Muscoloskeletas
disoders (MSDs)
Nama Anggota :
Arlina Krisna Dewi
Dini Andriani
Fianisa Jauhari
Puput Novitasari
2018
S1 Kesehatan Masyarakat
Kata pengantar
Puji syukur kita panjatkan atas kehadirat Tuhan yang Maha Esa berkat Rahmat dan
Hidayahnya kami dapat menyelesaikan tugas Ergonomi K3 ini.
Kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam menyelesaikan tugas ini kami
mengucapkan banyak terimakasih, terutama kepada kedua orang tua kami yang telah
mendukung kami dalam menyelesaikan tugas ini dan kepada rekan-rekan kelompok kami
dalam menyusun tugas ini.
Semoga tugas Ergonomi K3 ini dapat bermanfaat dan sebagai inspirasi untuk semua
pihak.
Kami menyadari bahwa proposal ini jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kami
berharap kritik dan saran yang bersifat membangun agar usaha kami menjadi lebih baik. Atas
dukungan dari bapak, ibu, saudara, dan teman-teman. kami mengucapkan terimakasih.
Penyusun
Daftar isi
KATA PENGANTAR......................................................................................... i
i
DAFTAR ISI ....................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………………... 1
1 Latar belakang .................................................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………………… 2
2 Ergonomi ............................................................................................................ 2
2.1.1 Pengertian Ergonomi .................................................................................... 2
2.1.2 Prinsip Ergonomi .......................................................................................... 3
3. Muskuloskletal Disoders ……………………………………………………....4
3.1.1 Pengertian MSDs ......................................................................................... 4
3.1.2 Gejala ........................................................................................................... 5
3.1.3 Jenis Keluhan ............................................................................................... 6
3.1.4 Faktor Risiko ................................................................................................ 7
3.1.5 Dampak ....................................................................................................... 22
3.1.6 Pencegahan Keluhan …………………………………………………….. 23
3.1.7 Pengukuran ………………………………………………………………. 25
BAB III PEMBAHASAN ……………………………………………………. 29
BAB IV PENUTUP ………………………………………………………….. 34
1. Kesimpulan ..................................................................................................... 34
2. Saran ............................................................................................................... 34
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2. Ergonomi
2.1.1 PENGERTIAN
2
5) Sedangkan ILO (International Labor Organization) mendefenisikan ergonomi
sebagai penerapan ilmu biologi manusia sejalan dengan ilmu rekayasa untuk
mencapai penyesuaiyan yang saling menguntungkan anatara pekerja dengan
pekerjaannya secara optimal dengan tujuan agar bermanfaat demi efisiensi dan
kesejahteraan.
6) Menurut organisasi International Ergonomi Association (IEA), ergonomi atau
human factor adalah sebuah disiplin keilmuan yang memiliki focus di dalam
memahami interaksi antara manusia dan elemen lainnya di dalam sebuah
sistem dan ergonomi adalah pekerjaan yang mengaplikasikan teori, prinsip,
data dan metode di dalam mendesain dengan tujuan mengoptimalisasikan
keberadaan manusia dan keseluruhan performa dalam suatu sistem.
Jadi, ergonomi dapat disimpulkan sebagai suatu ilmu dan seni yang
mempelajari lingkungan kerja, peralatan, manusia serta hubungan kesesuain
antara manusia, mesin dan lingkungan kerja. Agar tercapainya keefisiensian
dan keselamatan dalam menjalankan aktifitas pekerjaannya maka ergonomi
merupakan aplikasi ilmu yang bertujuan untuk menciptakan lingkungan kerja
yang nyaman dan sesuai dengan pekerja sehingga dicapai produktifikasi kerja
yang tinggi.
3
Hal ini berarti bahwa dalam mendesain sesuatu benda yang diperuntukkan
untuk manusia maka sebaiknya harus didasari pada pertimbangan karakter
fisik dan mental dari manusia itu sendiri.
Pengembangan konsep ini dapat membuat lingkungan kerja menjadi
lebih sehat dan aman, sehingga diperoleh beberapa keuntungan, antara lain:
1) Peningkatan produktivitas
3.1.1 PENGERTIAN
MSDs bukanlah merupakan diagnosis klinis tapi merupakan label untuk persepsi
rasa sakit atau nyeri pada sistem muskuloskeletal. Keluhan muskuloskeletal
4
adalah keluhan pada bagian-bagian otot skeletal yang dirasakan oleh seseorang
mulai dari keluhan yang ringan sampai yang sangat fatal. Apabila otot menerima
beban statis secara berulang dan dalam waktu yang lama, akan dapat
menyebabkan keluhan berupa kerusakan pada sendi, ligamen, dan tendon.
Keluhan hingga kerusakan inilah yang biasanya diistilahkan dengan keluhan
musculoskeletal disorders (MSDs) atau cidera pada sistem muskuloskeletal
(Grandjean, 1993; Lemastars, 1996 dalam Tarwaka, et al. 2004).
Secara garis besar keluhan otot dapat dikelompokan menjadi dua (Tarwaka, et al.
2004) yaitu:
1. Keluhan sementara (reversible), yaitu keluhan otot yang terjadi pada saat otot
menerima beban statis, namun demikian keluhan tersebut akan segera hilang
apabila pembebanan dihentikan, dan
3.1.2 GEJALA
Tahap 1 : Sakit atau pegal-pegal dan kelelahan selama jam kerja tapi gejala ini
biasanya menghilang setelah waktu kerja (dalam satu malam). Tidak berpengaruh
pada kinerja. Efek ini dapat pulih setelah istirahat;
Tahap 2 : Gejala ini tetap ada setelah melewati waktu satu malam setelah bekerja.
Tidak mungkin terganggu. Kadang-kadang menyebabkan berkurangnya
performa kerja;
Tahap 3 : Gejala ini tetap ada walaupun setelah istirahat, nyeri terjadi ketika
bergerak secara repetitif. Tidur terganggu dan sulit untuk melakukan pekerjaan,
kadang-kadang tidak sesuai kapasitas kerja.
5
3.1.3 JENIS KELUHAN
1. Sakit Leher : Sakit leher adalah penggambaran umum terhadap gejala yang
mengenai leher, peningkatan tegangan otot atau myalgia, leher miring atau
kaku leher. Pengguna komputer yang terkena sakit ini adalah pengguna yang
menggunakan gerakan berulang pada kepala seperti menggambar dan
mengarsip, serta pengguna dengan postur yang kaku;
Secara pasti hubungan sebab dan akibat faktor penyebab timbulnya MSDs
sulit untuk dijelaskan, karena banyak faktor yang mempengaruhinya dan
dalam banyak kesempatan MSDs terjadi akibat dari kombinasi dari berbagai
faktor tersebut. Adapun faktor risiko yang biasanya muncul memberikan
kontribusi terhadap timbulnya MSDs (Kuntodi, 2008) dapat dikategorikan
dalam tiga kategori yaitu faktor pekerjaan, faktor individu dan faktor
lingkungan. Faktor pekerjaan meliputi; postur kerja (postur janggal dan postur
statis), penggunaan tenaga, pergerakan repetitif dan karakteristik objek. Fakor
karakteristik individu terdiri dari; umur, jenis kelamin, kebiasaan merokok,
kekuatan fisik, Indeks Masa Tubuh (IMT), masa kerja, lama masa kerja,dan
sikap kerja. Sedangkan faktor lingkungan terdiri dari; vibrasi/getaran dan
mikroklimat (Bridger, 1995; Bernard & Cohen et al, 1997; OSHA & Peter Vi,
2000; Kumar 2001).
7
2.1.4.1.1.1 Postur Janggal
Postur janggal adalah deviasi dari gerakan tubuh atau anggota gerak yang
dilakukan oleh pekerja saat melakukan aktifitas kerja secara berulang-
ulang dan dalam waktu yang relatif lama. Gerakan postur janggal
merupakan salah satu faktor risiko terjadinya gangguan, penyakit, atau
cedera pada sistem otot rangka. Gangguan, penyakit, atau cidera pada
sistem musculoskeletal hampir tidak pernah terjadi secara langsung, akan
tetapi lebih merupakan suatu akumulasi dari benturan kecil maupun
besar secara terus-menerus dan dalam jangka waktu yang relatif lama
(Cohen, et al, 1997).
Dalam ukuran jarak atau dimensi pada dasarnya setiap orang memiliki
keinginan untuk melakukan kegiatannya dalam postur yang optimal.
Postur tubuh yang tidak stabil (tidak alamiah) menunjukan bukti yang
kuat sebagai faktor yang berkontribusi terhadap MSDs dan menimbulkan
terjadinya gangguan leher, punggung dan bahu (Bernard, 1997).
3. Rotasi leher, setiap postur leher yang memutar, baik ke kanan dan atau
ke kiri, tanpa melihat berapa derajat besarnya rotasi yang dilakukan.
2. Rotasi badan, berputar (twisting) adalah adanya rotasi dan torsi pada
tulang punggung (gerakan, postur, posisi badan yang berputar baik ke
arah kanan, kiri) dimana garis vertikal menjadi sumbu tanpa
memperhitungkan berapa derajat besarnya rotasi yang dilakukan.
8
3. Miring, memiringkan badan (bending) dapat didefinisikan sebagai
fleksi dari tulang punggung, deviasi bidang median badan dari garis
vertikal, tanpa memperhitungkan besarnya sudut yang dibentuk,
biasanya dalam arah ke depan atau ke samping.
Untuk postur janggal pada kaki adalah bertumpu di atas satu kaki atau
tidak seimbang. Sedangkan postur janggal pada bahu :
1. Aduksi adalah posisi bahu menjahui garis tengah atau vertikal tubuh.
4. Ekstensi adalah posisi bahu menjauhi arah vertikal tubuh, atau lengan
berada di belakang badan.
1. Deviasi radial adalah postur tangan yang miring ke arah ibu jari.
9
4. Fleksi pergelangan tangan adalah posisi tangan yang menekuk kearah
telapak, diukur dari sudut yang dibentuk oleh lengan bawah dan
sumbu tangan sebesar >45o.
Postur statis yaitu pada saat persendian tidak bergerak. Hal tersebut tidak
hanya membatasi pemasukan nutrisi dan oksigen, tetapi juga membatasi
pembuangan metabolisme. Oleh sebab itu, postur statis sangat dianjurkan
untuk dihindari (Nurmianto, 1998).
Postur statis merupakan postur saat kerja fisik dalam posisi yang sama dimana
pergerakan yang terjadi sangat minimal. Kondisi ini memberikan peningkatan
beban pada otot dan tendon yang menyebabkan kelelahan. Aliran darah yang
membawa nutrisi dan oksigen, serta pengangkutan sisa metabolisme pada otot
terhalang. Gerakan yang dipertahankan > 10 detik dinyatakan sebagai postur
statis (Cohen at al, 1997).
Posisi tubuh dapat menyebabkan rasa tidak nyaman dan kelelahan jika
dipertahankan untuk jangka waktu yang lama. Berdiri misalnya, adalah postur
tubuh alami, dan dengan sendirinya tidak menimbulkan bahaya kesehatan
tertentu. Idealnya berdiri dalam sehari adalah sekitar 2 jam. Jika sudah
melebihi waktu tersebut maka di haruskan untuk melakukan peregangan atau
duduk sejenak. Namun, bekerja untuk waktu lama dalam posisi berdiri dapat
menyebabkan sakit kaki, kelelahan otot umum, dan sakit punggung (OSHA,
2002).
10
2.1.4.1.2 Penggunaan Tenaga
Dalam banyak peristiwa, tenaga akan menjadi paling besar jika sebanyak-
banyaknya otot berkontraksi. Sikap tubuh yang bertalian dengan pengerahan
tenaga yang paling besar dengan pengerahan tenaga yang paling besar bagi
gerakan-gerakan tertentu adalah sebagai berikut (Suma’mur, 1989):
1. Rotasi (perputaran) tangan ke arah dalam paling kuat jika dimulai dengan
telapak tangan berada pada keadaan rotasi ke luar secara penuh (supsinasi
penuh)
2. Rotasi tangan ke arah luar paling kuat jika dimulai dengan telapak tangan
berada pada keadaan rotasi ke dalam secara penuh (rotasi penuh)
3. Ekstensi siku (perentangan lengan terhadap siku) paling kuat jika dimulai
pada posisi fleksi penuh
4. Fleksi siku (dengan tangan terbuka) terkuat pada sudut 90° (efek
pengungkit)
11
6. Sambil duduk, kekuatan mendorong lebih besar dari pada menarik, apabila
sandaran pinggang dan injakan kaki disediakan dengan memadai.
Kekuatan menarik terbesar didapat dengan lengan pada keadaan ekstensi
dan pegangan tangan diantara 18-23 cm di atas dataran duduk
9. Sambil duduk, kekuatan terhadap pedal terbesar didapat pada fleksi lutut
160° dan fleksi sendi kaki 120°. Sikap istirahat terbesar diperoleh dengan
fleksi lutut 105-135°.
10. Penggunaan tenaga akan semakin besar, jika gerakan tubuh yang
membutuhkan pengerahan tenaga ditambah dengan berat beban objek yang
harus diangkat. Menurut ILO, beban maksimum yang diperbolehkan untuk
diangkat oleh seseorang adalah 23-25 Kg. Mengangkat beban yang terlalu
berat akan mengakibatkan tekanan diskus pada tulang belakang. Selain itu,
berat beban juga dapat menyebabkan kelelahan karena dipicu peningkatan
tekanan pada diskus intervertebralis (Bridger, 1995).
Risiko yang berkaitan dengan berat beban perlu memperhatikan durasi dan
frekuensi beban yang akan ditangani. Tangan, siku, bahu dan kaki hanya
diperbolehkan mengangkat beban kurang dari 4,5 kg. Sedangkan beban yang
dijepit pada tangan tidak boleh melebihi 0,9 kg dengan durasi tidak lebih dari
10 detik. Durasi pada kaki tidak boleh dilakukan lebih dari 30% per hari
(Humantech, 1995).
12
2.1.4.1.3 Pergerakan repetitive
Menurut Sue Hignett dan Mc. Atamney (2000) penggunaan otot berisiko
apabila diindikasikan melakukan gerakan statis lebih dari 1 menit atau
gerakan yang dilakukan berulang-ulang sebanyak 4x atau lebih dalam satu
menit. Oleh karena itu, perlu diatur waktu-waktu istirahat khusus agar
kemampuan kerja dan kesegaran jasmani tetap dapat dipertahankan dalam
batas-batas toleransi untuk mencegah terjadinya kelelahan, penurunan
kemampuan fisik dan memberi kesempatan tubuh untuk melakukan
pemulihan atau penyegaran (Tarwaka et al, 2004).
13
2.1.4.1.4 Karakteristik Objek
Karakteristik objek yang menjadi faktor risiko cidera otot skeletal antara
lain:
Sedangkan bentuk objek yang baik harus memiliki pegangan, tidak ada
sudut tajam dan tidak dingin atau panas saat diangkat. Mengangkat objek
tidak boleh hanya dengan mengandalkan kekuatan jari, karena
kemampuan otot jari terbatas sehingga dapat cidera pada jari (Kumar,
2001).
2. Genggaman tangan
2) Pinch grip : dimana objek ditahan dengan ujung ibu jari dan satu atau
lebih jari lain, seperti saat menggunakan ujung jari, mencubit,
menggenggam kunci, pena dan lain-lain.
14
2.1.4.2 Faktor Individu
2.1.4.2.1 Umur
Guo et al, 1995; Chaffin, 1979 menyatakan bahwa pada umumnya keluhan
otot skeletal mulai dirasakan pada usia kerja yaitu 25-65 tahun. Pada umur 35
tahun sebagian besar pekerja mengalami peristiwa pertama dalam sakit
punggung, dan tingkat kelelahan akan terus bertambah sesuai dengan
bertambahnya umur. Hal ini terjadi karena pada umur setengah baya, kekuatan
dan ketahanan otot mulai menurun sehingga risiko terjadinya keluhan otot
meningkat.
Penelitian yang dilakukan oleh Hendra (2001) pada pekerja panen kelapa
sawit di PT X Sumatra Selatan menunjukan adanya hubungan antara umur
pekerja dengan keluhan MSDs. Demikian halnya penelitian yang dilakukan
Soleha (2009) pada operator plant PT. X menunjukkan adanya hubungan
antara umur dengan terjadinya keluhan MSDs.
15
2.1.4.2.2 Jenis Kelamin
Walaupun masih ada perbedaan pendapat dari beberapa ahli tentang pengaruh
jenis kelamin terhadap risiko keluhan otot skeletal, namun beberapa hasil
penelitian secara signifikan menunjukan bahwa jenis kelamin sangat
mempengaruhi tingkat risiko keluhan otot. Hal ini terjadi karena secara
fisiologis, kemampuan otot wanita memang lebih rendah dari pada pria.
Astrand dan Rodahl (1977) menjelaskan bahwa kekuatan otot wanita hanya
sekitar dua per tiga dari kekuatan otot pria, sehingga daya tahan otot pria pun
lebih tinggi dibandingkan dengan wanita.
16
2.1.4.2.3 Kebiasaan Merokok
Semakin lama dan semakin tinggi frekuensi merokok, semakin tinggi pula
tingkat keluhan yang dirasakan (Tarwaka, et al, 2004). Pengaruh kebiasaan
merokok ini masih diperdebatkan, namun beberapa penelitian menunjukan
bahwa perokok lebih memiliki kemungkinan menderita masalah punggung
daripada bukan perokok. Efeknya adalah hubungan dosis dan lebih kuat
dari pada yang diharapkan dari efek batuk. Risiko meningkat sekitar 20%
untuk setiap 10 batang rokok perhari (Pheasant, 1991).
Penelitian yang dilakukan Ariani (2009) pada tukang angkut barang di Stasiun
Jatinegara Jakarta dan penelitian yang dilakukan Soleha (2009) pada operator
Cant Plan PT X menunjukkan adanya hubungan antara kebiasaan merokok
dengan keluhan MSD
17
2.1.4.2.4 Kekuatan Fisik
18
2.1.4.2.5 Masa Kerja
Masa kerja adalah panjangnya waktu terhitung mulai pertama kali pekerja
masuk kerja hingga saat penelitian berlangsung. Masa kerja memiliki
hubungan yang kuat dengan keluhan otot dan meningkatkan risiko
Musculoskeletal Disorders (MSDs), terutama untuk pekerjaan yang
menggunakan kekuatan kerja yang tinggi.
19
2.1.4.2.6 Indeks Masa Tubuh (IMT)
Walaupun pengaruhnya relatif kecil, berat badan dan massa tubuh merupakan
faktor yang dapat menyebabkan terjadinya keluhan otot skeletal. Vessy, et al
(1990) menyatakan bahwa wanita yang gemuk mempunyai resiko 2x lipat
dibandingkan wanita kurus. Hal ini diperkuat oleh Wrner, et al (1994) yang
menyatakan bahwa bagi pasien yang gemuk (obesitas dengan masa tubuh
lebih dari 29) mempunyai resiko 2,5 lebih tinggi dibandingkan dengan yang
kurus (massa tubuh kurang dari 20) khususnya untuk otot kaki. Temuan lain
menyatakan bahwa pada tubuh yang tinggi umumnya sering menderita
keluhansakit punggung, tetapi tubuh tinggi tidak mempunyai pengaruh
terhadap keluhan pada leher , bahu pergelangan tangan.
Apabila dicermati, keluhan otot sekletal yang terkait dengan ukuran tubuh
lebih disebabkan oleh kondisi keseimbangan struktur rangka di dalam
menerima beban, baik beban berat tubuh maupun beban tambahan lainnya.
Sebagai contoh, tubuh yang tinggi pada umumnya mempunyai bentuk tulang
yang langsing sehingga secara biomekanik rentan terhadap beban tekanan dan
rentan terhadap tekukan, oleh karena itu mempunyai risiko yang lebih tinggi
terhadap terjadinya keluhan otot skeletal (Tarwaka, et al, 2004).
Sikap kerja tidak alamiah adalah sikap kerja yang menyebabkan posisi
bagian-bagian tubuh bergerak menjauhi posisi alamiah, misalnya
pergerakan tangan terangkat, punggung terlalu membungkuk dan
sebagainya. Perawat adalah tenaga medis yang 24 jam berada di dekat
pasien, kebutuhan dasar pasien harus diperhatikan oleh seorang perawat.
Tingginya aktivitas yang dilakukan perawat, sehingga perawat tidak
memperhatikan posisi tubuh yang baik saat melakukan tindakan.
Umumnya dalam sehari seseorang bekerja selama 6-8 jam dan sisanya 14-18
jam digunakan untuk beristirahat atau berkumpul dengan keluarga dan
berkumpul dengan masyarakat. Adanya penambahan jam kerja yang dapat
menurunkan efisiensi pekerja, menurunkan produktivitas, timbulnya kelelahan
20
dan dapat mengakibatkan penyakit dan kecelakaan. Seseorang biasanya
bekerja selama 40-50 jam dalam seminggu.
Menurut Disnaker Lama kerja juga diatur dalam undang-undang no.13 tahun
2003 yang menyatakan bahwa jam kerja yang berlaku 7 jam dalam 1 hari dan
40 jam dalam 1 minggu untuk 6 hari kerja dalam 1 minggu, 8 jam 1 hari dan
40 jam dalam 1 minggu untuk 5 hari kerja. menurut pasal 77 ayat 2 dalam
undang-undang no 13 tahun 2003 menyatakan bahwa jumlah jam kerja secara
akumulatif masing-masing shift tidak diperbolehkan bekerja lebih dari 40 jam
dalam seminggu.
Lama kerja mempunyai hubungan yang kuat dengan keluhan otot dan dapat
meningkatkan resiko gangguan musculoskeletal disorders terutama untuk jenis
pekerjaan dengan menggunakan kekuatan kerja yang cukup tinggi.
2.1.4.3.1 Vibrasi
Paparan dari getaran lokal terjadi ketika bagian tubuh tertentu kontak dengan
objek yang bergetar, seperti kekuatan alat-alat yang menggunakan tangan.
Paparan getaran seluruh tubuh dapat terjadi ketika berdiri atau duduk dalam
lingkungan atau objek yang bergetar, seperti ketika mengoperasikan
kendaraan atau mesin yang besar (Cohen, et al, 1997).
21
2.1.4.3.2 Mikroklimat
3.1.5 DAMPAK
22
menekan saraf- saraf di sekitarnya, hal tersebut yang menyebabkan cidera
atau bahkan menyebabkan kelumpuhan. Rasa nyeri pada tubuh juga secara
psikologis dapat menyebabkan menurunnya tingkat kewaspadaan dan
kelelahan akibat terhambatnya fungsi-fungsi kesadaran otak dan perubahan-
perubahan pada organ-organ di luar kesadaran sehingga berpotensi
menimbulkan kecelakaan dan penyakit akibat kerja.
1. Eliminasi, yaitu dengan menghilangkan sumber bahaya yang ada. Hal ini
jarang dilakukan mengingat kondisi dan tuntutan pekerjaan yang
mengharuskan untuk menggunakan peralatan yang ada.
23
2. Substitusi, yaitu mengganti alat/bahan lama dengan alat/bahan baru yang
aman, menyempurnakan proses produksi dan menyempurnakan prosedur
penggunaan peralatan.
1. Pendidikan dan pelatihan agar pekerja lebih memahami lingkungan dan alat
kerja sehingga diharapkan dapat melakukan penyesuaian dan inovatif dalam
melakukan upaya-upaya pencegahan terhadap risiko sakit akibat kerja.
2. Pengaturah waktu kerja dan istirahat yang seimbang, dalam arti disesuaikan
dengan kondisi lingkungan kerja dan karakteristik pekerjaan, sehingga dapat
mencegah paparan yang berlebihan terhadap sumber bahaya.
3. Pengawasan yang intensif, agar dapat dilakukan pencegahan secara lebih dini
terhadap kemungkinan terjadinya risiko sakit akibat kerja.
24
3.1.7 PENGUKURAN
Nordic Body Map merupakan salah satu metode pengukuran subyektif untuk
mengukur rasa sakit otot para pekerja. Kuesioner Nordic Body Map merupakan
salah satu bentuk kuisioner checklist ergonomi.
Kuisioner Nordic Body Map adalah kuesioner yang paling sering digunakan
untuk mengetahui ketidaknyamanan pada para pekerja karena sudah
terstandarisasi dan tersusun rapi. Pengisian kuisioner Nordic Body Map ini
bertujuan untuk mengetahui bagian tubuh dari pekerja yang terasa sakit sebelum
dan sesudah melakukan pekerjaan pada stasiun kerja. Survei ini menggunakan
banyak pilihan jawaban yang terdiri dari dua bagian yaitu bagian umum dan
terperinci. Bagian umum menggunakan bagian tubuh yaitu yang dilihat dari
bagian depan dan belakang. Responden yang mengisi kuisioner diminta untuk
memberikan tanda ada tidaknya gangguan pada bagian area tubuh tersebut.
25
Nordic Body Map memiliki 28 pertanyaan tentang tingkat keluhan
muskuloskeletal dari leher hingga ujung kaki. Masing-masing sisi tubuh kiri dan
kanan memiliki pertanyaan yang berbeda, sehingga seluruh tubuh yang nyeri
akan dinilai dengan cermat. Pada NBM terdapat empat rentang skor yaitu skor
satu untuk tidak sakit, skor dua untuk agak sakit, skor tiga untuk sakit dan skor
empat untuk sangat sakit. Setelah kuesioner diisi, skor dari masing-masing
pertanyaan akan diakumulasi untuk mengetahui tingkatan keluhan
musculoskeletal yang diderita (Dryastiti, 2013).
a. Tidak ada keluhan : Bila total skor 28 berdasarkan Nordic Body Map.
b. Keluhan Ringan : Bila total skor 29-56 berdasarkan Nordic Body Map.
d. Keluhan Berat : Bila total skor 85-112 berdasarkan Nordic Body Map.
Rapid Entire Body Assessment adalah sebuah metode yang dikembangkan dalam
bidang ergonomi dan dapat digunakan secara cepat untuk menilai posisi kerja atau
postur leher, punggung, lengan pergelangan tangan dan kaki seorang operator. Selain
itu metode ini juga dipengaruhi faktor coupling, beban eksternal yang ditopang oleh
tubuh serta aktifitas pekerja.
Salah satu hal yang membedakan metode REBA dengan metode analisa
lainnya adalah dalam metode ini yang menjadi fokus analisis adalah seluruh bagian
tubuh pekerja. Melalui fokus terhadap keseluruhan postur tubuh ini, diharapkan bisa
mengurangi potensi terjadinya musculoskeletal disorders pada tubuh perkerja.
Dalam metode REBA ini, analisis terhadap keseluruhan postur tubuh pekerja
dikelompokkan menjadi dua bagian. Bagian pertama atau Group A terdiri dari bagian
neck, trunk, dan legs. Sedangkan bagian kedua atau Group B terdiri dari upper arms,
lower arms, dan wrist.
Penilaian postur dan pergerakan kerja menggunakan metode REBA melalui
tahapan–tahapan sebagai berikut:
a. Pengambilan data postur pekerja dengan menggunakan bantuan video atau
foto. Untuk mendapatkan gambaran sikap (postur) pekerja dari leher,
punggung, lengan, pergelangan tangan hingga kaki secara terperinci dilakukan
dengan merekam atau memotret postur tubuh pekerja. Hal ini dilakukan
supaya peneliti mendapatkan data postur tubuh secara detail (valid), sehingga
dari hasil rekaman dan hasil foto bisa didapatkan data akurat untuk tahap
perhitungan serta analisis selanjutnya.
b. Setelah didapatkan hasil rekaman dan foto postur tubuh dari pekerja dilakukan
perhitungan nilai. Perhitungan nilai melalui metode REBA ini dimulai dengan
menganalisis posisi neck, trunk, dan leg dengan memberikan score pada
masing-masing komponen. Ketiga komponen tersebut kemudian
26
dikombinasikan ke dalam sebuah tabel untuk mendapatkan nilai akhir pada
bagian pertama atau score A dan ditambah dengan score untuk force atau load.
Selanjutnya dilakukan scoring pada bagian upper arm, lower arm, dan wrist
kemudian ketiga komponen tersebut dikombinasikan untuk mendapatkan nilai
akhir pada bagian kedua atau score B dan ditambah dengan coupling score.
Setelah diperoleh grand score A dan grand score B, kedua nilai tersebut
dikombinasikan ke dalam tabel C, melalui tabel kombinasi akhir ini kemudian
ditambahkan dengan activity score akan didapat nilai akhir yang akan
menggambarkan hasil analisis postur kerja.
c. Dari final REBA score dapat diperoleh skala dari level tiap aksi yang akan
memberikan pannduan untuk resiko dari tiap level dan aksi yang dibutuhkan.
Perhitungan analisis postur ini dilakukan untuk kedua sisi tubuh, kiri dan
kanan.
Batasan beban
27
Batasan beban yang boleh diangkat yaitu : Untuk menciptakan suasana kerja yang
aman dan sehat sehingga dapat mencegah terjadinya kecelakaan yang diakibatkan
oleh pekerjaan. Maka perlu adanya batasan angkut untuk para pekerja yaitu
Batasan angkut secara legal adalah batasan berat beban yang sudah ditetapkan
oleh suatu lembaga atau negara.Hal ini bertujuan untuk menciptakan suasana kerja
yang aman dan sehat. Batasan angkut yang digunakan secara internasional yaitu :
c. Pria diatas usia 18 tahun tidak ada batasan maksimum untuk mengangkat.
28
BAB 3
PEMBAHASAN
Kami mengambil contoh dari penelitian Aah Nurliah yang berjudul analisis risiko
musculoskletal disorders pada operator forklift di PT. LLI tahun 2012. PT. LLI sendiri
merupakan perusahaan logistic yang menangani pergudangan semua hasil produksi PT.
Unilever, khusus barang jadi (finished gods) dan pendistribusiannya baik domestic masupun
eksport
Dari grafik diatas dapat dilihat untuk lima kelompok besar keluhan MSDs satu tahun terakhir
adalah meliputi leher atas (57%), pinggang (55%), leher bawah (50%), punggung (38%), dan
bahu kanan (33%).
29
Operator forklift reach
truck
30
Tabel diatas menunjukkan aktivitas kerja yang menurut responden menyebabkan adanya
keluhan MSDs
Dari grafik diatas diketahui bahwa dari seluruh operator yang emnjadi responden, sebanyak
87% mengalami MSDs, dari seluruh operator yang mengalami MSDs, 50% adalah operator
forklift reach truck, dan untuk operator forklift pallet mover dan counter balance masing-
masing 25%
31
Tabel tersebut diambil dari penelitian Vimalavarati Sekaaram tahun 2017. Prevalensi MSDs
dalam penelitian yang dilakukan pada pengemudi angkutan umum di Terminal Mengwi,
Kabupaten Badung ini adalah sebesar 76,7%. Beberapa bagian tubuh yang tidak dikeluhkan
mengalami MSDs yaitu pada lengan atas kiri, lengan bawah kiri, paha kiri, dan pergelangan
kaki kiri.
32
Grafik diatas merupakan penelitian Luciana Triani Dewi tahun 2016 yang berjudul
“Karakterisasi Keluhan Muskuloskeletal Akibat Postur Kerja Buruk Pada Pekerja Industri
Kecil Makanan”. Keluhan muskuloskeletal dalam 12 bulan terakhir dan dalam 7 hari terakhir
paling tinggi terjadi pada segmen pinggang, yaitu (77%) dalam 12 bulan terakhir dan (48%)
dalam 7 hari terakhir. Prevalensi ini menunjukkan bahwa pinggang merupakan bagian tubuh
yang selayaknya menjadi fokus perhatian bagi pekerja industri makanan di Yogyakarta.
33
Bab IV
Penutup
1. Kesimpulan
2. Saran
34
Daftar Pustaka
5. http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/158/jtptunimus-gdl-ivakhusnul-7877-3-
babii.pdf
6. http://repositori.uin-alauddin.ac.id/4119/1/abdul%20rahman.pdf
7. https://isainsmedis.id/index.php/ism/article/viewFile/125/140
8. http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20307476-T31178-Analisis%20resiko.pdf
9. http://journals.ums.ac.id/index.php/jiti/article/view/2498
35