Anda di halaman 1dari 50

Hak Dan Kewajiban Suami Isteri Dalam Islam

Sebelum membahas secara panjang lebar tentang hak dan kewajiban suami isteri dalam keluarga,
ada baiknya penulis terlebih dahulu menjelaskan pengertian seperlunya terkait dengan hak dan
kewajiban.

A. Pengertian Hak dan Kewajiban


1. Pengertian dan Macam-macam Hak
Dalam bahasa latin untuk menyebut hak yaitu dengan ius, sementara dalam istilah Belanda
digunakan istilah recht. Bahasa Perancis menggunakan istilah droit untuk menunjuk makna hak.
Dalam bahasa Inggris digunakan istilah law untuk menunjuk makna hak.
Secara istilah pengertian hak adalah kekuasaan/wewenang yang dimiliki seseorang untuk
mendapatkan atau berbuat sesuatu.[i] Sementara menurut C.S.T Cansil hak adalah izin atau
kekuasaan yang diberikan oleh hukum kepada seseorang.[ii] Menurut van Apeldoorn hak adalah
hukum yang dihubungkan dengan seseorang manusia atau subyek hukum tertentu, dengan demikian
menjelma menjadi suatu kekuasaan.[iii]
Dalam pengertian ini, C.S.T. Cansil membagi hak ke dalam hak mutlak (hak absolut) dan hak
relative (hak nisbi).[iv]
Hak Mutlak (hak absolut)
Hak mutlak adalah hak yang memberikan wewenang kepada seseorang untuk melakukan suatu
perbuatan, hak mana bisa dipertahankan kepada siapapun juga, dan sebaliknya setiap orang harus
menghormati hak tersebut.[v]
Sementara itu macam-macam hak mutlak dibagi ke dalam tiga golongan:[vi]
 Hak Asasi Manusia
 Hak Publik Mutlak
 Hak Keperdataan
Sedangkan macam-macam hak keperdataan yaitu antara lain sebagai berikut:[vii]
 Hak Marital[viii]
 Hak/Kekuasaan Orang Tua
 Hak Perwalian
 Hak Pengampuan

Hak Relatif (hak nisbi)


Hak relatif adalah hak yang memberikan wewenang kepada seseorang tertentu atau beberapa orang
tertentu untuk menuntut agar supaya seseorang atau beberapa orang lain tertentu memberikan
sesuatu, melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu.[ix]
Sedangkan menurut Abdul Wahab Khallaf bahwa hak terdiri dari dua macam yaitu hak Allah dan
hak Adam:[x]
1. Hak Allah[xi]
2. Hak Manusia (hak adam)[xii]
3. Pengertian Kewajiban
Sedangkan kewajiban berasal dari kata wajib yang berarti keharusan untuk berbuat sesuatu. Jadi
pengertian kewajiban yaitu sesuatu yang harus dilakukan oleh seseorang oleh karena
kedudukannya. Kewajiban timbul karena hak yang melekat pada subyek hukum.

B. Nas Sekitar Hak dan Kewajiban Suami Isteri


Dalam Islam, untuk menentukan suatu hukum terhadap sesuatu masalah harus berlandaskan atas
Nas al-Qur’an dan sunnah Nabi.[xiii] Kedua sumber ini harus dirujuk secara primer untuk
mendapatkan predikat absah sebagai suatu hukum Islam. Oleh karena itu, usaha untuk menemukan
Nas yang sesuai dengan masalah yang akan dibahas adalah bagian dari aktifitas penemuan hukum
yang tidak kalah pentingnya dengan menentukan hitam putihnya sebuah hukum. Dalam al-Qur’an
tidak semua permasalahan manusia bisa diketemukan ketentuannya, namun pada biasanya, dalam
menyikapi masalah cabang (furu‘iyah) yang tidak ada penjelasan rincinya, al-Qur’an hanya
memberikan ketentuan secara umum.
Ketentuan umum yang ada dalam al-Qur’an tersebut adakalanya mendapatkan penjelasan dari al-
Qur’an sendiri di tempat yang lain, dan adakalanya mendapatkan penjelasan sunnah Nabi (sebagai
fungsi penjelas), namun adakalanya tidak ada penjelasan dari dua sumber primer tersebut. Masalah
hak dan kewajiban suami isteri relatif mendapatkan banyak penjelasan baik yang berupa prinsip-
prinsipnya maupun detail penjelasannya. Terkait dengan masalah hak dan kewajiban suami isteri
dalam rumah tangga, kiranya beberapa ketentuan-ketentuan al-Qur’an di bawah ini akan membantu
menjelaskan.
Sementara itu mengenai hak dan kewajiban bersama antara suami isteri, penyusun tidak
menemukan ketentuan al-Qur’an yang mengatur secara khusus, bahkan Khoiruddin Nasution dan
Ahmad Azhar Basyir misalnya, berbeda pendapat tentang dalil mana yang mengatur tentang hak
dan kewajiban bersama tersebut. Namun sebagai pertimbangan dalam memperkaya dalil-dalil
tentang hak dan kewajiban bersama antara suami isteri akan dikemukakan beberapa dalil yang
dipakai Khoiruddin Nasution dan Ahmad Azhar Basyir yang antara lain sebagai berikut:
ّ
‫يؤمن باهلل واليوم األخر وبعولتهن‬ ّ ‫والمطلقت يتربصن بأنفسهن ثلثة قروء وال يحل لهن أن يكتمن ما خلق هللا في أرحامهن إن‬
‫كن‬
ّ
]xiv[‫ وهللا عزيز حكيم‬،‫عليهن درجة‬ ّ
‫عليهن بالمعروف وللرجال‬ ّ
‫ولهن مثل الذي‬ ّ
،‫بردهن في ذلك إن أرادوا إصلحا‬ ‫أحق‬

]xv[‫وليخش الذين لو تركوا من خلفهم ذرية ضعفا خافوا عليهم فليتقوا هللا وليقولوا قوال سديدا‬

ّ
‫وعاشروهن‬ ،‫أتيتموهن إالّ أن يأتين بفحشة مبينة‬
ّ ‫يأيها الذين أمنوا اليحل لكم أن ترثوا النساء كرها وال تعضلوهن لتذهبوا ببعض ما‬
ّ
]xvi[‫كرهتموهن فعسى أن تكرهوا شيئا ويجعل هللا فيه خيرا كثيرا‬ ‫ فإن‬،‫بالمعروف‬
Tiga ayat di atas menjelaskan tentang hak dan kewajiban bersama antara suami dan isteri.
Selanjutnya mengenai ketentuan kewajiban memberi maskawin oleh suami yang menjadi hak isteri
dalam al-Qur’an dijumpai di beberapa tempat antara lain:[xvii]
‫ فما‬،‫ وأحل لكم ما وراء ذلكم أن تبتغوا بأمولكم محصنين غير مسفحين‬،‫ كتب هللا عليكم‬،‫والمحصنت من النساء إال ما ملكت أيمنكم‬
ّ
]xviii[‫ إن هللا كان عليما حكيما‬،‫ وال جناح عليكم فيما ترضيتم به من بعد الفريضة‬،‫أجورهن فريضة‬ ّ
‫فأتوهن‬ ّ
‫منهن‬ ‫استمتعتم به‬
Ayat di atas menjelaskan tentang kewajiban suami memberikan maskawin kepada isterinya.
Tentang kewajiban suami dalam hal maskawin Allah berfirman juga dijelaskan dalam al-Qur’an
sebagai berikut:
‫يأيها النبي إنا أحللنا لك أزواجك التي أتيت أجورهن وما ملكت يمينك مما أفاء هللا عليك وبنات ع ّمك وبنات عمتك وبنات خالك‬
‫ قد‬،‫وبنات خلتك التي هاجرن معك وامرأة مؤمنة إن وهبت نفسها للنبي إت أراد النبي أنيستنكححا خالصة لك من دون المؤمنين‬
]xix[‫ وكان هللا غفورا رحيم‬،‫علمنا ما فرضنا عليهم في أزواجهم وما ملكت أيمنهم لكيال يكون عليك حرج‬
Sedangkan dalam sunnah Nabi, Nabi bersabda kepada salah seorang sahabat, “nikahlah kamu
sekalipun dengan cincin dari besi.”[xx] Kemudian tentang kewajiban suami yang menjadi hak isteri
dalam hal nafkah dijumpai dalam firman Allah:
]xxi[‫ ال يكلف هللا نفسا إال ما أتها سيجعل هللا بعد عسر يسرا‬،‫ ومن قدر عليه رزقه فلينفق مما أته هللا‬،‫لينفق ذوسعة من سعته‬
ّ
‫رزقهن وكسوتهن بالمعروف التكلف نفس‬ ‫ وعلى المولود له‬،‫ لمن أراد أن يتم الرضاعة‬،‫أولدهن حولين كاملين‬ ّ ‫والولدت يرضعن‬
‫ فإن أرادا فصاال عن تراض منهما وتشاور فالجناح‬،‫ وعلى الوارث مثل ذلك‬،‫التضار ولدة بولدها وال مولود له بولده‬ ّ ،‫إالوسعها‬
‫ واتقوا هللا واعلموا أن هللا بما تعملون‬،‫ وإن أردتم أن تسترضعوا أولدكم فالجناح عليكم إذا سلمتم ما أتيتم بالمعروف‬،‫عليهما‬
]xxii[‫بصير‬
،‫ فالصلحت قنتت حفظت للغيب بما حفظ هللا‬،‫الرجال قوامون على النساء بما فضل هللا بعضهم على بعض وبما أنفقوا من أمولهم‬
ّ ‫ إن هللا كان عليا‬،‫ فإن أطعنكم فالتبغوا عليهن سبيال‬،‫والتي تخافون نشوزهن فعظوهن واهجروهن في المضاجع واضربوهن‬
]xxiii[‫كبيرا‬
Lebih lanjut dalam masalah hak-hak isteri yang ditalak, al-Qur’an memberikan ketentuan sebagai
berikut:
ّ
‫ فإن‬،‫حملهن‬ ّ
‫عليهن حتى يضعن‬ ّ ‫ وإن‬،‫عليهن‬
‫كن أولت حمل فأنفقوا‬ ّ ّ ‫تضار‬
‫وهن لتضيقوا‬ ّ ‫أسكنوهن من حيث سكنتم من وجدكم وال‬
ّ
]xxiv[‫ وإن تعاسرتم فسترضع له أخرى‬،‫أجورهن وأتمروا بينكم بمعروف‬ ّ
‫فأتوهن‬ ‫أرضعن لكم‬
ّ
‫ومتعوهن على الموسع قدره وعلى المقتر قدره متاعا‬ ّ ‫تمسوهن أوتفرضوا‬
،‫لهن فريضة‬ ّ ‫الجناح عليكم إن طلقتم النساء مالم‬
]xxv[‫ حقا على المحسنين‬،‫بالمعروف‬

C. Hak dan Kewajiban Suami Isteri


1. Asas Hukum
Menurut Paul Scholten sebagaimana dikutip oleh Bruggink,[xxvi] asas hukum dapat didefinisikan
sebagai pikiran-pikiran dasar yang terdapat di dalam dan dibelakang sistem hukum, masing-masing
dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim, yang berkenaan
dengannya ketentuan-ketentuan dan keputusan-keputusan individual dapat dipandang sebagai
penjabarannya.
Menurut C.W. Paton, asas adalah a principles is the broad reason, which lies at the base of a rule of
law (asas adalah suatu alam pikiran yang dirumuskan secara luas dan mendasari adanya sesuatu
norma hukum).[xxvii] Sedangkan menurut Chainur Arrasjid asas adalah dasar, pokok tempat
menemukan kebenaran dan sebagai tumpuan berfikir.[xxviii]
Dari ketiga pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa unsur-unsur asas meliputi:
1. Alam pikiran
2. Dasar untuk membentuk norma hukum
Para ahli hukum sepakat bahwa asas hukum mestilah tidak berbentuk istilah operasional layaknya
norma hukum, karena ia akan dijadikan dasar pembentukan norma hukum yang sifatnya konkrit.
Sebagaimana dikatakan van Eikema Hommes bahwa asas hukum tidak boleh dianggap sebagai
norma hukum yang konkrit, tetapi perlu dipandang sebagai dasar umum atau petunjuk bagi hukum
yang berlaku.[xxix]
Senada dengan van Eikema, The Liang Gie sebagaimana dikutip oleh Chainur Arrasjid berpendapat
bahwa asas adalah suatu dalil umum yang dinyatakan dalam istilah umum tanpa menyarankan cara
khusus mengenai pelaksanaannya yang diterapkan pada serangkaian perbuatan untuk menjadi
petunjuk yang tepat bagi perbuatan hukum.[xxx]
Dari berbagai pandangan para ahli di atas dapat disimpulkan disini bahwa asas memiliki peran
penting dalam pembentukan norma hukum. Asas yang benar akan membentuk norma hukum yang
benar, sedangkan asas yang salah akan membentuk norma hukum yang salah pula. Asas hukum
meniscayakan tujuan yang ingin dicapai oleh hukum itu sendiri.
Dalam norma hukum positif adakalanya bahwa asas-asas hukum suatu norma hukum disebutkan
secara eksplisit, namun adakalanya tidak disebutkan. Menurut hemat penyusun ketentuan dalam
Pasal 30-34 tentang hak dan kewajiban suami isteri dalm Undang-Undang Perkawinan, termasuk
norma hukum yang menyebutkan secara eksplisit asas hukumnya. Terutama pada Pasal 31 ayat (1)
yang menyebutkan bahwa hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan
suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.[xxxi]
Tingkat idealitas hukum yang tercermin dalam asas-asas yang melandasi suatu norma hukum
terkadang berjalan secara kontra-produktif dengan prakteknya di lapangan. Hal ini disebabkan salah
satunya oleh kurangnya tingkat penerimaan masyarakat terhadap tradisi hukum baru yang ingin
diciptakan oleh pembuat hukum (policy maker). Oleh karena itu, tidak jarang maksud dan tujuan
pembuatan suatu hukum oleh policy maker tidak diketahui oleh khalayak ramai.
Sedangkan dalam tradisi hukum Islam, untuk menunjuk asas dan tujuan suatu hukum, antara asas
dan tujuan digunakan secara bergantian, walaupun untuk menunjuk objek yang khusus. Misalnya
tentang asas hukum perkawinan dalam Islam yaitu salah satunya musyawarah dan
demokrasi,[xxxii] dan menciptakan rasa aman dan tenteram dalam keluarga.[xxxiii]
Dalam asas hukum perkawinan terkandung juga asas pokok hukum Islam secara umum, misalnya
asas untuk memelihara agama dan memperbaiki keturunan. Satu ketentuan hukum dalam Islam,
disamping memiliki asas normatif temporalnya, juga memiliki asas universal.
2. Hukum Islam Tentang Hak dan Kewajiban Suami Isteri
Dalam Islam, perkawinan dipandang sebagai suatu perbuatan yang luhur dan suci. Perkawinan
bukan hanya perbuatan akad biasa sebagaimana dikenal dalam perkawinan perdata,[xxxiv] lebih
dari itu perkawinan merupakan perbuatan yang memiliki nilai keakhiratan (falah oriented).
Sedangkan hukum melakukannya bergantung pada kondisi subyek hukumnya.[xxxv]
Pada setiap perkawinan, masing-masing pihak (suami dan isteri) dikenakan hak dan kewajiban.
Pembagian hak dan kewajiban disesuaikan dengan proporsinya masing-masing. Bagi pihak yang
dikenakan kewajiban lebih besar berarti ia akan mendapatkan hak yang lebih besar
pula.[xxxvi] Sesuai dengan fungsi dan perannya.[xxxvii]
Selanjutnya mengenai hak dan kewajiban suami isteri, al-Qur’an telah secara rinci memberikan
ketentuan-ketentuannya. Ketentuan-ketentuan tersebut diklasifikasi menjadi:
1. Ketentuan mengenai hak dan kewajiban bersama antara suami isteri
2. Ketentuan mengenai kewajiban suami yang menjadi hak isteri
3. Ketentuan mengenai kewajiban isteri yang menjadi hak suami.
Secara teoretik, untuk menetapkan suatu hukum dalam Islam harus merujuk kepada al-Qur’an dan
sunnah Nabi sebagai sumber primer.[xxxviii]Al-Qur’an digunakan sebagai petunjuk hukum dalam
suatu masalah kalau terdapat ketentuan praktis di dalamnya. Namun apabila tidak ditemukan, maka
selanjutnya merujuk kepada sunnah Nabi.
Sementara itu terkait dengan ketentuan praktis mengenai hak dan kewajiban antara suami dan steri,
banyak ditemukan dalilnya dalam al-Qur’an. Dalil-dalil tersebut meliputi hak dan kewajiban
bersama antara suami dan isteri, kewajiban suami terhadap isteri, kewajiban isteri terhadap suami.
Al-Qur’an tidak menentukan secara khusus tentang hak dan kewajiban bersama suami
isteri.[xxxix] Namun Khoiruddin Nasution berpendapat bahwa surat al-Baqarah (2): 228[xl] dan
surat al-Nisa’ (4): 9[xli] adalah dalil untuk menetapkan hak dan kewajiban bersama.[xlii]
Sedangkan Ahmad Azhar Basyir menggunakan surat al-Nisa’ (4): 19[xliii]sebagai dalil untuk
menetapkan adanya hak dan kewajiban bersama antara suami isteri dalam keluarga atau rumah
tangga.
Dari ketiga ayat al-Qur’an tersebut di atas, baik surat al-Baqarah (2): 228 dan surat al-Nisa (4): 9
dan 19 diperoleh ketentuan hak dan kewajiban suami isteri sebagai berikut:[xliv]
1. Bergaul dengan baik sesama pasangan
2. Ada jaminan hak sesuai dengan kewajiban
3. Halal bergaul antara suami isteri, dan masing-masing dapat bersenang-senang satu sama lain.
Sedangkan katentuan yang berhubungan dengan kewajiban suami terhadap isteri dalam keluarga
dijelaskan dalam firman Allah:
‫ فما‬،‫ وأحل لكم ما وراء ذلكم أن تبتغوا بأمولكم محصنين غير مسفحين‬،‫ كتب هللا عليكم‬،‫والمح صنت من النساء إال ما ملكت أيمنكم‬
ّ
]xlv[‫ إن هللا كان عليما حكيما‬،‫ وال جناح عليكم فيما ترضيتم به من بعد الفريضة‬،‫أجورهن فريضة‬ ّ
‫فأتوهن‬ ّ
‫منهن‬ ‫استمتعتم به‬
Ayat ini menjelaskan tentang kewajiban suami membayar kepada isterinya. Suami tidak boleh
meminta mahar (pada hari-hari berikutnya) dengan jalan paksa, namun apabila isterinya
memberikan dengan sukarela, maka suami dibenarkan untuk mengambilnya. Mahar untuk
selanjutnya menjadi hak penuh isteri apabila telah dicampuri.[xlvi]
Rasulullah juga bersabda bahwa maskawin dan apa saja yang diberikan suami kepada isterinya
adalah menjadi hak isteri sepenuhnya.[xlvii]
‫يأيها النبي إنا أحللنا لك أزواجك التي أتيت أجورهن وما ملكت يمينك مما أفاء هللا عليك وبنات ع ّمك وبنات عمتك وبنات خالك‬
‫ قد‬،‫وبنات خلتك التي هاجرن معك وامرأة مؤمنة إن وهبت نفسها للنبي إت أراد النبي أنيستنكححا خالصة لك من دون المؤمنين‬
]xlviii[‫ وكان هللا غفورا رحيما‬،‫علمنا ما فرضنا عليهم في أزواجهم وما ملكت أيمنهم لكيال يكون عليك حرج‬
Dalam ayat ini dijelaskan bahwa kegunaan mahar adalah untuk menghalalkan hubungan badan
antara suami dan isteri.
]xlix[‫ ال يكلف هللا نفسا إال ما أتها سيجعل هللا بعد عسر يسرا‬،‫ ومن قدر عليه رزقه فلينفق مما أته هللا‬،‫لينفق ذوسعة من سعته‬
Sedangkan ayat ini menjelaskan tentang kewajiban suami untuk mencukupi nafkah isteri. Kadar
nafkah yaitu disesuaikan dengan kemampuannya. Menurut Azhar Basyir bahwa batas minimal
kewajiban nafkah yaitu meliputi keperluan makan, pakaian, perumahan dan sebagainya. Ketentuan
ma‘ruf dalam al-Qur’an juga berlaku untuk ketentuan nafkah, yaitu batas kewajaran (sedang,
tengah-tengah, tidak kurang dari kebutuhan tetapi tidak pula berlebihan)[l]
،‫رزقهن وكسوتهن التكلف نفس إالوسعها‬ّ ‫ وعلى المولود له‬،‫ لمن أراد أن يتم الرضاعة‬،‫أولدهن حولين كاملين‬ ّ ‫والولدت يرضعن‬
‫ وإن‬،‫ فإن أرادا فصاال عن تراض منهما وتشاور فالجناح عليهما‬،‫ وعلى الوارث مثل ذلك‬،‫التضار ولدة بولدها وال مولود له بولده‬ ّ
]li[‫ واتقوا هللا واعلموا أن هللا بما تعملون بصير‬،‫أردتم أن تسترضعوا أولدكم فالجناح عليكم إذا سلمتم ما أتيتم بالمعروف‬
Ayat ini mengokohkan ayat sebelumnya yang memuat kewajiban suami untuk memenuhi nafkah
isteri-isterinya. Sekali lagi dalam ayat ini ditegaskan bahwa kadar nafkah yaitu disesuaikan dengan
kemampuan suami. Kata ‫ بالمعروف‬sebagai pembatas kadar nafkah yang tidak boleh berlebihan,
apalagi memang tidak mampu untuk memberikan nafkah secara berlebihan.
،‫ فالصلحت قنتت حفظت للغيب بما حفظ هللا‬،‫الرجال قوامون على النساء بما فضل هللا بعضهم على بعض وبما أنفقوا من أمولهم‬
ّ ‫ إن هللا كان عليا‬،‫ فإن أطعنكم فالتبغوا عليهن سبيال‬،‫والتي تخافون نشوزهن فعظوهن واهجروهن في المضاجع واضربوهن‬
]lii[‫كبيرا‬

ّ
‫ فإن‬،‫حملهن‬ ّ
‫عليهن حتى يضعن‬ ّ ‫ وإن‬،‫عليهن‬
‫كن أولت حمل فأنفقوا‬ ّ ّ ‫ار‬
‫وهن لتضيقوا‬ ّ s‫أسكنوهن من حيث سكنتم من وجدكم وال تض‬
ّ
]liii[‫ وإن تعاسرتم فسترضع له أخرى‬،‫أجورهن وأتمروا بينكم بمعروف‬ ّ
‫فأتوهن‬ ‫أرضعن لكم‬
Dua ayat di atas menjelaskan tentang hak isteri yang ditalak untuk mendapatkan tempat tinggal.
Menjadi kewajiban suamilah untuk memberikan rumah tempat tinggal dan nafkah sampai masa
persalinan.
ّ
‫ومتعوهن على الموسع قدره وعلى المقتر قدره متاعا‬ ّ ‫تمسوهن أوتفرضوا‬
،‫لهن فريضة‬ ّ ‫الجناح عليكم إن طلقتم النساء مالم‬
]liv[‫ حقا على المحسنين‬،‫بالمعروف‬

Ayat ini menjelaskan tentang hak mut’ah isteri. Sedangkan kadar ukurannya yaitu disesuaikan
dengan kemampuan suami. Kalau suaminya tergolong orang kaya maka harus diberikan dengan
ma‘ruf.[lv]
Sedangkan kewajiban isteri terhadap suami diatur dalam firman Allah sebagai berikut:
‫ فالصلحت قنتت حفظت للغيب بما‬،‫الرجال قوامون على النساء بما فضل هللا بعضهم على بعض وبما أنفقوا من أمولهم‬
‫ إن هللا كان‬،‫ فإن أطعنكم فالتبغوا عليهن سبيال‬،‫ والتي تخافون نشوزهن فعظوهن واهجروهن في المضاجع واضربوهن‬،‫حفظ هللا‬
]lvi[‫عليا ّ كبيرا‬

Menurut Azhar Basyir, berdasarkan dari penjelasan surat an-Nisa’ (4): 34 tersebut di atas dapat
diperoleh ketentuan sebagai berikut:
1. Isteri supaya bertempat tinggal bersama suami di rumah yang telah disediakan
2. Taat kepada perintah-perintah suami, kecuali melanggar larangan Allah
3. Suami berhak memberi pelajaran.

Selanjutnya dalam Ensiklopedi Wanita Muslimah disebutkan bahwa akhlak isteri terhadap suami
yaitu meliputi:[lvii]
1. Wajib mentaati suami, selama bukan untuk bermaksiat kepada Allah.
2. Menjaga kehormatan dan harta suami.
3. Menjaga kemuliaan dan perasaan suami, yaitu berpenampilan di rumah dengan penampilan yang
memikat suami, berbicara dengan tutur kata yang ramah dan selalu membuat perasaan suami senang
dan bahagia.
4. Melaksanakan hak suami, mengatur rumah dan mendidik anak.
5. Tidak boleh menerima tamu yang tidak disenangi suaminya.
6. Tidak boleh melawan suaminya.
7. Tidak boleh membanggakan sesuatu tentang diri dan keluarganya di hadapan suami, baik kekayaan,
keturunan maupun kecantikannya.
8. Tidak boleh menilai dan menganggap bodoh suaminya.
9. Tidak boleh menuduh kesalahan atau mendakwa suaminya, tanpa bukti dan saksi-saksi.
10. Apabila melepas suami pergi bekerja, lepaslah dengan sikap kasih dan apabila menerima
suami pulang krja, sambutlah kedatangannya dengan muka manis, pakaian bersih dan berhias.
11. Harus pandai mengatur urusan rumah tangga.
Setelah melihat ketentuan-ketentuan dalam al-Qur’an yang disebutkan di atas, secara keseluruhan
dapat disebutkan hak-hak dan kewajiban suami isteri dalam keluarga menurut Islam yaitu sebagai
berikut:[lviii]
1. Kewajiban Bersama Suami dan Istri
1. Halal bergaul antara suami dan isteri dan masing-masing dapat bersenang-senang satu sama lain
2. Terjadi mahram semenda
3. terjadi hubungan waris mewarisi
4. bergaul dengan baik antara suami dan isteri sehingga tercipta kehidupan harmonis dan damai
5. Kewajiban Suami Terhadap Isteri
1. Memberi Maskawin (mahar)
2. Memberi nafkah sesuai kemampuannya
6. Kewajiban Istri Terhadap Suami
1. Taat kepada suami
2. Berdiam di rumah, tidak keluar kecuali seizin suami
3. Tidak menerima masuknya seseorang tanpa izin suami.
Sesuai dengan ketentuan-ketentuan al-Qur’an di atas dalam kaidah fikih dijelaskan:

]lix[‫الضرر يدفع بقدر اإلمكان‬


Dari kaidah ini dapat diketahui bahwa adanya kewajiban menghindarkan akan terjadinya suatu
kemudaratan atau dengan kata lain bahwa usaha agar jangan terjadi suatu kemudaratan dengan
segala upaya yang mungkin untuk diusahakan.
Tidak jarang dalam suatu perbuatan bergantung pada perbuatan yang lain. Dan tak jarang pula
perbuatan inti sangat bergantung pada perbuatan perantara. Seperti dalam perkawinan, bahwa
tujuan perkawinan adalah mewujudkan keluarga (rumah tangga) yang bahagia, kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.
Tujuan tersebut tidak akan terwujud manakala tidak ada pembagian tugas-tugas dalam kehidupan
rumah tangga. Seperti misalnya semua tugas-tugas yang berkaitan dengan rumah tangga dikerjakan
oleh suami atau isteri saja, sementara kemampuan isteri atau suami sangat terbatas. Oleh karena itu
diperlukan adanya pembagian tugas-tugas yang berbentuk hak dan kewajiban (sebagai langkah
preventif), dan masing-masing pihak bertindak atas haknya.

[i] Kamus Hukum, J.C.T. Simorangkir, Rudy T. Erwin, J.T. Prasetyo, cet. VI (Jakarta: Sinar
Grafika, 2005), hlm. 60
[ii] C.S.T. Cansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, cet. VIII (Jakarta: Balai
Pustaka, 1989), hlm. 119-120
[iii] Dikutip oleh C.S.T. Cansil dari van Apeldoorn dalam Ibid., hlm. 120
[iv] Ibid.
[v] Ibid.
[vi] Ibid.
[vii] Ibid., hlm. 121
[viii] Hak marital adalah hak seorang suami untuk menguasai isterinya dan harta bendanya. Hak
marital timbul oleh sebab adanya ikatan perkawinan yang sah antara seorang laki-laki dan wanita.
Lihat dalam Ibid.
[ix] Ibid.
[x] Abdul Wahab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam, Ilmu Ushul Fiqh, alih bahasa Noer
Iskandar al Barsany, Moh. Tolchah Mansoer, Ed. I., cet. VII (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002),
hlm. 340
[xi] Hak Allah yaitu perbuatan mukallaf yang berhubungan dengan hukum syari’at, yang bertujuan
untuk kepentingan masyarakat secara umum. Adapun pelaksanaannya dipertanggungjawabkan oleh
penguasa pemerintah. Ibid.
[xii] Hak manusia adalah perbuatan mukallaf yang berhubungan dengan hukum syari’at yang
bertujuan untuk mukallaf secara khusus. Ibid.
[xiii] Semua ulama (Imam Hanafi, Imam Maliky, Imam Syafi’I, dan Imam Hanbaly) sepakat dalam
menempatkan al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai sumber primer, setelah itu beberapa sumber
sekunder yang lain. Dalam tradisi Imam Hanafi ditemukan misalnya sebagai sumber sekunder
dalam menetapkan hukum yaitu, fatwa sahabat, qiyas, istihsan, adat yang telah berlaku di dalam
masyarakat umat Islam. Imam Malik menambahkan sumber hukum dengan Ijma’, qiyas, dan
istislah atau mashalihul mursalah. Kemudian Imam Syafi’I menambahkan selain al-Qur’an dan as-
Sunnah dengan ijma’, qiyas, dan istidlal. Sementara Imam Hanbaly menambhakan dengan fatwa
sahabat, hadi mursal dan hadis da’if , dan qiyas. lihat dalam hlm. Munawar Khalil, Biografi Empat
Serangkai Imam Mazhab (Hanafy, Maliky, Syafi’iy, Hanbaly) cet. Ke-III (Jakarta: Bulan Bintang,
1977), hlm. 73, 127, 220, 296
[xiv] Al-Baqarah (2): 228
[xv] Al-Nisa’ (4): 9
[xvi] Al-Nisa’ (4): 19
[xvii] Khoiruddin Nasution, Islam: Tentang Relasi Suami dan Isteri (Hukum Perkawinan I)
Dilengkapi Dengan Perbandingan UU Negara Muslim (Yogyakarta: Academia+Tazzafa, 2004),
hlm. 241
[xviii] Al-Nisa’ (4): 24
[xix] Al-Ahzab (33): 50
[xx] Diriwayatkan oleh Waki’ dari Sufyan dari Abi Hazim dari Sahl Bin Sa’id, lihat Imam Abi
‘Abdillah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim, Shahih Bukhari, jilid IV (Istanul: Dar al-Fikr, 1981),
hlm. 137.
[xxi] Al- Talaq (65): 07
[xxii] Al-Baqarah (2): 233
[xxiii] Al-Nisa’ (4): 34
[xxiv] Al- Talaq (65): 6
[xxv] Al-Baqarah (2): 236
[xxvi] J.J.H. Bruggink, Refleksi Tentang Hukum, alih bahasa Arief Sidharta, cet. ke-II (Bandung:
Citra Aditya Bakti, 1999), hlm. 119-120
[xxvii] Dikutip oleh Chainur Arrasjid, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, cet. IV (Jakarta: Sinar Grafika,
2006), hlm. 36
[xxviii] Ibid.
[xxix] Dikutip oleh Chainur Arrasjid, dalam Ibid., hlm. 37
[xxx] Ibid.
[xxxi] Tentang asas keseimbangan yang menjadi landasan Pasal 31 ayat (1) ini lihat misalnya
penjelasan C.S.T. Cansil dalam C.S.T. Cansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum
Indonesia, hlm. 226
[xxxii] Dengan adanya asas musyawarah dan demokrasi berarti bahwa dalam segala aspek
kehidupan dalam rumah tangga harus diputuskan dan diselesaikan berdasarkan hasil musyawarah
minimal antara suami dan isteri. Sedang maksud demokrasi adalah antara suami dan isteri harus
saling terbuka untuk menerima pandangan dan pendapat pasangan. Demikian juga antara orang tua
dan anak harus menghargai dan menerima pandangan dan pendapat daari keluarga lain. Khoiruddin
Nasution, Islam: Tentang Relasi Suami dan Isteri…, hlm. 52
[xxxiii] Menciptakan rasa aman dan tenteram dalam keluarga yaitu dalam kehidupan rumah tangga
harus tercipta suasama yang merasa saling kasih, saling asih, saling cinta, saling melindungi dan
saling sayang. Ibid., 57
[xxxiv] Dalam Pasal 26 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dijelaskan, “Undang-undang
memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata.” Lihat juga R. Subekti, R.
Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, ed. revisi, cet. XXXIV (Jakarta: Pradnya
Paramita, 2004), hlm. 8
[xxxv] Perkawinan menjadi wajib apabila seseorang memiliki keinginan kuat untuk kawin dan telah
mempunyai kemampuan untuk melaksanakan dan memikul beban kewajiban dalam hidup
perkawinan serta ada kekhawatiran (apabila tidak kawin) akan berbuat zina. Perkawinan sunnah
yaitu perkawinan bagi seseorang yang yang telah berkeinginan kuat untuk kawin dan telah
mempunyai kemampuan untuk melaksanakan dan memikul kewajiban-kewajiban dalam
perkawinan dan tidak ada kekhawatiran berbuat zina. Perkawinan mubah yaitu perkawinan bagi
seseorang yang sudah memiliki harta, tetapi apabila tidak kawin tidak merasa khawatir akan berbuat
zina dan andaikata kawin pun tidak merasa khawatir akan menyia-nyiakan kewajibannya terhadap
isteri. Perkawnan makruh yaitu perkawinan bagi seseorang yang telah mampu dalam segi material,
cukup mempunyai daya atahan mental dan agama hingga tidak khawatir akan berbuat zina, tetapi
mempunyai kekhawatiran tidak dapat memenuhi kewajiban-kewajibannya terhadap isterinya.
Sedangkan perkawinan haram yaitu perkawinan bagi seseorang yang belum berkeinginan serta
tidak mempunyai kemampuan untuk melaksanakan dan memikul kewajiban-kewajiban hidup
perkawinan sehingga apabila mereka kawin juga akan berakibat menyusahkan isterinya. Ahmad
Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, hlm. 14-16
[xxxvi] Menurut hemat penulis, bahwa Islam menganut asas proporsionalitas dalam persoalan hak
dan kewajiban suami isteri. Islam tidak memandang satu pihak lebih inferior dari pihak yang lain.
Realitas perjalanan Islam yang memperlakukan perempuan sebagai manusia kelas dua setelah laki-
laki disebabkan oleh penyeragaman makna terhadap posisi perempuan yang subordinat tersebut.
kalau tidak dipengaruhi oleh setting historis turunnya Islam di masyarakat yang kebudayaannya
kurang menguntungkan terhadap perempuan. Model penyeragaman makna terhadap semua
ketentuan ayat-ayat al-Qur’an yang berkenaan dengan hak dan kewajiban suami isteri yang
dilakukan oleh kitab-kitab fiqih konvensional diakui pula oleh Hilman Hadikusuma. Menurut
Hilman, ketentuan dalam surat al-Baqarah (2): 228, memang mengesankan adanya kelebihan laki-
laki (suami), akan tetapi tidak berlaku untuk semua hal dan kedudukan suami dan isteri. Hilman
Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama,
cet. I (Bandung: Mandar Maju, 1990), hlm. 115-116. Lihat juga Asghar Ali Engineer, Pembebasan
Perempuan, bahasa oleh Agus Nuryanto, cet. I, alih bahasa Agus Nuryanto (Yogyakarta: LKiS,
2003), 37-65
[xxxvii] Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia…, hlm. 115
[xxxviii] Sebagai sumber sekunder ulama mazhab berbeda pendapat, misalnya imam Hanafy
menambahkan dengan fatwa-fatwa para sahabat, qiyas, istihsan dan adapt sebagai tambahan sumber
sekunder. Imam Maliki menambahkan dengan ijma’ para ulama ahli Madinah di kala itu, qiyas dan
istishlah atau mashlahah mursalah. Imam Syafi’i menambahkan ijma’ dan qiyas sebagai sumber
sekunder sedangkan imam Hanbaly menambahkan dengan fatwa sahabat baik ijma’ maupun yang
masih diperselisihkan, hadis mursal dan hadis d{a‘if dan qiyas. Lihat Munawar Khalil, Biography
Empat Serangkai Imam Mazhab (Hanafy, Maliky, Syafi’iy, Hanbaly) cet. III (Jakarta: Bulan
Bindang, 1977), hlm. 295-296, bandingkan dengan Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid I, cet. III
(Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2005), hlm. 50
[xxxix] Adapun yang dimaksudkan dengan al-Qur’an tidak menyebutkan secara khusus di sini yaitu
bahwa al-Qur’an tidak menentukan detail bagian-bagiannya. Akan tetapi bahwa dalam al-Qur’an
terdapat ketentuan hak dan kewajiban, kiranya para ulama sepakat dengan pernyataan tersebut.
ّ
‫يؤمن باهلل واليوم األخر‬ ّ ‫] والمطلقت يتربصن بأنفسهن ثلثة قروء وال يحل لهن أن يكتمن ما خلق هللا في أرحامهن إن‬xl[
‫كن‬
ّ
‫ وهللا عزيز حكيم‬،‫عليهن درجة‬ ّ
‫عليهن بالمعروف وللرجال‬ ّ
‫ولهن مثل الذي‬ ّ
،‫بردهن في ذلك إن أرادوا إصلحا‬ ‫وبعولتهن أحق‬
‫] وليخش الذين لو تركوا من خلفهم ذرية ضعفا خافوا عليهم فليتقوا هللا وليقولوا قوال سديدا‬xli[
[xlii] Lihat Khoiruddin Nasution, Islam: Tentang Relasi Suami dan Isteri…, hlm. 241
،‫أتيتموهن إالّ أن يأتين بفحشة مبينة‬
ّ ‫] يأيها الذين أمنوا اليحل لكم أن ترثوا النساء كرها وال تعضلوهن لتذهبوا ببعض ما‬xliii[
ّ
‫كرهتموهن فعسى أن تكرهوا شيئا ويجعل هللا فيه خيرا كثيرا‬ ّ
‫ فإن‬،‫وعاشروهن بالمعروف‬
[xliv] Bandingkan antara Khoiruddin Nasution, Islam: Tentang Relasi Suami Isteri…, hlm. 241
dengan Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, hlm. 53
[xlv] Al-Nisa’ (4): 24
[xlvi] Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, hlm. 54
[xlvii] Abu Abdur Rahman Ahmad An-Nasa’iy, Tarjamah Sunan an-Nasa’iy, alih bahasa Bey
Arifin, dkk., jilid III (Semarang, Asy-Syifa’, 1993), hlm. 525, diriwayatkan dari ‘Amr ibnu Syu’aib
dari ayahnya dari Abdullah ibnu Amr berkata, “Rasulullah berkata: “wanita manapun yang diikat
degnan maskawin atau pemberian atau mafakah yang diberikan sebelum akad nikah, maka semua
itu menjadi haknya. Adapun sesuatu yang diberikan setelah akad nikah, maka wanita itu menjadi
milik suami yang memberinya, dan suaminya itu lebih berhak menguasainya”.
[xlviii] Al-Ahzab (33): 50
[xlix] Al- Talaq (65): 07
[l] Lihat Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, hlm.57-58
[li] Al-Baqarah (2): 233
[lii] Al-Nisa’ (4): 34
[liii] Al-Talaq (65): 6
[liv] Al-Baqarah (2): 236
[lv] Ma‘ruf berasal dari kata ‘urf yang berarti adat istiadat atau kebiasaan. Jadi kadar mut’ah yang
diberikan kepada isteri, bagi suami yang kaya disesuaikan dengan lazimnya dipraktekkan
masyarakat sekitar.
[lvi] Al-Nisa’ (4): 34
[lvii] Haya binti Mubarak al-Barik, dalam Ummu Hanin, Ensiklopedi Wanita Muslimah, alih
bahasa oleh Amir Hamzah Fahrudin, cet. XII (Jakarta: Darul Falah, 2006), hlm. 126-127
[lviii] Khoiruddin Nasution, Islam: Tentang Relasi Suami dan Isteri…, hlm. 241, lebih detail lihat
juga Muhammad Baqir al-Habsyi sebagaimana dikuti oleh Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal
Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia…, hlm. 183-184
[lix] Asjmuni Abdurrahman, Qaidah-Qaidah Fiqih, (Jakarta: Bulan-Bintang, 1976), hlm. 84.
Bagikan:

 Google
 Facebook1

 Twitter
 Print


Baca Juga:
1. Kode Etik Profesi Hakim Dalam Islam
2. Persangkaan Dalam Hukum Acara Peradilan Islam
3. Pencatatan Perkawinan Dalam Sistem Hukum Nasional dan Pergulatannya
Makalah; Hak dan Kewajiban Suami Istri

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Islam memandang hubungan antara suami dan istri bukan hanya sekedar kebutuhan semata,
tetapi lebih dari itu Islam telah telah mengatur dengan jelas bagaimana sebuah hubungan agar
harmonis dan tetap berlandaskan pada tujuan hubungan tersebut, yakni hubungan yang dibangun
atas dasar cinta kepada Allah Swt.
Oleh karena itu untuk mewujudkan keluarga yang diliputi oleh ketenangan, diselimuti cinta
kasih dan jalinan yang diberkahi, Islam telah mengajarkan kepada Sang Nabi bagaimana jalinan
antara suami dan istri ini bias sejalan, dapat seia dan sekata.

Maka, melalui makalah ini insyaAllah penulis akan mengupas beberapa yang berkaitan tentang
hak dan kewajiban antara seorang suami dengan istri. Hak yang didasarkan pada kesadaran bukan
sekedar kebutuhan, dan kewajiban yang didasari pada kasih saying dan bukan hanya menjalankan
tugas belaka. Dan Islam telah menjadikan hubungan antara suami istri ini begitu indah jika kita
mampu mengejawantahkannya dalam biduk rumah tangga.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian hak dan kewajiban serta apa yang menimbulkan terjadinya hak dan kewajiban ?
2. Apa sajakah hak dan kewajiban suami terhadap istri?
3. Apa sajakah hak dan kewajiban istri kepada suami?
4. Apa sajakah hak dan kewajiban bersama antara suami dan istri?
C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui pengertian dan penyebab timbulnya hak dan kewajiban.
2. Untuk mengetahui hak dan kewajiban suami kepada istri, istri kepada suami serta kewajiban
bersama antara suami dan istri.

BAB II
PEMBAHASAN
HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTERI

A. Pengertian Hak dan Kewajiban


Hak adalah kekuasaan seseorang untuk melakukan sesuatu, sedangkan Kewajiban adalah
sesuatu yang harus dikerjakan.
Membicarakan kewajiban dan hak suami istri,terlebih dahulu kita membicarakan apa yang
dimaksud dengan kewajiaban dan apa yang dimaksud dengan hak. Adalah Drs. H. Sidi Nazar Bakry
dalam buku karangannya yaitu Kunci Keutuhan Rumah Tangga Yang Sakinah mendefinisikan
kewajiban dengan sesuatu yang harus dipenuhi dan dilaksanakan dengan baik.Sedangkan hak
adalah sesuatu yang harus diterima.
Lantas, pada pengertian diatas jelas membutuhkan subyek dan obyeknya.Maka disandingkan
dengan kata kewajiban dan hak tersebut,dengan kata suami dan istri,memperjelas bahwa kewajiban
suami adalah sesuatu yang harus suami laksanakan dan penuhi untuk istrinya.Sedangkan
kewajiaban istri adalah sesuatu yang harus istri laksanan dan lakukan untuk suaminya.Begitu juga
dengan pengertian hak suami adalah,sesuatu yang harus diterima suami dari isterinya.Sedangkan
hak isteri adalah sesuatu yang harus diterima isteri dari suaminya.Dengan demikian kewajiban yang
dilakukan oleh suami merupakan upaya untuk memenuhi hak isteri.demikian juga kewajiban yang
dilakukan istri merupakan upaya untuk memenuhi hak suami,sebagaiman yang Rosulullah SAW
jelasakan :

‫اال إن لﮝم على نساﺋﮝم حقا ولنساﺋﮝمعليﮑم حقا‬


Ketahuilah sesungguhnya kalian mempunyai hak yang harus (wajib) ditunaikan oleh istri ’‘ :
.’’kalian,dan kalian pun memiliki hak yang harus (wajib) kalian tunaikan
(Hasan: Shahih ibnu Majah no.1501.Tirmidzi II:315 no:1173 dan ibnu Majah I:594 no:1851)
Begitulah kehidupan berumah tangga,Mebutuhkan timbal balik yang searah dan sejalan.Rasa
salaing membutuhkan,memenuhi dan melengkapi kekurangan satu dengan yang lainnya.tanpa
adanya pemenuhan kewajiban dan hak kedunya,maka keharmonisan dan keserasian dalam berumah
tangga akan goncang berujung pada percekcokan dan perselisihan.
Dengan dilangsungkan akad nikah antara mempelai laki-laki dan mempelai perempuan yang
dilakukan oleh walinya, terjalinlah hubungn suami isteri dan timbul hak dan kewajiaban masing-
masing timbal-balik.

B. Macam-macam Hak Antara Suami dan Istri


Hak-hak dalam perkawinan itu dapat dibagi menjadi tiga, yaitu hak bersama, hak isteri yang
menjadi kewajiban suami, dan hak suami yang menjadi kewajiban isteri.

1. Hak-hak Bersama
Hak –hak bersama antara suami dan isteri adalah sebagai berikut :
a. Halal bergaul antara suami-isteri dan masing-masing dapat bersenang-senang satu sama lain.
b. Terjadi hubungan mahram semenda; isteri menjadi mahram ayah suami, kakeknya, dan seterusnya
ke atas, demikian pula suami menjadi mahram ibu isteri, neneknya, dan seterusnya ke atas.
c. Terjadi hubungan waris-mewaris antara suami dan isteri sejak akad nikah dilaksanakan. Isteri
berhak menerima waris atas peninggalan suami. Demikian pula, suami berhak waris atas
peninggalan isteri, meskipun mereka belum pernah melakukan pergaualan suami-isteri.
d. Anak yang lahir dari isteri bernasab pada suaminya (apabila pembuahan terjadi sebagai hasil
hubungan setelah nikah).
e. Bergaul dengan baik antara suami dan isteri sehingga tercipta kehidupan yang harmonis dan damai.
Dalam hubungan ini Q.S. An-Nisa:19 memerintahkan,

ِ ‫ َو َعا ِش ُر ه َُّن بِ ْال َم ْع ُر ْو‬...


( 19: ‫ )النسا‬... ‫ف‬

“Dan gaulilah isteri-isteri itu dengan baik……”


Mengenai hak dan kewajiban bersama suami isteri, Undang-Undang Perkawinan
menyabutkan dalam Pasal 33 sebagai berikut, “Suami isteri wajib cinta-mencintai, hormat-
menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain.”

2. Hak-hak Isteri
Hak-hak isteri yang menjadi kewajiban suami dapat dibagi dua: hak-hak kebendaan, yaitu
mahar (maskawin) dan nafkah, dan hak-hak bukan kebendaan, misalnya berbuat adil di antara para
isteri (dalam perkawinan poligami), tidak berbuat yang merugikan isteri dan sebagainya.
a. Hak-hak Kebendaan
1) Mahar (Maskawin)
Q.S. An-Nisa ayat 24 memerintahkan, “Dan berikanlah maskawin kepada perempuan-
perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian wajib. Apabila mereka dengan senang hati
memberikan sebagian maskawin itu kepadamu, ambillah dia sebagai makanan yang sedap lagi baik
akibatnya.”
Dari ayat Al-Qur’an tersebut dapat diperoleh suatu pengertian bahwa maskawin itu adlah harta
pemberian wajib dari suami kepada isteri, dan merupakan hak penuh bagi isteri yang tidak boleh
diganggu oleh suami, suami hanya dibenarkan ikut makan maskawin apabila diberikan oleh isteri
dengan sukarela.
Q.S. An-Nisa: 24 mengajarkan, “…. Isteri-isteri yang telah kamu campuri, berikanlah kepada
mereka mahar sempurna, sebagai suatu kewajiban, dan tidak ada halangan kamu perlakukan mahar
itu sesuai dengan kerelaanmu (suami isteri), setelah ditentukan ujudnya dan kadarnya….”
Dari ayat tersebut diperoleh ketentuan bahwa isteri berhak atas mahar penuh apabila telah
dicampuri. Mahar merupakan suatu kewajiban atas suami, dan isteri harus tahu berapa besar dan
apa ujud mahar yang menjadi haknya itu. Setelah itu, dibolehkan terjadi persetujuan lain tentang
mahar yang menjadi hak isteri itu, misalnya isteri merelakan haknya atas mahar, mengurangi
jumlah, mengubah ujud atau bahkan membebaskannya.
Hadits Nabi riwayat Ahmad, Hakim, dan Baihqi dari Aisyah mengjarkan, “Perempuan-
perempuan yang paling besar mendatangkan berkah Allah untuk suaminya adalah yang paling
ringan biayanya.” Yang diamksud dengan ringan biayanya ialah yang tidak memberatkan suami,
sejak dari mahar sampai kepada nafkah, pakaian, dan perumahan dalam hidup perkawinan.
Hadits riwayat Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Turmudzi, dan Nasai dari Sahl Bin Sa’ad
menyatakan bahwa Nabi pernah mengawinkan salah seorang sahabatnya dengan maskawin
mengajar membaca Al-Qur’an yang dihafalnya (menurut salah satu riwayat, yang dihafalnya itu
adalah Surah Al-Baqarah dan Ali Imran).
Hadits riwayat Bukhari-Muslim, dan lain-lain dari Anas menyatakan bahwa Nabi pernah
memerdekakan Sofiah yang kemudian menjadi isteri beliau, dan yang menjadi maskawinnya adalah
memerdekakannya itu.
2) Nafkah
Yang dimaksud dengan nafkah adalah mencukupkan segala keperluan isteri, meliputi
makanan, pakaian, tempat tinggal, pembantu rumah tangga, dan pengobatan, meskipun
isteri tergolong kaya.
Q.S. Ath-Thalaq : 6 mengajarkan, “Tempatkanlah isteri-isteri dimana kamu tinggal
menurut kemampuanmu; janganlah kamu menyusahkan isteri-isteri untuk menyempitkan
hati mereka. Apabila isteri-isteri yang kamu talak itu dalam keadaan hamil, berikanlah
nafkah kepada mereka hingga bersalin … “ Ayat berikutnya (Ath-Thalaq :7) memrintahkan,
“ Orang yang mampu hendaklah memberi nafkah menurut kemampuannya, dan dan orang
yng kurang mampu pun supaya memberi nafkah dari harta pemberian Allah kepadanya;
Allah tidak akan membebani kewajiban kepada seseorang melebihi pemberian Allah
kepadanya ….”
Hadits riwayat Muslim menyenutkan isi khotbah Nabi dalam haji wada’. Antara lain
sebagai berikut, “….. Takuttlah kepada Allah dalam menunaikan kewajiban terhadap isteri-
isteri; itu tidak menerima tamu orang yang tidak engkau senangi; kalau mereka
melakukannya, boleh kamu beri pelajaran dengan pukulan-pukulan kecil yang tidak
melukai; kamu berkewajiban mencukupkan kebutuhan isteri mengenai makanan dan
pakaian dengan makruf.”
b. Hak-hak Bukan Kebendaan
Hak-hak bukan kebendaan yang wajib ditunaikan suami terhadap isterinya, disimpulkan
dalam perintah Q.S. An-Nisa: 19 agar para suami menggauli isteri-isterinya dengan makruf
dan bersabar terhadap hal-hal yang tidak disenangi, yang terdapat pada isteri.
Menggauli isteri dengan makruf dapat mencakup:
a. Sikap menghargai, menghormati, dan perlakuan-perlakuan yang baik, serta
meningkatkan taraf hidupnya dalam bidang-bidang agama, akhlak, dan ilmu
pengetahuan yang diperlukan.
Hadits riwayat Turmudzi dan Ibnu Hibban dari Abu Hurairah r.a. mengajarkan,
“Orang-orang mukmin yang paling baik budi perangainya, dan orang-orang yang
paling baik di antara kamu adalah yang paling baik perlakuannya terhadap isteri-
isterinya.”
Hadits riwayat Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah r.a. mengajarkan,
“Bersikap baiklah kamu terhadap isteri-isterimu sebab orang perempuan diciptakan
berkodrat seperti tulang rusuk; yang paling lengkung adalah tulang rusuk bagian
atas; apabila kamu biarkan akan tetap meluruskannya, ia akan patah dan apabila
kamu biarkan akan tetap lengkung, bersikap baiklah kamu terhadap para isteri.
Termasuk perlakuan baik yang menjadi hak isteri ialah, hendaknya suami selalu
berusaha agar isteri mengalami peningkatan hidup keagamaannya, budi pekertinya,
dan bertambah pula ilmu pengtahuannya. Banyak jalan yang dapat ditempuh untuk
memenuhi hak isteri, misalnya melaui pengajian-pengajian, kursus-kursus, kegiatan
kemasyarakatan, bacaan buku, majalah, dan sebagainya.
b. Melindungi dan menjaga nama baik isteri
Suami berkewajiban melindungi isteri serta menjaga nama baiknya. Hal ini tidak
berarti bahwa suami harus menutupi-nutupi kesalahan yang memang terdapat pada isteri.
Namun, adalah menjadi kewajiban suami untuk tidak membeberkan kesalahan-kesalahan
isteri kepada orang lain. Apabila kepada isteri hal-hal yang tidak benar, suami setelah
melakukan penelitian seperlunya, tidak apriori, berkewajiban memberikan keterangan-
keterangan kepada pihak-pihak yang melontarkan tuduhan agar nama baik isteri jangan
menjadi cemar.
c. Memenuhi kebutuhan kodrat (hajat) biologis isteri
Hajat biologis adalah kodrat pembawaan hidup. Oleh karena itu, suami wajib
memperhatikan hak isteri dalam hal ini. Ketentraman dan keserasian hidup perkawinan
anatara lain ditentukan oleh faktor hajat biologis ini. Kekecewaan yang dialami dalam
masalah ini dapat menimbulkan keretakan dalam hidup perkawinan; bahkan tidak jarang
terjadi penyelewengan isteri disebabkan adanya perasaan kecewa dalam hal ini.
Salah seorang sahabat Nabi bernama Abdullah bin Amr yang terlalu banyak
menggunakan waktunya untuk menunaikan ibadah; siang untuk melakukan puasa dan
malam harinya untuk melakukan shalat, diperingatkan oleh Nabi yang antara lain.
“Isterimu mempunyai hak yang wajib kau penuhi.
Demikian pentingnya kedudukan kebutuhan biologis itu dalam hidup manusia
sehingga Islam menilai hubungan suami isteri yang antara lain untuk menjaga kesucian
diri dari perbuatan zina itu sebagai salah satu macam ibadah yang berpahala. Dalam hal
ini hadits Nabi riwayat Muslim mengajarkan, “Dan dalam hubungan kelaminmu bernilai
shadaqah.” Mendengar kata Nabi itu para sahabat bertanya, “ Ya Rasulullah, apakah
salah seorang di antara kita memenuhi syahwatnya itu memperoleh pahala?” Nabi
menjawab, “Bukkankah apabila ia melakukannya dengan yang haram akan berdosa?
Demikian sebaliknya, apabila ia memenuhinya dengan cara yang halal akan mendapat
pahala.”

3. Hak-hak Suami
Hak-hak suami yang wajib dipenuhi isteri hanya merupakan hak-hak bukan kebendaan sebab
menurut hukum Islam isteri tidak dibebani kewajiban kebendaan yang diperlukan untuk
mencukupkan kebutuhan hidup keluarga. Bahkan, lebih diutamakan isteri tidak usah ikut bekerja
mencari nafkah jika suami memang mampu memenuhi kewajiban nafkah keluarga dengan baik. Hal
ini dimaksudkan agar isteri dapat mencurahkan perhatiannya untuk melaksanakan kewajiban
membina keluarga yang sehat dan mempersiapkan generasi yang saleh. Kewajiban ini cukup berat
bagi isteri yang memang benar-benar akan melaksanakan dengan baik. Namun, tidak dapat
dipahamkan bahwa Islam dengan demikian menghendaki agar isteri tidak pernah melihat dunia
luar, agar isteri selalu berada di rumah saja. Yang dimaksud ialah agar isteri jangan sampai
ditambah beban kewajibannya yang telah berat itu dengan ikut mencari nafkah keluarga. Berbeda
halnya apabila keadaan memang mendesak, usaha suami tidak dapat menghasilkan kecukupan
nafkah keluarga. Dalam batas-batas yang tidak memberatkan, isteri dapat diajak ikut berusaha
mencari nafkah yang diperlukan itu.
Hak-hak suami dapat disebutkan pada pokoknya ialah hak ditaati mengenai hal-hal yang
menyangkut hidup perkawinan dan hak memberi pelajaran kepada isteri dengan cara yang baik dan
layak dengan kedudukan suami isteri.
a. Hak Ditaati
Q.S. An-Nisa : 34 mengajarkan bahwa kaum laki-laki (suami) berkewajiban memimpin
kaum perempuan (isteri) karena laki-laki mempunyai kelebihan atas kaum perempuan (dari segi
kodrat kejadiannya), dan adanya kewajiban laki-laki memberi nafkah untuk keperluan
keluarganya. Isteri-isteri yang saleh adalah yang patuh kepada Allah dan kepada suami-suami
mereka serta memelihara harta benda dan hak-hak suami, meskipun suami-suami mereka serta
memelihara harta benda dan hak-hak suami, meskipun suami-suami mereka dalam keadaan
tidak hadir, sebagai hasil pemeliharaan Allah serta taufik-Nya kepada isteri-isteri itu. Hakim
meriwayatkan dari ‘Aisyah r.a. :

ْ َ‫ قَال‬.‫ زَ ْو ُج َها‬: ‫ظ ُم َحقَّا َعلَى ا ْل َم ْرأَةِ ؟ قَا َل‬


:‫ت‬ َ ‫اس أ َ ْع‬
ِ َّ‫ى الن‬ ّ ‫س ْألتُ رسول هللا صلّى هللا عليه‬
ُّ َ ‫ ا‬: ‫وسلم‬ ْ َ‫شةَ قَال‬
َ :‫ت‬ َ ِ‫َع ْن َعاﺋ‬
(‫ ا ُ ُّمهُ )رواه الحا كم‬: ‫الر ُج ِل ؟ قَا َل‬ َ ‫ظ ُم َحقَّا َع‬
َّ ‫لى‬ َ ‫اس ا َ ْع‬ ُّ َ ‫فَأ‬
ِ َّ‫ى الن‬
“Dari Aisyah, ia berkata : Saya bertanya kepada Rasulullah SAW : Siapakah orang yang
paling besar haknya terhadap perempuan? Jawabnya : Suaminya. Lalu saya bertanya lagi:
Siapakah orang yang paling besar haknya terhadap laki-laki? Jawabannya: Ibunya.”

Dari bagian pertama ayat 34 Q.S. : An-Nisa tersebut dapat diperoleh ketentuan bahwa
kewajiban suami memimpin isteri itu tidak akan terselenggara dengan baik apabila isteri tidak
taat kepada pimpinan suami. Isi dari pengertian taat adalah :
1) Isteri supaya bertempat tinggal bersama suami di rumah yang telah disediakan
Isteri berkewajiban memenuhi hak suami bertempat tinggal di rumah yang telah
disediakan apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a)
Suami telah memenuhi kewajiban membayar mahar untuk isteri.
b)
Rumah yang disediakan pantas menjadi tempat tinggal isteri serta dilengkapi
dengan perabot dan alat yang diperlukan untuk hidup berumah tangga secara wajar,
sederhana, tidak melebihi kekuatan suami.
c) Rumah yang disediakan cukup menjamin keamanan jiwa dan harta bendanya,
tidak terlalu jauh dengan tetangga dan penjaga-penjaga keamanan.
d) Suami dapat menjamin keselamatan isteri di tempat yang disediakan.
2) Taat kepada perintah-perintah suami, kecuali apabila melanggar larangan Allah
Rasulullah SAW menguatkan dalam sabdanya :

َ ‫لَ ْو ا َ َم ْرتُ اَ َحدَ ُك ْم ا َ ْن َّي ْس ُجدَ ِأل َح ٍد َأل َم ْرتُ ْال َم ْرأَة َ ا َ ْن تَ ْس ُجدَ ِلزَ ْو ِجهَ ِم ْن ِع‬
‫ظ ٍم َح ِقّ ِه َعلَ ْي َها )رواه ابوداود‬
.(‫والنر مذى وابن ما جه وابن حبان‬
“Andaikata aku menyuruh seseorang sujud kepada orang lain niscaya aku
perintahkan perempuan bersujud kepada suaminya, karena begitu besar haknya
kepadanya.”

Isteri wajib memenuhi hak suami, taat kepada perintah-perintahnya apabila memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut :
a) Perintah yang dikeluarkan suami termasuk hal-hal yang ada hubungannya dengan
kehidupan rumah tangga. Dengan demikian, apabila misalnya suami memerintahkan
isteri untuk membelanjakan harta milik pribadinya sesuai keinginan suami, isteri
tidak wajib taat sebab pembelanjaan harta milik pribadi isteri sepenuhnya menjadi
hak isteri yang tidak dapat dicampuri oleh suami.
b) Perintah yang dikeluarkan harus sejalan dengan ketentuan syari’ah. Apabila suami
memerintahkan isteri untuk menjalankan hal-hal yang bertentangan dengan
ketentuan syari’ah, perintah itu tidak boleh ditaati. Hadits Nabi riwayat Bukhari,
Muslim, Abu Dawud, dan Nasai dari Ali mengajarkan, “Tidak dibolehkan taat
kepada seorang pun Dalam bermaksiat kepada Allah; taat hanyalah dalam hal-hal
yang makruf.”
c) Suami memenuhi kewajiban-kewajibannya yang member hak isteri, baik yang
bersifat kebendaan maupun yang bersifat bukan kebendaan.
3) Berdiam di rumah, tidak keluar kecuali dengan izin suami
Isteri wajib berdiam di rumah dan tidak keluar kecuali dengan izin suami apabila
terpenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a) Suami telah memenuhi kewajiban membayar mahar untuk isteri.
b) Larangan keluar rumah tidak berakibat memutuskan hubungan keluarga-
keluarganya, isteri tidak wajib taat. Ia boleh keluar untuk berkunjung, tetapi tidak
boleh bermalam tanpa izin suami.
4) Tidak menerima masuknya seseorang tanpa izin suami
Hak suami agar isteri tidak menerima masuknya seseorang tanpa izinnya,
dimaksudkan agar ketentraman hidup rumah tangga tetap terpelihara. Ketentuan tersebut
berlaku apabila orang yang dating itu bukan mahram isteri. Apabila orang yang dating
adalah mahramnya, seperti ayah, saudara, paman, dan sebagainya, dibenarkan menerima
kedatangan mereka tanpa izin suami.
Kewajiban taat yang meliputi empat hak tersebut disertai dengan syarat-syarat yang
tidak memberatkan isteri.

b. Hak Memberi Pelajaran


Bagian kedua dari ayat 34 Q.S. An-Nisa mengajarkan, apabila terjadi kekhwatiran suami
bahwa isterinya bersikap membangkang (nusyus), hendaklah nasihat secara baik-baik. Apabila
dengan nasihat, pihak isteri belum juga mau taat, hendaklah suami berpisah tidur dengan isteri.
Apabila masih belum juga kembali taat, suami dibenarkan member pelajaran dengan jalan
memukul (yang tidak melukai dan tidak pada bagian muka).
Hadits Nabi riwayat Bukhari-Muslim dari Abdullah bin Zam’ah mengatakan, “Apakah salah
seorang di antara kamu suka memukul isterinya seperti ia memukul budak pada siang hari,
kemudian pada malam hari mengumpulinya.”
Dari banyak hadits yang memperingatkan agar suami menjauhi memukul isteri itu, dapat
kita peroleh ketentuan bahwa Al-Qur’an membolehkan suami member pelajaran isteri dengan
jalan memukul itu hanya berlaku apabila isteri memang tidak mudah diberi pelajaran dengan
cara yang halus. Itu pun baru dilakukan dalam tingkat terakhir, dan dengan cara yang tidak
mengakibatkan luka pada badan isteri dan tidak pula pada bagian muka. Kaum wanita pada
dasarnya amat halus perasaannya. Nasihat-nasihat yang biasa biasanya sudah cukup untuk
mengadakan perubahan sikapa terhadap suaminya. Kalau hal ini belum juga cukup, pisah tidur
sudah dipandang sebagai pelajaran yang lebih berat. Namun, apabila pelajaran tingkat kedua ini
belum juga membekas, pelajaran yang paling pahit dapat dilakukan, tetapi dengan cara yang
tidak akan mengakibatkan cedera dan tidak pada bagian muka seperti berkali-kali disebutkan di
atas.

C. Macam-macam Kewajiban Suami Istri


1. Kewajiban Suami Istri
Dalam Kompilasi Hukum Islam, kewajiban suami isteri dijelaskan secara rinci sebagai
berikut :

Pasal 77
1. Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang
sakinah, mawaddah, dan rahmah yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.
2. Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi
bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain.
3. Suami isteri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-anak mereka,
baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun kecerdasannya dan pendidikan
agaamanya.
4. Suami isteri wajib memelihara kehormatannya.
5. Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat mengajukan
gugatan kepada Pengadilan Agama.

Pasal 78
1. Suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap.
2. Rumah kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) ditentukan oleh suami isteri bersama.

2. Kewajiban Suami terhadap Istri


Dalam kompilasi Hukum Islam, kewajiban suami terhadap isteri dijelaskan secara rinci sebagai
berikut :

Pasal 80
1. Suaminya adalah pembimbing terhadap isteri dan rumah tangganya, akan tetapi
mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan oleh suami
isteri bersama.
2. Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup
rumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
3. Suami wajib member pendidikan agama kepada isterinya dan member kesempatan
belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama dan bangsa.
4. Sesuai dengan penghasilannya, suami menanggung :
a. Nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi isteri;
b. Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak;
c. Biaya pendidikan bagi anak.
5. Kewajiban suami terhadap isterinya seperti tersebut pada ayat (4) huruf a dan b di atas
mulai berlaku sesudah ada tamkin sempurna dan isterinya.
6. Isteri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya sebagaimana
tersebut pada ayat (4) huruf a dan b.
7. Kewajiban suami sebagaimana di maksud ayat (2) gugur apabila isteri nusyud.

Pasal 81
Tentang Tempat Kediaman
1. Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi isteri dan anak-anaknya, atau bekas
isteri yang masih dalam ‘iddah.
2. Tempat kediaman adalah tempat tinggal yang layak untukisteri selama dalam ikatan
perkawinan, atau dalam ‘iddah talak atau iddah wafat.
3. Tempat kediaman disediakan untuk melindungi isteri dan anak-anaknya dari gangguan
pihak lain, sehingga mereka merasa aman dan tenteram. Tempat kediaman juga
berfungsi sebagai penyimpan harta kekayaan, sebagai tempat menata dan mengatur
alat-alat rumah tangga.
4. Suami wajib melengkapi tempat kediaman sesuai dengan kemampuannya serta
disesuaikan dengan keadaan lingkungan tempat tinggalnya, baik berupa alat
perlengkapan rumah tangga maupun sarana penunjang lainnya.

Pasal 82
Kewajiban Suami yang Beristeri Lebih dari Seorang
1. Suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang berkewajiban memberi tempat tinggal
dan biaya hidup kepada masing-masing isteri secara berimbang menurut isteri, kecuali
jika ada perjanjian perkawinan.
2. Dalam hal para isteri rela dan ikhlas, suami dapat menempatkan isterinya dalam satu
tempat kediaman.

3. Kewajiban Istri Terhadap Suami


Diantara beberapa kewajiban isteri terhadap suami adalah sebagai berikut :
a. Taat dan patuh kepada suami.
b. Pandai mengambil hati suami melalui makanan dan minuman.
c. Mengatur rumah dengan baik.
d. Menghormati keluarga suami.
e. Bersikap sopan, penuh senyum kepada suami.
f. Tidak mempersuli suami, dan selalu mendorong suami untuk maju.
g. Ridha dan syukur terhadap apa yang diberikan suami.
h. Selalu berhemat dan suka menabung.
i. Selalu berhias, bersolek untuk atau di hadapan suami.
j. Jangan selalu cemburu buta.

Dalam kompilasi hukum islam, kewajiban isteri terhadap suami dijelaskan sebagai berikut:

Pasal 83
Kewajiban Isteri
1. Kewajiban utama bagi seorang isteri ialah berbakti lahir batin kepada suami di dalam
batas-batas yang dibenarkan oleh hukum islam.
2. Isrti menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan
sebaik-baiknya.

Pasal 84
1. Isteri dapat dianggap nusyuz jika ia tidak mau melaksanakan kewajiban-kewajiban,
sebagaimana dimaksud dalam pasal 83 ayat (1), kecuali dengan alas an yang sah.
2. Selama isteri dalm nusyuz, kewajiban suami terhadap isterinya tersebut pada pasal 80
ayat (4) huruf a dan b tidak berlaku kecuali hal-hal untuk kepentingan anaknya.
3. Kewajiban suami tersebut pada ayat (2) di atas berlaku kembali sesudah isteri tidak
nusyuz.
Ketentuan ada atau tidak adanya nusyuz dari isteri harus di dasarkan atas bukti yang sah.
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Apabila akad nikah telah berlangsung dan sah memenuhi syarat rukunnya, maka akan
menimbulkan akibat hukum. Dengan demikian, akan menimbulkan pula hak dan kewajibannya
selaku suami isteri dalam keluarga. Dari pemaparan makalh diatas dapat penulis simpulkan
beberapa hal, diantaranya :
1. Pengertian Hak dan Kewajiban
Hak adalah kekuasaan seseorang untuk melakukan sesuatu, sedangkan Kewajiban adalah
sesuatu yang harus dikerjakan. Dengan dilangsungkan akad nikah antara mempelai laki-laki dan
mempelai perempuan yang dilakukan oleh walinya, terjalinlah hubungn suami isteri dan timbul
hak dan kewajiaban masing-masing timbal-balik.
2. Macam-macam Hak
a. Hak bersama suami dan istri
1) Halal bergaul antara suami-isteri dan masing-masing dapat bersenang-senang satu
sama lain.
2) Terjadi hubungan mahram semenda; isteri menjadi mahram ayah suami, kakeknya,
dan seterusnya ke atas, demikian pula suami menjadi mahram ibu isteri, neneknya,
dan seterusnya ke atas.
3) Terjadi hubungan waris-mewaris antara suami dan isteri sejak akad nikah
dilaksanakan. Isteri berhak menerima waris atas peninggalan suami. Demikian pula,
suami berhak waris atas peninggalan isteri, meskipun mereka belum pernah
melakukan pergaualan suami-isteri.
4) Anak yang lahir dari isteri bernasab pada suaminya (apabila pembuahan terjadi
sebagai hasil hubungan setelah nikah).
5) Bergaul dengan baik antara suami dan isteri sehingga tercipta kehidupan yang
harmonis dan damai.
b. Hak suami atas istri
1) Ditaati dalam hal-hal yang tidak maksiat.
2) Isteri menjaga dirinya sendiri dan harta suami.
3) Menjauhkan diri dari mencampuri sesuatu yang dapat menyusahkan suami.
4) Tidak bermuka masam di hadapan suami.
5) Tidak menunjukkan keadaan yang tidak disenangi suami.
c. Hak istri atas suami
1) Hak-hak Kebendaan
a) Istri berhak mendapatkan Mahar (Maskawin) yang layak atau yang sesuai dengan
keinginan sang istri dan sesuai dengan kemampuan sang suami.
b) Istri berhak mendapatkan Nafkah dari suami.
2) Hak-hak Bukan Kebendaan
a) Menggauli isteri dengan makruf dapat mencakup:
b) Sikap menghargai, menghormati, dan perlakuan-perlakuan yang baik, serta
meningkatkan taraf hidupnya dalam bidang-bidang agama, akhlak, dan ilmu
pengetahuan yang diperlukan.
c) Melindungi dan menjaga nama baik isteri
d) Memenuhi kebutuhan kodrat (hajat) biologis isteri
3. Macam-macam Kewajiban
a. Kewajiban bersama suami dan istri
1) Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang
sakinah, mawaddah, dan rahmah yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.
2) Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi
bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain.
3) Suami isteri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-anak
mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun kecerdasannya dan
pendidikan agaamanya.
4) Suami isteri wajib memelihara kehormatannya.
5) Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat mengajukan
gugatan kepada Pengadilan Agama.
b. Kewajiban suami kepada istri
1) Suaminya adalah pembimbing terhadap isteri dan rumah tangganya, akan tetapi
mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan oleh suami
isteri bersama.
2) Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup
rumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
3) Suami wajib memberi pendidikan agama kepada isterinya dan memberi kesempatan
belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama dan bangsa.
4) Sesuai dengan penghasilannya, suami menanggung :
a) Nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi isteri;
b) Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri dan
anak;
c) Biaya pendidikan bagi anak.
c. Kewajiban istri kepada suami
1) Taat dan patuh kepada suami.
2) Pandai mengambil hati suami melalui makanan dan minuman.
3) Mengatur rumah dengan baik.
4) Menghormati keluarga suami.
5) Bersikap sopan, penuh senyum kepada suami.
6) Tidak mempersuli suami, dan selalu mendorong suami untuk maju.
7) Ridha dan syukur terhadap apa yang diberikan suami.
8) Selalu berhemat dan suka menabung.
9) Selalu berhias, bersolek untuk atau di hadapan suami.

10) Jangan selalu cemburu buta.


B. SARAN
Demikian makalah ini yang dapat kami sajikan, kami berharap makalah ini dapat berkembang
dengan berjalannya diskusi yang akan dijalankan oleh teman-teman. Kurang lebihnya kami mohon
maaf, untuk itu kepada para pembaca mohon kritik dan saran yang bersifat membangun demi
sempurnanya makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA

‘Audah, Abdul Qadir. Tanpa tahun. At-Tasyri’ Al-Jina’iy Al-Islamy. Beirut: Dar Al-Kitab Al-
‘Araby.

Basyir, Ahmad Azhar, H., 2007. Hukum Perkawinan Islam. Cet. 11 Yogyakarta: UII Press.

Furqan, H. Arif, dkk. 2002. Islam Untuk Disiplin Ilmu Hukum. Jakarta: Departemen Agama RI,
Direktorat Jendral Kelembagaan Agama Islam.

Ghozali, Abdul Rahman, Prof., DR., M.A., 2008. Fiqih Munakahat. Cet. 3 Jakarta: Kencana
Prenada Media Grup.

Hanafi, Ahmad. 1990. Asas-Asas Hukum Pidana Islam Cet. 4. Jakarta: Bulan Bintang.

Kumpulan Hadits Riwayat Bukhary dan Muslim. 2002.

http://robiepalkoris.blogspot.com

http://fdj-indrakurniawan.blogspot.com

http://yunisundari.blogspot.com

Diposkan oleh yuni sundari di

Label: Fiqih, Keluarga, Makalah

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 1 TAHUN 1974
TENTANG
PERKAWINAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :
bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita untuk pembinaan hukum nasional,
perlu adanya Undang-undang tentang Perkawinan yang berlaku bagi semua warga
negara.

Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 29 Undang-Undang
Dasar 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1973.

Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

MEMUTUSKAN :

Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PERKAWINAN.

BAB I
DASAR PERKAWINAN

Pasal 1
Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa.

Pasal 2
(1). Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaannya itu.
(2). Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 3
(1). Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang
isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.
(2). Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari
seorang apabila dikehendaki oleh fihak-fihak yang bersangkutan.

Pasal 4
(1). Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut
dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan
kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya.
(2). Pengadilan dimaksud data ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang
suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila:
a. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

Pasal 5
(1). Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai
berikut:
a. adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri;
b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-
isteri dan anak-anak mereka;
c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak
mereka.
(2). Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi
seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai
persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila
tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau
karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim
Pengadilan.

BAB II
SYARAT-SYARAT PERKAWINAN

Pasal 6
(1). Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
(2). Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (duapuluh
satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
(3). Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam
keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2)
pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua
yang mampu menyatakan kehendaknya.
(4). Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu
untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang
memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis
keturunan lurus keatas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat
menyatakan kehendaknya.
(5). Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2),
(3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak
menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal
orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut
dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut
dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini.
(6). Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan
tidak menentukan lain.

Pasal 7
(1). Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan
belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.
(2). Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi
kepada Pengadilan atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak
pria maupun pihak wanita.
(3). Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua
tersebut dalam Pasal 6 ayat (3) dan (4) Undang-undang ini, berlaku juga dalam hal
permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi yang
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (6).

Pasal 8
Perkawinan dilarang antara dua orang yang:
a. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah ataupun keatas;
b. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara
seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara
neneknya;
c. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri menantu dan ibu/bapak tiri;
d. berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan
bibi/paman susuan;
e. berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri,
dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang;
f. mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang
kawin.
Pasal 9
Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi,
kecuali dalam hal yang tersebut pada Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini.
Pasal 10
Apabila suami dan isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai
lagi untuk kedua kalinya, maka diantara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan
lagi, sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang
bersangkutan tidak menentukan lain.

Pasal 11
(1). Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu.
(2). Tenggang waktu jangka waktu tunggu tersebut ayat (1) akan diatur dalam Peraturan
Pemerintah lebih lanjut.

Pasal 12
Tata-cara pelaksanaan perkawinan diatur dalam peraturan perundang-undangan
tersendiri.

BAB III
PENCEGAHAN PERKAWINAN

Pasal l3
Perkawinan dapat dicegah, apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk
melangsungkan perkawinan.

Pasal 14
(1). Yang dapat mencegah perkawinan ialah para keluarga dalam garis keturunan lurus
keatas dan kebawah, saudara, wali nikah, wali, pengampu dari salah seorang
calon mempelai dan pihak-pihak yang berkepentingan.
(2). Mereka yang tersebut pada ayat (1) pasal ini berhak juga mencegah berlangsungnya
perkawinan apabila salah seorang dari calon mempelai berada di bawah
pengampuan, sehingga dengan perkawinan tersebut nyata-nyata mengakibatkan
kesengsaraan bagi calon mempelai yang lainnya, yang mempunyai hubungan
dengan orang-orang seperti tersebut dalam ayat (1) pasal ini.

Pasal 15
Barang siapa karena perkawinan dirinya masih terikat dengan salah satu dari kedua
belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan, dapat mencegah perkawinan yang
baru, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang
ini.

Pasal 16
(1). Pejabat yang ditunjuk berkewajiban mencegah berlangsungnya perkawinan apabila
ketentuan-ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal
12 Undang-undang ini tidak dipenuhi.
(2). Mengenai Pejabat yang ditunjuk sebagaimana tersebut pada ayat (1) pasal ini diatur
lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan.

Pasal 17
(1). Pencegahan perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum dimana
perkawinan akan dilangsungkan dengan memberitahukan juga kepada pegawai
pencatat perkawinan.
(2). Kepada calon-calon mempelai diberi tahukan mengenai permohonan pencegahan
perkawinan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini oleh pegawai pencatat perkawinan.

Pasal 18
Pencegahan perkawinan dapat dicabut dengan putusan Pengadilan atau dengan menarik
kembali permohonan pencegahan pada Pengadilan oleh yang mencegah.

Pasal 19
Perkawinan tidak dapat dilangsungkan apabila pencegahan belum dicabut.

Pasal 20
Pegawai pencatat perkawinan tidak diperbolehkan melangsungkan atau membantu
melangsungkan perkawinan bila ia mengetahui adanya pelanggaran dari ketentuan dalam
Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 12 Undang-undang ini meskipun
tidak ada pencegahan perkawinan.

Pasal 21
(1). Jika pegawai pencatat perkawinan berpendapat bahwa terhadap perkawinan
tersebut ada larangan menurut Undang-undang ini, maka ia akan menolak
melangsungkan perkawinan.
(2). Didalam hal penolakan, maka permintaan salah satu pihak yang ingin melangsungkan
perkawinan. oleh pegawai pencatat perkawinan akan diberikan suatu keterangan
tertulis dari penolakan tersebut disertai dengan alasan-alasan penolakannya.
(3). Para pihak yang perkawinannya ditolak berhak mengajukan permohonan kepada
pengadilan didalam wilayah mana pegawai pencatat perkawinan yang
mengadakan penolakan berkedudukan untuk memberikan keputusan, dengan
menyerahkan surat keterangan penolakan tersebut diatas.
(4). Pengadilan akan memeriksa perkaranya dengan acara singkat dan akan memberikan
ketetapan, apakah ia akan menguatkan penolakan tersebut ataukah
memerintahkan, agar supaya perkawinan dilangsungkan.
(5). Ketetapan ini hilang kekuatannya, jika rintangan-rintangan yang mengakibatkan
penolakan tersebut hilang dan para pihak yang ingin kawin dapat mengulangi
pemberitahuan tentang maksud mereka.

BAB IV
BATALNYA PERKAWINAN

Pasal 22
Perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk
melangsungkan perkawinan.

Pasal 23
Yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan yaitu :
a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami atau isteri;
b. Suami atau isteri;
c. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan;
d. Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) Pasal 16 Undang-undang ini dan setiap orang
yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan
tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.

Pasal 24
Barang siapa karena perkawinan masih terikat dirinya dengan salah satu dari kedua
belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat mengajukan pembatalan
perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4
Undang-undang ini.

Pasal 25
Permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum
dimana perkawinan dilangsungkan atau ditempat tinggal kedua suami isteri, suami atau
isteri.

Pasal 26
(1). Perkawinan yang dilangsungkan dimuka pegawai pencatat perkawinan yang tidak
berwenang, wali-nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri
oleh 2 (dua) orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh para keluarga
dalam garis keturunan lurus keatas dari suami atau isteri, jaksa dan suami atau
isteri.

(2). Hak untuk membatalkan oleh suami atau isteri berdasarkan alasan dalam ayat (1)
pasal ini gugur apabila mereka telah hidup bersama sebagai suami isteri dan dapat
memperlihatkan akte perkawinan yang dibuat pegawai pencatat perkawinan yang
tidak berwenang dan perkawinan harus diperbaharui supaya sah.

Pasal 27
(1). Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan
apabila perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum.
(2). Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan
apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai
diri suami atau isteri.
(3). Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu menyadari
keadaannya, dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap
hidup sebagai suami isteri, dan tidak mempergunakan haknya untuk mengajukan
permohonan pembatalan, maka haknya gugur.

Pasal 28
(1). Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan Pengadilan mempunyai
kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.
(2). Keputusan tidak berlaku surut terhadap :
a. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;
b. Suami atau isteri yang bertindak dengan iktikad baik, kecuali terhadap harta bersama,
bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang
lebih dahulu;
c. Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam a dan b sepanjang mereka
memperoleh hak-hak dengan iktikad baik sebelum keputusan tentang
pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap.

BAB V
PERJANJIAN PERKAWINAN

Pasal 29
(1). Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan
bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai
pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga
sepanjang pihak ketiga tersangkut.
(2). Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum,
agama dan kesusilaan.
(3). Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.

(4). Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah, kecuali
bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak
merugikan pihak ketiga.
BAB VI
HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTERI

Pasal 30
Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang
menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.

Pasal 31
(1). Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam
kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
(2). Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
(3). Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga.

Pasal 32
(1). Suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap.
(2). Rumah tempat kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini ditentukan oleh
suami isteri bersama.

Pasal 33
Suami isteri wajib saling cinta-mencintai hormat-menghormati, setia dan memberi
bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain.

Pasal 34
(1). Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup
berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
(2). Isteri wajib mengatur urusan rumah-tangga sebaik-baiknya.
(3). Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan
gugutan kepada Pengadilan.

BAB VII
HARTA BENDA DALAM PERKAWINAN

Pasal 35
(1). Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
(2). Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh
masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing-
masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

Pasal 36
(1). Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua
belah pihak.
(2). Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya
untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.

Pasal 37
Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya
masing-masing.

BAB VIII
PUTUSNYA PERKAWINAN SERTA AKIBATNYA

Pasal 38
Perkawinan dapat putus karena :
a. kematian,
b. perceraian dan
c. atas keputusan Pengadilan.

Pasal 39
(1). Perceraian hanya dapat dilakukan didepan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan
yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
(2). Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu
tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.
(3). Tatacara perceraian didepan sidang Pengadilan diatur dalam peraturan perundangan
tersendiri.

Pasal 40
(1). Gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan.
(2). Tatacara mengajukan gugatan tersebut pada ayat (1) pasal ini diatur dalam
peraturan perundangan tersendiri.

Pasal 41
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah :
a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya,
semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan
mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya;
b. Bapak yang bertanggung-jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang
diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat
memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu
ikut memikul biaya tersebut;
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya
penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.
BAB IX
KEDUDUKAN ANAK

Pasal 42
Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang
sah.

Pasal 43
(1). Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan
ibunya dan keluarga ibunya.
(2). Kedudukan anak tersebut ayat (1) diatas selanjutnya akan diatur dalam Peraturan
Pemerintah.

Pasal 44
(1). Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh isterinya,
bilamana ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah berzina dan anak itu akibat
daripada perzinaan tersebut.
(2). Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas permintaan pihak
yang berkepentingan.

BAB X
HAK DAN KEWAJIBAN ANTARA ORANG TUA DAN ANAK

Pasal 45
(1). Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.
(2). Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu
kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun
perkawinan antara kedua orang tua putus.

Pasal 46
(1). Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak mereka yang baik.
(2). Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya, orang tua
dan keluarga dalam garis lurus keatas, bila mereka itu memerlukan bantuannya.

Pasal 47
(1). Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah
melangsungkan perkawinan ada dibawah kekuasaan orang tuanya selama mereka
tidak dicabut dari kekuasaannya.
(2). Orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum didalam dan
diluar Pengadilan.

Pasal 48
Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang
tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 (delapan betas) tahun atau belum
pernah melangsungkan perkawinan, kecuali apabila kepentingan anak itu
menghendakinya.

Pasal 49
(1). Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasannya terhadap seorang
anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain,
keluarga anak dalam garis lurus keatas dan saudara kandung yang telah dewasa
atau pejabat yang berwenang, dengan keputusan Pengadilan dalam hal-hal :
a. la sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya;
b. la berkelakuan buruk sekali.
(2). Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih tetap berkewajiban untuk
memberi biaya pemeliharaan kepada anak tersebut.

BAB XI
PERWALIAN

Pasal 50
(1). Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah
melangsungkan perkawinan, yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua,
berada dibawah kekuasaan wali.
(2). Perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya.

Pasal 51
(1). Wali dapat ditunjuk oleh satu orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua,
sebelum ia meninggal, dengan surat wasiat atau dengan lisan di hadapan 2 (dua)
orang saksi.
(2). Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang
sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik.
(3). Wali wajib mengurus anak yang dibawah penguasaannya dan harta bendanya sebaik-
baiknya, dengan menghormati agama dan kepercayaan anak itu.
(4). Wali wajib membuat daftar harta benda anak yang berada dibawah kekuasaannya
pada waktu memulai jabatannya dan mencatat semua perubahan-perubahan harta
benda anak atau anak-anak itu.
(5). Wali bertanggung-jawab tentang harta benda anak yang berada dibawah
perwaliannya serta kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan atau
kelalaiannya.
Pasal 52
Terhadap wali berlaku juga Pasal 48 Undang-undang ini.

Pasal 53
(1). Wali dapat dicabut dari kekuasaannya, dalam hal-hal yang tersebut dalam Pasal 49
Undang-undang ini.
(2). Dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut, sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
pasal ini, oleh Pengadilan ditunjuk orang lain sebagai wali.

Pasal 54
Wali yang telah menyebabkan kerugian kepada harta benda anak yang dibawah
kekuasaannya, atas tuntutan anak atau keluarga anak tersebut dengan Keputusan
Pengadilan, yang bersangkutan dapat diwajibkan untuk mengganti kerugian tersebut.

BAB XII
KETENTUAN-KETENTUAN LAIN

Bagian Pertama
Pembuktian asal-usul anak

Pasal 55
(1). Asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akte kelahiran yang autentik,
yang dikeluarkan oleh Pejabat yang berwenang.
(2). Bila akte kelahiran tersebut dalam ayat (1) pasal ini tidak ada, maka Pengadilan
dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak setelah diadakan
pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat.
(3). Atas dasar ketentuan Pengadilan tersebut ayat (2) pasal ini, maka instansi pencatat
kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan yang bersangkutan
mengeluarkan akte kelahiran bagi anak yang bersangkutan.

Bagian Kedua
Perkawinan diluar Indonesia

Pasal 56
(1). Perkawinan yang dilangsungkan diluar Indonesia antara dua orang warganegara
Indonesia atau seorang warganegara Indonesia dengan warganegara Asing adalah
sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara dimana
perkawinan itu dilangsungkan dan bagi warganegara Indonesia tidak melanggar
ketentuan-ketentuan Undang-undang ini.
(2). Dalam waktu 1 (satu) tahun setelah suami isteri itu kembali diwilayah Indonesia,
surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di Kantor Pencatatan
Perkawinan tempat tinggal mereka.

Bagian Ketiga
Perkawinan Campuran

Pasal 57
Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan
antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena
perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.

Pasal 58
Bagi orang-orang yang berlainan kewarganegaraan yang melakukan perkawinan
campuran, dapat memperoleh kewarganegaraan dari suami/isterinya dan dapat pula
kehilangan kewarganegaraannya, menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam
Undang-undang kewarganegaraan Republik Indonesia yang berlaku.

Pasal 59
(1). Kewarganegaraan yang diperoleh sebagai akibat perkawinan atau putusnya
perkawinan menentukan hukum yang berlaku, baik mengenai hukum publik
maupun mengenai hukum perdata.
(2). Perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia dilakukan menurut Undang-
undang Perkawinan ini.

Pasal 60
(1). Perkawinan campuran tidak dapat dilangsungkan sebelum terbukti bahwa syarat-
syarat perkawinan yang ditentukan oleh hukum yang berlaku bagi pihak masing-
masing telah dipenuhi.
(2). Untuk membuktikan bahwa syarat-syarat tersebut dalam ayat (1) telah dipenuhi dan
karena itu tidak ada rintangan untuk melangsungkan perkawinan campuran, maka
oleh mereka yang menurut hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing
berwenang mencatat perkawinan, diberikan surat keterangan bahwa syarat-syarat
telah dipenuhi.
(3). Jika pejabat yang bersangkutan menolak untuk memberikan surat keterangan itu,
maka atas permintaan yang berkepentingan, Pengadilan memberikan keputusan
dengan tidak beracara serta tidak boleh dimintakan banding lagi tentang soal
apakah penolakan pemberian surat keterangan itu beralasan atau tidak.

(4). Jika Pengadilan memutuskan bahwa penolakan tidak beralasan, maka keputusan itu
menjadi pengganti keterangan yang tersebut ayat (3).
(5). Surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak mempunyai kekuatan
lagi jika perkawinan itu tidak dilangsungkan dalam masa 6 (enam) bulan sesudah
keterangan itu diberikan.

Pasal 61
(1). Perkawinan campuran dicatat oleh pegawai pencatat yang berwenang.
(2). Barang siapa melangsungkan perkawinan campuran tanpa memperlihatkan lebih
dahulu kepada pegawai pencatat yang berwenang surat keterangan atau
keputusan pengganti keterangan yang disebut dalam Pasal 60 ayat (4) Undang-
undang ini dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 1 (satu) bulan.
(3). Pegawai pencatat perkawinan yang mencatat perkawinan sedangkan ia mengetahui
bahwa keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak ada, dihukum
dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan dan dihukum jabatan.

Pasal 62
Dalam perkawinan campuran kedudukan anak diatur sesuai dengan Pasal 59 ayat (1)
Undang-undang ini.

Bagian Keempat
Pengadilan

Pasal 63
(1). Yang dimaksud dengan Pengadilan dalam Undang-undang ini ialah :
a. Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam;
b. Pengadilan Umum bagi lainnya.
(2). Setiap Keputusan Pengadilan Agama dikukuhkan oleh Pengadilan Umum.

BAB XIII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 64
Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang terjadi
sebelum Undang-undang ini berlaku yang dijalankan menurut peraturan-peraturan lama,
adalah sah.

Pasal 65
(1). Dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang baik berdasarkan hukum lama
maupun berdasarkan Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini maka
berlakulah ketentuan-ketentuan berikut :
a. Suami wajib memberi jaminan hidup yang sama kepada semua isteri dan anaknya;
b. Isteri yang kedua dan seterusnya tidak mempunyai hak atas harta bersama yang telah
ada sebelum perkawinan dengan isteri kedua atau berikutnya itu terjadi;
c. Semua isteri mempunyai hak yang sama atas harta bersama yang terjadi sejak
perkawinannya masing-masing.

(2). Jika Pengadilan yang memberi izin untuk beristeri lebih dari seorang menurut
Undang-undang ini tidak menentukan lain, maka berlakulah ketentuan-ketentuan
ayat (1) pasal ini.

B A B XIV
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 66
Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan
atas Undang-undang ini, maka dengan berlakunya Undang-undang ini ketentuan-
ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek),
Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonantie Christen Indonesiers
S.1933 No. 74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijken
S. 1898 No. 158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan
sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 67
(1). Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkannya, yang
pelaksanaannya secara efektif lebih lanjut akan diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
(2). Hal-hal dalam Undang-undang ini yang memerlukan pengaturan pelaksanaan, diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-


undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 2 Januari 1974.
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

SOEHARTO
JENDERAL TNI.

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 2 Januari 1974
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,

SUDHARMONO, SH.
MAYOR JENDERAL TNI.
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR I TAHUN 1974
TENTANG
PERKAWINAN

PENJELASAN UMUM :

1. Bagi suatu Negara dan Bangsa seperti Indonesia adalah mutlak adanya Undang-undang
Perkawinan Nasional yang sekaligus menampung prinsip-prinsip dan memberikan
landasan hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan telah berlaku
bagi berbagai golongan dalam masyarakat kita.

2. Dewasa ini berlaku berbagai hukum perkawinan bagi berbagai golongan warganegara
dan berbagai daerah seperti berikut :

a. bagi orang-orang Indonesia Asli yang beragama Islam berlaku hukum agama yang telah
diresiplir dalam Hukum Adat;
b. bagi orang-orang Indonesia Asli lainnya berlaku Hukum Adat;
c. bagi orang-orang Indonesia Asli yang beragama Kristen berlaku Huwelijksordonnantie
Christen Indonesia (S. 1933 Nomor 74);
d. bagi orang Timur Asing Cina dan warganegara Indonesia keturunan Cina berlaku
ketentuan-ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Perdata dengan sedikit
perubahan;
e. bagi orang-orang Timur Asing lain-lainnya dan warganegara Indonesia keturunan Timur
Asing lainnya tersebut berlaku hukum Adat mereka;
f. bagi orang-orang Eropa dan Warganegara Indonesia keturunan Eropa dan yang
disamakan dengan mereka berlaku Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

3. Sesuai dengan landasan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, maka
Undang-undang ini disatu fihak harus dapat mewujudkan prinsip-prinsip yang
terkandung dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, sedangkan dilain
fihak harus dapat pula menampung segala kenyataan yang hidup dalam
masyarakat dewasa ini. Undang-undang Perkawinan ini telah menampung
didalamnya unsur-unsur dan ketentuan-ketentuan Hukum Agamanya dan
Kepercayaannya itu dari yang bersangkutan.

4. Dalam Undang-undang ini ditentukan Prinsip-prinsip atau azas-azas mengenai


perkayanan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang telah
disesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan zaman.
Azas-azas atau prinsip-prinsip yang tercantum dalam Undang-undang ini adalah sebagai
berikut :
a. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu
suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi, aear masing-masing
dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai
kesejahteraan spirituil dan materiil.

b. Dalam Undang-undang ini dinyatakan, bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya
itu; dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap
perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa
penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang
dinyatakan dalam Surat-surat keterangan, suatu akte resmi yang juga
dimuat dalam daftar pencatatan.

c. Undang-undang ini menganut azas monogami. Hanya apabila dikehendaki oleh yang
bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan
mengizinkannya, seorang suami dapat beristeri lebih dari seorang. Namun
demikian perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang isteri,
meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan, hanya
dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan
diputuskan oleh Pengadilan.

d. Undang-undang ini menganut prinsip, bahwa calon suami-isteri itu harus telah masak
jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat
mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada
perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat.
Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami-isteri yang masih
dibawah umur.
Disamping itu, perkawinan mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan.
Ternyatalah bahwa batas umur yang lebih rendah bagi seorang wanita
untuk kawin, mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi jika
dibandingkan dengan batas umur yang lebih tinggi.
Berhubung dengan itu, maka Undang-undang ini menentukan batas umur untuk kawin
baik bagi pria maupun bagi wanita,ialah 19 (sembilan belas) tahun bagi pria
dan 16 (enam belas) tahun bagi,wanita.

e. Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia kekal dan
sejahtera, maka Undang-undang ini menganut prinsip untuk mempersukar
terjadinya perceraian. Untuk memungkinkan perceraian, harus ada alasan-
alasan tertentu serta harus dilakukan didepan Sidang Pengadilan.
f. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik
dalam kehidupan rumah-tangga maupun dalam pergaulan masyarakat,
sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat
dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami-isteri.

5. Untuk menjamin kepastian hukum, maka perkawinan berikut segala sesuatu yang
berhubungan dengan perkawinan yang terjadi sebelum Undang-undang ini
berlaku, yang dijalankan menurut hukum yang telah ada adalah sah.
Demikian pula apabila mengenai sesuatu hal Undang-undang ini tidak mengatur dengan
sendirinya berlaku ketentuan yang ada.

PENJELASAN PASAL DEMI PASAL.

Pasal 1

Sebagai Negara yang berdasarkan Pancasila, dimana Sila yang pertamanya ialah ke
Tuhanan Yang Mahaesa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan
agama/kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani,
tetapi unsur bathin/rokhani juga mempunyai peranan yang penting. Membentuk keluarga
yang bahagia rapat hubungan dengan keturunan, yang pula merupakan tujuan
perkawinan, pemeliharaan dan pendidikan menjadi hak dan kewajiban orang tua.

Pasal 2

Dengan perumusan pada Pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan di luar hukum masing-
masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu
termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan
kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam
Undang-undang ini.

Pasal 3

(1). Undang-undang ini menganut asas monogami.

(2). Pengadilan dalam memberi putusan selain memeriksa apakah syarat yang tersebut
Pasal 4 dan 5 telah dipenuhi harus mengingat pula apakah ketentuan-ketentuan
hukum perkawinan dari calon suami mengizinkan adanya poligami.
Pasal 4
Cukup jelas.

Pasal 5
Cukup jelas.

Pasal 6

(1). Oleh karena perkawinan mempuryai maksud agar suami dan isteri dapat membentuk
keluarga yang kekal dan bahagia, dan sesuai pula dengan hak azasi manusia, maka
perkawinan harus disetujui oleh kedua belah pihak yang melangsungkan
perkawinan tersebut, tanpa ada paksaan dari pihak manapun.
Ketentuan dalam pasal ini, tidak berarti mengurangi syarat-syarat perkawinan menurut
ketentuan hukum perkawinan yang sekarang berlaku, sepanjang tidak
bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang ini sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang ini.

(2). Cukup jelas.

(3). Cukup jelas.

(4). Cukup jelas.

(5). Cukup jelas.

(6). Cukup jelas.

Pasal 7

(1). Untuk menjaga kesehatan suami-isteri dan keturunan, perlu ditetapkan batas-batas
umur untuk perkawinan.
(2). Dengan berlakunya Undang-undang ini, maka ketentuan-ketentuan yang mengatur
tentang pemberian dispensasi terhadap perkawinan yang dimaksud pada ayat (1)
seperti diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Ordonansi
Perkawinan Indonesia Kristen (S. 1933 Nomor 74) dinyatakan tidak berlaku.

(3). Cukup jelas.


Pasal 8
Cukup jelas.

Pasal 9
Cukup jelas.

Pasal 10.
Oleh karena perkawinan mempunyai maksud agar suami dan isteri dapat membentuk
keluarga yang kekal maka suatu tindakan yang mengakibatkan putusnya suatu
perkawinan harus benar-benar dapat dipertimbangkan dan dipikirkan masak-masak.
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah tindakan kawin-cerai berulang kali, sehingga
suami maupun isteri benar-benar saling menghargai satu sama lain.

Pasal 11
Cukup jelas.

Pasal 12
Ketentuan Pasal 12 ini tidak mengurangi ketentuan yang diatur dalam Undang-undang
Nomor 22 Tahun 1946 jo Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954.

Pasal 13
Cukup jelas

Pasal 14
Cukup jelas.

Pasal 15
Cukup jelas.

Pasal 16
Cukup jelas.

Pasal 17
Cukup jelas.

Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.

Pasal 20
Cukup jelas.

Pasal 21
Cukup jelas.

Pasal 22

Pengertian "dapat" pada pasal ini diartikan bisa batal atau bisa tidak batal, bilamana
menurut ketentuan hukum agamanya masing-masing tidak menentukan lain.

Pasal 23
Cukup jelas.

Pasal 24
Cukup jelas

Pasal 25
Cukup jelas

Pasal 26
Cukup jelas.

Pasal 27
Cukup jelas.

Pasal 28
Cukup jelas.

Pasal 29

Yang dimaksud dengan "perjanjian" dalam pasal ini tidak termasuk tak'lik - talak.

Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.

Pasal 32
Cukup jelas.

Pasal 33
Cukup jelas.

Pasal 34
Cukup jelas.

Pasal 35

Apabila perkawinan putus, maka harta bersama tersebut diatur menurut Hukumnya
masing-masing.

Pasal 36
Cukup jelas.

Pasal 37

Yang dimaksud dengan "hukumnya" masing-masing ialah hukum


agama, hukum adat dan hukum-hukum lainnya.

Pasal 38
Cukup jelas.

Pasal 39
(1). Cukup jelas.

(2). Alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian adalah:

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi dan lain
sebagainya yang sukar disembuhkan;
b. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun bertutut-turut tanpa
izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar
kemauannya;
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih
berat setelah perkawinan berlangsung;
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan
terhadap pihak yang lain;
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;
f. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak
ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah-tangga.
(3). Cukup jelas.

Pasal 40
Cukup jelas.

Pasal 41
Cukup jelas.

Pasal 42
Cukup jelas.

Pasal 43
Cukup jelas.

Pasal 44
Pengadilan mewajibkan yang berkepentingan mengucapkan sumpah.

Pasal 45
Cukup jelas.

Pasal 46
Cukup jelas.

Pasal 47
Cukup jelas.

Pasal 48
Cukup jelas.

Pasal 49
Yang dimaksud dengan "kekuasaan" dalam pasal ini tidak termasuk kekuasaan sebagai
wali-nikah.

Pasal 50
Cukup jelas

Pasal 51
Cukup jelas

Pasal 52
Cukup jelas

Pasal 53
Cukup jelas.

Pasal 54
Cukup jelas

Pasal 55
Cukup jelas.

Pasal 56
Cukup jelas.

Pasal 57
Cukup jelas.

Pasal 58
Cukup jelas.

Pasal 59
Cukup jelas.

Pasal 60
Cukup jelas.

Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.

Pasal 63
Cukup jelas.

Pasal 64
Cukup jelas.

Pasal 65
Cukup jelas

Pasal 66
Cukup jelas

Pasal 67
Cukup jelas

Anda mungkin juga menyukai