Anda di halaman 1dari 56

LAPORAN TUTORIAL

SKENARIO A BLOK 28 TAHUN 2017

Disusun oleh:
Kelompok B6

Anggota:

Dani Gemilang Kusuma 04011181419068


Aprita Nurkarima 04011181419216
Azora Khairani K. 04011281419082
M. Aufar Isytahar 04011281419086
Siti Thania Luthfyah 04011281419088
Syah Fitri 04011281419092
M. Afif Baskara E. 04011281419112
Fitria Masturah 04011281419116
Andini Karlina CH 04011281419120
Archita Wicesa Saraswati 04011281419132

Tutor: dr. Liniyanti D. Oswari, MNS.M.Sc.

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2017
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan yang Maha Esa karena atas berkat
rahmat yang diberikan-Nya penulis dapat menyelesaikan Laporan Tutorial Skenario A Blok
Trauma, Gawat Darurat, dan Forensik dengan baik.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu
dalam pembuatan laporan ini, serta berbagai sumber yang telah penulis gunakan sebagai data
dan fakta pada makalah ini. Penulis juga berterima kasih kepada, dr. Liniyanti D. Oswari,
MNS.M.Sc. yang telah memberikan pedoman dalam melakukan tutorial, membuat makalah
hasil tutorial dan telah memberi bimbingannya sebagai tutor sehingga kami dapat
menyelesaikan masalah skenario yang telah diberikan.
Penulis menyadari akan kekurangan dalam penulisan makalah ini. Maka dari itu,
kritik dan saran sangat diharapkan untuk memperbaiki dan mengembangkan isi dari makalah
ini. Penulis juga mengharapkan kritik dan saran dari pembaca, serta penulis mohon maaf
apabila terdapat kesalahan penulisan dalam makalah ini. Akhir kata, apabila ada kesalahan
kata-kata, penulis meminta maaf dan diharapkan makalah ini dapat bermanfaat bagi kita
semua.

Palembang, September 2017

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................................2
DAFTAR ISI..............................................................................................................................3
BAB I.........................................................................................................................................4
PENDAHULUAN......................................................................................................................4
A. Latar Belakang...............................................................................................................4
B. Maksud dan Tujuan........................................................................................................4
C. Data Tutorial...................................................................................................................4
BAB II........................................................................................................................................5
PEMBAHASAN........................................................................................................................5
I. Klarifikasi Istilah..............................................................................................................7
II. Identifikasi Masalah.......................................................................................................8
III. Analisis Masalah..........................................................................................................10
IV. Learning Issue...............................................................................................................30
V. Kerangka Konsep..........................................................................................................58
VI. Sintesis..........................................................................................................................59
BAB III.....................................................................................................................................62
PENUTUP................................................................................................................................62
I. Kesimpulan......................................................................................................................62
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................63

3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Blok Trauma, Gawat Darurat, dan Forensik adalah blok ke-28 dari Kurikulum
Berbasis Kompetensi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
Palembang. Pada kesempatan ini dilaksanakan tutorial studi kasus sebagai bahan
pembelajaran untuk menghadapi kasus yang sebenarnya pada waktu yang akan datang.
Kasus yang dipelajari adalah mengenai malaria.

B. Maksud dan Tujuan


1. Sebagai laporan tugas kelompok tutorial yang merupakan bagian dari sistem
pembelajaran KBK di Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang.
2. Dapat menyelesaikan kasus yang diberikan pada skenario dengan metode analisis
pembelajaran diskusi kelompok.
3. Tercapainya tujuan dari metode pembelajaran tutorial.

C. Data Tutorial
1. Tutor : dr. Liniyanti D. Oswari, MNS.M.Sc.
1. Moderator : Archita Wicesa Saraswati
2. Sekretaris : 1. Andini Karlina CH
2. Fitria Masturah
3. Waktu : 1. Senin, 11 September 2017
2. Rabu, 13 September 2017
Pukul 13.00 – 15.30 WIB
Pukul 13.00 – 15.30 WIB

BAB II
PEMBAHASAN
Skenario A Blok 28 Tahun 2017

4
dr. Thamrin, dokter d RSUD yang terletak sekitar 40 km dari Palembang. Sekitar 100
meter dari RSUD, terjadi KLL. Mobil minibus yang melaju dengan kecepatan tinggi
menabrak pohon beringin. Bagian depan mobil hancur, kaca depan pecah. Sang sopir, satu-
satunya penumpang mobil terlempar keluar melalui kaca depan.

dr. Thamrin yang mendengar tabrakan langsung pergi ke tempat kejadian dengan
membawa peralatan tatalaksana trauma seadanya. Di tempat kejadian, terlihat sang sopir,
laki-laki 30 tahun, tergeletak dan merintih, mengeluh dadanya sesak, nyeri di dada kanan,
nyeri perut, dan nyeri paha kiri.

Melalui pemeriksaan sekilas, didapatkan gambaran:


- Pasien sadar tapi terlihat bingung, cemas, dan kesulitan bernapas
- Tanda vital: RR: 38x/ menit, Nadi:120x/menit, TD: 85/60mmHg
- Wajah dan bibir terlihat kebiruan, konjungtiva anemis (+)
- Kulit pucat, dingin, berkeringan dingin
- Terlihat deformitas d paha kiri
- GCS: 13 (E:3, M:6, V: 4)
Setelah melakukan penanganan seadanya, dr. Thamrin langsung membawa sang sopir
ke UGD.
Pemeriksaan Fisik
Kepala
 Terdapat luka lecet di dahi dan pelipis kanan diameter 2-4 cm
 Yang lain dalam batas normal
Thorax:
 Inspeksi:
o Gerakan dinding dada asimetris, kanan tertinggal, frekuensi napas 40x/menit.
o Tampak memar di sekitar dada kanan bawah ke samping
o Trakea bergeser ke kiri, vena jugularis distensi
 Auskultasi:
o Bunyi napas kana melemah, bising npas kiri terdengar jelas
o Bunyi jantung terdengar jelas, cepat, frekuensi 110x/menit
 Palpasi
o Nyeri tekan pada dada kanan sampai ke samping (lokasi memar)
o Krepitasi pada kosta IX, X, XI kanan depan
 Perkusi:
o Kanan hipersonor, kiri sonor
Abdomen
 Inspeksi:
o Dinding perut datar
 Auskultasi
o Bising usus: melemah
 Perkusi
o Nyeri ketok (+)
 Palpasi
o Nyeri tekan (+)
5
o Defanse muscular (+)
Ekstremitas: Paha kiri
 Inspeksi
o Tampak deformitas, memar, hematom pada paha tengah kiri
 Palpasi
o Nyeri tekan, krepitasi (tidak boleh diperiksa)
 ROM
o Pasif: limitasi gerakan
o Aktif: limitasi gerakan
Setelah penanganan awal di UGD RSUD, pasien dipersiapkan untuk dirujuk ke RSMH.

I. Klarifikasi Istilah
No. Istilah Definisi
1. Trauma Cidera fisik atau emosional yang secara medis mengacu
pada cidera serius/kritis, koma, atau syok
2. Nyeri Pengalaman sensori dan emosional yang tidak
menyenangkan akibat kerusakan jaringan
3. Deformitas Perubahan bentuk akibat pergeseran fragmen pada fraktur
4. Konjungtiva anemis (konjungtiva pallor) Kondisi dimana konjungtiva pucat yang
diakibatkan aliran darah tidak sampai ke perifer
5. GCS (Glasgow Coma Suatu skala neurogenik yang dipakai untuk menilai secara
Scale) objektif derajat kesadaran seseorang. Terdiri dari 3
pemeriksaan, antara lain: eye opening (respon buka mata),
best motor respond (respon motorik), dan best verbal
respond (respon verbal)

6
II. Identifikasi Masalah
No. Masalah Prioritas
1. Terjadi kecelakaan minibus sekitar 100 meter dari RSUP (40 km dari VVV
Palembang). Bagian depan mobil hancur, kaca depan pecah. Sang sopir,
satu-satunya penumpang mobil terlempar keluar melalui kaca depan.
Korban, laki-laki 30 tahun, tergeletak dan merintih, mengeluh dadanya
sesak, nyeri di dada kanan, nyeri perut, dan nyeri paha kiri. dr. Thamrin yang
mendengar tabrakan langsung pergi ke tempat kejadian dengan membawa
peralatan tatalaksana trauma seadanya.
2. Setelah melakukan penanganan seadanya, dr. Thamrin langsung membawa VV
sang sopir ke UGD.
Pemeriksaan Fisik
Kepala
 Terdapat luka lecet di dahi dan pelipis kanan diameter 2-4 cm
 Yang lain dalam batas normal
Thorax:
 Inspeksi:
o Gerakan dinding dada asimetris, kanan tertinggal, frekuensi
napas 40x/menit.
o Tampak memar di sekitar dada kanan bawah ke samping
o Trakea bergeser ke kiri, vena jugularis distensi
 Auskultasi:
o Bunyi napas kana melemah, bising npas kiri terdengar jelas
o Bunyi jantung terdengar jelas, cepat, frekuensi 110x/menit
 Palpasi

7
o Nyeri tekan pada dada kanan sampai ke samping (lokasi
memar)
o Krepitasi pada kosta IX, X, XI kanan depan
 Perkusi:
o Kanan hipersonor, kiri sonor
Abdomen
 Inspeksi:
o Dinding perut datar
 Auskultasi
o Bising usus: melemah
 Perkusi
o Nyeri ketok (+)
 Palpasi
o Nyeri tekan (+)
o Defanse muscular (+)
Ekstremitas: Paha kiri
 Inspeksi
o Tampak deformitas, memar, hematom pada paha tengah kiri
 Palpasi
o Nyeri tekan, krepitasi (tidak boleh diperiksa)
 ROM
o Pasif: limitasi gerakan
o Aktif: limitasi gerakan

Setelah penanganan awal di UGD RSUD, pasien dipersiapkan untuk dirujuk


ke RSMH.
3. Melalui pemeriksaan sekilas, didapatkan gambaran: V
- Pasien sadar tapi terlihat bingung, cemas, dan kesulitan bernapas
- Tanda vital: RR: 38x/ menit, Nadi:120x/menit, TD: 85/60mmHg
- Wajah dan bibir terlihat kebiruan, konjungtiva anemis (+)
- Kulit pucat, dingin, berkeringan dingin
- Terlihat deformitas di paha kiri
GCS: 13 (E:3, M:6, V: 4)

III. Analisis Masalah


a. Terjadi kecelakaan minibus sekitar 100 meter dari RSUP (40km dari Palembang).
Bagian depan mobil hancur, kaca depan pecah. Sang sopir, satu-satunya penumpang

8
mobil terlempar keluar melalui kaca depan. Korban, laki-laki 30 tahun, tergeletak
dan merintih, mengeluh dadanya sesak, nyeri di dada kanan, nyeri perut, dan nyeri
paha kiri. dr. Thamrin yang mendengar tabrakan langsung pergi ke tempat kejadian
dengan membawa peralatan tatalaksana trauma seadanya.
1) Apa saja kemungkinan trauma yang dialami sopir tersebut?
Jawab:
Diduga, korban tidak memakai safety belt saat tabrakan, karena korban
terlempar keluar kendaraan. Saat terjadi tabrakan dengan obyek di depan, badan
akan cenderung bergerak ke depan. Dengan demikian, kepala akan bergerak ke
arah depan dan mungkin menghantam stir mobil atau kaca depan, sehingga
mungkin menyebabkan trauma pada kepala dan leher, termasuk traumatic brain
injury dan kerusakan medulla spinalis.
Dinding dada akan menghantam stir, sehingga cedera pada rongga dada
akan serius, sehingga menimbulkan kerusakan pada organ di belakang. Seluruh
rongga dada akan terkena, mulai dari costae, paru, jantung, dan organ di
sekitarnya, termasuk rongga pleura dan pericardium. Kerusakan rongga dada
akan lebih ringan jika korban memakai safety belt.
Jika korban memakai safety belt, cedera pada abdomen tidak berat karena
badan korban tertahan oleh safety belt sehingga tidak menghantam stir mobil.
Tetapi, karena korban diduga tidak memakai safety belt, maka trauma abdomen
yang mungkin terjadi adalah trauma pada abdomen bagian atas karena terkena
stir bagian bawah. Dalam hal ini, ada kemungkinan cedera pada hepar, gaster,
splen, duodenum, pancreas, dan organ di sekitarnya.
Jika terjadi intrusi kabin, maka ada kemungkinan fraktur akibat gaya
kompresi pada femur dan cruris. Jika korban tidak memakai safety belt,
mekanisme cedera yang timbul jauh lebih rumit, tergantung di mana gaya
terbesar terjadi sehingga menyebabkan fraktur os femur.

2) Apa saja peralatan yang diperlukan untuk tatalaksana awal trauma pada kasus?
Jawab:
 Memberitahu perawat/petugas kesehatan di puskesmas untuk
mempersiapkan ruang UGD dan peralatan-peralatannya.
 Mempersiapakan alat-alat emergency yang dibutuhkan, meliputi :
- Stetoskop
- Spet
- Ambu bag

Traction splint Long spine board

Spalek/splint Neck Collar


- ETT, NGT
- Laryngoskop
- Hard neck collar
- Spalek / bidai
- Long spine board
- Perban elstic
- Kapas
- Larutan antispetik
 Pakai baju pengaman, handscun, google sebagai pengaman
 Menuju TKP dengan membawa alat tersebut dengan ditemani 2 orang
asisten.

3) Bagaimana initial assessment pada kasus?


Jawab:

BLS / PHTLS Di TKP


a) Pemeriksaan kesadaran :
 Tanya nama pasien untuk menilai kesadaran
 Nilai cara bicara untuk assessment airway
 Lakukan peraba nadi (arteri radialis) sambil mengajukan pertanyaan
b) Evaluasi airway. Lakukan control serviks .Pasang neck collar, dengan
terlebih dahulu mengukur dengan teknik 4 jari
Membuka atau melonggarkan pakaian pasien, tapi cegah hipotermia,
lakukan inspeks cepat.
c) Breathing : Auskulatsi paru dan perkusi dada (menilai tension
pneumotorak)
Berikan tambahan oksigen dengan ambu bag.
Needle dekompresi tension pneumotoraks dengan tahapan :
 Tentukan intercostals 2 dengan palpasi
 Lakukan desinfeksi dengan larutan antiseptik
 Gunakan spet yang ditusuk pada intercostals 2
d) Circulation :
 Lakukan pemeriksaan perdarahan ekstrenal dengan teknik body sweep
 Bila terdapat perdarahan eksternal lakukan control dengan balut tekan
dan elevasi.
e) Lakukan pembidaian femur (dengan spalek atau teknik neighbouring
splint) atau traksi dengan menggunakan traction splint (penting untuk
mencegah terjadinya overriding tulang femur)
Sebelum dan sesudah memasang traction splint, lakukan perabaan arteri
dorsalis pedis untuk menilai apakah ikatan terlalu kuat.
f) Lakukan immobilisasi pasien
 Persiapkan long spine board
 Lakukan “penggulingan” korban (90°) dengan teknik logroll (teknik agar
tulang belakang, pelvis, dll tidak bergerak, membutuhkan min 3 orang)
10
g) Teknik transport pasien
Jika ada ambulance, transport pasien dengan ambulance. Jika tidak ada
sebaiknya menggunankan alat transport lain untuk mencegah guncangan
bila dibawa tanpa alat transpor.

Gambar 1. Splinting
Pada kasus, korban menunjukkan adanya tanda-tanda tension
pneumothorax, yaitu nyeri dada, hiperventilasi atau respiratory distress,
tachycardia, hipotensi, deviasi trachea yang menjauh dari lokasi cedera, tidak
adanya suara napas pada satu sisi paru, hemithorax yang meninggi tanpa adanya
pernapasan, distensi vena jugularis, dan sianosis. Terapi tension pneumothorax
dilakukan melalui oksigen konsentrasi tinggi dan dekompresi jarum atau kanula
darurat. Kanula standar 14-gauge (4,5 cm) mungkin tidak dapat mencapai
pleura parietalis jika tindakan dilakukan pada spatium intercostale kedua.
Dinding dada mungkin lebih tipis pada spatium intercostale keempat dan
kelima, sehingga lokasi ini dapat dipilih jika dinding dada spatium intercostale
kedua terlalu tebal. Udara yang keluar secara spontan dari cavum pleura
mengkonfirmasi diagnosis dan lateralisasi yang tepat. Sesudah dekompresi
jarum, jarum dibiarkan pada lokasi dekompresi sampai chest drain dapat
dipasang.

4) Bagaimana mekanisme terjadinya dada sesak?


Jawab:
Kecelakaan lalu lintas  dada membentur stir dan dashboard  trauma
tumpul rongga toraks  Fraktur costae 9,10,11  udara dari dalam paru bocor
ke dalam rongga pleura  udara tidak dapat keluar dari pleura (fenomena
ventil)  tekanan dalam pleura meningkat  paru kolaps  pertukaran udara
menjadi tidak adekuat  hipoksia  kesulitan bernafas (dada sesak).

5) Bagaimana mekanisme terjadinya nyeri pada dada kanan?

11
Jawab: (+) thania
Trauma pada thoraks  costae fraktur  kebocoran udara paru  udara
masuk ke rongga pleura dan tidak dapat keluar lagi (one way valve)  tekanan
intrepleural tinggi  paru-paru kanan kolaps  sesak  usaha bernafas
mengembangkan paru lebih besar  menekan costae yang fraktur  nyeri saat
bernafas
Trauma kompresi pada thoraks menyebabkan kosta pada tempat trauma
akan lebih melengkung dan akhirnya terjadi fraktur multipel pada kosta 9-11
kanan bawah, atau yang biasa disebut dengan flail chest. Saat rongga dada
mengembang sewaktu inspirasi, gerakan fragmen kosta yang patah akan
menimbulkan gesekan antara ujung fragmen dengan jaringan lunak sekitar
sehingga terjadilah stimulasi saraf yang akan dipersepsikan dengan nyeri pada
dada kanan.

6) Bagaimana mekanisme terjadinya nyeri perut?


Jawab:
Kemungkinan bila terjadi perdarahan intra abdomen yang serius pasien akan
memperlihatkan tanda-tanda iritasi yang disertai penurunan hitung sel darah
merah dan akhirnya gambaran klasik syok hemoragik. Bila suatu organ viseral
mengalami perforasi, maka tanda –tanda perforasi dan tanda-tanda iritasi
peritonium cepat tampak. Tanda-tanda dalam trauma abdomen tersebut meliputi
nyeri tekan (mungkin menandakan iritasi peritonium karena cairan
gastrointestinal atau darah), nyeri spontan, nyeri lepas dan distensi abdomen
tanpa bising usus bila telah terjadi peritonitis umum.
Pada kasus, terdapat defanse muscular (+) dan bising usus menurun yang
merupakan tanda bahwa terjadi peritonitis pada korban.

7) Bagaimana mekanisme nyeri paha kiri?


Jawab:
Pada kasus terjadi intrusi kabin, maka terjadi fraktur akibat gaya kompresi
pada os femur.

b. Melalui pemeriksaan sekilas, didapatkan gambaran:


- Pasien sadar tapi terlihat bingung, cemas, dan kesulitan bernapas
- Tanda vital: RR: 38x/ menit, Nadi:120x/menit, TD: 85/60mmHg
- Wajah dan bibir terlihat kebiruan, konjungtiva anemis (+)
- Kulit pucat, dingin, berkeringan dingin
- Terlihat deformitas d paha kiri
- GCS: 13 (E:3, M:6, V: 4)
1) Bagaimana interpretasi pemeriksaan sekilas di atas?
Jawab:
12
Tabel 1. Interpretasi Pemeriksaan Sekilas

Hasil pemeriksaan Interpretasi

- Pasien sadar tapi terlihat Adanya gangguan breathing atau


bingung, cemas, dan kesulitan sumbatan pada jalan napas.
bernapas
- Tanda vital: RR: 38x/ menit, RR: Takipnea (n: 16-20x/ menit)
Nadi:120x/menit, TD: Nadi: Takikardi (n: 60-100x/
85/60mmHg menit)
TD: Hipotensi (n: sistolik: 90-
139mmHg, diastolik: 60-
89mmHg), tekanan darah sempit
(normal sistolik-diastolik:
>20mmHg)

- Wajah dan bibir terlihat kebiruan, Gangguan perfusi oksigen ke


konjungtiva anemis (+) jaringan

- Kulit pucat, dingin, berkeringan Gangguan perfusi oksigen ke


dingin jaringan

- Terlihat deformitas di paha kiri Deformitas dapat terjadi karena


adanya fraktur atau dislokasi yang
disebabkan trauma

- GCS: 13 (E:3, M:6, V: 4)  Severe: GCS 3-8


 Moderate: GCS 9-12

 Mild: GCS 13-15

2) Bagaimana mekanisme abnormal dari pemeriksaan sekilas?


Jawab:
Pada pemeriksaan sekilas didapatkan wajah dan bibir tampak kebiruan
hal ini dapat disebabkan oleh keadaan anoksia akibat hipoperfusi jaringan.
Manifestasi wajah dan bibir kebiruan terjadi secara cepat. Kemungkinan hal
ini terjadi akibat terjadinya tension pneumothoraks yang menekan paru-
paru pasien (akibat fraktur kosta ke 9-11) sehingga oksigenasi ke jaringan
menjadi berkurang secara mendadak. Hal tersebut diperparah dengan
berkurangnya volume darah pasien akibat perdarahan. Konjungtiva anemis
juga disebabkan oleh perdarahan yang dialami oleh pasien

13
c. Setelah melakukan penanganan seadanya, dr. Thamrin langsung membawa sang
sopir ke UGD.
Pemeriksaan Fisik
Kepala
 Terdapat luka lecet di dahi dan pelipis kanan diameter 2-4 cm
 Yang lain dalam batas normal
Thorax:
 Inspeksi:
o Gerakan dinding dada asimetris, kanan tertinggal, frekuensi napas
40x/menit.
o Tampak memar di sekitar dada kanan bawah ke samping
o Trakea bergeser ke kiri, vena jugularis distensi
 Auskultasi:
o Bunyi napas kana melemah, bising npas kiri terdengar jelas
o Bunyi jantung terdengar jelas, cepat, frekuensi 110x/menit
 Palpasi
o Nyeri tekan pada dada kanan sampai ke samping (lokasi memar)
o Krepitasi pada kosta IX, X, XI kanan depan
 Perkusi:
o Kanan hipersonor, kiri sonor
Abdomen
 Inspeksi:
o Dinding perut datar
 Auskultasi
o Bising usus: melemah
 Perkusi
o Nyeri ketok (+)
 Palpasi
o Nyeri tekan (+)
o Defanse muscular (+)
Ekstremitas: Paha kiri
 Inspeksi
o Tampak deformitas, memar, hematom pada paha tengah kiri
 Palpasi
o Nyeri tekan, krepitasi (tidak boleh diperiksa)
 ROM
o Pasif: limitasi gerakan
o Aktif: limitasi gerakan
Setelah penanganan awal di UGD RSUD, pasien dipersiapkan untuk dirujuk ke
RSMH.
1) Apa penanganan seadanya yang mungkin dilakukan?
Jawab:
Setelah dilakukan primary survey dan di bawa ke UGD maka dilanjutkan
dengan:

14
a) Airway: jaga jalan nafas agar tetap lancar (jaw thrust atau chin lift), atau
pasang naso-pharyngeal airway. Berikan oksigen 2-4 L/menit.
b) Brething/ventilasi/oksigenisasi: berikan oksigen, bila tanpa intubasi
sebaiknya oksigen diberikan dengan face-mask. Pemakaian pulse oximeter
baik untuk menilai saturasi O2 yang adekuat. Pada kasus ini, pasang chest
tube di ICS 5 linea axillaris anterior.
c) Circulation(dengan kontrol perdarahan): setelah perdarahan terbuka di atasi
(bebat tekan pada kepala), perdarahan tertutup pada pahadikurangi dengan
meninggikan kaki dari jantung(kaki digantung), tapi tetap memperhatikan
aliran ke ujung kaki agar tidak terjadi iskemik dan kematian jaringan.
Terdapat gangguan sirkulasi(diduga syok stage 3) : pemberian cairan
kristaloid (ringer lactat) IV 2-4 liter dalam 20-30 menit dan kateter urin
untuk monitoring perfusi ginjal dan hemodinamika pasien terkait syoknya.
Jaga suhu tubuh jangan sampai hipotermi.
d) Disability : periksa GCS lagi
e) Exposure: luka di dahi dan pelipis diobati dengan antiseptik.
f) Untuk fraktur iga dapat diberikan analgesik untuk mengurangi nyeri. Jika
analgesik tidak menghilangkan nyeri, harus dilakukan anastesi blok
interkostal yang meliputi segmen di kaudal dan cranial iga yang patah.
Karena perdarahan iga yang baik, penyembuhan dan penyatuan tulang
biasanya berlangsung cepat dan tanpa halangan atau penyulit.
g) Pemasangan kateter urin diperlukan untuk memantau penanggulangan syok,
juga untuk mengetahui adanya cedera ginjal dan saluran kemih.
Pada cedera berat, tindakan pertolongan pertama di tempat kejadian
sebelum diangkut berupa penghentian perdarahan dan pemasangan bidai. Infus
tidak perlu dipasang apabila waktu tempuh ke rumah sakit kurang dari 15 menit.
Resusitasi dan pertolongan awal harus dilakukan sebelum diangkut baik oleh
dokter maupun petugas ambulans gawat darurat.
Terapi tension pneumothorax dilakukan melalui oksigen konsentrasi tinggi
dan dekompresi jarum atau kanula darurat. Kanula standar 14-gauge (4,5 cm)
mungkin tidak dapat mencapai pleura parietalis jika tindakan dilakukan pada
spatium intercostale kedua. Dinding dada mungkin lebih tipis pada spatium
intercostale keempat dan kelima, sehingga lokasi ini dapat dipilih jika dinding
dada spatium intercostale kedua terlalu tebal. Udara yang keluar secara spontan
dari cavum pleura mengkonfirmasi diagnosis dan lateralisasi yang tepat.

15
Sesudah dekompresi jarum, jarum dibiarkan pada lokasi dekompresi sampai
chest drain dapat dipasang.

2) Bagaimana cara evakuasi pasien ke UGD?


Jawab:
a) Persiapan pra-Rumah Sakit
 Koordinasi dokter lapangan dan dokter rumah sakit yang baik
 Pemberitahuan sebelum pengiriman pasien
 Pengumpulan keterangan yang akan dibutuhkan di rumah sakit seperti
waktu kejadian, sebab kejadian, mekanisme kejadian, dan riwayat
penderita
b) Nilai sementara, pindahkan ke tandu dengan metode log roll, bawa ke UGD
RSUD.

3) Bagaimana interpretasi pemeriksaan fisik kepala?


Jawab:
Pemeriksaan Kepala : Luka lecet di dahi dan pelipis kanan 2-4 cm
Interpretasi: Terjadi laserasi jaringan lunak, menunjukkan luka ringan di
kepala akibat benturan.

4) Bagaimana mekanisme abnormal pemeriksaan fisik kepala?


Jawab:
Luka lecet terjadi akibat cedera pada epidermis yang bersentuhan dengan
benda yang memiliki permukaan kasar atau runcing. Pada kasus ini dapat terjadi
akibat benturan dengan kaca, terbentur aspal jalan maupun benturan dan
gesekan dengan benda lain setelah terlempar keluar.

5) Bagaimana interpretasi pemeriksaan fisik thorax?


Jawab:
 Inspeksi:
o Gerakan dinding dada asimetris, kanan tertinggal, frekuensi napas
40x/menit  tidak normal, takipnea.
o Tampak memar di sekitar dada kanan bawah ke samping  tidak
normal
o Trakea bergeser ke kiri, vena jugularis distensi  tidak normal
 Auskultasi:
o Bunyi napas kanan melemah, bising napas kiri terdengar jelas  tidak
normal, paru kanan kolaps.
o Bunyi jantung terdengar jelas, cepat, frekuensi 110x/menit  tidak
normal
 Palpasi
o Nyeri tekan pada dada kanan sampai ke samping (lokasi memar) 
Trauma tumpul
o Krepitasi pada kosta IX, X, XI kanan depan  fraktur costae IX,X XI

16
 Perkusi:
o Kanan hipersonor, kiri sonor  tidak normal

6) Bagaimana mekanisme abnormal pemeriksaan fisik thorax?


Jawab:
Fraktur costae IX,X,XI  krepitasi pada kosta IX,X,IX  patahan iga
menusuk pleura viseralis  pnumothoraks desak (tension pneumothoraks) 
tekanan dalam rongga pleura akan semakin tinggi karena penderita memaksa
melakukan inspirasi kuat tetapi kemudian udara tidak bisa di ekspirasikan
(karena pada fraktur costae luka yang timbul bersifat katup tertutup)  Paru
kanan banyak udara (hipersonor)  inspirasi paksaan ini akan menambah
tekanan sehingga semakin mendesak mediastrinum ke sisi sehat (trakea
bergeser ke kiri).
Paru kanan mengalami kempaan  ventilasi terhambat  paru kanan
tertinggal, bunyi napas melemah.
Kecelakaan lalu lintas  trauma tumpul pada thorax  fraktur iga 9, 10, 11
 krepitasi iga 9, 10, 11 dan tulang iga menusuk pleura dan parenkim paru 
menekan saraf-saraf parietal  nyeri.
Trauma tumpul  mengenai thoraks (memar)  fraktur iga  tension
pneumothoraks kanan  ada di rongga pleura  peningkatan tekanan
intrapleura  menghambat venous return  distensi vena jugularis.
Adanya perdarahan akibat fraktur  menurunnya volume darah 
kompensasi tubuh dengan meningkatkan pernapasan dan nadi agar perfusi
jaringan adekuat.

7) Bagaimana interpretasi dan mekanisme abnormal pemeriksaan fisik abdomen?


Jawab:
Tabel 2. Interpretasi dan Mekanisme abnormal pemeriksaan fisik abdomen

Manifestasi pada Nilai normal Interpretasi Mekanisme abnormal


kasus
Dinding perut Dinding perut Abnormal Trauma kompresi abdomen
datar datar merusak organ (rupture),
jaringanperdarahan
Perdarahan internal pada
abdomen memacu otot-otot
perut untuk berkontraksi
secara refleks dan
menyebabkan kekakuan pada
17
perut sehingga dinding perut
tampak datar.
Bising usus Bising usus Abnormal Trauma kompresi abdomen
melemah normal merusak organ (rupture),
jaringan  perdarahan
inflamasi (peritonitis)
peritoneal mengalami
paralisis  ileus juga
mengalami paralisis  bising
usus melemah
Perdarahan  jaringan keluar
 tubuh kompensasi  otot
kaku  peristaltik
dilemahkan/dihentikan
Nyeri ketok (+) Nyeri ketok (-) Abnormal
Trauma kompresi abdomen
merusak organ (rupture),
jaringan perdarahan 
inflamasi (peritonitis) 
pelepasan mediator nyeri
seperti histamine, bradikinin,
kalium  saraf nosiseptor 
ditransfer kesaraf perifer 
sensasi nyeri

8) Bagaimana interpretasi dan mekanisme abnormal pemeriksaan fisik


ekstremitas?
Jawab:
Tabel 3. Interpretasi dan Mekanisme Abnormal Pemeriksaan Fisik Ekstremitas

Ekstremitas (paha kiri):


Inspeksi: Deformitas tertutup menandakan adanya fraktur
Tampak deformitas, memar,
tulang femur yang tertutup. Memar dan hematom
hematom pada paha tengah kiri
menandakan adanya cedera akibat trauma di
daerah tersebut.
- Palpasi:
Nyeri tekan menandakan adanya cedera di
18
Nyeri tekan, krepitasi daerah tersebut, kemungkinan karena fraktur.

ROM yang terdapat limitasi gerakan


ROM
menandakan adanya inflamasi sehingga
Aktif: limitasi gerakan,
Pasif: limitasi gerakan menghambat terjadinya pergerakan oleh tulang,
sendi, dan otot. Hal ini biasanya terjadi pada
fraktur tulang.

9) Bagaimana penanganan awal di UGD (sesuai dengan pemeriksaan fisik)?


Jawab:
Setelah dilakukan primary survey dan di bawa ke UGD maka dilanjutkan
dengan:
a) Airway: jaga jalan nafas agar tetap lancar (jaw thrust atau chin lift), atau
pasang naso-pharyngeal airway. Berikan oksigen 2-4 L/menit.
b) Brething/ventilasi/oksigenisasi: berikan oksigen, bila tanpa intubasi
sebaiknya oksigen diberikan dengan face-mask. Pemakaian pulse oximeter
baik untuk menilai saturasi O2 yang adekuat. Pada kasus ini, pasang chest
tube di ICS 5 linea axillaris anterior.
c) Circulation(dengan kontrol perdarahan): setelah perdarahan terbuka di atasi
(bebat tekan pada kepala), perdarahan tertutup pada pahadikurangi dengan
meninggikan kaki dari jantung(kaki digantung), tapi tetap memperhatikan
aliran ke ujung kaki agar tidak terjadi iskemik dan kematian jaringan.
Terdapat gangguan sirkulasi(diduga syok stage 3) : pemberian cairan
kristaloid (ringer lactat) IV 2-4 liter dalam 20-30 menit dan kateter urin
untuk monitoring perfusi ginjal dan hemodinamika pasien terkait syoknya.
Jaga suhu tubuh jangan sampai hipotermi.
d) Disability : periksa GCS lagi
e) Exposure: luka di dahi dan pelipis diobati dengan antiseptik.
f) Untuk fraktur iga dapat diberikan analgesik untuk mengurangi nyeri. Jika
analgesik tidak menghilangkan nyeri, harus dilakukan anastesi blok
interkostal yang meliputi segmen di kaudal dan cranial iga yang patah.
Karena perdarahan iga yang baik, penyembuhan dan penyatuan tulang
biasanya berlangsung cepat dan tanpa halangan atau penyulit.
g) Pemasangan kateter urin diperlukan untuk memantau penanggulangan syok,
juga untuk mengetahui adanya cedera ginjal dan saluran kemih.
h) Tangani shock, hentikan perdarahan, penanganan kekurangan cairan,
analgetik untuk nyeri (morphin atau tramadol)  cek kembali airways,
breathing dan circulation  stabil  lakukan secondary survey
19
i) Fraktur  stabilisasi dan immobilisasi (2 sendi  cek NVD sebelum dan
sesudah), kemudian berikan analgetik untuk menghilangkan nyeri (morphin
atau tramadol)
j) Flail chest  bebat di dinding dada
k) Lakukan X-ray sebelum merujuk

10) Apa saja indikasi rujuk pada kasus?


Jawab:
a. Dari kemampuan petugas kesehatan yang bekerja. Apabila petugas
kesehatan tidak memiliki kemampuan untuk mengatasi trauma hingga
tuntas, maka sebaiknya dirujuk.
b. Kemampuan pusat pelayanan kesehatan. Apabila di RSUD tidak terdapat
fasilitas yang mencukupi dari diagnosis hingga tatalaksana untuk mengatasi
pasien trauma, sebaiknya dirujuk.
Bila keadaan rumah sakit tidak mencukupi kebutuhan penderita
Tabel 4. Keadaan klinis pasien
Susunan saraf pusat
 Trauma kapitis
 Luka tembus atau fraktur impresi
 Luka terbuka, dengan atau tanpa kebocoran cairan serebrospinal
 GCS < 14 atau penurunan GCS lebih lanjut
 Tanda lateralisasi
 Trauma medula spinalis atau fraktur vertebra yang berat
Toraks
 Mediastinum melebar atau curiga cedera aorta
 Cedera dinding dada berat atau kontusio paru
 Cedera jantung
 Penderita yang membutuhkan ventilasi untuk waktu lama
Pelvis/ Abdomen
 Kerusakan pelvis-ring yang tidak stabil
 Kerusakan pelvic ring dengan syok, dan tanda perdarahan lanjut
 Fraktur pelvis terbuka
Ekstremitas
 Fraktur terbuka yang berat
 Traumatik amputasi yang masih mungkin dilakukan re-implantasi
 Fraktur intra-artikulat yang rumit
 Crush injury yang berat
 Iskemia
Cedera multi-sistem
 Trauma kapitis disertai trauma wajah, toraks, abdomen atau pelvis
 Cedera pada lebih dari 2 anggota tubuh
 Luka bakar berat, atau luka bakar dengan cedera lain
 Fraktur tulang panjang proksimal pada lebih dari satu tulang
Faktor komorbid
 Umur > 55 tahun
20
 Anak-anak
 Penyakit jantung atau pernapasan
 Insulin dependent diabetes melitus, obesitas morbid
 Kehamilan
 Imunosupresi
Penurunan kesadaran lebih lanjut (late sequele)
 Diperlukan ventilasi mekanik
 Sepsis
 Kegagalan organ tunggal atau multipel (penurunan keadaan susunan
saraf pusat, jantung, pernapasan, hepar, ginjal, atau sistem koagulasi)
 Nekrosis jaringan yang luas

11) Bagaimana tata cara merujuk ke RSMH?


Jawab:
Persiapan sebelum merujuk pasien:
- Keadaan pasien harus stabil selama di UGD.
- Mengkonfirmasi indikasi rujuk pada klinis pasien dan atau atas permintaan
kerabat pasien.
- Lengkapi catatan biodata pasien, serta riwayat tindakan, pengobatan, serta
respon yang diberikan selama pasien di UGD.
- Menginfomasikan kepada petugas pendamping selama perjalanan mengenai
stabilisasi pasien (jalan napas, cairan, suhu), tindakan khusus yang mungkin
diperlukan, serta perubahan-perubahan yang mungkin akan terjadi selama
di perjalanan.
- Siapkan surat rujukan

Cara rujukan:
Dokter/perawat yang mengirim bertanggung jawab untuk memulai
rujukan
- Cara transport harus dipilih yang sesuai
- Perawatan dalam perjalanan
- Komunikasi dengan RS dirujuk
- Penderita dalam keadaan stabil saat akan dirujuk
- Laporkan prosedur tindakan yang telah dilakukan

Dokter/perawat yang dirujuk

- Yakinkan bahwa RS mampu menerima penderita


- Bersedia untuk menerima
- Sebaiknya dapat membantu memilih cara transport
- Komunikasi dapat membantu keamanan dalam transport penderita
Cara transport:
- Udara-darat,laut dapat dilakukan dengan aman
- Stabilkan penderita sebelum dilakukan transport
21
- Persiapkan tenaga yang terlatih agar proses transport berjalan dengan aman
Protokal rujukan:
- Sebelum melakukan rujukan harus melakukan komunikasi dengan
memberikan informasi ke RS rujukan tentang :
 Identitas penderita ;nama, umur, kelamin,dll
 Hasil anamnesa penderita dan termasuk data pra RS
 Penemuan awal pemeriksaan dengan respon terapi
- Informasi untuk petugas pendamping
 Pengelolaan jalan nafas
 Cairan yang telah/akan diberikan
 Prosedur khusus yang mungkin diperlukan
 GCS, resusitasi, dan perubahan-perubahan yang mungkin terjadi dalam
perjalanan.
- Dokumentasi. Harus disertakan dengan penderita :
 Permasalahan penderita
 Terapi yang telah diberikan
 Keadaan penderita saat akan dirujuk
 Sebaiknya dengan fax agar data lebih cepat sampai
- Sebelum rujukan
 Sebelum dirujuk stabilkan dulu penderita, yaitu :
o Airway: pasang OPA bila perlu intubasi
o Breathing: tentukan laju pernafasan, oxygen bila perlu ventilasi
mekanik
o Circulation: kontrol pendarahan
 Pasang infus bila perlu 2 jalur, tentukan jenis cairan
 Perbaiki kehilangan darah, bila perlu teruskan selama transportasi
 Pemasangan kateter urin
 Monitor kecepatan dan irama jantung
 Berikan diuretik bila diperlukan
 Bila curiga ada cedera cervikal dan tulang belakang
 Luka: - hentikan pendarahan dengan balutan
- profilaksis tetanus
- antibiotik bila perlu
o Fraktur : pasang bidai atau traksi

d. Aspek Klinis
1) Diagnosis kerja
Jawab:
Tension pneumothorax dengan multiple trauma, yaitu fraktur costae IX, X,
dan XI dekstra, trauma abdomen, fraktur os femur sinistra tertutup

2) Pemeriksaan penunjang
Jawab:
Pemeriksaan fisik kepala-leher:
 Distensi vena jugularis
Pemeriksaan fisik thoraks:
 Inspeksi thoraks: asimetris (kanan tertinggal), deviasi trakea
22
 Perkusi: kanan hipersonor
 Auskultasi: bunyi napas kanan melemah, bising kiri jelas, bunyi jantung
jelas dan cepat
Pemeriksaan penunjang:
1. Foto thoraks PA:
- Pleural line / garis pleura (+)
- Hiperlusens-jantung dan mediastinum terdorong ke arah paru sehat
- Diafragma terdorong ke bawah
2. Analisa gas darah
3. Pemeriksaan Computed Tomography (CT-Scan)
4. Pemeriksaan endoskopi (torakotomi)
Fraktur femur sinister tertutup
Pemeriksaan fisik femur sinister:
 Look (inspeksi): bengkak, memar, hematoma, deformitas
 Feel/palpasi: nyeri tekan lokal pada tempat fraktur.
 Movement/gerakan: limitasi gerakan aktif dan pasif, krepitasi.
Pemeriksaan penunjang:
1. Pemeriksaan rontgen untuk menentukan lokasi, luas dan jenis fraktur.
Untuk mendapatkan gambaran 3 dimensi keadaan dan kedudukan tulang
diperlukan minimal 2 proyeksi yaitu antero posterior (AP) atau AP lateral.
Untuk fraktur baru indikasi X-ray adalah untuk melihat jenis dan
kedudukan fraktur dan karenanya perlu tampak seluruh bagian tulang
(kedua ujung persendian).
2. Scan tulang, tomogram, CT-Scan/MRI untuk memperlihatkan frakur dan
mengidentifikasikan kerusakan jaringan lunak
3. Pemeriksaan darah lengkap: Ht mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau
menurun (pendarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada
trauma multipel), peningkatan leukosit sebagai respon stres normal setelah
trauma
4. Kreatinin: trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal

3) Komplikasi
Jawab:

Tension pneumothoraks 1. Syok hipovolemik


1. Kegagalan respirasi 2. Sindroma kompartemen
2. Pio-pneumothoraks 3. Infeksi
3. Hidro-pneumothoraks 4. Tromboemboli
4. Henti jantung dan paru 5. Kecacatan
5. Kematian 6. Kematian
Fraktur femur tertutup
23
Flail chest 2. Sindroma distress pernapasan
1. Kelumpuhan rongga dada
(RDS)
2. Hemopneumothoraks
3. Koagulasi intravaskular
Syok
1. Kegagalan multi organ (Multi- diseminata (DIC)
organ failure)

4) Edukasi dan follow up


Jawab:
Setelah yakin bahwa ancaman kematian mendadak telah disingkirkan,
dilakukan evaluasi sekunder. Anamnesis secara menyeluruh namun terarah aru
dilakukan pada evaluasi sekunder ini. Supaya terarah, anamnesis harus
mencakup AMPLE (alergi, medikasi, penyakit terdahulu, makan terakhir, dan
keadaan lingkungan saat kejadian). Mekanisme dan proses terjadinya trauma
(biomekanika kecelakaan) juga harus ditanyakan secara detail agar dapat
diperkirakan organ dan sistem tubuh mana yang mengalami kerusakan sehingga
tatalaksana lanjutannya bias segera dilakukan. Kerangka berpikir pada evaluasi
sekunder ini dikenal sebagai MIST (mechanism of injury, injury, sustained
symptoms, dan therapy).

5) Prognosis
Jawab:
Dubia et bonam apabila ditangani dengan segera

6) SKDI
Jawab:
3B. Gawat darurat
Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan memberikan terapi
pendahuluan pada keadaan gawat darurat demi menyelamatkan nyawa atau
mencegah keparahan dan atau kecacatan pada pasien. Lulusan dokter mampu
menentukan rujukan yang paling tepat bagi penanganan pasien selanjutnya.
Lulusan dokter juga mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan

24
IV. Learning Issue
Learning Issue

A. ANATOMI THORAX, ABDOMEN, DAN EKSTREMITAS


1. Thorax
Struktur Dinding Thorax
Dinding thorax di sebelah luar dilapisi oleh kulit dan otot-otot yang
melekatkan gelang bahu pada tubuh. Dinding thorax dilapisi oleh pleura parietalis.
Di bagian posterior dinding thorax dibentuk oleh pars thoracica columna
vetebralis; di anterior oleh sternum dan cartilagines costales; lateral oleh costae
dan spatium intercostae; superior oleh membrana suprapleuris; dan inferior oleh
diafragma yang memisahkan cavitas thoracis dan cavitas abdomen.
Sternum terletak di garis tengah dinding anterio thorax. Sternum dibagi
menjadi tiga bagian, yaitu manubrium sterni, corpus sterni, dan processus
xiphoideus. Manubrium sterni merupakan bagian atas sternum yang masing-
masing sisnya bersendi dengan clavicula, cartilagines costales I dan bagian atas
cartilagines costales II. Corpus sterni bersendi dengan manubrium sterni pada
bagian atas melalui symphisis manubriosternalis dan bersendi dengan processus
xiphoideus pada bagian bawah melalui symphisis xiphosternalis. Pada setiap sisi
corpus terdapat lekukan-lekukan untuk bersendi dengan bagian bawah cartilagines
costales II dan cartilagines costales III sampai VII melalui junctura synovialis.
Processus xiphoideus merupakan bagian sternum yang paling bawah dan paling
kecil.
Cartilagines costae merupakan batang cartilago hyalin yang menghubungkan 7
costae bagian atas dengan pinggir lateral sternum, dan costae VIII, IX, dan X
dengan cartilago tepat diatasnya. Cartilagines costales XI dan XII berakhir pada
otot-otot abdomen. Cartilagines costae berperan penting dalam elastisitas dan
mobilitas dinding thorax.
Costae terdiri dari 12 pasang yang semuanya melekat pada vetebrae
thoracicae. Tujuh pasang costae yang teratas melekat pada bagian anterior
sternum melalui cartilagines costales. Pasangan costae VII sampai X di anterior
melekat satu dengan yang lain dan ke costa VII melalui cartilagines costales dan
junctura synovialisyang kecil. Pasangan costae XI dan XII tidak mempunyai
perlekatan di depan dan dinamkan costae fluctuantes. Setiap costae mempunyai
caput, collum, tuberculum, corpus, dan angulus costae.
Gambar 2. Permukaan anterior sternum. B. Sternum, costae dan cartilagines
costales (Snell, 2102).

Cavitas Thoracis
Rongga thorax dibagi menjadi bagian median (mediastinum), dan paru serta
pleura yang terletak di lateral. Mediastenum merupakan pemisah yang mudah
bergerak dan meluad ke atas sampai apertura thoracis inferior dan pangkal leher,
dan ke bawah sampai diafragma. Mediastenum meluas ke depan sampai sternum
dan posterior sampai pars thoracica columna vetebralis. Mediastinum berisi sisa
thymus, jantung dan pembuluh-pembuluh darah besar, trachea dan esofagus,
ductus thoracicus dan kelenjar limfe, nervus vagus dan nervus phrenicus, dan
truncus symphaticus.
Mediastinum dibagi menjadi mediastinum superius dan mediastinum inferius.
Mediastinum superius berisi thymus, vena-vena besar, arteri-arteri besar, trachea,
esofagus dan ductus thoracicus, dan truncus symphaticus. Mediastinum inferius
dibagi lagi menjadi mediastinum medium yang berisi pericardium dan jantung,
mediastinum anterius yang merupakan ruang antara pericardium dan sternum, dan
mediastinum posterius yang terletak dia antara pericardium dan columna
vetebralis.
Gambar 3. Pembagian mediastinum (Snell, 2012).

2. Abdomen
Struktur Dinding Abdomen
Dinding abdomen dibentuk oleh diafragma di bagian superior. Pada bagian
anterior, dinding abdomen dibentuk di atas oleh bagian bawah cavea thoracis dan
di bawah oleh musculus rectus abdominis, musculus obliquus externus abdominis,
musculus obliquus internus abdominis, dan musculus transversus abdominis serta
fascianya. Di bagian inferior, cavitas abdominalis melanjutkan diri menjadi
cavitas pelvis melalui apertura pelvis superior.

Struktur Umum Viscera Abdomen


Abdomen dapat dibagi menjadi empat kompartemen anatomis, yaitu
(Williams, 2013): Regio thorax, regio peritoneum, regio retroperitoneum, dan
regio pelvis. regio thorax berisi diafragma, hati, limfa, dan lambung. Regio
peritoneum disebut juga true abdomen yang berisis lambung, usus halus dan usus
besar, omentum, rahim, dan terkadangan puncak dari vesika urinaria. Regio
retroperitoneum mencakup pembuluh-pembuluh darah besar, ginjal, kolon, uterus,
pankreas, dan duodenum. Regio pelvis dibentuk oleh sambungan tulang-tulang
pelvis.
Gambar 4. Susunan Umum Viscera Abdomen

3. Ekstremitas Bawah (Femur)


Femur adalah tulang terkuat, terpanjang, dan terberat di tubuh dan amat
penting untuk pergerakan normal. Femur bersendi dengan acetabulum untuk
membentuk articulatio coxae di atas dan dengan ibia dan patella untuk
membentuk articulatio genus di bawah. Ujung atas femur memiliki caput, collum,
trochanter major, dan trochanter minor. Caput membentuk kira-kira dua pertiga
dari bulatan dan bersendi dengan acetabulum os coxae untuk membentuk
articulatio coxae. Fovea capitis merupakan lekukan pada pusat caput untuk tempat
melekatnya ligamentum capitis femoris.
Bagian collum, yang menghubungkan kepala pada batang femur, berjalan
kebawah, belakang, lateral dan membentuk sudut lebih kurang 125 derajat (pada
wanita sedikit lebih kecil) dengan sumbu panjang batang femur. Besarnya sudut
ini perlu diingat karena dapat dirubah oleh penyakit. Corpus femoris permukaan
anteriornya licin dan bulat, sedangkan permukaan posterior mempunyai rigi yang
disebut linea aspera. Linea aspera ini adalah tempat melekatnya otot-otot dan
septa intermuscularis.

B. TRAUMA KAPITIS
1. Perdarahan Intrakranial
a. Perdarahan Epidural
 Perdarahan epidural adalah antara tulang kranial dan dura mater. Gejala
perdarahan epidural yang klasik atau temporal berupa kesadaran yang semakin
menurun, disertai oleh anisokoria pada mata ke sisi dan mungkin terjadi
hemiparese kontralateral.
 Perdarahan epidural di daerah frontal dan parietal atas tidak memberikan gejala
khas selain penurunan kesadaran (biasanya somnolen) yang membaik setelah
beberapa hari.
b. Perdarahan Subdural
Perdarahan subdural adalah perdarahan antara dura mater dan araknoid, yang
biasanya meliputi perdarahan vena. Terbagi atas 3 bagian iaitu:
 Perdarahan subdural akut
Gejala klinis berupa sakit kepala, perasaan mengantuk, dan kebingungan,
respon yang lambat, serta gelisah.
Keadaan kritis terlihat dengan adanya perlambatan reaksi ipsilateral pupil.
Perdarahan subdural akut sering dihubungkan dengan cedera otak besar dan
cedera batang otak.
 Perdarahan subdural subakut
Perdarahan subdural subakut, biasanya terjadi 7 sampai 10 hari setelah cedera
dan dihubungkan dengan kontusio serebri yang agak berat.
Tekanan serebral yang terus-menerus menyebabkan penurunan tingkat
kesadaran.
 Perdarahan subdural kronis
Terjadi karena luka ringan. Mulanya perdarahan kecil memasuki ruang
subdural. Beberapa minggu kemudian menumpuk di sekitar membran vaskuler
dan perlahan-lahan meluas.
Gejala mungkin tidak terjadi dalam beberapa minggu atau beberapa bulan.
Pada proses yang lama akan terjadi penurunan reaksi pupil dan motorik.

c. Perdarahan Subaraknoid
Perdarahan subaraknoid adalah perdarahan antara rongga otak dan lapisan otak
yaitu yang dikenal sebagai ruang subaraknoid (Ausiello, 2007).
d. Perdarahan Intraventrikular
Perdarahan intraventrikular merupakan penumpukan darah pada ventrikel otak.
Perdarahan intraventrikular selalu timbul apabila terjadi perdarahan intraserebral.
e. Perdarahan Intraserebral
Perdarahan intraserebral merupakan penumpukan darah pada jaringan otak.
Dimana terjadi penumpukan darah pada sebelah otak yang sejajar dengan
hantaman, ini dikenali sebagai counter coup phenomenon. (Hallevi, Albright,
Aronowski, Barreto, 2008).
2. Tingkat Keparahan Trauma Kepala dengan Glasgow Coma Score (GCS)
Glasglow Coma Score adalah nilai (skor) yang diberikan pada pasien trauma
kapitis, gangguan kesadaran dinilai secara kuantitatif pada tingkat setiap kesadaran.
Bagian-bagian yang dinilai adalah:
1. Proses membuka mata (eye opening)
2. Reaksi geraka motoric ekstermitas (best motor response)
3. Reaksi bicara (best verbal response)
Pemeriksaan Tingkat Keparahan Trauma Kepala disimpulkan dalam suatu tabel GCS.

Tabel 5. Skala Koma Glasglow

Eye Opening
Mata terbuka dengan spontan 4
Mata membuka setelah diperintah 3
Mata membuka setelah diberi rangsang nyeri 2
Tidak membuka mata 1
Best Motor Response
Menurut perintah 6
Dapat melokalisir nyeri 5
Menghindari nyeri 4
Fleksi (dekortikasi) 3
Ekstensi (dekerebrasi) 2
Tidak ada gerakan 1
Best Verbal Response
Menjawab pertanyaan dengan benar 5
Salah menjawab pertanyaan 4
Mengeluarkan kata-kata yang tidak sesuai 3
Mengeluarkan suara-suara yang tidak ada artinya 2
Tidak ada jawaban 1

Berdasarkan Skala Koma Glasglow, berat ringan trauma kapitis dibagi atas:

1. Trauma kapitis ringan, skornya 14-15


2. Trauma kapitisi sedang, skornya 9-13
3. Trauma kapitis berat 3-8
a. Trauma Kepala Ringan
Trauma kepala ringan atau cedera kepala ringan adalah hilangnya fungsi neurologi
atau menurunnya kesadaran tanpa menyebabkan kerusakan lainnya (Smeltzer,
2001). Cedera kepala ringan adalah trauma kepala dengan GCS: 15 (sadar penuh)
tidak kehilangan kesadaran, mengeluh pusing dan nyeri kepala, hematoma,
laserasi dan abrasi (Mansjoer, 2000). Cedera kepala ringan adalah cedara otak
karena tekanan atau terkena benda tumpul (Bedong, 2001). Cedera kepala ringan
adalah cedera kepala tertutup yang ditandai dengan hilangnya kesadaran
sementara (Corwin, 2000). Pada penelitian ini didapat kadar laktat rata-rata pada
penderita cedera kepala ringan 1,59 mmol/L (Parenrengi, 2004).
b. Trauma Kepala Sedang
Dengan Skala Koma Glasgow 9 - 12, lesi operatif dan abnormalitas dalam CT-
scan dalam 48 jam rawat inap di Rumah Sakit (Torner, Choi, Barnes, 1999).
Pasien mungkin bingung atau somnolen namun tetap mampu untuk mengikuti
perintah sederhana (SKG 9-13). Pada suatu penelitian penderita cedera kepala
sedang mencatat bahwa kadar asam laktat rata-rata 3,15 mmol/L (Parenrengi,
2004).
c. Trauma Kepala Berat
Dengan Skala Koma Glasgow < 9 dalam 48 jam rawat inap di Rumah Sakit
(Torner C, Choi S, Barnes Y, 1999). Hampir 100% cedera kepala berat dan 66%
cedera kepala sedang menyebabkan cacat yang permanen. Pada cedera kepala
berat terjadinya cedera otak primer seringkali disertai cedera otak sekunder
apabila proses patofisiologi sekunder yang menyertai tidak segera dicegah dan
dihentikan (Parenrengi, 2004). Penelitian pada penderita cedera kepala secara
klinis dan eksperimental menunjukkan bahwa pada cedera kepala berat dapat
disertai dengan peningkatan titer asam laktat dalam jaringan otak dan cairan
serebrospinalis (CSS) ini mencerminkan kondisi asidosis otak (DeSalles et al.,
1986). Pada sebuah penelitian, penderita cedera kepala berat akan menunjukkan
kadar rata-rata asam laktat 3,25 mmol/L (Parenrengi, 2004).

C. TRAUMA THORAX
Trauma thoraks terdiri atas trauma tajam dan trauma tumpul. Pada trauma tajam,
terdapat luka pada jaringan kutis dan subkutis, mungkin lebih mencapai jaringan otot
ataupun lebih dalam lagi hingga melukai pleura parietalis atau perikardium parietalis.
Dapat juga menembus lebih dalam lagi, sehingga merusak jaringan paru, menembus
dinding jantung atau pembuluh darah besar di mediastinum.
Trauma tumpul toraks, bila kekuatan trauma tajam lainnya, karena faktor kerusakan
jaringan yang lebih besar akibat rotasi berkecepatan tinggi tidak cukup besar, hanya akan
menimbulkan desakan terhadap kerangka dada, yang karena kelenturannya akan
mengambil bentuk semula bila desakan hilang. Trauma tumpul demikian, secara tampak
dari luar mungkin tidak memberi gambaran kelainan fisik, namun mampu menimbulkan
kontusi terhadap otot kerangka dada, yang dapat menyebabkan perdarahan in situ dan
pembentukan hematoma inter atau intra otot, yang kadang kala cukup luas, sehingga
berakibat nyeri pada respirasi dan pasien tampak seperti mengalami dispnea.
Trauma tumpul dengan kekuatan cukup besar, mampu menimbulkan patah tulang iga,
mungkin hanya satu iga, dapat pula beberapa iga sekaligus, dapat hanya satu lokasi fraktur
pada setiap iga, dapat pula terjadi patahan multiple, mungkin hanya melibatkan iga sisi
unilateral, mungkin pula berakibat bilateral.
Trauma tumpul jarang menimbulkan kerusakan jaringan jantung, kecuali bila terjadi
trauma dengan kekuatan cukup besar dari arah depan, misalnya : akibat dorongan kemudi
atau setir mobil yang mendesak dada akibat penghentian mendadak mobil berkecepatan
sangat tinggi yang menabrak kendaraan atau bangunan didepannya. Desakan setir mobil
tersebut mampu menimbulkan tamponade jantung, akibat perdarahan rongga pericardium
ataupun hematoma dinding jantung yang akan meredam gerakan sistolik dan diastolik.
Meskipun secara morfologis hanya di dapat fraktur sederhana dan tertutup dari iga
dalam kedudukan baik, namun mampu menimbulkan hematotoraks atau pneumotoraks,
bahkan tidak tertutup kemungkinan terjadi “Tension Pneumotorax”, karena terjadi keadaan
dimana alveoli terbuka, pleura viseralis dengan luka yang berfungsi “Pentil” dan luka
pleura parietalis yang menutup akibat desakan udara yang makin meningkat di rongga
pleura. Tension pneumotoraks selanjutnya akan mendesak paru unilateral, sehingga terjadi
penurunan ventilasi antara 15 – 20 %. Bila desakan berlanjut, terjadi penggeseran
mediastinum kearah kontralateral dan selanjutnya bahkan akan mendesak paru
kontralateral yang berakibat sangat menurunnya kapasitas ventilasi.
Hemotoraks maupun hemopneumotoraks adalah merupakan keadaan yang paling
sering dijumpai pada penderita trauma toraks, pada lebih dari 80% penderita dengan
trauma toraks didapati adanya darah pada rongga pleura. Penyebab utama dari hemotoraks
adalah laserasi paru atau laserasi dari pembuluh darah interkostal atau arteri mamaria
internal yang disebabkan oleh trauma tajam atau trauma tumpul.Dislokasi fraktur dari
vertebra torakal juga dapat menyebabkan terjadinya hemotoraks. Biasanya perdarahan
berhenti spontan dan tidak memerlukan intervensi operasi.

Insiden
Trauma toraks merupakan salah satu penyebab utama kematian. Banyak penderita
meninggal setelah sampai di rumah sakit, dan banyak diantara kematian ini sebenarnya
dapat dicegah dengan meningkatkan kemampuan diagnostic dan terapi. Kurang dari 10%
dari cedera tumpul toraks dan hanya 15-30% dari cedera tembus toraks yang
membutuhkan tindakan torakotomi. Trauma toraks mayor dikelompokkan bersama dalam
suatu grup yang bernama “Fatal 14”. Dimana kemudian grup ini terbagi atas “Lethal Six”
(Obstruksi saluran nafas, Tension Pneumothorax, Open Pneumothorax, Flail Chest,
Massive Hemothorax, dan Cardiac Tamponade). Grup pertama tadi diidentifikasi dalam
survei primer dimana 8 penyakit sisanya dapat diidentifikasi dalam survei sekunder yang
dapat disebut dengan “Hidden Eight”(Simple Pneumothorax, Hemothorax, Pulmonary
Contusion, Tracheobronchiolar Tree Injury, Blunt Cardiac Injury, Traumatic Aortic
Disruption, Traumatic Diagphramatic Tear, Esophageal Rupture).
Dalam data Indonesia sendiri, pada data Riset Kesehatan Dasar tahun 2007
didapatkan cedera pada dada sebesar 3,2% dari total semua luka yang ada. Sementara itu
Kalimantan Barat mendapatkan bagian 2,1% dari seluruh Indonesia.

Tension pneumothoraks
Tension pneumothoraks berkembang ketika terjadi one-way-valve (fenomena ventil),
kebocoran dari luar melalui dinding dada, masuk ke dalam rongga pleura dan tidak dapat
keluar lagi (one-way-valve). Akibat udara yang masuk ke dalam rongga pleura yang tidak
dapat keluar lagi maka tekanan di intrapleural akan semakin meninggi, paru-paru menjadi
kolaps, mediastinum terdorong ke sisi berlawanan dan menghambat pengembalian darah
ke jantung (venous return), serta akan menekan paru kontralateral.
Diagnosis tension pnemotoraks ditegakan secara klinis dan terapi tidak boleh
terlambat oleh karena menunggu konfirmasi radiologis. Tension pnemotoraks ditandai
dengan gejala nyeri dada, sesak napas yang berat, distress pernapasan, taikardi, hipotensi,
deriasi trakea, hilangnya suara napas pada satu-sisi dan distensi vena leher. Sianosis
merupakan manifestasi lanjut. Karena ada kesamaan gejala antara tension pnemotoraks
dan tamponade jantung maka pada awalnya sering membingungkan, namun perkusi yang
hipersonor dan hilangnya suara napas pada hemotoraks yang terkena pada tension
pnemotorks akan dapat membedahkanya.
Tension pnemotoraks membutuhkan dekompresi segera dan penanggulangan dengan
cepat berupa insersi jarum yang berukuran besar pada selah iga du garis midclavicula pada
hemotoraks yang terkena. Tindakan ini akan mengubah tension pnemoumotoraks menjadi
pnemotoraks sederhana (catatan : kemungkinan terjadi pnemotoraks yang bertambah
akibat tertusuk jarum). Evaluasi ulang selalu diperlukan. Tindakan definitive selalu
dibutuhkan dengan pemasanan selang dada (chest tube) pada sela iga 5 (setinggi puing
susu di anterior) di garis anterior digaris midaxilaris.

Pneumothorx terbuka
Defek atau luka yang besar pada dinding dada akan menyebabkan pneumotoraks
terbuka. Tekanan di dalam rogga pleura akan segera menjadi sama dengan tekanan
atmosfir. Jika defek pada dinding dada lebih besar dari 2/3 diameter trakea maka udara
akan cenderung mengalir melalui defek karena mempunyai tahanan yang kurang atau kecil
dibandingkan dengan trakea. Akibatnya ventilasi terganggu sehingga menyebabkan
hipoksia dan hiperkapnia.

Flail Chest
Flail chest terjadi ketika segmen dinding dada tidak lagi mempunyai kontinuitas
dengan keseluruhan dinding dada. Keadaan tersebut terjadi karena fraktur iga multiple
pada dua atau lebih tulang iga dengan dua atau lebih garis fraktur. Adaya segmen flail
chest (segmen mengambang) menyebabkan gangguan pada pergerakan dinding dada. Bila
terjadi kerusakan parenkim paru dibawa kerusakan dinding dada maka akan
menyebabakan hipoksia yang serius. Kesulitan utama pada kelaian flail chest yaitu cedera
pada parenkim paru yang mungkin terjadi (kontusio paru). Walaupun ketidakstabilan
dinding dada menimbulkan gerakan paradoksal dinding dada pada inspirasi ekspirasi,
defek ini sendiri saja menyebabkan hipoksia. Yang terutama disebabkan nyeri yang
menyebabkan gerakan dinding dada menjadi tertahan dan cedera jaringan parunya.

Hemothorax massif
Hemotoraks merupakan adanya penumpukan cairan di rongga toraks. Pada pengertian
masif ini terdapatnya pengumpulan darah lebih dari 1500 cc. Penyebab terbanyak adalah
luka yang menembus dinding dada, akan tetapi pada trauma tumpul juga dapat terjadi.

Tamponade Jantung
Cairan dalam perikardium yang berisi darah dapat terjadi bila terjadi cedera pada
jantung, pembuluh darah besar, atau pembuluh perikardium. Apapun mekanisme yang
mendasarinya, bila terjadi pengumpulan darah dalam rongga perikardium dengan jumlah
berapapun maka akan terjadi mekanisme tamponade. Tamponade jantung dapat
disebabkan oleh luka tembus maupun cedera tumpul.
Trauma toraks penting lainnya harus dideteksi selama secondary survey walaupun
cedera tersebut tidak segera mengancam nyawa tetapi cedera tersebut potensial untuk
memburuk.
a) Emfisema Subkutis
Emfisema subkutis dapat disebabkan oleh cedera airway, parenkim paru, atau yang
jarang yaitu cedera ledakan. Walaupun tidak memerlukan terapi, penyebab timbulnya
kelainan ini harus dicari. Jika penderita menggunakan ventilasi dengan tekanan positif
pemasangan selang dada harus dipertimbangkan untuk dipasang pada sisi yang
terdapat emfisema subkutis sebagai antisipasi terhadap berkembannya tension
pneumotoraks.
b) Crushing injury to the chest (traumatic asphiyxia)
Tergencetnya toraks akan menimbulakan kompresi yang tiba-tiba dan sementara
terhadap vena cava superior dan menimbulkan letora serta petechiae yang meliputi
badan bagian atas, wajah dan lengan. Dapat terjadi edema yang berat, bahkan edema
otak. Yang harus diterapi adalah cedera penyerta.

D. TRAUMA ABDOMEN

Trauma abdomen Abdomen adalah bagian tubuh yang berbentuk rongga terletak
diantara toraks dan pelvis. Rongga ini berisi viscera dan dibungkus dinding (abdominal
wall) yang terbentuk dari dari otot-otot abdomen, columna vertebralis,dan ilium. Untuk
membantu menetapkan suatu lokasi di abdomen, yang paling sering dipakai adalah
pembagian abdomen oleh dua buah bidang bayangan horizontal dan dua bidang bayangan
vertikal. Bidang bayangan tersebut membagi dinding anterior abdomen menjadi sembilan
daerah (regiones). Dua bidang diantaranya berjalan horizontal melalui setinggi tulang
rawan iga kesembilan, yang bawah setinggi bagian atas crista iliaca dan dua bidang
lainnya vertikal di kiri dan kanan tubuh yaitu dari tulang rawan iga kedelapan hingga ke
pertengahan ligamentum inguinale.

yaitu:

1) Hypocondriaca dextra
meliputi organ: lobus kanan hepar, kantung empedu, sebagian duodenum, fleksura
hepatik kolon, sebagian ginjal kanan dan kelenjar suprarenal kanan.
2) Epigastrica meliputi organ: pilorus gaster, duodenum, pankreas dan sebagian hepar.
3) Hypocondriaca sinistra
meliputi organ: gaster, lien, bagian kaudal pankreas, fleksura lienalis kolon, bagian
proksimal ginjal kiri dan kelenjar suprarenal kiri.
4) Lateralis dextra
meliputi organ: kolon ascenden, bagian distal ginjal kanan, sebagian duodenum dan
jejenum.
5) Umbilicalis
meliputi organ: Omentum, mesenterium, bagian bawah duodenum, jejenum dan ileum.
6) Lateralis sinistra
meliputi organ: kolon ascenden, bagian distal ginjal kiri, sebagian jejenum dan ileum.
7) Inguinalis dextra
meliputi organ: sekum, apendiks, bagian distal ileum dan ureter kanan.
8) Pubica
meliputi organ: ileum, vesica urinaria dan uterus (pada kehamilan).
9) Inguinalis sinistra
meliputi organ: kolon sigmoid, ureter kiri dan ovarium kiri
Inervasi dinding abdomen oleh nervi (nn) torakalis ke-8 sampai dengan 12. Nervus
(n) torakalis ke-8 setinggi margo kostalis ke-10 setinggi umbilikus, n. torakalis ke-12
setinggi suprainguinal. Peritoneum parietalis yang menutup dinding abdomen depan
sangat kaya saraf somatik sementara peritoneum yang menutup pelvis sangat sedikit saraf
somatik sehingga iritasi peritoneum pelvis pasien sulit menentukan lokasi nyeri.
Peritoneum diafragmatika pars sentralis disarafi nervi spinalis C5 mengakibatkan iritasi
pars sentralis diafragma mempunyai nyeri alih di bahu, yang disebut Kehr sign

Trauma adalah sebuah mekanisme yang disengaja ataupun tidak disengaja sehingga
menyebabkan luka atau cedera pada bagian tubuh. Jika trauma yang didapat cukup berat
akan mengakibatkan kerusakan anatomi maupun fisiologi organ tubuh yang terkena.
Trauma dapat menyebabkan gangguan fisiologi sehingga terjadi gangguan metabolisme,
kelainan imunologi, dan gangguan faal berbagai organ. Penderita trauma berat mengalami
gangguan faal yang penting, seperti kegagalan fungsi membran sel, gangguan
integritasendotel, kelainan sistem imunologi, dan dapat pula terjadi koagulasi
intravaskular menyeluruh (DIC = diseminated intravascular coagulation). Trauma
abdomen pada garis besarnya dibagi menjadi trauma tumpul dan trauma tajam. Keduanya
mempunyai biomekanika, dan klinis yang berbeda sehingga algoritma penanganannya
berbeda. Trauma abdomen dapat menyebabkan laserasi organ tubuh sehingga
memerlukan tindakan pertolongan dan perbaikan pada organ yang mengalami kerusakan.

Trauma pada abdomen dapat di bagi menjadi dua jenis:

a.Trauma penetrasi : Trauma Tembak, Trauma Tusuk

b.Trauma non-penetrasi atau trauma tumpul: diklasifikasikan ke dalam 3 mekanisme


utama, yaitu tenaga kompresi (hantaman), tenaga deselerasi dan akselerasi. Tenaga
kompresi (compression or concussive forces) dapat berupa hantaman langsung atau
kompresi eksternal terhadap objek yang terfiksasi. Misalnya hancur akibat kecelakaan,
atau sabuk pengaman yang salah (seat belt injury). Hal yang sering terjadi adalah
hantaman, efeknya dapat menyebabkan sobek dan hematom subkapsular pada organ padat
visera. Hantaman juga dapat menyebabkan peningkatan tekanan intralumen pada organ
berongga dan menyebabkan ruptur.

Pengeluaran darah yang banyak dapat berlangsung di dalam kavum abdomen tanpa
atau dengan adanya tanda-tanda yang dapat diamati oleh pemeriksa, dan akhir-akhir ini
kegagalan dalam mengenali perdarahan intraabdominal adalah penyebab utama kematian
dini pasca trauma. Selain itu, sebagian besar cedera pada kavum abdomen bersifat
operatif dan perlu tindakan segera dalam menegakan diagnosis dan mengirim pasien ke
ruang operasi.

Trauma tajam

Trauma tajam abdomen adalah suatu ruda paksa yang mengakibatkan luka pada
permukaan tubuh dengan penetrasi ke dalam rongga peritoneum yang disebabkan oleh
tusukan benda tajam. Trauma akibat benda tajam dikenal dalam tiga bentuk luka yaitu:

luka iris atau luka sayat (vulnus scissum), luka tusuk (vulnus punctum) atau luka bacok
(vulnus caesum). Luka tusuk maupun luka tembak akan mengakibatkan kerusakan
jaringan karena laserasi ataupun terpotong. Luka tembak dengan kecepatan tinggi akan
menyebabkan transfer energi kinetik yang lebih besar terhadap organ viscera, dengan
adanya efek tambahan berupa temporary cavitation, dan bisa pecah menjadi fragmen yang
mengakibatkan kerusakan lainnya. Kerusakan dapat berupa perdarahan bila mengenai
pembuluh darah atau organ yang padat. Bila mengenai organ yang berongga, isinya akan
keluar ke dalam rongga perut dan menimbulkan iritasi pada peritoneum.

Trauma tumpul

Trauma tumpul kadang tidak menimbulkan kelainan yang jelas pada permukaan
tubuh, tetapi dapat mengakibatkan cedera berupa kerusakan daerah organ sekitar, patah
tulang iga, cedera perlambatan (deselerasi), cedera kompresi, peningkatan mendadak
tekanan darah, pecahnya viskus berongga, kontusi atau laserasi jaringan maupun organ
dibawahnya. Mekanisme terjadinya trauma pada trauma tumpul disebabkan adanya
deselerasi cepat dan adanya organ-organ yang tidak mempunyai kelenturan (non
complient organ) seperti hati, lien, pankreas, dan ginjal. Secara umum mekanisme
terjadinya trauma tumpul abdomen yaitu:

1) Saat pengurangan kecepatan menyebabkan perbedaan gerak di antara struktur.


Akibatnya, terjadi tenaga potong dan menyebabkan robeknya organ berongga, organ
padat, organ visceral dan pembuluh darah, khususnya pada bagian distalorgan yang
terkena. Contoh pada aorta distal yang mengenai tulang torakal mengakibatkangaya
potong pada aorta dapat menyebabkan ruptur. Situasi yang sama dapat terjadi pada
pembuluh darah ginjal dan pada cervicothoracic junction
2) Isi intra abdominal hancur diantara dinding abdomen anterior dan columna vertebra
atau tulang toraks posterior. Hal ini dapat menyebabkan ruptur,biasanya terjadi pada
organ-organ padat seperti lien, hati, dan ginjal.
3.) Gaya kompresi eksternal yang menyebabkan peningkatan tekanan intra-abdomen yang
tiba-tiba dan mencapai puncaknya biasanya menyebabkan ruptur organ berongga.
Berat ringannya perforasi tergantung dari gaya dan luas permukaan organ yang terkena
cedera.

Kerusakan organ lunak karena trauma tumpul biasanya terjadi sesuai dengan tulang
yang terkena seperti terlihat pada tabel sebagai berikut:

Tabel 6. Cedera Organ Terkait Fraktur Langsung

Organ/area yang terkena langsung Cedera yang mungkin terkait


Fraktur kosta kanan Cedera hepar
Fraktur kosta kiri Rupture lien
Kontusio midepigastrium Perforasi duodenum, cedera pankreas
Fraktur prosessus transversalis lumbal Cedera ginjal
Fraktur pelvis Ruptur VU, cedera uretra

E. FRAKTUR FEMUR

Definisi Fraktur Femur

Fraktur femur adalah diskontinuitas atau hilangnya struktur dari tulang femur
(Mansjoer, 2000). Sedangkan menurut Sjamsuhidajat (2004) fraktur femur adalah fraktur
pada tulang femur yang disebabkan oleh benturan atau trauma langsung maupun tidak
langsung. Fraktur femur juga didefinisikan sebagai hilangnya kontinuitas tulang paha,
kondisi fraktur femur secara klinis bisa berupa fraktur femur terbuka yang disertai
adanya kerusakan jaringan lunak (otot, kulit, jaringan saraf dan pembuluh darah) dan
fraktur femur tertutup yang dapat disebabkan oleh trauma langsung pada paha (Helmi,
2012)

Dari beberapa penjelasan tentang fraktur femur di atas, dapat disimpulkan bahwa
fraktur femur merupakan suatu keadaan dimana terjadi kehilangan kontinuitas tulang
femur yang dapat disebabkan oleh trauma langsung maupun trauma tidak langsung
dengan adanya kerusakan jaringan lunak.

Klasifikasi Fraktur Femur


Menurut Helmi (2012) faktur femur dapat dibagi lima jenis berdasarkan letak
garis fraktur seperti dibawah ini:

a. Fraktur Intertrokhanter Femur


Merupakan patah tulang yang bersifat ekstra kapsuler dari femur, sering
terjadi pada lansia dengan kondisi osteoporosis. Fraktur ini memiliki risiko nekrotik
avaskuler yang rendah sehingga prognosanya baik. Penatalaksanaannya sebaiknya
dengan reduksi terbuka dan pemasangan fiksasi internal. Intervensi konservatif
hanya dilakukan pada penderita yang sangat tua dan tidak dapat dilakukan dengan
anestesi general.

b. Fraktur Subtrokhanter Femur


Garis fraktur berada 5 cm distal dari trokhanter minor, diklasifikasikan
menurut Fielding & Magliato sebagai berikut: 1) Tipe 1 adalah garis fraktur satu
level dengan trokhanter minor; 2) Tipe 2 adalah garis patah berada 1-2 inci di bawah
dari batas atas trokhanter minor; 3) Tipe 3 adalah 2-3 inci dari batas atas trokhanter
minor. Penatalaksanaannya dengan cara reduksi terbuka dengan fiksasi internal dan
tertutup dengan pemasangan traksi tulang selama 6-7 minggu kemudian dilanjutkan
dengan hip gips selam tujuh minggu yang merupakan alternatif pada pasien dengan
usia muda.

c. Fraktur Batang Femur


Fraktur batang femur biasanya disebabkan oleh trauma langsung, secara
klinis dibagi menjadi: 1) fraktur terbuka yang disertai dengan kerusakan jaringan
lunak, risiko infeksi dan perdarahan dengan penatalaksanaan berupa debridement,
terapi antibiotika serta fiksasi internal maupun ekternal; 2) Fraktur tertutup dengan
penatalaksanaan konservatif berupa pemasangan skin traksi serta operatif dengan
pemasanganplate-screw.

d. Fraktur Suprakondiler Femur


Fraktur ini disebabkan oleh trauma langsung karena kecepatan tinggi
sehingga terjadi gaya aksial dan stress valgus atau varus dan disertai gaya rotasi.
Penatalaksanaan berupa pemasanga traksi berimbang dengan menggunakan bidai
Thomas dan penahan lutut Pearson, cast-bracing dan spika pinggul serta operatif
pada kasus yang gagal konservatif dan fraktur terbuka dengan pemasangan nail-
phroc dare screw.

e. Fraktur Kondiler Femur


Mekanisme trauma fraktur ini biasanya merupakan kombinasi dari gaya
hiperabduksi dan adduksi disertai denga tekanan pada sumbu femur ke atas.
Penatalaksanaannya berupa pemasangan traksi tulang selama 4-6 minggu dan
kemudian dilanjutkan dengan penggunaan gips minispika sampai union sedangkan
reduksi terbuka sebagai alternatif apabila konservatif gagal.

Proses Penyembuhan Fraktur


Fraktur akan menyatu baik di bebat atau tidak, tanpa suatu mekanisme alami
untuk menyatu. Namun tidak benar bila dianggap bahwa penyatuan akan terjadi jika
suatu fraktur dibiarkan tetap bergerak bebas. Sebagian besar fraktur dibebat, tidak
untuk memastikan penyatuan, tetapi untuk meringankan nyeri, memastikan bahwa
penyatuan terjadi pada posisi yang baik dan untuk melakukan gerakan lebih awal
dan mengembalikan fungsi (Smeltzer & Bare, 2002).

Proses penyembuhan fraktur beragam sesuai dengan jenis tulang yang


terkena dan jumlah gerakan di tempat fraktur. Penyembuhan dimulai dengan lima
tahap, yaitu sebagai berikut:

a) Tahap kerusakan jaringan dan pembentukan hematom (1-3hari)


Pada tahap ini dimulai dengan robeknya pembuluh darah dan terbentuk
hematoma di sekitar dan di dalam fraktur. Tulang pada permukaan fraktur, yang
tidak mendapat persediaan darah, akan mati sepanjang satu atau dua milimeter.
Hematom ini kemudian akan menjadi medium pertumbuhan sel jaringan fibrosis
dan vaskuler sehingga hematom berubah menjadi jaringan fibrosis dengan kapiler di
dalamnya (Black & Hawks, 2001).

b) Tahap radang dan proliferasi seluler (3 hari–2minggu)


Setelah pembentukan hematoma terdapat reaksi radang akut disertai
proliferasi sel di bawah periosteum dan di dalam saluran medula yang tertembus.
Ujung fragmen dikelilingi oleh jaringan sel yang menghubungkan tempat fraktur.
Hematoma yang membeku perlahan-lahan diabsorbsi dan kapiler baru yang halus
berkembang ke dalam daerah tersebut (Black & Hawks, 2001; Sjamsuhidajat dkk,
2010).

c) Tahap pembentukan kalus (2-6minggu)


Sel yang berkembangbiak memiliki potensi kondrogenik dan osteogenik, bila
diberikan keadaan yang tepat, sel itu akan mulai membentuk tulang dan dalam
beberapa keadaan, juga kartilago. Populasi sel juga mencakup osteoklas yang mulai
membersihkan tulang yang mati. Massa sel yang tebal, dengan pulau-pulau tulang
yang imatur dan kartilago, membentuk kalus atau bebat pada permukaan periosteal
dan endosteal. Sementara tulang fibrosa yang imatur menjadi lebih padat,
gerakan pada tempat fraktur semakinberkurang pada empat minggu setelah
fraktur menyatu (Sjamsuhidajat dkk, 2010).

d) Osifikasi (3 minggu-6bulan)
Kalus (woven bone) akan membentuk kalus primer dan secara perlahan–
lahan diubah menjadi tulang yang lebih matang oleh aktivitas osteoblas yang
menjadi struktur lamellar dan kelebihan kalus akan di resorpsi secara bertahap.
Pembentukan kalus dimulai dalam 2-3 minggu setelah patah tulang melalaui proses
penulangan endokondrial. Mineral terus menerus ditimbun sampai tulang benar-
benar bersatu (Smeltzer & Bare, 2010).

e) Konsolidasi (6-8bulan)
Bila aktivitas osteoklastik dan osteoblastik berlanjut, fibrosa yang imatur
berubah menjadi tulang lamellar. Sistem itu sekarang cukup kaku untuk
memungkinkan osteoklas menerobos melalui reruntuhan pada garis fraktur, dan
dekat di belakangnya osteoblas mengisi celah-celah yang tersisa antara fragmen
dengan tulang yang baru. Ini adalah proses yang lambat dan mungkin perlu sebelum
tulang cukup kuat untuk membawa beban yang normal (Sjamsuhidajat dkk,2010).

f) Remodeling (6-12bulan)
Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang padat. Selama beberapa
bulan, atau bahkan beberapa tahun, pengelasan kasar ini dibentuk ulang oleh proses
resorpsi dan pembentukan tulang akan memperoleh bentuk yang mirip bentuk
normalnya (Black & Hawks, 2001; Sjamsuhidajat dkk, 2010; Smeltzer & Bare,
2002).

Penatalaksanaan Fraktur
Prinsip penanganan fraktur adalah mengembalikan posisi patahan tulang ke
posisi semula (reposisi) dan mempertahankan posisi itu selama masa penyembuhan
patah tulang (imobilisasi) (Sjamsuhidajat dkk, 2010).

a) Reposisi
Tindakan reposisi dengan cara manipulasi diikuti dengan imobilisasi
dilakukan pada fraktur dengan dislokasi fragmen yang berarti seperti pada fraktur
radius distal. Reposisi dengan traksi dilakukan terus-menerus selama masa tertentu,
misalnya beberapa minggu, kemudian diikuti dengan imobilisasi. Tindakan ini
dilakukan pada fraktur yang bila direposisi secara manipulasi akan terdislokasi
kembali dalam gips. Cara ini dilakukan pada fraktur dengan otot yang kuat,
misalnya fraktur femur (Smeltzer, 2010).

Reposisi dilakukan secara non-operatif diikuti dengan pemasangan fiksator


tulang secara operatif, misalnya reposisi patah tulang pada fraktur kolum femur.
Fragmen direposisi secara non-operatif dengan meja traksi, setelah tereposisi,
dilakukan pemasangan prosthesis secara operatif pada kolum femur
(Smeltzer,2010).Reposisi diikuti dengan imobilisasi dengan fiksasi luar (OREF)
dilakukan untuk fiksasi fragmen patahan tulang, dimana digunakan pin baja yang
ditusukkan pada fragmen tulang, kemudian pin baja disatukan secara kokoh dengan
batangan logam di kulit luar. Beberapa indikasi pemasangan fiksasi luar antara lain
fraktur dengan rusaknya jaringan lunak yang berat (termasuk fraktur terbuka),
dimana pemasangan internal fiksasi terlalu berisiko untuk terjadi infeksi, atau
diperlukannya akses berulang terhadap luka fraktur di sekitar sendi yang cocok
untuk internal fiksasi namun jaringan lunak terlalu bengkak untuk operasi yang
aman, pasien dengan cedera multiple yang berat, fraktur tulang panggul dengan
perdarahan hebat, atau yang terkait dengan cedera kepala, fraktur dengan infeksi
(Smeltzer, 2010).

Reposisi secara operatif dikuti dengan fiksasi patahan tulang dengan


pemasangan fiksasi interna (ORIF), misalnya pada fraktur femur, tibia, humerus,
atau lengan bawah. Fiksasi interna yang dipakai bisa berupa pen di dalam sumsum
tulang panjang, bisa juga plat dengan skrup di permukaan tulang. Keuntungan
reposisi secara operatif adalah dapat dicapai reposisi sempurna, dan bila dipasang
fiksasi interna yang kokoh, sesudah operasi tidak diperlukan pemasangan gips lagi
dan segera bisa dilakukan imobilisasi. Indikasi pemasangan fiksasi interna adalah
fraktur tidak bisa di reduksi kecuali dengan operasi, fraktur yang tidak stabil dan
cenderung terjadi displacement kembali setelah reduksi fraktur dengan penyatuan
yangburukdan perlahan (fraktur femoral neck), fraktur patologis, fraktur multiple
dimana dengan reduksi dini bisa meminimkan komplikasi, fraktur pada pasien
dengan perawatan yang sulit (paraplegia, pasien geriatri) (Smeltzer, 2010;
Sjamsuhidajat dkk, 2010; Bucholz; Heckman; Court-Brown, 2010).

b) Imobilisasi
Pada imobilisasi dengan fiksasi dilakukan imobilisasi luar tanpa reposisi,
tetapi tetap memerlukan imobilisasi agar tidak terjadi dislokasi fragmen. Contoh
cara ini adalah pengelolaan fraktur tungkai bawah tanpa dislokasi yang penting.
Imobilisasi yang lama akan menyebabkan mengecilnya otot dan kakunya sendi.
Oleh karena itu diperlukan upaya mobilisasi secepat mungkin (Smeltzer,2010).

c) Rehabilitasi
Rehabilitasi berarti upaya mengembalikan kemampuan anggota yang cedera
atau alat gerak yang sakit agar dapat berfungsi kembali seperti sebelum mengalami
gangguan atau cedera (Smeltzer, 2010).

Komplikasi Fraktur Femur


Komplikasi setelah fraktur adalah syok yang berakibat fatal dalam beberapa
jam setelah cedera, emboli lemak, yang dapat terjadi dalam 48 jam atau lebih, dan
sindrom kompartemen, yang berakibat kehilangan fungsi ekstremitas permanent jika
tidak ditangani segera. Adapun beberapa komplikasi dari fraktur femur yaitu:

a) Syok
Syok hipovolemik atau traumatik akibat pendarahan (baik kehilangan darah
eksterna maupun interna) dan kehilangan cairan ekstrasel ke jaringan yang rusak
dapat terjadi pada fraktur ekstremitas, toraks, pelvis, dan vertebra karena tulang
merupakan organ yang sangat vaskuler, maka dapat terjadi kehilangan darah dalam
jumlah yang besar sebagai akibat trauma, khususnya pada fraktur femur pelvis
(Sjamsuhidajat, dkk,2010).

b) Emboli lemak
Setelah terjadi fraktur panjang atau pelvis, fraktur multiple atau cidera remuk
dapat terjadi emboli lemak, khususnya pada pria dewasa muda 20-30 tahun. Pada
saat terjadi fraktur globula lemak dapat termasuk ke dalam darah karna tekanan
sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler atau karna katekolamin yang di
lepaskan oleh reaksi stres pasien akan memobilitasi asam lemak dan memudahkan
terjadiya globula lemak dalam aliran darah. Globula lemak akan bergabung dengan
trombosit membentuk emboli, yang kemudian menyumbat pembuluh darah kecil
yang memasok otak, paru, ginjal dan organ lain. Awitan dan gejalanya yang sangat
cepat, dapat terjadi dari beberapa jam sampai satu minggu setelah cidera gambaran
khasnya berupa hipoksia, takipnea, takikardia, dan pireksia (Suratun, dkk, 2010).

c) Sindrom kompartemen (Volkmann’sIschemia)


Sindrom kompartemen adalah suatu kondisi dimana terjadi peningkatan
tekanan interstisial di dalam ruangan yang terbatas, yaitu di dalam kompartemen
osteofasial yang tertutup. Peningkatan tekanan intra kompartemen akan
mengakibatkan berkurangnya perfusi jaringan dan tekanan oksigen jaringan,
sehingga terjadi gangguan sirkulasi dan fungsi jaringan di dalam ruangan tersebut.
Ruangan tersebut terisi oleh otot, saraf dan pembuluh darah yang dibungkus oleh
tulang dan fascia serta otot-otot individual yang dibungkus oleh epimisium.
Sindrom kompartemen ditandai dengan nyeri yang hebat, parestesi, paresis, pucat,
disertai denyut nadi yang hilang. Secara anatomi sebagian besar kompartemen
terletak di anggota gerak dan paling sering disebabkan oleh trauma, terutama
mengenai daerah tungkai bawah dan tungkai atas (Smeltzer, 2010).

d) Nekrosis avaskulartulang
Cedera, baik fraktur maupun dislokasi, seringkali mengakibatkan iskemia
tulang yang berujung pada nekrosis avaskular. Nekrosis avaskuler ini sering
dijumpai pada kaput femoris, bagian proksimal dari os. Scapphoid, os. Lunatum,
dan os. Talus (Sjamsuhidajat, 2010).

e) Atrofi otot
Atrofi adalah pengecilan dari jaringan tubuh yang telah mencapai ukuran
normal. Mengecilnya otot tersebut terjadi karena sel-sel spesifik yaitu sel- sel
parenkim yang menjalankan fungsi otot tersebut mengecil. Pada pasien fraktur,
atrofi terjadi akibat otot yang tidak digerakkan (disuse) sehingga metabolisme sel
otot, aliran darah tidak adekuat ke jaringan otot (Sjamsuhidajat, dkk,2010).

F. INITIAL EMERGENCY ASSESMENT


I. Primary Survey
Primary Survey merupakan tindakan yang dilakukan dengan cepat untuk menilai
keadaan pasien dan mengenali kondisi maupun cedera pada pasien yang mengancam
jiwa. Primary Survey terdiri dari A-B-C-D-E, yaitu :
A. Airway with C-Spine Protection
B. Breathing and Ventilation
C. Circulation with hemorrhage control
D. Disability : neurostatus
E. Exposure with environmental control

A. Airway with C-spine Protection


Pada korban kecelakaan /kekerasan khususnya yang mengalami penurunan
kesadaran perlu dinilai apakah jalan nafas dalam keadaan bebas tanpa ada hambatan,
atau terdapat benda cair (darah, muntahan) maupun padat (makanan padat, gigi palsu,
lidah) yang menghambat jalan nafas. Sumbatan jalan nafas ditandai dengan adanya
suara suara serak maupun kesulitan bicara pada pasien yang masih sadar, pasien
gelisah karena hipoksia, adanya gerakan otat nafas tambahan saat bernafas, terapat
suara nafas yang tidak normal seperti snoring, stridor (suara mendengkur), gargling
( seperti berkumur) maupun hoarseness dan munculnya sianosis pada pasien. Jika
terdapat tanda terjadinya sumbatan jalan nafas, maka perlu dilakukan :
 Head tilt/chin lift technique maneuver
Letakkan dua jari di bawah tulang dagu, kemudian hati-hati angkat ke atas hingga
rahang bawah terangkat ke depan. Selama tindakan ini, perhatikan leher jangan
sampai menengadah berlebihan (hiperekstensi).
 Jaw thrust maneuver
Doronglah sudut rahang bawah (angulus mandibulae) ke depan hingga rahang bawah
terdorong ke depan.

Kedua tindakan tersebut bukanlah usaha mempertahankan jalan nafas secara


definitif, sehingga obstruksi jalan nafas dapat kembali terjadi. Pada pasien yang tidak
sadar, di mana sumbatan jalan nafas terjadi lagi saat maneuver dilepaskan, maka perlu
dilakukan pemasangan oropharingeal airway (OPA) untuk menahan lidah agar tidak
menghambat jalan nafas. Jika terdengar suara gargling, lakukan suction untuk
menghisap cairan yang ada di sekitar rongga mulut yang mungkin berasal dari
perdarahan maupun muntahan pasien. Bila cara-cara tersebut tidak cukup untuk
mengatasi sumbatan jalan nafas pada pasien, maka perlu dilakukan upaya menjaga
jalan nafas secara definitif dengan melakukan intubasi trakea (pemasangan
endotracheal tube/ETT) langsung ke saluran nafas. Indikasi tindakan ini adalah :
• Obstruksi jalan nafas yang sukar diatasi
• Luka tembus leher dengan hematoma yang membesar
• Apnea
• Hipoksia
• Trauma kepala berat
• Trauma dada
• Trauma wajah / maxillofacial
Pemasangan C-spine perlu dipertimbangkan pada pasien dengan keadaan maupun
riwayat mekanisme cidera sebagai berikut : Cidera multiple maxillofacial, Cidera di
daerah leher dan atas leher, Jatuh dari ketinggian, Kecelakaan lalu lintas dengan
kecepatan kendaraan yang tinggi, Jatuh terlempar dari kendaraan.

B. Breathing and Ventilation


Setelah dipastikan jalan nafas bebas, maka dinilai apakah oksigenisasi pasien sudah
cukup baik atau belum dengan cara : inspeksi (apakah pasien bernafas spontan/tidak,
simetris gerakan dinding dada saat bernafas, adanya retraksi dan penggunaan otot
tambahan saat bernafas, tanda cedera yang mengenai jalan nafas seperti luka ataupun
jejas di daerah dada dan leher, ada deviasi trakea/tidak), palpasi (adakah krepitasi
daerah dada dan leher, tanda fraktur tulang iga, deviasi /pergeseran trakea), auskultasi
(dengarkan suara nafas di kedua dinding dada, adakah bunyi nafas tambahan, apakah
suara nafas melemah). Jika terdapat kecurigaan cidera di dinding dada yang
menyebabkan pneumothorax, lakukan dekompresi rongga pleura dan lakukan
penutupan luka dengan verband tiga sisi apabila terdapat luka terbuka di daerah dada.
Berikan oksigen sesuai dengan kebutuhan untuk memberikan kecukupan oksigen
pada pasien. Jika terjadi henti nafas, maka berikan nafas buatan pada pasien (cara
memberikan nafas buatan dapat dilihat pada executive summary basic life support).

C. Circulation and Hemorrhage Control


Prinsip pada tahap ini adalah menjaga sirkulasi darah dan mengontrol perdarahan
agar korban tidak jatuh dalam keadaan syok (tidak tercukupinya aliran darah ke
seluruh tubuh sehingga terjadi kekurangan oksigen pada jaringan tubuh terutama
organ-organ vital), yang diantaranya ditandai dengan penurunan kesadaran,
menurunnya tekanan darah, meningkatnya denyut jantung dan berkurangnya produksi
urine. Produksi urine yang normal adalah 1 cc/kg BB/jam. Pada pasien yang diduga
mengalami syok, sebaiknya langsung dipasang kateter urine, sehingga dapat dipantau
secara obyektif produksi urine pasien. Apabila terdapat luka terbuka sebagai sumber
perdarahan, maka dilakukan penekanan pada daerah tersebut sebagai upaya
emergency untuk mengurangi/menghentikan perdarahan. Pada pasien langsung
dilakukan pemasangan infus dua line pada tangan kanan dan kiri untuk pemberian
cairan. Cairan kristaloid yang diberikan (misalnya NaCl 0,9%) dihangatkan terlebih
dahulu untuk menghindari terjadinya hipotermia. Keadaan hipotermia dapat
menyebabkan terjadinya gangguan pembekuan darah. Sebelum diberikan cairan infus
diambil sampel darah untuk pemeriksaan laboratorium dan cross match golongan
darah.

D. Disability
Penilaian disability ditujukan untuk menilai kesadaran pasien secara cepat, apakah
pasien sadar dan dapat berkomunikasi dengan baik, hanya respon dengan rangsangan
nyeri atau sama sekali tidak sadar. Perlu dilakukan pemeriksaan pupil untuk menilai
ada tidaknya dilatasi. Pada korban juga dilakukan pemeriksaan untuk menilai ada
tidaknya lateralisasi yang menunjukkan adanya defisit neurologis pada satu sisi tubuh.
Tidak dianjurkan melakukan pemeriksaan Pemeriksaan neurologis secara keseluruhan
sesuai metoda Glasgow Coma Scale belum dianjurkan pada tahap Primary Survey.

E. Exposure
Perlu dilakukan penilaian secara menyeluruh terhadap tubuh pasien untuk melihat
cedera yang mungkin belum terdeteksi karena tertutup pakaian. Seluruh pakaian
pasien dilepaskan, sehingga seluruh permukaan tubuh sisi depan dan belakang
terekspose untuk diperiksa. Segera tutupi tubuh pasien dengan selimut untuk
menghindari terjadinya hipotermia. Hati-hati ketika melakukan pemeriksaan sisi
belakang pasien yang dicurigai mengalami cedera leher. Pastikan mobilisasi yang
dilakukan terhadap pasien tidak memperberat cidera servical yang ada. Umumnya
diperlukan 3 orang untuk tetap mempertahankan posisi imobilisasi in-line sesuai
prosedur pada pasien dengan cidera servical.

Melakukan imobilisasi in-line pasien dengan cidera servical

II. Secondary Survey


Secondary Survey hanya dilakukan setelah kondisi ABC (Airway – Breathing dan
Circulation) pasien stabil. Jika saat melakukan Secondary Survey kondisi pasien
memburuk, maka penolong harus mengulang ke tahap Primary Survey kembali. Pada
secondary survey dilakukan pemeriksaan menyeluruh dari kepala hingga kaki (head to
toe examination), yaitu :
Pemeriksaan kepala :
• Kelainan kulit kepala dan bola mata
• Telinga bagian luar dan membrana timpani
• Cidera jaringan lunak periorbital Pemeriksaan leher
• Luka tembus leher
• Emfisema subkutan
• Deviasi trachea
• Distensi vena leher

Pemeriksaan neurologis :
• Penilaian fungsi otak dengan Glasgow Coma Scale (GCS)
• Penilaian fungsi medula spinalis dengan aktivitas motorik
• Penilaian rasa raba / sensasi dan refleks

Pemeriksaan dada:
• Clavicula dan semua tulang iga
• Bunyi nafas dan bunyi jantung
• Pemantauan ECG (bila tersedia)

Pemeriksaan rongga perut (abdomen)


• Luka tembus abdomen memerlukan eksplorasi bedah
• Pasanglah pipa nasogastrik pada pasien trauma tumpul abdomen, kecuali bila
ada trauma wajah
• Pemeriksaan dubur (rectal touche)
• Pasang kateter kandung seni jika tidak ada darah di meatus externus

Pelvis dan ekstremitas


• Cari adanya fraktura (pada kecurigaan fraktur pelvis jangan melakukan tes
gerakan apapun karenaberisiko untuk memperberat perdarahan)
• Cari denyut nadi-nadi perifer pada daerah trauma
• Cari adanya luka, memar dan cidera lain

Pemeriksaan Penunjang
Beberapa pemeriksaan penunjang (adjuncts) perlu dilakukan saat secondary
survey, sesuai dengan indikasi seperti :
- Pemeriksaan rontgen (bila memungkinkan) untuk :
- Dada dan tulang leher (semua 7 ruas tulang leher harus nampak)
- Pelvis dan tulang panjang
- Tulang kepala untuk melihat adanya fraktura bila trauma kepala tidak disertai
defisit neurologis fokal Foto dada dan pelvis mungkin sudah diperlukan
sewaktu primary survey

Diagnostic Peritoneal Lavage (DPL)


Dapat membantu menemukan adanya darah atau cairan usus dalam rongga
perut. Hasilnya dapat amat membantu. Tetapi DPL ini hanya berfungsi sebagai alat
diagnostik. Bila ada keraguan, kerjakan laparatomi (gold standard).
Indikasi untuk melakukan DPL sebagai berikut :
- Nyeri abdomen yang tidak bisa diterangkan sebabnya
- Trauma pada bagian bawah dari dada
- Hipotensi, hematokrit turun tanpa alasan yang jelas
- Pasien cedera abdominal dengan gangguan kesadaran (obat,alkohol, cedera otak)
- Pasien cedera abdominal dan cedera medula spinalis (sumsum tulang belakang)
- Patah tulang pelvis.
Kontra indikasi relatif melakukan DPL sebagai berikut.:
- Hamil
- Pernah operasi abdominal
- Operator tidak berpengalaman
- Bila hasilnya tidak akan merubah penata-laksanaan

TRANSPORTASI PASIEN KE FASILITAS KESEHATAN RUJUKAN


Transportasi pasien kritis ke fasilitas kesehatan rujukan memiliki risiko yang
tinggi sehingga diperlukan perencanaan, persiapan dan komunikasi yang baik. Pasien
harus distabilisasi lebih dulu sebelum dievakuasi ke fasilitas kesehatan rujukan.
Prinsipnya pasien hanya ditransportasi untuk mendapat fasilitas yang lebih baik dan
lebih tingggi di tempat tujuan.
- Perencanaan dan persiapan meliputi :
- Menentukan jenis transportasi (mobil, perahu, pesawat terbang)
- Menentukan tenaga keshatan yang mendampingi pasien
- Menentukan peralatan dan persediaan obat yang diperlukan selama perjalanan baik
kebutuhan rutin maupun darurat
- Menentukan kemungkinan penyulit
- Menentukan pemantauan pasien selama transportasi

Komunikasi yang efektif sangat penting untuk menghubungkan :


- Rumah sakit tujuan
- Penyelenggara transportasi
- Petugas pendamping pasien
- Pasien dan keluarganya

Untuk stabilisasi yang efektif diperlukan:


- Resusitasi yang cepat
- Menghentikan perdarahan dan menjaga sirkulasi
- Imobilisasi fraktur
- Analgesia Jika kondisi pasien memburuk lakukan evaluasi ulang mulai dengan
survey primer kembali, berikan terapi yang adekuat untuk kondisi yang mengancam
jiwa dan nilailah kembali fungsi organ yang terganggu dengan lebih teliti.
V. Kerangka Konsep

V. Kerangka Konsep

Supir minibus, laki-laki, 30 tahun, mengalami kecelakaan menabrak pohon beringin dan terlempar keluar melalui kaca depan mobil

Trauma wajah akibat Tubuh atas terbentur kemudi Lutut menghantam


terbentur kaca depan atau dashboard
benda lain di jalan
Trauma Nyeri tekan Trauma
Thorax dada Abdomen Fraktur tertutup
Luka lecet di dahi & femur sinistra
pelipis kanan Stimulasi Ruptur jaringan dan
Fraktur Costae
nosiseptor perdarahan
9, 10, 11 dextra
intraabdomen Deformitas
Merobek pleura Memar dada paha kiri
Ruptur jaringan
visceralis/parietal dextra kanan akibat Peritonitis
Fragmen tulang Stimulasi
Hipersonor pada ekstravasasi nosiseptor oleh
mencederai a.
Udara atsmofer masuk perkusi thoraks darah di Nyeri ketok dan femoralis fragmen tulang
mengisi kavum pleura krn dextra sekitar lesi tekan, defans sinistra
perbedaan tekanan muscular +
Tekanan dalam kavum Menekan vena cava Hematoma paha Nyeri tekan
pleura dextra meningkat tengah kiri paha kiri
Kavum pleura bertekanan
positif
Gangguan
Menekan mediastinum Distensi vena
Udara terperangkap di kavum venous return
pleura (tension pneumothorax) ke kontralateral jugularis

Trakea bergeser Cardiac output


Pulmo dextra kolaps ke kiri ↓, hipoperfusi Kulit pucat, dingin, berkeringat dingin
jaringan Sianosis
Syok (hipotensi, takikardi, takipnea)
Gerakan dinding asimetris, Bunyi napas Merintih
dada kanan tertinggal kanan melemah
VI. Sintesis

Seorang supir minibus mengalami kecelakaan lalu lintas dengan mekanisme aselerasi
deselerasi pada lokasi yang tidak terlalu jauh dari RSUD (100m) tapi cukup jauh dari RSMH
(40km). Minibus yang melaju dengan kecepatan tinggi menabrak pohon beringin besar
hingga supirnya terlempar keluar. Supir yang kemungkinan besar tidak mengenakan sabuk
pengaman akan mengalami beberapa fase gerakan dan kemungkina mengalami trauma
multiple seperti yang tertera pada tabel 7 berikut.

Tabel 7. Fase-fase gerakan saat kecelakaan

Fase ke- Kronologis Trauma

1 Bagian bawah penderita tergeser  Fraktur femur dan lutut


kedepan, biasanya lutut akan  Dislokasi sendi panggul dan lutut

menghantam dashboard dengan keras


yang menimbulkan bekas benturan
pada dashboard tersebut.

2 Bagian atas penderita turut tergeser  Cedera pada organ thorax dan abdomen
kedepan sehingga dada dan atau perut  Fraktur costa

akan menghantam setir.

3 Tubuh penderita akan naik, lalu  Cedera kepala


kepala membentur kaca mobil bagian
depan atau bagian samping.

dr. Thamrin yang datang ke lokasi kejadian membawa peralatan seadanya dan
melakukan primary survey. Sebelum memulai primary survey, dr. Thamrin tetap harus
memastikan APD untuk keamaan dirinya. Selanjutnya, dilakukan quick assessment pada
pasien (supir minibus) dengan memperkenalkan diri, menanyai nama pasien dan apa yang
terjadi sembari mengecek arteri superfisial. Apabila pasien merespon dengan baik dan rabaan
arteri juga baik, airway, breathing, circulation, disability (ABCD) tidak mengalami
gangguan. Kemudian dilakukan pemeriksaan ABCD secara berututan dan melakukan
tatalaksana awal sebagai berikut.
 Airway relatif baik karena pasien masih dapat berbicara dan tidak ada sumbatan pada
jalan napas. Kontrol serviks dilakukan dengan memasang neck collar, lalu membuka atau
melonggarkan pakaian pasien, tapi cegah hipotermia, lakukan inspeks cepat.

 Breathing menunjukkan tanda-tanda tension pneuomothorax pada paru kanan (nyeri


dada, takipnea, suara napas menjauh, auskultasi hipersonor). Talaksana awal yang
seharusnya dilakukan adalah melakukan needle decompression pada ICS 5 linea midaxila
anterior lalu memberikan oksigen dengan ambu bag.

 Circulation kurang memadai karena ditemukan tanda-tanda gangguan perfusi oksigen ke


jaringan/ syok (hipotensi, takikardi, akral dingin, cyanosis, dan tanda anemis), tetapi tidak
ditemukan perdarahan di luar.

 Dissability menunjukkan nilai GCS 13 (cedera otak ringan)

 Exposure menunjukkan adanya deformitas pada paha kiri yang diduga akibat fraktur.
Tatalaksana awal yang dilakukan adalah pembidaian femur dextra degan spalek atau
traction splint sembari mengecek NVD pre dan prapemasangan.

Selanjutnya dr. Thamrin dan dua asisten melakukan “penggulingan” pasien (90°) ke long
spine board dengan teknik logroll (teknik agar tulang belakang, pelvis, dan lain-lain tidak
bergerak, membutuhkan min 3 orang) immobilisasi pada pasien. Kemudian pasien dibawa ke
IGD RSUD dengan ambulace.

Di IGD RSUD, dilakukan reevaluasi dengan melakukan pemeriksaan fisik kepala,


thorax, abdomen, dan ekstremitas.

 Pemeriksaan Kepala

Pada pemeriksaan kepala, didapati luka lecet di dahi dan pelipis kanan. Luka lecet
terjadi akibat cedera pada epidermis yang bersentuhan dengan benda yang memiliki
permukaan kasar atau runcing.

 Pemeriksaan Thorax

Pada pemeriksaan thorax, ditemukan tanda trauma (memar) pada dada kanan, tension
pneumothorax paru kanan (pergeseran trakea, gerakan dada asimetris, takipnea,
takikardi, bunyi napas menurun, distensi vena jugularis,) dan flail chest (krepitasi
pada costa IX, X, XI kanan yang kemungkinan fraktur). Dari pemeriksaan tanda vital
yang dilakukan, pasien ini juga sudah mengalami syok.

 Pemeriksaan Abdomen

Pada pemeriksaan abodomen, dapati tanda-tanda rangsang periotoneal berupa bising


usus menurun, nyeri tekan, dan defans muscular. Pasien ini kemungkinan sudah
mengalami peritonitis akibat perforasi organ intraperitoneal yang terkena trauma
(trauma ini bisa terjadi akibat fraktur pada costa IX, X, XI kanan yang mengani hati).

 Pemeriksaan Ekstremitas

Pada pemeriksaan ekstremitas, didapati hematom dan deformitas di paha tengah kiri
yang menunjukan adanya fraktur pada daerah tersebut.

Tindakan yang sebaiknya dilakukan di IGD adalah melakukan tatalaksana


awal untuk memperbaiki kondisi vital pasien berupa pembersihkan luka lecet kepala,
pemberian cairan dan oksigen, needle decompression untuk tension pneumothorax,
pemasangan perban dada untuk fail chest, dan stabiliasi fraktur femur. Pemeriksaan
penunjang yang bisa dilakukan adalah rontgen dada dan paha (AP, Lateral) untuk
melihat fraktur, serta FAST, dan DPL untuk melihat cairan bebas/ darah di rongga
abdomen. Apabila kondisi pasien sudah stabil, pasien dirujuk ke RSMH untuk
tatalaksana lebih lanjut.
BAB III
PENUTUP

I. Kesimpulan

Supir minibus, laki-laki 30 tahun, mengalami Tension pneumothorax dengan multiple


trauma, yaitu fraktur costae IX, X, dan XI dekstra, trauma abdomen, fraktur os femur
sinistra tertutup akibat kecelakaan lalu lintas
DAFTAR PUSTAKA

American Chollage of Surgeon Committe on Trauma. 2004. Advance Trauma Life Support
for Doctors.
Bresler, Michael Jay dan George L. Sternbach. 2007. Manual Kedokteran Darurat. Jakarta :
EGC
Chusid. 1991. Neuroanatomi Korelatif dan Neurology Fungsional, bagian dua. Gajah Mada
University Press
Harsono. 2003. Kapita Selekta Neurologi. edisi kedua. Gajah Mada University Press
Iskandar J. 1981. Cedera Kepala. PT Dhiana Populer. Kelompok Gramedia: Jakarta
Kapita selekta Kedokteran Jilid I. Jakarta: EGC.
Prince, Sylvia A. 2006. Patofisiologi Volume 1 Edisi 6. Jakarta : EGC
Punarbawa, I wayan Ade dan Putu Pramana Suarjaya. 2014. Identifikasi Awal dan Bantuan
Hidup Dasar pada Pneumotoraks. Bagian/SMF Ilmu Anestesiologi dan Terapi Intensif
FK Udayana: Denpasar.
Purwadianto, Agus dan Budi Sampurna. 2010. Kedaruratan Medik. Jakarta Barat : Binarupa
Aksar
Sidharta P, Mardjono M. 1981. Neurologi Klinis Dasar. Dian Rakyat: Jakarta
Sjamsuhidajat R dan de Jong, Wim (Editor). 2016. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 4. Jakarta:
EGC.
Student Course Manual Advanced Trauma Life Support. 2016. American College of
Surgeons Committee on Trauma.

Student Course Manual Advanced Trauma Life Support. American College of Surgeons
Committee on Trauma, 9 th ed, 2016.
Tim Pengajar BTCLS. 2012. Modul Basic Trauma Cardiac Life Support. Jakarta: AGD
Dinkes DKI Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai