Anda di halaman 1dari 38

Universitas MH Thamrin

Muscoloskeletas
disoders (MSDs)
Nama Anggota :
Arlina Krisna Dewi

Dini Andriani

Fianisa Jauhari

Puput Novitasari

Rafika Fitri Febrian

2018

S1 Kesehatan Masyarakat
Kata pengantar

Puji syukur kita panjatkan atas kehadirat Tuhan yang Maha Esa berkat Rahmat dan
Hidayahnya kami dapat menyelesaikan tugas Ergonomi K3 ini.

Kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam menyelesaikan tugas ini kami
mengucapkan banyak terimakasih, terutama kepada kedua orang tua kami yang telah
mendukung kami dalam menyelesaikan tugas ini dan kepada rekan-rekan kelompok kami
dalam menyusun tugas ini.

Semoga tugas Ergonomi K3 ini dapat bermanfaat dan sebagai inspirasi untuk semua
pihak.

Kami menyadari bahwa proposal ini jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kami
berharap kritik dan saran yang bersifat membangun agar usaha kami menjadi lebih baik. Atas
dukungan dari bapak, ibu, saudara, dan teman-teman. kami mengucapkan terimakasih.

Penyusun

Daftar isi

KATA PENGANTAR......................................................................................... i

i
DAFTAR ISI ....................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………………... 1
1 Latar belakang .................................................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………………… 2
2 Ergonomi ............................................................................................................ 2
2.1.1 Pengertian Ergonomi .................................................................................... 2
2.1.2 Prinsip Ergonomi .......................................................................................... 3
3. Muskuloskletal Disoders ……………………………………………………....4
3.1.1 Pengertian MSDs ......................................................................................... 4
3.1.2 Gejala ........................................................................................................... 5
3.1.3 Jenis Keluhan ............................................................................................... 6
3.1.4 Faktor Risiko ................................................................................................ 7
3.1.5 Dampak ....................................................................................................... 22
3.1.6 Pencegahan Keluhan …………………………………………………….. 23
3.1.7 Pengukuran ………………………………………………………………. 25
BAB III PEMBAHASAN ……………………………………………………. 29
BAB IV PENUTUP ………………………………………………………….. 34
1. Kesimpulan ..................................................................................................... 34
2. Saran ............................................................................................................... 34

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG

Ergonomi merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan gangguan


kesehatan. Sikap kerja yang kurang sesuai dapat menyebabkan keluhan berupa nyeri
pada otot atau muskuloskeletal disorders, hal ini disebabkan oleh postur kerja yang
tidak alamiah akibat dari tuntutan tugas, alat dan stasiun kerja yang tidak sesuai dengan
kemampuan pekerja. (1)
Musculoskeletal Disorders (MSDs) atau gangguan musculoskeletal adalah
keluhan pada bagian otot rangka yang dirasakan oleh seseorang mulai dari keluhan
yang sangat ringan hingga sangat sakit, apabila otot menerima beban statis secara
berulang dalam waktu yang lama akan dapat menyebabkan keluhan berupa kerusakan
pada sendi, ligament, dan tendon (Tarwaka dkk, 2004).
Berbagai studi yang dilakukan mengenai cidera pada sistem muskuloskeletal
menunjukkan bahwa bagian otot yang sering dikeluhkan adalah otot rangka (skeletal)
yang meliputi otot leher, bahu, lengan, jari, punggung, pinggang, dan otot-otot bagian
bawah sakit (Tarwaka, dkk., 2004).
Menurut WHO (2016), Kondisi muskuloskeletal adalah penyumbang
disabilitas terbesar kedua di dunia, dengan nyeri punggung bawah menjadi penyebab
utama kecacatan secara global. Sementara prevalensi kondisi muskuloskeletal
bervariasi berdasarkan usia dan diagnosis, antara 20% – 33% orang di seluruh dunia
hidup dengan kondisi muskuloskeletal yang menyakitkan.
Berdasarkan hasil studi Departemen Kesehatan Indonesia dalam profil
masalah kesehatan tahun 2005 penelitian yang dilakukan terhadap 9.482 pekerja di 12
kabupaten/kota di Indonesia umumnya berupa penyakit musculoskeletal disorders
(16%), kardiovaskuler (8%), gangguan saraf (5%), gangguan pernafasan (3%), dan
gangguan THT (1,5%) (Arifandhy dkk, 2011).
Prevalensi nyeri muskuloskeletal pada pekerja berkisar antara 60-76 % selama
satu tahun. Prevalensi nyeri muskuloskeletal lebih tinggi terjadi pada wanita
dibandingkan pada pria (Samara, 2007).

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2. Ergonomi

2.1.1 PENGERTIAN

Definisi Ergonomi Kata ergonomi berasal dari bahasa Yunani.


Menurut bahasa, ergonomi berasal dari kata ergon dan nomos. Ergon yang
berarti kerja dan nomos yang berarti hukum atau aturan. Secara menyeluruh,
ergonomi berarti studi tentang aspek-aspek manusia dalam lingkungan
kerjannya yang ditinjau secara anatomi, fisiologi, psikologi, engineering,
manajemen, dan desain atau perancangan. Istilah ergonomi pertama kali
dicetuskan pada tahun 1950 oleh sekelompok ahli medis, psikolog dan
insinyur di United Kingdom untuk menjelaskan aplikasi multidisiplin ilmu
yang dirancang untuk memecahkan masalah-masalah teknologi pada masa
perang. Dari beberapa literatur yang didapatkan dalam menjabarkan defenisi
ergonomi, diantaranya adalah:

1) Suma’mur (1989) menyatakan bahwa ergonomi adalah ilmu yang


penerapannya berusaha untuk menyerasikan pekerjaan dan lingkungan
terhadap orang atau yang setinggi-tingginya melalui pemanfaatan faktor
manusia seoptimaloptimalnya, hal ini meliputi penyerasian pekerja terhadap
tenaga kerja secara timbal balik untuk efisiensi dan kenyamanan kerja.
2) Menurut Pheasant (1991) mendefinisikan ergonomi sebagai aplikasi informasi
ilmiah mengenai manusia terhadap desain objek, sistem, lingkungan, untuk
penggunaan manusia.
3) Ergonomi adalah ilmu, seni, dan penerapan teknologi untuk menyerasikan
atau menyeimbangkan antara segala fasilitas yang digunakan baik dalam
beraktivitas maupun istirahat dengan kemampuan dan keterbatasan manusia
baik fisik maupun mental sehingga kualitas hidup secara keseluruhan menjadi
lebih baik (Tarwaka, 2004)
4) Ergonomi adalah suatu istilah yang berlaku untuk dasar studi dan desain
hubungan antara manusia dan mesin untuk mencegah penyakit dan cidera serta
meningkatkan prestasi atau performa kerja (ACGHI,2007)

2
5) Sedangkan ILO (International Labor Organization) mendefenisikan ergonomi
sebagai penerapan ilmu biologi manusia sejalan dengan ilmu rekayasa untuk
mencapai penyesuaiyan yang saling menguntungkan anatara pekerja dengan
pekerjaannya secara optimal dengan tujuan agar bermanfaat demi efisiensi dan
kesejahteraan.
6) Menurut organisasi International Ergonomi Association (IEA), ergonomi atau
human factor adalah sebuah disiplin keilmuan yang memiliki focus di dalam
memahami interaksi antara manusia dan elemen lainnya di dalam sebuah
sistem dan ergonomi adalah pekerjaan yang mengaplikasikan teori, prinsip,
data dan metode di dalam mendesain dengan tujuan mengoptimalisasikan
keberadaan manusia dan keseluruhan performa dalam suatu sistem.

Jadi, ergonomi dapat disimpulkan sebagai suatu ilmu dan seni yang
mempelajari lingkungan kerja, peralatan, manusia serta hubungan kesesuain
antara manusia, mesin dan lingkungan kerja. Agar tercapainya keefisiensian
dan keselamatan dalam menjalankan aktifitas pekerjaannya maka ergonomi
merupakan aplikasi ilmu yang bertujuan untuk menciptakan lingkungan kerja
yang nyaman dan sesuai dengan pekerja sehingga dicapai produktifikasi kerja
yang tinggi.

2.1.2 PRINSIP ERGONOMI


Pada prinsipnya ergonomi merupakan ilmu yang mempelajari
keserasian kerja dalam suatu sistem (worksystem). Sistem ini terdiri dari
manusia, mesin dan lingkungan kerja. Penerapan Ergonomi sangat luas, tidak
terbatas hanya industry tertentu saja, namun juga dapat diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari (Bridger, 1995). Manusia pada prinsipnya memiliki
kemampuan (capacity) dan keterbatasan (limitation) maka dari itu untuk dapat
bekerja dengan peralatan dan lingkungan kerja yang menuntut
terselesaikannya pekerjaan dengan baik dan aman sehingga perlu adanya
keserasian dan kesesuaian antara alat, lingkungan dan kerja atau jenis pekerja
tersebut.
Titik perhatian dari para ahli ergonomi ini ada pada desain atau
rancangan suatu alat atau benda yang dipengaruhi untuk memudahkan
kegiatan manusia sebagai penggunanya. Dalam mendesain suatu alat maka
pendekatan yang dipengaruhi adalah “The principle of user- centred desaign’’.

3
Hal ini berarti bahwa dalam mendesain sesuatu benda yang diperuntukkan
untuk manusia maka sebaiknya harus didasari pada pertimbangan karakter
fisik dan mental dari manusia itu sendiri.
Pengembangan konsep ini dapat membuat lingkungan kerja menjadi
lebih sehat dan aman, sehingga diperoleh beberapa keuntungan, antara lain:

1) Peningkatan produktivitas

2) Peningkatan kualitas kerja

3) Mengurangi frekuensi perputaran karyawan

4) Mengurangi angka absen

5) Peningkatan kualitas moral pekerja

Desain ini harus menyerasikan atau membuat matching antara alat


dengan pengguna sehingga kenyamanan dan keamanan dalam bekerja dan
mempergunakan alat atau benda akan terwujud. Hal ini bukan tidak mungkin
kecelakaan yang menjadi risiko dan setiap pekerjaan dapat terhindar dan
produktivitas kerja seseorang akan meningkat karena kenyamanan yang
mereka rasakan dan pekerjaannya.

3. Muskuloskeletal Disorders (MSDs)

3.1.1 PENGERTIAN

Musculoskeletal Disorders (MSDs) merupakan sekumpulan gejala/gangguan


yang berkaitan dengan jaringan otot, tendon, ligamen, kartilago, sistem saraf,
struktur tulang, dan pembuluh darah. MSDs pada awalnya menyebabkan sakit,
nyeri, mati rasa, kesemutan, bengkak, kekakuan, gemetar, gangguan tidur, dan
rasa terbakar (OSHA, 2000).

Musculoskeletal Disorders (MSDs) adalah kelainan yang disebabkan


penumpukan cidera atau kerusakan-kerusakan kecil pada sistem muskuloskeletal
akibat trauma berulang yang setiap kalinya tidak bisa sembuh secara sempurna,
sehingga membentuk kerusakan cukup besar untuk menimbulkan rasa sakit
(Humantech, 1995).

MSDs bukanlah merupakan diagnosis klinis tapi merupakan label untuk persepsi
rasa sakit atau nyeri pada sistem muskuloskeletal. Keluhan muskuloskeletal

4
adalah keluhan pada bagian-bagian otot skeletal yang dirasakan oleh seseorang
mulai dari keluhan yang ringan sampai yang sangat fatal. Apabila otot menerima
beban statis secara berulang dan dalam waktu yang lama, akan dapat
menyebabkan keluhan berupa kerusakan pada sendi, ligamen, dan tendon.
Keluhan hingga kerusakan inilah yang biasanya diistilahkan dengan keluhan
musculoskeletal disorders (MSDs) atau cidera pada sistem muskuloskeletal
(Grandjean, 1993; Lemastars, 1996 dalam Tarwaka, et al. 2004).

Secara garis besar keluhan otot dapat dikelompokan menjadi dua (Tarwaka, et al.
2004) yaitu:

1. Keluhan sementara (reversible), yaitu keluhan otot yang terjadi pada saat otot
menerima beban statis, namun demikian keluhan tersebut akan segera hilang
apabila pembebanan dihentikan, dan

2. Keluhan menetap (persistent), yaitu keluhan otot yang bersifat menetap,


walaupun pembebanan kerja telah dihentikan, namun rasa sakit pada otot
masih terus berlanjut.

3.1.2 GEJALA

Gejala keluhan muskuloskeletal dapat menyerang secara cepat maupun lambat


(berangsur-angsur), menurut Kromer (1989), ada tiga tahap terjadinya MSDs
yang dapat diidentifikasi yaitu:

Tahap 1 : Sakit atau pegal-pegal dan kelelahan selama jam kerja tapi gejala ini
biasanya menghilang setelah waktu kerja (dalam satu malam). Tidak berpengaruh
pada kinerja. Efek ini dapat pulih setelah istirahat;

Tahap 2 : Gejala ini tetap ada setelah melewati waktu satu malam setelah bekerja.
Tidak mungkin terganggu. Kadang-kadang menyebabkan berkurangnya
performa kerja;

Tahap 3 : Gejala ini tetap ada walaupun setelah istirahat, nyeri terjadi ketika
bergerak secara repetitif. Tidur terganggu dan sulit untuk melakukan pekerjaan,
kadang-kadang tidak sesuai kapasitas kerja.

5
3.1.3 JENIS KELUHAN

Jenis-jenis Keluhan muskuloskeletal antara lain:

1. Sakit Leher : Sakit leher adalah penggambaran umum terhadap gejala yang
mengenai leher, peningkatan tegangan otot atau myalgia, leher miring atau
kaku leher. Pengguna komputer yang terkena sakit ini adalah pengguna yang
menggunakan gerakan berulang pada kepala seperti menggambar dan
mengarsip, serta pengguna dengan postur yang kaku;

2. Nyeri Punggung : Nyeri punggung merupakan istilah yang digunakan untuk


gejala nyeri punggung yang spesifik seperti herniasi lumbal, arthiritis,
ataupun spasme otot. Nyeri punggung juga dapat disebabkan oleh tegangan
otot dan postur yang buruk saat menggunakan computer.

3. Nyeri Ektremitas Inferior : Nyeri ekstremitas inferior dapat menyerang bagian


tubuh manapun. Antara lain bahu, leher, pergelangan tangan, kaki, lengan dan
bagian tubuh lain. Nyeri ini dapat berulang, namun datang secara tiba-tiba
dan sangat menyiksa dalam jangka waktu yang lama. Berdiri lama di tempat
kerja berkaitan dengan rasa nyeri pada ekstremitas inferior.

4. Carpal Tunnel Syndrome : Merupakan kumpulan gejala yang mengenai


tangan dan pergelangan tangan yang diakibatkan iritasi dan nervus
medianus. Keadaan ini disebabkan oleh aktivitas berulang yang
menyebabkan penekanan pada nervus medianus. Keadaan berulang ini
antara lain seperti mengetik, arthritis, fraktur pergelangan tangan yang
penyembuhannya tidak normal, atau kegiatan apa saja yang menyebabkan
penekanan pada nervus medianus;

5. Thoracic Outlet Syndrome : Merupakan keadaan yang mempengaruhi


bahu, lengan, dan tangan yang ditandai dengan nyeri, kelemahan, dan mati
rasa pada daerah tersebut. Terjadi jika lima saraf utama dan dua arteri
yang meninggalkan leher tertekan. Thoracic outlet syndrome disebabkan
oleh gerakan berulang dengan lengan diatas atau maju kedepan.

6. Tennis Elbow : Tennis elbow adalah suatu keadaan inflamasi tendon


ekstensor, tendon yang berasal dari siku lengan bawah dan berjalan keluar
ke pergelangan tangan. Tennis elbow disebabkan oleh gerakan berulang
dan tekanan pada tendon ekstensor.
6
7. Low Back Pain : Low back pain terjadi apabila ada penekanan pada
daerah lumbal yaitu L4 dan L5. Apabila dalam pelaksanaan pekerjaan
posisi tubuh membungkuk ke depan maka akan terjadi penekanan pada
discus.Hal ini berhubungan dengan posisi duduk atau berdiri yang janggal,
kursi yang tidak ergonomis, dan peralatan lainnya yang tidak sesuai
dengan antopometri pekerja.

3.1.4 FAKTOR RISIKO

Secara pasti hubungan sebab dan akibat faktor penyebab timbulnya MSDs
sulit untuk dijelaskan, karena banyak faktor yang mempengaruhinya dan
dalam banyak kesempatan MSDs terjadi akibat dari kombinasi dari berbagai
faktor tersebut. Adapun faktor risiko yang biasanya muncul memberikan
kontribusi terhadap timbulnya MSDs (Kuntodi, 2008) dapat dikategorikan
dalam tiga kategori yaitu faktor pekerjaan, faktor individu dan faktor
lingkungan. Faktor pekerjaan meliputi; postur kerja (postur janggal dan postur
statis), penggunaan tenaga, pergerakan repetitif dan karakteristik objek. Fakor
karakteristik individu terdiri dari; umur, jenis kelamin, kebiasaan merokok,
kekuatan fisik, Indeks Masa Tubuh (IMT), masa kerja, lama masa kerja,dan
sikap kerja. Sedangkan faktor lingkungan terdiri dari; vibrasi/getaran dan
mikroklimat (Bridger, 1995; Bernard & Cohen et al, 1997; OSHA & Peter Vi,
2000; Kumar 2001).

2.1.4.1 Faktor Pekerjaan

2.1.4.1.1 Postur Kerja

Postur kerja yang sering dilakukan oleh manusia dalam melakukan


pekerjaan antara lain berdiri, duduk, jongkok, membungkuk, berjalan, dan
lain sebagaianya. Postur kerja tersebut di lakukan tergantung dari kondisi
sistem kerja yang ada. Jika kondisi sistem kerjanya yang tidak sehat akan
menyebabkan kecelakaan kerja, karena pekerja melakukan pekerjaan yang
tidak aman (Nurmianto, 2003). Postur kerja dibagi manjadi dua jenis yaitu,
postur janggal dan postur statis:

7
2.1.4.1.1.1 Postur Janggal

Postur janggal adalah deviasi dari gerakan tubuh atau anggota gerak yang
dilakukan oleh pekerja saat melakukan aktifitas kerja secara berulang-
ulang dan dalam waktu yang relatif lama. Gerakan postur janggal
merupakan salah satu faktor risiko terjadinya gangguan, penyakit, atau
cedera pada sistem otot rangka. Gangguan, penyakit, atau cidera pada
sistem musculoskeletal hampir tidak pernah terjadi secara langsung, akan
tetapi lebih merupakan suatu akumulasi dari benturan kecil maupun
besar secara terus-menerus dan dalam jangka waktu yang relatif lama
(Cohen, et al, 1997).

Dalam ukuran jarak atau dimensi pada dasarnya setiap orang memiliki
keinginan untuk melakukan kegiatannya dalam postur yang optimal.

Postur tubuh yang tidak stabil (tidak alamiah) menunjukan bukti yang
kuat sebagai faktor yang berkontribusi terhadap MSDs dan menimbulkan
terjadinya gangguan leher, punggung dan bahu (Bernard, 1997).

Postur janggal pada leher (Cohen, et al, 1997):

1. Menunduk ke arah depan sehingga sudut yang di bentuk oleh garis


vertikal dengan sumbu ruas tulang leher > 20o.

2. Tengadah, setiap postur dari leher yang mendongak ke atas atau


ekstensi. Miring, setiap gerakan dari leher yang miring, baik ke kanan
maupun ke kiri, tanpa melihat besarnya sudut yang dibentuk oleh garis
vetikal dengan sumbu dari ruas tulang leher.

3. Rotasi leher, setiap postur leher yang memutar, baik ke kanan dan atau
ke kiri, tanpa melihat berapa derajat besarnya rotasi yang dilakukan.

Postur janggal pada punggung :

1. Membungkuk, postur punggung membungkukkan badan hingga


membentuk sudut 20o terhadap vertikal dan berputar.

2. Rotasi badan, berputar (twisting) adalah adanya rotasi dan torsi pada
tulang punggung (gerakan, postur, posisi badan yang berputar baik ke
arah kanan, kiri) dimana garis vertikal menjadi sumbu tanpa
memperhitungkan berapa derajat besarnya rotasi yang dilakukan.

8
3. Miring, memiringkan badan (bending) dapat didefinisikan sebagai
fleksi dari tulang punggung, deviasi bidang median badan dari garis
vertikal, tanpa memperhitungkan besarnya sudut yang dibentuk,
biasanya dalam arah ke depan atau ke samping.

Untuk postur janggal pada kaki adalah bertumpu di atas satu kaki atau
tidak seimbang. Sedangkan postur janggal pada bahu :

1. Aduksi adalah posisi bahu menjahui garis tengah atau vertikal tubuh.

2. Abduksi adalah posisi bahu mendekati garis tengah atau vertikal


tubuh.

3. Fleksi adalah posisi bahu diangkat menuju kearah vertikal tubuh,


depan dada.

4. Ekstensi adalah posisi bahu menjauhi arah vertikal tubuh, atau lengan
berada di belakang badan.

Postur janggal pada lengan:

1. Fleksi adalah posisi lengan bawah diangkat menuju kearah vertikal


tubuh, depan dada. Fleksi penuh pada siku terkuat pada sudut 90o.

2. Ekstensi adalah posisi lengan bawah menjauhi arah vertikal tubuh,


atau lengan berada dibelakang badan. Ekstensi penuh pada siku adalah
besarnya sudut yang dibentuk oleh sumbu lengan atas dan sumbu
lengan bawah >135o.

Postur janggal pada pergelangan tangan :

1. Deviasi radial adalah postur tangan yang miring ke arah ibu jari.

2. Deviasi ulnar adalah postur tangan yang mering ke arah kelingking.

3. Ekstensi pergelangan tangan adalah posisi tangan yang menekuk ke


arah punggung tangan di ukur dari sudut yang dibentuk oleh lengan
bawah dan sumbu tangan sebesar > 45o.

9
4. Fleksi pergelangan tangan adalah posisi tangan yang menekuk kearah
telapak, diukur dari sudut yang dibentuk oleh lengan bawah dan
sumbu tangan sebesar >45o.

Perputaran (rotasi) pergelangan tangan yang berisiko adalah melakukan


perputaran keluar (supinasi) daripada perputaran ke dalam (pronasi)

2.1.4.1.1.2 Postur Statis

Postur statis yaitu pada saat persendian tidak bergerak. Hal tersebut tidak
hanya membatasi pemasukan nutrisi dan oksigen, tetapi juga membatasi
pembuangan metabolisme. Oleh sebab itu, postur statis sangat dianjurkan
untuk dihindari (Nurmianto, 1998).

Postur statis merupakan postur saat kerja fisik dalam posisi yang sama dimana
pergerakan yang terjadi sangat minimal. Kondisi ini memberikan peningkatan
beban pada otot dan tendon yang menyebabkan kelelahan. Aliran darah yang
membawa nutrisi dan oksigen, serta pengangkutan sisa metabolisme pada otot
terhalang. Gerakan yang dipertahankan > 10 detik dinyatakan sebagai postur
statis (Cohen at al, 1997).

Posisi tubuh dapat menyebabkan rasa tidak nyaman dan kelelahan jika
dipertahankan untuk jangka waktu yang lama. Berdiri misalnya, adalah postur
tubuh alami, dan dengan sendirinya tidak menimbulkan bahaya kesehatan
tertentu. Idealnya berdiri dalam sehari adalah sekitar 2 jam. Jika sudah
melebihi waktu tersebut maka di haruskan untuk melakukan peregangan atau
duduk sejenak. Namun, bekerja untuk waktu lama dalam posisi berdiri dapat
menyebabkan sakit kaki, kelelahan otot umum, dan sakit punggung (OSHA,
2002).

10
2.1.4.1.2 Penggunaan Tenaga

Pekerjaan membutuhkan penggunaan tenaga untuk menempatkan beban yang


tinggi untuk otot, tendon, ligamen, dan sendi. Pekerjaan yang menggunakan
tenaga besar dapat membebani otot, tendon, ligamen, dan sendi. Peregangan
otot yang berlebihan pada umumnya sering dikeluhkan oleh pekerja dimana
aktivitas kerjanya menuntut pengerahan tenaga yang besar seperti aktivitas
mengangkat, mendorong, menarik, dan menahan beban yang berat.
Peregangan otot yang berlebihan ini terjadi karena pengerahan tenaga yang
diperlukan melampaui kekuatan optimum otot. Apabila hal serupa sering
dilakukan, maka dapat mempertinggi risiko terjadinya keluhan otot, bahkan
dapat menyebabkan cideranya otot skeletal (tarwaka et al, 2004).

Dalam banyak peristiwa, tenaga akan menjadi paling besar jika sebanyak-
banyaknya otot berkontraksi. Sikap tubuh yang bertalian dengan pengerahan
tenaga yang paling besar dengan pengerahan tenaga yang paling besar bagi
gerakan-gerakan tertentu adalah sebagai berikut (Suma’mur, 1989):

1. Rotasi (perputaran) tangan ke arah dalam paling kuat jika dimulai dengan
telapak tangan berada pada keadaan rotasi ke luar secara penuh (supsinasi
penuh)

2. Rotasi tangan ke arah luar paling kuat jika dimulai dengan telapak tangan
berada pada keadaan rotasi ke dalam secara penuh (rotasi penuh)

3. Ekstensi siku (perentangan lengan terhadap siku) paling kuat jika dimulai
pada posisi fleksi penuh

4. Fleksi siku (dengan tangan terbuka) terkuat pada sudut 90° (efek
pengungkit)

5. Pada pekerjaan mendorong dengan tangan sambil duduk, kekuatan


terbesar didapat pada keadaan siku bersudut 150-160° dan dengan
pegangan tangan pada jarak kira-kira 66 cm dari daratan sandaran
pinggang

11
6. Sambil duduk, kekuatan mendorong lebih besar dari pada menarik, apabila
sandaran pinggang dan injakan kaki disediakan dengan memadai.
Kekuatan menarik terbesar didapat dengan lengan pada keadaan ekstensi
dan pegangan tangan diantara 18-23 cm di atas dataran duduk

7. Secara ungkitan, tenaga terbesar dalam posisi duduk diperoleh jika


pegangan tangan berada pada ketinggian diantara bahu dan siku,
sedangkan pada posisi berdiri pegangan harus setinggi bahu.

8. Pada posisi berdiri, kekuatan lebih besar pada menarik ke belakang


daripada mendorong ke depan. Gerakan-gerakan ke depan lebih kuat pada
kegiatan mendorong daripada kegiatan menarik.

9. Sambil duduk, kekuatan terhadap pedal terbesar didapat pada fleksi lutut
160° dan fleksi sendi kaki 120°. Sikap istirahat terbesar diperoleh dengan
fleksi lutut 105-135°.

10. Penggunaan tenaga akan semakin besar, jika gerakan tubuh yang
membutuhkan pengerahan tenaga ditambah dengan berat beban objek yang
harus diangkat. Menurut ILO, beban maksimum yang diperbolehkan untuk
diangkat oleh seseorang adalah 23-25 Kg. Mengangkat beban yang terlalu
berat akan mengakibatkan tekanan diskus pada tulang belakang. Selain itu,
berat beban juga dapat menyebabkan kelelahan karena dipicu peningkatan
tekanan pada diskus intervertebralis (Bridger, 1995).

Risiko yang berkaitan dengan berat beban perlu memperhatikan durasi dan
frekuensi beban yang akan ditangani. Tangan, siku, bahu dan kaki hanya
diperbolehkan mengangkat beban kurang dari 4,5 kg. Sedangkan beban yang
dijepit pada tangan tidak boleh melebihi 0,9 kg dengan durasi tidak lebih dari
10 detik. Durasi pada kaki tidak boleh dilakukan lebih dari 30% per hari
(Humantech, 1995).

12
2.1.4.1.3 Pergerakan repetitive

Pergerakan repetitif pada aktifitas pekerjaan yang sama dapat memperburuk


akibat dari postur kerja janggal dan gangguan tenaga. Tendon dan otot dapat
memperbaiki efek peregangan atau penggunaan tenaga jika waktu yang
dibagikan cukup dalam penggunaannya. Bagaimanapun jika pergerakan
meliputi otot yang sama sering diulang, tanpa istirahat, kelelahan, dan
ketegangan, dapat terakumulasi menghasilkan kerusakan jaringan.

Pekerjaan repetitif dapat menyebabkan nyeri akibat akumulasi sampah


metabolisme dalam otot. Otot akan melemah dan spasme, yang biasanya
terjadi pada tangan/lengan bawah ketika melakukan pekerjaan repetitive.

Dengan demikian pekerjaan yang mengharuskan melakukan kegiatan


berulang, gerakan yang kasar dan kuat termasuk pekerjaan yang berisiko
tinggi (Kroemer,1989 dalam Bridger, 1995).

Aktivitas berulang (tarwaka at al, 2004) adalah pekerjaan yang dilakukan


secara terus menerus seperti pekerjaan mencangkul, membelah kayu besar,
angkat- angkut dsb. Keluhan otot terjadi karena otot menerima tekanan
akibat beban kerja secara terus menerus tanpa memperoleh kesempatan
untuk relaksasi.

Menurut Sue Hignett dan Mc. Atamney (2000) penggunaan otot berisiko
apabila diindikasikan melakukan gerakan statis lebih dari 1 menit atau
gerakan yang dilakukan berulang-ulang sebanyak 4x atau lebih dalam satu
menit. Oleh karena itu, perlu diatur waktu-waktu istirahat khusus agar
kemampuan kerja dan kesegaran jasmani tetap dapat dipertahankan dalam
batas-batas toleransi untuk mencegah terjadinya kelelahan, penurunan
kemampuan fisik dan memberi kesempatan tubuh untuk melakukan
pemulihan atau penyegaran (Tarwaka et al, 2004).

13
2.1.4.1.4 Karakteristik Objek

Karakteristik objek yang menjadi faktor risiko cidera otot skeletal antara
lain:

1. Besar dan bentuk objek

Ukuran dan bentuk objek ikut mempengaruhi terjadinya gangguan otot


rangka. Ukuran objek harus cukup kecil agar dapat diletakkan sedekat
mungkin dari tubuh. Lebar objek yang besar dapat membebani otot
bahu lebih dari 300-400 mm, pajang lebih dari 350 mm dengan
ketinggian lebih dari 450 mm.

Sedangkan bentuk objek yang baik harus memiliki pegangan, tidak ada
sudut tajam dan tidak dingin atau panas saat diangkat. Mengangkat objek
tidak boleh hanya dengan mengandalkan kekuatan jari, karena
kemampuan otot jari terbatas sehingga dapat cidera pada jari (Kumar,
2001).

2. Genggaman tangan

Kegiatan menggenggam dapat dibagi menjadi dua kategori utama


(kumar, 2001) yaitu:

1) Power grip : dimana jari dapat menggenggam benda dengan fleksibel


dan mengapit dalam telapak tangan.

2) Pinch grip : dimana objek ditahan dengan ujung ibu jari dan satu atau
lebih jari lain, seperti saat menggunakan ujung jari, mencubit,
menggenggam kunci, pena dan lain-lain.

14
2.1.4.2 Faktor Individu

2.1.4.2.1 Umur

Guo et al, 1995; Chaffin, 1979 menyatakan bahwa pada umumnya keluhan
otot skeletal mulai dirasakan pada usia kerja yaitu 25-65 tahun. Pada umur 35
tahun sebagian besar pekerja mengalami peristiwa pertama dalam sakit
punggung, dan tingkat kelelahan akan terus bertambah sesuai dengan
bertambahnya umur. Hal ini terjadi karena pada umur setengah baya, kekuatan
dan ketahanan otot mulai menurun sehingga risiko terjadinya keluhan otot
meningkat.

Suatu penelitian yang dilakukan oleh betti’e, et al (1989) tentang kekuatan


statik otot pada pria dan wanita dengan usia antara 20 sampai dengan diatas 60
tahun. Penelitian difokuskan untuk otot lengan, punggung dan kaki. Hasil
penelitian menunjukan bahwa kekuatan otot maksimal terjadi pada saat umur
antara 20-29 tahun, selanjutnya terus terjadi penurunan sejalan dengan
bertambahnya umur. Pada saat umur mencapai 60 tahun, rata-rata kekuatan
otot menurun sampai 20 %. Pada saat kekuatan otot mulai menurun maka
risiko terjadinya otot akan meningkat. Riihimaki, et al (1989) menjelaskan
bahwa umur mempunyai hubungan yang sangat kuat dengan keluhan otot
leher dan bahu, bahkan ada beberapa ahli lainnya menyatakan bahwa umur
merupakan penyebab utama terjadinya keluhan otot (Tarwaka, et al. 2004).

Penelitian yang dilakukan oleh Hendra (2001) pada pekerja panen kelapa
sawit di PT X Sumatra Selatan menunjukan adanya hubungan antara umur
pekerja dengan keluhan MSDs. Demikian halnya penelitian yang dilakukan
Soleha (2009) pada operator plant PT. X menunjukkan adanya hubungan
antara umur dengan terjadinya keluhan MSDs.

15
2.1.4.2.2 Jenis Kelamin

Walaupun masih ada perbedaan pendapat dari beberapa ahli tentang pengaruh
jenis kelamin terhadap risiko keluhan otot skeletal, namun beberapa hasil
penelitian secara signifikan menunjukan bahwa jenis kelamin sangat
mempengaruhi tingkat risiko keluhan otot. Hal ini terjadi karena secara
fisiologis, kemampuan otot wanita memang lebih rendah dari pada pria.
Astrand dan Rodahl (1977) menjelaskan bahwa kekuatan otot wanita hanya
sekitar dua per tiga dari kekuatan otot pria, sehingga daya tahan otot pria pun
lebih tinggi dibandingkan dengan wanita.

Hasil penelitian Betti’e, et al (1989) menunjukan bahwa rerata kekuatan otot


wanita kurang lebih hanya 60% dari kekuatan otot pria, khususnya untuk otot
lengan, punggung dan kaki. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian Chiang et
al, (1993), Bernard et al, (1994), Hales et al. (1994) dan Johanson (1994) yang
menyatakan bahwa perbandingan keluhan otot antara pria dan wanita adalah
1:3. Dari uraian tersebut diatas, maka jenis kelamin perlu dipertimbangkan
dalam mendesain beban tugas (Tarwaka, et al. 2004).

16
2.1.4.2.3 Kebiasaan Merokok

Semakin lama dan semakin tinggi frekuensi merokok, semakin tinggi pula
tingkat keluhan yang dirasakan (Tarwaka, et al, 2004). Pengaruh kebiasaan
merokok ini masih diperdebatkan, namun beberapa penelitian menunjukan
bahwa perokok lebih memiliki kemungkinan menderita masalah punggung
daripada bukan perokok. Efeknya adalah hubungan dosis dan lebih kuat
dari pada yang diharapkan dari efek batuk. Risiko meningkat sekitar 20%
untuk setiap 10 batang rokok perhari (Pheasant, 1991).

Hubungan merokok dengan keluhan MSDs disebabkan karena batuk yang


meningkatkan tekanan pada perut dan menimbulkan ketegangan pada tulang
belakang atau punggung (Deyo and Bass 1989; Frymoyer at al. 1980; Troup at
al. 1987 dalam Bernard, 1997).

Penelitian yang dilakukan Ariani (2009) pada tukang angkut barang di Stasiun
Jatinegara Jakarta dan penelitian yang dilakukan Soleha (2009) pada operator
Cant Plan PT X menunjukkan adanya hubungan antara kebiasaan merokok
dengan keluhan MSD

17
2.1.4.2.4 Kekuatan Fisik

Kekuatan/kemampuan kerja fisik (Tarwaka, et al, 2004) adalah suatu


kemampuan fungsional seseorang untuk mampu melakukan pekerjaan tertentu
yang memerlukan aktivitas otot pada periode waktu tertentu. Lamanya waktu
aktivitas dapat bervariasi antara beberapa detik (untuk pekerjaan yang
memerlukan kekuatan) sampai beberapa jam (untuk waktu yang memerlukan
ketahanan).

Beberapa hasil penelitian menunjukan adanya hubungan yang signifikan,


namun penelitian lainnya menunjukan bahwa tidak ada hubungan antara
kekuatan fisik denga keluhan otot skeletal. Chaffin and Park (1973) yang
dilaporkan oleh NIOSH menemukan adanya peningkatan keluhan punggung
yang tajam pada pekerja yang melakukan tugas yang menuntut kekuatan
melebihi batas kekuatan otot pekerja. Bagi pekerja yang kekuatan ototnya
rendah, resiko terjadinya keluhan tiga kali lipat dari yang mempunyai
kekuatan tinggi. Sementara itu Betti’e, et al (1990) menentukan bahwa pekerja
yang sudah mempunyai keluhan pinggang mampu melakukan pekerjaan
seperti pekerja lainnya yang belum memiliki keluhan pinggang.

18
2.1.4.2.5 Masa Kerja

Masa kerja adalah panjangnya waktu terhitung mulai pertama kali pekerja
masuk kerja hingga saat penelitian berlangsung. Masa kerja memiliki
hubungan yang kuat dengan keluhan otot dan meningkatkan risiko
Musculoskeletal Disorders (MSDs), terutama untuk pekerjaan yang
menggunakan kekuatan kerja yang tinggi.

Cohen, et al (1997) menjelaskan bahwa masa kerja memiliki hubungan yang


kuat dengan keluhan otot dan meningkatkan risiko MSDs. Penelitian yang
dilakukan oleh Hendra; Rahardjo (2009) Pada 117 Pekerja Panen Kelapa
Sawit di PT “X” Sumatra Selatan menunjukan ada hubungan antara masa
kerja (>4 tahun dan <4 tahun) dengan keluhan MSDs (OR: 2,755; CI: 1,184-
6,412). Demikian juga, penelitian yang dilakukan Soleha (2009) pada operator
Cant Plan PT X menunjukkan adanya hubungan antara masa kerja dengan
keluhan MSDs. Sebuah penelitian di kota Jakarta menyatakan bahwa
kelompok pekerja yang memiliki keluhan MSDs sebanyak 9,4% dengan rata-
rata masa kerja 170,3 bulan, sedangkan kelompok dengan masa kerja 82 bulan
(7 tahun) sebanyak 77,3%. Hal ini menunjukkan bahwa keluhan MSDs
berbanding lurus dengan bertambahnya masa kerja.

19
2.1.4.2.6 Indeks Masa Tubuh (IMT)

Walaupun pengaruhnya relatif kecil, berat badan dan massa tubuh merupakan
faktor yang dapat menyebabkan terjadinya keluhan otot skeletal. Vessy, et al
(1990) menyatakan bahwa wanita yang gemuk mempunyai resiko 2x lipat
dibandingkan wanita kurus. Hal ini diperkuat oleh Wrner, et al (1994) yang
menyatakan bahwa bagi pasien yang gemuk (obesitas dengan masa tubuh
lebih dari 29) mempunyai resiko 2,5 lebih tinggi dibandingkan dengan yang
kurus (massa tubuh kurang dari 20) khususnya untuk otot kaki. Temuan lain
menyatakan bahwa pada tubuh yang tinggi umumnya sering menderita
keluhansakit punggung, tetapi tubuh tinggi tidak mempunyai pengaruh
terhadap keluhan pada leher , bahu pergelangan tangan.

Apabila dicermati, keluhan otot sekletal yang terkait dengan ukuran tubuh
lebih disebabkan oleh kondisi keseimbangan struktur rangka di dalam
menerima beban, baik beban berat tubuh maupun beban tambahan lainnya.
Sebagai contoh, tubuh yang tinggi pada umumnya mempunyai bentuk tulang
yang langsing sehingga secara biomekanik rentan terhadap beban tekanan dan
rentan terhadap tekukan, oleh karena itu mempunyai risiko yang lebih tinggi
terhadap terjadinya keluhan otot skeletal (Tarwaka, et al, 2004).

2.1.4.2.7 Sikap Kerja

Sikap kerja tidak alamiah adalah sikap kerja yang menyebabkan posisi
bagian-bagian tubuh bergerak menjauhi posisi alamiah, misalnya
pergerakan tangan terangkat, punggung terlalu membungkuk dan
sebagainya. Perawat adalah tenaga medis yang 24 jam berada di dekat
pasien, kebutuhan dasar pasien harus diperhatikan oleh seorang perawat.
Tingginya aktivitas yang dilakukan perawat, sehingga perawat tidak
memperhatikan posisi tubuh yang baik saat melakukan tindakan.

2.1.4.2.8 Lama Kerja

Umumnya dalam sehari seseorang bekerja selama 6-8 jam dan sisanya 14-18
jam digunakan untuk beristirahat atau berkumpul dengan keluarga dan
berkumpul dengan masyarakat. Adanya penambahan jam kerja yang dapat
menurunkan efisiensi pekerja, menurunkan produktivitas, timbulnya kelelahan

20
dan dapat mengakibatkan penyakit dan kecelakaan. Seseorang biasanya
bekerja selama 40-50 jam dalam seminggu.

Menurut Disnaker Lama kerja juga diatur dalam undang-undang no.13 tahun
2003 yang menyatakan bahwa jam kerja yang berlaku 7 jam dalam 1 hari dan
40 jam dalam 1 minggu untuk 6 hari kerja dalam 1 minggu, 8 jam 1 hari dan
40 jam dalam 1 minggu untuk 5 hari kerja. menurut pasal 77 ayat 2 dalam
undang-undang no 13 tahun 2003 menyatakan bahwa jumlah jam kerja secara
akumulatif masing-masing shift tidak diperbolehkan bekerja lebih dari 40 jam
dalam seminggu.

Lama kerja mempunyai hubungan yang kuat dengan keluhan otot dan dapat
meningkatkan resiko gangguan musculoskeletal disorders terutama untuk jenis
pekerjaan dengan menggunakan kekuatan kerja yang cukup tinggi.

2.1.4.3 Faktor Lingkungan

2.1.4.3.1 Vibrasi

Vibrasi/getaran dengan frekuensi tinggi akan menyebabkan kontraksi otot


bertambah. Kontraksi statis ini menyebabkan peredaran darah tidak lancar,
penimbunan asam laktat meningkat dan akhirnya timbul rasa nyeri otot
(Suma’mur, 1982). Paparan vibrasi pada seluruh tubuh merupakan faktor
risiko yang dapat berkontribusi untuk menyebabkan cidera, khususnya di
tulang belakang dan leher serta punggung bagian bawah. Paparan jangka
panjang akan menyebabkan MSDs, diketahui gejala yang semakin progresif
dimulai mati rasa atau perubahan warna pada ujung beberapa jari tangan.
Kemudian akan terjadi penurunan rasa dan ketangkasan tangan (Budiono,
2004)

Paparan dari getaran lokal terjadi ketika bagian tubuh tertentu kontak dengan
objek yang bergetar, seperti kekuatan alat-alat yang menggunakan tangan.
Paparan getaran seluruh tubuh dapat terjadi ketika berdiri atau duduk dalam
lingkungan atau objek yang bergetar, seperti ketika mengoperasikan
kendaraan atau mesin yang besar (Cohen, et al, 1997).

21
2.1.4.3.2 Mikroklimat

Mikroklimat dalam lingkungan kerja menjadi sangat penting karena dapat


bertindak sebagai stressor yang menyebabkan strain kepada pekerja apabila
tidak dikendalikan dengan baik. Mikroklimat di tempat kerja terdiri dari unsur
suhu udara, kelembaban, panas radiasi dan kecepatan gerakan udara
(Suma’mur, 1948 dan Bernard, 1996 dalam Tarwaka, et al, 2004). Bagi orang
Indonesia, suhu yang dirasa nyaman adalah berada antara 24˚C - 26˚C serta
toleransi 2 – 3 ˚C di atas atau di bawah suhu nyaman. Paparan suhu dingin
yang berlebihan dapat menurunkan kelincahan, kepekaan dan kekuatan
pekerja sehingga gerakan pekerja menjadi lamban, sulit bergerak yang disertai
dengan menurunnya kekuatan otot. Demikian juga dengan paparan udara yang
panas. Beda suhu lingkungan dengan suhu tubuh yang terlampau besar
menyebabkan sebagian energi yang ada dalam tubuh akan termanfaatkan oleh
tubuh untuk beradaptasi dengan lingkungan tersebut. Apabila hal ini tidak
diimbangi dengan pasokan energi yang cukup, maka akan terjadi kekurangan
suplai energi ke otot. Sebagai akibatnya, peredaran darah kurang lancar, suplai
oksigen ke otot menurun. Proses metabolisme karbohidrat terhambat dan
terjadi penimbunan asam laktat yang dapat menimbulkan rasa nyeri otot.

Dengan demikian jelas bahwa mikroklimat yang tidak dikendalikan dengan


baik akan berpengaruh terhadap tingkat kenyamanan pekerja dan gangguan
kesehatan, sehingga dapat meningkatkan beban kerja, mempercepat
munculnya kelelahan dan keluhan subjektif serta menurunkan produktivitas
kerja (Tarwaka, et al, 2004). musculoskeletal disorders (MSDs) atau cidera
pada sistem muskuloskeletal (Grandjean, 1993; Lemastars, 1996 dalam
Tarwaka, et al. 2004).

3.1.5 DAMPAK

Suma’mur (1989) menjelaskan, bahwa keluhan-keluhan pada tulang


belakang yang dialami pekerja jika terus dibiarkan berpeluang besar
menyebabkan dislokasi bagian tulang punggung yang menimbulkan rasa
sangat nyeri dan bisa irreversible serta fatal. Rasa sakit yang mengganggu
sistem muskuloskeletal pada saat bekerja dapat menyebabkan pecahnya
lempeng dan bahan atau bagian dalam yang menonjol keluar serta mungkin

22
menekan saraf- saraf di sekitarnya, hal tersebut yang menyebabkan cidera
atau bahkan menyebabkan kelumpuhan. Rasa nyeri pada tubuh juga secara
psikologis dapat menyebabkan menurunnya tingkat kewaspadaan dan
kelelahan akibat terhambatnya fungsi-fungsi kesadaran otak dan perubahan-
perubahan pada organ-organ di luar kesadaran sehingga berpotensi
menimbulkan kecelakaan dan penyakit akibat kerja.

Sedangkan pada aspek ekonomi perusahaan, dampak yang diakibatkan oleh


MSDs yaitu (Pheasant, 1991) :

1. Pada aspek produksi yaitu berkurangnya output, kerusakan material,


produk yang hasil akhirnya menyebabkan tidak terpenuhinya deadline
produksi, pelayanan yang tidak memuaskan, dll.

2. Biaya yang timbul akibat absensi pekerja yang akan menyebabkan


penurunan keuntungan, biaya untuk pelatihan karyawan baru yang
menggantikan karyawan yang sakit, biaya untuk menyewa jasa konsultan
atau agensi.

3. Biaya pergantian karyawan (turn over) untuk recruitment dan pelatihan.

4. Biaya lainnya (opportunity cost).

3.1.6 PENCEGAHAN KELUHAN

Berdasarkan rekomendasi dari Occupational Safety and Health Administration


(OSHA) dalam Tarwaka, et al (2004), tindakan ergonomik untuk mencegah
adanya sumber penyakit adalah melalui dua cara yaitu rekayasa teknik (desain
stasiun dan alat kerja) dan rekayasa manajemen (kriteria dan organisasi kerja).

2.1.6.1 Rekayasa Teknik

Rekayasa teknik pada umumnya dilakukan melalui pemilihan beberapa alternatif


sebagai berikut:

1. Eliminasi, yaitu dengan menghilangkan sumber bahaya yang ada. Hal ini
jarang dilakukan mengingat kondisi dan tuntutan pekerjaan yang
mengharuskan untuk menggunakan peralatan yang ada.

23
2. Substitusi, yaitu mengganti alat/bahan lama dengan alat/bahan baru yang
aman, menyempurnakan proses produksi dan menyempurnakan prosedur
penggunaan peralatan.

3. Partisi, yaitu melakukan pemisahan antara sumber bahaya dengan pekerja.

4. Ventilasi, yaitu menambah ventilasi untuk mengurangi risiko sakit.

2.1.6.2 Rekayasa Manajemen

Rekayasa manajemen dapat dilakukan melalui tindakan berikut:

1. Pendidikan dan pelatihan agar pekerja lebih memahami lingkungan dan alat
kerja sehingga diharapkan dapat melakukan penyesuaian dan inovatif dalam
melakukan upaya-upaya pencegahan terhadap risiko sakit akibat kerja.

2. Pengaturah waktu kerja dan istirahat yang seimbang, dalam arti disesuaikan
dengan kondisi lingkungan kerja dan karakteristik pekerjaan, sehingga dapat
mencegah paparan yang berlebihan terhadap sumber bahaya.

3. Pengawasan yang intensif, agar dapat dilakukan pencegahan secara lebih dini
terhadap kemungkinan terjadinya risiko sakit akibat kerja.

Selain pencegahan-pencegahan di atas, tempat kerja yang ergonomi perlu juga


diperhatikan. Ergonomi adalah ilmu yang penerapannya berusaha untuk
menyerasikan pekerjaan dan lingkungan terhadap orang atau sebaliknya dengan
tujuan tercapainya produktivitas dan efisiensi yang setinggi-tingginya melalui
pemanfaatan faktor manusia seoptimal-optimalnya. Ergonomi yang bersasaran
akhir efisiensi dan keserasian kerja memiliki arti penting bagi tenaga kerja,
baik secara subyek maupun obyek. Sasaran ergonomi adalah seluruh tenaga
kerja, baik pada sektor modern maupun pada sektor tradisional dan informal.
Pada sektor tradisional, pekerjaan pada umumnya dilakukan dengan tangan dan
memakai peralatan serta dalam sikap-sikap badan dan cara-cara kerja yang
secara ergonomis dapat diperbaiki (Suma’mur, 1989).

24
3.1.7 PENGUKURAN

1. (NORDIC BODY MAP)

Pengukuran muskuloskeletal disorders (Rizka, 2012): melalui NBM dapat diketahui


bagian-bagian otot yang mengalami keluhan mulai dari rasa tidak nyaman (agak
sakit) sampai sangat sakit.

Gambar 1. Kuisioner Nordic Body Map (Sumber: google.com, 2013)

Nordic Body Map merupakan salah satu metode pengukuran subyektif untuk
mengukur rasa sakit otot para pekerja. Kuesioner Nordic Body Map merupakan
salah satu bentuk kuisioner checklist ergonomi.

Kuisioner Nordic Body Map adalah kuesioner yang paling sering digunakan
untuk mengetahui ketidaknyamanan pada para pekerja karena sudah
terstandarisasi dan tersusun rapi. Pengisian kuisioner Nordic Body Map ini
bertujuan untuk mengetahui bagian tubuh dari pekerja yang terasa sakit sebelum
dan sesudah melakukan pekerjaan pada stasiun kerja. Survei ini menggunakan
banyak pilihan jawaban yang terdiri dari dua bagian yaitu bagian umum dan
terperinci. Bagian umum menggunakan bagian tubuh yaitu yang dilihat dari
bagian depan dan belakang. Responden yang mengisi kuisioner diminta untuk
memberikan tanda ada tidaknya gangguan pada bagian area tubuh tersebut.

25
Nordic Body Map memiliki 28 pertanyaan tentang tingkat keluhan
muskuloskeletal dari leher hingga ujung kaki. Masing-masing sisi tubuh kiri dan
kanan memiliki pertanyaan yang berbeda, sehingga seluruh tubuh yang nyeri
akan dinilai dengan cermat. Pada NBM terdapat empat rentang skor yaitu skor
satu untuk tidak sakit, skor dua untuk agak sakit, skor tiga untuk sakit dan skor
empat untuk sangat sakit. Setelah kuesioner diisi, skor dari masing-masing
pertanyaan akan diakumulasi untuk mengetahui tingkatan keluhan
musculoskeletal yang diderita (Dryastiti, 2013).

Untuk penilaian Kriteria Objektif MSDs:

a. Tidak ada keluhan : Bila total skor 28 berdasarkan Nordic Body Map.

b. Keluhan Ringan : Bila total skor 29-56 berdasarkan Nordic Body Map.

c. Keluhan Sedang : Bila total skor 57-84berdasarkan Nordic Body Map.

d. Keluhan Berat : Bila total skor 85-112 berdasarkan Nordic Body Map.

2. Rapid Entire Body Assessment (REBA)

Rapid Entire Body Assessment adalah sebuah metode yang dikembangkan dalam
bidang ergonomi dan dapat digunakan secara cepat untuk menilai posisi kerja atau
postur leher, punggung, lengan pergelangan tangan dan kaki seorang operator. Selain
itu metode ini juga dipengaruhi faktor coupling, beban eksternal yang ditopang oleh
tubuh serta aktifitas pekerja.
Salah satu hal yang membedakan metode REBA dengan metode analisa
lainnya adalah dalam metode ini yang menjadi fokus analisis adalah seluruh bagian
tubuh pekerja. Melalui fokus terhadap keseluruhan postur tubuh ini, diharapkan bisa
mengurangi potensi terjadinya musculoskeletal disorders pada tubuh perkerja.
Dalam metode REBA ini, analisis terhadap keseluruhan postur tubuh pekerja
dikelompokkan menjadi dua bagian. Bagian pertama atau Group A terdiri dari bagian
neck, trunk, dan legs. Sedangkan bagian kedua atau Group B terdiri dari upper arms,
lower arms, dan wrist.
Penilaian postur dan pergerakan kerja menggunakan metode REBA melalui
tahapan–tahapan sebagai berikut:
a. Pengambilan data postur pekerja dengan menggunakan bantuan video atau
foto. Untuk mendapatkan gambaran sikap (postur) pekerja dari leher,
punggung, lengan, pergelangan tangan hingga kaki secara terperinci dilakukan
dengan merekam atau memotret postur tubuh pekerja. Hal ini dilakukan
supaya peneliti mendapatkan data postur tubuh secara detail (valid), sehingga
dari hasil rekaman dan hasil foto bisa didapatkan data akurat untuk tahap
perhitungan serta analisis selanjutnya.
b. Setelah didapatkan hasil rekaman dan foto postur tubuh dari pekerja dilakukan
perhitungan nilai. Perhitungan nilai melalui metode REBA ini dimulai dengan
menganalisis posisi neck, trunk, dan leg dengan memberikan score pada
masing-masing komponen. Ketiga komponen tersebut kemudian

26
dikombinasikan ke dalam sebuah tabel untuk mendapatkan nilai akhir pada
bagian pertama atau score A dan ditambah dengan score untuk force atau load.
Selanjutnya dilakukan scoring pada bagian upper arm, lower arm, dan wrist
kemudian ketiga komponen tersebut dikombinasikan untuk mendapatkan nilai
akhir pada bagian kedua atau score B dan ditambah dengan coupling score.
Setelah diperoleh grand score A dan grand score B, kedua nilai tersebut
dikombinasikan ke dalam tabel C, melalui tabel kombinasi akhir ini kemudian
ditambahkan dengan activity score akan didapat nilai akhir yang akan
menggambarkan hasil analisis postur kerja.
c. Dari final REBA score dapat diperoleh skala dari level tiap aksi yang akan
memberikan pannduan untuk resiko dari tiap level dan aksi yang dibutuhkan.
Perhitungan analisis postur ini dilakukan untuk kedua sisi tubuh, kiri dan
kanan.

3. Angkat angkut secara manual (MMH)

Manual Material Handling (MMH) didefinisikan sebagai pekerjaan yang mempunyai


keterikatan dengan mengangkut, mendorong, menarik, menahan atau memindahkan
beban dengan cara dua tangan atau dengan cara pergerakkan seluruh tubuh. Pekerjaan
Manual Material Handling dapat menyebabkan setres pada kondisi fisik pekerja
tersebut sehingga akan mengakibatkan terjadinya cedera, energi terbuang dan waktu
kerja tidak efisien.

Kegiatan mengangkat dan mengangkut banyak terdapat dilingkungan pertanian,


perkebunan, pasar dan sektor perekonomian lainnya. Di kehidupan sehari-hari kita
juga dapat menemui adanya pekerjaan yang memindahkan secara manual seperti
memindahkan pasien di Rumah Sakit, memindahkan kotak atau peti, dan lain
sebagainya. Pemindahan material secara manual apabila tidak dilakukan secara
ergonomi maka menimbulkan terjadinya kecelakaan saat bekerja. Kecelakaan saat
bekerja dapat merusak jaringan tubuh yang diakibatkan oleh beban angkut yang
berlebihan atau biasa disebut over exertion lifting and carrying.

Beberapa parameter yang perlu diperhatikan untuk pemindahan material secara


manual yaitu sebagai berikut :

a. Beban yang harus diangkat.

b. Perbandingan antara berat beban dan orangnya.

c. Jarak horizontal dari beban terhadap orangnya.

d. Ukuran beban yang akan diangkat.

Batasan beban

27
Batasan beban yang boleh diangkat yaitu : Untuk menciptakan suasana kerja yang
aman dan sehat sehingga dapat mencegah terjadinya kecelakaan yang diakibatkan
oleh pekerjaan. Maka perlu adanya batasan angkut untuk para pekerja yaitu

1. Batasan angkut secara legal

Batasan angkut secara legal adalah batasan berat beban yang sudah ditetapkan
oleh suatu lembaga atau negara.Hal ini bertujuan untuk menciptakan suasana kerja
yang aman dan sehat. Batasan angkut yang digunakan secara internasional yaitu :

a. Pria di bawah usia 16 tahun mengangkat beban maksimum 14 kg.

b. Pria usia di atas 16-18 tahun mengangkat beban maksimum 18 kg.

c. Pria diatas usia 18 tahun tidak ada batasan maksimum untuk mengangkat.

d. Wanita usia 16-18 tahun mengangkat beban maksimum 11 Kg.

e. Wanita usia lebih dari 18 tahun mengangkat beban maksimum 16 Kg.

2. Batasan angkut secara biomekanika.

Batasan angkut secara biomekanika adalah analisa biomekanika tentang posisi


aktivitas kerja, ukuran badan, dan ukuran manusia.

3. Batasan angkut secara fisiologis.

Batasan angkut secara fisiologis ditetapkan dengan cara mempertimbangkan rata-


rata beban metabolisme dari adanya aktivitas angkat berulang atau ditentukan dari
jumlah oksigen konsumsi oksigen. Kelelahan kerja terjadi yang disebabkan oleh
adanya aktivitas berulangulang sehingga akan meningkatkan risiko rasa nyeri
pada tulang belakang.

4. Batasan angkut secara psiko-fisik.

Batasan angkut secara psiko-fisik menggunakan metode berdasarkan jumlah


eksperimen yang bertujuan mendapatkan berat pada berbagai keadaan dan
ketinggian beban yang berbeda-beda.

28
BAB 3
PEMBAHASAN

Kami mengambil contoh dari penelitian Aah Nurliah yang berjudul analisis risiko
musculoskletal disorders pada operator forklift di PT. LLI tahun 2012. PT. LLI sendiri
merupakan perusahaan logistic yang menangani pergudangan semua hasil produksi PT.
Unilever, khusus barang jadi (finished gods) dan pendistribusiannya baik domestic masupun
eksport

Dari grafik diatas dapat dilihat untuk lima kelompok besar keluhan MSDs satu tahun terakhir
adalah meliputi leher atas (57%), pinggang (55%), leher bawah (50%), punggung (38%), dan
bahu kanan (33%).

Operator forklift counter


balance

29
Operator forklift reach
truck

Operator forklift pallet


mover

30
Tabel diatas menunjukkan aktivitas kerja yang menurut responden menyebabkan adanya
keluhan MSDs

Dari grafik diatas diketahui bahwa dari seluruh operator yang emnjadi responden, sebanyak
87% mengalami MSDs, dari seluruh operator yang mengalami MSDs, 50% adalah operator
forklift reach truck, dan untuk operator forklift pallet mover dan counter balance masing-
masing 25%

31
Tabel tersebut diambil dari penelitian Vimalavarati Sekaaram tahun 2017. Prevalensi MSDs
dalam penelitian yang dilakukan pada pengemudi angkutan umum di Terminal Mengwi,
Kabupaten Badung ini adalah sebesar 76,7%. Beberapa bagian tubuh yang tidak dikeluhkan
mengalami MSDs yaitu pada lengan atas kiri, lengan bawah kiri, paha kiri, dan pergelangan
kaki kiri.

32
Grafik diatas merupakan penelitian Luciana Triani Dewi tahun 2016 yang berjudul
“Karakterisasi Keluhan Muskuloskeletal Akibat Postur Kerja Buruk Pada Pekerja Industri
Kecil Makanan”. Keluhan muskuloskeletal dalam 12 bulan terakhir dan dalam 7 hari terakhir
paling tinggi terjadi pada segmen pinggang, yaitu (77%) dalam 12 bulan terakhir dan (48%)
dalam 7 hari terakhir. Prevalensi ini menunjukkan bahwa pinggang merupakan bagian tubuh
yang selayaknya menjadi fokus perhatian bagi pekerja industri makanan di Yogyakarta.

33
Bab IV

Penutup

1. Kesimpulan

Musculoskeletal Disorders (MSDs) atau gangguan musculoskeletal adalah


keluhan pada bagian otot rangka yang dirasakan oleh seseorang mulai dari keluhan
yang sangat ringan hingga sangat sakit, apabila otot menerima beban statis secara
berulang dalam waktu yang lama.
Faktor yang mempengaruhi timbulnya Musculoskeletal Disorders (MSDs)
atau gangguan musculoskeletal meliputi faktor pekerjaan, postur tubuh, usia, jenis
kelamin, kebiasaan merokok, kekuatan fisik, masa kerja, indeks masa tubuh (IMT),
sikap kerja dan lama kerja.
Musculoskeletal Disorders (MSDs) atau gangguan musculoskeletal dapat
dicegah melalui dua cara yaitu rekayasa teknik (desain stasiun dan alat kerja) dan rekayasa
manajemen (kriteria dan organisasi kerja).

2. Saran

1) Pekerja sebaiknya memperhatikan postur tubuhnya selama bekerja sebagai


langkah awal mencegah adanya keluhan Musculoskeletal Disoders. Adapun
untuk pekerja yang mengalami keluhan sebaiknya tetap menjaga sikap
kerjanya agar tidak menambah risiko keluhan yang dialami.
2) Memberikan pelatihan khusus yang berkaitan dengan prosedur postur tubuh
saat bekerja.
3) Untuk mengurangi terjadinya keluhan MSDs sebaiknya pekerja melakukan
istirahat pendek selama 5-10 menit di sela-sela waktu kerja untuk relaksasi
agar otot mendapatkan suplai oksigen cukup, memperbaiki sikap kerja yaitu
tidak mempertahankan sikap kerja membungkuk dalam waktu yang lama dan
sikap kerja duduk di selingi dengan sikap berdiri untuk melemaskan otot dan
menghindari stres otot sehingga tidak menyebabkan keluhan muskuloskeletal.

34
Daftar Pustaka

1. WHO. (2017). “Musculoskeletal Condition”.


http://www.who.int/mediacentre/factsheets/musculoskeletal/en/. Diakses 07
April 2018.
2. Normarinda. (2013). “Pencegahan dan Pengendalian Gangguan
Muskuloskeletal”. http://normarinda.blogspot.co.id/2013/12/pencegahan-dan-
pengendalian-gangguan.html. Diakses 07 April 2018.
3. Endang Bukhori. (2010). “Hubungan Faktor Risiko Pekerjaan Dengan Terjadinya
Keluhan Musculoskeletal Disorders (Msds) Pada Tukang Angkut Beban
Penambang Emas Di Kecamatan Cilograng Kabupaten Lebak”. Skripsi Program
Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan,
Universitas Islam Negeri Syarief Hidayatullah Jakarta.
4. Mumtaza. Amalia. (2014). “Gangguan Muskuloskeletal”.
http://mumtazamalia.blogspot.co.id/2014/04/gangguan-muskuloskeletal.html.
Diakses pada 22/04/2018

5. http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/158/jtptunimus-gdl-ivakhusnul-7877-3-
babii.pdf
6. http://repositori.uin-alauddin.ac.id/4119/1/abdul%20rahman.pdf
7. https://isainsmedis.id/index.php/ism/article/viewFile/125/140
8. http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20307476-T31178-Analisis%20resiko.pdf
9. http://journals.ums.ac.id/index.php/jiti/article/view/2498

35

Anda mungkin juga menyukai