Disusun oleh:
Kelompok B6
Anggota:
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2017
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan yang Maha Esa karena atas berkat
rahmat yang diberikan-Nya penulis dapat menyelesaikan Laporan Tutorial Skenario A Blok
Trauma, Gawat Darurat, dan Forensik dengan baik.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu
dalam pembuatan laporan ini, serta berbagai sumber yang telah penulis gunakan sebagai data
dan fakta pada makalah ini. Penulis juga berterima kasih kepada, dr. Liniyanti D. Oswari,
MNS.M.Sc. yang telah memberikan pedoman dalam melakukan tutorial, membuat makalah
hasil tutorial dan telah memberi bimbingannya sebagai tutor sehingga kami dapat
menyelesaikan masalah skenario yang telah diberikan.
Penulis menyadari akan kekurangan dalam penulisan makalah ini. Maka dari itu,
kritik dan saran sangat diharapkan untuk memperbaiki dan mengembangkan isi dari makalah
ini. Penulis juga mengharapkan kritik dan saran dari pembaca, serta penulis mohon maaf
apabila terdapat kesalahan penulisan dalam makalah ini. Akhir kata, apabila ada kesalahan
kata-kata, penulis meminta maaf dan diharapkan makalah ini dapat bermanfaat bagi kita
semua.
Penulis
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................................................2
DAFTAR ISI..............................................................................................................................3
BAB I.........................................................................................................................................4
PENDAHULUAN......................................................................................................................4
A. Latar Belakang...............................................................................................................4
B. Maksud dan Tujuan........................................................................................................4
C. Data Tutorial...................................................................................................................4
BAB II........................................................................................................................................5
PEMBAHASAN........................................................................................................................5
I. Klarifikasi Istilah..............................................................................................................7
II. Identifikasi Masalah.......................................................................................................8
III. Analisis Masalah..........................................................................................................10
IV. Learning Issue...............................................................................................................30
V. Kerangka Konsep..........................................................................................................58
VI. Sintesis..........................................................................................................................59
BAB III.....................................................................................................................................62
PENUTUP................................................................................................................................62
I. Kesimpulan......................................................................................................................62
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................63
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Blok Trauma, Gawat Darurat, dan Forensik adalah blok ke-28 dari Kurikulum
Berbasis Kompetensi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
Palembang. Pada kesempatan ini dilaksanakan tutorial studi kasus sebagai bahan
pembelajaran untuk menghadapi kasus yang sebenarnya pada waktu yang akan datang.
Kasus yang dipelajari adalah mengenai malaria.
C. Data Tutorial
1. Tutor : dr. Liniyanti D. Oswari, MNS.M.Sc.
1. Moderator : Archita Wicesa Saraswati
2. Sekretaris : 1. Andini Karlina CH
2. Fitria Masturah
3. Waktu : 1. Senin, 11 September 2017
2. Rabu, 13 September 2017
Pukul 13.00 – 15.30 WIB
Pukul 13.00 – 15.30 WIB
BAB II
PEMBAHASAN
Skenario A Blok 28 Tahun 2017
4
dr. Thamrin, dokter d RSUD yang terletak sekitar 40 km dari Palembang. Sekitar 100
meter dari RSUD, terjadi KLL. Mobil minibus yang melaju dengan kecepatan tinggi
menabrak pohon beringin. Bagian depan mobil hancur, kaca depan pecah. Sang sopir, satu-
satunya penumpang mobil terlempar keluar melalui kaca depan.
dr. Thamrin yang mendengar tabrakan langsung pergi ke tempat kejadian dengan
membawa peralatan tatalaksana trauma seadanya. Di tempat kejadian, terlihat sang sopir,
laki-laki 30 tahun, tergeletak dan merintih, mengeluh dadanya sesak, nyeri di dada kanan,
nyeri perut, dan nyeri paha kiri.
I. Klarifikasi Istilah
No. Istilah Definisi
1. Trauma Cidera fisik atau emosional yang secara medis mengacu
pada cidera serius/kritis, koma, atau syok
2. Nyeri Pengalaman sensori dan emosional yang tidak
menyenangkan akibat kerusakan jaringan
3. Deformitas Perubahan bentuk akibat pergeseran fragmen pada fraktur
4. Konjungtiva anemis (konjungtiva pallor) Kondisi dimana konjungtiva pucat yang
diakibatkan aliran darah tidak sampai ke perifer
5. GCS (Glasgow Coma Suatu skala neurogenik yang dipakai untuk menilai secara
Scale) objektif derajat kesadaran seseorang. Terdiri dari 3
pemeriksaan, antara lain: eye opening (respon buka mata),
best motor respond (respon motorik), dan best verbal
respond (respon verbal)
6
II. Identifikasi Masalah
No. Masalah Prioritas
1. Terjadi kecelakaan minibus sekitar 100 meter dari RSUP (40 km dari VVV
Palembang). Bagian depan mobil hancur, kaca depan pecah. Sang sopir,
satu-satunya penumpang mobil terlempar keluar melalui kaca depan.
Korban, laki-laki 30 tahun, tergeletak dan merintih, mengeluh dadanya
sesak, nyeri di dada kanan, nyeri perut, dan nyeri paha kiri. dr. Thamrin yang
mendengar tabrakan langsung pergi ke tempat kejadian dengan membawa
peralatan tatalaksana trauma seadanya.
2. Setelah melakukan penanganan seadanya, dr. Thamrin langsung membawa VV
sang sopir ke UGD.
Pemeriksaan Fisik
Kepala
Terdapat luka lecet di dahi dan pelipis kanan diameter 2-4 cm
Yang lain dalam batas normal
Thorax:
Inspeksi:
o Gerakan dinding dada asimetris, kanan tertinggal, frekuensi
napas 40x/menit.
o Tampak memar di sekitar dada kanan bawah ke samping
o Trakea bergeser ke kiri, vena jugularis distensi
Auskultasi:
o Bunyi napas kana melemah, bising npas kiri terdengar jelas
o Bunyi jantung terdengar jelas, cepat, frekuensi 110x/menit
Palpasi
7
o Nyeri tekan pada dada kanan sampai ke samping (lokasi
memar)
o Krepitasi pada kosta IX, X, XI kanan depan
Perkusi:
o Kanan hipersonor, kiri sonor
Abdomen
Inspeksi:
o Dinding perut datar
Auskultasi
o Bising usus: melemah
Perkusi
o Nyeri ketok (+)
Palpasi
o Nyeri tekan (+)
o Defanse muscular (+)
Ekstremitas: Paha kiri
Inspeksi
o Tampak deformitas, memar, hematom pada paha tengah kiri
Palpasi
o Nyeri tekan, krepitasi (tidak boleh diperiksa)
ROM
o Pasif: limitasi gerakan
o Aktif: limitasi gerakan
8
mobil terlempar keluar melalui kaca depan. Korban, laki-laki 30 tahun, tergeletak
dan merintih, mengeluh dadanya sesak, nyeri di dada kanan, nyeri perut, dan nyeri
paha kiri. dr. Thamrin yang mendengar tabrakan langsung pergi ke tempat kejadian
dengan membawa peralatan tatalaksana trauma seadanya.
1) Apa saja kemungkinan trauma yang dialami sopir tersebut?
Jawab:
Diduga, korban tidak memakai safety belt saat tabrakan, karena korban
terlempar keluar kendaraan. Saat terjadi tabrakan dengan obyek di depan, badan
akan cenderung bergerak ke depan. Dengan demikian, kepala akan bergerak ke
arah depan dan mungkin menghantam stir mobil atau kaca depan, sehingga
mungkin menyebabkan trauma pada kepala dan leher, termasuk traumatic brain
injury dan kerusakan medulla spinalis.
Dinding dada akan menghantam stir, sehingga cedera pada rongga dada
akan serius, sehingga menimbulkan kerusakan pada organ di belakang. Seluruh
rongga dada akan terkena, mulai dari costae, paru, jantung, dan organ di
sekitarnya, termasuk rongga pleura dan pericardium. Kerusakan rongga dada
akan lebih ringan jika korban memakai safety belt.
Jika korban memakai safety belt, cedera pada abdomen tidak berat karena
badan korban tertahan oleh safety belt sehingga tidak menghantam stir mobil.
Tetapi, karena korban diduga tidak memakai safety belt, maka trauma abdomen
yang mungkin terjadi adalah trauma pada abdomen bagian atas karena terkena
stir bagian bawah. Dalam hal ini, ada kemungkinan cedera pada hepar, gaster,
splen, duodenum, pancreas, dan organ di sekitarnya.
Jika terjadi intrusi kabin, maka ada kemungkinan fraktur akibat gaya
kompresi pada femur dan cruris. Jika korban tidak memakai safety belt,
mekanisme cedera yang timbul jauh lebih rumit, tergantung di mana gaya
terbesar terjadi sehingga menyebabkan fraktur os femur.
2) Apa saja peralatan yang diperlukan untuk tatalaksana awal trauma pada kasus?
Jawab:
Memberitahu perawat/petugas kesehatan di puskesmas untuk
mempersiapkan ruang UGD dan peralatan-peralatannya.
Mempersiapakan alat-alat emergency yang dibutuhkan, meliputi :
- Stetoskop
- Spet
- Ambu bag
Gambar 1. Splinting
Pada kasus, korban menunjukkan adanya tanda-tanda tension
pneumothorax, yaitu nyeri dada, hiperventilasi atau respiratory distress,
tachycardia, hipotensi, deviasi trachea yang menjauh dari lokasi cedera, tidak
adanya suara napas pada satu sisi paru, hemithorax yang meninggi tanpa adanya
pernapasan, distensi vena jugularis, dan sianosis. Terapi tension pneumothorax
dilakukan melalui oksigen konsentrasi tinggi dan dekompresi jarum atau kanula
darurat. Kanula standar 14-gauge (4,5 cm) mungkin tidak dapat mencapai
pleura parietalis jika tindakan dilakukan pada spatium intercostale kedua.
Dinding dada mungkin lebih tipis pada spatium intercostale keempat dan
kelima, sehingga lokasi ini dapat dipilih jika dinding dada spatium intercostale
kedua terlalu tebal. Udara yang keluar secara spontan dari cavum pleura
mengkonfirmasi diagnosis dan lateralisasi yang tepat. Sesudah dekompresi
jarum, jarum dibiarkan pada lokasi dekompresi sampai chest drain dapat
dipasang.
11
Jawab: (+) thania
Trauma pada thoraks costae fraktur kebocoran udara paru udara
masuk ke rongga pleura dan tidak dapat keluar lagi (one way valve) tekanan
intrepleural tinggi paru-paru kanan kolaps sesak usaha bernafas
mengembangkan paru lebih besar menekan costae yang fraktur nyeri saat
bernafas
Trauma kompresi pada thoraks menyebabkan kosta pada tempat trauma
akan lebih melengkung dan akhirnya terjadi fraktur multipel pada kosta 9-11
kanan bawah, atau yang biasa disebut dengan flail chest. Saat rongga dada
mengembang sewaktu inspirasi, gerakan fragmen kosta yang patah akan
menimbulkan gesekan antara ujung fragmen dengan jaringan lunak sekitar
sehingga terjadilah stimulasi saraf yang akan dipersepsikan dengan nyeri pada
dada kanan.
13
c. Setelah melakukan penanganan seadanya, dr. Thamrin langsung membawa sang
sopir ke UGD.
Pemeriksaan Fisik
Kepala
Terdapat luka lecet di dahi dan pelipis kanan diameter 2-4 cm
Yang lain dalam batas normal
Thorax:
Inspeksi:
o Gerakan dinding dada asimetris, kanan tertinggal, frekuensi napas
40x/menit.
o Tampak memar di sekitar dada kanan bawah ke samping
o Trakea bergeser ke kiri, vena jugularis distensi
Auskultasi:
o Bunyi napas kana melemah, bising npas kiri terdengar jelas
o Bunyi jantung terdengar jelas, cepat, frekuensi 110x/menit
Palpasi
o Nyeri tekan pada dada kanan sampai ke samping (lokasi memar)
o Krepitasi pada kosta IX, X, XI kanan depan
Perkusi:
o Kanan hipersonor, kiri sonor
Abdomen
Inspeksi:
o Dinding perut datar
Auskultasi
o Bising usus: melemah
Perkusi
o Nyeri ketok (+)
Palpasi
o Nyeri tekan (+)
o Defanse muscular (+)
Ekstremitas: Paha kiri
Inspeksi
o Tampak deformitas, memar, hematom pada paha tengah kiri
Palpasi
o Nyeri tekan, krepitasi (tidak boleh diperiksa)
ROM
o Pasif: limitasi gerakan
o Aktif: limitasi gerakan
Setelah penanganan awal di UGD RSUD, pasien dipersiapkan untuk dirujuk ke
RSMH.
1) Apa penanganan seadanya yang mungkin dilakukan?
Jawab:
Setelah dilakukan primary survey dan di bawa ke UGD maka dilanjutkan
dengan:
14
a) Airway: jaga jalan nafas agar tetap lancar (jaw thrust atau chin lift), atau
pasang naso-pharyngeal airway. Berikan oksigen 2-4 L/menit.
b) Brething/ventilasi/oksigenisasi: berikan oksigen, bila tanpa intubasi
sebaiknya oksigen diberikan dengan face-mask. Pemakaian pulse oximeter
baik untuk menilai saturasi O2 yang adekuat. Pada kasus ini, pasang chest
tube di ICS 5 linea axillaris anterior.
c) Circulation(dengan kontrol perdarahan): setelah perdarahan terbuka di atasi
(bebat tekan pada kepala), perdarahan tertutup pada pahadikurangi dengan
meninggikan kaki dari jantung(kaki digantung), tapi tetap memperhatikan
aliran ke ujung kaki agar tidak terjadi iskemik dan kematian jaringan.
Terdapat gangguan sirkulasi(diduga syok stage 3) : pemberian cairan
kristaloid (ringer lactat) IV 2-4 liter dalam 20-30 menit dan kateter urin
untuk monitoring perfusi ginjal dan hemodinamika pasien terkait syoknya.
Jaga suhu tubuh jangan sampai hipotermi.
d) Disability : periksa GCS lagi
e) Exposure: luka di dahi dan pelipis diobati dengan antiseptik.
f) Untuk fraktur iga dapat diberikan analgesik untuk mengurangi nyeri. Jika
analgesik tidak menghilangkan nyeri, harus dilakukan anastesi blok
interkostal yang meliputi segmen di kaudal dan cranial iga yang patah.
Karena perdarahan iga yang baik, penyembuhan dan penyatuan tulang
biasanya berlangsung cepat dan tanpa halangan atau penyulit.
g) Pemasangan kateter urin diperlukan untuk memantau penanggulangan syok,
juga untuk mengetahui adanya cedera ginjal dan saluran kemih.
Pada cedera berat, tindakan pertolongan pertama di tempat kejadian
sebelum diangkut berupa penghentian perdarahan dan pemasangan bidai. Infus
tidak perlu dipasang apabila waktu tempuh ke rumah sakit kurang dari 15 menit.
Resusitasi dan pertolongan awal harus dilakukan sebelum diangkut baik oleh
dokter maupun petugas ambulans gawat darurat.
Terapi tension pneumothorax dilakukan melalui oksigen konsentrasi tinggi
dan dekompresi jarum atau kanula darurat. Kanula standar 14-gauge (4,5 cm)
mungkin tidak dapat mencapai pleura parietalis jika tindakan dilakukan pada
spatium intercostale kedua. Dinding dada mungkin lebih tipis pada spatium
intercostale keempat dan kelima, sehingga lokasi ini dapat dipilih jika dinding
dada spatium intercostale kedua terlalu tebal. Udara yang keluar secara spontan
dari cavum pleura mengkonfirmasi diagnosis dan lateralisasi yang tepat.
15
Sesudah dekompresi jarum, jarum dibiarkan pada lokasi dekompresi sampai
chest drain dapat dipasang.
16
Perkusi:
o Kanan hipersonor, kiri sonor tidak normal
Cara rujukan:
Dokter/perawat yang mengirim bertanggung jawab untuk memulai
rujukan
- Cara transport harus dipilih yang sesuai
- Perawatan dalam perjalanan
- Komunikasi dengan RS dirujuk
- Penderita dalam keadaan stabil saat akan dirujuk
- Laporkan prosedur tindakan yang telah dilakukan
d. Aspek Klinis
1) Diagnosis kerja
Jawab:
Tension pneumothorax dengan multiple trauma, yaitu fraktur costae IX, X,
dan XI dekstra, trauma abdomen, fraktur os femur sinistra tertutup
2) Pemeriksaan penunjang
Jawab:
Pemeriksaan fisik kepala-leher:
Distensi vena jugularis
Pemeriksaan fisik thoraks:
Inspeksi thoraks: asimetris (kanan tertinggal), deviasi trakea
22
Perkusi: kanan hipersonor
Auskultasi: bunyi napas kanan melemah, bising kiri jelas, bunyi jantung
jelas dan cepat
Pemeriksaan penunjang:
1. Foto thoraks PA:
- Pleural line / garis pleura (+)
- Hiperlusens-jantung dan mediastinum terdorong ke arah paru sehat
- Diafragma terdorong ke bawah
2. Analisa gas darah
3. Pemeriksaan Computed Tomography (CT-Scan)
4. Pemeriksaan endoskopi (torakotomi)
Fraktur femur sinister tertutup
Pemeriksaan fisik femur sinister:
Look (inspeksi): bengkak, memar, hematoma, deformitas
Feel/palpasi: nyeri tekan lokal pada tempat fraktur.
Movement/gerakan: limitasi gerakan aktif dan pasif, krepitasi.
Pemeriksaan penunjang:
1. Pemeriksaan rontgen untuk menentukan lokasi, luas dan jenis fraktur.
Untuk mendapatkan gambaran 3 dimensi keadaan dan kedudukan tulang
diperlukan minimal 2 proyeksi yaitu antero posterior (AP) atau AP lateral.
Untuk fraktur baru indikasi X-ray adalah untuk melihat jenis dan
kedudukan fraktur dan karenanya perlu tampak seluruh bagian tulang
(kedua ujung persendian).
2. Scan tulang, tomogram, CT-Scan/MRI untuk memperlihatkan frakur dan
mengidentifikasikan kerusakan jaringan lunak
3. Pemeriksaan darah lengkap: Ht mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau
menurun (pendarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada
trauma multipel), peningkatan leukosit sebagai respon stres normal setelah
trauma
4. Kreatinin: trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal
3) Komplikasi
Jawab:
5) Prognosis
Jawab:
Dubia et bonam apabila ditangani dengan segera
6) SKDI
Jawab:
3B. Gawat darurat
Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan memberikan terapi
pendahuluan pada keadaan gawat darurat demi menyelamatkan nyawa atau
mencegah keparahan dan atau kecacatan pada pasien. Lulusan dokter mampu
menentukan rujukan yang paling tepat bagi penanganan pasien selanjutnya.
Lulusan dokter juga mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan
24
IV. Learning Issue
Learning Issue
Cavitas Thoracis
Rongga thorax dibagi menjadi bagian median (mediastinum), dan paru serta
pleura yang terletak di lateral. Mediastenum merupakan pemisah yang mudah
bergerak dan meluad ke atas sampai apertura thoracis inferior dan pangkal leher,
dan ke bawah sampai diafragma. Mediastenum meluas ke depan sampai sternum
dan posterior sampai pars thoracica columna vetebralis. Mediastinum berisi sisa
thymus, jantung dan pembuluh-pembuluh darah besar, trachea dan esofagus,
ductus thoracicus dan kelenjar limfe, nervus vagus dan nervus phrenicus, dan
truncus symphaticus.
Mediastinum dibagi menjadi mediastinum superius dan mediastinum inferius.
Mediastinum superius berisi thymus, vena-vena besar, arteri-arteri besar, trachea,
esofagus dan ductus thoracicus, dan truncus symphaticus. Mediastinum inferius
dibagi lagi menjadi mediastinum medium yang berisi pericardium dan jantung,
mediastinum anterius yang merupakan ruang antara pericardium dan sternum, dan
mediastinum posterius yang terletak dia antara pericardium dan columna
vetebralis.
Gambar 3. Pembagian mediastinum (Snell, 2012).
2. Abdomen
Struktur Dinding Abdomen
Dinding abdomen dibentuk oleh diafragma di bagian superior. Pada bagian
anterior, dinding abdomen dibentuk di atas oleh bagian bawah cavea thoracis dan
di bawah oleh musculus rectus abdominis, musculus obliquus externus abdominis,
musculus obliquus internus abdominis, dan musculus transversus abdominis serta
fascianya. Di bagian inferior, cavitas abdominalis melanjutkan diri menjadi
cavitas pelvis melalui apertura pelvis superior.
B. TRAUMA KAPITIS
1. Perdarahan Intrakranial
a. Perdarahan Epidural
Perdarahan epidural adalah antara tulang kranial dan dura mater. Gejala
perdarahan epidural yang klasik atau temporal berupa kesadaran yang semakin
menurun, disertai oleh anisokoria pada mata ke sisi dan mungkin terjadi
hemiparese kontralateral.
Perdarahan epidural di daerah frontal dan parietal atas tidak memberikan gejala
khas selain penurunan kesadaran (biasanya somnolen) yang membaik setelah
beberapa hari.
b. Perdarahan Subdural
Perdarahan subdural adalah perdarahan antara dura mater dan araknoid, yang
biasanya meliputi perdarahan vena. Terbagi atas 3 bagian iaitu:
Perdarahan subdural akut
Gejala klinis berupa sakit kepala, perasaan mengantuk, dan kebingungan,
respon yang lambat, serta gelisah.
Keadaan kritis terlihat dengan adanya perlambatan reaksi ipsilateral pupil.
Perdarahan subdural akut sering dihubungkan dengan cedera otak besar dan
cedera batang otak.
Perdarahan subdural subakut
Perdarahan subdural subakut, biasanya terjadi 7 sampai 10 hari setelah cedera
dan dihubungkan dengan kontusio serebri yang agak berat.
Tekanan serebral yang terus-menerus menyebabkan penurunan tingkat
kesadaran.
Perdarahan subdural kronis
Terjadi karena luka ringan. Mulanya perdarahan kecil memasuki ruang
subdural. Beberapa minggu kemudian menumpuk di sekitar membran vaskuler
dan perlahan-lahan meluas.
Gejala mungkin tidak terjadi dalam beberapa minggu atau beberapa bulan.
Pada proses yang lama akan terjadi penurunan reaksi pupil dan motorik.
c. Perdarahan Subaraknoid
Perdarahan subaraknoid adalah perdarahan antara rongga otak dan lapisan otak
yaitu yang dikenal sebagai ruang subaraknoid (Ausiello, 2007).
d. Perdarahan Intraventrikular
Perdarahan intraventrikular merupakan penumpukan darah pada ventrikel otak.
Perdarahan intraventrikular selalu timbul apabila terjadi perdarahan intraserebral.
e. Perdarahan Intraserebral
Perdarahan intraserebral merupakan penumpukan darah pada jaringan otak.
Dimana terjadi penumpukan darah pada sebelah otak yang sejajar dengan
hantaman, ini dikenali sebagai counter coup phenomenon. (Hallevi, Albright,
Aronowski, Barreto, 2008).
2. Tingkat Keparahan Trauma Kepala dengan Glasgow Coma Score (GCS)
Glasglow Coma Score adalah nilai (skor) yang diberikan pada pasien trauma
kapitis, gangguan kesadaran dinilai secara kuantitatif pada tingkat setiap kesadaran.
Bagian-bagian yang dinilai adalah:
1. Proses membuka mata (eye opening)
2. Reaksi geraka motoric ekstermitas (best motor response)
3. Reaksi bicara (best verbal response)
Pemeriksaan Tingkat Keparahan Trauma Kepala disimpulkan dalam suatu tabel GCS.
Eye Opening
Mata terbuka dengan spontan 4
Mata membuka setelah diperintah 3
Mata membuka setelah diberi rangsang nyeri 2
Tidak membuka mata 1
Best Motor Response
Menurut perintah 6
Dapat melokalisir nyeri 5
Menghindari nyeri 4
Fleksi (dekortikasi) 3
Ekstensi (dekerebrasi) 2
Tidak ada gerakan 1
Best Verbal Response
Menjawab pertanyaan dengan benar 5
Salah menjawab pertanyaan 4
Mengeluarkan kata-kata yang tidak sesuai 3
Mengeluarkan suara-suara yang tidak ada artinya 2
Tidak ada jawaban 1
Berdasarkan Skala Koma Glasglow, berat ringan trauma kapitis dibagi atas:
C. TRAUMA THORAX
Trauma thoraks terdiri atas trauma tajam dan trauma tumpul. Pada trauma tajam,
terdapat luka pada jaringan kutis dan subkutis, mungkin lebih mencapai jaringan otot
ataupun lebih dalam lagi hingga melukai pleura parietalis atau perikardium parietalis.
Dapat juga menembus lebih dalam lagi, sehingga merusak jaringan paru, menembus
dinding jantung atau pembuluh darah besar di mediastinum.
Trauma tumpul toraks, bila kekuatan trauma tajam lainnya, karena faktor kerusakan
jaringan yang lebih besar akibat rotasi berkecepatan tinggi tidak cukup besar, hanya akan
menimbulkan desakan terhadap kerangka dada, yang karena kelenturannya akan
mengambil bentuk semula bila desakan hilang. Trauma tumpul demikian, secara tampak
dari luar mungkin tidak memberi gambaran kelainan fisik, namun mampu menimbulkan
kontusi terhadap otot kerangka dada, yang dapat menyebabkan perdarahan in situ dan
pembentukan hematoma inter atau intra otot, yang kadang kala cukup luas, sehingga
berakibat nyeri pada respirasi dan pasien tampak seperti mengalami dispnea.
Trauma tumpul dengan kekuatan cukup besar, mampu menimbulkan patah tulang iga,
mungkin hanya satu iga, dapat pula beberapa iga sekaligus, dapat hanya satu lokasi fraktur
pada setiap iga, dapat pula terjadi patahan multiple, mungkin hanya melibatkan iga sisi
unilateral, mungkin pula berakibat bilateral.
Trauma tumpul jarang menimbulkan kerusakan jaringan jantung, kecuali bila terjadi
trauma dengan kekuatan cukup besar dari arah depan, misalnya : akibat dorongan kemudi
atau setir mobil yang mendesak dada akibat penghentian mendadak mobil berkecepatan
sangat tinggi yang menabrak kendaraan atau bangunan didepannya. Desakan setir mobil
tersebut mampu menimbulkan tamponade jantung, akibat perdarahan rongga pericardium
ataupun hematoma dinding jantung yang akan meredam gerakan sistolik dan diastolik.
Meskipun secara morfologis hanya di dapat fraktur sederhana dan tertutup dari iga
dalam kedudukan baik, namun mampu menimbulkan hematotoraks atau pneumotoraks,
bahkan tidak tertutup kemungkinan terjadi “Tension Pneumotorax”, karena terjadi keadaan
dimana alveoli terbuka, pleura viseralis dengan luka yang berfungsi “Pentil” dan luka
pleura parietalis yang menutup akibat desakan udara yang makin meningkat di rongga
pleura. Tension pneumotoraks selanjutnya akan mendesak paru unilateral, sehingga terjadi
penurunan ventilasi antara 15 – 20 %. Bila desakan berlanjut, terjadi penggeseran
mediastinum kearah kontralateral dan selanjutnya bahkan akan mendesak paru
kontralateral yang berakibat sangat menurunnya kapasitas ventilasi.
Hemotoraks maupun hemopneumotoraks adalah merupakan keadaan yang paling
sering dijumpai pada penderita trauma toraks, pada lebih dari 80% penderita dengan
trauma toraks didapati adanya darah pada rongga pleura. Penyebab utama dari hemotoraks
adalah laserasi paru atau laserasi dari pembuluh darah interkostal atau arteri mamaria
internal yang disebabkan oleh trauma tajam atau trauma tumpul.Dislokasi fraktur dari
vertebra torakal juga dapat menyebabkan terjadinya hemotoraks. Biasanya perdarahan
berhenti spontan dan tidak memerlukan intervensi operasi.
Insiden
Trauma toraks merupakan salah satu penyebab utama kematian. Banyak penderita
meninggal setelah sampai di rumah sakit, dan banyak diantara kematian ini sebenarnya
dapat dicegah dengan meningkatkan kemampuan diagnostic dan terapi. Kurang dari 10%
dari cedera tumpul toraks dan hanya 15-30% dari cedera tembus toraks yang
membutuhkan tindakan torakotomi. Trauma toraks mayor dikelompokkan bersama dalam
suatu grup yang bernama “Fatal 14”. Dimana kemudian grup ini terbagi atas “Lethal Six”
(Obstruksi saluran nafas, Tension Pneumothorax, Open Pneumothorax, Flail Chest,
Massive Hemothorax, dan Cardiac Tamponade). Grup pertama tadi diidentifikasi dalam
survei primer dimana 8 penyakit sisanya dapat diidentifikasi dalam survei sekunder yang
dapat disebut dengan “Hidden Eight”(Simple Pneumothorax, Hemothorax, Pulmonary
Contusion, Tracheobronchiolar Tree Injury, Blunt Cardiac Injury, Traumatic Aortic
Disruption, Traumatic Diagphramatic Tear, Esophageal Rupture).
Dalam data Indonesia sendiri, pada data Riset Kesehatan Dasar tahun 2007
didapatkan cedera pada dada sebesar 3,2% dari total semua luka yang ada. Sementara itu
Kalimantan Barat mendapatkan bagian 2,1% dari seluruh Indonesia.
Tension pneumothoraks
Tension pneumothoraks berkembang ketika terjadi one-way-valve (fenomena ventil),
kebocoran dari luar melalui dinding dada, masuk ke dalam rongga pleura dan tidak dapat
keluar lagi (one-way-valve). Akibat udara yang masuk ke dalam rongga pleura yang tidak
dapat keluar lagi maka tekanan di intrapleural akan semakin meninggi, paru-paru menjadi
kolaps, mediastinum terdorong ke sisi berlawanan dan menghambat pengembalian darah
ke jantung (venous return), serta akan menekan paru kontralateral.
Diagnosis tension pnemotoraks ditegakan secara klinis dan terapi tidak boleh
terlambat oleh karena menunggu konfirmasi radiologis. Tension pnemotoraks ditandai
dengan gejala nyeri dada, sesak napas yang berat, distress pernapasan, taikardi, hipotensi,
deriasi trakea, hilangnya suara napas pada satu-sisi dan distensi vena leher. Sianosis
merupakan manifestasi lanjut. Karena ada kesamaan gejala antara tension pnemotoraks
dan tamponade jantung maka pada awalnya sering membingungkan, namun perkusi yang
hipersonor dan hilangnya suara napas pada hemotoraks yang terkena pada tension
pnemotorks akan dapat membedahkanya.
Tension pnemotoraks membutuhkan dekompresi segera dan penanggulangan dengan
cepat berupa insersi jarum yang berukuran besar pada selah iga du garis midclavicula pada
hemotoraks yang terkena. Tindakan ini akan mengubah tension pnemoumotoraks menjadi
pnemotoraks sederhana (catatan : kemungkinan terjadi pnemotoraks yang bertambah
akibat tertusuk jarum). Evaluasi ulang selalu diperlukan. Tindakan definitive selalu
dibutuhkan dengan pemasanan selang dada (chest tube) pada sela iga 5 (setinggi puing
susu di anterior) di garis anterior digaris midaxilaris.
Pneumothorx terbuka
Defek atau luka yang besar pada dinding dada akan menyebabkan pneumotoraks
terbuka. Tekanan di dalam rogga pleura akan segera menjadi sama dengan tekanan
atmosfir. Jika defek pada dinding dada lebih besar dari 2/3 diameter trakea maka udara
akan cenderung mengalir melalui defek karena mempunyai tahanan yang kurang atau kecil
dibandingkan dengan trakea. Akibatnya ventilasi terganggu sehingga menyebabkan
hipoksia dan hiperkapnia.
Flail Chest
Flail chest terjadi ketika segmen dinding dada tidak lagi mempunyai kontinuitas
dengan keseluruhan dinding dada. Keadaan tersebut terjadi karena fraktur iga multiple
pada dua atau lebih tulang iga dengan dua atau lebih garis fraktur. Adaya segmen flail
chest (segmen mengambang) menyebabkan gangguan pada pergerakan dinding dada. Bila
terjadi kerusakan parenkim paru dibawa kerusakan dinding dada maka akan
menyebabakan hipoksia yang serius. Kesulitan utama pada kelaian flail chest yaitu cedera
pada parenkim paru yang mungkin terjadi (kontusio paru). Walaupun ketidakstabilan
dinding dada menimbulkan gerakan paradoksal dinding dada pada inspirasi ekspirasi,
defek ini sendiri saja menyebabkan hipoksia. Yang terutama disebabkan nyeri yang
menyebabkan gerakan dinding dada menjadi tertahan dan cedera jaringan parunya.
Hemothorax massif
Hemotoraks merupakan adanya penumpukan cairan di rongga toraks. Pada pengertian
masif ini terdapatnya pengumpulan darah lebih dari 1500 cc. Penyebab terbanyak adalah
luka yang menembus dinding dada, akan tetapi pada trauma tumpul juga dapat terjadi.
Tamponade Jantung
Cairan dalam perikardium yang berisi darah dapat terjadi bila terjadi cedera pada
jantung, pembuluh darah besar, atau pembuluh perikardium. Apapun mekanisme yang
mendasarinya, bila terjadi pengumpulan darah dalam rongga perikardium dengan jumlah
berapapun maka akan terjadi mekanisme tamponade. Tamponade jantung dapat
disebabkan oleh luka tembus maupun cedera tumpul.
Trauma toraks penting lainnya harus dideteksi selama secondary survey walaupun
cedera tersebut tidak segera mengancam nyawa tetapi cedera tersebut potensial untuk
memburuk.
a) Emfisema Subkutis
Emfisema subkutis dapat disebabkan oleh cedera airway, parenkim paru, atau yang
jarang yaitu cedera ledakan. Walaupun tidak memerlukan terapi, penyebab timbulnya
kelainan ini harus dicari. Jika penderita menggunakan ventilasi dengan tekanan positif
pemasangan selang dada harus dipertimbangkan untuk dipasang pada sisi yang
terdapat emfisema subkutis sebagai antisipasi terhadap berkembannya tension
pneumotoraks.
b) Crushing injury to the chest (traumatic asphiyxia)
Tergencetnya toraks akan menimbulakan kompresi yang tiba-tiba dan sementara
terhadap vena cava superior dan menimbulkan letora serta petechiae yang meliputi
badan bagian atas, wajah dan lengan. Dapat terjadi edema yang berat, bahkan edema
otak. Yang harus diterapi adalah cedera penyerta.
D. TRAUMA ABDOMEN
Trauma abdomen Abdomen adalah bagian tubuh yang berbentuk rongga terletak
diantara toraks dan pelvis. Rongga ini berisi viscera dan dibungkus dinding (abdominal
wall) yang terbentuk dari dari otot-otot abdomen, columna vertebralis,dan ilium. Untuk
membantu menetapkan suatu lokasi di abdomen, yang paling sering dipakai adalah
pembagian abdomen oleh dua buah bidang bayangan horizontal dan dua bidang bayangan
vertikal. Bidang bayangan tersebut membagi dinding anterior abdomen menjadi sembilan
daerah (regiones). Dua bidang diantaranya berjalan horizontal melalui setinggi tulang
rawan iga kesembilan, yang bawah setinggi bagian atas crista iliaca dan dua bidang
lainnya vertikal di kiri dan kanan tubuh yaitu dari tulang rawan iga kedelapan hingga ke
pertengahan ligamentum inguinale.
yaitu:
1) Hypocondriaca dextra
meliputi organ: lobus kanan hepar, kantung empedu, sebagian duodenum, fleksura
hepatik kolon, sebagian ginjal kanan dan kelenjar suprarenal kanan.
2) Epigastrica meliputi organ: pilorus gaster, duodenum, pankreas dan sebagian hepar.
3) Hypocondriaca sinistra
meliputi organ: gaster, lien, bagian kaudal pankreas, fleksura lienalis kolon, bagian
proksimal ginjal kiri dan kelenjar suprarenal kiri.
4) Lateralis dextra
meliputi organ: kolon ascenden, bagian distal ginjal kanan, sebagian duodenum dan
jejenum.
5) Umbilicalis
meliputi organ: Omentum, mesenterium, bagian bawah duodenum, jejenum dan ileum.
6) Lateralis sinistra
meliputi organ: kolon ascenden, bagian distal ginjal kiri, sebagian jejenum dan ileum.
7) Inguinalis dextra
meliputi organ: sekum, apendiks, bagian distal ileum dan ureter kanan.
8) Pubica
meliputi organ: ileum, vesica urinaria dan uterus (pada kehamilan).
9) Inguinalis sinistra
meliputi organ: kolon sigmoid, ureter kiri dan ovarium kiri
Inervasi dinding abdomen oleh nervi (nn) torakalis ke-8 sampai dengan 12. Nervus
(n) torakalis ke-8 setinggi margo kostalis ke-10 setinggi umbilikus, n. torakalis ke-12
setinggi suprainguinal. Peritoneum parietalis yang menutup dinding abdomen depan
sangat kaya saraf somatik sementara peritoneum yang menutup pelvis sangat sedikit saraf
somatik sehingga iritasi peritoneum pelvis pasien sulit menentukan lokasi nyeri.
Peritoneum diafragmatika pars sentralis disarafi nervi spinalis C5 mengakibatkan iritasi
pars sentralis diafragma mempunyai nyeri alih di bahu, yang disebut Kehr sign
Trauma adalah sebuah mekanisme yang disengaja ataupun tidak disengaja sehingga
menyebabkan luka atau cedera pada bagian tubuh. Jika trauma yang didapat cukup berat
akan mengakibatkan kerusakan anatomi maupun fisiologi organ tubuh yang terkena.
Trauma dapat menyebabkan gangguan fisiologi sehingga terjadi gangguan metabolisme,
kelainan imunologi, dan gangguan faal berbagai organ. Penderita trauma berat mengalami
gangguan faal yang penting, seperti kegagalan fungsi membran sel, gangguan
integritasendotel, kelainan sistem imunologi, dan dapat pula terjadi koagulasi
intravaskular menyeluruh (DIC = diseminated intravascular coagulation). Trauma
abdomen pada garis besarnya dibagi menjadi trauma tumpul dan trauma tajam. Keduanya
mempunyai biomekanika, dan klinis yang berbeda sehingga algoritma penanganannya
berbeda. Trauma abdomen dapat menyebabkan laserasi organ tubuh sehingga
memerlukan tindakan pertolongan dan perbaikan pada organ yang mengalami kerusakan.
Pengeluaran darah yang banyak dapat berlangsung di dalam kavum abdomen tanpa
atau dengan adanya tanda-tanda yang dapat diamati oleh pemeriksa, dan akhir-akhir ini
kegagalan dalam mengenali perdarahan intraabdominal adalah penyebab utama kematian
dini pasca trauma. Selain itu, sebagian besar cedera pada kavum abdomen bersifat
operatif dan perlu tindakan segera dalam menegakan diagnosis dan mengirim pasien ke
ruang operasi.
Trauma tajam
Trauma tajam abdomen adalah suatu ruda paksa yang mengakibatkan luka pada
permukaan tubuh dengan penetrasi ke dalam rongga peritoneum yang disebabkan oleh
tusukan benda tajam. Trauma akibat benda tajam dikenal dalam tiga bentuk luka yaitu:
luka iris atau luka sayat (vulnus scissum), luka tusuk (vulnus punctum) atau luka bacok
(vulnus caesum). Luka tusuk maupun luka tembak akan mengakibatkan kerusakan
jaringan karena laserasi ataupun terpotong. Luka tembak dengan kecepatan tinggi akan
menyebabkan transfer energi kinetik yang lebih besar terhadap organ viscera, dengan
adanya efek tambahan berupa temporary cavitation, dan bisa pecah menjadi fragmen yang
mengakibatkan kerusakan lainnya. Kerusakan dapat berupa perdarahan bila mengenai
pembuluh darah atau organ yang padat. Bila mengenai organ yang berongga, isinya akan
keluar ke dalam rongga perut dan menimbulkan iritasi pada peritoneum.
Trauma tumpul
Trauma tumpul kadang tidak menimbulkan kelainan yang jelas pada permukaan
tubuh, tetapi dapat mengakibatkan cedera berupa kerusakan daerah organ sekitar, patah
tulang iga, cedera perlambatan (deselerasi), cedera kompresi, peningkatan mendadak
tekanan darah, pecahnya viskus berongga, kontusi atau laserasi jaringan maupun organ
dibawahnya. Mekanisme terjadinya trauma pada trauma tumpul disebabkan adanya
deselerasi cepat dan adanya organ-organ yang tidak mempunyai kelenturan (non
complient organ) seperti hati, lien, pankreas, dan ginjal. Secara umum mekanisme
terjadinya trauma tumpul abdomen yaitu:
Kerusakan organ lunak karena trauma tumpul biasanya terjadi sesuai dengan tulang
yang terkena seperti terlihat pada tabel sebagai berikut:
E. FRAKTUR FEMUR
Fraktur femur adalah diskontinuitas atau hilangnya struktur dari tulang femur
(Mansjoer, 2000). Sedangkan menurut Sjamsuhidajat (2004) fraktur femur adalah fraktur
pada tulang femur yang disebabkan oleh benturan atau trauma langsung maupun tidak
langsung. Fraktur femur juga didefinisikan sebagai hilangnya kontinuitas tulang paha,
kondisi fraktur femur secara klinis bisa berupa fraktur femur terbuka yang disertai
adanya kerusakan jaringan lunak (otot, kulit, jaringan saraf dan pembuluh darah) dan
fraktur femur tertutup yang dapat disebabkan oleh trauma langsung pada paha (Helmi,
2012)
Dari beberapa penjelasan tentang fraktur femur di atas, dapat disimpulkan bahwa
fraktur femur merupakan suatu keadaan dimana terjadi kehilangan kontinuitas tulang
femur yang dapat disebabkan oleh trauma langsung maupun trauma tidak langsung
dengan adanya kerusakan jaringan lunak.
d) Osifikasi (3 minggu-6bulan)
Kalus (woven bone) akan membentuk kalus primer dan secara perlahan–
lahan diubah menjadi tulang yang lebih matang oleh aktivitas osteoblas yang
menjadi struktur lamellar dan kelebihan kalus akan di resorpsi secara bertahap.
Pembentukan kalus dimulai dalam 2-3 minggu setelah patah tulang melalaui proses
penulangan endokondrial. Mineral terus menerus ditimbun sampai tulang benar-
benar bersatu (Smeltzer & Bare, 2010).
e) Konsolidasi (6-8bulan)
Bila aktivitas osteoklastik dan osteoblastik berlanjut, fibrosa yang imatur
berubah menjadi tulang lamellar. Sistem itu sekarang cukup kaku untuk
memungkinkan osteoklas menerobos melalui reruntuhan pada garis fraktur, dan
dekat di belakangnya osteoblas mengisi celah-celah yang tersisa antara fragmen
dengan tulang yang baru. Ini adalah proses yang lambat dan mungkin perlu sebelum
tulang cukup kuat untuk membawa beban yang normal (Sjamsuhidajat dkk,2010).
f) Remodeling (6-12bulan)
Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang padat. Selama beberapa
bulan, atau bahkan beberapa tahun, pengelasan kasar ini dibentuk ulang oleh proses
resorpsi dan pembentukan tulang akan memperoleh bentuk yang mirip bentuk
normalnya (Black & Hawks, 2001; Sjamsuhidajat dkk, 2010; Smeltzer & Bare,
2002).
Penatalaksanaan Fraktur
Prinsip penanganan fraktur adalah mengembalikan posisi patahan tulang ke
posisi semula (reposisi) dan mempertahankan posisi itu selama masa penyembuhan
patah tulang (imobilisasi) (Sjamsuhidajat dkk, 2010).
a) Reposisi
Tindakan reposisi dengan cara manipulasi diikuti dengan imobilisasi
dilakukan pada fraktur dengan dislokasi fragmen yang berarti seperti pada fraktur
radius distal. Reposisi dengan traksi dilakukan terus-menerus selama masa tertentu,
misalnya beberapa minggu, kemudian diikuti dengan imobilisasi. Tindakan ini
dilakukan pada fraktur yang bila direposisi secara manipulasi akan terdislokasi
kembali dalam gips. Cara ini dilakukan pada fraktur dengan otot yang kuat,
misalnya fraktur femur (Smeltzer, 2010).
b) Imobilisasi
Pada imobilisasi dengan fiksasi dilakukan imobilisasi luar tanpa reposisi,
tetapi tetap memerlukan imobilisasi agar tidak terjadi dislokasi fragmen. Contoh
cara ini adalah pengelolaan fraktur tungkai bawah tanpa dislokasi yang penting.
Imobilisasi yang lama akan menyebabkan mengecilnya otot dan kakunya sendi.
Oleh karena itu diperlukan upaya mobilisasi secepat mungkin (Smeltzer,2010).
c) Rehabilitasi
Rehabilitasi berarti upaya mengembalikan kemampuan anggota yang cedera
atau alat gerak yang sakit agar dapat berfungsi kembali seperti sebelum mengalami
gangguan atau cedera (Smeltzer, 2010).
a) Syok
Syok hipovolemik atau traumatik akibat pendarahan (baik kehilangan darah
eksterna maupun interna) dan kehilangan cairan ekstrasel ke jaringan yang rusak
dapat terjadi pada fraktur ekstremitas, toraks, pelvis, dan vertebra karena tulang
merupakan organ yang sangat vaskuler, maka dapat terjadi kehilangan darah dalam
jumlah yang besar sebagai akibat trauma, khususnya pada fraktur femur pelvis
(Sjamsuhidajat, dkk,2010).
b) Emboli lemak
Setelah terjadi fraktur panjang atau pelvis, fraktur multiple atau cidera remuk
dapat terjadi emboli lemak, khususnya pada pria dewasa muda 20-30 tahun. Pada
saat terjadi fraktur globula lemak dapat termasuk ke dalam darah karna tekanan
sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler atau karna katekolamin yang di
lepaskan oleh reaksi stres pasien akan memobilitasi asam lemak dan memudahkan
terjadiya globula lemak dalam aliran darah. Globula lemak akan bergabung dengan
trombosit membentuk emboli, yang kemudian menyumbat pembuluh darah kecil
yang memasok otak, paru, ginjal dan organ lain. Awitan dan gejalanya yang sangat
cepat, dapat terjadi dari beberapa jam sampai satu minggu setelah cidera gambaran
khasnya berupa hipoksia, takipnea, takikardia, dan pireksia (Suratun, dkk, 2010).
d) Nekrosis avaskulartulang
Cedera, baik fraktur maupun dislokasi, seringkali mengakibatkan iskemia
tulang yang berujung pada nekrosis avaskular. Nekrosis avaskuler ini sering
dijumpai pada kaput femoris, bagian proksimal dari os. Scapphoid, os. Lunatum,
dan os. Talus (Sjamsuhidajat, 2010).
e) Atrofi otot
Atrofi adalah pengecilan dari jaringan tubuh yang telah mencapai ukuran
normal. Mengecilnya otot tersebut terjadi karena sel-sel spesifik yaitu sel- sel
parenkim yang menjalankan fungsi otot tersebut mengecil. Pada pasien fraktur,
atrofi terjadi akibat otot yang tidak digerakkan (disuse) sehingga metabolisme sel
otot, aliran darah tidak adekuat ke jaringan otot (Sjamsuhidajat, dkk,2010).
D. Disability
Penilaian disability ditujukan untuk menilai kesadaran pasien secara cepat, apakah
pasien sadar dan dapat berkomunikasi dengan baik, hanya respon dengan rangsangan
nyeri atau sama sekali tidak sadar. Perlu dilakukan pemeriksaan pupil untuk menilai
ada tidaknya dilatasi. Pada korban juga dilakukan pemeriksaan untuk menilai ada
tidaknya lateralisasi yang menunjukkan adanya defisit neurologis pada satu sisi tubuh.
Tidak dianjurkan melakukan pemeriksaan Pemeriksaan neurologis secara keseluruhan
sesuai metoda Glasgow Coma Scale belum dianjurkan pada tahap Primary Survey.
E. Exposure
Perlu dilakukan penilaian secara menyeluruh terhadap tubuh pasien untuk melihat
cedera yang mungkin belum terdeteksi karena tertutup pakaian. Seluruh pakaian
pasien dilepaskan, sehingga seluruh permukaan tubuh sisi depan dan belakang
terekspose untuk diperiksa. Segera tutupi tubuh pasien dengan selimut untuk
menghindari terjadinya hipotermia. Hati-hati ketika melakukan pemeriksaan sisi
belakang pasien yang dicurigai mengalami cedera leher. Pastikan mobilisasi yang
dilakukan terhadap pasien tidak memperberat cidera servical yang ada. Umumnya
diperlukan 3 orang untuk tetap mempertahankan posisi imobilisasi in-line sesuai
prosedur pada pasien dengan cidera servical.
Pemeriksaan neurologis :
• Penilaian fungsi otak dengan Glasgow Coma Scale (GCS)
• Penilaian fungsi medula spinalis dengan aktivitas motorik
• Penilaian rasa raba / sensasi dan refleks
Pemeriksaan dada:
• Clavicula dan semua tulang iga
• Bunyi nafas dan bunyi jantung
• Pemantauan ECG (bila tersedia)
Pemeriksaan Penunjang
Beberapa pemeriksaan penunjang (adjuncts) perlu dilakukan saat secondary
survey, sesuai dengan indikasi seperti :
- Pemeriksaan rontgen (bila memungkinkan) untuk :
- Dada dan tulang leher (semua 7 ruas tulang leher harus nampak)
- Pelvis dan tulang panjang
- Tulang kepala untuk melihat adanya fraktura bila trauma kepala tidak disertai
defisit neurologis fokal Foto dada dan pelvis mungkin sudah diperlukan
sewaktu primary survey
V. Kerangka Konsep
Supir minibus, laki-laki, 30 tahun, mengalami kecelakaan menabrak pohon beringin dan terlempar keluar melalui kaca depan mobil
Seorang supir minibus mengalami kecelakaan lalu lintas dengan mekanisme aselerasi
deselerasi pada lokasi yang tidak terlalu jauh dari RSUD (100m) tapi cukup jauh dari RSMH
(40km). Minibus yang melaju dengan kecepatan tinggi menabrak pohon beringin besar
hingga supirnya terlempar keluar. Supir yang kemungkinan besar tidak mengenakan sabuk
pengaman akan mengalami beberapa fase gerakan dan kemungkina mengalami trauma
multiple seperti yang tertera pada tabel 7 berikut.
2 Bagian atas penderita turut tergeser Cedera pada organ thorax dan abdomen
kedepan sehingga dada dan atau perut Fraktur costa
dr. Thamrin yang datang ke lokasi kejadian membawa peralatan seadanya dan
melakukan primary survey. Sebelum memulai primary survey, dr. Thamrin tetap harus
memastikan APD untuk keamaan dirinya. Selanjutnya, dilakukan quick assessment pada
pasien (supir minibus) dengan memperkenalkan diri, menanyai nama pasien dan apa yang
terjadi sembari mengecek arteri superfisial. Apabila pasien merespon dengan baik dan rabaan
arteri juga baik, airway, breathing, circulation, disability (ABCD) tidak mengalami
gangguan. Kemudian dilakukan pemeriksaan ABCD secara berututan dan melakukan
tatalaksana awal sebagai berikut.
Airway relatif baik karena pasien masih dapat berbicara dan tidak ada sumbatan pada
jalan napas. Kontrol serviks dilakukan dengan memasang neck collar, lalu membuka atau
melonggarkan pakaian pasien, tapi cegah hipotermia, lakukan inspeks cepat.
Exposure menunjukkan adanya deformitas pada paha kiri yang diduga akibat fraktur.
Tatalaksana awal yang dilakukan adalah pembidaian femur dextra degan spalek atau
traction splint sembari mengecek NVD pre dan prapemasangan.
Selanjutnya dr. Thamrin dan dua asisten melakukan “penggulingan” pasien (90°) ke long
spine board dengan teknik logroll (teknik agar tulang belakang, pelvis, dan lain-lain tidak
bergerak, membutuhkan min 3 orang) immobilisasi pada pasien. Kemudian pasien dibawa ke
IGD RSUD dengan ambulace.
Pemeriksaan Kepala
Pada pemeriksaan kepala, didapati luka lecet di dahi dan pelipis kanan. Luka lecet
terjadi akibat cedera pada epidermis yang bersentuhan dengan benda yang memiliki
permukaan kasar atau runcing.
Pemeriksaan Thorax
Pada pemeriksaan thorax, ditemukan tanda trauma (memar) pada dada kanan, tension
pneumothorax paru kanan (pergeseran trakea, gerakan dada asimetris, takipnea,
takikardi, bunyi napas menurun, distensi vena jugularis,) dan flail chest (krepitasi
pada costa IX, X, XI kanan yang kemungkinan fraktur). Dari pemeriksaan tanda vital
yang dilakukan, pasien ini juga sudah mengalami syok.
Pemeriksaan Abdomen
Pemeriksaan Ekstremitas
Pada pemeriksaan ekstremitas, didapati hematom dan deformitas di paha tengah kiri
yang menunjukan adanya fraktur pada daerah tersebut.
I. Kesimpulan
American Chollage of Surgeon Committe on Trauma. 2004. Advance Trauma Life Support
for Doctors.
Bresler, Michael Jay dan George L. Sternbach. 2007. Manual Kedokteran Darurat. Jakarta :
EGC
Chusid. 1991. Neuroanatomi Korelatif dan Neurology Fungsional, bagian dua. Gajah Mada
University Press
Harsono. 2003. Kapita Selekta Neurologi. edisi kedua. Gajah Mada University Press
Iskandar J. 1981. Cedera Kepala. PT Dhiana Populer. Kelompok Gramedia: Jakarta
Kapita selekta Kedokteran Jilid I. Jakarta: EGC.
Prince, Sylvia A. 2006. Patofisiologi Volume 1 Edisi 6. Jakarta : EGC
Punarbawa, I wayan Ade dan Putu Pramana Suarjaya. 2014. Identifikasi Awal dan Bantuan
Hidup Dasar pada Pneumotoraks. Bagian/SMF Ilmu Anestesiologi dan Terapi Intensif
FK Udayana: Denpasar.
Purwadianto, Agus dan Budi Sampurna. 2010. Kedaruratan Medik. Jakarta Barat : Binarupa
Aksar
Sidharta P, Mardjono M. 1981. Neurologi Klinis Dasar. Dian Rakyat: Jakarta
Sjamsuhidajat R dan de Jong, Wim (Editor). 2016. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 4. Jakarta:
EGC.
Student Course Manual Advanced Trauma Life Support. 2016. American College of
Surgeons Committee on Trauma.
Student Course Manual Advanced Trauma Life Support. American College of Surgeons
Committee on Trauma, 9 th ed, 2016.
Tim Pengajar BTCLS. 2012. Modul Basic Trauma Cardiac Life Support. Jakarta: AGD
Dinkes DKI Jakarta.