Anda di halaman 1dari 31

INTERDISIPLIN (COLLABORATIVE CARE)

2.1 Konsep Collaborative Care


Collaborative Care adalah suatu proses yang terjadi antara perawat dan
tim kesehatan lain untuk membuat rencana dan bekerjasama sebagai kolega,
saling ketergantungan dengan batasan-batasan lingkup praktek masing-
masing, saling mengakui dan saling menghargai terhadap pihak yang
berkontribusi untuk merawat individu, keluarga dan masyarakat (Lindeke and
Sieckert, 2005 dalam Rumanti, 2009). Dalam kolaborasi ini terdapat hubungan
timbal balik dimana (pemberi layanan) yang memegang tanggung jawab
paling besar untuk merawat klien. Praktek kolaborasi ini sebagai pendekatan
multidisiplin dan menekankan tanggung jawab bersama dalam memberikan
asuhan kepada klien (Rumanti, 2009; PPNI, 2005).
Perawatan kolaboratif merupakan hubungan kemitraan antara perawat
pemberi perawatan kesehatan lain terhadap klien dan keluarganya. Perawatan
kolaboratif ini sebagai suatu tindakan profesional dalam memberikan
perawatan bekerja sama dengan klien dan tim kesehatan lain untuk
memaksimalkan manfaat kesehatan bagi klien, mengenali dan tanggap
terhadap pengetahuan dan keahlian, mengambil keputusan, kreatifitas dan
inovasi sehingga tercapai hasil perawatan yang berkualitas (CNA [Canadian
Nurses Association], 2010). Disinilah salah satu peran perawat yakni sebagai
kolaborator dimana perawat bekerjasama dengan tim kesehatan lain untuk
menentukan rencana dan pelaksanaan asuhan keperawatan guna memenuhi
kebutuhan kesehatan klien (Rumanti, 2009; Paryanto, 2006).

2.2 Tujuan Collaborative Care


Adapun tujuan dari Collaborative Care ini secara umum yaitu untuk
mencapai kepuasan dan perawatan klien yang berkualitas tinggi. Beberapa
tujuan lain yang akan dicapai dengan adanya Collaborative Care ini yaitu:
1. Memberikan pelayanan perawatan yang berpusat pada klien dengan
menggunakan kerangka kerja multidisiplin yang bersifat partisipasi dan
terintegrasi.
2. Meningkatkan kontinuitas perawatan
3. Meningkatkan kepuasan klien dan keluarga terhadap pelayanan
4. Meningkatkan keefektifan asuhan dan membantu klien mencapai
kesehatan optimal
5. Kolaborasi sebagai wadah untuk saling mengkomunikasikan,
merencanakan dan menyelesaikan masalah serta mengevaluasi pelayanan.
6. Meningkatkan rasa saling menghargai dan pemahaman antara klien dan
anggota tim perawatan kesehatan.
7. Sebagai kesempatan untuk saling berbagi, membahas dan memecahkan isu
dan masalah kesehatan
8. Membina hubungan interdependen dan pemahaman dikalangan pemberi
perawatandan klien (CAN, 2010; Rumanti, 2009; PPNI [Persatuan
Perawat Nasional Indonesia], 2005).

2.3 Model Praktik Collaborative Care


Way, Jones, and Busing (2000) telah mengembangkan praktik model
kolaborasi terstruktur berdasarkan definisi dan konsep-konsep yang
ada. Model ini menunjukkan hubungan antara penyedia layanan kesehatan,
pasien/keluarga/masyarakat dan pengaturan praktek. Tujuan keseluruhan
adalah untuk memberikan perawatan yang komprehensif dengan penyedia
layanan kesehatan memberikan kontribusi pengetahuan profesional dan
keterampilan ditambah pengalaman individu dan keahlian untuk memberikan
perawatan yang komprehensif dengan cara yang efisien dan efektif,
sementara tetap mempertahankan integritas masing-masing profesi.
Terdapat tiga model atau pola dalam praktek kolaborasi yaitu:
1. Model praktik hirarkis, tipe I
Model hirarkis menekankan komunikasi satu arah, kontak terbatas
antara pasien dan dokter serta dokter sebagai tokoh yang dominan
(Paryanto, 2006 seperti yang dikutip dalam Siegler & Whitney).

2. Model praktik kolaboratif, tipe II


Model praktik kolaborasi menekankan komunikasi dua arah, tetapi
tetap menempatkan dokter pada posisi utama dan membatasi hubungan
antara dokter dan pasien (Paryanto, 2006 seperti yang dikutip dalam
Siegler & Whitney).
3. Model praktik kolaboratif, tipe III
Model praktek tipe III mengubah model sebelumnya. Model ini lebih
berpusat pada pasien, semua pemberi pelayanan harus saling bekerja sama,
baik antara pemberi pelayanan maupun dengan pasien. Model ini tetap
melingkar, menekankan kontinuitas, kondisi timbal balik satu dengan yang
lain dan tidak ada satu pemberi pelayanan yang mendominasi secara terus
menerus (Paryanto, 2006 seperti yang dikutip dalam Siegler & Whitney).
Model Kolaborasi tipe III ini sangat sesuai dalam penerapan
praktek kolaborasi karena kolaborasi yang dilakukan dokter, perawat dan
tenaga kesehatan lainnya semuanya berorientasi kepada pasien. Dalam
situasi apapun, praktik kolaborasi yang baik harus dapat menyesuaikan diri
secara adekuat pada setiap lingkungan yang dihadapi sehingga anggota
kelompok dapat mengenal masalah yang dihadapi pasien hingga
terbentuknya diskusi dan pengambilan keputusan.

Karakteristik esensial penanganan pada penyakit kronis menurut “What”


(2006) adalah
1. Kolaborasi yang erat antara petugas kesehatan primer dan sekunder
bersama dengan petugas spesialis pelayanan mental
2. Penanganan kasus dilakukan supervisi dan mendapatkan dukungan penuh
dari petugas spesialis mental senior
3. Intervensi dilakukan secara konsisten dan rutin, termasuk dalam
pendidikan kesehatan pasien, psikologi dan intervensi farmakologi
4. Perawatan dilakukan Koordinasi dan follow up jangka panjang secara
berkelanjutan
The Newly Designed Collaborative Care Model
Kunci dari kolaborasi:

1. Pasien
a. Paien dan keluarga, dapat berkoordinasi terhadap jalanya perawatan,
menerima dukungan yang dibutuhkan dari staf profesional selama
berada di rumah sakit
b. Care teams dibentuk secara responsive terhadap kebutuhan pasien
c. Peran Perawat (RN) dioptimalkan kepada koordinasi yang konsisten
terhadap perawatan pasien di pelayanan acute medical/surgery.
d. Semua tim menyelesaikan pekerjaanya masing-masing secara tepat
waktu dan optimal. Yang pada poin pentingnya pasien dan keluarga
menerima benefit maksimal dari setiap expertise dan kontribusi yang
diberikan oleh tim
e. Ada peran standar minimal yang harus diterima pasien sesuai dengan
keadaan masing-masing tempat
f. Peran tenaga kesehatan harus diperkuat
g. Staf pendukung efektif harus ada, bekerja minimal sesuai dengan
standar, berada ditempat kerja selama waktu yang ditentukan dan
aktivitas yang dilakukan semua mendukung dalam kelancaran
pelayanan terhadap pasien dan kelaurga
h. Fokus dari tim kolaborasi adalah pasien, semua mengejar bersama-sama
agar pasien mendapatkan keuntungan optimal
2. Proses
a. Perawatan secara komprehensive/discharge planning dikembangkan
pada setiap pasien sedini mungkin dalam melakukan pelayanan
kesehatan. Rencana ini mengantisipasi adanya batas pulang dan
identifikasi isu yang dibutuhkan oleh pasien
b. Budaya baru yang mengarah pasien dan famili menjadi pusat atau
disebut dengan fokus pada konsumen perlu dikembangkan. Ini berarti,
pelayanan kesehatan tidak hanya dilakukan saat pasien atau keluarga
bertanya, namun tim pelayanan kesehatan mengidentifikasi dan
memberikan apa yang dibutuhkan pasien dan keluarga
c. Sebagai bagian dari tim, bisa saja ada pergantian signifikan anggota tim
bila usaha tersebut dirasa perlu agar tim dapat memberikan pelayanan
kesehatan secara efektif.
d. Prioritas dari penyelesaian kasus adalah inisiatif yang memberikan
dampak besar kepada kemampuan intervensi dapat diimplementasikan.
e. Proses ini melibatkan partisitipasi dari pasien dalam perawatan dirinya
dengan cara mengkonfirmasi dan berkomunikasi
f. Selalu menerapkan pengetahuan baru dalam praktek dan meningkatkan
kesempatan dalam belajar dari setiap anggota tim dalam melakukan
penerapan
g. Proses harus didisain secarai perawatan terkoordinasi secara
berkelanjutan meliputi pre and post rawat inap
3. Informasi
a. Alat yang digunakan untuk investment mudah dan cepat di akses yang
mengandung kebenaran informasi pada waktu yang tepat untuk pasien
dan penyedia pelayanan kesehatan
b. Banyak manajemen informasi yang berhubungan dengan keinisitifan
dari sesuatu hal yang terjadi. Segala inisiatif berfkus pada pasien dan
tenaga kesehatan
c. Alat spesialis mungkin bisa dibutuhkan, termasuk alat yang mendukung
untuk melakukan managemen, menumbuhkan keingntahuan dan
edukasi
4. Teknologi
a. Teknologi sebagai pendukung berlangsungnya komunikasi yang
berguna untuk identifikasi, invested, dan integrasi
Teknologi sekiranya dapat digunakan secara mudah, dan mempermudah
tugas penyedia layanan, penuh dengan informasi dan dapat
meminimalkan waktu yang dibutuhkan.

2.4 Tim Collaborative Care


Kolaborasi ini dapat dilakukan oleh beberapa pihak dari tim kesehatan
profesional. Anggota tim kesehatan meliputi: pasien, perawat, dokter,
fisioterapi, pekerja sosial, ahli gizi, manager, dan apoteker. Oleh karena itu
tim kolaborasi hendaknya memiliki komunikasi yang efektif, bertanggung
jawab dan saling menghargai antar sesama anggota tim (Anggraeni, 2013).
Pasien merupakan salah satu anggota tim yang penting. Partisipasi
pasien/keluarga dalam pengambilan keputusan akan menambah kelancaran
perencanaan yang efektif. Seperti pada model kolaborasi tipe III yakni patient
center diharapkan outcome yang diharapakn dapat dicapai dengan melibatkan
pasien dan berfokus pada pasien dalam pelayanan kesehatan (“Peran”, 2014).
Perawat memfasilitasi dan membantu pasien untuk mendapatkan pelayanan
kesehatan dari praktek profesi kesehatan lain. Perawat berperan sebagai
penghubung penting antara pasien dan pemberi pelayanan kesehatan. Dokter
memiliki peran utama dalam mendiagnosis, mengobati dan mencegah
penyakit. Pada situasi ini dokter menggunakan modalitas pengobatan seperti
pemberian obat dan pembedahan. Mereka sering berkonsultasi dengan anggota
tim lainnya sebagaimana membuat referal pemberian pengobatan. Roles
Collaborative Care (“What”, 2006)
1. Pengoptimalan peran Perawat (Register Nurse)
Perawat harus menyediakan bedside coordination pada acute
medical/surgical unit. Perawat yang bertanggung jawab kepada kualitas
penyedia pelayanan kesehatan kepada pasien dan keluarga dan
menyakinkan bahwa pengalaman perawatan pada pasien dilakukan secara
terkoordinasi secara berkelanjutan. Perawat bekerja pada area
penangananya saja, aktivitas lain dapat dilakukan oleh petugas yang
ditugaskan seperti pemberian waktu makan dan perpindahan pasien.
2. Pengoptimalan peran Perawat pelaksana
Perawat pelaksana melakukan perawatan terintegrasi dan melakukan
perawatan yang stabil sesuai dengan perintah dari RN atau tenaga
kesehatan lain (dokter) apabila pasien tidak stabil. Aktivitas yang
dilakukan termasuk housekeeping support and sticking carts and supplies
3. Pengenalan Assistive Personnel pada tim collaborative Care
Ada pendampingan pada setiap aktivitas personal pasien untuk menjawab
kebutuhan pasien, menjawab bell, dan persiapan bedside. Peran lain dapat
termasuk pada pelaksanaan kebutuhan pasien yang tidak dihandel oleh
perawat.
4. Penguatan peran staff pendukung
Peran setiap tenaga kesehatan harus diperkuat dalam membentuk tim
kolaborasi yang kuat dan erat. Semua tim saling berkontribusi dan bekerja
sama untuk mendapatkan hasil yang paling efektif. Yang terlibat dalam
team sesuai dengan kasus individu seperti psikoterapi, terapi okupasional,
terapi pernafasan, gizi klinis, pekerja sosial, dan farmasi.

2.5 Kriteria Keberhasilan Collaborative Care


Keberhasilan suatu kolaborasi dipengaruhi oleh beberapa factor yakni
faktor interaksi yang merupakan hubungan interpersonal antar anggota tim
yang terdiri dari kemauan dalam berkolaborasi, saling percaya, saling
menghargai dan berkomunikasi dengan baik.Kemudian factor organisasi yang
meliputi struktur organisasi, nilai-nilai keterbukaan, kejujuran, kebebasan
berekspresi, saling ketergantungan dan saling percaya, tersedianya waktu
untuk berinteraksi, diskusi dan standarisasi prosedur dalam bekerja.Dan yang
terakhir yaitu factor lingkungan organisasi yang merupakan elemen diluar
organisasi seperti sistem sosial, budaya dan pendidikan (Rumanti, 2009).
Terdapat 2 kriteria standar kolaborasi menurut PPNI (2005) yaitu:
1. Kriteria Struktur
a. Adanya kebijakan kerja tim dalam memberikan asuhan kesehatan
terhadap klien.
b. Perawat dilibatkan dalam menetapkan kebijakan yang terkait dengan
asuhan klien.
c. Adanya jadwal pertemuan berkala.
d. Tersedianya mekanisme untuk menjamin keterlibatan klien dalam
pengambilankeputusan tim
2 Kriteria Proses
a. Perawat berkonsultasi dengan profesi lain sesuai kebutuhan untuk
memberikanasuhan yang optimal bagi klien.
b. Perawat mengkomunikasikan pengetahuan dan keterampilan
keperawatan sehinggasejawat dapat mengintergrasikannya dalam
asuhan klien
c. Perawat melibatkan klien dalam tim multidisiplin
TerdapatTen lesson yang menjadi kompetensi esensial dalam collaborative
care yaitu:
1. Know yourself
Untuk mempercayai diri sendiri dan orang lain sehingga mengetahui
model mental diri sendiri
2. Learn to value and manage diversity
Perbedaan merupakan aset yang penting dalam kolaborasi yang efektif
3. Develop constructive conflict resolution skills
Konflik dalam kolaboratif dipandang sebagai suatu yang normal dan untuk
memberikan kesempatan dalam memperdalam pemahaman dan
kesepakatan
4. Use your power to create win-win situation
Pembagian kekuasaan dan pengakuan seseorang merupakan bagian dari
kolaborasi yang efektif
5. Master interpersonal and process skills
Kompetensi klinis, kerjasama dan fleksibilitas adalah atribut yang
diidentifikasi untuk mencapai kolaboratif yang diinginkan
6. Recognice that collaboration in a journey
Keterampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan untuk kolaborasi yang
efektif membutuhkan waktu dan latihan. Resolusi konflik, keunggulan
klinis, penyelidikan apresiatif dan pengetahuan tentang proses kelompok
adalah keterampilan belajar untuk seumur hidup.
7. Leverage all multidisciplinary forums
Memberikan kesempatan untuk menilai bagaimana dan kapan untuk
menawarkan komunikasi kolaboratif untuk membangun kemitraan.
8. Appreciate that collaboration can occur spontaneously
Kolaborasi harus selalu ada dalam kondisi spontan sekalipun
9. Balance autonomy and unity in collaborative relationships
Belajar dari keberhasilan kolaborasi ataupun dari kegagalan, mencari
umpan balik dan mengakui kesalahan untuk keseimbangan dinamis.
10. Remember that collaboration is not require for all decisions
Kolaborasi bukanlah obat mujarab, juga tidak diperlukan dalam segala
situasi (Gardner, 2005).

Kolaborasi dapat berjalan dengan baik jika semua profesi memiliki


persamaan visi dan misi, mengetahui batas-batas pekerjaannya, dapat bertukar
informasi dengan baik serta mengakui keahlian profesi lainnya yang terlibat
dalam kolaborasi itu sendiri.Selain itu, kolaborasi akan berjalan efektif bila
didukung dengan adanya kompetensi interpersonal, rasa saling kepercayaan,
menghormati dan menghargai pengetahuan dan kemampuan yang berbeda.
Ditambah juga dengan elemen penting agar tercapainya kolaborasi yang
efektif (Anggraeni,2013 ; Himika, 2013 ; Tarigan, 2011).

2.6 Elemen-Elemen Penting dalam Kolaborasi


Interprofessional praktek kolaboratif dimana ada beberapa petugas
kesehatan dari latar belakang profesi yang berbeda bekerja sama dengan
pasien, keluarga, penjaga dan masyarakat untuk memberikan perawatan
berkualitas tinggi, melalui beberapa elemen kolaboratif meliputi rasa hormat,
kepercayaan, berbagi pengambilan keputusan dan kemitraan (WHO, 2010).
a. Kerjasama
Mengacu pada kesediaan masing-masing operator untuk mencari,
mendengarkan, dan belajar dari satu sama lain.
b. Ketegasan
Mengacu pada kesediaan masing-masing operator untuk menawarkan
informasi dengan keyakinan, menghargai dan mendukung pendekatan /
profesi nya sendiri untuk perawatan dan pengalaman pribadi. Ketika
seorang pelayanan kesehatan dihadapkan dengan suatu masalah antar
pribadi individu agar dapat mengambil salah satu tindakan
apakah menghindari, mengakomodasi, berkompromi, untuk bersaing, atau
untuk berkolaborasi.
c. Otonomi
Mengacu pada otoritas penyedia untuk membuat keputusan secara
independen dan melaksanakan rencana perawatan. Hal ini didasarkan pada
lingkup penyedia praktek dan keahlian individu. Otonomi tidak
bertentangan dengan kolaborasi dan berfungsi sebagai pelengkap kerja
bersama. Tanpa kemampuan untuk bekerja secara mandiri, tim penyedia
menjadi tidak efisien dan bekerja menjadi tidak terkendali.
d. Tanggung Jawab / Akuntabilitas
Melibatkan menjadi bertanggung jawab atas keputusan yang dibuat dan
tindakan yang diambil. Ini mencakup baik unsur-unsur independen dan
berbagi.
Tanggung jawab Independen terletak pada masing-masing penyedia
mengasumsikan tanggung jawab atas keputusan dan tindakan otonom.
Tanggung jawab bersama terletak pada penyedia berpartisipasi dalam
pengambilan keputusan, memikul tanggung jawab bersama untuk
disepakati keputusan, bertanggung jawab untuk melaksanakan sebagian
dari disepakati rencana perawatan, dan menerima tanggung jawab bersama
untuk hasil yang rencana perawatan.
e. Komunikasi: Setiap anggota tim bertanggung jawab untuk apa (isi)
dan bagaimana (hubungan) ia / dia berkomunikasi.
Apa Bagaimana
Setiap anggota tim bertanggung jawab  Pesan akan diterima berbeda
untuk: tergantung pada bagaimana
 Berbagi dengan orang lain anggota tim melihat satu sama
informasi penting mengenai lain. Merasa superior atau
pasien dan isu-isu yang inferior, daripada sama, akan
berkaitan dengan pengambilan mempengaruhi bagaimana
keputusan. informasi yang dikirim dan
 Informasi verbal dan / atau diterima.
tertulis yang lengkap, relevan,  Team work didukung oleh
ringkas dan tepat waktu komunikasi verbal dan non-verbal
memungkinkan orang lain untuk yang menyampaikan
memahami situasi pasien total menghormati satu sama lain
dan membuat keputusan sebagai mitra sejajar, keterbukaan
berdasarkan informasi yang memungkinkan satu sama
ini. Berkomunikasi dengan cara lain untuk setuju atau tidak setuju
ini juga membantu penyedia dan membangun satu gagasan
layanan untuk orang lain.
mengartikulasikan peran mereka  Komunikasi kolaborasi mungkin
dan untuk menunjukkan terdengar seperti “berdebat
kompetensi mereka. positif” karena setiap pasangan
Dalam rangka untuk merasa bebas untuk menyuarakan
berkolaborasi, penyedia ide-ide dan keprihatinan. Namun
memerlukan akses ke satu sama mendengarkan hormat
lain dan mencatat bahwa memastikan bahwa semua
dokumen pengambilan menerima masukan yang
keputusan dan memungkinkan diperlukan untuk membuat
mereka untuk mengikuti rencana keputusan perawatan pasien yang
perawatan. efektif.
 Sebuah komponen kunci untuk
komunikasi yang efektif adalah
saling mendukung dan penegasan
bahwa tim bekerja dengan baik.
f. Koordinasi meliputi organisasi yang efisien dan efektif dari komponen
yang diperlukan dari rencana perawatan. Untuk setiap situasi pasien,
penyedia harus jelas tentang siapa melakukan apa, siapa yang akan
melaksanakan yang bagian dari rencana dan siapa yang akan memimpin
untuk memastikan bahwa rencana keseluruhan diimplementasikan. Hal ini
penting bagi pasien dan keluarga untuk mengetahui. Koordinasi yang
efektif dan efisien melindungi terhadap fragmentasi dan duplikasi yang
tidak disengaja serta memastikan bahwa perawatan komprehensif
disampaikan dengan melibatkan semua penyedia kesehatan yang tepat.
g. Rasa saling percaya dan menghormati umum untuk dan mengikat semua
elemen lain bersama-sama. Way, Jones, and Busing (2000) menjelaskan
tentang kepercayaan dan rasa hormat seperti halnya waktu, komitmen,
kesabaran dan pengalaman tim sebelumnya positif.
Kepercayaan
Merasa nyaman tergantung pada satu sama lain, percaya bahwa setiap
orang yang kompeten dan dapat diandalkan dan akan bertindak dalam
lingkup mereka sendiri praktek.
Menghormati
Mengetahui dan menghargai kontribusi unik dan saling melengkapi bahwa
setiap profesi dan anggota tim individual yang ditawarkan.
Didukung oleh artikel Way, Jones, and Busing (2000) menyatakan bahwa
tujuh elemen yaitu Kerjasama, ketegasan, otonomi, tanggung jawab
/akuntabilitas, komunikasi, koordinasi, dan saling percaya serta
menghormati sangat penting dalam pelaksanaan kolaborasi antar disipllin
kesehatan.

2.7 Kelebihan dan Hambatan Interprofessional Collaborative Care


Kelebihan dari interprofessional Collaborative care:
1. Terjadi pertukaran informasi, pengetahuan dan keterampilan
2. Saling menghargai dan mendukung antar profesi kesehatan
3. Studi menunjukan bahwa interprofessional collaborative care dapat
mengurangi morbiditas dan mortalitas (Cadell, et al, 2007)
4. Pentingnya hubungan saling menghargai dan mendukung diantara profesi
kesehatan
Hambatan dari interprofessional Collaborative care:
1. Menurut Ginsburg and Tregunno (2005) dan Clark (2011), hambatan
dalam melaksanakan interprofessional collaborative adalah masing-masing
profesi kesehatan memiliki kultur profesi yang sangat otonom dan
kebanggaan terhadap masing-masing profesi
2. Tidak seimbangnya tingkat pengetahuan dan keterampilan antar profesi
kesehatan (Caldwell and Atwal as cited as Blane, 1991; Hugman, 1991;
Carrier and Kendall, 1995)
3. Terjadi tumpang tindih dan bingung peran karena masing-masing profesi
belum paham akan areanya dan belum mau menurunkan ego untuk
berkolaborasi dalam area abu-abu dan lainya.
4. Timbulnya konflik antar profesi
2.8 Penerapan kolaborasi
Pelayanan Colaborative care di area Keperawatan Medikal Bedah
Contoh Penerapan Collaborative Care di Ruang Operasi
Faktor yang mungkin berpengaruh terhadap kesuksesan terjadinya penerapan
collaborative care:
1. Pengalaman profesional kesehatan dengan ranah prakteknya dan Tingkat
kepercayaan diri dalam bekerja pada seting kolaborasi.
Setiap tenaga profesional kesehatan harus percaya diri dengan kemampuan
pengetahuan pada areanya dan keahlianya jika dapat bekerja secara
mandiri.
2. Level pendidikan atau pelatihan sebagai aspek pelegalan
3. Physicians’ support untuk mengetahui peran setiap profesinal kesehatan
dan pengetahuan mereka dalam peran profesionalnya.

Prinsip Kolaborasi
1. Fokus pada Klien
Klien adalah pusat dari perawatan yang dilakukan oleh tim kesehatan dan
sebagai bagian dari pembuat keputusan. Komunikasi efektif antara tim dan
pasien diperlukan untuk meningkatkan kepuasan pasien dan outcomes
terbaik untuk klien
2. Populasi Kesehatan
Populasi yang sehat dibutuhkan oleh klien untuk mendapatkan kebutuhan
pendukung kesehatan. Klien dan tenaga profesional kesehatan dapat
bekerja sama dalam menentukan bagaimana agar klien mendapatkan
dukungan yang efektif untuk meningkatkan kesehatan dan mengatasi
penyakitnya.
3. Trust and Respect
Setiap anggota dari collaborasi practice harus memiliki pemahaman dasar
dan respek pada setiap anggota bahwa semua anggota dalam tim dapat
menjadi konsultan dan rekan berkolaborasi dalam memnuhi kebutuhan
pasien.
4. Komunikasi Efektif
Komunikasi adalah suatu hal esensial bagi terjadinya collaborative practice
dan filosofi central keperawatan dan perubahan pengetahuan. Tim harus
tidak hanya mengerti concersm prepestive dan pengalaman klien dan
keluaraga tetapi juga lingkungan yang membuat pemahaman dan kapasitas
yang mempengaruhi.
5. Consultasi
Konsultasi dilakukan setiap saat pasien membutuhkan atau saat petugas
professional kesehatan merasa bahwa klien membutuhkan konsultasi.

Tugas RN dalam Collaborative Practice di ruang Operasi


1. RN melengkapi rencana awal perawatan berdasarkan pengkajian
komprehensive perawat (Termasuk dengan kondisi kesehatan yang dapat
mempengaruhi outcomes) dan kondisi kompleks dari klien yang telah
ditetapkan
2. RN memastikan setiap pasien memiliki rencana keperawatan yang terdiri
dari masalah prioritas, target keluaran, dan intervensi keperawatan yang
spesifik
3. RN menentukan penyedia pelayanan kesehatan yang tetap untuk
melakukan analisis pada semua rencana perawatan dan
mempertimbangkan faktor klien, perawat, dan lingkungan
4. RN harus melakukan collaborasi dengan LPN ketika LPN melakukan
pelayanan kepada klien
5. RN menjadi koordinator perawatan memastikan klien mendapatkan
pengalaman perawatan yang terkoordinasi dan terintegrasi dari berbagai
perawatan interprofessional
LPN tugasnya adalah
1. LPN berpartisipasi dalam mengembangkan rencana perawatan awal
2. LPN melakukan pengkajian keperawatan pada klien dan memastikan
intervensi sesuai dengan respon yang ditemukan
3. LPN melakukan implementasi yang spesific pada klien sesuai dengan
kompetensi yang dimiliki
4. LPN bisa memberlakukan intervensi sesuai dengan kompetensinya, apakah
sesuai dengan keputusan dirinya sendiri, kolaborasi atau semata-mata
dibuat oleh RN
5. LPN bekerja berkolaborasi dengan RN dan membuat keputusan klinis
sesuai dengan kebutuhan klien secara intens
6. LPN menambahkan atau mengurangi intervensi keperawatan selama klien
tetap dapat memenuhi target outcomes

PREOPERATIVE
Pre-admission
Termasuk sebelum klien menerima operasi, sedasi/analgesi dan anestesi.
Dimulai Pengkajian Preoperative harus dilengkapi dan rencana perawatan
Day of Surgery
Penerimaan pembedahan termasuk sebelum klien mdilakukan pembedahan,
sedasi, analgesik, anestesi. Perawat (RN/LPN) di fase ini fokus pada validasi
data untuk menetapkan rencana keperawatan yang berkelanjutan persiapan
untuk klien pembedahan.
Non-elective Admissions
Pada operasi yang emergency <72 jam, maka RN berkolaborasi bersama LPN
untuk mengembangkan rencana keperawatan, memiliki review data yang
berhubungan dengan penerimaan klien pada area operasi
Pertimbangan
1. Data yang dikumpulkan pada fase pre operasi digunakan untuk
mengembangkan rencana keperawatan pada klien yang mengalami
pembedahan dan harus menjadi data awal/review yang dilakukan oleh RN
pada fase intra operasi
2. Informasu selama fase mungkin dalam rentang 1 minggu sampai satu
tahun yang lalu, hal ini penting untuk mengetahui adanya perubahan
kesehatan signifikan selama ini dibandingkan dengan hari pembedahan,
apabila ada perubahan yang berarti hal ini harus diketahui oleh semua
petugas kesehatan.
3. RN harus mengembangkan keperawatan untuk klien sebagai tugas klien
saat klien mengalami ketergantungan. Hal tersebut berhubungan dengan
faktor ketajaman klien (ASA Klasifikasi). Praktik keperawatan meliputi
mengkondisikan lingkungan sesuai dengan kompetensinya
4. Saat pembedahan, jika data harus sudah direview oleh RN, Apabila data
belum direview, RN harus meminta penangguhan waktu untuk melengkapi
data.

Fase Intraoperative
Fokusnya adalah Kolaborasi tim untuk menyelenggarakan pembedahan yang
aman untuk pasien.
1. Immediate preoperative
Periode dimana Perawat OR menerima klien untuk pergantian klien ke
meja operasi. Selama periode ini RN/LPN dan tim operasi melakukan
validasi dan kontribusi terhadap penetapan rancana perawatan. RN/LPN
bertanggungjawab untuk menerapkan perawatan pada fase perioperative.
Untuk memaksumalkan outcomes klien, maka komunikasi antara tim
adalah sangat penting dilakukan sesuai dengan individu pada setiap klien.
2. Intraoperative
Intraoperative terdiri dari periode dimana klien di tranfer pada meja
operasi sampe klien menerima pada area anestesi. Ada dua tugas utama
perawat, sebagai Scrub role dan circulator.
a. Scrub Role
Scrub nurse bertugas untuk menjadi asistesn pembedahan. Tanggung
jawabnya termasuk namun tidak terbatas pada:
b. Circulator
Peran Sirkulator Primer

Peranya adalah memfasilitasi kepemimpinan dan koordinasi pada


perawatan dan kebutuhan klien dan tim bedah dalam menimbang
informasi, perencanaan, organisasi, delegasi, implementasi, koordinasi,
dan evaluasi aktivitas operasi.
Peran Sirkulator Sekunder
Membuat keputusan secara bersama dalam memberikan rencana
keperawatan selama klien dapat berpartisipasi, membandingkan respon
klien dengan respon harapan.
Post Operative
Post Anestesi Fase I
Pada fase ini klien membutuhkan monitoring dan priotitas tinggi dalam
perawatan. Ketika pasien sudah dapat melewati fase ini dengan kesehatan
yang optimal klien bisa ditransfer dalam post anestesi fase II. Kriteria pasien
ditransfer dapat menggunakan kuisoner yang telah terukur misalnya
Discharge Scoring System. Level dari sedasi meliputi minimal, moderate,
dalam, dan anestesi general.

Post Anestesi Fase II


Fase II ini secara langsung setelah fase I terlewati. Monitoring pada fase ini
tertuju pada kenyamanan pasien dan diharapkan sudah ada partisipasi pasien.
Fase Observasi Luas
Memonitor perkembangan pemulihan klien dan fokus intervensi pada
persiapan klien untuk dirawat di rumah.
Alogoritma Tugas perawat dalam membuat keputusan
Diambil dari Intraoperative decision making algorithm (adapted from the IWK Adult
Surgical Perioperative Collaborative Care Guidelines, 2010)
BAB III
ISU DAN ANALISA KASUS
3.1 Pemaparan Masalah
Contoh Kasus, disampaikan dalam Who (2013)
Fokus dari case study di Edmonto, Alberta adalah rancangan dan
implementasi interprofessional Clinical Learning Units (IPCLUs) di
Perawatan akut, rehabilitasi dan perawatan kompleks. Sebagai tugas dari
perawatan primer, IPCLUs berusaha untuk meningkatkan kapasitas edukasi
klinis melalui baik kegiatan akademik dan anggota tim professional dalam
perawatan pasien. Profesi yang terlibat adalah perawat, ahli patologi, pekerja
sosial, terapis okupasional, terapis fisik, farmasi, terapis rekreasional,
dietarian, dokter, perawat pelaksana, administrator, dan edukator.
IPCLUs sebagai model kolaborative dari interprofessional clinical
teaching dan pengembangan pembelajaran yang aktif pada unit perawatan
memiliki tujuan untuk mempengaruhi perawatan pasien melalui dukungan
terhadap lingkungan interprofessional dan menciptakan pembelajaran yang
positif dan lingkungan praktik belajar bagi siswa, akademik, dan tim garda
depan pada pasien. Program ini dirasakan memiliki gap besar pada area
akademik dan siswa yang praktek di klinik, anggota fakultas dan tim
interprofessional dalam melakukan pembelajaran bersama. Terdapat
peningkatan kesadaran kompetensi inti dari interprofessional (komunikasi,
kolaborasi, kejelasan peran dan refleksi), meningkatnya komunikasi antar
interprofesional dan meningkatnya interaksi antara siswa dengan berbagai
profesi.
Model tersebut melibatkan inisiasi dari IPE, termasuk dalam metode
pembelajaran, pelayanan dalam training, mentoring dan konferensi. Institusi
harusnya mendukung adanya kolaborasi oleh pihak berwenang di kesehatan
dan intitusi keilmuan kesehatan. Outcome dari Alberta program ini
mengindikasikan perubahan kultur pada setiap praktisi, siswa, dan pendidik
dalam mencontohkan kompetensi interprofessional, sehingga mendapatkan
keuntungan untuk pasien. Dimana pre dan post penerapan evaluasi
mengindikasikan keadaan yang kondusif antara IPE, CP dan evidence based
learning.
Tabel Analisa kasus dan penerapan di Indonesia
Pelaksanaan SARAN
ISSUE
EROR DAMPAK
Penerapan program Pelaksanaan CP Pasien - Adanya fasilitator
IPE di Klinik belum terwujud (seperti IPCLUs, kalau
melibatkan karena siswa Akibatnya pasien di Indonesia mungkin
pembelajaran CP cenderung mendapatkan banyak bisa dibentuk tim
antara mahasiswa melakukan praktek pertanyaan dan khusus sebagai CI
keperawatan, bersama dengan pemeriksaan yang kolaborasi atau bisa
kedokteran, dan gizi kelompok kecilnya, berulang. dari perawat, dokter,
kesehatan melakukan atau dietarian yang
Hal ini
pembagian tugas menguasai CP) sebagai
mengakibatkan
pada kelompok penengah dan pengarah
ketidaknyamanan
besar sesuai dengan antara mahasiswa.
pada pasien dan
kompetensi
ketidakefektifan
masing-masing, Adanya duduk bersama
hasil perawatan
dan antar mahasiswa beda
mempresentasikan profesi untuk
hasil tidak dalam merumuskan perawatan
bentuk terpadu. Outcome IPE dan secara integrasi dan
CP kolaborasi.
Hal tersebut terlihat
jelas, saat Tidak tercapai tujuan
pengkajian pembelajaran karena Adanya komunikasi
mahasiswa masing-masing yang efektif terjadi
melakukan masing- profesi hanya sama- diantara mahasiswa
masing. sama bekerja tidak
melakukan kerja dalam melakukan
perawatan
Setelah melakukan sama dalam
pengkajian pun, memecahkan kasus
tidak ada transfer yang digunakan
informasi diantara untuk pembelajaran
kelompok besar CP
dan tidak ada
keterlibatan diskusi
dalam
merencanakan
intervensi secara
terpadu.
Mahasiswa
melakukan praktek
intervensi secara
sendiri dalam
kelompok kecil dan
tidak ada
koordinasi antara
kelompok besar.
Pelaporan kasus
bersama menjadi
disintegrasi sesuai
profesi masing-
masing dan
terdapat intervensi
yang saling
tumpang tindih.
Pengambilan - Antar disiplin - Lama perawatan - Perlu dibentuk case
Keputusan kesehatan (LOS-lengt ofstay) manager secara khusus
khususnya di ICU, bertambah untuk menangani
perawat belum - Tidak bisa permasalahan pasien
dilibatkan dalam langsung dalam pengambilan
pengambilan tertangani keputusan.
keputusan masalahnya
(Coombs, 2003). Perlu diadakan
workshop pelatihan
- Beranggapan - Ada batas antara Colabborative Care
bahwa dokter lah tim pelayanan ditatanan kesehatan.
yang mengambil kesehatan yang Hal tersebut dilakukan
keputusan, perawat seharusnya bisa untuk menjawab
hanya bekerja bersama permasalahan
melaksanakan dalam kewenangan, area
asuhan kepada memecahkan mandiri, area abu-abu,
pasien saja (Cook, permasalahan dan penyatuan model
D., et al., 2003 and pasien. pemikiran.
Lee, D. K. P., et al.,
1994).

Perawat cenderung
mendukung model
konseptual holistic,
sedangkan dokter
lebih fokus kepada
penyakit (Burd, A.,
et al., 2002).
Komunikasi - Komunikasi - Resiko KTD, KNC, - Untuk komunikasi
sebagai pemberi kolaborasi hingga Kematian tertulis dilakukan
informasi interdisplin tidak Lama perawatan penerapan integreted
berjalan dengan (LOS-lengt ofstay) care plan.
baik, dditandai
dengan komunikasi bertambah. Untuk Komunikasi
yang ekslusif antar secara lisan bisa
dokter dan antar dilakukan serah terima
perawat saja pasien baru, pre-post
- Akan lebih sering
(Donchin, Y., et al., conference, dan ronde.
melakukan
1995).
kesalahan dalam
Dilakukan penurunan
menangani
- Pada tatanan unit ego dan pembenaran
pemberian
pelayanan intensif, culture. Salah satunya
pelayanan
dokter telah dengan cara, ada yang
kesehatan
melakukan lebih memfasilitasi untuk
banyak komunikasi terbentuknya forum
dengan keluarga diskusi antara profesi.
dan pasien
mengenai
kesehatan pasien,
tetapi komunikasi
yang dilakukan
dengan perawat
sangat terbatas
(Coeira, E. W.,
2002)

Pembahasan lebih detail tentang kasus pertama adalah berfokus pada ada
gap/penghalan pada IPE dan CP. Misalnya pada pendidikan perawat, perawat
hanya berfokus pada perawat saja, begitu pula dengan profesi kesehatan lainya.
Sehingga teeamwork yang dibentuk tidak adekuat. Harusnya ada
dukungan/peningkatan kolaborasi interprofessional dengan fakultas kesehatan lain
(WHO, 2013).
Budaya profesional dan stereotype menjadi salah satu barier pada terjadinya
kolaborasi, seperti the social heritage of a community, julah total profesi, cara
berpikir dan kebiasaan yang mungkin menggangggu dari grup/orang ke yang
lainya dan tend be passed down dari generasi ke generasi. Budaya profesional
mencakup pada fungsi kepercayaan, nilai, customs dan kebiasaan (WHO, 2013).
Setiap profesi harus mempunyai kemampuan dalam mengetui ranah
profesional profesinya, mengadvokasi pada tindakan profesional profesinya
sehingga pada prakteknya tidak ada tumpang tindig atau konflik yang berkaitan
dengan ranah kerja. Harusnya ada kesamaan dan kekonsistenan bahasa yang
digunakan bersama. Agar setiap tim yang bekerja sama dalam satu tim dapat
memahami dengan baik apa yang dimaksudkan oleh anggota tim lain (WHO,
2013). Kunci agar interprofessional education dan collaborative practice dapat
berjalan dengan baik menurut WHO (2013) adalah
1. Adanya Kepemimpinan dan champions
2. Adanya dukungan secara administrativ dan institusional
3. Adanya menthorship dan pembelajaran
4. Adanya pembagian pemahaman visi dan misi
5. Membangun lingkungan yang mendukung terrjadinya kolaborasi
ICU (Intensive Care Unit) merupakan tempat untuk bekerja dimana
kondisinya membuat stres, dan terdapat anggota- anggota baru dalam tim yang
nantinya memiliki resiko melakukan banyak kesalahan. Dengan demikian banyak
pihak yang akan dirugikan salah satunya pasien, akan mendapatkan pelayanan
yang kurang optimal sehingga angka kematian akan semakin meningkat.
Salah satunya mengenai pengambilan keputuasan dalam pemberian tindakan
maupun pemecahan masalah untuk pasien tersebut, perawat dan dokter harus
saling berkolaborasi untuk mengatasi masalah yang muncul pada pasien dan
mengambil sebuah keputusan demi terlaksananya pelayanana kesehatan yang
optimal dan mengurangi dampak pada pasien maupun tim kesehatan yang terkait
(“Practice”, 2010)
Pada isu kasus komunikasi menurut Kilcoyne (1991), masalah yang sering
terjadi antara profesi kesehatan adalah komunikasi yang terpisah-pisah, meskipun
mereka sering bertemu tapi pendokumentasian menjadi permasalahan yang
mendasar. Catatan kasus sering menjadi sumber komunikasi saat interprofession
jarang berdiskusi, tapi penggunaan dokumentasi perawatan yang terintegrasi akan
memperbaiki masalah komunikasi yang terputus.
Sehubungan dengan itu kolaborasi interdisplin antar tenaga kesehatan di
unit pelayanan intensif seperti komunikasi maupun pengambilan keputusan antara
dokter dan perawat sangat lah penting demi mutu pelayanan kesehatan (George,
A.M.D., et al., 2006 dan Baggs, J.G., et al, 2004). Didikung oleh Laurel (2009),
kolaborasi interdisiplin antar tenaga kesehatan di ICU saling berhubungan, jika
kolaborasi tersebut tidak terlaksana dengan baik maka akan meningkatkan resiko
kesalahan dalam pelayanan dan meningkatkan angka kematian pada pasien di
ICU.
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

4.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA

Nova Scotia. (2013). Collaborative Care Guidlines for Perioperative Nurses. Nova Scotia Perioperative Directors and
Managers Version 18 – Final Draft, Jan 10.
“What”. (2006). What it means for you. Nova Scotia’s New Collaborative Care Model.
WHO. (2013). Interprofessional collaborative practice in primary Health Care: Nursing
and Midwifery Perspectives:Six Case Studi

George Alvarez MD, FRCPC, FJFICM*, Enrico Coiera MBBS, PhD,. (2006). Interdisciplinary
communication: An uncharted source of medical error?. Journal of Critical Care 21, 236–
242

Coiera, E. W., Jayasuriya, R. A., Hardy, J., Bannan, A., Thorpe, M.E. (2002).
Communication loads on clinical staff in the emergency department. Med Journal
Australia, 176(9) :415- 8

Laurel, A. D. (2009). Patient Safety and Collaboration of the Intensive Care Unit Team.
Journal American Association of Critical Care Nurses, 29:85-91

Ginsburg L & Tregunno D (2005). New approaches to interprofessional


education and collaborative practice: lessons from the organizational change
literature. Journal of
Interprofessional Care, 1, 177–187.
Clark PG (2011). The devil is in the details: the seven deadly sins of
organizing and continuing interprofessional education in the US. Journal of
Interprofessional Care, 25(5), 321–327.
Cadell, et al, 2007. Practicing interprofessional team-work from the first day of
class: a model for an interprofessional palliative care course. Journal of
Palliatif Care, 23(4), 273-279, retrieved from EBSCHO CINHL

Caldwell, K and Atwall, A (2003). The problem of interprofessional healthcare


practice in hospital. British journal of nursing,12(20)

Anggraeni, T. (2013). Perawat sebagai Kolaborator. Jurnal akpermus, ISSN 2805-


2754.

CNA. (2010). Canadian nurse practitioner: Core competency framework. Ottawa:


Author. Retrieved October 11st 2014 from http://www.cna-
aiic.ca/CNA/documents/pdf/publications/Competency_Framework_2010_e.p
df

Gardner, D. B. (2005). Ten Lessons in Collaboration.The online jurnal of issues


nursing, 1 (10). Diperoleh 10 Oktober 2014 dari
http://www.nursingworld.org/MainMenuCategories/ANAMarketplace/ANAP
eriodicals/OJIN
Leticia et al. (2005). The Determinants of successful collaboration: A Review of
theoretical and empirical Studies.Journal of Interprofessional Care.

Paryanto, A. T. (2006). Analisis pengaruh faktor kolaborasi perawat terhadap


kepuasan kerja dokter spesialis di rawat inap paviliun garuda RS. Dr. Kariadi
Semarang. Tesis. Semarang : Program Pascasarjana Universitas diponegoro.

PDMMI. (2012). Body of Knowledge dan Standar Kompetensi Dokter Manajemen


Medik.

“Peran”. (2014). Peran dan Kompetensi Dokter dalam Kolaborasi Pelayanan


Kesehatan di Rumah Sakit -RAKERNAS MPKU III Part 5. Diperoleh 18
Oktober 2014 dari http://pascasarjana.umy.ac.id/mmr/?p=1772

Permenkes RI No 71. (2013). Pelayanan Kesehatan pada jaminan kesehatan


nasional Bab I Pasal I.

PPNI. (2014). Standar Praktek. Diperoleh 13 Oktober 2014 dari http://www.inna-


ppni.or.id/index.php/standar-praktek
“Practice”. (2010). Practice model collaborative care family doctor and nurse
practitioners. Avalible on 14 Oct 2014 at 10.00 p.m
https://meds.queensu.ca/central/assets/modules/seipcle-
01/mod/cooperation_and_assertiveness.html
Sutiyoso, A., Gartinah, T., Raharjo, S., Hadad, T. (2014). Peran Komite Medik
dalam Kerangka Clinical Governance untuk Mencegah Fraud di RS.Annual
Scientific Meeting dalam Rangka Dies Natalies Fk Ugm Ke-68 dan Ulang
Tahun Rsup Dr. Sardjito Ke-32.

Tarigan, E. (2011). Kolaborasi perawat dengan dokter. USU Institusional


Repository.

Way, D., Jones, L., Busing, N. (2000). Implementation strategies: Collaboration in primary
care doctors & nurse practitioners delivering shared care. Toronto: The Ontrio Collage.

Kilkoyne A (1991) Post Griffiths: The art of communication and


collaboration in the primary health care team, Marylrbone monograph 1.
Marylebone centre trust, Londong

Anda mungkin juga menyukai