Analisis Kasus E-KTP
Analisis Kasus E-KTP
NIM : 12030117420103
Kelas : B
KASUS E-KTP
Kronologi Awal
Kasus korupsi e-KTP bermula dari rencana Kementerian Dalam Negeri RI dalam
pembuatan e-KTP. Sejak 2006 Kemendagri telah menyiapkan dana sekitar Rp 6 triliun yang
digunakan untuk proyek e-KTP dan program Nomor Induk Kependudukan (NIK) nasional dan
dana senilai Rp 258 milyar untuk biaya pemutakhiran data kependudukan untuk pembuatan e-
KTP berbasis NIK pada 2010 untuk seluruh kabupaten/kota se-Indonesia. Sebelum proses
perekaman e-KTP dilaksanakan, Gamawan Fauzi yang saat itu menjabat sebagai Menteri
Dalam Negeri sempat menemui pimpinan KPK untuk meminta KPK mengawasi proyek e-KTP
sembari menjelaskan tentang langkah-langkah pelaksanaan proyek e-KTP. Namun KPK bukan
satu-satunya institusi yang ia datangi. Sebelumnya ia juga telah meminta Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) dan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk terlibat
dalam pengawasan proyek ini. Dengan adanya keterlibatan institusi-institusi tersebut ia
berharap megaproyek e-KTP dapat bersih dan terhindar dari praktek korupsi.
Perkembangan Kasus
Setelah menyelidiki kasus lebih lanjut, KPK akhirnya menetapkan Sugiharto sebagai
Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil pada
Kementerian Dalam Negeri sebagai tersangka pertama dalam kasus korupsi e-KTP. Sugiharto
diduga melakukan penyalahgunaan wewenang dan melakukan suap pada proyek e-KTP di
DPR untuk tahun anggaran 2011-2013. Ia juga diperkaya dengan uang senilai 450.000 dollar
AS dan Rp 460 juta. Sugiharto bukan satu-satunya orang yang ditetapkan sebagai tersangka
oleh KPK. Per 30 September 2016, KPK menetapkan mantan Direktur Jenderal Dukcapil
Kemendagri Irman sebagai tersangka. Motifnya melakukan korupsi serupa dengan Sugiharto,
yakni demi memperkaya diri sendiri atau orang lain dengan melakukan penyalahgunaan
wewenang. Berdasarkan surat tuntutan jaksa, Irman diperkaya senilai 573.000 dollar AS, Rp
2,9 milyar dan 6.000 dollar Singapura.
Walau ditetapkan sebagai tersangka, Irman mengajukan surat permohonan sebagai
justice collaborator untuk membongkar kejahatan pada proyek e-KTP. Pada 8 Februari 2017
KPK mengumumkan bahwa mereka telah menemukan bukti terkait keterlibatan anggota DPR
dalam kasus korupsi e-KTP.
Sidang Praperadilan
Sebagai tindak lanjut, KPK lalu memanggil Setya Novanto untuk diperiksa sebagai
tersangka. Akan tetapi, Novanto tidak datang dengan alasan sakit karena sedang mengalami
perawatan di Rumah Sakit Siloam Jakarta. Rencananya sidang praperadilan pertama akan
dilaksanakan pada Selasa, 12 September 2017. Namun karena Novanto masih sakit dan atas
permintaan KPK, maka hakim kemudian memutuskan untuk menggeser jadwal sidang. Pada
waktu yang sama, Novanto melalui surat meminta KPK untuk menunda penyidikan atas kasus
yang melibatkan namanya serta meminta KPK untuk menghormati sidang praperadilan yang
ia ajukan sampai adanya putusan praperadilan. Menanggapi hal tersebut, KPK kemudian
merespon bahwa KPK tidak akan memenuhi permintaan Novanto dan tetap melakukan
penyidikan kepadanya. Hal itu sesuai dengan tiga dasar hukum yang dimiliki Indonesia, yakni
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi dan UU Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK.
Proses praperadilan Setya Novanto berlanjut dan saat sidang perdana digelar, Agus
Trianto yang saat itu berperan sebagai pengacara mengajukan keberatan karena ia menilai ada
keanehan atas penetapan status tersangka pada Novanto yang dilakukan oleh KPK. Novanto
ditetapkan sebagai tersangka pada 17 Juli 2017 namun Surat Perintah Dimulainya Penyidikan
(SPDP) baru diterima Novanto pada 18 Juli 2017. Ia menilai bahwa KPK telah melanggar
KUHAP dan Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK dan seharusnya KPK
menetapkan tersangka setelah keluarnya SPDP. Ia juga beranggapan bahwa tuduhan terhadap
Novanto atas kasus e-KTP tidak berdasar karena nama Novanto tidak disebutkan dalam
putusan sidang Irman dan Sugiharto.
Setelah 2 bulan menyandang status sebagai tersangka, status Novanto sebagai tersangka
kemudian dibatalkan oleh Hakim Cepi pada sidang praperadilan lanjutan yang diselenggarakan
pada 29 September 2017. Menurut Hakim Cepi, penetapan Novanto sebagai tersangka tidak
sah karena diputuskan di awal penyidikan, bukan di akhir. Selain itu ia juga tidak bisa
menerima alat bukti yang digunakan KPK untuk menangkap Novanto karena telah digunakan
sebelumnya dalam penyidikan Irman dan Sugiharto.
Pada 13 Desember 2017 Pengadilan Tindak Pidana Korupsi mengadakan sidang pokok
perkara dengan agenda pembacaan dakwaan. Dalam sidang tersebut terdapat beberapa hal yang
terjadi pada Setya Novanto, mulai dari tak menjawab saat ditanya hakim, mengaku sakit diare
dan telah 20 kali bolak-balik ke WC bahkan hingga mengatakan bahwa ia lahir di Jawa Timur
padahal sebenarnya Bandung. Atas tindakan yang Novanto lakukan, hakim sidang sempat
melakukan skors lalu meminta dokter untuk memeriksakan kesehatannya.
ANALISA KASUS E-KTP
PRINSIP FRAUD
a. Segitiga Fraud
1. Tekanan atau Dorongan
Tekanan atau dorongan (motivasi) mengacu pada sesuatu yang telah terjadi dalam
kehidupan pribadi seseorang sehingga mengakibatkan orang tersebut memiliki kebutuhan
yang sangat mendesak yang akhirnya mendorong seseorang tersebut untuk melakukan
fraud. Dalam kasus e-KTP adanya pengakuan dari tim teknis e-KTP Kementerian Dalam
Negeri bahwa diperintahkan untuk meloloskan konsorsium dalam proses lelang padahal
sebenarnya tidak memenuhi syarat dan orang paling bertanggungjawab dalam meloloskan
proses pelelangan tersebut adalah Sugiharto dan Irman. Hal ini mengindentifikasikan
bahwa adanya tekanan dari atasan untuk meloloskan konsorsium PNRI yang terdiri dari
beberapa perusahaan, yakni Perum PNRI, PT LEN Industri, PT Quadra Solution, PT
Sucofindo dan PT Sandipala Artha Putra.
2. Kesempatan (Opportunity)
Menurut penelitian Cressey, pelaku fraud selalu memiliki pengetahuan dan
kesempatan untuk melakukan kecurangan. Pelaku biasanya memiliki pengetahuan
mengenai kelemahan dari perusahaan dan kesempatan yang diperoleh karena pelaku berada
dalam posisi yang dipercaya. Sehingga ketika motivasi diiringi dengan peluang, maka
potensi terjadinya fraud akan semakin meningkat.
Pada mulanya proyek ini berjalan lancar dengan pengawasan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan
Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang diminta oleh Gamawan Fauzi yang
saat itu menjabat sebagai menteri dalam negeri. Namun kembali lagi, kasus E-KTP
merupakan kasus yang melibatkan Sugiharto sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK)
Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil pada Kementerian Dalam Negeri,
Irman sebagai mantan Direktur Jenderal Dukcapil Kemendagri, dan Setya Novanto sebagai
Ketua Fraksi Partai Golkar di DPR RI dengan tingginya jabatan (position) yang dimiliki
memberikan kesempatan untuk tersangka dalam melakukan korupsi (fraud).
3. Rasionalisasi
Kebanyakan pelaku fraud tidak memiliki catatan kriminal. Bahkan penjahat kerah
putih biasanya memiliki kode etik pribadi. Pelaku membenarkan tindakan yang secara
obyektif bersifat kriminal dengan membenarkan kejahatan mereka dipengaruhi keadaan
mereka. Dalam kasus ini, adanya pembagian uang dalam mega proyek e-KTP kepada Setya
Novanto, namun hal tersebut dibantah oleh Setya Novanto karena dianggap sebagai uang
transportasi dan uang lembur. Pemikiran rasionalisasi yang menyatakan bahwa pemberian
uang transportasi dan uang lembur merupakan suatu kegiatan yang benar padahal nyatanya
itu merupakan kegiatan fraud (menyuap) yang membenarkan sebuah kesalahan (berfikir
rasional).
b. Profil Pelaku Fraud
Dalam kasus e-KTP, beberapa pelaku kunci yang terlibat dalam korupsi ini, antara lain:
1) Sugiharto : Pejabat Pembuat Komitmen Direktorat Jenderal Dukcapil Kemendagri
2) Irman : Direktur Jenderal Dukcapil Kemendagri
3) Andi Narogong : Pengusaha pelaksana proyek e-KTP (pemenang tender)
4) Setya Novanto : Ketua Umum Partai Golkar
5) Markus Nari : Anggota DPR
6) Anang Sugiana : Direktur PT Quadra Solutions
SKEMA FRAUD
Skema Korupsi
Dalam kasus e-KTP, fraud yang terjadi dikategorikan sebagai skema korupsi. Skema
korupsi terbagi dalam 4 sub kategori yaitu konflik kepentingan, penyuapan, gratifikasi ilegal,
dan pemerasan ekonomi.
a. Konflik Kepentingan
Konflik kepentingan terjadi ketika karyawan, manajer, atau eksekutif memiliki
kepentingan ekonomi atau pribadi yang dirahasiakan dalam suatu transaksi sehingga
berdampak negatif terhadap perusahaan. Beberapa hal yang terkait dengan konflik kepentingan
dalam kasus ini diuraikan sebagai berikut:
Benturan kepentingan yang terjadi antara pejabat Sugiharto dengan atasannya Irman untuk
melakukan skandal pengadaan e-KTP. Tujuannya untuk memperkaya diri sendiri, orang
lain, dan korporasi. Benturan kepentingan juga melibatkan anggota DPR untuk
melancarkan proses pengadaan e-KTP dari segi penganggaran, pelelangan, dan pengadaan
proyek E-KTP.
Terjadinya konflik kepentingan antara Andi dengan pejabat Irman dan Sugiharto dalam
kasus E-KTP. Andi Agustinus merupakan pengusaha di bidang konveksi yang ikut terlibat
dalam kasus ini sebagai pengusaha pelaksana proyek E-KTP. Andi terbukti memberikan
dana kepada Irman dan Sugiharto untuk melakukan pemenang lelang dalam pengadaan E-
KTP. Sehingga pemenangnya dapat bekerja sama dengan Andi untuk menjadi sub
kontraktornya.
Konflik kepentingan terjadi pada saat Irman dan Sugiharto meloloskan PNRI sebagai
pemenangnya. Dalam proses pelelangan, akhirnya diketahui berdasarkan serangkaian
evaluasi teknis uji coba alat dan “output” bahwa tidak ada peserta lelang (konsorsium) yang
dapat mengintegrasikan Key Manajemen Server (KMS) dengan Hardwere Security Module
(HMS) sehingga tidak dapat dipastikan perangkat tersebut memenuhi criteria keamanan
wajib. Namun Irman dan Sugiharto tetap memerintahkan Djarat Wisnu Setyawan dan
Husni Fahmi melanjutkan proses lelang sehingga konsorsium PNRI dan konsorsium
Astragraphia dinyatakan lulus.
Konflik kepentingan berikutnya adalah terjadinya hubungan bisnis atas nama perusahaan
dengan personal yang masih ada hubungan keluarga (family). Dalam kasus ini Andi
Agustinus melibatkan dua saudara kandungnya yakni, Vidi Gunawan dan Dedi Prijanto
dalam proyek E-KTP. Vidi Gunawan menyerahkan uang 1,5 juta dolar AS kepada
Sugiharto.
b. Penyuapan
Penyuapan atau bribery merupakan tindakan pemberian atau penerimaan sesuatu yang
bernilai dengan tujuan untuk mempengaruhi tindakan orang yang menerima. Penyuapan ini
melibatkan banyak pihak untuk mendapatkan kelancaran dalam pengadaan E-KTP. Dugaan
korupsi itu dilakukan dengan mengatur proses penganggran, pelelangan, dan pengadaan proyek
E-KTP dalam kontrak tahun jamak senialai Rp5,952 triliun. Berikut ini tindakan penyuapan
yang terjadi:
Penyuapan dilakukan untuk melancarkan proses penganggaran, pada November 2009,
Gamawan Fauzi meminta Menteri Keuangan dan Kepala Bappenas untuk mengubah
sumber pembiayaan proyek penerapan KTP berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK)
yang semua dibiayai menggunakan Pinjaman Hibah Luar Negeri (PHLN) menjadi
bersumber dari APBN murni.
Untuk melancarkan pembahasan anggaran E-KTP, Irman dan Sugiharto mengucurkan uang
kepada 54 anggota Komisi II DPR dan juga Ketua DPR saat itu Marzuki Ali. Selain itu,
uang juga mengalir ke pimpinan Badan Anggran (Banggar) DPR yaitu Melchias Marcus
Mekeng selaku ketua Banggar partai Golkar, Wakil Ketua Banggar Mirwan Amir (Partai
Demokrat) dan Olly Dondokambe (PDI-Perjuangan) serta Tamsil Linrung (PKS).
Pembagian uang untuk seluruh anggota Komisi II DPR dengan rincian:
1) Ketua Komisi II DPR sejumlah 30 ribu dolar AS,
2) 3 orang Wakil Ketua Komisi II DPR masing-masing 20 ribu dolar AS,
3) 9 orang Ketua Kelompok Franksi Komisi II DPR masing-masing 15 ribu dolar AS,
4) 37 orang anggota Komisi II DPR masing-masing 5 ribu dolar AS sampai 10 ribu
dolar AS.
Tidak hanya individu, partai juga mendapat aliran dana E-KTP yaitu Partai Golkar
sejumlah Rp150 miliar, Partai Demokrat sejumlah Rp150 miliar, PDI Perjuangan sejumlah
Rp80 miliar.
Tindakan Invoice Kickbacks atau menerima aliran dana dari perusahaan rekanan kepada
para pejabat Kemendagri yang mengurus pengadaan E-KTP yaitu Gamawan Fauzi, Diah
Anggraeni, Irman, Sugiharto, serta staf Kemendagri, auditor BPK, Staf Sekretariat Komisi
II DPR, staf Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), staf Kementerian
Keuangan, panitia pengadaan E-KTP, hingga Deputi bidang politik dan Keamanan
Sekretariat Kabinet.
Tindakan Bid Ringging juga terjadi dalam kasus ini yaitu terjadinya permainan dalam
pemenangan tender atau proses lelang dan pengadaan. Pemenangan ini diatur oleh Irman
dan Sugiharto serta diinisiasi oleh Andi Agustinus yang membentuk tim Fatmawati yang
melakukan pertemuan di rumah toko Fatmawati milik Andi Agustinus. Andi memberikan
uang kepada Irman dan Sugiharto sebesar 1,5 juta dolar AS untuk mendapat pekerjaan sub
kontraktor. Sehingga yang mendapat pemenang adalah konsorsium PNRI dan konsorsium
Astagraphia.
Meski pekerjaan PNRI tidak sesuai target dan tidak sesuai kontrak, Irman dan Sugiharto
justru memerintahkan panitia pemeriksa dan penerima hasil membuat berita acara yang
disesuaikan dengan target dalam kontrak sehingga seolah-olah konsorsium PNRI telah
melakukan pekerjaan sesuai target.
c. Gratifikasi Ilegal
Gratifikasi ilegal serupa dengan penyuapan, namun gratifikasi ilegal tidak ada
maksud untuk mempengaruhi keputusan bisnis. Misalnya, seseorang bisa diberikan hadiah
mahal, liburan gratis, dan sebagainya untuk mempengaruhinya dalam bentuk negosiasi atau
kesepakatan bisnis, tetapi hadiah tersebut diberikan setelah kesepakatan selesai.
Dalam kasus e-KTP pelaku Andi Agustinus telah melakukan tindakan gratifikasi illegal
dengan motif pemberian uang kepada seseorang memiliki hubungan relasi kuasa yang bersifat
strategis. Maksudnya disini adalah terdapat kaitan berkenaan dengan/menyangkut akses ke
aset-aset dan control atas aset sumber daya strategis ekonomi, politik, sosial, dan budaya yang
dimiliki oleh orang tersebut. Misalnya panitia pengadaan barang dan jasa atau lainnya.
Tindakan Andi Agustinus dengan motif memberikan uang sebesar 1,5 juta dolar AS
kepada Irman dan Sugiharto untuk mempengaruhi keputusannya dalam melakukan pemenang
pelelangan pengadaan proyek e-KTP. Tujuannya agar Andi dapat menjadi sub kontraktor
dalam proyek tersebut. Pemberian ini tergolong gratifikasi illegal karena diberikan secara
diam-diam (rahasia) kepada Irman dan Sugiharto. Selain itu tindakan gratifikasi juga dilakukan
kepada anggota DPR untuk memuluskan proyek e-KTP.
d. Pemerasan Ekonomi
Dalam sub skema ini melibatkan Markus Nari untuk memuluskan pembahasan dan
penambahan anggran proyek e-KTP di DPR. Oleh karena itu, Markus meminta uang kepada
Irman sebanyak Rp 5 miliar atas tindakan yang dilakukan tersebut. Markus juga menghalagi
atau merintangi penyidikan yang dilakukan KPK. Selain itu, Markus diduga memengaruhi
anggota DPR Miryam S Haryani untuk memberikan keterangan tidak benar dalam persidangan
kasus korupsi e-KTP.
RED FLAGS
a. Red Flags dari Skema Konflik Kepentingan
Kecurangan konflik kepentingan melibatkan karyawan yang memiliki hubungan
dengan pihak ketiga dimana karyawan dan atau pihak ketiga memperoleh keuangan
keuntungan. Penipu menggunakan pengaruh untuk kepentingan pihak ketiga karena
kepentingan pribadi ini pada pihak ketiga. Red Flags yang timbul dalam kasus e-KTP adalah
sebagai berikut:
1. Terjadi transaksi dalam jumlah besar secara tunai maupun transfer kepada Anggota DPR,
Kemendagri, dan Andi Agustinus. Terjadinya transfer yang tidak biasa (dalam jumlah
besar) ke rekening Irman dan Sugiharto. Irman mendapatkan sejumlah uang atas
perbuatannya tersebut sebesar Rp2,371 miliar, 877,7 ribu dolar AS dan 6 ribu dolar
singapura. Selain itu, Sugiharto menerima sejumlah 3.474.830 dolar AS. Pemberian uang
juga dilakukan kepada anggota DPR dan Kemendagri serta perusahaan korporasi.
2. Penemuan hubungan antara karyawan dengan atasan dan pihak ketiga:
Penemuan hubungan baik antara Sugiharto selaku Pejabat Pembuat Komitmen
Dukcapil kemendagri dengan atasannya Irman selaku Direktur Jenderal Dukcapil
Kemendagri. Selain itu, hubungan Andi Agustinus dengan Irman dan Sugiharto
terungkap telah mendapat aliran dana atas pemenangan lelang yang diiniasi oleh
Andi.
Terungkapnya hubungan rahasia antara Andi Agustinus dengan Setya Novanto
selaku Ketua Fraksi Partai Golkar. Mereka bekerja sama dalam mengkondisikan
perusahaan pemenang lelang pengadaan e-KTP.
Pemisahan tugas yang lemah dalam menetapkan kontrak dan menyetujui proses
lelang. Tersangka Irman, Sugiharto, dan Andi mengabaikan prosedur demi
memenangkan pelelangan pengadaan E-KTP. Dalam proses pelelangan yang
dilakukan telah diketahui bahwa evaluasi teknik uji coba alat dan “output” tidak
ada peserta lelang yang dapat memenuhi kriteria keamanan wajib. Namun, para
pelaku Irman dan Sugiharto tetap meloloskan konsorsium PNRI dan Astragraphia.
Oleh karena pemisahan tugas yang lemah tersebut menyebabkan terpilihnya PNRI
tidak sesuai prosedur yang benar.
Kecurangan dalam pencatatan transaksi. Kecurangan ini dilakukan dalam
pekerjaan PNRI yang tidak memenuhi target dan tidak sesuai kontrak. Para
tersangka membuat berita acara yang tidak benar seolah-olah konsorsium PNRI
telah melakukan pekerjaan sesuai target.
PENCEGAHAN FRAUD
Berdasarkan kasus proyek E-KTP, salah cara terbaik untuk pencegahan fraud tindak
pidana kriminal korupsi sehingga tidak terjadi hal yang serupa dikemudian hari yaitu
meningkatkan persepsi deteksi atau “takut ketahuan”.
1. pengawasan yang tepat atas fungsi suatu kontrak pengadaan barang dan jasa. Jika sebuah
entitas baik swasta maupun sektor publik beringinan mencoba mencegah penyuapan dan
korupsi, kegiataan pencegahaan harus mencakup pemeriksaan dokumentasi kontrak
pengadaan barang dan jasa baik secara teratur dalam bentuk kertas dan elektronik.
Kontrak pengadaan barang dan jasa sudah sesuai dengan prosedur yang telah di tetapkan
dan tidak ada pelanggaran tindak pidana yang dilakukan dapat dilihat dari pemeriksaan
secara rutin terhadap dokumentasi kontrak pengadaan barang dan jasa.
2. Budaya organisasi yang baik akan kejujuran dan pemahaman tentang bahayanya
penyuapan dan korupsi yang berdampak bukan hanya pada perusahaan melainkan
kepada pelaku yang berangkutan. Oleh karna itu, entias harus meciptakan budaya
organisasi sedemikian rupa yang anti terhadap penyuapan dan korupsi sehingga
berdampak pada mencegah seseorang ketika dihadapkan untuk melakukan penyuapan
dan korupsi.
3. Menggunakan e-budgeting. Bila menggunakan e-budgeting ini akan ada suatu system
yang saling mengawasi, sehingga dapat tercipta transparansi anggaran. Dengan
menggunakan system ini masyarakat pun akan dapat melihat dan memantau mengenai
anggaran apa saja yang dibuat dan diajukan. Dalam kasus E-KTP ini dapat dikatakan
sebagai suatu kasus fraud yang terstruktur dan rapi. Dengan menggunkan e-budgeting
yang terbuka untuk siapa saja untuk memantaunya bisa meningkatkan control terhadap
proyek yang ada. Hal ini dikarenakan masyarakat tidak memiliki konflik kepentingan
didalamnya sehingga dapat menilai dengan lebih netral. Dengan ebudgeting ini pula
dapat berfungsi sebagai pedoman kerja alat dalam pengkoordinasian kerja didalam suatu
proyek.
4. Penuntutan merupakan sesuatu kegiatan ketika seseorang telah ditetapkan sebagai
tersangka harus di tuntut seadil-adilnya dan dijatuhkan hukuman yang sangat berat
sehingga tidak terjadi kasus proyek e-KTP terulang kembali dikemudian hari. Pada kasus
e-KTP pemberian vonis yang diberikan kepada Sugiharto divonis selama 5 tahun dan
denda sebesar Rp 400 juta subsider 6 bulan kurungan penjara, Irma divonis 7 tahun dan
membayar denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan, Andi Agustinus di hukum
penjara selama 8 tahun dan denda sebesar Rp 1 miliar subsider 6 bulan penjara masih
tergolong ringan dan belum memberikan efek jera kepada koruptor. Namun pemberian
vonis yang cukup berat yang diberikan kepada Setya Novanto di vonis 15 tahun penjara,
membayar denda Rp 500 Juta subsider 3 bulan kurungan.
5. Keterbukaan dan perbaikan pembahasan anggaran yang lebih teliti diyakini bisa
mencegah terulangnya kasus korupsi anggaran seperti dalam kasus KTP elektronik, yang
diduga merugikan negara sekitar Rp2,3 triliun (Sri Mulyani Indrawati). Menurut Sri
Mulyani, perbaikan pembahasan anggaranan meliputi, diantaranya: (1) keterbukaan dan
akuntabilitas, (2) perbaikan kinerja untuk menciptakan kepastian dari unit cost. Hal
tersebut dapat mengurangi potensi mark up (penggelembungan nilai anggaran).
DETEKSI FRAUD
Medeteksi fraud merupakan suatu cara untuk mengidentifikasi suatu kecurangan
(fraud) yang telah melanggar tindak pidana peraturan perundang-undangan yang ada. Pada
kasus e-KTP dalam medeteksi suatu kecurangan (fraud) dalam pelanggaran tindak pidana
peraturan perundang-undangan penyidik ahli seperti akuntansi forensik, penyidik POLRI dan
atau penyidik KPK dapat melakukan yaitu:
1. Menginvestigasi suatu kontrak dan persetujuan (tender). Akuntansi forensik, penyidik
POLRI, dan penyidik KPK dapat memulai penyidikan dari proses lelang konsorsium
yang tidak melampirkan sertifikat ISO 9001 dan ISO 14001 sesuai persyaratan dan
adanya temuan juga bahwa tim teknis e-KTP mengaku diperintah untuk meloloskan
konsorsium dalam proses lelang padahal sebenarnya tidak memenuhi syarat.
2. Akuntansi forensik, penyidik POLRI dan penyidik KPK dapat menginvestigasi dari
pernyataan-pernyataan pengakuan kesaksian yang diberikan oleh Andi Naragong pada
21 Desember 2017 yang mengaku bahwa adanya mark up dan kerugiaan negara dalam
pengadaan e-KTP, Azmin Aulia adik mantan Mendagri Gamawan Fauzi mendapat ruko
dari proyek e-KTP, ada jatah untuk Setya Novanto dan anggota DPR sebanyak 7 JT
Dollar AS, adik Gamawan Fauzi salah satu kunci dalam proses lelang e-KTP, dan Andi
Agustinus mengaku beberapa kali bertemu di rumah Setya Novanto yang membahas
bagian fee dan teknis dalam pengadaan barang dan jasa e-KTP.
PENGUMPULAN BUKTI FRAUD
1) Rekaman video berdurasi 8 menit dari 1) Lima saksi dihadirkan untuk bersaksi
total durasi selama 1,5 jam tersebut, di pengadilan, diantaranya:
berisi sejumlah pengakuan terdakwa a) Ardiansyah Dosen di Fakultas
Andi Agustinus yang diperiksa di Ilmu Komputer Universitas
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Indonesia
pada Kamis 30 November 2017. b) Yunus Husein mantan Kepala
2) Jam tangan seharga Rp 1,3 miliar Pusat Pelaporan dan Analisis
sebagai bukti keterlibatan Setya Transaksi Keuangan (PPATK)
Novanto yang merupakan bentuk c) Suaedi auditor Badan
ucapan terima kasih dari Andi Pengawasan Keuangan dan
Agustinus atas lolosnya anggaran Pembangunan (BPKP)
d) Ahli teknologi yang juga dosen
mega proyek E-KTP sebesar Rp
di Fakultas Ilmu Komputer UI
5,9 Triliun. Bob Hardian
3) Surat kontrak pada 1 Juli 2011, surat e) Dosen Fakultas Hukum
jaminan penerimaan uang Rp 50 juta Universitas Atma Jaya
dan tiga orang saksi sebagai bukti Jogyakarta Riawan Tjandra
kecurangan dalan konsorsium 2) Dokumen dan surat-surat keterangan
pemilihan tender. dari ahli.
4) Bukti-bukti aliran dana dan
penerimaan uang yang dimiliki oleh
KPK.
5) Uang senilai Rp 150 miliar untuk
Partai Golkar, Rp 150 miliar untuk
Partai Demokrat dan Rp 80 miliar
untuk PDIP, serta bukti uang yang
diterima oleh terdakwa lainnya.
6) Keterangan para tersangka yang
ditanyai.