LP CKD
LP CKD
Oleh :
Elok Faradisa
NIM.170070301111006
2017
HALAMAN PENGESAHAN
CKD (CHRONIC KIDNEY DISEASE) DENGAN ANURIA DAN HEMODIALISA
DI RUANG HEMODIALISA RSUD dr SAIFUL ANWAR MALANG
Untuk memenuhi tugas Profesi Ners Departemen Medikal Ruang Hemodialisa RSSA
Malang
Oleh :
ELOK FARADISA
NIM. 170070301111006
( ) ( )
1. CKD (Chronic Kidney Disease)
a. Definisi
Gagal ginjal kronis adalah kegagalan fungsi ginjal untuk
mempertahankan metabolisme serta keseimbangan cairan dan elektrolit
akibat destruksi struktur ginjal yang progresif dengan manifestasi
penumpukan sisa metabolit (toksik uremik) di dalam darah. Gagal ginjal
terjadi ketika ginjal tidak mampu mengangkut sampah metabolik tubuh atau
melakukan fungsi regulasinya. Suatu bahan yang biasanya dieliminasi di urin
menumpuk dalam cairan tubuh akibat gangguan eksresi renal dan
menyebabkan gangguan fungsi endokrin dan metabolik, cairan, elektrolit
serta asam-basa. Gagal ginjal merupakan penyakit sistemik dan merupakan
jalur akhir yang umum dari berbagai peyakit urinary tract dan ginjal (Arif
Muttaqin, 2011)
Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir (ESRD) merupakan
gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversible dimana kemampuan
tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan
dan elektrolit,menyebabkan retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam
darah. (Brunner & Suddarth, 2001).
b. Klasifikasi
Terdapat 5 stadium penyakit gagal ginjal kronis yang ditentukan
melalui penghitungan nilai Glumerular Filtration Rate (GFR) dengan melihat
kadar kretatinin. Kreatinin adalah produk sisa yang berasal dari aktivitas otot
yang seharusnya disaring dari dalam darah oleh ginjal yang sehat.
e. Patofisiologi
Patofisiologi CKD pada awalnya dilihat dari penyakit yang mendasari,
namun perkembangan proses selanjutnya kurang lebih sama. pada akhirnya
akan terjadi kerusakan nefron sehingga menyebabkan penurunan GFR
(Glomelular Filtration Rate) dan menyebabkan CKD (cronic kidney disease),
yang mana ginjal mengalami gangguan dalam fungsi eksresi dan dan fungsi
non-eksresi. Fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein (yang
normalnya diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi
uremia dan mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan
produk sampah maka gejala akan semakin berat (Brunner & Suddarth, 2001 :
1448)
dari proses sindrom uremia terjadi pruritus, perubahan warna kulit.
Sindrom uremia juga bisa menyebabkan asidosis metabolik akibat ginjal tidak
mampu menyekresi asam (H+ ) yang berlebihan. Penurunan sekrsi asam
akibat tubulus ginjal tidak mampu menyekresi ammonia (NH3 - ) dan
megapsorbsi natrium bikarbonat (HCO3 - ). Penurunan eksresi fosfat dan
asam organik yang terjadi, maka muntah dan muntah tidak dapat
dihindarkan. Sekresi kalsium mengalami penurunan sehingga hiperkalemia,
penghantaran listrik dalam jantung terganggu akibatnya terjadi penurunan
COP (cardiac output), suplai O2 dalam otak dan jaringan terganggu.
Penurunan sekresi eritropoetin sebagai faktor penting dalam stimulasi
produksi sel darah merah oleh sumsum tulang menyebabkan produk
hemoglobin berkurang dan terjadi anemia sehingga peningkatan oksigen oleh
hemoglobin (oksihemoglobin) berkurang maka tubuh akan mengalami
keadaan lemas dan tidak bertenaga.
Gangguan clerence renal terjadi akibat penurunan jumlah glomerulus
yang berfungsi. Penurunan laju filtrasi glomerulus di deteksi dengan
memeriksa clerence kretinin dalam darah yang menunjukkan penurunan
clerence kreatinin dan peningkatan kadar kreatinin serum. Retensi cairan dan
natrium dapat megakibatkan edema.
Ketidakseimbangan kalsium dan fosfat merupakan gangguan
metabolisme. Kadar kalsium dan fosfat tubuh memiliki hubungan timbal balik.
Jika salah satunya meningkat maka fungsi yang lain akan menurun. Dengan
menurunnya filtrasi melaui glomerulus ginjal maka meningkatkan kadar fosfat
serum, dan sebaliknya, kadar serum kalsium menurun. Penurunan kadar
kalsium serum menyebabkan sekresi parathhormon dari kelenjar paratiroid,
tetapi gagal ginjal tubuh tidak dapat merspons normal terhadap peningkatan
sekresi parathormon sehingga kalsium ditulang menurun, menyebabkan
terjadinya perubahan tulang dan penyakit tulang. (Nurlasam, 2007).
f. Pemeriksaan diagnostik
Pemeriksaan darah lengkap dan kimia klinik
Laju endap darah: meninggi yang diperberat oleh adanya anemia
dan hipoalbuminemia
Hiponatremia: umumnya karena kelebihan cairan
Hiperkalemia: biasanya terjadi pada gagal ginjal lanjut bersama
dengan menurunnya diuresis
Hipoalbuminemia dan hipokolesterolemia: umumnya disebabkan
gangguan metabolisme dan diet rendah protein
Peninggian gula darah, akibat gangguan metabolisme karbohidrat
pada gagal ginjal, (resistensi terhadap pengaruh insulin pada
jaringan perifer)
Asidosis metabolik dengan kompensasi respirasi menunjukkan pH
yang menurun, HCO3 yang menurun, PCO2 yang menurun,
semuanya disebabkan retensi asam-basa organik pada gagal
ginjal.
Ht: menurun karena pasien mengalamii anemia Hb < 7-8 gr/dl
BUN/Kreatinin : meningkat, kadar kreatinin 10 mg/dl diduga
tahap akhir. Rasio BUN dan kreatinin = 12:1 – 20:1
GDA: asidosis metabolic, PH <7,2
Protein albumin : menurun
Natrium serum : rendah, Nilai normal 40-220 mEq/l/hari
tergantung berapa banyak cairan dan garam yang dikonsumsi.
Kalium, magnesium : meningkat
Kalsium : menurun
Pemeriksaan urin
Volume : biasanya < 400-500ml/24 jam atau bahkan tidak ada
urin (anuria)
Warna : secara abnormal urin keruh kemungkinan disebabkan
oleh zat yang tidak terreabsorbsi maksimal atau terdiri dari pus,
bakteri, lemak, fosfat atau urat sedimen kotor, kecoklatan
menunjukkan adanya darah, Hb, mioglobin.
Berat jenis : < 1,010 menunjukkan kerusakan ginjal tubular
Klirens kreatinin : mungkin menurun.
Natrium : > 40 mEq/L karena ginjal tidak mampu mereabsorbsi
natrium.
Protein : derajat tinggi proteinuria (3-4+) secara kuat menunjukkan
kerusakan glumerulus bila SDM dan fragmen juga ada.
Osmolalitas: < 350 mOsm/kg, rasio urin/serum = 1:1
Pemeriksaan radiologi
USG: untuk menilai besar dan bentuk ginjal, tebal parenkim ginjal,
kepadatan parenkim ginjal, anatomi sistem pelviokalises, ureter
proksimal, kandung kemih serta prostat.
IVP (Intra Vena Pielografi): untuk menilai sistem pelviokalises
dan ureter. Pemeriksaan ini mempunyai resiko penurunan faal
ginjal pada keadaan tertentu, misalnya: usia lanjut, DM dan
nefropati Asam urat.
Foto Polos Abdomen : untuk menilai bentuk dan besar ginjal dan
apakah ada batu atau obstruksi lain. Foto polos yang disertai
dengan tomogram memberikan hasil keterangan yang lebih
baik.Dehidrasi akan memperburuk keadaan ginjal oleh sebab itu
penderita diharapkan tidak puasa.
Renogram: untuk menilai fungsi ginjal kanan dan kiri, lokasi dari
gangguan (vaskuler, parenkim, eksresi), serta sisa fungsi ginjal.
EKG : untuk mengetahui kemungkinan hipertropi ventrikel kiri dan
kanan, tanda-tanda perikarditis, disritmia, gangguan elektrolit.
Renal anterogram : mengkaji terhadap sirkulasi ginjal dan
ekstravaskularisasi serta adanya masa.
Rotgen thorak : mengetahui tanda-tanda kardiomegali dan
odema paru.
Pemeriksaan patologi anatomi
Biopsy ginjal : Dilakukan bila ada keraguan diagnostic gagal ginjal
kronik atau perlu diketahui etiologi dari penyakit ini
g. Penatalaksanaan
a. Terapi konservatif
Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal
secara progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin
azotemia, memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara
keseimbangan cairan dan elektrolit (Sukandar, 2006).
Peranan diet
Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah atau
mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan
terutama gangguan keseimbangan negatif nitrogen.
Kebutuhan jumlah kalori
Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk GGK harus adekuatn
dengan tujuan utama, yaitu mempertahankan keseimbangan positif
nitrogen, memelihara status nutrisi dan memelihara status gizi.
Kebutuhan cairan
Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat supaya
jumlah diuresis mencapai 2 L per hari.
Kebutuhan elektrolit dan mineral
Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual tergantung dari
LFG dan penyakit ginjal dasar (underlying renal disease).
b. Terapi simtomatik
Asidosis metabolik
Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium
(hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat
diberikan suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus segera
diberikan intravena bila pH ≤ 7,35 atau serum bikarbonat ≤ 20 mEq/L.
Anemia
Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah satu
pilihan terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi
darah harus hati-hati karena dapat menyebabkan kematian mendadak.
Keluhan gastrointestinal
Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang sering
dijumpai pada GGK. Keluhan gastrointestinal ini merupakan
keluhanutama (chief complaint) dari GGK. Keluhan gastrointestinal yang
lain adalah ulserasi mukosa mulai dari mulut sampai anus. Tindakan
yang harus dilakukan yaitu program terapi dialisis adekuat dan obat-
obatan simtomatik.
Kelainan kulit
Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan kulit.
Kelainan neuromuskular
Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi hemodialisis
reguler yang adekuat, medikamentosa atau operasi subtotal
paratiroidektomi.
Kelainan sistem kardiovaskular
Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan kardiovaskular yang
diderita.
c. Terapi pengganti ginjal
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5,
yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa
hemodialisis, dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal (Suwitra, 2006).
Hemodialisis
Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala
toksik azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh
terlalu cepat pada pasien GGK yang belum tahap akhir akan
memperburuk faal ginjal (LFG). Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu
indikasi absolut dan indikasi elektif. Beberapa yang termasuk dalam
indikasi absolut, yaitu perikarditis,ensefalopati/neuropati azotemik,
bendungan paru dan kelebihan cairan yang tidak responsif dengan
diuretik, hipertensi refrakter, muntah persisten, dan Blood Uremic
Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan kreatinin > 10 mg%. Indikasi elektif,
yaitu LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m², mual, anoreksia, muntah,
dan astenia berat (Sukandar, 2006).
Dialisis peritoneal (DP)
Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal
Dialysis (CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia.
Indikasi medik CAPD, yaitu pasien anak-anak dan orang tua (umur
lebih dari 65 tahun), pasien-pasien yang telah menderita penyakit
sistem kardiovaskular, pasien-pasien yang cenderung akan
mengalami perdarahan bila dilakukan hemodialisis, kesulitan
pembuatan AV shunting, pasien dengan stroke, pasien GGT (gagal
ginjal terminal) dengan residual urin masih cukup, dan pasien
nefropati diabetik disertai co-morbidity dan co-mortality. Indikasi non-
medik, yaitu keinginan pasien sendiri, tingkat intelektual tinggi untuk
melakukan sendiri (mandiri), dan di daerah yang jauh dari pusat
ginjal (Sukandar, 2006).
Transplantasi ginjal
Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi dan
faal). Pertimbangan program transplantasi ginjal, yaitu:
a. Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih
seluruh (100%) faal ginjal, sedangkan hemodialisis hanya
mengambil alih 70-80% faal ginjal alamiah.
b. Kualitas hidup normal kembali
c. Masa hidup (survival rate) lebih lama
d. Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama
berhubungan dengan obat imunosupresif untuk mencegah
reaksi penolakan
e. Biaya lebih murah dan dapat dibatasi
h. Komplikasi
Hiperkalemia: akibat penurunan ekskresi, asidosis metabolik,
katabolisme dan masukan diit berlebih.
Perikarditis : Efusi pleura dan tamponade jantung akibat produk sampah
uremik dan dialisis yang tidak adekuat.
Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem renin-
angiotensin-aldosteron.
Anemia akibat penurunan eritropoetin, penurunan rentang usia sel darah
merah.
Penyakit tulang serta kalsifikasi akibat retensi fosfat, kadar kalsium serum
rendah, metabolisme vitamin D dan peningkatan kadar aluminium.
Asidosis metabolic, Osteodistropi ginjal & Sepsis, Neuropati perifer,
Hiperuremia (Smeltzer & Bare, 2005)
2. CKD Dengan Anuria
a. Definisi
Anuria dalam arti sesungguhnya adalah suatu keadaan dimana tidak ada
produksi urine dari seorang penderita. Dalam pemakaian klinis diartikan keadaan
dimana produksi urine dalam 24 jam kurang dari 100 ml. Keadaan ini
menggambarkan gangguan fungsi ginjal yang cukup berat dan hal ini dapat terjadi
secara pelan-pelan atau yang datang secara mendadak.
b. Etiologi
Kegagalan fungsi ginjal, yang dapat memiliki penyebab ganda termasuk obat-
obatan atau racun (misalnya, antibeku), diabetes, tekanan darah tinggi. Batu atau
tumor dalam saluran kemih juga dapat menyebabkan obstruksi dengan menciptakan
untuk aliran urin. Kalsium darah yang tinggi, oksalat, atau asam urat, dapat
berkontribusi terhadap risiko pembentukan batu. Pada laki-laki, kelenjar prostat
membesar adalah penyebab umum dari anuria obstruktif.
c. CKD Dengan Anuria
Kondisi gagal ginjal kronik yang biasanya disertai dengn anuria adalah gagal ginjal
kronik stage 5 yaitu ditandai dengan penurunan GFR secara signifikan <15 ml/menit.
Kondisi ini biasa disebut dengan End Stage Of Renal Disease (ESRD). Proses ini
terjadi ketika ginjal sudah banyak kehilangan fungsi termasuk nefron ginjal, maka
akan terjadi penurunan GFR dan tidak terjadi produksi renin dan aldosterone.
Selanjutnya retensi Kalium akan terjadi yang akan mengakibatkan cairan tertahan
sehingga produksi urin akan menurun secara drastis <100 ml/24 jam. Kondisi inilah
yang disebut dengan anuria pada CKD.
3. Hemodialisa
a. Definisi
Menurut Price dan Wilson (2005) dialisa adalah suatu proses dimana solute
dan air mengalami difusi secara pasif melalui suatu membran berpori dari
kompartemen cair menuju kompartemen lainnya. Hemodialisa dan dialisa peritoneal
merupakan dua tehnik utama yang digunakan dalam dialisa. Prinsip dasar kedua
teknik tersebut sama yaitu difusi solute dan air dari plasma ke larutan dialisa
sebagai respon terhadap perbedaan konsentrasi atau tekanan tertentu.
Sedangkan menurut Tisher dan Wilcox (1997) hemodialisa didefinisikan
sebagai pergerakan larutan dan air dari darah pasien melewati membran
semipermeabel (dializer) ke dalam dialisat. Dializer juga dapat dipergunakan untuk
memindahkan sebagian besar volume cairan. Pemindahan ini dilakukan melalui
ultrafiltrasi dimana tekanan hidrostatik menyebabkan aliran yang besar dari air
plasma (dengan perbandingan sedikit larutan) melalui membran. Dengan
memperbesar jalan masuk pada vaskuler, antikoagulansi dan produksi dializer yang
dapat dipercaya dan efisien, hemodialisa telah menjadi metode yang dominan
dalam pengobatan gagal ginjal akut dan kronik di Amerika Serikat (Tisher & Wilcox,
1997).
Hemodialisa memerlukan sebuah mesin dialisa dan sebuah filter khusus yang
dinamakan dializer (suatu membran semipermeabel) yang digunakan untuk
membersihkan darah, darah dikeluarkan dari tubuh penderita dan beredar dalam
sebuah mesin diluar tubuh. Hemodialisa memerlukan jalan masuk ke aliran darah,
maka dibuat suatu hubungan buatan antara arteri dan vena (fistula arteriovenosa)
melalui pembedahan (NKF, 2006).
b. Tujuan
Menurut Havens dan Terra (2005) tujuan dari pengobatan hemodialisa:
a. Menggantikan fungsi ginjal dalam fungsi ekskresi, yaitu membuang sisa-sisa
metabolisme dalam tubuh, seperti ureum, kreatinin, dan sisa metabolisme
yang lain.
b. Menggantikan fungsi ginjal dalam mengeluarkan cairan tubuh yang
seharusnya dikeluarkan sebagai urin saat ginjal sehat.
c. Meningkatkan kualitas hidup pasien yang menderita penurunan fungsi ginjal.
d. Menggantikan fungsi ginjal sambil menunggu program pengobatan yang lain.
c. Indikasi
Price dan Wilson (2005) menerangkan bahwa tidak ada petunjuk yang jelas
berdasarkan kadar kreatinin darah untuk menentukan kapan pengobatan harus
dimulai. Kebanyakan ahli ginjal mengambil keputusan berdasarkan kesehatan
penderita yang terus diikuti dengan cermat sebagai penderita rawat jalan.
Pengobatan biasanya dimulai apabila penderita sudah tidak sanggup lagi bekerja
purna waktu, menderita neuropati perifer atau memperlihatkan gejala klinis lainnya.
Pengobatan biasanya juga dapat dimulai jika kadar kreatinin serum diatas 6 mg/100
ml pada pria , 4 mg/100 ml pada wanita dan glomeluro filtration rate (GFR) kurang
dari 4 ml/menit. Penderita tidak boleh dibiarkan terus menerus berbaring ditempat
tidur atau sakit berat sampai kegiatan sehari-hari tidak dilakukan lagi.
Penyakit dalam (medikal): Arf- pre renal/renal/post renal, apabila pengobatan
konvensional gagal mempertahankan rft normal. Crf, ketika pengobatan
konvensional tidak cukup, Indikator biokimiawi yang memerlukan tindakan
hemodialisa:
Peningkatan bun > 20-30 mg%/hari,
Serum kreatinin > 2 mg%/hari,
Hiperkalemia,
Overload cairan yang parah,
Odem pulmo akut yang tidak berespon dengan terapi medis
Pada crf: Bun > 200 mg%, Creatinin > 8 mg%,
Hiperkalemia,
Asidosis metabolik yang parah.
d. Kontraindikasi
Menurut Thiser dan Wilcox (1997) kontra indikasi dari hemodialisa adalah
hipotensi yang tidak responsif terhadap presor, penyakit stadium terminal, dan
sindrom otak organik. Sedangkan menurut PERNEFRI (2003) kontra indikasi dari
hemodialisa adalah tidak mungkin didapatkan akses vaskuler pada hemodialisa,
akses vaskuler sulit, instabilitas hemodinamik dan koagulasi. Kontra indikasi
hemodialisa yang lain diantaranya adalah penyakit alzheimer, demensia multi infark,
sindrom hepatorenal, sirosis hati lanjut dengan ensefalopati dan keganasan lanjut
(PERNEFRI, 2003).
e. Proses
Hemodialisis terdiri dari 3 kompartemen, yaitu:
1. Kompartemen darah
2. Kompartemen cairan pencuci (dialisat)
3. Ginjal buatan (dialiser)
Darah dikeluarkan dari pembuluh darah vena dengan kecepatan aliran
tertentu. Kemudian, masuk ke dalam mesin dengan proses pemompaan. Setelah
terjadi proses dialisis, darah yang telah bersih ini masuk ke pembuluh balik.
Selanjutnya, darah akan beredar didalam tubuh. Proses dialisis (pemurnian) darah
terjadi dalam dialiser (Daurgirdas et al., 2007).
Prinsip kerja hemodialisis adalah
1) Komposisi solute (bahan terlarut) suatu larutan (kompartemen darah) akan
berubah dengan cara memaparkan larutan inid engan larutan lain
(kompartemen dialisat) melalui membran semi permeable (dialiser).
2) Perpindahan solute melewati membran disebut sebagai osmosis.
Perpindahan ini terjadi melalui mekanisme difusi dan UF. Difusi adalah
perpindahan solute terjadi akibat gerakan molekulnya secara acak,
sedangkan utrafiltrasi adalah perpindahan molekul terjadi secara konveksi,
artinya solute berukuran kecil yang larut dalam air ikut berpindah secara
bebas bersama molekul airmelewati porus membran. Perpindahan ini
disebabkan oleh mekanisme hidrostatik, akibat perbedaan tekanan air (trans
membrane pressure) atau mekanisme osmotik akibat perbedaan konsentrasi
larutan (Daurgirdas et al.,2007). Pada mekanisme UF konveksi merupakan
proses yang memerlukan gerakan cairan disebabkan oleh gradient tekanan
trans membran (Daurgirdas et al., 2007)
Luas permukaan membran dan daya saring membran mempengaruhi jumlah
zat dan air yang berpindah. Pada saat dialisis, pasien didialiser dan rendaman
dialisat memerlukan pemantauan yang konstan untuk mendeteksi berbagai
komplikasi yang dapat terjadi (misal emboli udara, ultrafiltrasi tidak cukup kuat atau
berlebihan, perembesan darah, kontaminasi dan fistula)
Darah dalam pipa arteri dipompa dalam dialiser yang didalamnya mengalir
darah melalui tabung-tabung selodan yang bekera sebagai membran permeabel.
Larutan dialisat yang memiliki kinoisusu kimiawi yang lama seperti darah kecuali
ureum dan produk limbah mengalir di sekeliling tubulus. Produk limbah dalam darah
berdifusi melalui membran semipermeabel ke dalam larutan dialisat.
i. Komplikasi
Komplikasi HD dapat dibedakan menjadi 2, yaitu:
1. Komplikasi Akut
Komplikasi Penyebab
Hipotensi Penarikan cairan yang berlebihan, terapi antihipertensi,infark
jantung, tamponade, reaksi anafilaksis
Hipertensi Kelebihan natrium dan air, ultrafiltrasi yang tidak adekuat
Reaksi Alergi Reaksi alergi, dialiser, tabung, heparin, besi, lateks
menyebabkan hiperthermi (akibat inflamasi)
Aritmia Gangguan elektrolit, perpindahan cairan yang terlalu cepat,
obat antiaritmia yang terdialisis
Kram Otot Ultrafiltrasi terlalu cepat, gangguan elektrolit*
*Aktivitas otot tidak adekuat yang akan mempengaruhi
kekuatan otot. Selain itu, Kelemahan otot tersebut
disebabkan adanya pengurangan aktivitas, atrofi otot,
miopati otot, neuropati atau kombinasi diantaranya
Mual dan - Akibat adanya situasi yang menyebabkan kecemasan
Muntah - Akibat hidrasi dan restriksi protein serta hipoglikemi
(Smeltzer and Bare, 2010)
Rasa Haus Kadar sodium yang tinggi, penurunan kadar posatium,
angiotensin II, peningkatan urea plasma, urea plasma yang
mengalami peningkatan, hipovolemia post dialisis dan faktor
psikologis
Sesak Napas - Penumpukan cairan yang diakibatkan oleh rusaknya ginjal,
sehingga cairan tersebut akan memutus saluran paru –
paru dan membuat sesak nafas.
- Akibat adanya anemia yang mengakibatkan tubuh
kekurangan oksigen
Emboli Udara Udara memasuki sirkuit darah
Dialysis - Perpindahan osmosis antara intrasel dan ekstrasel
disequilibirium menyebabkan sel menjadi bengkak, edema serebral.
- Penurunan konsentrasi urea plasma yang terlalu cepat
2. Komplikasi Kronik
Komplikasi
Penyakit Jantung: fungsi Renin dan Agiotensin pada ginjal yang tidak adekuat
Malnutrisi: hipoglikemi yang menyebabkan mual dan muntah tidak terkontrol
Hipertensi
Kelebihan cairan pradialisis akan meningkatkan resistensi vaskuler dan pompa
jantung. Pasien yang mengalami hipertensi intradialisis terjadi peningkatan nilai
tahanan vaskuler perifer yang bermakna pada jam akhir dialisis. Jika terjadi
kenaikan tekanan darah postdialysis mencerminkan kelebihan volume subklinis
(Wuchang & Yao-ping 2012)
Perdarahan
Uremia menyebabkan gangguan fungsi trombosit. Fungsi trombosit dapat dinilai
dengan mengukur waktu perdarahan. Pengguanaan heparin selama hemodialisa
juga merupakan factor resiko terjadinya perdarahan.
Amiloidosis : penumpukan protein pada jaringan dan organ tubuh, yang dapat
menyebabkan kegagalan organ.
b. Diagnosa Keperawatan
1. Pre Hemodialisa
a. Ketidakefektifan pola nafas b.d edema paru, asites, lung uremia,
asidosis metabolik
b. Penurunan curah jantung berhubungan dengan beban jantung yang
meningkat
c. Resiko ketidak efektifan perfusi ginjal berhubungan dengan penyakit
ginjal (CKD)
d. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran
alrveolar kapiler (edema paru)
e. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hiperventilasi
(peningkatan usaha nafas)
f. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan suplai
O2 dan kebutuhan
g. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan haluaran
urine, diet cairan berlebih, retensi cairan & natrium.
h. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan
edema sekunder : volume cairan tidak seimbang oleh karena retensi
Na dan H2O)
i. Mual berhubungan dengan gangguan biokimia (uremia)
j. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang/lebih dari kebutuhan tubuh
behubungan dengan prognosis penyakit dan gangguan metabolik
serta kadar asam basa dalam tubuh.
2. Intra Hemodialisa
a. Nyeri akut behubungan dengan aktivasi receptor nyeri di area insersi
saat dan setelah pemasangan AV shunt
b. Resiko syok hipovolemik berhubungan dengan proses hemodialisa
yang mengerluarkan cairan dari dalam tubuh
c. Resiko perdarahan berhubungan dengan pemasangan AV shunt
d. Resiko cedera b.d akses vaskuler & komplikasi sekunder terhadap
penusukan & pemeliharaan akses vaskuler.
3. Post Hemodialisa
a. Resiko infeksi berhubungan dengan area insersi AV Shunt
b. Resiko perdarahan berhubungan dengan pemberian heparin
c. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan
sindrom ketidak seimbangan dialisa
b. Rencana Keperawatan
No Diagnosa Tujuan/KH Intervensi
1 Intoleransi aktivitas Setelah dilakukan askep ... NIC: Toleransi aktivitas
B.d jam Klien dapat menoleransi 1) Tentukan penyebab
ketidakseimbangan aktivitas & melakukan ADL intoleransi aktivitas & tentukan
suplai & kebutuhan dgn baik apakah penyebab dari fisik,
O2 Kriteria Hasil: psikis/motivasi
4. Berpartisipasi dalam 2) Kaji kesesuaian
aktivitas fisik dgn TD, aktivitas&istirahat klien sehari-
HR, RR yang sesuai hari
5. Warna kulit 3) ↑ aktivitas secara bertahap,
normal,hangat&kering biarkan klien berpartisipasi
6. Memverbalisasikan dapat perubahan posisi,
pentingnya aktivitas berpindah&perawatan diri
secara bertahap 4) Pastikan klien mengubah
7. Mengekspresikan posisi secara bertahap.
pengertian pentingnya Monitor gejala intoleransi
keseimbangan latihan & aktivitas
istirahat 5) Ketika membantu klien berdiri,
↑toleransi aktivitas observasi gejala intoleransi
spt mual, pucat, pusing,
gangguan kesadaran&tanda
vital
6) Lakukan latihan ROM jika
klien tidak dapat menoleransi
aktivitas
2 Resiko kekurangan NOC: NIC :
volume cairan b.d
Mekanisme Fluid balance Fluid management
peredaran Hydration
Nutritional Status : 1. Monitor status hidrasi
darah/cairan tidak
Food and Fluid Intake (kelembaban membran
efektif (proses
mukosa, nadi adekuat,
dialisis berlangsung
Setelah dilakukan tindakan tekanan darah ortostatik)
keperawatan selama 5 jam 2. Monitor vital sign
diharapkan defisit volume 3. Monitor masukan makanan /
cairan tidak terjadi dengan cairan selama interdialisis
4. Monitor status nutrisi
Kriteria Hasil : 5. Dorong keluarga untuk
membantu pasien makan
Tekanan darah, nadi,
6. Kolaborasi dokter jika tanda
suhu tubuh dalam
cairan berlebih muncul
batas normal
meburuk
Tidak ada tanda
7. Atur kemungkinan tranfusi
tanda dehidrasi,
8. Persiapan untukkemungkinan
Elastisitas turgor kulit
tranfusi
baik, membran
mukosa lembab, tidak
ada rasa haus yang
berlebihan
3 Kelebihan volume Setelah dilakukan askep ..... Fluid management:
cairan b.d. jam pasien mengalami 1) Monitor status hidrasi
mekanisme keseimbangan cairan dan (kelembaban membran
pengaturan elektrolit. mukosa, nadi adekuat)
melemah Kriteria hasil: 2) Monitor tnada vital
Bebas dari edema 3) Monitor adanya indikasi
anasarka, efusi overload/retraksi
Suara paru bersih 4) Kaji daerah edema jika ada
Tanda vital dalam Fluid monitoring:
batas normal 1) Monitor intake/output cairan
2) Monitor serum albumin dan
protein total
3) Monitor RR, HR
4) Monitor turgor kulit dan
adanya kehausan
5) Monitor warna, kualitas dan
BJ urine
4 Ketidakseimbangan Setelah dilakukan askep ….. Manajemen Nutrisi
nutrisi kurang dari jam klien menunjukan status 1) kaji pola makan klien
kebutuhan tubuh nutrisi adekuat dibuktikan 2) Kaji adanya alergi makanan.
dengan BB stabil tidak terjadi 3) Kaji makanan yang disukai
mal nutrisi, tingkat energi oleh klien.
adekuat, masukan nutrisi 4) Kolaborasi dg ahli gizi untuk
adekuat penyediaan nutrisi terpilih
sesuai dengan kebutuhan
klien.
5) Anjurkan klien untuk
meningkatkan asupan
nutrisinya.
6) Yakinkan diet yang
dikonsumsi mengandung
cukup serat untuk mencegah
konstipasi.
7) Berikan informasi tentang
kebutuhan nutrisi dan
pentingnya bagi tubuh klien
Monitor Nutrisi
1) Monitor BB setiap hari jika
memungkinkan.
2) Monitor respon klien terhadap
situasi yang mengharuskan
klien makan.
3) Monitor lingkungan selama
makan.
4) jadwalkan pengobatan dan
tindakan tidak bersamaan
dengan waktu klien makan.
5) Monitor adanya mual muntah.
6) Monitor adanya gangguan
dalam proses mastikasi/input
makanan misalnya
perdarahan, bengkak dsb.
7) Monitor intake nutrisi dan
kalori.
5 Resiko infeksi b/d Setelah dilakukan askep ... Kontrol infeksi
tindakan invasive, jam risiko infeksi terkontrol 1) Ajarkan tehnik mencuci
penurunan daya dg Kriteria hasil: tangan
tahan tubuh primer Bebas dari tanda-tanda 2) Ajarkan tanda-tanda infeksi
infeksi 3) laporkan dokter segera bila
Angka leukosit normal ada tanda infeksi
Ps mengatakan tahu 4) Batasi pengunjung
tentang tanda-tanda 5) Cuci tangan sebelum dan
dan gejala infeksi sesudah merawat ps
6) Tingkatkan masukan gizi yang
cukup
7) Anjurkan istirahat cukup
8) Pastikan penanganan aseptic
daerah IV
9) Berikan PEN-KES tentang risk
infeksi
proteksi infeksi:
1) monitor tanda dan gejala
infeksi
2) Pantau hasil laboratorium
3) Amati faktor-faktor yang bisa
meningkatkan infeksi
4) monitor VS
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito (2000), Diagnosa Keperawatan-Aplikasi pada Praktik Klinis, Ed. 6. Jakarta : EGC
Chobanian, A.V., Bakris, G.L., Black H.R., CushmanW.C., Green L.A., Izzo J.L., Jr., et al,
2003. The seventh report of the Joint National Committee on Prevention, Detection,
Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure: The JNC 7 Report.
JAMA;289:2560-72.
Corwin, E.J. 2009. Buku Saku Patofisiologi, edisi 3. Jakarta: EGC.
David S. Goldfarb,MD.In the clinic nephrolithiasis.American College of Physicians [internet].
2009 [6 Agustus 2017]. Tersedia dari: https://www.med.unc.edu/medselect/res
ources/course%20reading/ITC%20nephrol ithiasis.full.pdf
Doengoes, M.E., Moorhouse, M.F., Geissler, A.C. 2000 . Nursing Care Plans : Guidelines
For Planning And Documenting Patients Care. Alih bahasa:Kariasa,I.M. Jakarta:
EGC
Ganiswarna, S. G. (2003). Famakologi dan Terapi. Jakarta: Bagian Farmakologi FK-UI.
Gareth Beevers. Para patofisiologi hipertensi. British Medical Journal. FindArticles.com.
Hanley JM, Saigal CS, Scales CD, Smith AC. Prevalences of kidney stone in the United
States. Journal European Association of Urology[internet]. 2012[diakses tanggal 6
Agustus 2017]; 62(1):160-5.Tersedia dari: http://journal.unnes.ac.id/index.php/kem
as
Hopper D.P, dan William S.L. 2007. Understanding Medical Surgical Nursing Third Edition.
Philadelphia: FA Davis Company
Hughes AD, Schachter M. Hypertension and blood vessels. Hughes AD, Schachter M.
Hipertensi dan pembuluh darah. Br Med Bull 1994;50:356-70. Br Med Bull 1994;
50:356-70.
Mansjoer A, et al. 2002. Gagal ginjal Kronik. Kapita Selekta Kedokteran Jilid II Edisi 3.
Jakarta: Media Aesculapius FKUI.
NIH. 2008. The National Kidney and Urologic Diseases Information Clearinghouse
(NKUDIC). the National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Diseases
(NIDDK). (http://www.kidney.niddk.nih.gov).
Patel, P. R. 2007. Lecture Notes: Radiologi Ed. 2. Surabaya: Erlangga.
Purnomo, Basuki. B. 2011. Dasar – Dasar Urologi. Edisi Ke Tiga. Jakarta :Sagung Seto
Rasad, Sjahriar. 2005. Radiologi Diagnostik Ed. 2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Renal Services & Urology Directorate. 2005. Nephrotic Syndrome. a patients’ guide.
(http://www.kidney.org.uk).
Rindiastuti, Yuyun. 2006. Keperawatan Medikal Bedah, edisi 8. Jakarta: EGC.
Silvia A. Price, Lorraince M. Wilson. Patofisiologi. Jakarta: EGC. 2003.
Sjamsuhidajat, R. & Jong, Wim de. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EG
Smeltzer C.S. dan Bare Brenda. 2003. Brunner and Suddarth’s Textbook of Medical Surgical
Nursing 10th edition. Philadelphia: Lippincott.
Smeltzer, Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner & Suddarth
volume 2. Jakarta: EGC.
Smeltzer,S.C,. Bare,B.G., Hinkle,J.L & Cheever,K.H. (2008 ). Textbook Of Medical –Surgical
Nursing. Ed 12. Philadelpia: Lippincott William & Wilkins.Zhou, Y.L., Liu, H.L.,
Duan, X.F., Yao, Y., Sun, Y., & Liu, Q. (2006). Impact Of Sodium And Ultrafiltration
Profiling On Haemodialysis Related Hypotension. Nephrol Dial Transplant.
21(11).3231-7.
Soeparman & Waspadji . 2001. Ilmu Penyakit Dalam, Jld.I. Jakarta: BP FKU
Sudoyo, Aru W., dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. ed. IV. Jakarta: FKUI. 2006.
Suhardjono, Lydia A, Kapojos EJ, Sidabutar RP. 2001. Gagal Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid II Edisi 3. Jakarta: FKUI.427-434.
Suwitra K. 2006. Penyakit Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 581-584.
Tierney LM, et al. 2003. Gagal Ginjal Kronik. Diagnosis dan Terapi Kedokteran Penyakit
Dalam Buku 1. Jakarta: Salemba Medika
Wilkinson, Judith M. 2007. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC.