Anda di halaman 1dari 28

Tugas 1 Hari/tanggal : Selasa, 6 November 2012

Teknologi Serat, Karet, Kulit, Gum dan Resin Dosen : Dr. Ono Suparno STP.MT

KULIT SAMAK KAMBING, DOMBA, SAPI

Disusun oleh:
Arnis Sinta W. F34090053
Mangarissan S. F34090051
Rizky Amelia F34090056
Pronika Kricella F34090059
Lianitha Kurniawati F34090068
Eka Sandra Putri F34090074
Devina Kurniati F34090078
Shinta Febrianti F34090083

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN


FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INTITUT PERTANIAN BOGOR
2012

1
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Seiring dengan perkembangan teknologi, industri-industri di Indonesia semakin bersaing
untuk memproduksi dan memenuhi kebutuhan masyarakat. Salah satu dari industri yang memiliki
nilai ekonomi tinggi adalah industri penyamakan kulit. Kulit samak merupakan kulit yang dihasilkan
dari proses penyamakan dan berbahan baku dari kulit mentah. Kulit mentah yang digunakan dalam
proses penyamakan berasal dari kulit hewan seperti sapi, kambing, domba, buaya, ular, dan hewan-
hewan lainya. Dalam makalah ini difokuskan pada pembahasan mengenai kulit kambing, domba, dan
kulit sapi.
Fungsi kulit pada hewan adalah untuk melindungi jaringan-jaringan dibawahnya, alat perasa,
dan tempat penyimpanan cadangan energi. Namun, ketika hewan itu telah dipotong, kulit akan
kehilangan fungsinya dan kualitasnya menjadi menurun. Oleh karena itu, diperlukan pengolahan kulit
lebih lanjut, yaitu proses penyamakan. Proses penyamakan kulit pada dasarnya adalah proses
pengubahan struktur kulit mentah yang mudah rusak karena aktifitas mikroorganisme menjadi kulit
samak yang tahan lama. Prinsip dalam proses penyamakan adalah pemasukan bahan-bahan tertentu ke
dalam jalinan serat kulit sehingga terjadi ikatan kimia antara kulit dan bahan penyamak.
Kulit samak merupakan produk dengan nilai jual yang tinggi. Hal ini dikarenakan hasil kulit
samak memiliki sifat yang lebih kuat dan stabil terhadap pengaruh fisik, biologis, dan kimia,
sedangkan kulit mentah yang merupakan bahan dasar kulit samak memiliki sifat yang mudah rusak
dan membusuk. Kulit samak banyak digunakan sebagai bahan baku tas, sepatu, jaket, dompet, ikat
pinggang, dan sebagainya.
Kulit sapi, daging, dan domba merupakan jenis kulit yang paling sering untuk dilakukan
proses penyamakan. Hal ini dikarenakan ketiga jenis hewan ini merupakan hewan yang dagingnya
sering dikonsumsi oleh manusia. Oleh karena itu, penyamakan pada kulit sapi, domba, dan kambing
merupakan proses penyamakan yang sangat baik untuk dilakukan karena bahan baku kulit mentahnya
mudah didapatkan.
Kulit samak yang berasal dari hewan mamalia seperti sapi, kambing dan domba memiliki
nilai ekonomis yang cukup tinggi. Pemanfaatan kulit mentah dalam proses produksi kulit samak
merupakan salah satu upaya memanfaatkan hasil samping industri peternakan, sehingga dapat
memberikan nilai tambah karena produk olahannya memiliki nilai jual yang tinggi. Selain itu,
pendirian industri kulit samak akan meningkatkan pendapatan nasional, membuka peluang usaha yang
dapat menyerap tenaga kerja. Penyamakan kulit terdiri atas banyak proses yang saling berurutan.
Sebelum kulit mentah menjadi kulit samak, kulit mengalami proses penyamakan yang secara umum
dapat digolongkan menjadi tiga tahap, yaitu: pengerjaan rumah basah (beam house operation),
penyamakan (tanning), dan penyelesaian (finishing). Berdasarkan bahan penyamak yang digunakan,
dikenal berbagai jenis cara penyamakan seperti penyamakan nabati, sintetis, minyak, aldehida,
quinon, dan campuran. Selain teknologi proses, makalah ini juga akan membahas mengenai prospek
pemasaran dari produk-produk kulit samak.

B. Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk mengetahui proses pembuatan kulit samak, sentra produksi,
harga bahan baku, tingkat produksi, standar mutu (bahan baku dan produk), produk turunan, dan
manfaat atau kegunaan kulit samak yang berasal dari hewan mamalia seperti sapi, kambing, dan
domba. Selain itu untuk mengetahui tentang kulit samak dilihat dari segi aspek teknologi proses yang
digunakan, aspek lingkungan yang terjadi dan aspek pemasaran.

2
C. Output
Output yang ingin dicapai dari pembuatan makalah ini adalah sebagai sumber informasi
tentang penyamakan kulit dari kulit hewan mamalia seperti sapi, kambing, dan domba. Makalah ini
akan membahas mengenai kulit dan produk turunannya. Pembahasan meliputi beberapa aspek antara
lain, aspek bahan baku, aspek produk, aspek legalitas, aspek teknologi proses, aspek lingkungan dan
aspek pemasaran serta finansial. Aspek bahan baku membahas mengenai sentra produksi, harga dan
standar mutu bahan baku. Sedangkan untuk aspek produk dibahas mengenai pohon industri, jenis dan
manfaat serta standar (SNI atau standar internasional). Pada aspek teknologi akan dibahas mengenai
teknologi proses produksi dan biaya produksi, sedangkan untuk aspek lingkungan akan dibahas
mengenai limbah industri pengolahan kulit, proses pengolahan limbah dan pemanfaatannya. Aspek
pemasaran yang akan dibahas yaitu permintaan produk kulit samak, penawaran ekspor-impor, pangsa
pasar dan prospeknya.

3
TINJAUAN PUSTAKA

A. Bahan Baku
a. Sentra produksi
Salah satu sentra industri penyamakan kulit, yaitu terdapat di daerah Sukaregang, Garut,
Jawa Barat. Luas wilayah sentra adalah 79,75 Ha. Lahan kawasan Sukaregang masih didominasi
oleh penggunaan non terbangun seluas 42,36 Ha atau sekitar 53,21 persen dari total luas
kawasan Sukaregang. Sedangkan luas terbangun yang terdiri dari pemukiman dan kegiatan
industri seluas 37,41 Ha atau sekitar 46,79 persen dari luas kawasan Sukaregang. Lokasi industri
penyamakan memiliki kecenderungan untuk mendekat pada sungai-sungai yang melintasi
kawasan Sukaregang yaitu Sungai Ciwalen dan Cigalumpeng.
Sentra produksi kulit samak ini sudah berkembang dengan baik sejak jaman penjajahan
Belanda. Produk kulit hasil penyamakannya pun sudah cukup dikenal oleh kalangan pelaku
industri kerajinan kulit tidak hanya di wilayah Sukaregang dan Kabupaten Garut, tetapi juga di
kalangan pelaku industri kerajinan kulit di berbagai daerah lainnya di Indonesia. Bahkan,
sebagian kulit samak produksi sentra industri penyamakan kulit Sukaregang, Garut juga diekspor
ke berbagai negara untuk memenuhi kebutuhan bahan baku kalangan industri kulit di luar negeri.
Keterampilan dan keahlian dalam mengolah kulit hewan di kalangan pengusaha industri
penyamakan kulit di Sukaregang, Garut umumnya diperoleh secara turun temurun dari orang tua
mereka. Sebagian pengusaha lainnya mendapatkan keterampilan atau keahlian tersebut melalui
pengalaman kerja bertahun-tahun di industri penyamakan kulit milik pengusaha lainnya.
Keterampilan dan keahlian menyamak kulit hingga kerajinan mengolah kulit hewan menjadi
berbagai produk kerajinan di Kecamatan Sukaregang, Garut seolah-olah sudah menjadi
keterampilan atau keahlian milik bersama seluruh anggota masyarakat. Karena sebagian besar
masyarakat Sukaregang, Garut kini menggantungkan kehidupannya dari kegiatan industri
penyamakan kulit dan industri kerajinan kulit lainnya. Saat ini setidaknya terdapat 330 industri
penyamakan kulit di Kecamatan Sukaregang, Garut.
Kabupaten Garut merupakan daerah yang memiliki potensi domba Garut (Domba
Priangan) yang memiliki kualitas baik sebagai bahan baku industri penyamakan kulit. Kulit
domba diperoleh dari domba Garut (domba priangan). Domba ini adalah hasil persilangan
segitiga antara domba asli, domba merino dan domba ekor gemuk (kapstat) dari Afrika Selatan.
Domba Garut biasanya diternak dengan baik oleh pemiliknya sehingga memiliki kulit dan bulu
yang berkualitas baik. Keunggulan produk kulitnya memiliki susunan penampang (rajah) dan
pori-pori kulit yang halus yang berasal dari ternak tropis dan dipelihara sangat baik.
Di Kecamatan Sukaregang, Garut sendiri terdapat tiga kelompok industri penyamakan
kulit yang sudah cukup mapan. Pertama, industri penyamakan kulit yang memasok kebutuhan
bahan baku kulit untuk industri sepatu. Bahan baku kulit untuk kebutuhan industri sepatu
biasanya lebih tebal dan lebih kaku. Untuk keperluan industri sepatu ini industri penyamakan
kulit biasanya menggunakan bahan mentah dari kulit sapi atau kulit kerbau. Kedua, industri
penyamakan kulit yang memasok kebutuhan bahan baku kulit untuk industri garmen dari kulit.
Biasanya kulit samak untuk industri garmen memiliki ketebalan kulit yang lebih tipis jika
dibandingkan dengan kulit samak untuk industri sepatu. Untuk memenuhi kebutuhan bahan baku
kulit bagi industri garmen dari kulit, biasanya kalangan industri penyamakan kulit menggunakan
bahan mentah berupa kulit kambing atau kulit domba. Selain dipergunakan sebagai bahan baku
untuk industri garmen (seperti jaket kulit), jenis kulit ini biasanya juga dipakai sebagai bahan

4
baku untuk industri sarung tangan golf. Ketiga industri penyamakan kulit yang memasok
kebutuhan bahan baku kulit untuk industri sarung tangan kerja (working gloves) dari kulit. Bahan
kulit mentah yang dipakai untuk proses penyamakan kulit jenis ini biasanya diambil dari hasil
split atau seset dari kulit sapi atau kulit kerbau.
Selain ketiga jenis sentra industri penyamakan kulit tersebut, di Sukaregang, Garut
masih ada sentra industri kulit lainnya, yaitu sentra industri kerupuk kulit. Biasanya bahan baku
untuk industri pembuatan kerupuk kulit ini menggunakan bahan mentah berupa kulit sapi atau
kulit kerbau segar.
Sentra industri kulit di Kabupaten Garut, khususnya di Kecamatan Sukaregang kini
telah berkembang menjadi klaster industri yang cukup lengkap dan mapan, mulai dari industri
hulu berupa industri penyamakan kulit hingga industri hilir berupa industri kerajinan sepatu, tas,
jaket, dompet, ikat pinggang, topi dan lain-lain. Keterkaitan antara industri hulu dengan industri
hilirnya pun sudah terjalin dengan sangat erat sehingga tumbuh menjadi hubungan yang saling
membutuhkan antara satu dengan yang lainnya.
b. Harga
Harga kulit domba per lembar mencapai Rp 90.000,- untuk ukuran besar dengan
panjang 120 cm, sedangkan ukuran kecil dengan panjang 90 cm mencapai harga Rp 30.000,-.
Sedangkan harga kulit kambing per lembar mencapai Rp 40.000,-untuk ukuran besar dan Rp
17.000,- hingga Rp 20.000,- untuk ukuran kecil. Biaya produksi per lembar kulit mencapai Rp
20 ribu. Tiap lembar kulit domba atau kambing tersebut bisa menghasilkan sekitar 18 – 20 feet
(kaki, ukuran 20x20 cm) kulit samak. Harga per feet kulit domba sekitar Rp 5.500. Sedangkan
harga per feet kulit kambing berkisar Rp 3.000 sampai Rp 3.500,-. Harga kulit sapi mentah jenis
ongol/sapi jawa berkisar Rp 12.500/kg, untuk kulit sapi perah seharga Rp 11.000/kg
c. Standar Mutu
SNI (1989) menyebutkan bahwa kulit mentah adalah kulit hewan yang masih dalam
keadaan segar atau kering yang belum atau yang sudah diproses pendahuluan (belum disamak)
masih bersifat belum mantap. Mutu atau kualitas kulit ditentukan oleh : 1). Perlakuan sewaktu
ternak masih hidup (iklim, pakan, luka goresan, bekas cambuk, cap bakar, penyakit), 2).
Perlakuan setelah pemotongan ternak (cara pemotongan dan pengulitan), 3). Perlakuan selama
pengawetan (suhu dan kelembapan ruang, sentuhan logam), 4). Perlakuan selama pengangkutan
(suhu dan kelembapan, air hujan, air laut), 5). Penyimpanan (kelembapan dan waktu) (Saleh,
2004). Secara umum kulit terdiri dari air ± 65%, lemak ± 2%, bahan mineral ± 0,5, protein ±
33%. Protein kulit digolongkan menjadi dua yaitu protein berbentuk (fibrous protein) yang
terdiri dari kolagen ± 29%, keratin ± 2% dan elastin ± 0,3% serta protein tak berbentuk (globular
protein) yang terdiri dari albumin dan globulin ± 1%,serta mucin dan mucoid ± 0,7% (Purnomo,
1984).
Setiap kulit binatang (hewan) dari jenis yang berbeda mempunyai sifat dan karakter
yang berbeda pula. Oleh karena itu kulit binatang dapat dibedakan kualitasnya menurut faktor-
faktor berikut:
1. Macam/jenis binatang (ternak).
2. Area geografi (asal) ternak.
3. Aktivitas ternak
4. Masalah kesehatan ternak
5. Usia ternak
Pembagian kelas kulit berdasarkan berat

5
Perbedaan kelas kulit mentah baik kulit sapi ataupun kerbau dapat diketahui melalui berat tiap-tiap lembar
kulit. Untuk menentukan tingkatan berat inidigunakan tanda abjad (alfabet). Adapun penggolongan kulit
berdasarkan beratnya dapat dijelaskan sebagai berikut.
1.Kelas A: kulit yang beratnya 0 kg - 3 kg/lembar.
2.KelasB: kulit yang beratnya 3 kg - 5 kg/lembar.
3.Kelas C: kulit yang beratnya 5 kg - 7 kg/lembar.
4.Kelas D; kulit yang beratnya 7 kg - 9 kg/lembar.
5. Kelas E: kulit yang beratnya 9 kg/lembar atau lebih,sedangkan untuk menunjukkan kulit sapi diberi
tanda Z. Pembagian kelas kulit mentah sapi dan kerbau berdasar beratnya, jugadapat dilakukan
sebagai berikut:
a. Kelas ringan :kulit yang beratnya 1 kg - 6 kg/lembar.
b. Kelas sedang I : kulit yang beratnya 6 kg - 8 kg/lembar
c. Kelas sedang II.: kulit yang beratnya 8 kg -10 kg/lembar.
d. Kelas berat I : kulit yang beratnya 10 kg -15 kg/lembar.
e. Kulit berat II : kulit yang beratnya lebih dari 15 kg/lembar.
Kualitas kulit kambing/ domba
Persyaratan penentuan kelas kambing/domba, secara garis besar tidak jauh berbeda dengan penentuan
kelas pada kulit sapi dan kerbau. Namun kulit kambing tidak ditentukan berdasarkan beratnya, melainkan ber-
dasarkan panjang tengah-tengah dari ekor hingga leher, dan lebarnya kulit. Oleh karena itu pembagian kelas
kambing/domba dapat dibedakan sebagai berikut.
1. KelasI
2. Kelas II
3. Kelas III
4. Kelas IV
5. Kelas V
6. Kelas akhir kulit yang panjangnya 100 cm, lebar 70 cm. kulit yang panjangnya 100 cm, lebar 60 cm.
kulit yang panjangnya 90 cm, lebar 55 cm. kulit yang panjangnya 80 cm,lebar50. kulit yang panjangnya
70 cm, lebar 45 cm. kulit yang panjangnya kurang dari 70cm..

Spesifikasi kulit domba mentah basah menurut SNI (1992) adalah sebagai berikut:
a. Bau : berbau khas kulit domba
b. Warna dan kebersihan : merata, segar/cerah, bersih dan tidak ada warna yang mencurigakan
c. Bulu : tidak rontok
d. Ukuran kulit : dasar penentuan ukuran kulit dipergunakan lembar kulit atau panjang kulit
dalam cm/ft square
e. Elastisitas : cukup elastis
f. Kandungan air
 Kulit mentah segar : maksimum 66%
 Kulit mentah garaman : maksimum 25%
g. Cacat
 Mekanis : luka cambukan, gores atau potongan pisau, dll
 Parasit: caplak, lalat, dll
h. Bahan pengawet : garam (NaCl) khusus untuk kulit garaman
i. Mutu kulit domba mentah ditetapkan sebagai berikut:
 Mutu Kulit I

6
Berbau khas kulit domba cerah, bersih, tidak ada cacat (lubang-lubang,
penebalan kulit), kandungan airnya pada kulit mentah segar maksimum 66%,
sedangkan pada kulit mentah garaman maksimum 25%.
 Mutu Kulit II
Berbau khas kulit domba cerah, bersih, cukup elastis, terdapat sedikit cacat
diluar daerah punggung (krupon) dan bulu tidak rontok, kandungan airnya pada
kulit mentah segar maksimum 66%, sedangkan pada kulit mentah garaman
maksimum 25%.
 Mutu Kulit III
Berbau khas kulit domba, warna tidak cerah, kurang elastis, kurang elastis,
tidak utuh/ banyak sekali cacat dan kerontokan bulu, kandungan airnya pada kulit
mentah segar maksimum 66%, sedangkan pada kulit mentah garaman maksimum
25%.

Spesifikasi kulit kambing mentah basah menurut SNI (1992) adalah sebagai berikut:
a. Bau : berbau khas kulit kambing
b. Warna dan kebersihan : merata, segar/cerah, bersih dan tidak ada warna yang mencurigakan
c. Bulu : tidak rontok
d. Ukuran kulit : dasar penentuan ukuran kulit dipergunakan lembar kulit atau panjang kulit
dalam cm/ft square
e. Elastisitas : cukup elastis
f. Kandungan air
 Kulit mentah segar : maksimum 66%
 Kulit mentah garaman : maksimum 25%
g. Cacat
 Mekanis : luka cambukan, gores atau potongan pisau, dll
 Termis : cap bakar atau terkena api
 Parasit: caplak, lalat, dll
h. Bahan pengawet : garam (NaCl) khusus untuk kulit garaman
i. Mutu kulit kambing mentah ditetapkan sebagai berikut:
 Mutu Kulit I
Berbau khas kulit kambing cerah, bersih, tidak ada cacat (lubang-lubang,
penebalan kulit), kandungan airnya pada kulit mentah segar maksimum 66%,
sedangkan pada kulit mentah garaman maksimum 25%.
 Mutu Kulit II
Berbau khas kulit kambing cerah, bersih, cukup elastis, terdapat sedikit
cacat diluar daerah punggung (krupon) dan bulu tidak rontok, kandungan airnya
pada kulit mentah segar maksimum 66%, sedangkan pada kulit mentah garaman
maksimum 25%.
 Mutu Kulit III
Berbau khas kulit kambing, warna tidak cerah, kurang elastis, kurang
elastis, tidak utuh/ banyak sekali cacat dan kerontokan bulu, kandungan airnya pada
kulit mentah segar maksimum 66%, sedangkan pada kulit mentah garaman
maksimum 25%.

Spesifikasi kulit sapi mentah basah menurut SNI (1992) adalah sebagai berikut:

7
a. Bau : berbau khas kulit sapi
b. Warna dan kebersihan : merata, segar/cerah, bersih dan tidak ada warna yang mencurigakan
c. Bulu : tidak rontok
d. Ukuran kulit
Berdasarkan berat kulit mentah basah dibagi dalam dua tingkatan, yaitu:
 A = berat < 20 kg
 B = berat > 20kg
e. Elastisitas : cukup elastis
f. Kandungan air
 Kulit mentah segar : maksimum 66%
 Kulit mentah garaman : maksimum 25%
g. Cacat
 Mekanis : luka cambukan, gores atau potongan pisau, dll
 Termis : cap bakar atau terkena api
 Parasit: caplak, lalat, dll
h. Bahan pengawet : garam (NaCl) khusus untuk kulit garaman
i. Mutu kulit sapi mentah ditetapkan sebagai berikut:
 Mutu Kulit I
Berbau khas kulit sapi cerah, bersih, tidak ada cacat (lubang-lubang,
penebalan kulit), kandungan airnya pada kulit mentah segar maksimum 66%,
sedangkan pada kulit mentah garaman maksimum 25%.
 Mutu Kulit II
Berbau khas kulit sapi cerah, bersih, cukup elastis, terdapat sedikit cacat
diluar daerah punggung (krupon) dan bulu tidak rontok, kandungan airnya pada
kulit mentah segar maksimum 66%, sedangkan pada kulit mentah garaman
maksimum 25%.
 Mutu Kulit III
Berbau khas kulit sapi, warna tidak cerah, kurang elastis, kurang elastis,
tidak utuh/ banyak sekali cacat dan kerontokan bulu, kandungan airnya pada kulit
mentah segar maksimum 66%, sedangkan pada kulit mentah garaman maksimum
25%.
d. Tingkat Produksi
Menurut Purnomo (1985), komoditas kulit digolongkan menjadi kulit mentah dan kulit
samak. Kulit mentah adalah bahan baku kulit yang baru ditanggalakan dari tubuh hewan sampai
kulit yang mengalami proses pengawetan atau siap samak (Judoamidjojo, 1974). Kulit mentah
dibedakan atas kulit hewan besar (hides) seperti sapi, kerbau, kuda, dan steer, serta kulit yang
berasal dari hewan kecil (skins) seperti kambing, domba, kelinci, dan termasuk kulit hewan besar
yang belum dewasa seperti kulit anak sapi dan anak kuda (Purnomo, 1985).
Bahan baku yang digunakan untuk penyamakan kulit adalah kulit mentah. Bahan baku
kulit mentah biasanya didapatkan dari Rumah Potong Hewan (RPH), serta pengumpul kulit pada
tingkat kelurahan, tingkat kecamatan, dan tingkat provinsi. Asosiasi Penyamak Kulit Indonesia
(APKI) menyatakan kebutuhan bahan baku industri kulit dalam negeri dipenuhi oleh impor
sebesar 60%. Kulit lokal hanya bisa menyediakan bahan baku kulit sebesar 40%. Data APKI
juga menyebutkan bahwa kapasitas produksi ideal hide sebanyak 15 juta P.A, sedangkan
produksi lokal hanya menunjang hide sebanyak 2 juta P.A. Masih dibutuhkan 13 juta P.A hide
untuk memenuhi kapasitas produksi, yang didapatkan dari impor bahan baku kulit.

8
B. Produk
a. Pohon Industri

Gambar. Pohon Industri

b. Jenis
Berbagai macam kulit hewan baik sapi, kerbau, kambing dan domba pada dasarnya dapat
dibuat menjadi berbagai jenis kulit. Jenis-jenis kulit samak menurut SENADA (2007) yaitu:
1. Full Grain/Full Top Leather
Kulit yang tidak diratakan atau tidak dihaluskan pada bagian atasnya, sehingga bagian
luar kulit secara utuh masih alami dipertahankan selama proses penyamakan.
2. Corrected Grain Leather
Kulit yang memiliki permukaan tambahan/buatan yang di emboss ke dalamnya setelah
dihaluskan lebih baik lagi bagian luar kulit yang kurang bagus.
3. Nappa Leather
Kulit domba yang dinamakan ”Nappa”. Tetapi kata Nappa menjadi istilah lain yang
berarti lembut seperti kulit sapi Nappa.
4. Patched Leather
Kulit yang selesai disamak, dicelup dan melalui proses akhir (finishing) sesuai
keinginan, pengrajin yang terlatih kemudian memilih kulit yang cocok dalam warna dan
teksturnya. Masing-masing lembaran kulit kemudian dipotong dengan tangan ke dalam
ukuran yang berbeda-beda, lalu dijahit ke dalam corak-corak berbentuk mosaik menjadi
produk akhir yang berbeda dari lainnya.
5. Patent Leather
Ketika kulit sapi dikerjakan dengan bahan akhir yang protektif seperti cat acrylic atau
bahan tahan air untuk memproduksi hasil akhir yang sangat mengkilap.
6. Nubuck Leather
Kulit aniline yang telah dihaluskan/diratakan untuk menciptakan bintik (naps). Nubuck
termasuk Top Grain Leather sehingga tak bisa dikategorikan sebagai split atau suede.
Permukaan kulit aniline Nubuck disikat untuk menciptakan tekstur seperti beludru,
sehingga seringkali dikira suede. Suede adalah bagian dalam dari potongan kulit,
sedangkan Nubuck adalah efek yang timbul dari pengerjaan di bagian luar kulit.
7. Suede Leather

9
Ketika kulit di-finish melalui penghalusan dengan roda emory untuk menciptakan suatu
permukaan yang berbintik (naps). Suede terbuat dari lapisan yang dipisahkan dari
bagian top grain suatu kulit.
8. Pull-up Leather
Kulit yang memperlihatkan efek warna meretak bila kulit di tarik ketat. Kulit ini
menggunakan bahan celup full aniline, dan sebagai tambahan memiliki sejenis minyak
dan/atau wax aplikasi, yang menyebabkan warna menjadi terlihat lebih muda ketika
kulit ditarik.
c. Manfaat
Potensi bisnis kulit kambing, sapi, dan domba temyata masih sangat besar. Buktinya,
permintaan yang datang tak hanya dari pasar dalam negeri. Permintaan pasokan kulit ini dari
luar negeri pun tak pernah sepi. Maklum, kulit tersebut bisa digunakan untuk berbagai keperluan,
mulai dari busana hingga kerajinan tangan. Di dalam negeri, permintaan kulit-kulit ini lebih
banyak untuk bahan baku kerajinan tangan dan perabotan. Sementara, pasar luar negeri lebih
sering menggunakan kulit hewan ternak ini untuk berbagai produk garmen mewah. Misalnya
jaket, sarung tangan, hingga tas golf eksklusif. Namun, banyak juga yang menjadikan kulit sapi
sebagai produk pangan yaitu kerupuk kulit. Hal ini dikarenakan pada kulit sapi mengandung zat
yang bermanfaaat bagi tubuh diantarnya, protein, lemak, mineral, dan natrium glutamat.
Kulit domba dan kambing memang terkenal akan kualitasnya yang prima jika
digunakan sebagai bahan baku produk. Selain itu, kulit domba dan kambing memiliki tingkat
kelembutan yang tinggi. Sehingga, kulit ini menjadi pilihan bahan baku produk yang paling
digemari para konsumen.
Proses pembuatan kulit dimulai dari pengumpulan kulit domba dan kambing dari
berbagai peternakan. Setelah itu kulit disamak dan dilanjutkan dengan pewarnaan menggunakan
pewarna khusus kulit. Kemudian, mulailah tahap pengeringan serta penyelesaian akhir. Setelah
itu, kulit siap dibuat menjadi produk jaket, tas golf, sarung tangan, sepatu, produk-produk lain..
1. Kulit Sapi
Sapi banyak dikonsumsi masyarakat luas, kulitnya banyak dibutuhkan dalam industri
kerajinan, karena kepadatan kulitnya yang memberikan kekuatan, ukurannya lebih lebar,
tebal dan hasilnya lebih mengkilat. Bahkan bagian dalam kulit hasil split dapat
diperdagangkan secara terpisah,misalnya untuk pakaian dalam yang tipis tetapi cukup kuat.
2. Kulit Kambing
Kulit kambing banyak terdapat di Indonesia dan digunakan sebagai bahan baku pembuatan
barang kerajinan. Ukurannya tidak terlalu lebar, sekitar 28 x 28 cm dengan hasil samakan
mengkilap dan ada pula yang berwarna. Kualitasnya berbeda-beda berdasarkan jenis kulit
hasil pengolahannya.
3. Kulit Domba
Selain ukurannya yang agak kecil dan bentuknya memanjang, kulit domba tidak banyak
berbeda dengan kulit kambing.
Hasil olahan kulit dalam bentuk non pangan lebih banyak dalam bentuk kulit
tersamak (leather) melalui proses penyamakan. Beberapa jenis produk leather yang kita
kenal adalah sebagai berikut (Anonim,2011) :
- Kulit sol
Kulit sol biasanya berasal dari kulit tebal yang mempunyai struktur serat yang kuat dan
padat misalnya kulit sapi dan kerbau. Jenis kulit ini kaku dan sulit dibengkokkan.

10
Penggunaannya sebagai bahan sol sepatu untuk militer/polisi serta pekerja pabrik. Kulit sol
diolah dengan melalui penyamakan nabati.
- Kulit vache
Kata vache berasal dari bahasa Perancis “la vache” yang berarti sapi. Kulit ini lebih lemas
dibanding sol dan banyak digunakan untuk sol dalam dan kap pembuatan sepatu cara
modern. Kulitnya berasal dari sapi .
- Kulit raam
Kulit raam adalah jenis kulit vache digunakan untuk menyambung kulit atasan dengan kulit
bawahan dan diperdagangkan sebagai lajuran dengan lebar 12-18 mm dan tebal 1,8-2,2
mm. Warna biasanya disesuaikan dengan warna kulit sapi.
- Kulit box
Kata box merupakan contoh dari kulit atasan yang berasal dari kulit sapi melalui
penyamakan chrome. Sifat kulit ini lemas, struktur kuat serta nerf tidak mudah pecah dan
lepas. Banyak digunakan sebagai bahan sepatu kantor atau kerja.
- Kulit fahl
Kulit fahl merupakan bahan untuk kulit atasan berasal dari kulit sapi yang disamak nabati
dan diberi gemuk tidak berwarna atau berwarna kehitaman. Sifatnya tahan air, lemas dan
kekuatan tariknya tinggi. Banyak digunakan sebagai bahan sepatu gunung, militer maupun
sepatu lapangan
- Kulit tahan air
Kulit ini merupakan kulit atasan melalui proses penyamakan chrome, kombinasi dan nabati.
Kulit diberi gemuk agar tahan terhadap air dan banyak digunakan sebagai bahan pembuatan
sepatu berat, laras, sport dan ski. Kadar gemuknya mencapai 15-21%. Jenis kulit ini berasal
dari kulit sapi
- Kulit nubuk dan velour
Kulit ini berasal dari kulit sapi yang disamak chrome dan pada bagian atas (nerf) digosok
sedikit sehingga bila diraba akan terasa seperti beludru.
- Kulit chevrau
Kulit ini dibuat dari kulit kambing yang disamak chrome yang digunakan sebagai bahan
kulit atasan. Kulit ini biasa juga disebut kulit glase.
- Kulit chevrette
Kulit ini berasal dari domba yang disamak chrome. Kekuatannya sedikit berada dibawah
kulit chevrau sehingga kebanyakan dibuat untuk jenis sepatu rumah.
- Kulit blank
Kulit ini kebanyakan diolah dengan samak nabati sifatnya elastis tidak mudah
dibengkokkan dan kuat. Digunakan sebagai bahan untuk sadel, tas, ransel. Bahannya
berasal dari kulit sapi.
- Kulit vachet
Kulit ini berbahan mentah kulit sapi dan digunakan sebagai bantal pada kursi dan peralatan-
peralatan rumah tangga lainnya.
- Kulit mebel
Kulit ini mirip dengan kulit blank namun jumlah gemuk yang diberikan lebih banyak, elastis
dan kuat.
- Kulit halus
Yang tergolong kulit ini adalah kulit sampul buku dan kulit tas. Bahan mentahnya berasal
dari kulit sapi, kambing dan domba yang disamak nabat

11
d. Standar SNI atau Standar Internasional

Kulit samoa dibuat dari kulit domba atau anak sapi yang disamak menggunakan minyak ikan
hingga memiliki karakter lembut dan lemas. Kulit jenis ini dapat digunakan untuk penyarinagn minyak
industri dan industri alat optik.

Tabel Persyaratan mutu kulit samoa menurut SNI 06-1752-1990

Persyaratan
No Jenis Uji Satuan Keterangan
Minimum Maksimum

Sifat Kimia :

1 Kadar Minyak % - 10

2 Kadar Abu % - 5

Sesudah disarikan
3 pH - - 8
minyaknya

Sifat Fisis :

1 Tebal Mm 0.3 1.2

Ketahanan Gosok Cat


Tutup
2
-Kering - 5 -

-Basah - 4 -

3 Kekuatan Sobek N/mm2 15 -

4 Kekuatan Jahit N/mm2 40

5 Kemuluran % 50 -

Penyerapan air

6 2 jam % 100

24 jam % 200

7 Kekuatan Tarik N/mm2 7.5

Organoleptik :

1 Keadaan Kulit - Halus Seperti Beledu

Kuning Muda/
2 Warna -
Mendekati Putih

(Sumber : Anonim, 2011)


Kulit sapi belahan samak nabati untuk sol dalam ialah kulit jadi yang dibuat dari kulit
belahan dalam yang disamak masak dengan bahan penyamak nabati, untuk pembuatan sol dalam.

12
Tabel Syarat Mutu Kulit Sapi Belahan Samak Nabati untuk Sol Dalam Berdasar SNI 06-0568-1989

N Persyaratan
Jenis Uji Satuan Keterangan
o Minimum Maksimum

Sifat Kimia :

1 Kadar Air % - 20

2 Kadar Abu % - 2.5

Kadar Minyak dan/atau


3 Lemak % - 2

4 Kadar Zat Larut dalam Air % - 16

5 Derajat Penyamakan - 60 95

6 pH - 3.5 7
untuk pH = (3.5-4.5)
apabila cairan
diencerkan 10 kali,
selisih pH sebelum dan
pH sesudah diencerkan
harus kurang dari 0.7

Sifat Fisis :

1 Tebal Rata-rata Mm 1

2 Penyamakan - masak -

3 Penyerapan Air

- 2 jam % - 75

- 24 jam % - 100

4 Kuat Tarik kg/cm2 150

baik, tidak
5 Kuat Bengkak - pecah

6 Berat Jenis - - 1

Organoleptik :

Keadaan dan Warna


1 Permukaan Kulit - rata -
Bekas goresan pisau
2 Keadaan Kulit - dipres padat -
maks 10% terhadap
3 Warna Penampang Kulit - rata - luas kulit

(Sumber : Kemenperin, 2009)

13
Kulit lapis domba atau kambing samak kombinasi adalah kulit jadi (matang) yang
dibuat dari kulit domba atau kambing yang disamak dengan bahan penyamak krom dan
nabati.

Tabel Syarat Mutu Kulit Lapis Domba Berdasar SNI 06-0463-1989

Persyaratan Keterangan
No Jenis Uji Satuan
Minimum Maksimum

Sifat Kimia :

1 Kadar Air % - 18

Kadar
2 Minyak/Lemak % 3 8

Kadar Zat Larut 2 di atas kadar


3 dalam Kulit % - kromium oksida

4 Kadar Abu % -

5 Kadar Krom Oksida % 1.5 -

6 Derajat Penyamakan - 25 -

untuk pH = (3.5-
4.5) apabila cairan
diencerkan 10 kali,
selisih pH sebelum
dan pH sesudah
diencerkan harus
7 pH - 3.5 7 kurang dari 0.7

Sifat Fisis :

1 Tebal Mm 0.7 1.2

2 Lastibility nerf tidak pecah

3 Kekuatan Tarik kg/cm2 75

4 Kemuluran % - 25

5 Penyerapan Air % 60

-2 Jam 80

-24 Jam

Organoleptik :

1 Nerf Licin, warna muda

2 Bagian Daging Bersih dari sisa

14
daging

3 Keadaan kulit Cukup lemas

(Sumber : Kemenperin, 2009)


Kulit lapis sapi atau kerbau krom - nabati adalah kulit jadi tersamak yang terbuat dari
kulit sapi atau kerbau yang disamak dengan bahan penyamak kombinasi krom-nabati sebagai
bahan pelapis.

Tabel Syarat Mutu Kulit Lapis Sapi Samak Krom Campuran Berdasar SNI 06-0484-1989

Persyaratan Keterangan
No Jenis Uji Satuan
Minimum Maksimum

Sifat Kimia :

1 Kadar Air % - 18

2 Kadar Minyak/Lemak % 2 6

Kadar Zat Larut dalam


3 % - 6
Kulit

4 Kadar Abu % -

5 Kadar Krom Oksida % 2 -

6 Derajat Penyamakan - 25 -

untuk pH = (3.5-
4.5) apabila cairan
diencerkan 10 kali,
7 pH - 3.5 7 selisih pH sebelum
dan pH sesudah
diencerkan harus
kurang dari 0.7

Sifat Fisis :

1 Tebal Mm 0.7 1.2

2 Lastibility nerf tidak pecah

3 Kekuatan Tarik kg/cm2 100

4 Kemuluran % - 80

5 Penyerapan Air %

- 2 Jam 80

- 24 Jam 100

15
Organoleptik :

Warna coklat muda


1 Nerf
dan rata

(Sumber : Kemenperin, 2009)


C. Proses Produksi
a. Teknologi Proses Produksi
Teknik mengolah kulit mentah menjadi kulit samak disebut penyamakan. Mekanisme
penyamakan kulit pada prinsipnya adalah memasukkan bahan tertentu (bahan penyamak)
kedalam anyaman atau jaringan serat kulit sehingga terjadi ikatan kimia antara bahan penyamak
dengan serat kulit (Purnomo, 1987). Menurut Fahidin dan Muslich (1999), teknik penyamakan
kulit dikelompokan menjadi 3 tahapan, yaitu proses pra penyamakan, penyamakan, dan pasca
penyamakan.
1. Pra penyamakan
Proses pra penyamakan (Beam House Operation) meliputi perendaman, pengapuran,
pembuangan daging, pembuangan kapur, pengikisan protein, pemucatan dan pengasaman
(Purnomo, 1987).
a. Perendaman (soaking) merupakan tahapan pertama dari proses penyamakan yang bertujuan
mengembalikan kadar air kulit yang hilang selama proses pengawetan sehingga kadar airnya
mendekati kadar air kulit segar.
b. Pengapuran bertujuan menghilangkan epidermis dan bulu, kelenjar keringat dan lemak, serta
menghilangkan semua zat-zat yang bukan kolagen. Kapur yang masih ketinggalan akan
mengganggu proses penyamakan.
c. Pembuangan daging (fleshing) bertujuan menghilangkan sisa-sisa daging yang masih melekat
pada kulit dan menghilangkan lapisan subkutis (lapisan antara daging dan kutis). Proses
pembuangan bulu (scudding) bertujuan menghilangkan sisa-sisa bulu beserta akarnya yang
masih tertinggal pada kulit (Fahidin dan Muslich, 1999).
d. Pembuangan kapur (deliming) bertujuan menghilangkan kapur dan menetralkan kulit dari
Suasana basa akibat pengapuran, menghindari pengerutan kulit ketika pengasaman, serta
menghindari timbulnya endapan kapur yang dapat bereaksi dengan bahan penyamak. Proses
pembuangan kapur biasanya menggunakan garam ammonium sulfat (ZA) yang nantinya
dicampur dengan asam sulfat.
e. Pengikisan protein (bating) bertujuan melanjutkan pembuangan semua zat-zat bukan kolagen
Yang belum terhilangkan dalam proses pengapuran. Pengikisan protein ini dilakukan oleh
enzim protease. Pengikisan ini diutamakan untuk globular protein yang terdapat diantara
serat kulit dan elastin. Dengan terurainya protein ini maka akan terdapat banyak ruang
kosong diantara serat-serat kulit sehingga kulit samakan menjadi lebih lunak dan lemas.
Waktu bating yang berlebihan dapat menyebabkan kulit menjadi menipis karena banyak
protein yang terhidrolisis mengakibatkan kekuatan tarik menjadi rendah, sedangkan waktu
bating yang terlalu singkat menyebabkan terjadinya pemisahan serat-serat fibril yang tidak
sempurna dan penetrasi bahan penyamak kurang merata.
f. Pengasaman (pickling) berfungsi mengasamkan kulit sampai pH tertentu untuk
menyesuaikan dengan penyamak krom yang mempunyai pH 2.5 - 3. Selain itu, pengasaman
juga dilakukan untuk menghilangkan noda hitam pada kulit akibat proses sebelumnya,
menghilangkan unsur besi pada kulit serta menghilangkan noda putih karena pengendapan
CaCO3 yang menyebabkan cat dasar tidak merata (Purnomo, 1987).

16
2. Penyamakan
Penyamakan bertujuan mengubah kulit mentah yang mudah rusak oleh aktivitas kajian
lapangan organisme, kimia maupun fisik menjadi kulit tersamak yang lebih tahan terhadap
pengaruhpengaruh tersebut. Bahan penyamak dapat berasal dari bahan nabati (tumbuh-
tumbuhan), mineral, dan minyak. Bahan penyamak nabati dapat berasal dari kulit akasia,
manggis, buah pinang, gambir dan lain-lain. Bahan penyamak mineral adalah garam-garam yang
berasal dari logam-logam aluminium, zirkonium, dan kromium. Bahan penyamak dari minyak
dapat berasal dari minyak ikan hiu atau ikan lainnya. Penggunaan bahan penyamak akan
mempengaruhi sifat fisik dari kulit, seperti kelemasan, ketahanan terhadap panas/dingin,
terhadap gesekan, dan lain-lain (Purnomo, 1987). Kulit yang disamak dengan penyamak nabati
akan berwarna seperti warna bahan penyamaknya, mempunyai ketahanan fisik yang kurang baik
terhadap panas. Sifat dari kulit yang disamak yaitu agak kaku tetapi empuk, cocok untuk bahan
dasar ikat pinggang dan tas.
Mekanisme pada penyamakan nabati yaitu mereaksikan gugus-gugus hidroksil yang
terdapat dalam zat penyamak dengan struktur kolagen kulit dan membuat reaksi ikatan dari
molekul zat penyamak dengan molekul zat penyamak lainnya hingga seluruh ruang kosong yang
terdapat diantara rantai kolagen terisi seluruhnya. Proses penyamakan akan berlangsung
sempurna jika kolagen telah menyerap kira-kira separuh dari berat zat penyamak yang
digunakan. Dalam penyamakan nabati, pH dan kepekatan dari larutan bahan penyamaknya harus
diatur. Pada pH tinggi, bahan penyamak nabati mempunyai zarah-zarah yang lebih halus
dibanding pada pH rendah. Pada kepekatan rendah, penyamak nabati mempunyai ukuran zarah
yang lebih kecil dibanding pada kepekatan tinggi. Dengan demikian, kondisi yang diberlakukan
pada penyamakan nabati adalah dimulai dengan pH tinggi dan kepekatan rendah kemudian
diakhiri dengan pH rendah dan kepekatan tinggi (Purnomo, 1987).
Bahan penyamak mineral yang paling banyak digunakan yaitu krom. Hal ini karena
krom memiliki sifat-sifat khusus yang berhubungan dengan struktur molekul bahan krom itu
sendiri. Penyamakan menggunakan krom menghasilkan kulit dengan tekstur yang lebih lemas
dibanding penyamak nabati, tahan terhadap panas yang tinggi, daya tarik tinggi dan
memungkinkan hasil yang lebih baik bila dilakukan pengecatan. Kulit ini cocok untuk kulit
atasan sepatu, baju, sarung tangan, dan lain-lain.
Mekanisme dari penyamakan krom yaitu membentuk ikatan dengan asam-asam amino
dalam struktur protein kolagen yang reaktif. Besar kecilnya molekul krom akan berpengaruh
terhadap daya penetrasinya. Hal ini erat kaitannya dengan basisitas dari krom. Proses
penyamakan diawali dengan basisitas yang rendah (sekitar 33%) dan diakhiri dengan basisitas
yang tinggi (sekitar 66%). Pada basisitas rendah, krom mempunyai daya penetrasi yang baik
terhadap jaringan kulit walaupun daya ikatnya terhadap kulit lemah. Pada basisitas tinggi, daya
penetrasi krom rendah namun daya ikatnya tinggi sehingga krom mampu berikatan dengan
jaringan kulit secara sempurna (Purnomo, 1987).
3. Pasca penyamakan
Pasca penyamakan bertujuan membentuk sifat-sifat tertentu pada kulit terutama
berhubungan dengan kelemasan, kepadatan, dan warna kulit. Proses tersebut terdiri atas
netralisasi, pewarnaan, perminyakan, pengecatan, pengeringan, pelembaban, dan pelemasan
(Fahidin dan Muslich, 1999).
a. Penetralan (neutralization) bertujuan mengurangi kadar asam dari kulit yang disamak
menggunakan krom agar tidak menghambat proses pengecatan dasar dan perminyakan
(Purnomo, 1985).

17
b. Pewarnaan dasar memiliki fungsi sebagai pemberian warna dasar pada kulit tersamak seperti
yang diinginkan. Pemberian warna disesuaikan dengan bentuk produk akhir yang
direncanakan.
c. Peminyakan (fat liquoring) bertujuan melicinkan serat kulit sehingga lebih tahan terhadap
gaya tarikan, menjaga serat kulit agar tidak lengket sehingga lebih lunak dan lemas, dan
memperkecil daya serap, serta membuat kulit lebih fleksibel (mudah dilekuk dan tidak
mudah sobek).
d. Pengecetan bertujuan memenuhi selera konsumen. Pengecatan zat warna hanya melekat di
permukaan dalam media bahan perekat yang fungsinya melekatkan warna dan memperbaiki
permukaan kulit.
e. Pengeringan bertujuan menghentikan semua reaksi kimia di dalam kulit.
f. Pelembaban biasanya dilakukan selama 1-3 hari pada udara biasa agar kulit menyesuaikan
dengan kelembaban udara disekitarnya. Proses ini menyebabkan jumlah air bebas atau air
tidak terikat di dalam kulit meningkat sehingga kulit siap menerima perlakuan fisik pada
proses pelemasan.
g. Pelemasan dilakukan dengan tujuan melemaskan kulit dan mengembalikan luas kulit yang
hilang (mengkerut) selama proses pengeringan.
Mutu kulit samak (leather) selain dipengaruhi oleh proses yang dilakukan di industri
penyamakan kulit, juga sangat bergantung pada mutu kulit mentah sebagai bahan dasarnya.
Sementara itu, mutu kulit mentah dipengaruhi oleh kerusakan kulit yang terjadi pada saat hewan
hidup, pemotongan, dan pengawetan. Purnomo (1985), membagi kerusahan kulit mentah
menjadi:
a. Kerusakan antemoterm, yaitu kerusakan yang terjadi pada hewan hidup.
b. Kerusakan postmortem, yaitu kerusakan yang terjadi pada waktu pengulitan, pengawetan,
penyimpanan, dan transportasi.
Selain kerusakan tersebut, mutu kulit juga dipengaruhi oleh bangsa, jenis kelamin, dan
umur ternak waktu dipotong. Pada setiap spesies terdapat perbedaan antara kulit hewan jantan
dan betina. Kulit hewan betina mempunyai rajah yang lebih halus dan bobot rata-rata lebih
ringan daripada kulit hewan jantan, tetapi mempunyai daya tahan renggang yang lebih besar
dibanding jantan. Perbedaan yang dipengaruhi oleh umur hewan dapat menurunkan mutu kulit
samak. Kulit hewan muda pada umumnya mempunyai struktur yang halus dan kompak, tetapi
kurang tahan terhadap pengaruh dari luar. Pada hewan tua, lapisan rajah makin kuat dan kasar.
b. Perkiraan Biaya Produksi
Kulit yang telah disamak dijual dalam satuan luas per square foot, kecuali kulit fur dan
reptil. Komponen utama biaya langsung (variable cost) pada industri pengolahan kulit samak
adalah biaya bahan baku, bahan pembantu, tenaga kerja, air, listrik, penanganan limbah, dan
biaya pemeliharaan, sedangkan komponen biaya tidak langsung (overhead cost) pada industri
pengolahan kulit samak adalah biaya administrasi, supervisi, penjualan, transportasi,
komunikasi, sewa, bunga bank, pajak, asuransi, dan penyusutan gedung dan peralatan.
a. Biaya Langsung (Variable Cost)
Biaya langsung (variable cost) merupakan biaya yang langsung dipengaruhi oleh
banyakya (unit) barang yang diproduksi. Pada industri pengolahan kulit samak, harga bahan
baku (kulit mentah) sangat berfluktuasi mencapai 50% tergantung pada ketersediaan kulit
mentah dan permintaan pasar. Kulit mentah dibeli dengan satuan berat atau satuan lembar
sedangkan penjualannya dilakukan dalam satuan luas. Rasio luas yang dihasilkan diekspresikan

18
dalam satuan sq ft per kg. Rasio tersebut dipengaruhi oleh jenis ternak, waktu pemotongan, dan
teknik pengulitan.
 Kulit setelah penggaraman dengan berat lebih dari 20 kg, menghasilkan kulit jadi dengan
luas 1 – 2 sq ft/kg, dengan rataan 1,5 sq. ft./kg.
 Kulit setelah penggaraman dengan berat antara 10 – 20 kg menghasilkan kulit jadi
dengan luas 2,0 – 2,5 sq ft/kg.
 Kulit kecil (skin) dengan berat kulit setelah penggaraman dibawah 4 kg menghasilkan
kulit jadi dengan luas antara 3,0 – 4,0 sq.ft/kg
Kulit mentah akan mengalami penyusutan sampai dengan 10% dari rasio tersebut.
Biaya kulit mentah dapat mencapai 50% atau lebih dari total biaya kulit samak, sehingga biaya
kulit mentah menjadi faktor utama yang diperhatikan oleh perusahaan pengolahan kulit.
Dikarenakan kontribusi biaya kulit mentah yang sangat besar maka sebaiknya proses
penyamakan kulit dilakukan dengan hati-hati agar kulit tidak rusak. Penanganan yang dilakukan
adalah penyesuaian antara tebal kulit mentah dengan permintaan ketebalan kulit samak sehingga
dapat mengurangi hilangnya kulit karena splitting dan shaving, mengurangi limbah trimming,
dan menghindari kerusakan mesin yang dapat menjadikan kulit bolong atau sobek. Maksimal
kerusakan kulit yang dapat terjadi pada proses produksi adalah 5%.
Bahan pembantu (zat kimia) digunakan dalam proses soaking, liming, tanning,
peminyakan, pewarnaan, finishing dan lain-lain. Bahan kimia untuk proses basah (beam house)
biasanya dihitung berdasarkan pada berat kulit mentah, proses tanning berdasarkan pada berat
bloten, proses dyeing didasarkan pada berat shaving, dan proses finishing dihitung secara
keseluruhan berdasarkan zat kimia yang menempel pada kulit dan zat kimia yang terbuang (over
spray, kelebihan mencampur, dan lain sebagainya).
Tenaga kerja adalah tenaga kerja yang langsung berhubungan dengan proses produksi
kulit seperti tenaga kerja pada bagian beam house; proses tanning; proses drying, shaving,
splitting, persiapan untuk finishing, dan proses finishing. Komposisi untuk biaya tenaga kerja
pada industri penyamakan kulit adalah beam house 12%, proses tanning 11%, proses drying,
shaving, dan splitting 25%, persiapan untuk finishing 24%, dan proses finishing 28%. Pada
umumnya kulit yang dapat dihasilkan per jam kerja tenaga kerja adalah 17 sq ft per jam untuk
kulit besar, 14 sq ft per jam untuk kulit sedang, dan 10 sq ft per jam untuk kulit kecil.
Biaya utilitas yang diperhitungkan dalam industri penyamakan kulit adalah air, energi
(listrik, panas, dan lampu), penanganan limbah, maintenance mesin. Besarnya biaya untuk
utilitas tergantung dari kulit yang diolah, skala pabrik, lokasi, dan fasilitas yang ada.
b. Biaya Tidak Langsung (Overhead Cost)
Biaya tidak langsung (overhead cost) merupakan biaya yang tidak langsung
dipengaruhi oleh banyaknya (unit) barang yang diproduksi. Biaya ini dikenal juga dengan istilah
biaya tetap (fixed cost). Untuk memperkirakan biaya tidak langsung biasanya didasarkan pada
data historis perusahaan atau mengacu pada data perusahaan lain yang sejenis dengan skala
usaha yang sama. Dalam situasi era perdagangan bebas, produksi dapat sangat berfluktuasi tidak
hanya jumlahnya tetapi juga jenis produk yang diproduksi, hal ini tergantung pada ketersediaan
produk dan permintaan pasar karena beberapa produk kulit bersifat musiman. Walaupun
produksi berfluktuasi tetapi biaya tetap pada umumnya relatif tidak berfluktuasi. Biaya tidak
langsung pada industri penyamakan kulit berkisar antara 10% - 20% dari total penjualan.
Menurut Gumilar (2010), kecepatan waktu produksi dipengaruhi oleh kecepatan proses
dari bahan baku sampai menjadi kulit jadi (leather) dan akan berpengaruh terhadap kecepatan
penjualan pula. Kecepatan waktu produksi ini berpengaruh terhadap perputaran modal (capital

19
turnover), semakin cepat produksi maka semakin cepat dijual dan semakin cepat pula menerima
pembayaran. Semakin singkat waktu mengeluarkan uang untuk proses produksi dengan
penerimaan uang dari konsumen maka biaya modal menjadi lebih sedikit. Kecepatan waktu
produksi juga berpengaruh terhadap kuantitas produksi dan kuantitas penjualan sehingga total
biaya produksi menjadi lebih efisien.
Harga pokok produksi merupakan jumlah dari biaya-biaya yang melekat pada suatu
produk yang diproduksi oleh suatu perusahan. Ada tiga elemen pokok biaya dalam suatu
perusahaan manufaktur, yaitu biaya bahan baku (material cost), biaya tenaga kerja (labor cost),
dan biaya produksi (indirect manufacturing expenses). Biaya bahan baku terdiri dari direct
material cost dan indirect material cost. Direct material cost adalah biaya semua bahan yang
secara fisik dapat di identifikasi sebagai bagian dari produk jadi dan biasanya merupakan bagian
terbesar dari material pembentuk harga pokok produksi. Biaya tenaga kerja dibagi menjadi direct
labor cost dan indirect labor cost. Direct labor cost adalah semua biaya yang menyangkut gaji
dan upah seluruh pekerja yang secara praktis dapat diidentifikasi dengan kegiatan dari
pengolahan bahan baku menjadi produk jadi. Indirect manufacturing expenses meliputi semua
biaya produksi selain ongkos utama (direct material cost dan direct labor cost) yang bersifat
menunjang atau memperlancar proses produksi dan dibebankan terhadap pabrik
Perhitungan untuk harga pokok produksi pada industri penyamakan kulit adalah:
 Biaya bahan baku (harga kulit mentah) : Rp 15.000 / inchi
 Biaya tenaga kerja: Rp 3.400 / jam
 Biaya zat kimia (keseluruhan) : Rp 2.000 / sq. ft
 Biaya utilitas (peralatan, dll) : Rp 500 / sq. ft.
Catatan:
 Kulit besar lebih dari 20 kg dapat menghasilkan 1,5 sq ft / kg kulit jadi, jadi biaya bahan
baku per square foot:
Biaya bahan baku per square foot = 15.000 / 1,5 = Rp 10.000 / sq.ft.
 Tingkat penyusutan kulit mentah adalah 10%, dan kerusakan produksi sebanyak 5%, jadi
biaya bahan baku total:
Biaya bahan baku total = Rp 10.000 + (15 % x Rp 10.000) = Rp 11.500 / sq. ft.
 Tenaga kerja dapat menghasilkan 17 sq ft / jam. Jadi biaya tenaga kerjanya:
Biaya tenaga kerja = 3.400 / 17 = Rp 200 / sq ft
 Jadi Harga Pokok Produksi Kulit tersebut adalah:
HPP = Biaya bahan baku + Biaya zat kimia + Biaya tenaga kerja langsung + Biaya utilitas
HPP = Rp 11.500 + Rp 2.000 + Rp 200 + Rp 500 = Rp 14.200 / sq. Ft
Laba usaha dikenal pula dengan marjin usaha. Menurut Gumilar (2010), dikenal dua
jenis laba usaha, yaitu marjin kontribusi (contribution margin) atau marjin bruto (gross margin).
Marjin kontribusi adalah kelebihan dari penjualan atas seluruh biaya variabel. Marjin kontribusi
dapat dinyatakan sebagai suatu angka yang menunjukkan total, sebagai suatu angka perunit,
sebagai rasio, dan sebagai persentase. Marjin bruto adalah suatu pengertian yang digunakan
secara luas, khususnya di dalam industri eceran. Marjin bruto dirumuskan sebagai kelebihan
penjualan atas harga pokok penjualan (yaitu harga pokok barang dagangan yang dibuat atau
dibeli dan dijual kembali). Sebagai contoh, harga jual kulit sapi adalah Rp 19.000 / sq. ft dan
harga pokok produksinya sebesar Rp 14.200 / sq. ft, sehingga marjin / laba bruto penjualan kulit
sapi tersebut adalah :
Laba Bruto = Penjualan – harga pokok produksi
Laba Bruto = Rp 19.000 – Rp 14.200 = Rp 4.800

20
Break event point atau titik pulang pokok adalah suatu studi mengenai kaitan antara
biaya, volume, dan laba dimana kondisi perusahaan memperoleh laba bersih sama dengan nol.
Biaya terdiri dari biaya langsung (variable cost) dan biaya tidak langsung (overhead cost / fixed
cost). Laba bersih adalah kelebihan dari penjualan atas seluruh variable cost dan fixed cost.
Penjualan merupakan harga jual per unit barang dikalikan dengan volume barang terjual.
Laba bersih = Penjualan – variable cost – fixed cost
BEP pada kondisi Laba bersih = 0
Penjualan = Variable cost + Fixed cost
(Q x P) = (Q x C) + Fc
Q = jumlah
P = harga jual per sq. ft.
C = harga pokok produksi per sq. ft
Fc = total biaya tetap per periode
Jika diketahui biaya tetap perusahaan = Rp 50.000.000 per bulan maka agar perusahaan
tidak mengalami kerugian (BEP), jumlah minimal kulit yag harus diproduksi adalah:
(Q x P) = (Q x C) + Fc
Q x (P - C) = Fc
Q x (19.000 - 14.200) = 50.000.000
Q = 50.000.000 / 4.800
Q = 1.041,67 sq. ft
D. Limbah Industri, Pengolahan dan Pemanfaatanya.
1. Limbah proses pengawetan
Limbah cair yang dihasilkan merupakan bahan organik, sehingga dapat dipakai sebagai bahan baku
pupuk cair. Menerapkan good house keeping agar tidak terdapat lagi ceceran garam.Hal ini dapat
dilakukan dengan mengumpulkan garam-garam sisa dari pengawetan, dan menggunakannya
kembali, mengumpulkan air yang keluar dari kulit pada suatu wadah, agar baunya bisa
diminimalkan dan membuat tempat khusus (bak khusus) untuk pengawetan dan mengalirkan air
keluar yang dari kulit menggunakan pipa menuju bak penampungan limbah cair. Pada proses pengurangan kadar
garam.
Meminimalkan penggunaan air dan mengumpulkan limbah cair tersebutke dalam
suatu wadah serta penggunaan kembali air tersebut pada prosesyang sama untuk selanjutnya.
Mengolah sisa garam yang mengkristal pada molen, misalnya dilakukanpengeringan agar
dapat digunakan kembali garam tersebut pada prosespengawetan. Mengoptimalkan penggunaan
garam dengan cara meminimalisirpenggunaan garam. Mendesain instalasi pembuangan air dengan baik
menggunakan pipa, agar sisa air pada proses ini tidak tercecer dan menerapkan good housekeeping.
Membersihkan garam yang mengkristal pada molen setelah prosespenggaraman.
2. Limbah proses perontokan bulu
Mengumpulkan bulu yang terbuang dan memanfaatkannya menjadi suatuproduk lain. Contohnya: bulu
dapat diolah menjadi benang wall, unutk pupuk kompos, untuk industri jaket (dijual ke industri
yangmembutuhkan) dan dimanfaatkan pula untuk berbagai bentuk kerajinantangan.
Mengumpulkan limbah air tersebut pada suatu wadah/ kolam untuk dilakukan proses pengolahan
lebih lanjut karena mengandung zat kapurdan sianida. Zat kapur dan sianida dipisahkan dari air dengan
cara diendapkan yangdigunakan kembali untuk proses perontokan bulu. Meminimalisir penggunaan zat
kapur dan sianida.
3. Limbah proses pencucian

21
Pada proses pencucian didapatkan limbah cair berupa air sisa pencucian.Air sisa pencucian
ini sebaiknya ditampung dalam satu wadah yangkemudian akan digunakan kembali pada
proses pencucian berikutnya,dan sedapat mungkin meminimisasi penggunaan air. Menerapkan good
house keeping.
4. Limbah proses penghilangan daging
Dihasilkan potongan-potongan atau sisa daging kemudianmengumpulkan daging yang
terbuang pada satu tempat khusus. Potongandaging ini bisa dipilah dan dikeringkan untuk
pakan ternak ikan,makanan kucing atau bisa dijual ke pengolahnya. Daging diolah untuk kemudian
dimanfaatkna menjadi pupuk. Membersihkan alat setiap kali selesai kegiatan dengan menerapkan goodhouse
keeping. Mengalirkan langsung sisa air menggunakan saluran pipa menuju bak pembuangan
limbah cair. Membakar danging yang terkumpul agar tidak membusuk dan tidak mengahasilkan
bau bangkai.

5. Limbah proses pembuangan kapur


Meminimalisir penggunaan kapur agar kandungan kapurnya tidak tinggi dan air tersebut dapat digunakan
kembali. Penggunaan kembali air tersebut untuk proses pengapuran selanjutnya. Memanfaatkan sisa-sisa kapur
yang mengkristal untuk proses pengapuran selanjutnya. Mendesain instalasi pembuangan air dengan baik
menggunakan pipa,agar sisa air pada proses ini tidak tercecer dan menerapka good housekeeping.
Membersihkan kapur yang mengkristal pada molen setelah proses perontokan bulu.
6. Limbah proses pencucian
Pada proses pencucian didapatkan limbah cair berupa air sisa pencucian.Air sisa pencucian ini
sebaiknya ditampung dalam satu wadah yangkemudian akan digunakan kembali pada proses
pencucian berikutnya,dan sedapat mungkin meminimisasi penggunaan air.Menerapkangood house
keeping.
7. Limbah proses pengasaman (pikel)
Limbah yang dihasilkan pada proses ini berupa limbah cair yaitu larutan sisa pengasaman.
Limbah tersebut sebelum dibuang dilakukan penanganan terlebih dahulu.Menerapkan good house keeping.
8. Limbah proses penyamakan
Pada proses ini digunakan chrom, produksi bersih dapat dilakukandengan mengukur secara
teliti jumlah chrom yang diperlukan, sehingga tidak terjadi pemborosan dalam pemakaian
chrom. Jadi meminimalisir limbah chrom yang terbentuk. Membuang air ke bak penampungan
menggunakan saluran pipa, menggunakan takaran chrom secukupnya agar sisa air yang
dihasilkantidak mengandung chrom dengan kelarutan yang tinggi, menerapkan good house keeping.
9. Limbah perataan dan pengukuran (shaping)
Pada proses ini dihasilkan serbuk kulit. Opsi yang dapat diterapkan yaitu mengumpulkan serbuk kulit dan
dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan produk lain atau dengan menjual serbuk kulit, mendesain alat
penyerutan dengan menambahkan suatu wadah untuk tempat berkumpulnya serbuk kulit
tersebut atau dapat dilakukan dengancara menyediakan wadah untuk tempat keluarnya
(mengumpulnya) serbuk kulit, membuat tempat penampungan khusus untuk serbuk kulit
yang dihasilkan agar tidak tercecer dan menerapkan good house keeping.

10. Limbah proses pewarnaan dasar

22
Membuang air ke bak penampungan menggunakan saluran pipa, mengumpulkan sisa cat dasar untuk
digunakan pada proses pewarnaandasar selanjutnya, minyak minyak pelemasan kulit agar dapat
digunakankembali pada proses pewarnaan dasar selanjutnya dan menerapkan good house keeping.
11. Limbah proses pencucian
Pada proses pencucian didapatkan limbah cair berupa air sisa pencucian. Air sisa pencucian ini
sebaiknya ditampung dalam satu wadah yang kemudian akan digunakan kembali pada proses
pencucian berikutnya,dan sedapat mungkin meminimisasi penggunaan air, dan menerapkan good house
keeping.
12. Limbah proses pengeringan
Dilakukan penjemuran di luar ruangan, sehingga semua kulit bisa terkenalangsung sinar matahari,
sehingga proses pengeringan berjalan lebihefektif dan efisien dan menerapkan good house keeping.
13. Limbah proses peregangan
Secara umum pada proses ini tidak ada limbah yang dihasilkan. Tetapi suhu panas yang dihasilkan mesin
menyebabkan suhu di ruangan penyetrikaan cukup panas, dan menerapkan good house keeping dengan
menyusun kulit yang telahdisetrika dengan rapih dan teratur.
14. Limbah proses spraying
Dilakukan penyemprotan warna terhadap kulit, hendaknya penyemprotandilakukan secara
hati-hati dan tidak terlalu boros. Hal ini untuk meminimalisir zat pewarna yang disemprotkan
agar tidak bercecerandimana-mana, menerapkan good house keeping misalnya, menuangkan cat
secara hati-hati, agar cat tidak tercecer. Mengumpulkan ceceran cat untuk digunakan kembali pada
proses penyemprotan selanjutnya. Menggunakan sprayer yang hasil semprotannya tidak terlalu menyebar, agar
tidak banyak cat yang terbuang.
15. Limbah proses penyetrikaan
Secara umum pada proses ini tidak ada limbah yang dihasilkan. Tetapisuhu panas yang dihasilkan mesin
menyebabkan suhu di ruanganpenyetrikaan cukup panas. Menerapkan good house keeping dengan
menyusun kulit yang telahdisetrika dengan rapih dan teratur.
16. Limbah proses penyortiran
Pada proses ini dihasilkan kulit-kulit yang ukurannya memenuhi standar dan tidak memenuhi
standar. Pilihan yang dapat diterapkan yaitu menjual kulit yang tidak sesuai standar kepada konsumen
dengan standar yang lebih rendah, mengumpulkan kulit yang tidak sesuai ukurannya untuk dimanfaatkan pada
pembuatan produk lain, menerapkan good house keeping dengan mengumpulkan kertas etiket(label)
untuk dibuang ke tempat sampah dan menggunakan etiket atau label secukupnya.

E. Pemasaran
a. Permintaan dan Penawaran
Selama lima tahun terakhir, produksi kulit domestik telah mengalami perubahan yang
signifikan. Salah satu contoh dapat dilihat pada Tabel 2, tahun 2004 sampai tahun 2006, produksi
kulit jadi untuk alas kaki meningkat 49 persen yaitu dari 45 juta kaki persegi pada tahun 2002
menjadi 67 juta kaki persegi pada tahun 2004. Akan tetapi, dalam dua tahun terakhir tingkat
produksi telah menurun sebesar 15 persen dari 67 juta kaki persegi pada tahun 2004 menjadi 57
juta kaki persegi pada tahun 2006.
Tabel 1. Konsumsi dan Produksi Kulit Jadi untuk Alas Kaki di Indonesia Tahun 2002-
2006

23
Tabel 1 juga menunjukkan bahwa produksi kulit di Indonesia yang di produksi belum
cukup memenuhi konsumsi. Pada tahun 2006 konsumsi kulit jadi untuk alas kaki sebesar 69 juta
kaki persegi, sementara produksi kulit jadi hanya sebesar 57 juta kaki persegi. Hal tersebut
sebagian disebabkan oleh penurunan jumlah industri penyamakan kulit yang beroperasi di
Indonesia yang diakibatkan krisis ekonomi pada tahun 1998. Namun pada tahun 2006 jumlah
industri mulai meningkat dengan pertumbuhan sebesar 21,8 persen dari tahun 2004 untuk
industri menengah-besar dan 20 persen untuk industri rumahan. Penurunan jumlah penyamakan
kulit yang beroperasi dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Jumlah Industri Penyamakan Kulit yang Beroperasi di Indonesia Tahun 1998-
2006

Kabupaten Garut merupakan salah satu daerah sentra industri penyamakan kulit yang
potensial di Jawa Barat. Menurut Dinas Perindustrian dan Perdagangan Garut (2006), tingginya
populasi dan kapasitas produksi ternak besar di Kabupaten Garut, mengawali tumbuh
kembangnya industri kecil atau rumahan pengolahan kulit tersamak di Kabupaten Garut. Selain
itu, jumlah unit industri penyamakan kulit di Kabupaten Garut saat ini mengalami peningkatan,
dimana pada tahun 2000 tercatat sebanyak 290 unit dan pada tahun 2006 tercatat sebanyak 340
unit industri formal dan non formal dengan rata-rata kapasitas produksi per tahun sebesar
7.659.250 kg atau 9.360.000 squarefeet.
Jumlah industri tekstil kulit dan aneka di Garut dari tahun ke tahun mengalami
peningkatan. Pada tahun 2003 tercatat sebanyak 949 unit, tahun 2004 tercatat sebanyak 1137 unit
dan tahun 2005 sebanyak 1181 unit, dengan nilai produksi masing-masing sebesar Rp
117.442.490, Rp 129.089.526 dan Rp 134.267.726 (BPS Garut, 2006). Menurut Dinas Perindag
Kabupaten Garut (2006) selain memenuhi permintaan konsumen lokal dan nasional, jaket kulit
Garut juga meluas ke pasar internasional, seperti Singapura, Malaysia, Taiwan dan Jepang.
Volume ekspornya mencapai 5.100 potong dengan nilai US $ 258.651. Peningkatan industri
kerajinan kulit dan aneka membuat industri penyamakan kulit terus berkembang dari tahun ke
tahun. Implikasinya akan semakin banyak perusahaan yang masuk ke dalam industri tersebut.
Hal ini mengakibatkan adanya persaingan yang ketat antar industri baik dalam pengadaan bahan

24
baku, sumberdaya manusia yang berkualitas, hasil produk olahan, besarnya pangsa pasar dan
seluruh aspek lainnya yang terkait pada industri tersebut.
b. Ekspor-Impor Indonesia
Tabel 3. Perkembangan Volume dan Nilai Ekspor Kulit di Indonesia Tahun 2001- 2005

Tabel 4. Perkembangan Volume dan Nilai Impor Kulit di Indonesia Tahun 2000-2004

Sumber: Departemen Perdagangan


c. Pangsa Pasar
Pangsa pasar produk kulit Indonesia di dunia saat ini baru mencapai 0,3 persen.
Pengembangan bahan baku di sentra penyamakan kulit saat ini tersebar di sejumlah wilayah
seperti Sukaregang Garut, Yogyakarta, Magetan Jawa Timur,. Sementara sentra produk kulit
seperti sentra sepatu dikembangkan di Mojokerto, Pulo Gadung, Cibaduyut dan Magetan.
Tas dan koper dikembangkan di Tanggulangin, Jawa Timur dan Tajur, Bogor. Sentra jaket
kulit di Garut dan Bandung.
d. Prospek
Prospek pengembangan industri penyamakan kulit ini cukup baik. Pada daerah sentra
industri penyamakan kulit seperti di kabupaten Garut terdapat prospek yang baik dari segi
ekonomi dan sosial masyarakat. Tabel 5 menunjukkan bahwa jumlah unit usaha industri
penyamakan kulit di Kabupaten Garut tahun 2006 sebanyak 340 unit, dengan penyerapan jumlah
tenaga kerja sebanyak 1.595 orang. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan industri
penyamakan kulit dapat mengurangi jumlah pengangguran di sekitar wilayah Garut dengan
banyak menyerap tenaga kerja. Menurut Dinas Perindustrian dan Perdagangan Garut (2006)
jumlah unit usaha jenis industri ini mencapai 72 persen dari jenis industri lainnya dengan jumlah
tenaga kerja mencapai 66 persen dari tenaga kerja pada industri lainnya. Hasil industrinya sudah
diekspor ke Inggris, Belanda, Jepang, Iran, Australia, Belgia, Italia, Jerman dan Maroko.

25
Tabel 5. Potensi Industri Penyamakan Kulit per Tahun di Kabupaten Garut pada Tahun
2006.

Prospek bisnis kulit masih cerah sejauh kulit masih banyak peminatnya, baik sebagai
bahan industri furnitur maupun garmen. karena industri kulit dan produk kulit di dalam negeri
merupakan industri padat sumber daya hewani dan potensinya di Indonesia dapat dikembangkan,
maka industri kulit dan produk kulit di dalam negeri tetap memiliki prospek yang cukup bagus.
Dengan jumlah penduduk Indonesia pada saat ini yang diperkirakan telah mecapai 210 juta jiwa
dan ini merupakan pasar kulit dan produk kulit yang cukup potensial. Sedangkan Peluang ekspor
kulit dan produk kulit Indonesia kepasaran dunia seperti telah dijelaskan di atas masih memiliki
prospek yang cukup besar . Nilai ekspor dunia pada tahun 2001 tercatat sebesar US$ 12.5 miliar
dan Indonesia berada pada urutan 23 ekspor dunia dengan nilai baru mencapai US$ 85.0 juta.

26
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. Kesimpulan
Komoditas kulit digolongkan menjadi dua golongan yaitu : (1) kulit yang berasal dari
binatang besar (hide) seperti kulit sapi, kulit kerbau, kulit kuda, kulit banteng, kulit badak, kulit
harimau, dan lain-lain, (2) kulit yang berasal dari binatang kecil (skin) seperti kulit domba, kulit
kambing, kulit rusa, kulit babi dan kulit reptil. . Kulit samak merupakan kulit yang dihasilkan
dari proses penyamakan dan berbahan baku dari kulit mentah. Pemanfaatan kulit mentah dalam
proses produksi kulit samak merupakan salah satu upaya memanfaatkan hasil samping industri
peternakan, sehingga dapat memberikan nilai tambah karena produk olahannya memiliki nilai
jual yang tinggi.
Salah satu sentra produksi kulit samak terbesar di Indonesia adalah sentra penyamakan
kulit yang terdapat di daerah Sukaregang, Garut, Jawa Barat. Harga kulit domba per lembar
mencapai Rp 90.000,- untuk ukuran besar dengan panjang 120 cm, sedangkan ukuran kecil
dengan panjang 90 cm mencapai harga Rp 30.000,-.
Mutu atau kualitas kulit ditentukan oleh : 1). Perlakuan sewaktu ternak masih hidup
(iklim, pakan, luka goresan, bekas cambuk, cap bakar, penyakit), 2). Perlakuan setelah
pemotongan ternak (cara pemotongan dan pengulitan), 3). Perlakuan selama pengawetan (suhu
dan kelembapan ruang, sentuhan logam), 4). Perlakuan selama pengangkutan (suhu dan
kelembapan, air hujan, air laut), 5). Penyimpanan (kelembapan dan waktu). Jenis-jenis kulit
samak antara lain Full Grain/Full Top Leather, Corrected Grain Leather ,Nappa Leather ,
Patched Leather, Patent Leather, Nubuck Leather, Suede Leather, Pull-up Leather . Produk kulit
samak antara lain dimanfaatkan sebagai bahan baku kerajinan tangan dan perabotan. Sementara,
pasar luar negeri lebih sering menggunakan kulit hewan ternak ini untuk berbagai produk
garmen mewah. Misalnya jaket, sarung tangan, hingga tas golf eksklusif.
Teknik penyamakan kulit dikelompokan menjadi 3 tahapan, yaitu proses pra
penyamakan, penyamakan, dan pasca penyamakan. Pada setiap proses penyamakan akan
dihasilkan limbah yang kemudian dapat diolah bahkan dimanfaatkan kembali untuk menjaga
keseimbangan ekosistem lingkungan. Dilihat dari aspek pemasaran, permintaan dan penawaran
terhadap kulit samak mengalami kenaikan seiring dengan perkembangan fashion dan teknologi.
Namun kendala yang terjadi disebabkan oleh kekurangan bahan baku kulit mentah. Sehingga
memberikan peluang terhadap kulit imitasi untuk memasuki pasar.

B. Rekomendasi
Karena terdapat kekurangan pasokan bahan baku maka perlu ada dorongan terhadap para
peternak untuk lebih mengembangkan dan meningkatkan produksi kulit mentah agar peluang
kulit imitasi masuk ke pasaran dapat ditekan. Karena hal ini dapat menurunkan tingkat penjualan
kulit asli.

27
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2011. Kulit Samoa Menggunakan Minyak Biji Karet.


http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/53005/BAB%20II%20Tinjauan
%20Pustaka.pdf?sequence=3. (2 November 2012)
Anonim 2011. Teknologi pengawetn dan pengolahan kulit
http://irmangasali.blogspot.com/2011/03/teknologi-pengawetan-dan-pengolahan.html
Badan Pusat Statistik1). 2006. Statistik Kabupaten Garut 2006. Garut.
Badan Pusat Statistik2). 2006. Statistik Peternakan. CV Arena Seni. Jakarta.
Fahidin dan Muslich. 1999. Ilmu dan Teknologi Kulit. Bogor: Fateta IPB.
Fahidin dan Muslich. 1997. Diktat Ilmu dan Teknologi Kulit. Fakultas Teknologi Pertanian.
Institut Pertanian Bogor. Bogor
Judoamidjojo, R. M. 1981. Defek-Defek pada Kulit Mentah dan Kulit Samak.
Bhratara Karya Aksara. Jakarta.
Judoamidjojo, R. M. 1981. Teknik Penyamakan Kulit untuk Pedesaan. Angkasa Bandung.
Bandung.
Kemenperin. 2009. http://pustan.bpkimi.kemenperin.go.id/files/SNI%2006-0484-1989.PDF (2
November 2012)
Kemenperin. 2009. http://pustan.bpkimi.kemenperin.go.id/files/SNI%2006-0463-1989.PDF (2
November 2012)
Kemenperin. 2009. http://pustan.bpkimi.kemenperin.go.id/files/SNI%2006-0568-1989.PDF (2
November 2012)
Purnomo, E. 1984. Teknologi Penyamakan Kulit 1. Akademi Teknologi Kulit,Yogyakarta.
Saleh,E.2004. Dasar Pengolahan Susu Dan Hasil Ikutan Ternak. Diktat Kuliah.Program Studi
Produksi Ternak. Jurusan Fakultas Pertanian.UniversitasSumatera Utara.
Standar Nasioanal Indonesia. 1989. Istilah dan Definisi untuk Kulit dan CaraPengolahannya.
SNI 0391-89A. Departemen Perindustrian, Indonesia.
Standar Nasioanal Indonesia. 1992. Kulit Domba Mentah Basah. SNI 01-2739-1992.
Departemen Pertanian, Indonesia.
Standar Nasioanal Indonesia. 1992. Kulit Domba Mentah Basah. SNI 06-2736-1992.
Departemen Pertanian, Indonesia
Standar Nasioanal Indonesia. 1992. Kulit Domba Mentah Basah. SNI 06-2738-1992.
Departemen Pertanian, Indonesia.
Purnomo E. 1985. Pengetahuan Dasar Teknologi Penyamakan Kulit. Yogyakarta: Akademi
Teknologi Kulit, Departemen Perindustrian.
Purnomo E. 1987. Penyamakan Kulit Reptil. Yogyakarta: Akademi Teknologi Kulit,
Departemen Perindustrian.
SENADA. 2007. Profil Spesifikasi Kulit Tersamak Indonesia. Jakarta.

28

Anda mungkin juga menyukai