohol dan obat-obatan dapat mengganggu tingkat kesadaran penderita. Walaupun
demikian, bila sudah disingkirkan kemungkinan hipoksia atau hipovolemia sebagai sebab
penurunan kesadaran, maka trauma capitis dianggap sebagai penyebab penurunan
kesadaran dan bukan alkoholisme sampai terbukti sebaliknya.
2. Exposure (kontrol lingkungan)
Penderita harus dibuka keseluruhan pakaiannya dengan cara menggunting guna
memeriksa dan evaluasi penderita. Setelah pakaian dibuka, penting agar penderita tidak
kedinginan (mencegah hipotermi), harus dipakaikan selimut hangat, ruangan cukup
hangat dan diberikan cairan intravena yang sudah dihangatkan.

2.8 Bantuan Hidup Jangka Lama


Bantuan hidup jangka lama merupakan pengelolaan pasca resusitasi yang terdiri dari:
(Zafari, et all. 2008).
1. Gauging
Gauging merupakan cara untuk menentukan dan memberi terapi penyebab kematian dan
menilai sampai sejauh mana pasien dapat diselamatkan.
2. Human Mentation
Sistem saraf pusat diharapkan pulih dengan tindakan resusitasi otak yang baru.
3. Intensive care
Intensive care merupakan resusitasi jangka panjang. Jenis pengelolaan yang diperlukan
pasien yang telah mendapat resusitasi bergantung kepada hasil resusitasi. Pasien yang tidak
mempunyai defisit neurologis dan tekanan darah terpelihara normal tanpa aritmia hanya
memerlukan pantauan intensif dan observasi terus-menerus terhadap sirkulasi, pernafasan,
fungsi otak, ginjal dan hati. Pasien yang mempunyai kegagalan satu atau lebih dari satu
sistem, memerlukan bantuan ventilasi atau sirkulasi, terapi aritmia, dialisis dan resusitasi
otak.
Organ yang paling terpengaruh oleh kerusakan hipoksemia dan iskemik selama henti
jantung adalah otak. Bila pasien tetap tidak sadar hendaknya dilakukan upaya untuk
memelihara perfusi dan oksigenasi otak. Tindakan-tindakan ini meliputi penggunaan agen
vasoaktif untuk memelihara tekanan darah sistemik yang normal, penggunaan steroid
untuk mengurangi sebab otak dan penggunaan diuretik untuk menurunkan tekanan intra
kranial. Oksigen tambahan hendaknya diberikan dan hiperventilasi derajat sedang juga
membantu (Pa CO2 = 25-30 mmHg).

2.9 KOMPLIKASI
Komplikasi yang paling terjadi adalah pada pasien IMA adalah aritmia dan gagal
jantung.Komplikasi lainnya, seperti syok kardiogenik, ruptur septum atau dinding
ventrikel, perikarditis, myocardial stunning, dan tromboemboli.

2.10 PROGNOSIS
Kematian otak dan kematian permanen dapat terjadi hanya dalam jangka waktu 8
sampai 10 menit dari seseorang tersebut mengalami henti jantung. Kondisi tersebut dapat
dicegah dengan pemberian resusitasi jantung paru dan defibrilasi segera (sebelum
melebihi batas maksimal waktu untuk terjadinya kerusakan otak), untuk secepat mungkin
mengembalikan fungsi jantung normal. Resusitasi jantung paru dan defibrilasi yang
diberikan antara 5 sampai 7 menit dari korban mengalami henti jantung, akan
memberikan kesempatan korban untuk hidup rata-rata sebesar 30% sampai 45 %. Sebuah
penelitian menunjukkan bahwa dengan penyediaan defibrillator yang mudah diakses di
tempat-tempat umum seperti pelabuhan udara, dalam arti meningkatkan kemampuan
untuk bisa memberikan pertolongan (defibrilasi) sesegera mungkin, akan meningkatkan
kesempatan hidup rata-rata bagi korban cardiac arrest sebesar 64%.

DAFTAR PUSTAKA
Wahyuningsih, Andi. 2012. Pengelolaan Pasien Henti Jantung di Intensive Care Unit.
Jakarta : Majalah Kedokteran Terapi Intensif
British Heart Foundation. 2008. Cardiac Arrest. Available at www.bhf.org.uk
Koike, S., Ogawwa, T., Tanabe, S., Matsumoto, S., Akahane, M., yasunaga, H, et al.
Collapse-to-emergency Medical Service Cardiopulmonary Resuscitation Interval and
Outcomes of out-of-hospital Cardiopulmonary Arrest : a Nationwide Observational
Study. BioMed Central. 2011
Weston, Cliff. Cardiorespiratory Arrest : Emergency Presentation. Elsevier. 2008
Latief S, Suryadi K, Dachlan R. Petunjuk Praktis Anestesiologi Edisi 2. Jakarta: Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI. 2007.
Hazinski M, et all. 2010 Hand book of emergency cardiovaskular care for healthcare
provider. Chicago: American Heart Association. 2010.
Zafari, et all. 2008. Advance in the Acute Management of Cardiac Arrest. Newyork:
Emergency Medicine Practice

Anda mungkin juga menyukai