Anda di halaman 1dari 95

LAPORAN TUTORIAL SKENARIO C BLOK 14

DISUSUN OLEH: KELOMPOK B5

Tutor: dr. M. Reagan, Sp.PD, K-KV

AZKA BAZARIA 04011282126152

ADDIVA RAHMA BELLAFISYA 04011282126158

ALIFIA PUTRI AZZAHRA 04011282126164

TASIWANI YUNA WASTI MANURUNG 04011282126167

ANUR WAHID 04011282126170

PUTERI ZAHIRA MAHRAMI 04011282126173

MUTIARA KARINI HUTAGAOL 04011282126175

NAILAH FAIRUZ SHAFIYYAH 04011382126179

MUHAMMAD IQBAL HARI PUTRA 04011382126182

NISRINA QONITA MUSHAFFA 04011282126113

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA

2023
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa, karena atas
nikmat, rahmat, dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan “Laporan Tutorial Skenario C
Blok 14” dengan baik. Laporan ini bertujuan untuk memenuhi tugas tutorial yang merupakan
bagian dari sistem pembelajaran di Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.

Meskipun kami sudah berusaha, belum berarti laporan ini sudah baik dan sempurna.
Secara pribadi, kami tetap menyadari akan kekurangannya, baik dalam penyusunan maupun
pembahasan skenario yang diberikan. Pada kesempatan ini, kami ingin berterima kasih
kepada dr. M. Reagan, Sp.PD, K-KV sebagai tutor kelompok kami dalam pelaksanaan
tutorial ini.

Atas segala kekurangan dan ketidaksempurnaan laporan ini, kiranya pembaca dapat
memberikan kritik maupun saran-sarannya agar penulisan berikutnya dapat lebih sempurna.
Semoga laporan ini berguna dan membawa kebaikan bagi semua.

Palembang, Maret 2023

Kelompok B5

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................................... i

DAFTAR ISI................................................................................................................... ii

STRUKTUR KEGIATAN TUTORIAL...................................................................... iii

SKENARIO C BLOK 13 TAHUN 2023......................................................................... 1

KLARIFIKASI ISTILAH................................................................................................ 2

IDENTIFIKASI MASALAH.......................................................................................... 4

ANALISIS MASALAH................................................................................................... 6

LEARNING ISSUE....................................................................................................... 16

SINTESIS....................................................................................................................... 17

KERANGKA KONSEP................................................................................................. 54

KESIMPULAN.............................................................................................................. 55

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................... 56

ii
STRUKTUR KEGIATAN TUTORIAL

Tutor : dr. M. Reagan, Sp.PD, K-KV

Moderator : Anur Wahid

Sekretaris 1 : Mutiara Karini Hutagaol

Sekretaris 2 : Addiva Rahma Bellafisya

Pelaksanaan : 27 Februari 2023 dan 1 Maret 2023, pukul 10.00-12.30 WIB

Peraturan Umum:

1. Sebelum memberikan pendapat harus mengangkat tangan terlebih dahulu.


2. Jika ada yang mau bertanya, tunggu hingga moderator mengizinkan
3. Tidak makan dan minum saat diskusi berjalan kecuali untuk air putih
4. Jika ingin ke toilet, bisa meminta izin kepada moderator/dosen tutor
5. Pada saat ada yang berbicara, yang lain harap mendengarkan
6. Jika ingin menginterupsi/berpendapat, lebih baik menunggu teman tersebut
menyelesaikan pendapatnya terlebih dahulu

iii
SKENARIO C BLOK 14 TAHUN 2023

Ny. W, 60 tahun, dibawa ke IGD karena mengalami kelemahan separuh tubuh kiri
yang terjadi secara tiba-tiba sejak 8 jam yang lalu saat sedang beraktivitas.
Saat serangan, terdapat sakit kepala dan muntah. Tidak ada kejang. Beberapa saat
setelah mengalami lemah separuh badan, penderita menjadi tidak sadarkan diri. Mulut
mengot ke kanan. Bicara pelo, gangguan sensibilitas, dan gangguan komunikasi belum dapat
dinilai.
Ny. W sudah lama menderita hipertensi, sejak 5 tahun lalu dan tidak rutin minum
obat. Tidak ada riwayat trauma kepala, penggunaan obat tertentu seperti pengencer darah,
kencing manis maupun sakit jantung.
Penyakit ini diderita untuk pertama kalinya.
Pemeriksaan fisik
Status Generalis:
GCS E3M5V3, TD 230/110 mmHg, N 98x/m, HR 98x/mnt, RR 22xx/m, T 36,8 oC
Status Neurologis:
- Nn. kranialis:
N. III: pupil bulat, isokor, diameter 3 mm/3 mm, RC +/+
N. VII: plica nasolabialis sinistra datar saat diberikan rangsangan nyeri pada maxilla
kanan/kiri. Nervi kranialis lainnya belum dapat dinilai.
- Fs. Motorik:

LKa LKi TKa TKi

Gerakan Lateralisasi ke kiri

Kekuatan

Tonus normal meningkat normal meningkat

Klonus - -

Ref. Fisiologis normal meningkat normal meningkat

1
Ref. Patologis - Hoffman (+) - Babinsky (+)
Tromner (+) Chaddock (+)

- Fs. Sensorik: belum dapat dinilai


- Fs. Luhur: belum dapat dinilai
- Fs. Otonom: tidak ada kelainan
GRM: (-)
Gerakan abnormal: (-)
Gait dan keseimbangan: belum dapat dinilai
Hasil pemeriksaan penunjang:
1. Lab: GDS 190 mg/dL
2. EKG: normal sinus rhythm dengan LVH
3. CT scan kepala: lesi hiperdens di ganglia basalis hingga lobus temporal dekstra
dengan estimasi volume 50 cc yang mengobliterasi ventrikel lateral dan menyebabkan
midline shift

I. KLARIFIKASI ISTILAH

No. Istilah Definisi

1 Plica Nasolabialis Sinistra Lipatan di antara hidung dan sudut bibir


bagian kiri

2
2 Tonus Kontraksi otot yang ringan dan
terus-menerus, yang pada otot-otot rangka
membantu dalam mempertahankan postur
dan pengembalian darah ke jantung (Dorland
ed 30)

3 Klonus Serangkaian kontraksi dan relaksasi otot


involunter yang bergantian secara cepat
(Dorland ed 30)

4 Maxilla Salah satu dari delapan tulang wajah yang


membentuk kerangka wajah. Ini adalah
tulang wajah terbesar kedua. Karena
membentuk rahang atas yang menahan
rangkaian gigi atas, kadang-kadang disebut
sebagai tulang rahang atas. Ini juga
membentuk bagian bawah rongga mata dan
rongga hidung (The Skeletasl System)

5 Hipertensi Tekanan darah arteri yang meninggi,


penyebabnya mungkin tidak diketahui
(hipertensi primer) atau mungkin disebabkan
oleh penyakit lain (hipertensi sekunder)
(Dorland ed 30)

6 Refleks Hoffman Pemeriksaan refleks jari pasien yaitu respon


aduksi dari ibu jari dan respon fleksi dari
jari-jari lainnya (Jurnal Unsoed)

7 Lesi Hiperdens Lesi: Daerah pada organ atau jaringan yang


mengalami kerusakan akibat cedera atau
penyakit, seperti luka, maag, abses, atau
tumor (Oxford Dictionary)
Hiperdens: Area gambar sinar-X yang lebih
padat dari biasanya, atau dari area sekitarnya

3
(NCBI)

8 Midline Shift Pergeseran garis tengah otak diukur dalam


milimeter, sebagai jarak tegak lurus antara
struktur garis tengah (biasanya septum
pellucidum) dan garis yang ditunjuk sebagai
garis tengah akibat dorongan massa ataupun
pembengkakan jaringan (NCBI)

9 Mengobliterasi Tindakan atau fakta melenyapkan atau


dilenyapkan; kehancuran total (Oxford
Dictionary)

10 Ventrikel Rongga atau ruang kecil seperti pada otak


atau jantung

11 Isokor Kesamaan kedua pupil mata (Dorland ed 30)

12 Gait Cara atau gaya berjalan (Dorland ed 30)

II. IDENTIFIKASI MASALAH

No. Pernyataan Keterangan

1 Ny. W, 60 tahun, dibawa ke IGD karena Keluhan utama


mengalami kelemahan separuh tubuh kiri
yang terjadi secara tiba-tiba sejak 8 jam
yang lalu saat sedang beraktivitas.

2 Saat serangan, terdapat sakit kepala dan Keluhan tambahan


muntah. Tidak ada kejang.

3 Beberapa saat setelah mengalami lemah Riwayat perjalanan penyakit


separuh badan, penderita menjadi tidak
sadarkan diri. Mulut mengot ke kanan.
Bicara pelo, gangguan sensibilitas, dan
gangguan komunikasi belum dapat dinilai.

4
4 Ny. W sudah lama menderita hipertensi, Riwayat penyakit terdahulu
sejak 5 tahun lalu dan tidak rutin minum
obat. Tidak ada riwayat trauma kepala,
penggunaan obat tertentu seperti pengencer
darah, kencing manis maupun sakit
jantung.
Penyakit ini diderita untuk pertama
kalinya.

5 Pemeriksaan fisik Pemeriksaan fisik


Status Generalis:
GCS E3M5V3, TD 230/110 mmHg, N
98x/m, HR 98x/mnt, RR 22xx/m, T 36,8 oC
Status Neurologis:
- Nn. kranialis:
N. III: pupil bulat, isokor, diameter
3 mm/3 mm, RC +/+
N. VII: plica nasolabialis sinistra
datar saat diberikan rangsangan
nyeri pada maxilla kanan/kiri.
Nervi kranialis lainnya belum dapat
dinilai.
- Fs. Motorik: (skenario)
- Fs. Sensorik: belum dapat dinilai
- Fs. Luhur: belum dapat dinilai
- Fs. Otonom: tidak ada kelainan
GRM: (-)
Gerakan abnormal: (-)
Gait dan keseimbangan: belum dapat
dinilai

6 Hasil pemeriksaan penunjang: Pemeriksaan penunjang


1. Lab: GDS 190 mg/dL

5
2. EKG: normal sinus rhythm dengan
LVH
3. CT scan kepala: lesi hiperdens di
ganglia basalis hingga lobus
temporal dekstra dengan estimasi
volume 50 cc yang mengobliterasi
ventrikel lateral dan menyebabkan
midline shift

III. ANALISIS MASALAH


1. Ny. W, 60 tahun, dibawa ke IGD karena mengalami kelemahan separuh tubuh
kiri yang terjadi secara tiba-tiba sejak 8 jam yang lalu saat sedang beraktivitas.
1) Bagaimana hubungan jenis kelamin dan usia terhadap keluhan yang
dialami pasien?
Salah satu faktor risiko dari stroke yaitu usia dan jenis kelamin. Setiap
10 tahun setelah usia 55, resiko stroke menjadi lebih dari dua kali lipat
pada pria dan wanita. Berdasarkan jenis kelamin, tingkat insiden stroke
1,25 kali lebih besar pada pria, tapi karena wanita cenderung hidup
lebih lama daripada pria, lebih banyak perempuan yang meninggal
karena stroke tiap tahun dibandingkan laki-laki.
2) Bagaimana mekanisme terjadinya kelemahan separuh tubuh kiri secara
tiba-tiba?
Pasien yang memiliki hipertensi dalam waktu yang lama tanpa
pengobatan rutin mengakibatkan hipertensi pada pasien tidak
terkontrol. Hipertensi yang terjadi dalam waktu yang lama
mengakibatkan abnormalitas pada pembuluh darah yang mengarah
pada rupturnya pembuluh darah. Ketika pembuluh darah ruptur, terjadi
perdarahan pada otak secara tiba-tiba. Selanjutnya, akan timbul efek
neurologis sesuai dengan bagian otak yang terkena perdarahan.
Terdapat konsep fungsional otak yang disebut pengendalian
kontralateral. Hemisferium serebri sinistra mengatur bagian tubuh
sebelah kanan, sementara hemisferium serebri dekstra mengatur bagian
tubuh sebelah kiri. Lokasi perdarahan yang terjadi pada otak kanan

6
mengakibatkan kelemahan terjadi pada tubuh bagian kiri secara
tiba-tiba.
3) Mengapa hanya bagian tubuh bagian kiri saja yang mengalami
kelemahan?
Karena bagian otak yang mengalami perdarahan berada di sebelah
kanan.
4) Bagaimana tatalaksana awal yang dapat diberikan di IGD pada kasus
ini?
Pada kasus ini, pasien tidak mengalami kejang, gula darah <200
mg/dL, tidak ada syok dan hipoksia, dan suhu tubuh normal.
(1) Stabilisasi jalan napas (ABC: Airway, Breathing, and
Circulation) diberikan pada pasien yang mengalami penurunan
kesadaran atau disfungsi bulbar
(2) Pemantauan terus-menerus status neurologis dalam 72 jam
pada deficit neurologis
(3) Stabilisasi hemodinamik:
- Cairan kristaloid atau koloid IV (hindari cairan
hipotonik seperti glukosa)
- Pemasangan Central Venous Catheter
(4) Pilihan terapi pada pasien hipertensi dengan stroke:
- Labetolol 10-20 mg IV dalam 1-2 menit, boleh diulang
sekali
- Nicardipin 5 mg/jam IV, dititrasi 2,5 mg/jam tiap 5-15
menit maksimal 15 mg/jam
- Clevidipine 1-2 mg/jam IV, dosis digandakan tiap 2-5
menit maksimal 21 mg/jam
(5) Pengendalian Tekanan Intrakranial (TIK)
- Pemantauan ketat pada risiko edema serebral
- Monitor ICP jika GCS <9
- Target ICP <20 mmHg dan CPP >70 mmHg
(6) Ukur tingkat keparahan stroke menggunakan NIHSS

7
(7) CT-scan non kontras <20 menit dari kedatangan di IGD
(8) Nutrisi enteral harus diinisiasi dalam 7 hari pertama setelah
awitan stroke. Pemasangan pipa nasogastrik (NGT) pada pasien
yang mengalami kesulitan menelan, bertujuan untuk mencegah
adanya aspirasi saat pemberian makan
(9) Cek pemeriksaan penunjang:
- EKG
- Laboratorium
- LP → curiga SAH
- Radiologi → foto rontgen dada, CT-scan, MRI

2. Saat serangan, terdapat sakit kepala dan muntah. Tidak ada kejang.
1) Bagaimana mekanisme terjadinya sakit kepala dan muntah pada saat
serangan?
Perdarahan yang terjadi mengakibatkan inflamasi. Selanjutnya,
inflamasi menyebabkan tekanan intrakranial meningkat. Peningkatan
tekanan intrakranial menimbulkan sakit kepala dan muntah. Tekanan
intrakranial yang meningkat saat terjadi perdarahan menyebabkan
pasien merasakan sakit kepala dan muntah. Hal ini terjadi sebagai
akibat dari perdarahan yang terjadi saat serangan.
2) Bagaimana hubungan antara sakit kepala dan muntah dengan
serangan?

8
Sakit kepala dan muntah merupakan akibat dari adanya serangan.
Serangan terjadi karena perdarahan pada otak. Selanjutnya, perdarahan
ini menimbulkan beberapa manifestasi klinis, yaitu sakit kepala dan
muntah.

3. Beberapa saat setelah mengalami lemah separuh badan, penderita menjadi


tidak sadarkan diri. Mulut mengot ke kanan. Bicara pelo, gangguan
sensibilitas, dan gangguan komunikasi belum dapat dinilai.
1) Bagaimana mekanisme penurunan kesadaran pada pasien?
Pada pasien yang terkena stroke hemorhagik akan terjadi peningkatan
tekanan intrakranial akibat inflamasi yang terjadi setelah perdarahan.
Hal ini menyebabkan penurunan kesadaran pada pasien.
2) Mengapa mulut pasien mengot ke arah kanan dan bagaimana
mekanismenya?
Mulut pasien mengot ke kanan terjadi karena adanya gangguan pada
vaskulari untuk nervus VII sinistra. Kelumpuhan otot mulut ini
menyebabkan mulut mengot ke kanan. Keadaan ini terjadi akibat
perdarahan yang menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial.
3) Bagaimana mekanisme dari bicara pelo yang terdapat pada pasien dan
apakah ada hubungan dengan mulut pasien yang mengot ke kanan?
Pada skenario, bicara pelo pasien belum dapat dinilai. Namun, dua
keadaan ini bersamaan sebagai manifestasi klinis akibat adanya
perdarahan pada otak. Ketika perdarahan terjadi, fungsi kerja otak akan
terganggu. Bicara pelo yang terjadi pada pasien terjadi karena bagian
otak yang mengatur tentang bahasa mengalami gangguan. Begitu juga
dengan mulut pasien yang mengot ke kanan terjadi karena vaskulari
untuk nervus VII terganggu.

4. Ny. W sudah lama menderita hipertensi, sejak 5 tahun lalu dan tidak rutin
minum obat. Tidak ada riwayat trauma kepala, penggunaan obat tertentu
seperti pengencer darah, kencing manis maupun sakit jantung.
Penyakit ini diderita untuk pertama kalinya.
1) Bagaimana hubungan hipertensi yang tidak rutin diobati dengan
keluhan-keluhan pada skenario?

9
Hipertensi yang tidak rutin diobati mengakibatkan tekanan darah tidak
terkontrol. Selanjutnya, hipertensi yang berlangsung secara kronis
menyebabkan adanya perubahan struktur pada pembuluh darah akibat
tekanan darah yang meningkat. Hal ini mengakibatkan kelemahan pada
pembuluh darah serebral. Adanya kelemahan yang berlangsung lama
dapat menyebabkan pembuluh darah ruptur. Rupturnya pembuluh
darah menghasilkan perdarahan pada otak sehingga menimbulkan
beberapa keluhan yang terjadi pada pasien.
2) Mengapa riwayat penggunaan obat pengencer darah, kencing manis,
maupun jantung perlu ditanyakan?
Karena pasien dengan riwayat konsumsi obat pengencer darah
(antikoagulan), riwayat menderita diabetes mellitus dan penyakit
jantung termasuk pemicu terjadinya stroke.
Warfarin/antikoagulan diberikan pada pasien yang menderita atrium
fibrilasi (AF/penyakit jantung) untuk mencegah stroke, berfungsi
mencegah proses pembekuan darah pada orang yang memiliki riwayat
mengalami atau yang berisiko mengalami.
3) Apa saja faktor risiko pada penyakit yang diderita oleh pasien?
Beberapa faktor yang menimbulkan manifestasi klinis dari
stroke, diantaranya:
(1) Modifable
- Hipertensi
- Diabetes melitus → peningkatan aterogenesis
- Merokok
- Hiperkolesterolemia
- Penggunaan antiplatelet agent
- Penggunaan sympathomimetic drugs (cocain, heroin,
amphetamine, dll)
(2) Non-Modifable
- Usia
- Jenis kelamin
- Asian ethnicity
4) Apa saja etiologi dari penyakit yang diderita oleh pasien?

10
Hipertensi adalah penyebab paling umum dari stroke
hemoragik.
(1) Hipertensi yang berlangsung lama menghasilkan degenerasi
media, kerusakan lamina elastis, dan fragmentasi otot polos
arteri
(2) Lipohyalinosis, nekrosis fibrinoid subendotelium,
mikroaneurisma, dan dilatasi fokal terlihat pada arteriol.
Mikroaneurisma disebut juga sebagai aneurisma
Charcot-Bouchard
(3) Lokasi umum perdarahan intraserebral yang diinduksi
hipertensi adalah arteri penetrasi kecil yang berasal dari arteri
basilar atau arteri serebral anterior, tengah, atau posterior
(4) Cabang-cabang arteri kecil berdiameter 50 hingga 700 μm
sering memiliki banyak lokasi ruptur yang terkait dengan
lapisan agregat trombosit dan fibrin
(5) Perubahan hipertensi menyebabkan perdarahan intrakranial
non-lobar (ICH). Seperti yang terlihat pada eklampsia,
hipertensi akut juga dapat menyebabkan ICH, yang dikenal
sebagai ICH postpartum
Selain itu juga, penyebab dari stroke hemoragik lainnya adalah:
(1) Perdarahan subarakhnoid (PSA) pada ruptur aneurisma sakular
(Berry)
(2) Ruptur malformasi arteriovena (MAV)
(3) Trauma capitis
(4) Penyalahgunaan kokain, amfetamin
(5) Perdarahan akibat tumor otak
(6) Infark hemoragik
(7) Penyakit perdarahan sistemik termasuk terapi antikoagulan

5. Pemeriksaan fisik
Status Generalis:
GCS E3M5V3, TD 230/110 mmHg, N 98x/m, HR 98x/mnt, RR 22xx/m, T
36,8oC
Status Neurologis:

11
- Nn. kranialis:
N. III: pupil bulat, isokor, diameter 3 mm/3 mm, RC +/+
N. VII: plica nasolabialis sinistra datar saat diberikan rangsangan nyeri
pada maxilla kanan/kiri. Nervi kranialis lainnya belum dapat dinilai.
- Fs. Motorik: (skenario)
- Fs. Sensorik: belum dapat dinilai
- Fs. Luhur: belum dapat dinilai
- Fs. Otonom: tidak ada kelainan
GRM: (-)
Gerakan abnormal: (-)
Gait dan keseimbangan: belum dapat dinilai
1) Bagaimana interpretasi dan nilai normal dari hasil pemeriksaan fisik
pasien?
Hasil Nilai Normal Nilai Ny. W Interpretasi
Pemeriksaan
GCS 15-14 (Compos mentis) 11 Delirium
TD 90/60 mmHg – 120/80 mmHg 230/110 mmHg Hipertensi
stadium 2
Nadi 60-100 x/menit 98 x/menit Normal
HR 60-100 x/menit 98 x/menit Normal
RR 16-24 x/menit 22 x/menit Normal
Suhu 36,5-37,5 C 36,8 C Normal
N. III Bentuk bulat, ukuran kanan Pupil bulat, isokor, Bentuk, ukuran,
kiri 2-3 mm, reflek cahaya diameter 3mm/3mm, reflek cahaya
+/+ RC +/+ normal

N. VII Plica nasolabialis kanan dan Plica nasolabialis Tidak normal


kiri akan melipat apabila sinistra datar saat
diberikan rangsangan nyeri diberikan rangsangan
nyeri pada maxilla
kanan/kiri
GRM (-) (-) Normal

12
Gerakan (-) (-) Normal
abnormal
Fungsi sensorik, luhur, otonom, gait dan keseimbangan belum dapat dinilai.

2) Bagaimana skala klasifikasi dari GCS?


Penjelasan di setiap komponen penilaian GCS, yaitu:
(1) Eye
Penilaian komponen ini respon pasien terhadap
rangsangan dengan membuka mata nya. Membuka mata
menunjukkan gairah pasien. Ada 4 nilai dalam komponen ini:
- Nilai 4
Diberikan nilai 4 apabila pasien dapat membuka
matanya secara spontan tanpa rangsangan eksternal.
- Nilai 3
Diberikan nilai 3 apabila pasien membuka
matanya sebagai respons terhadap perintah/suara
(rangsangan verbal).
- Nilai 2
Diberikan nilai 2 apabila pasien membuka
matanya sebagai respons terhadap rangsangan yang
menyakitkan atau rangsangan nyeri. Dalam kondisi ini,
pasien membuka matanya setelah stimulus nyeri
diterapkan.
- Nilai 1
Diberikan nilai 1 apabila pasien tidak membuka
matanya untuk rangsangan apapun.
(2) Movement
Komponen ini sedang menguji respon motorik terbaik
pasien terhadap rangsangan lisan atau menyakitkan. Respon
motorik terbaik paling sedikit dipengaruhi oleh trauma.
Komponen ini di GCS adalah indikator yang paling akurat
dalam memprediksi hasil-hasil pasien 6. Ada enam nilai dalam
komponen ini:

13
- Nilai 6
Pasien dapat mematuhi perintah. Pasien mampu
melakukan tugas-tugas sederhana seperti bertanya
"menunjukkan ibu jari anda", atau "menunjukkan jari
tangan bagian kanan anda". Untuk pasien lumpuh yang
tidak dapat menggerakkan anggota mereka, perawat
dapat meminta pasien untuk tersenyum, atau julurkan
lidah mereka, atau menunjukkan gigi mereka dengan
senyum ataupun mengedipkan mata.
- Nilai 5
Pasien dapat melokalisir rangsang nyeri dan
menjangkau lokasinya. Pasien berupaya untuk
menghapus sumber rangsangan yang menyakitkan
dengan menggunakan tangannya.
- Nilai 4
Pasien menolak rangsangan nyeri pada anggota
gerak (fleksi normal). Pasien akan menarik
tangan/kakinya.
- Nilai 3
Pasien melakukan fleksi abnormal untuk
menjauhi rangsang nyeri, dekortikasi (tangan fleksi di
atas dada dan kaki ekstensi saat dirangsang nyeri).
- Nilai 2
Pasien melakukan ekstensi spontan yang
abnormal. Tangan ekstensi dan mengepal di sisi tubuh,
kaki ekstensi saat dirangsang nyeri.
- Nilai 1
Pasien tidak menunjukkan respons maupun
menggerakkan anggota tubuh ketika diberi rasa sakit.
(3) Verbal
Komponen ini merupakan untuk menilai respon verbal
dari pasien dengan mengajukan tiga pertanyaan orientasi. Tiga
pertanyaan tersebut adalah waktu (tahun), tempat (tempai iya

14
berada maupun alamatnya berada), dan orang (nama keluarga
dekatnya). Ada lima nilai di komponen ini diantaranya:
- Nilai 5: berorientasi baik
Pasien mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan
waktu, tempat, dan orang dengan benar. Beberapa
pasien yang menjawab semua pertanyaan dengan benar
tiga. Namun, selama percakapan lanjutan, perawat
mendapatkan beberapa pertanyaan yang salah, tetapi
pasien sudah bisa menjawab 3 pertanyaan pasien dalam
keadaan baik. Karena pasien mampu menjawab semua
tiga pertanyaan dengan benar, maka dia masih dianggap
sebagai berorientasi baik atau (5).
- Nilai 4: disorientasi/bingung
Pasien tidak mampu menjawab satu atau lebih
dari tiga pertanyaan orientasi (waktu, tempat, dan
orang) dengan benar. Walaupun mereka masih bisa
melakukan beberapa percakapan, apabila pasien tidak
mampu menjawab salah satu atau lebih dari tiga
pertanyaan tersebut, pasien tetap dianggap sebagai
disorientasi.
- Nilai 3
Pasien bisa membentuk kata tapi tidak bisa
membentuk kalimat. Pasien hanya berkata-kata saja.
- Nilai 2
Pasien bisa mengeluarkan suara yang tidak
memiliki arti, yaitu suara yang tidak komprehensif.
Pasien hanya mengerang atau menggumam.
- Nilai 1
Tidak ada respons verbal dari pasien. Pasien
tidak membuat suara bahkan ketika diberikan
rangsangan nyeri.
Adapun penilaian GCS dan interpretasinya terhadap tingkat kesadaran
adalah sebagai berikut:
15-14 : Compos mentis

15
13-12 : Apatis
11-10 : Delirium
9-7 : Somnolen
6-5 : Sopor
4 : Semi koma
3 : Koma
3) Bagaimana cara melakukan pemeriksaan fungsi motorik pada
skenario?
(1) Trofi otot
Pemeriksaan trofi otot dilakukan melalui inspeksi, palpasi dan
pengukuran. Bandingkan kedua sisi tubuh, perhatikan otot
wajah, bahu, juga ekstremitas. Pemeriksa meminta pasien untuk
menjulurkan kedua lengannya dalam posisi supinasi dan
merapatkan kedua lengan tersebut. Perhatikan otot-otot kedua
lengan tersebut dari tangan (bagian palmar pada otot tenar,
hipotenar dan interoseus), lengan bawah, lengan atas, hingga
bahu. Pada palpasi otot normal akan teraba kenyal dan kembali
ke bentuk semula setelah ditekan. Pada pseudohipertofi otot
tampak membesar tetapi lembek ketika diraba. Pada atrofi yang
tidak terlalu berbeda antara kedua sisi dapat dilakukan
pengukuran dengan pita ukur. Gunakan patokan yang sama
pada sisi kanan dan kiri, ekstremitas yang diukur harus berada
pada posisi yang sama dan rileks saat diukur.
(2) Gerakan
Pasien diminta menggerakkan lengan setinggi mungkin sampai
ke belakang dan mempertahankan posisi tersebut. Bila pasien
tidak dapat menggerakkan sendi besar dapat diminta
menggerakkan atau menggeser sendi kecil. Hasil penilaian
gerakan adalah cukup, kurang, tidak ada.
(3) Kekuatan
Pemeriksaan kekuatan motorik dilakukan dengan memeriksa
otot pada area sendi bahu, siku, pergelangan tangan dan jari-jari
tangan untuk ekstremitas atas serta otot sendi panggul, lutut,
dan pergelangan kaki untuk ekstremitas bawah.

16
(4) Tonus otot
Pemeriksaan tonus dapat dilakukan dengan meraba otot
penderita (palpasi) dan menentukan tahanan otot dengan
gerakan pasif (fleksi-ekstensi parsial hingga maksimal) pada
beberapa persendian. Bila tonus menurun (hipotonus) otot
terasa lebih lembek sedangkan pada peningkatan tonus otot
(hipertonus) otot terasa lebih tegang. Gerakan pasif dilakukan
mulai dari perlahan-lahan hingga cepat.
(5) Klonus
- Klonus paha: Tungkai pasien dalam posisi lurus pada
tempat tidur, lalu pemeriksa mencubit kulit di atas
patella, sentakkan tiba-tiba ke arah distal dan ditahan.
Positif bila terlihat/terasa kontraksi klonik m.
quadriceps femoris
- Klonus kaki: Sendi lutut pasien dalam posisi fleksi lalu
pemeriksa melakukan dorsofleksi plantar pedis secara
tiba-tiba hingga maksimal dan ditahan. Positif bila
terlihat/terasa kontraksi m. triceps surae
(6) Refleks fisiologis → refleks tendon dalam (RTD)
- Refleks tendon dalam ekstremitas atas
● Refleks bisep
Pada pemeriksaan refleks bisep lengan bawah
pasien diposisikan semifleksi dan sedikit pronasi
dengan cara diletakkan di atas paha pasien atau
disangga oleh lengan pemeriksa. Pemeriksa
meletakkan ibu jari atau jari telunjuk di atas
tendon bisep yang akan diperiksa untuk
melokalisirnya, selanjutnya tekan dengan lembut
dan ketuk dengan palu refleks. Respon yang
ditimbulkan adalah fleksi otot bisep disertai
supinasi telapak tangan. Apabila refleks
meningkat maka zona refleksogen akan meluas
hingga lengan atas bahkan area klavikula.
● Refleks trisep

17
Pada pemeriksaan refleks trisep siku pasien
diposisikan semifleksi dan lengan bawah
disangga oleh pemeriksa atau pasien diminta
untuk menggenggam siku kontralateralnya.
Pemeriksa kemudian mengetukkan palu refleks
pada tendon trisep yang terletak sedikit di atas
insersinya pada olekranon. Respon yang timbul
berupa ekstensi lengan bawah.
● Refleks pergelangan (brakioradialis)
Posisi lengan pasien pada pemeriksaan refleks
brakioradialis adalah semifleksi dan
semipronasi. Ibu jari atau jari telunjuk
pemeriksa diletakkan pada prosesus stiloideus
pasien, kemudian ketuk jari tersebut dengan palu
refleks. Respon yang muncul berupa fleksi siku
dan sedikit supinasi telapak tangan.
- Refleks tendon dalam ekstremitas bawah
● Refleks patella
Pemeriksaan refleks patella dapat dilakukan baik
dalam posisi duduk maupun berbaring. Apabila
pasien dalam posisi duduk maka tangan kiri
pemeriksa diletakkan di atas otot kuadriseps
femoris dan tangan kanannya mengetukkan palu
refleks pada tendon patella. Respon yang timbul
adalah ekstensi lutut, tangan kiri pemeriksa juga
dapat merasakan kontraksi yang timbul. Bila
pasien dalam posisi berbaring maka pemeriksa
perlu menyangga lutut pasien agar semifleksi.
Pada kondisi hiperrefleks zona refleksogen akan
meluas hingga refleks dapat dibangkitkan
dengan mengetuk area suprapatella dan
epipatella.
● Refleks achilles

18
Pemeriksaan refleks Achilles juga dapat
dilakukan dalam posisi duduk maupun
berbaring. Tungkai pasien diabduksikan dan
eksternal rotasi, dengan lutut fleksi. Tangan kiri
pemeriksa memegang telapak kaki pasien sambil
ditarik sedikit agar semifleksi, dan tangan kanan
pemeriksa mengetuk tendon Achilles di atas
insersinya pada kalkaneus. Respon yang timbul
berupa gerakan plantarfleksi. Perluasan zona
refleksogen pada kondisi hiperrefleks dapat
disertai klonus kaki.
(7) Refleks patologis ekstremitas atas – Refleks Hoffman-Tromner
Pada pemeriksaan refleks Hoffmann-Tromner tangan pasien
berada dalam posisi dorsofleksi. Tanda Hoffman diperiksa
dengan cara pemeriksa memfiksasi jari tengah pasien
mengunakan jari telunjuk dan jari tengahnya sendiri kemudian
dengan ibu jarinya pemeriksa menggores kuku jari tengah
pasien secara cepat. Tanda Tromner diperiksa dengan cara
pemeriksa memegang jari tengah pasien dengan salah satu
tangannya sehingga tangan pasien menggantung dan dengan
tangan yang lain pemeriksa menjentikkan jari tengah pasien
dari bawah ke atas. Hasil positif bila didapatkan respon berupa
fleksi jari-jari tangan dan adduksi ibu jari tangan pasien.
(8) Refleks patologis ekstremitas bawah:
- Kelompok refleks dengan respon berupa dorsofleksi ibu
jari kaki
● Tanda Babinski
Pemeriksaan tanda Babinski dilakukan dengan
menggores kulit telapak kaki (plantar pedis)
dimulai dari bagian tumit, menyusuri bagian
lateral dan metatarsal, hingga area di bawah ibu
jari kaki. Tanda Babinski yang positif berupa
dorsofleksi ibu jari dan abduksi (fanning)
jari-jari lainnya didapatkan pada lesi di traktus

19
kortikospinal. Alat yang digunakan untuk
menggores sebaiknya benda yang ujungnya
tumpul seperti ujung gagang palu refleks.
Stimulus diberikan dengan tekanan dan
kecepatan yang cukup, tidak perlu terlalu kuat
karena akan menyakiti pasien.
● Tanda Chaddock
Pemeriksaan tanda Chaddock dilakukan dengan
menggores bagian lateral punggung kaki
(dorsum pedis), dimulai dari area bawah mata
kaki (malleolus lateralis) kemudian menyusuri
bagian lateral kaki hingga ke jari kelingking.
Hasil positif pada pemeriksaan ini sama seperti
pada tanda Babinski.
● Tanda Oppenheim
Tanda Oppenheim diperiksa dengan menekan
area di bawah tulang lutut (infrapatela),
menyusuri tulang kering (anteromedial tibia),
sampai ke pergelangan kaki pasien
menggunakan buku jari telunjuk dan jari tengah
pemeriksa. Pemeriksaan juga dianggap positif
bila muncul respon seperti pada pemeriksaan
tanda Babinski.
● Tanda Schaffer
Tanda Schaffer diperiksa dengan memberikan
tekanan yang cukup kuat pada tendon Achilles.
Positif bila muncul respon yang sama dengan
tanda Babinski.
● Tanda Gordon
Tanda Gordon diperiksa dengan meremas betis
(otot gastrocnemius). Bila timbul respon yang
sama dengan tanda Babinski dianggap positif.
- Kelompok refleks dengan respon berupa plantarfleksi
jari kaki

20
● Tanda Rossolimo
Pemeriksaan dilakukan dengan mengetukkan
palu refleks pada basis plantar pedis. Respon
yang timbul pada hasil positif adalah
plantarfleksi jari-jari kaki.
● Tanda Mendel Bechtrew
Tanda ini diperiksa dengan mengetuk dorsum
pedis di area metatarsal menggunakan palu
refleks. Hasil positif bila muncul respon yang
sama dengan tanda Rossolimo.
4) Bagaimana tatalaksana dari hipertensi pada pasien dengan kasus
tersebut?
Pada kasus didapatkan pasien mengalami stroke hemoragik
(intracerebral hemorrhage) dengan nilai 230/110 mmHg, prinsip
penanganan hipertensi adalah dengan lakukan penurunan tekanan
darah secara agresif dengan infus kontinu, dan ukur tekanan darah
setiap 5 menit. Tekanan darah harus dikurangi secara bertahap sampai
140/90 mmHg menggunakan beta blocker (labetolol, esmolol), ACE
inhibitor (enalapril), calcium channel blocker (nicardipine) atau
hydralazine. Tekanan darah harus diperiksa setiap 10-15 menit.
Pengelolaan tekanan darah pada ICH secara IV:

6. Hasil pemeriksaan penunjang


- Lab: GDS 190 mg/dL

21
- EKG: normal sinus rhythm dengan LVH
- CT scan kepala: lesi hiperdens di ganglia basalis hingga lobus temporal
dekstra dengan estimasi volume 50 cc yang mengobliterasi ventrikel
lateral dan menyebabkan midline shift
1) Bagaimana interpretasi dan nilai normal dari hasil pemeriksaan
penunjang pasien?

No. Jenis Pemeriksaan Nilai Normal Hasil Interpretasi

1. Gula Darah Sewaktu <200 mg/dL 190 mg/dL Normal


(Prediabetes)

2. Irama Jantung Irama Sinus Irama Sinus Normal


Normal Normal

3. EKG Tidak Ditemukan Abnormal


ditemukan LVH
LVH

2) Berdasarkan keluhan pada skenario dan pemeriksaan yang telah


dilakukan, apakah diagnosis dan apa saja diagnosis banding pada
skenario?
Diagnosis berdasarkan kasus pada skenario adalah intracerebral
hemorrhage (ICH) stroke. Untuk diagnosis bandingnya antara lain:
(1) Stroke iskemik
(2) Ensefalitis herpes simpleks
(3) Sindrom diseksi
(4) Hidrosefalus
(5) Penyakit moyamoya
(6) Epilepsi
(7) Empiema subdural
3) Mengapa bisa terjadi lesi hiperdens sehingga menyebabkan midline
shift?
Pasien dengan hipertensi arteri kronis akan mengalami lipohyalinosis
dan perubahan degeneratif dari arteriol penetrasi, sehingga terjadi

22
aneurisma Charcot-Bouchard. Ruptur dari aneurisma ini akan
menyebabkan pendarahan ke struktur dalam otak, sehingga terjadi ICH
yang jika terjadi pendarahan terus-menerus akan menyebabkan cedera
pada LSA yang kemudian menjalar ke MSA. Akumulasi hemoglobin
dari darah yang mengendap pada arteri menyebabkan hiperdensitas
pada hasil CT scan. Oleh karena itu, gambaran CT scan pada pasien
ICH akan menunjukkan lesi hiperdens di ganglia basalis hingga lobus
temporal dekstra.
4) Bagaimana struktur anatomi dan vaskularisasi otak?
(1) Anatomi otak
- Cerebrum
Cerebrum terdiri atas dua hemispherium yaitu kanan
dan kiri yang dipisahkan oleh fissure longitudinalis
cerebri. Selama tahap-tahap perkembangan awal,
cerebrum memiliki permukaan yang mulus dan
kemudian terbentuk sulci (depresi/cekungan) dan gyri
(elevasi). Timbulnya lipatan ini meningkatkan daerah
permukaan cerebrum dan menyebabkan dua pertiga
daerah permukaan cerebrum tidak tampak oleh mata.
Bila otak dibelah secara vertikal akan tampak bagian
otak sebelah luar berwarna abu-abu (gray matter) dan
otak bagian dalam berwarna putih (white matter). Di
dalam white matter tertanam massa gray matter yang
disebut ganglia basalis. Daerah ini penting sebagai jalur
lintas bagi semua serabut saraf yang menghubungkan
cerebrum dengan bagian susunan saraf pusat lainnya.
Selain itu, dalam telencephalon terdapat pembagian
lobus menjadi empat lobus, yaitu:
● Lobus frontalis: pusat fungsi intelektual yang
lebih tinggi, seperti kemampuan berpikir abstrak
dan nalar, bicara (area broca di hemisfer kiri),
pusat penghidu, dan emosi

23
● Lobus parietalis: pusat kesadaran sensorik di
gyrus postsentralis (area sensorik primer) untuk
rasa raba dan pendengaran
● Lobus temporalis: mengatur daya ingat verbal,
visual, pendengaran dan berperan dalam
pembentukan dan perkembangan emosi
● Lobus occipitalis: pusat penglihatan dan area
asosiasi penglihatan: menginterpretasi dan
memproses rangsang penglihatan dari nervus
optikus dan mengasosiasikan rangsang ini
dengan informasi saraf lain & memori
- Cerebellum
Otak kecil (cerebellum) merupakan pusat koordinasi
untuk keseimbangan dan tonus otot melalui suatu
mekanisme kompleks dan umpan balik juga
memungkinkan sistem somatik tubuh untuk bergerak
secara tepat dan terampil (Irfan, 2012). Fungsi utama
cerebellum adalah untuk mengatur otot-otot postural
tubuh, mengkoordinasi penyesuaian secara cepat dan
otomatis dengan memelihara keseimbangan tubuh serta
untuk melakukan program akan gerakan-gerakan pada
keadaan sadar dan bawah sadar.
Cerebellum sebagai pusat refleks yang mengoordinasi
dan memperhalus gerakan otot serta mengubah tonus
dan kekuatan kontraksi untuk mempertahankan
keseimbangan dan sikap tubuh (Muttaqin, 2011).
- Brain stem
Batang otak terletak pada fossa anterior. Batang otak
terdiri atas mensefalon, mid brain, pons, dan medulla
oblongata yang merupakan tempat berbagai macam
pusat vital seperti pernapasan, pusat vasomotor, pusat
pengatur kegiatan jantung, pusat muntah, bersin, dan
batuk (Irianto, 2012).
(2) Vaskularisasi otak

24
- Arteri vertebralis
Arteri vertebralis dekstra dan sinistra keluar dari bagian
pertama tiap sisi arteria subclavia pada bagian inferior
regio cervicalis, dan melintas ke arah superior melalui
foramen transversum enam vertebrae cervicalis paling
superior. Saat memasuki kavitas cranii melalui foramen
magnum, tiap arteria vertebralis mengeluarkan cabang
kecil ramus meningeus.
Arteri basilaris berjalan ke arah lateral di sepanjang
aspectus anterior pons. Cabangnya dari arah caudal ke
rostral meliputi arteriae cerebeilli inferior anterior,
beberapa arteria pontis yang kecil, dan arteriae cerebelli
superior. Arteria basilaris berakhir sebagai sebuah
bifurkasi, membentuk dua arteria cerebri posterior.
- Arteri karotis interna
Dua arteri karotis interna muncul sebagai salah satu dari
dua cabang terminal arteria karotis kommunis. Arteria
ini berjalan terus ke superior menuju basis cranii dan
keduanya memasuki kanalis karotikus. Saat masuk ke
cavitas cranii, tiap arteria karotis interna memberi
cabang arteria ophthalmica, arteria kommunicans
posterior, arteria cerebri media, dan arteria serebri
anterior.
- Circulus arteriosus cerebri
Circulus arteriosus cerebri (dari Willis) dibentuk pada
basis encephalon oleh sistem arteria vertebrobasilaris
dan sistem arteria carotis interna yang saling
berhubungan. Hubungan anastomosis ini dibentuk oleh:
n satu arteria communicans anterior yang saling
menghubungkan arteria cerebri anterior dextra dan
artreia cerebri anterior sinistra dua arteria communikans
posterior, satu pada setiap sisi, menghubungkan arteria
carotis interna dengan arteria cerebri posterior.
- Drainase vena

25
Drainase vena dimulai di dalam sebagai jaringan
saluran-saluran vena kecil yang mengarah pada venae
cerebri yang lebih besar, venae cerebelli, dan venae
yang mengalirkan darah truncus encephali, yang
akhirnya bermuara pada sinus durae matris. Sinus durae
matris adalah ruang-ruang berlapis endothelium di
antara lamina externa dan lamina interna dura mater,
yang akhirnya mengarah pada vena jugularis interna.
Yang juga bermuara pada sinus durae matris adalah
venae diploicae, yang berjalan di antara tabula interna
dan tabula externa tulang kompakta pada atap kavitas
kranii, dan venae emissariae, yang lewat dari sisi luar
kavitas kranii ke dura matris.
Dalam kondisi tertentu salah satu pembuluh darah bisa
mengalami ruptur yang salah satunya dapat
menyebabkan penyakit stroke.
5) Bagaimana hubungan ventrikel hipertrofi dengan penyakit yang
diderita pasien?
Hipertensi yang tidak terkontrol → preload dan afterload di ventrikel
kiri meningkat → stress miokardia meningkat → miosit meregang →
proliferasi fibroblast dan kontraktilitas sintesis protein meningkat →
jumlah miosit meningkat dan penambahan sarkomer tersusun paralel
→ penebalan dinding ventrikel kiri → semakin parah → hipertrofi
ventrikel kiri
6) Bagaimana tatalaksana dari pasien dengan diagnosis tersebut?
Pada kasus didapatkan pasien mengalami stroke hemoragik
(intracerebral hemorrhage).
(1) Tekanan darah (hipertensi)
Tekanan darah harus dikurangi secara bertahap sampai 140/90
mmHg menggunakan beta blocker (labetolol, esmolol), ACE
inhibitor (enalaparil), calcium channel blocker (nicardipine),
atau hydralazine. Tekanan darah harus diperiksa setiap 10-15
menit
(2) Stroke perdarahan akibat konsumsi antagonis vitamin K

26
- Hentikan antagonis vitamiin K
- Administrasi Fresh Frozen Plasma (FFP) atau
Prothrombin Complex Concentrates (PCC)
(3) Stroke perdarahan akibat konsumsi heparin: stop heparin dan
administrasi protamin sulfat
(4) Stroke perdarahan dengan masalah gula darah
- Hiperglikemia: Hindari kadar gula darah >180 dengan
infus salin hindari larutan glukosa dalam 24 jam
pertama setelah awitan
- Hipoglikemia: (<50 mg/dL) mungkin mirip gejala
stroke infark, berikan bolus dekstrosa atau infus glukosa
10-20% dengan target 80-110
(5) Bangkitan pasca stroke perdarahan
- Perlu diberikan obat antiepilepsi
- EEG (bangkitan elektrografik) kontinu diindikasikan
pada pasien stroke hemoragik dengan derajat penurunan
status mental yang tidak sesuai dengan derajat
kerusakan otak
(6) Pengendalian peningkatan Tekanan Intrakranial (TIK)
- Pemantauan ketat dilakukan dalam 48 jam pertama
serangan stroke
- Indikasi pemasangan monitor TIK:
● Skor GCS ≤8
● Bukti klinis herniasi transtentorial
● Perdarahan intraventrikel atau hidrosefalus
● Target TIK <20 mmHg dan tekanan perfusi
serebral 50-70mmHg
- Terapi peningkatan TIK:
● Mannitol 0,5-1 g/kg selama <20 menit, diulang
tiap 4-6 jam
● Target osmolaritas darah ≤310 mOsm/L.
Pemeriksaan dilakukan dua kali per hari selama
pemberian mannitol

27
- Pemasangan drainase ventrikel eksternal atau
ventrikulostomi dipertimbangkan terutama apabila
pasien memiliki penurunan kesadaran atau risiko
hidrosefalus
- Meninggikan kepala tempat tidur pasien hingga 30o
(7) Pembedahan: untuk mengevakuasi hematoma intrakranial agar
mengurangi efek massa dan dampak hematoma ke jaringan
sekitar
- Pemberian intraventrikular rTPA untuk melisiskan
bekuan darah intraventrikular
- Dilakukan cito pada kasus: pedarahan cerebellum
dengan status neurologis terus menurun atau pada
kompresi batang otak dan/atau pada hidrosefalus akibat
obstruksi ventrikel
- Pencegahan ICH berulang: penghentian antikoagulan
pada tatalaksana AF nonvalvular serta kontrol tekanan
darah
7) Bagaimana patofisiologi dari penyakit yang diderita pasien?
Penyakit yang diderita pasien adalah stroke hemoragik. Stroke
hemoragik terjadi karena adanya perdarahan pada pembuluh darah
otak. Perdarahan terjadi akibat rupturnya pembuluh darah otak. Selain
itu, terjadi juga peningkatan tekanan intrakranial. Hal ini terjadi karena
beberapa hal, seperti hipertensi, amyloid angiopati, aneurisma,
malformasi pembuluh darah, dan sebagainya. Selanjutnya, perdarahan
ini mengakibatkan kematian jaringan otak, edema, dan inflamasi.
Keadaan ini mengakibatkan munculnya manifestasi klinis pada pasien,
seperti sakit kepala, mual, penurunan kesadaran, kelemahan motorik,
dan sebagainya.
8) Bagaimana komplikasi dari penyakit yang diderita pasien?
Komplikasi dari penyakit yang diderita pasien antara lain:
(1) Trombosis Vena atau Deep Vein Thrombosis (DVT). Deep vein
thrombosis adalah gumpalan darah yang terbentuk di pembuluh
darah kaki karena imobilitas akibat stroke. Bagi pasien yang

28
baru sembuh dari stroke, latihan rentang gerak dan terapi fisik
dapat menjadi bagian dari perawatan DVT
(2) Edema otak. Pembengkakan pada otak ini terjadi karena adanya
penumpukan cairan dan tekanan yang dapat mempengaruhi
aliran oksigen dan darah ke otak
(3) Kejang. Kejang terjadi jika ada aktivitas listrik abnormal di
sel-sel otak
(4) Ulkus dekubitus. Ulkus dekubitus adalah luka pada kulit dan
jaringan di bawahnya yang terjadi akibat penurunan
kemampuan untuk bergerak dan peningkatan tekanan pada area
tubuh karena imobilitas
(5) Depresi. Depresi adalah penyakit mental yang menyebabkan
reaksi emosional dan fisik yang tidak diinginkan terhadap
perubahan dan kehilangan. Depresi pada pasien yang baru
sembuh dari stroke dapat mencakup konseling dan terapi, dan
mungkin termasuk dengan obat-obatan
(6) Risiko pneumonia. Pneumonia adalah infeksi umum yang
mempengaruhi kantung udara di salah satu atau kedua
paru-paru. Menelan, terapi pernapasan, dan latihan pernapasan
dapat membantu mengurangi risiko pneumonia bagi pasien
yang baru sembuh dari stroke
(7) Hilang ingatan
(8) Kelemahan otot
(9) Gangguan penglihatan dan pendengaran

IV. LEARNING ISSUES


1. Anatomi dan Vaskularisasi Otak
1) Anatomi Otak
2) Vaskularisasi Otak
2. Stroke Hemorrhage
1) Definisi
2) Etiologi
3) Epidemiologi
4) Faktor Risiko

29
5) Patofisiologi
6) Diagnosis
7) Diagnosis Banding
8) Manifestasi Klinis
9) Tatalaksana dan Pengobatan
10) Edukasi dan Pencegahan
11) Komplikasi
12) Tatalaksana dengan Penyulit: Hipertensi Emergensi dan Geriatrik
3. Pemeriksaan Fisik
4. Pemeriksaan Penunjang

V. SINTESIS
1. Anatomi Otak
1) Anatomi Otak
Otak (encephalon) merupakan komponen sistem saraf pusat
yang memiliki fungsi yang sangat kompleks di dalam tubuh. Otak
orang dewasa memiliki bobot sekitar 1300 gram dalam ukuran normal
dan besarnya hampir memenuhi seluruh dari cavitas cranii. Pada
bagian dalam otak terdapat suatu rongga yang dinamakan
ventriculi/ventrikel yang berisi cairan otak yang dikenal dengan nama
liquor cerebrospinalis. Secara anatomis otak terdiri dari cerebrum,
cerebellum, dan brainstem.

30
(1) Cerebrum

Cerebrum terdiri atas dua hemispherium yaitu kanan


dan kiri yang dipisahkan oleh fissure longitudinalis cerebri.
Selama tahap-tahap perkembangan awal, cerebrum memiliki
permukaan yang mulus dan kemudian terbentuk sulci
(depresi/cekungan) dan gyri (elevasi). Timbulnya lipatan ini
meningkatkan daerah permukaan cerebrum dan menyebabkan
dua pertiga daerah permukaan cerebrum tidak tampak oleh
mata. Bila otak dibelah secara vertikal akan tampak bagian otak
sebelah luar berwarna abu-abu (gray matter) dan otak bagian
dalam berwarna putih (white matter). Di dalam white matter
tertanam massa gray matter yang disebut ganglia basalis.
Daerah ini penting sebagai jalur lintas bagi semua serabut saraf
yang menghubungkan cerebrum dengan bagian susunan saraf
pusat lainnya.
Selain itu, dalam telencephalon terdapat pembagian
lobus menjadi empat lobus, yaitu:
- Lobus frontalis
Lobus frontalis berperan sebagai pusat fungsi
intelektual yang lebih tinggi, seperti kemampuan
berpikir abstrak dan nalar, bicara (area broca di
hemisfer kiri), pusat penghidu, dan emosi. Bagian ini
mengandung pusat pengontrolan gerakan volunter di
gyrus presentralis (area motorik primer) dan terdapat
area asosiasi motorik (area premotor). Pada lobus ini

31
terdapat daerah broca yang mengatur ekspresi bicara,
lobus ini juga mengatur gerakan sadar, perilaku sosial,
berbicara, motivasi dan inisiatif (Purves dkk, 2004).
- Lobus parietalis
Lobus parietalis merupakan daerah pusat
kesadaran sensorik di gyrus postsentralis (area sensorik
primer) untuk rasa raba dan pendengaran (White, 2008).
- Lobus temporalis
Mencakup bagian korteks serebrum yang
berjalan ke bawah dari fisura laterali dan sebelah
posterior dari fisura parieto-oksipitalis (White, 2008).
Lobus ini berfungsi untuk mengatur daya ingat verbal,
visual, pendengaran dan berperan dalam pembentukan
dan perkembangan emosi.
- Lobus occipitalis
Lobus oksipitalis berfungsi untuk pusat
penglihatan dan area asosiasi penglihatan:
menginterpretasi dan memproses rangsang penglihatan
dari nervus optikus dan mengasosiasikan rangsang ini
dengan informasi saraf lain & memori (White, 2008).
(2) Cerebellum
Otak kecil (cerebellum) merupakan pusat koordinasi
untuk keseimbangan dan tonus otot melalui suatu mekanisme
kompleks dan umpan balik juga memungkinkan sistem somatik
tubuh untuk bergerak secara tepat dan terampil (Irfan, 2012).
Fungsi utama cerebellum adalah untuk mengatur otot-otot
postural tubuh, mengkoordinasi penyesuaian secara cepat dan
otomatis dengan memelihara keseimbangan tubuh serta untuk
melakukan program akan gerakan-gerakan pada keadaan sadar
dan bawah sadar.
Cerebellum sebagai pusat refleks yang mengoordinasi
dan memperhalus gerakan otot serta mengubah tonus dan
kekuatan kontraksi untuk mempertahankan keseimbangan dan
sikap tubuh (Muttaqin, 2011).

32
(3) Brain Stem (batang otak)
Batang otak terletak pada fossa anterior. Batang otak
terdiri atas mensefalon, mid brain, pons, dan medulla oblongata
yang merupakan tempat berbagai macam pusat vital seperti
pernapasan, pusat vasomotor, pusat pengatur kegiatan jantung,
pusat muntah, bersin, dan batuk (Irianto, 2012).
2) Vaskularisasi Otak

Pengaliran darah ke otak dilakukan oleh dua pembuluh arteri


utama yaitu oleh sepasang arteri karotis interna dan sepasang arteri
vertebralis. Keempat arteri ini terletak didalam ruang subarkhonoid
dan cabang-cabangnya beranastomosis pada permukaan inferior otak
untuk membentuk circulus willisi. Arteri carotis interna, arteri
basilaris, arteri cerebri anterior, arteri communicans anterior, arteri
cerebri posterior da communicans posterior dan arteria basilaris ikut
membentuk sirkulus ini (Snell, 2007).
(1) Arteri vertebralis
Arteri vertebralis dekstra dan sinistra keluar dari bagian
pertama tiap sisi arteria subclavia pada bagian inferior regio
cervicalis, dan melintas ke arah superior melalui foramen
transversum enam vertebrae cervicalis paling superior. Saat
memasuki kavitas cranii melalui foramen magnum, tiap arteria
vertebralis mengeluarkan cabang kecil ramus meningeus.

33
- Berlanjut ke depan, arteri vertebralis mengeluarkan tiga
ramus tambahan kecil sebelum bergabung dengan
pembuluh darah pasangannya untuk membentuk arteria
basilaris
- Satu cabang bergabung dengan pasangannya dari sisi
yang lain untuk membentuk satu arteria spinalis
anterior, yang kemudian turun pada fissura mediana
anterior medulla spinalis
- Cabang kedua adalah arteri spinalis posterior, yang
lewat ke posterior mengelilingi medula kemudian turun
pada facies posterior medulla spinalis, pada area
perlekatan radix posterior —ada dua arteria spinalis
posterior, satu pada setiap sisinya (walaupun arteriae
spinales posteriores dapat berasal langsung dari arteria
vertebralis, arteria ini lebih sering bercabang dari
arteriae inferior posterior cerebelli)
- Tepat sebelum kedua arteri vertebralis bersatu, tiap
arteri memberi cabang arteri serebelli inferior posterior
Arteri basilaris berjalan ke arah lateral di sepanjang
aspectus anterior pons. Cabangnya dari arah caudal ke rostral
meliputi arteriae cerebeilli inferior anterior, beberapa arteria
pontis yang kecil, dan arteriae cerebelli superior. Arteria
basilaris berakhir sebagai sebuah bifurkasi, membentuk dua
arteria cerebri posterior
(2) Arteri karotis interna
Dua arteri karotis interna muncul sebagai salah satu dari
dua cabang terminal arteria karotis kommunis. Arteria ini
berjalan terus ke superior menuju basis cranii dan keduanya
memasuki kanalis karotikus. Saat masuk ke cavitas cranii, tiap
arteria karotis interna memberi cabang arteria ophthalmica,
arteria kommunicans posterior, arteria cerebri media, dan
arteria serebri anterior.
(3) Circulus arteriosus cerebri

34
Circulus arteriosus cerebri (dari Willis) dibentuk pada
basis encephalon oleh sistem arteria vertebrobasilaris dan
sistem arteria carotis interna yang saling berhubungan.
Hubungan anastomosis ini dibentuk oleh: n satu arteria
communicans anterior yang saling menghubungkan arteria
cerebri anterior dextra dan artreia cerebri anterior sinistra dua
arteria communikans posterior, satu pada setiap sisi,
menghubungkan arteria carotis interna dengan arteria cerebri
posterior.
(4) Drainase vena
Drainase vena dimulai di dalam sebagai jaringan
saluran-saluran vena kecil yang mengarah pada venae cerebri
yang lebih besar, venae cerebelli, dan venae yang mengalirkan
darah truncus encephali, yang akhirnya bermuara pada sinus
durae matris. Sinus durae matris adalah ruang-ruang berlapis
endothelium di antara lamina externa dan lamina interna dura
mater, yang akhirnya mengarah pada vena jugularis interna.
Yang juga bermuara pada sinus durae matris adalah venae
diploicae, yang berjalan di antara tabula interna dan tabula
externa tulang kompakta pada atap kavitas kranii, dan venae
emissariae, yang lewat dari sisi luar kavitas kranii ke dura
matris.
Dalam kondisi tertentu salah satu pembuluh darah bisa
mengalami ruptur yang salah satunya dapat menyebabkan
penyakit stroke.

2. Stroke Hemorrhage
1) Definisi
Stroke hemoragik, yang merupakan 15% sampai 20% dari
semua stroke, dapat terjadi apabila lesi vaskuler intraserebrum
mengalami ruptur sehingga terjadi perdarahan ke dalam ruang
subarakhnoid atau langsung ke dalam jaringan otak. Ada dua jenis
stroke hemoragik:
(1) Hemoragi intraserebral

35
Jenis stroke hemoragik yang paling umum. Ini terjadi
ketika arteri di otak pecah dan darah ekstravasasi ke jaringan di
sekitarnya.
(2) Hemoragi subarachnoid
Jenis stroke hemoragik yang lebih jarang terjadi.
Perdarahan terjadi di area antara otak dan jaringan tipis yang
menutupinya (subarachnoid space).
2) Etiologi
Hipertensi adalah penyebab paling umum dari stroke
hemoragik.
(6) Hipertensi yang berlangsung lama menghasilkan degenerasi
media, kerusakan lamina elastis, dan fragmentasi otot polos
arteri
(7) Lipohyalinosis, nekrosis fibrinoid subendotelium,
mikroaneurisma, dan dilatasi fokal terlihat pada arteriol.
Mikroaneurisma disebut juga sebagai aneurisma
Charcot-Bouchard
(8) Lokasi umum perdarahan intraserebral yang diinduksi
hipertensi adalah arteri penetrasi kecil yang berasal dari arteri
basilar atau arteri serebral anterior, tengah, atau posterior
(9) Cabang-cabang arteri kecil berdiameter 50 hingga 700 μm
sering memiliki banyak lokasi ruptur yang terkait dengan
lapisan agregat trombosit dan fibrin
(10) Perubahan hipertensi menyebabkan perdarahan intrakranial
non-lobar (ICH). Seperti yang terlihat pada eklampsia,
hipertensi akut juga dapat menyebabkan ICH, yang dikenal
sebagai ICH postpartum
Selain itu juga, penyebab dari stroke hemoragik lainnya adalah:
(1) Perdarahan subarakhnoid (PSA) pada ruptur aneurisma sakular
(Berry)
(2) Ruptur malformasi arteriovena (MAV)
(3) Trauma capitis
(4) Penyalahgunaan kokain, amfetamin
(5) Perdarahan akibat tumor otak

36
(6) Infark hemoragik
(7) Penyakit perdarahan sistemik termasuk terapi antikoagulan
Untuk subarachnoid hemorrhage sendiri secara umum
disebabkan oleh pecahnya aneurisma, malformasi arteriovenosa,
vaskulitis, diseksi arteri serebral, trombosis sinus dural, dan pitam
hipofisis. Faktor risikonya adalah hipertensi, pil kontrasepsi oral,
penyalahgunaan zat obat, dan kehamilan.
3) Epidemiologi
Stroke menjadi penyebab kematian utama ke tiga di dunia serta
kecacatan jangka panjang pada penderitanya. Laju mortalitas pada
serangan stroke pertama dan stroke berulang yaitu 18-37% dan 62%.
Stroke menjadi penyebab utama kematian di negara Asia Tenggara
(ASEAN). Angka kematian tertinggi terjadi di Indonesia, Filipina,
Singapura, Brunei Darussalam dan Malaysia (Putri, et al., 2017).
Jumlah penderita stroke di Indonesia menduduki peringkat pertama
sebagai negara terbanyak yang mengalami stroke di seluruh Asia.
Prevalensi stroke di Indonesia mencapai 8,3 dari 1000 populasi. Angka
prevalensi ini meningkat dengan meningkatnya usia. Di Indonesia
didapatkan bahwa stroke merupakan penyebab kematian tertinggi yaitu
15,4%. Didapatkan sekitar 750.000 insiden stroke per tahun di
Indonesia, dan 200.000 diantaranya merupakan stroke berulang
(Irdelia, et al., 2014).
4) Faktor Risiko
Beberapa faktor yang menimbulkan manifestasi klinis dari
stroke, diantaranya:
(3) Modifable
- Hipertensi
- Diabetes melitus → peningkatan aterogenesis
- Merokok
- Hiperkolesterolemia
- Penggunaan antiplatelet agent
- Penggunaan sympathomimetic drugs (cocain, heroin,
amphetamine, dll)
(4) Non-Modifable

37
- Usia
- Jenis kelamin
- Asian ethnicity
5) Patofisiologi
Stroke hemoragik terjadi akibat pecahnya pembuluh darah di
dalam otak sehingga darah menutupi atau menggenangi ruang-ruang
pada jaringan sel otak. Dengan adanya darah menutupi ruang pada
jaringan sel otak tersebut, maka akan menyebabkan kerusakan jaringan
sel otak (Lorenza Olvira Yolanda, 2021). Genangan darah bisa terjadi
pada otak sekitar pembuluh darah yang pecah (intracerebral
hemorrhage) atau dapat juga masuk ke dalam ruang di sekitar otak
(subarachnoid hemorrhage). Apabila stroke terjadi sangat luas dan
fatal, bisa berujung pada kematian. Keadaan yang sering terjadi adalah
kerapuhan akibat mengerasnya dinding pembuluh darah. Hal ini terjadi
karena adanya timbunan plak atau arteriosklerosis, akan lebih parah
apabila disertai dengan tekanan darah tinggi.
Stroke hemoragik disebabkan adanya kematian sel pada
jaringan otak (Reynaldi, 2018). Kematian ini terjadi karena inflamasi
atau apoptosis sel. Pada saat perdarahan, terbentuk suatu massa yang
menyebabkan inflamasi dan memberikan efek toksik sehingga terjadi
kematian sel pada otak. Selanjutnya, apoptosis terjadi karena terbentuk
clotting oleh thrombin. Thrombin menyebabkan eritrosit lisis karena
adanya pelepasan heme/besi sehingga mengaktifkan caspase yang
mengakibatkan sel melakukan apoptosis.
Adanya darah dalam parenkim otak menyebabkan kerusakan
pada jaringan sekitar melalui efek mekanik sehingga menghasilkan
massa dan neurotoksisitas dari komponen darah dan produk degradasi.
Selama 24 jam pertama, 30% dari intracranial hemorrhage (ICH) terus
membesar, paling cepat dalam waktu 4 jam. Volume gumpalan menjadi
prediktor paling penting dari hasil perdarahan yang terlepas dari lokasi.
Perdarahan dengan volume >60 mL berhubungan dengan 71%
kematian pada 15 hari dan 93% kematian pada 30 hari. Peningkatan
mendadak tekanan intrakranial yang menyebabkan herniasi dan

38
kematian menjadi penyebab sebagian besar kematian dini stroke
hemoragik (sekitar 50% pada 30 hari).
Sebagian besar kasus intracerebral hemorrhage (ICH) terjadi
ketika terdapat bocoran kecil pada arteri (50 s.d. 700 μm). Selanjutnya,
darah akibat bocoran ini masuk ke parenkim otak. Bagian dari cedera
induksi ICH adalah gangguan fisik jaringan yang berdekatan dan efek
massa disebabkan sebagai bentuk ICH. Volume ICH sering dibagi
menjadi tiga kategori, yaitu kecil (<30 mm), menengah (30 s.d. 60
mm), dan besar (>60 mm).

39
6) Diagnosis
(1) Anamnesis
Pada anamnesa akan ditemukan kelumpuhan anggota
gerak, mulut mengot atau bicara pelo yang terjadi secara
tiba-tiba pada saat sedang beraktivitas. Selain itu, pada
anamnesa juga perlu ditanyakan penyakit-penyakit tedahulu
seperti diabetes mellitus atau kelainan jantung. Obat-obatan
yang dikonsumsi, riwayat penyakit dalam keluarga juga perlu
ditanyakan pada anamnesa.
(2) Pemeriksaan Fisik
Pada pasien stroke perlu dilakukan pemeriksaan fisik
neurologi seperti tingkat kesadaran, ketangkasan gerakan,
kekuatan otot, refleks tendon, refleks patologis dan fungsi saraf
kranial.
(3) Pemeriksaan Penunjang
- CT-Scan
Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan baku
emas untuk membedakan stroke infark dengan stroke
perdarahan. Pada stroke karena infark, gambaran CT

40
scannya secara umum adalah didapatkan gambaran
hipodens sedangkan pada stroke perdarahan
menunjukkan gambaran hiperdens
- MRI
Pemeriksaan ini sangat baik untuk menentukan
adanya lesi di batang otak (sangat sensitif). Secara
umum juga lebih sensitif dibandingkan CT scan,
terutama untuk mendeteksi pendarahan posterior.
- Pemeriksaan angiografi
Pemeriksaan ini digunakan untuk menentukan
apakah lokasi pada sistem karotis atau vertebrobasiler,
menentukan ada tidaknya penyempitan, oklusi atau
aneurisma pada pembuluh darah.
- Pemeriksaan USG
Pemeriksaan ini untuk menilai pembuluh darah
intra dan ekstra kranial, menentukan ada tidaknya
stenosis arteri karotis.
- Pemeriksaan fungsi lumbal
Pemeriksaan ini digunakan apabila tidak ada CT
scan atau MRI. Pada stroke perdarahan intraserebral
didapatkan gambaran LCS seperti cucian daging atau
berwarna kekuningan. Pada perdarahan subaraknoid
didapatkan LCS yang gross hemorragik. Pada stroke
infark tidak didapatkan perdarahan (jernih).
- Pemeriksaan penunjang lain
Pemeriksaan untuk menentukan faktor risiko
seperti darah rutin, komponen kimia darah (ureum,
kreatinin, asam urat, profil lipid, gula darah, fungsi
hepar), elektrolit darah, foto toraks, EKG, dan
ekokardiografi.
7) Diagnosis Banding
(1) Stroke iskemik
(2) Ensefalitis herpes simpleks
(3) Sindrom diseksi

41
(4) Hidrosefalus
(5) Penyakit moyamoya
(6) Epilepsi
(7) Empiema subdural
8) Manifestasi Klinis
Gejala umum yang timbul adalah sakit kepala, afasia,
hemiparesis, dan kelumpuhan wajah (Montaño, Hanley and Hemphill,
2021). Pada stroke hemoragik, biasanya timbul secara akut dan
progresif. Manifestasi klinis umum dari stroke hemoragik ini dapat
berupa sakit kepala dengan onset akut, muntah, kekauan leher,
peningkatan tekanan darah, dan tanda neurologis yang berkembang
pesat. Gejala dapat menjelaskan luas dan lokasi perdarahan sebagai
berikut (Montaño, Hanley and Hemphill, 2021).
(1) Sakit kepala sering terjadi pada hematoma besar
(2) Muntah menunjukkan peningkatan tekanan intrakranial dan
sering terjadi pada cerebellar hematoma
(3) Koma terjadi apabila sistem aktivasi retikuler pada batang otak
ikut terkena
(4) Kejang, afasia, dan hemianopia terlihat pada perdarahan lobar.
Prodromal yang terdiri dari mati rasa, kesemutan, dan
kelemahan juga dapat terjadi pada perdarahan pada lobus di
cerebrum
(5) Defisit sensorimotor kontralateral terjadi apabila terdapat
perdarahan pada ganglia basalis dan thalamus
(6) Hilangnya semua modalitas sensorik muncul sebagai tanda dari
thalamic hemorrhage
(7) Perdarahan yang meluas dari thalamus ke otak tengah dapat
menyebabkan kelumpuhan pandangan vertikal, ptosis, dan
pupil yang tidak reaktif
(8) Disfungsi saraf kranial dengan kelemahan kontralateral
menunjukkan hematoma pada batang otak
(9) Perdarahan pada pons mengakibatkan koma dan quadriparesis
Cerebellar hemorrhage menyebabkan gejala dari peningkatan
tekanan intrakranial, seperti letargi, muntah, dan bradikardi. Kerusakan

42
neurologis yang terjadi secata progresif menunjukkan terjadi
pembesaran hematoma atau peningkatan edema.
Selanjutnya, gambaran klinis subarachnoid hemorrhage adalah
sakit kepala hebat, muntah, sinkop, fotofobia, kaku kuduk, kejang, dan
penurunan tingkat kesadaran. Tanda meningismus, seperti Kernig sign
(nyeri saat lutut diluruskan saat paha ditekuk hingga 90⁰) dan
Brudzinski sign (penekanan pinggul yang tidak disengaja saat leher
pasien ditekuk) mungkin positif.
9) Tatalaksana dan Pengobatan
(1) Tatalaksana Awal
- Stabilisasi jalan napas (ABC: Airway, Breathing, and
Circulation) diberikan pada pasien yang mengalami
penurunan kesadaran atau disfungsi bulbar
- Pemberian oksigen apabila saturasi oksigen pasien
<95% (hipoksia) dan pemantauan terus-menerus status
neurologis dalam 72 jam pada deficit neurologis
- Intubasi pipa endotrakeal atau laryngeal mask airway
pada pasien hipoksia, syok dan risiko aspirasi
- Stabilisasi hemodinamik:
● Cairan kristaloid atau koloid IV (hindari cairan
hipotonik seperti glukosa)
● Pemasangan central venous catheter
● TDS <120 dan cairan mencukupi, target 140
dengan vasopressor secara titrasi (dopamin dosis
sedang/tinggi, norepinefrin, dan epinefrin)
- Pilihan terapi pada pasien hipertensi dengan stroke:
● Labetolol 10-20 mg IV dalam 1-2 menit, boleh
diulang sekali
● Nicardipin 5 mg/jam IV, dititrasi 2,5 mg/jam
tiap 5-15 menit maksimal 15 mg/jam
● Clevidipine 1-2 mg/jam IV, dosis digandakan
tiap 2-5 menit maksimal 21 mg/jam
- Pengendalian Tekanan Intrakranial (TIK)
● Pemantauan ketat pada risiko edema serebral

43
● Monitor ICP jika GCS <9
● Target ICP <20 mmHg dan CPP >70 mmHg
- Pengendalian suhu tubuh:
● Indikasi hipertermia >38oC atau 37,5oC
diberikan asetaminofen 650 mg
● Cari etiologi → kultur darah, urin dan trakea
● Pada pasien meningitis, berikan antibiotik
- Ukur tingkat keparahan stroke menggunakan NIHSS

- Pengendalian kejang:
● Diberikan diazepam IV bolus lambat 5-20 mg
atau lorazepam 2 mg IV, diikuti fenitoin dengan
dosis bolus 15-20 mg intravena yang diberikan
>20 menit dan dilanjutkan dengan infus 5-7
mg/kg/hari selama 1 bulan.
● Antikonvulsan profilaksis: Iskemia → tak
dianjurkan; Hemoragik: dapat diberikan selama
1 bulan tapering off dan dihentikan bila tak ada
kejang selama pengobatan
- CT-scan non kontras <20 menit dari kedatangan di IGD

44
- Cek gula darah sewaktu (GDS): pasien hiperglikemia
diterapi dnegan target 140-180 mg/dL, pasien
hipoglikemia (GDS <60 mg/dL) diterapi dengan target
80-110 mg/dL, berikan 25 gr glukosa IV
- Nutrisi enteral harus diinisiasi dalam 7 hari pertama
setelah awitan stroke. Pemasnagan pipa nasogastrik
(NGT) pada pasien yang mengalami kesulitan menelan,
bertujuan untuk mencegah adanya aspirasi saat
pemberian makanan
- Cek pemeriksaan penunjang:
● EKG
● Laboratorium
● LP → curiga SAH
● Radiologi → foto rontgen dada, CT-scan, MRI
(2) Tatalaksana intracerebral hemorrhage (ICH)
- Tekanan darah (pengendalian hemodinamik)
Stabilisasi hemodinamik diperlukan untuk
menstabilkan volume cairan yang mengalami
penurunan dengan pemberian cairan kristaloid seperti
infus ringer asetat. Rekomendasi dari American Heart
Association/American Stroke Association untuk
pengelolaan tekanan darah pada ICH spontan adalah:
● Bila tekanan sistolik >220 mmHg atau tekanan
arteri rata-rata (MAP) > 150 mmHg, lakukan
penurunan tekanan darah secara agresif dengan
infus kontinu, dan ukur tekanan darah setiap 5
menit
● Bila tekanan sistolik 150-220 mmHg atau
tekanan arteri rata-rata >130 penurunan akut
TDS menjadi 140 mmHg aman dan dapat
meningkatkan hasil fungsional. Jika ada suspek
peningkatan TIK, pertimbangkan monitor
tekanan intrakranial untuk mempertahankan
tekanan perfusi otak >60-80 mmHg

45
● Bila tekanan sistolik >180 mmHg atau tekanan
arteri rata-rata > 130 mmHg dan tidak ada
suspek peningkatan TIK, kemudian
pertimbangkan penurunan tekanan darah sedang
(misalnya tekanan arteri rata-rata 110 mmHg
atau target tekanan darah 160/90 mmHg)
menggunakan pemberian intermiten atau
kontinu intravena untuk mengendalikan tekanan
darah, dan periksa setiap 15 menit
Tekanan darah harus dikurangi secara bertahap
sampai 140/90 mmHg menggunakan beta blocker
(labetolol, esmolol), ACE inhibitor (enalapril), calcium
channel blocker (nicardipine), atau hydralazine.
Tekanan darah harus diperiksa setiap 10-15 menit.

Pengelolaan hipotensi: Hipotensi arterial


berhubungan dengan buruknya keluaran neurologis,
terutama bila TDS <100 mmHg dan TDD <70 mmHh
→ harus dicari etiologi dan diatasi.
● Phenylephrine 2-10 ug/kg/menit
● Dopamine 2-20 ug/kg/menit
● Norepinephrine 0,05-0,2 ug/kg/menit

46
Diawali dengan dosis kecil dan dipertahankan
pada TDS 140 mmHg pada kondisi akut stroke.
- Stroke perdarahan akibat konsumsi antagonis vitamin K
● Hentikan antagonis vitamin K
● Administrasi fresh frozen plasma (FFP) atau
prothrombin complex concentrates (PCC)
- Stroke perdarahan akibat konsumsi heparin: stop
heparin dan administrasi protamin sulfat
- Stroke perdarahan dengan masalah gula darah
● Hiperglikemia: Hindari gula darah >180 dengan
infus salin hindari larutan glukosa dalam 24 jam
pertama setelah awitan
● Hipoglikemia: (< 50 mg/dL) mungkin mirip
gejala stroke infark, berikan bolus dekstrosa atau
infus glukosa 10-20% dengan target: 80 – 110
- Bangkitan pasca stroke perdarahan
● Perlu diberikan obat antiepilepsi
● EEG (bangkitan elektrografik) kontinu
diindikasikan pada pasien stroke hemoragik
dengan derajat penurunan status mental yang
tidak sesuai dengan derajat kerusakan otak
- Pengendalian peningkatan tekanan intrakranial (TIK)
● Pemantauan ketat dilakukan dalam 48 jam
pertama serangan stroke
● Indikasi pemasangan monitor TIK:
➢ Skor GCS ≤8
➢ Bukti klinis herniasi transteritorial
➢ Perdarahan intraventrikel atau
hidrosefalus
➢ Target TIK <20 mmHg dan tekanan
perfusi serebral 50-70 mmHg
● Terapi peningkatan TIK:
➢ Mannitol 0,5-1 g/kg selama <20 menit,
diulang tiap 4-6 jam

47
➢ Target osmolaritas darah ≤310 mOsm/L.
Pemeriksaan dilakukan dua kali per hari
selama pemberian mannitol
● Pemasangan drainase ventrikel eksternal atau
ventrikulostomi dipertimbangkan terutama
apabila pasien memiliki penurunan kesadaran
atau risiko hidrosefalus
● Meninggikan kepala tempat tidur pasien hingga
30o
- Pembedahan: untuk mengevakuasi hematoma
intrakranial agar mengurangi efek massa dan damoak
hematoma ke jaringan sekitar
● Pemberian intraventrikular rTPA untuk
melisiskan bekuan darah intraventrikular
● Dilakukan cito pada kasus: perdarahan
cerebellum dengan status neurologis terus
menurun atau pada kompresi batang otak
dan/atau pada hidrosefalus akibat obstruksi
ventrikel
● Pencegahan ICH berulang: penghentian
antikoagulan pada tatalaksana AF nonvalvular
serta kontrol tekanan darah
● Jenis pembedahan: kraniotomi untuk perdarahan
supratentorial, fossa posterior, kraniektomi
dekompresi, intervensi minimal invasif
(endoskopi), dan aspirasi kateter
(3) Tatalaksana subarachnoid hemorrhage (SAH)
- Pengelolaan dini
Ruptur aneurisma menyebabkan darah masuk ke
ruang subarakhnoid dengan sequele multipel yang
terjadi dengan cepat. Perdarahan subarakhnoid
menyebabkan pelepasan katekholamine dengan akibat
terjadi hipertensi, disritmia, dan kemungkinan
kerusakan jantung. Perdarahan dapat menimbulkan

48
peningkatan tekanan intrakranial akibat volume darah
itu sendiri, edema sekelilingnya, atau gangguan drainase
ventrikel. Disfungsi neurologik dapat terjadi dari
rentang sakit kepala sampai koma. Pengelolaan dini
difokuskan pada:
● Pengelolaan hemodinamik dan jantung
● Jalan napas dan ventilasi
● Evaluasi fungsi neurologik dan kebutuhan
pemantauan tekanan intrakranial atau drainase
ventrikel atau keduanya
- Rebleeding tekanan darah (pengendalian hemodinamik)
Untuk pasien dengan perdarahan subarachnoid
aneurisma, pedoman AHA/ASA 2012
merekomendasikan penurunan TDS 140 – 160mmHg
secara akut untuk mengurangi perdarahan ulang atau
rebleeding. Untuk mencegah risiko vasospasme, target
TDS 160-180 mmHg (tergantung usia, berat ringan
risiko dan komorbiditas).
Anti hipertensi yang dapat digunakan:
● Nicardipine (5 mg/jam IV maksimal 15 mg/jam)
● Labetalol (40-80 mg IV setiap 10 menit mulai
20 mg IV, maksimal 300 mg/dosis total, alt 2
mg/menit IV)
● Clevidipine (4-6 mg/jam IV, mulai 1-2 mg/jam
IV, maksimal 32 mg/jam)
Menghilangkan aneurisma dari sirkulasi
direkomendasikan pada fase awal setelah pecahnya
anuerisma. Menghilangkan aneurisma dapat dilakukan
dengan intervensi bedah teknik endovascular, clipping
atau intervensi neurovascular dengan coiling. Coiling
lebih dipilih karena memiliki morbiditas dan mortalitas
yang lebih rendah dibandingkan clipping. Namun, perlu
pemilihan terapi yang mempertimbangkan lokasi lesi,
leher aneurisma, akses arteri serta pertimbangan staf

49
medis. Tindakan direkomendasikan dilakukan dalam 72
jam sejak timbulnya gejala pertama apabila pasien
dalam kondisi baik.
Bed rest, analgetik, dan agen antihipertensi
berguna sebagai koadjuvan perawatan. Posisi kepala
ditinggikan 30° untuk memfasilitasi drainase vena.
Agen antifibrinolitik, bila digunakan pada tahap awal
untuk waktu singkat, mungkin dapat dipertimbangkan
sebagai cara untuk mencegah perdarahan ulang pada
pasien dengan untreated anuerisma untuk beberapa
waktu dan tidak berisiko tinggi vasospasme.
- Vasospasme: penyempitan pembuluh darah pada arteri
yang terjadi pada komplikasi akibat perdarahan
subarachnoid.
● Pemberian nimopidine diindikasikan pada
pasien dengan perdarahan subarachnoid, dengan
dosis oral 6x60 mg/hari dalam 96 jam dan
dilanjutkan hingga 21 hari. Dosis IV adalah 1
mg/jam drip untuk 2 jam pertama, apabila
ditoleransi dengan baik dilanjutkan menjadi 2
mg/jam drip
● Pemberian secara oral memiliki manfaat
signifikan dibandingkan pemberian IV
● Terapi trombolisis menggunakan rTPA setelah
clipping aneurisma dapat mengurangi risiko
vasospasme
● Infus vasodilator seperti penyekat kanal kalsium
dapat diberikan untuk pembuluh darah distal
10) Edukasi dan Pencegahan
(1) Edukasi Stroke Hemorrhage
Bila anda menderita stroke hemorrhage, dokter akan
memberi tahu tentang rekomendasi penanganan, penyembuhan,
bagaimana cara merawat diri sendiri, dan lain-lain. Beberapa
hal yang penting dilakukan dalam masa penyembuhan adalah:

50
- Mengonsumsi obat sesuai resep. Menjaga kondisi
kesehatan seperti tekanan darah sangat krusial setelah
stroke hemorrhage
- Periksa diri secara rutin dan jangan lewatkan jadwal
periksa. Perawatan lebih lanjut, terapi, dan rehabilitasi
dapat membantu dalam mempercepat penyembuhan
- Jangan lupakan kesehatan mental. Pasien dengan stroke
biasanya mengalami depresi dan kecemasan setelahnya
yang dapat menyebabkan proses penyembuhan lebih
lama
- Ubah gaya hidup menjadi gaya hidup yang
direkomendasikan. Mengubah gaya hidup menjadi lebih
sehat dapat membantu proses penyembuhan dan
mengurangi adanya komplikasi di masa mendatang
(2) Pencegahan Stroke Hemorrhage
Hal terpenting dari mencegah stroke hemorrhage adalah
menjaga kadar tekanan darah yang baik. Jika memiliki kadar
tekanan darah yang tinggi, ada baiknya untuk dikonsultasikan
dan mengubah cara hidup menjadi lebih sehat.
Hal lain yang dapat membantu mencegah stroke
hemorrhage adalah:
- Menjaga keadaan kesehatan. Selain tekanan darah,
diabetes mellitus tipe 2 dan kolesterol tinggi juga dapat
menjadi penyebab stroke hemorrhage
- Diet seimbang dan menjaga berat badan yang sehat.
Diet dan berat badan memegang peranan penting dalam
kesehatan peredaran darah dan jantung, oleh sebab itu,
menjaganya dapat mencegah atau menunda stroke
hemorrhage
- Periksakan diri kepada dokter secara rutin. Penyebab
dari stroke hemorrhage sering terdeteksi jauh sebelum
gejala stroke dirasakan, oleh sebab itu, penting untuk
memeriksakan diri secara rutin untuk mendeteksi
penyebab tersebut

51
- Hindari gaya hidup yang berisiko atau ubah gaya hidup.
Gaya hidup yang dapat meningkatkan risiko stroke
antara lain merokok, penggunaan obat terlarang,
penyalahgunaan obat, konsumsi alkohol dan lain-lain
11) Komplikasi
Komplikasi dari stroke hemorrhage antara lain:
(1) Trombosis Vena atau Deep Vein Thrombosis (DVT). Deep vein
thrombosis adalah gumpalan darah yang terbentuk di pembuluh
darah kaki karena imobilitas akibat stroke. Bagi pasien yang
baru sembuh dari stroke, latihan rentang gerak dan terapi fisik
dapat menjadi bagian dari perawatan DVT
(2) Edema otak. Pembengkakan pada otak ini terjadi karena adanya
penumpukan cairan dan tekanan yang dapat mempengaruhi
aliran oksigen dan darah ke otak
(3) Kejang. Kejang terjadi jika ada aktivitas listrik abnormal di
sel-sel otak
(4) Ulkus dekubitus. Ulkus dekubitus adalah luka pada kulit dan
jaringan di bawahnya yang terjadi akibat penurunan
kemampuan untuk bergerak dan peningkatan tekanan pada area
tubuh karena imobilitas
(5) Depresi. Depresi adalah penyakit mental yang menyebabkan
reaksi emosional dan fisik yang tidak diinginkan terhadap
perubahan dan kehilangan. Depresi pada pasien yang baru
sembuh dari stroke dapat mencakup konseling dan terapi, dan
mungkin termasuk dengan obat-obatan
(6) Risiko pneumonia. Pneumonia adalah infeksi umum yang
mempengaruhi kantung udara di salah satu atau kedua
paru-paru. Menelan, terapi pernapasan, dan latihan pernapasan
dapat membantu mengurangi risiko pneumonia bagi pasien
yang baru sembuh dari stroke
(7) Hilang ingatan
(8) Kelemahan otot
(9) Gangguan penglihatan dan pendengaran
12) Tatalaksana dengan Penyulit: Hipertensi Emergensi dan Geriatrik

52
(1) Hipertensi Emergensi
Hipertensi emergensi yang didefinisikan sebagai
peningkatan tekanan darah yang sangat tinggi (>180/120
mmHg). Berdasarkan hasil pemeriksaan CT-scan menunjukkan
pasien mengalami perdarahan intraserebral dengan tekanan
darah 230/110 mmHg. Obat antihipertensi parenteral intravena
kerja singkat yang digunakan dalam pengendalian hipertensi
emergensi memungkinkan penurunan tekanan darah secara
agresif karena hal tersebut dapat mencegah perluasan
perdarahan.

Berdasarkan algoritma terapi, first line untuk


menurunkan tekanan darah pada pasien stroke hemoragik
direkomendasikan penggunaan monoterapi nikardipin IV
dikarenakan nikardipin memiliki awitan cepat dan memiliki
waktu paruh yang pendek sehingga dalam waktu yaitu 1 - 5
menit tekanan darah dapat turun secara signifikan. Dosis awal
yang diberikan yaitu 5 mg/jam IV dapat dinaikkan 2,5 mg/jam
setiap 5-15 menit, dengan dosis maksimum 15 mg/jam dengan
pemantauan tekanan darah setiap 5 menit.
Namun, nikardipin kurang cocok karena kontraindikasi
pada pasien dengan peningkatan tekanan intra-kranial (TIK).
Pada pasien stroke hemorrage yang mengalami peningkatan
tekanan intra-kranial, pemberian nikardipin justru beresiko
semakin meningkatkan tekanan intrakranial. Dalam kondisi
peningkatan tekanan intra-kranial (TIK), diltiazem dapat
menjadi pilihan anti-hipertensi yang tepat untuk pasien stroke
akut yang mengalami hipertensi emergensi.

53
Diltiazem adalah obat anti-hipertensi yang dapat
dititrasi dengan mudah dan memiliki efek vasodilatasi serebral
yang minimal. Selain itu, pengaruh diltiazem terhadap tekanan
intra-kranial dan perfusi serebra sangat minimal. Dalam upaya
menurunkan tekanan darah pada stroke akut, diltiazem
sebaiknya diberikan secara intravena secara kontinu
(menggunakan pump) dengan dosis 5-15 ug/kgBB/menit. Efek
samping diltiazem minimal, namun diltiazem tidak boleh
diberikan pada pasien dengan blok sinoatrial, blok AV derajat 2
atau 3.
(2) Geriatri
Pada beberapa studi kasus, didapatkan pasien rata-rata
berusia >55 tahun diberikan golongan calcium channel blocker
(CCB) sebagai terapi antihipertensinya. CCB memiliki banyak
kelebihan jika digunakan pada pasien stroke. Dikarenakan CCB
terutama dihidropirin banyak digunakan untuk mengontrol
tekanan darah pasien yang tidak terkontrol baik dengan ACE-I
atau ARB. CCB dihidropirin mempunyai kemampuan
menurunkan tekanan darah dalam waktu singkat.
Dari hasil penelitian didapatkan pemberian terapi CCB
tunggal atau kombinasi dapat menurunkan tekanan darah
sampai mencapai target 140/90 mmHg. Penelitian lain
menyebutkan bahwa CCB dapat menurunkan risiko penyakit
kardiovaskuler dan stroke. (Aronow et al, 2011: Kalra et al,
2010).

3. Pemeriksaan Fisik
1) Pemeriksaan Fisik Fungsi Motorik
Pemeriksaan fungsi motorik yang akan dibahas mencakup
gerakan, kekuatan, tonus, klonus, refleks fisiologis dan refleks
patologis. Untuk pemeriksaan koordinasi dan gait yang
menggambarkan fungsi serebelum serta pemeriksaan gerakan
abnormal yang menggambarkan fungsi traktus ekstrapiramidal
diperiksa secara terpisah. Prinsip pemeriksaan motorik adalah dimulai

54
dari sisi yang sehat terlebih dahulu, oleh karena itu anamnesis yang
baik sangat menentukan arah pemeriksaan.
Gangguan sistem motorik dapat dibedakan berdasarkan
lokasinya yaitu tipe upper motor neuron (UMN) yang menandakan
gangguan dari korteks serebri hingga kornu anterior medulla spinalis
dan lower motor neuron (LMN) yang menandakan gangguan dari
radiks saraf hingga otot. (Achmad, 2022).
Gangguan sistem motorik yang terbanyak dijumpai adalah
kelemahan (paresis) atau kelumpuhan (plegi). Kelemahan yang terjadi
memiliki pola sesuai area yang terganggu. Kelemahan pada salah satu
sisi tubuh (kanan atau kiri) disebut hemiparesis yang terjadi akibat lesi
di hemisfer serebri kontralateral. Kelemahan yang terjadi pada kedua
tungkai disebut dengan paraparese inferior, sedangkan kelemahan pada
keempat ekstremitas disebut tetraparesis/kuadriparesis, keduanya dapat
disebabkan oleh lesi pada medulla spinalis.
(1) Trofi otot
Pada gangguan sistem motorik dapat terjadi
hipotrofi/atrofi maupun hipertofi otot. Pada hipotrofi/atrofi otot
terjadi pengurangan volume otot yang umumnya disertai
perubahan bentuk dan kontur otot. Kondisi yang dapat
menyebabkan terjadinya atrofi di antaranya lesi di kornu
anterior, radiks, saraf perifer dan otot, serta imobilisasi (disuse
atrophy), malnutrisi, penyakit endokrin (diabetes,
hiperparatiroid) dan proses penuaan.
Pada hipertropi otot terjadi peningkatan ukuran atau
volume otot. Kondisi ini dapat terjadi akibat penggunaan otot
yang berlebihan (fisiologis) ataupun karena kondisi patologis
seperti pada pasien distonia servikal, otot
sternokleidomastoideus yang aktif berkontraksi sering
mengalami hipertrofi. Pada kasus tertentu dapat terjadi kondisi
pseudohipertrofi yakni peningkatan ukuran otot karena infiltrasi
lemak namun sebenarnya tidak terdapat penambahan ukuran
ataupun jumlah serabut otot. Kondisi ini dapat dijumpai pada
distrofi muskular terutama Duchenne Muscular Dystrophy.

55
Pemeriksaan trofi otot dilakukan melalui inspeksi,
palpasi dan pengukuran. Bandingkan kedua sisi tubuh,
perhatikan otot wajah, bahu, juga ekstremitas. Pemeriksa
meminta pasien untuk menjulurkan kedua lengannya dalam
posisi supinasi dan merapatkan kedua lengan tersebut.
Perhatikan otot-otot kedua lengan tersebut dari tangan (bagian
palmar pada otot tenar, hipotenar dan interoseus), lengan
bawah, lengan atas, hingga bahu. Pada palpasi otot normal akan
teraba kenyal dan kembali ke bentuk semula setelah ditekan.
Pada pseudohipertofi otot tampak membesar tetapi lembek
ketika diraba. Pada atrofi yang tidak terlalu berbeda antara
kedua sisi dapat dilakukan pengukuran dengan pita ukur.
Gunakan patokan yang sama pada sisi kanan dan kiri,
ekstremitas yang diukur harus berada pada posisi yang sama
dan rileks saat diukur.
(2) Gerakan
Prinsip pemeriksaan gerakan adalah mengukur range of
motion (luasnya bidang gerak). Pasien diminta menggerakkan
lengan setinggi mungkin sampai ke belakang dan
mempertahankan posisi tersebut. Bila pasien tidak dapat
menggerakkan sendi besar dapat diminta menggerakkan atau
menggeser sendi kecil. Hasil penilaian gerakan adalah cukup,
kurang, tidak ada.
(3) Kekuatan
Secara umum pemeriksaan kekuatan motorik dilakukan
dengan memeriksa otot pada area sendi bahu, siku, pergelangan
tangan dan jari-jari tangan untuk ekstremitas atas serta otot
sendi panggul, lutut, dan pergelangan kaki untuk ekstremitas
bawah.
- Kekuatan otot sendi bahu
Pasien diminta melakukan gerakan abduksi
lengan atas hingga setinggi bahu dan pemeriksa
memberikan tahanan dengan mendorong ke bawah.
- Kekuatan otot sendi siku

56
Pasien diminta memfleksikan sendi siku sambil
melakukan aduksi dan pemeriksa memberikan tahanan
dengan menarik pergelangan tangan pasien.
pemeriksaan juga bisa dilakukan dengan arah
sebaliknya; pasien diminta mengekstensikan sendi siku
dan pemeriksa menahannya.
- Kekuatan otot sendi pergelangan tangan
Pasien diminta mengepal dan mengekstensikan
tangannya kemudian pemeriksa memberikan tahanan
pada kepalan tangan pasien.
- Kekuatan otot jari tangan
Pasien diminta menggenggam jari telunjuk dan
jari tengah pemeriksa dengan sekuat mungkin.
Pemeriksa kemudian menarik jarinya dengan kekuatan
yang bertumpu pada ibu jari.
- Kekuatan otot sendi panggul
Pasien berbaring dengan kedua tungkai lurus,
kemudian pasien diminta mengangkat tungkainya
(fleksi sendi panggul) dan pemeriksa memberikan
tahanan ke bawah.
- Kekuatan otot sendi lutut
Pemeriksaan dapat dilakukan dalam keadaan
pasien berbaring ataupun duduk, posisi semifleksi sendi
lutut. Pasien berusaha memfleksikan lututnya
sedangkan pemeriksa mengekstensikannya dengan
menarik pergelangan kaki pasien. Sebaliknya, pasien
juga bisa diminta mengekstensikan sendi lututnya dan
pemeriksa memberikan tahanan.
- Kekuatan otot sendi pergelangan kaki
Pasien diminta melakukan gerakan
plantarfleksi/dorsofleksi dan pemeriksa memberikan
tahanan.
Kekuatan motorik berdasarkan skala British Medical
Research Council (BMRC).

57
(4) Tonus Otot
Pemeriksaan tonus dapat dilakukan dengan meraba otot
penderita (palpasi) dan menentukan tahanan otot dengan
gerakan pasif (fleksi-ekstensi parsial hingga maksimal) pada
beberapa persendian. Bila tonus menurun (hipotonus) otot
terasa lebih lembek sedangkan pada peningkatan tonus otot
(hipertonus) otot terasa lebih tegang. Gerakan pasif dilakukan
mulai dari perlahan-lahan hingga cepat.
Terdapat 2 macam hipertonus yaitu spastisitas dan
rigiditas. Spastisitas merupakan resistensi atau tahanan yang
diikuti dengan kelenturan pada ekstremitas pasien yang
digerakkan dengan cepat dan secara pasif oleh pemeriksa.
Pemeriksa akan merasakan tahanan seperti pada saat menutup
pisau lipat (clasp-knife spasticity). Fenomena ini
mengindikasikan adanya gangguan pada traktus piramidal.
Rigiditas adalah peningkatan resistensi otot yang dirasakan
pada seluruh rentang gerak ketika pemeriksa menggerakkan
persendian pasien secara perlahan. Resistensi ini dapat
diumpamakan seperti saat menekuk pipa timah (lead-pipe
rigidity) atau seperti roda gigi (cogwheel phenomenon).
Rigiditas mengindikasikan adanya lesi pada sistem
ekstrapiramidal.
(5) Klonus

58
Klonus adalah kontraksi otot yang persisten dan
berulang-ulang jika dilakukan penarikan pada tendon. Ada 2
macam klonus yaitu:
- Klonus paha: Tungkai pasien dalam posisi lurus pada
tempat tidur, lalu pemeriksa mencubit kulit di atas
patella, sentakkan tiba-tiba ke arah distal dan ditahan.
Positif bila terlihat/terasa kontraksi klonik m.
quadriceps femoris
- Klonus kaki: Sendi lutut pasien dalam posisi fleksi lalu
pemeriksa melakukan dorsofleksi plantar pedis secara
tiba-tiba hingga maksimal dan ditahan. Positif bila
terlihat/terasa kontraksi m. triceps surae
(6) Refleks fisiologis → Refleks Tendon Dalam (RTD)
Refleks tendon dalam pada orang normal bervariasi,
bisa dengan mudah dibangkitkan pada individu tertentu tetapi
sangat lambat dan minimal pada individu lainnya. Memastikan
kembali riwayat penyakit dan hasil pemeriksaan lainnya sangat
penting sebelum memutuskan bahwa refleks fisiologis tersebut
abnormal. Pada orang normal umumnya respon RTD pada
kedua sisi tubuh adalah setara. Pemeriksaan RTD sangat
membantu dalam penentuan jenis kelumpuhan, pada lesi UMN
RTD umumnya meningkat dan dapat disertai adanya refleks
patologis.
Untuk dapat melakukan pemeriksaan RTD dengan baik
diperlukan latihan berulang-ulang dengan teknik yang benar.
Jenis palu refleks yang digunakan dan cara mengayunkannya
juga harus tepat. Pilihlah palu refleks yang memiliki bobot
cukup berat. Pegang palu refleks pada area dekat ujung gagang
palu menggunakan jari telunjuk dan ibu jari. Saat mengunakan
palu refleks gunakan ayunan pergelangan tangan dan biarkan
palu bergerak di antara jari-jari, jangan gunakan ayunan siku.
Saat pemeriksaan RTD pasien diposisikan senyaman
dan serileks mungkin. Usahakan untuk mengalihkan perhatian
pasien agar tidak melihat ke area yang sedang diperiksa, bisa

59
dengan memintanya melihat ke depan atau mengajaknya
mengobrol. Saat membandingkan refleks pada kedua sisi maka
ekstremitas harus berada dalam posisi yang sama. Penentuan
derajat RTD sangat bergantung pada penilaian pemeriksa
namun umumnya diklasifikasikan seperti berikut ini:

Ada dua cara untuk melakukan pemeriksaan RTD yaitu


dengan peningkatan intensitas pukulan secara bertahap (ringan,
sedang, kuat) dan pemeriksaan luas zona refleksogen. Terdapat
banyak jenis RTD tetapi yang rutin dilakukan adalah:
- Refleks tendon dalam ekstremitas atas
● Refleks bisep
Pada pemeriksaan refleks bisep lengan
bawah pasien diposisikan semifleksi dan sedikit
pronasi dengan cara diletakkan di atas paha
pasien atau disangga oleh lengan pemeriksa.
Pemeriksa meletakkan ibu jari atau jari telunjuk
di atas tendon bisep yang akan diperiksa untuk
melokalisirnya, selanjutnya tekan dengan lembut
dan ketuk dengan palu refleks. Respon yang
ditimbulkan adalah fleksi otot bisep disertai
supinasi telapak tangan. Apabila refleks
meningkat maka zona refleksogen akan meluas
hingga lengan atas bahkan area klavikula.
● Refleks trisep
Pada pemeriksaan refleks trisep siku
pasien diposisikan semifleksi dan lengan bawah

60
disangga oleh pemeriksa atau pasien diminta
untuk menggenggam siku kontralateralnya.
Pemeriksa kemudian mengetukkan palu refleks
pada tendon trisep yang terletak sedikit di atas
insersinya pada olekranon. Respon yang timbul
berupa ekstensi lengan bawah.
● Refleks pergelangan (brakioradialis)
Posisi lengan pasien pada pemeriksaan
refleks brakioradialis adalah semifleksi dan
semipronasi. Ibu jari atau jari telunjuk
pemeriksa diletakkan pada prosesus stiloideus
pasien, kemudian ketuk jari tersebut dengan palu
refleks. Respon yang muncul berupa fleksi siku
dan sedikit supinasi telapak tangan.
- Refleks tendon dalam ekstremitas bawah
● Refleks patella
Pemeriksaan refleks patella dapat
dilakukan baik dalam posisi duduk maupun
berbaring. Apabila pasien dalam posisi duduk
maka tangan kiri pemeriksa diletakkan di atas
otot kuadriseps femoris dan tangan kanannya
mengetukkan palu refleks pada tendon patella.
Respon yang timbul adalah ekstensi lutut,
tangan kiri pemeriksa juga dapat merasakan
kontraksi yang timbul. Bila pasien dalam posisi
berbaring maka pemeriksa perlu menyangga
lutut pasien agar semifleksi. Pada kondisi
hiperrefleks zona refleksogen akan meluas
hingga refleks dapat dibangkitkan dengan
mengetuk area suprapatella dan epipatella.
● Refleks achilles
Pemeriksaan refleks Achilles juga dapat
dilakukan dalam posisi duduk maupun
berbaring. Tungkai pasien diabduksikan dan

61
eksternal rotasi, dengan lutut fleksi. Tangan kiri
pemeriksa memegang telapak kaki pasien sambil
ditarik sedikit agar semifleksi, dan tangan kanan
pemeriksa mengetuk tendon Achilles di atas
insersinya pada kalkaneus. Respon yang timbul
berupa gerakan plantarfleksi. Perluasan zona
refleksogen pada kondisi hiperrefleks dapat
disertai klonus kaki.
(7) Refleks patologis ekstremitas atas – Refleks Hoffman-Tromner
Pada pemeriksaan refleks Hoffmann-Tromner tangan
pasien berada dalam posisi dorsofleksi. Tanda Hoffman
diperiksa dengan cara pemeriksa memfiksasi jari tengah pasien
mengunakan jari telunjuk dan jari tengahnya sendiri kemudian
dengan ibu jarinya pemeriksa menggores kuku jari tengah
pasien secara cepat. Tanda Tromner diperiksa dengan cara
pemeriksa memegang jari tengah pasien dengan salah satu
tangannya sehingga tangan pasien menggantung dan dengan
tangan yang lain pemeriksa menjentikkan jari tengah pasien
dari bawah ke atas. Hasil positif bila didapatkan respon berupa
fleksi jari-jari tangan dan adduksi ibu jari tangan pasien.
(8) Refleks patologis ekstremitas bawah:
- Kelompok refleks dengan respon berupa dorsofleksi ibu
jari kaki
● Tanda Babinski
Pemeriksaan tanda Babinski dilakukan
dengan menggores kulit telapak kaki (plantar
pedis) dimulai dari bagian tumit, menyusuri
bagian lateral dan metatarsal, hingga area di
bawah ibu jari kaki. Tanda Babinski yang positif
berupa dorsofleksi ibu jari dan abduksi (fanning)
jari-jari lainnya didapatkan pada lesi di traktus
kortikospinal. Alat yang digunakan untuk
menggores sebaiknya benda yang ujungnya
tumpul seperti ujung gagang palu refleks.

62
Stimulus diberikan dengan tekanan dan
kecepatan yang cukup, tidak perlu terlalu kuat
karena akan menyakiti pasien.
● Tanda Chaddock
Pemeriksaan tanda Chaddock dilakukan
dengan menggores bagian lateral punggung kaki
(dorsum pedis), dimulai dari area bawah mata
kaki (malleolus lateralis) kemudian menyusuri
bagian lateral kaki hingga ke jari kelingking.
Hasil positif pada pemeriksaan ini sama seperti
pada tanda Babinski.
● Tanda Oppenheim
Tanda Oppenheim diperiksa dengan
menekan area di bawah tulang lutut
(infrapatela), menyusuri tulang kering
(anteromedial tibia), sampai ke pergelangan kaki
pasien menggunakan buku jari telunjuk dan jari
tengah pemeriksa. Pemeriksaan juga dianggap
positif bila muncul respon seperti pada
pemeriksaan tanda Babinski.
● Tanda Schaffer
Tanda Schaffer diperiksa dengan
memberikan tekanan yang cukup kuat pada
tendon Achilles. Positif bila muncul respon yang
sama dengan tanda Babinski.
● Tanda Gordon
Tanda Gordon diperiksa dengan
meremas betis (otot gastrocnemius). Bila timbul
respon yang sama dengan tanda Babinski
dianggap positif.
- Kelompok refleks dengan respon berupa plantarfleksi
jari kaki
● Tanda Rossolimo

63
Pemeriksaan dilakukan dengan
mengetukkan palu refleks pada basis plantar
pedis. Respon yang timbul pada hasil positif
adalah plantarfleksi jari-jari kaki.
● Tanda Mendel Bechtrew
Tanda ini diperiksa dengan mengetuk
dorsum pedis di area metatarsal menggunakan
palu refleks. Hasil positif bila muncul respon
yang sama dengan tanda Rossolimo.
2) Interpretasi dan Nilai Normal
Wanita umur 60 tahun.
Hasil Nilai Normal Nilai Ny. W Interpretasi
Pemeriksaan
GCS 15-14 (Compos mentis) 11 Delirium
TD 90/60 mmHg – 120/80 mmHg 230/110 mmHg Hipertensi
stadium 2
Nadi 60-100 x/menit 98 x/menit Normal
HR 60-100 x/menit 98 x/menit Normal
RR 16-24 x/menit 22 x/menit Normal
Suhu 36,5-37,5 C 36,8 C Normal
N. III Bentuk bulat, ukuran kanan Pupil bulat, isokor, Bentuk, ukuran,
kiri 2-3 mm, reflek cahaya diameter 3mm/3mm, reflek cahaya
+/+ RC +/+ normal

N. VII Plica nasolabialis kanan dan Plica nasolabialis Tidak normal


kiri akan melipat apabila sinistra datar saat
diberikan rangsangan nyeri diberikan rangsangan
nyeri pada maxilla
kanan/kiri
GRM (-) (-) Normal
Gerakan (-) (-) Normal
abnormal
Fungsi sensorik, luhur, otonom, gait dan keseimbangan belum dapat dinilai.

64
3) Mekanisme Abnormalitas
(1) GCS (Glasgow Coma Scale)
Glasgow Coma Scale (GCS) adalah suatu skala
neurologik yang dipakai untuk menilai secara obyektif derajat
kesadaran seseorang. GCS pertama kali diperkenalkan pada
tahun 1974 oleh Graham Teasdale dan Bryan J. Jennett,
professor bedah saraf pada Institute of Neurological Sciences,
Universitas Glasgow. GCS kini sangat luas digunakan oleh
dokter umum maupun para medis karena patokan /kriteria yang
lebih jelas dan sistematis (Adeleye, 2012).
Glasgow Coma Scale (GCS) adalah alat diagnostik
yang sudah sejak lama menjadi alat untuk mengevalusi tingkat
kesadaran pasien, menilai status klinis pasien, dan menjadi alat
prognosis untuk pasien cedera kepala. Skor GCS menjadi
standar pengukuran fungsi neurologis pada pasien dengan
perubahan status mental oleh karena penyebab apapun,
termasuk cedera kepala. Glasgow Coma Scale merupakan
faktor penting yang harus diukur pada pasien cedera kepala.
Selain digunakan untuk mengukur tingkat kesadaran pasien
secara kuantitatif, GCS juga digunakan untuk memprediksi
risiko kematian di awal trauma (Christensen, B. Medscape,
2014).
GCS terdiri dari 3 pemeriksaan, yaitu penilaian: respons
membuka mata (eye opening), respons motorik terbaik (best
motor response), dan respons verbal terbaik (best verbal
response) (Christensen, B. Medscape, 2014).
Masing-masing komponen GCS serta penjumlahan skor
GCS sangatlah penting, oleh karena itu, skor GCS harus
dituliskan dengan tepat, sebagai contoh: GCS 10, tidak
mempunyai makna apa-apa, sehingga harus dituliskan seperti:
GCS 10 (E3M4V3). Begitu juga cara penulisan Skor tertinggi
yaitu 15, tidak mempunyai makna apa-apa sehingga harus
ditulis seperti: GCS 15 (E4M6V5) yakni menunjukkan pasien

65
sadar (compos mentis), dan skor terendah menunjukkan koma
yaitu dengan penulisan yang benar (GCS 3 = E1M1V1). Dari
penjelasan di atas merupakan contoh cara penggunaan dan
penulisan skala GCS (Glasgow Coma Scale) yang benar
(Christensen, B. Medscape, 2014).
Poin dialokasikan untuk respon dalam setiap komponen.
Jumlah skor menunjukkan tingkat kesadaran dan keparahan
penurunan kesadaran. Rata GCS terendah adalah 3 dan skor
tertinggi adalah 15. Keparahan cedera otak dapat
diklasifikasikan menurut skor GCS. (Christensen, B.
Medscape, 2014).
Adapun di bawah ini penjelasan di setiap komponen
penilaian, yaitu:
- Eye
Penilaian komponen ini respon pasien terhadap
rangsangan dengan membuka mata nya. Membuka mata
menunjukkan gairah pasien. Ada 4 nilai dalam
komponen ini:
● Nilai 4
Diberikan nilai 4 apabila pasien dapat
membuka matanya secara spontan tanpa
rangsangan eksternal.
● Nilai 3
Diberikan nilai 3 apabila pasien
membuka matanya sebagai respons terhadap
perintah/suara (rangsangan verbal).
● Nilai 2
Diberikan nilai 2 apabila pasien
membuka matanya sebagai respons terhadap
rangsangan yang menyakitkan atau rangsangan
nyeri. Dalam kondisi ini, pasien membuka
matanya setelah stimulus nyeri diterapkan.
● Nilai 1

66
Diberikan nilai 1 apabila pasien tidak
membuka matanya untuk rangsangan apapun.
- Movement
Komponen ini sedang menguji respon motorik
terbaik pasien terhadap rangsangan lisan atau
menyakitkan. Respon motorik terbaik paling sedikit
dipengaruhi oleh trauma. Komponen ini di GCS adalah
indikator yang paling akurat dalam memprediksi
hasil-hasil pasien 6. Ada enam nilai dalam komponen
ini:
● Nilai 6
Pasien dapat mematuhi perintah. Pasien
mampu melakukan tugas-tugas sederhana seperti
bertanya "menunjukkan ibu jari anda", atau
"menunjukkan jari tangan bagian kanan anda".
Untuk pasien lumpuh yang tidak dapat
menggerakkan anggota mereka, perawat dapat
meminta pasien untuk tersenyum, atau julurkan
lidah mereka, atau menunjukkan gigi mereka
dengan senyum ataupun mengedipkan mata.
● Nilai 5
Pasien dapat melokalisir rangsang nyeri
dan menjangkau lokasinya. Pasien berupaya
untuk menghapus sumber rangsangan yang
menyakitkan dengan menggunakan tangannya.
● Nilai 4
Pasien menolak rangsangan nyeri pada
anggota gerak (fleksi normal). Pasien akan
menarik tangan/kakinya.
● Nilai 3
Pasien melakukan fleksi abnormal untuk
menjauhi rangsang nyeri, dekortikasi (tangan
fleksi di atas dada dan kaki ekstensi saat
dirangsang nyeri).

67
● Nilai 2
Pasien melakukan ekstensi spontan yang
abnormal. Tangan ekstensi dan mengepal di sisi
tubuh, kaki ekstensi saat dirangsang nyeri.
● Nilai 1
Pasien tidak menunjukkan respons
maupun menggerakkan anggota tubuh ketika
diberi rasa sakit.
- Verbal
Komponen ini merupakan untuk menilai respon
verbal dari pasien dengan mengajukan tiga pertanyaan
orientasi. Tiga pertanyaan tersebut adalah waktu
(tahun), tempat (tempai iya berada maupun alamatnya
berada), dan orang (nama keluarga dekatnya). Ada lima
nilai di komponen ini diantaranya:
● Nilai 5: berorientasi baik
Pasien mampu menjawab
pertanyaan-pertanyaan waktu, tempat, dan orang
dengan benar. Beberapa pasien yang menjawab
semua pertanyaan dengan benar tiga. Namun,
selama percakapan lanjutan, perawat
mendapatkan beberapa pertanyaan yang salah,
tetapi pasien sudah bisa menjawab 3 pertanyaan
pasien dalam keadaan baik. Karena pasien
mampu menjawab semua tiga pertanyaan
dengan benar, maka dia masih dianggap sebagai
berorientasi baik atau (5).
● Nilai 4: disorientasi/bingung
Pasien tidak mampu menjawab satu atau
lebih dari tiga pertanyaan orientasi (waktu,
tempat, dan orang) dengan benar. Walaupun
mereka masih bisa melakukan beberapa
percakapan, apabila pasien tidak mampu
menjawab salah satu atau lebih dari tiga

68
pertanyaan tersebut, pasien tetap dianggap
sebagai disorientasi.
● Nilai 3
Pasien bisa membentuk kata tapi tidak
bisa membentuk kalimat. Pasien hanya
berkata-kata saja.
● Nilai 2
Pasien bisa mengeluarkan suara yang
tidak memiliki arti, yaitu suara yang tidak
komprehensif. Pasien hanya mengerang atau
menggumam.
● Nilai 1
Tidak ada respons verbal dari pasien.
Pasien tidak membuat suara bahkan ketika
diberikan rangsangan nyeri.
Adapun penilaian GCS dan interpretasinya terhadap
tingkat kesadaran adalah sebagai berikut:
15-14 : Compos mentis
13-12 : Apatis
11-10 : Delirium
9-7 : Somnolen
6-5 : Sopor
4 : Semi koma
3 : Koma
Ny. W dengan status GCS 11 (E3M5V3)
diinterpretasikan Delirium.
(2) Laju Nadi
Pemeriksaan nadi biasanya dilakukan dengan
melakukan palpasi a. radialis. Frekuensi nadi yang normal
adalah sekitar 80 kali permenit. Bila frekuensi nadi lebih dari
100 kali per menit, disebut takikardia (pulsus frequent);
sedangkan bila frekuensi nadi kurang dari 60 kali per-menit,
disebut bradikardia (pulsus rarus). Irama denyut nadi harus
ditentukan apakah teratur (reguler) atau tidak teratur (ireguler).

69
Isi nadi dinilai apakah cukup, kecil (pulsus porvus) atau besar
(pulsus magnus).
Menurut buku ajar Bates’ Guide to Physical
Examination and History Taking, penilaian laju nadi dengan
denyut radialis sering digunakan untuk memeriksa denyut
jantung. Dengan menggunakan bantalan jari telunjuk dan
tengah, tekan arteri radialis sampai terdeteksi denyut maksimal.
Laju nadi Ny. W (98x/menit) tergolong normal.
(3) Tekanan Darah
Tekanan darah yang normal adalah sekitar 120/80
mmHg. Tekanan darah Ny. W yaitu 230/110 mmHg tergolong
hipertensi stadium 2.
Stroke secara klasik dicirikan sebagai defisit neurologik
dikaitkan dengan cedera fokal akut dari sistem saraf pusat
(SSP) yang dikarenakan sebab vaskular, termasuk infark
serebral, intracerebral hemmorhage (ICH) dan subarchnoid
hemmorhage (SAH) dan merupakan penyebab utama kecacatan
dan kematian di seluruh dunia (Sacco et al.,2013).
Hipertensi adalah suatu keadaan dimana tekanan darah
sistolik lebih dari sama dengan 140 mmHg dan diastolik lebih
dari sama dengan 90 mmHg dalam pengukuran berulang.
Faktor risiko dari hipertensi secara garis besar dibagi dua, yaitu
faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi seperti genetik, usia,
dan jenis kelamin dan faktor risiko yang dapat dimodifikasi
seperti obesitas, stres, merokok, minum alkohol, konsumsi
garam berlebih, dan sebagainya.
Pada stroke hemoragik, hipertensi merupakan faktor
pencetus utama. Hipertensi menyebabkan peningkatan tekanan
darah perifer sehingga menyebabkan sistem hemodinamik yang
buruk dan terjadilah penebalan pembuluh darah serta hipertrofi
dari otot jantung. Hal ini dapat diperburuk dengan kebiasaan
merokok dan mengonsumsi makanan tinggi lemak serta garam
oleh pasien yang mana dapat menimbulkan plak aterosklerosis.

70
Hipertensi yang menimbulkan plak aterosklerosis secara terus
menerus akan memicu timbulnya stroke.
(4) Nervus III (Occulo-Motoris)
Pemeriksaan meliputi:
- Retraksi kelopak mata atas
Didapatkan dalam keadaan hidrosefalus, dilatasi
ventrikel III, atau hipertiroidisme.
- Ptosis
Pada keadaan normal bila seseorang melihat
kedepan, maka batas kelopak mata atas akan memotong
iris pada titik yang sama secara bilateral. Bila salah satu
kelopak mata atas memotong iris lebih rendah daripada
mata yang lain, atau bila pasien mendongakkan kepala
ke belakang/ ke atas (untuk kompensasi) secara kronik
atau mengangkat alis mata secara kronik dapat dicurigai
sebagai ptosis.
- Pupil
● Bentuk dan ukuran pupil
Bentuk yang normal adalah bulat, jika
tidak maka ada kemungkinan bekas operasi
mata. Pada sifilis bentuknya menjadi tidak
teratur atau lonjong/segitiga. Ukuran pupil yang
normal kira-kira 2-3 mm (garis tengah). Pupil
yang mengecil disebut Meiosis, yang biasanya
terdapat pada Sindroma Horner, pupil Argyl
Robertson (sifilis, DM, multiple sclerosis).
Sedangkan pupil yang melebar disebut
mydriasis, yang biasanya terdapat pada parese/
paralisa m. sphincter dan kelainan psikis yaitu
histeris.
● Perbandingan pupil kanan dengan kiri
Perbedaan diameter pupil sebesar 1 mm
masih dianggal normal. Bila antara pupil kanan
dengan kiri sama besarnya maka disebut isokor.

71
Bila tidak sama besar disebut anisokor. Pada
penderita tidak sadar maka harus dibedakan
apakah anisokor akibat lesi non
neurologis(kelainan iris, penurunan visus)
ataukah neurologis (akibat lesi batang otak, saraf
perifer N. III, herniasi tentorium.
● Refleks cahaya
Diperiksa mata kanan dan kiri
sendiri-sendiri. Satu mata ditutup dan penderita
disuruh melihat jauh supaya tidak ada
akomodasi dan supaya otot sphincter relaksasi.
Kemudian diberi cahaya dari samping mata.
Pemeriksa tidak boleh berada ditempat yang
cahayanya langsung mengenai mata. Dalam
keadaan normal maka pupil akan kontriksi.
Kalau tidak maka ada kerusakan pada arcus
refleks.
● Refleks akomodasi
Penderita disuruh melihat benda yang
dipegang pemeriksa dan disuruh mengikuti
gerak benda tersebut dimana benda tersebut
digerakkan pemeriksa menuju bagian tengah
dari kedua mata penderita. Maka reflektoris
pupil akan kontriksi. Reflek cahaya dan
akomodasi penting untuk melihat pupil Argyl
Robetson dimana reflek cahayanya negatif
namun reflek akomodasi positif.
- Gerakan bola mata
Kedudukan mata pada waktu istirahat. Bisa
terdapat kelainan seperti eksoftalmus. strabismus,
nystagmus, maupun deviasi konjugasi
(5) Nervus VII (Facialis)
Saraf kranial ketujuh adalah saraf wajah. Ini berisi
serabut saraf motorik, sensorik, dan parasimpatis

72
(sekretomotor), yang memberikan persarafan ke banyak area di
daerah kepala dan leher. Saraf wajah terdiri dari tiga inti: Inti
motor utama, Inti parasimpatis, Inti sensorik.
Plica nasolabialis yang datar berkaitan dengan adanya
stroke pada nervus facialis. Kejadian plica nasolabialis yang
rata disebabkan adanya lesi pada nervus facialis (N.VII),
terjadinya lesi menyebabkan saraf motorik dari nervus facialis
tidak bisa menghantarkan implus ke otot yang diinervasi oleh
nervus facialis. Hal yang perlu di ketahui lebih lanjut adalah
lokasi dari lesi syaraf yang menyebabkan terganggunya fungsi
motoric dari nervi facialis (nervus VII).
(6) GRM
Gerakan Rangsang Meningeal adalah pemeriksaan
yang dilakukan pada pasien dengan gejala dan tanda gangguan
sistem saraf pusat seperti meningitis, atau pada pasien yang
dicurigai mengalami penyebab meningismus (NCBI). Hasil
GRM yang negatif diinterpretasikan sebagai normal. Terdiri
atas pemeriksaan kaku kuduk, Brudzinski I, Brudzinski II, dan
Kernig.
- Kaku kuduk
Pasien dalam posisi terlentang. Posisikan satu
tangan pemeriksa di bawah kepala pasien dan tangan
lain di atas dada. Lakukan fleksi pada leher pasien ke
arah dada secara pasif. Apabila terdapat tahanan
sehingga dagu tidak menempel pada dada, maka kaku
kuduk dinyatakan positif.
Pemeriksaan kaku kuduk dapat memberikan hasil
positif pada kasus selain meningitis, seperti pada
tetanus, tumor korda spinalis, peningkatan tekanan
intrakranial, bahkan stroke. Pemeriksaan ini memiliki
sensitivitas yang rendah tetapi spesifisitasnya tinggi.
- Brudzinski I
Pasien dalam posisi terlentang. Posisikan satu
tangan pemeriksa di bawah kepala pasien dan tangan

73
lain di atas dada. Kemudian, fleksikan kepala pasien ke
arah dada secara pasif. Apabila kedua tungkai bawah
fleksi pada sendi panggul dan sendi lutut saat kepala
difleksikan, maka tanda Brudzinski I dinyatakan positif.
Hal ini karena fleksi leher secara pasif akan
menyebabkan pergerakan spinal cord dan menarik
meninges. Hal ini membuat nyeri pada pasien dengan
meningitis yang dikompensasi dengan fleksi kedua
tungkai untuk merelaksasi meninges dan mengurangi
nyeri.
- Brudzinski II
Pasien dalam posisi terlentang. Tungkai kiri
dalam keadaan lurus. Kemudian, fleksikan tungkai
kanan secara pasif pada sendi panggul. Apabila diikuti
oleh fleksi tungkai kiri, tanda Brudzinski II dinyatakan
positif. Hal ini karena fleksi sendi panggul dan lutut
akan menstimulasi refleks involunter karena
kompensasi dan mengurangi iritasi meningeal.
- Kernig
Pasien dalam posisi terlentang. Fleksikan
tungkai bawah pada sendi panggul hingga 90 (tegak
lurus). Kemudian, ekstensikan tungkai bawah pada
sendi lutut. Dalam keadaan normal, sendi lutut dapat
diekstensikan hingga sebesar 135. Apabila saat ekstensi
sendi lutut terdapat hambatan dan menyebabkan nyeri,
tanda Kernig dinyatakan positif.
Hal ini karena pada saat terjadi inflamasi pada
meninges, pasien akan berusaha untuk mengurangi
tarikan pada spinal cord dan saraf akan tidak didapatkan
nyeri karena inflamasi. Kontraktur terjadi pada keadaan
ini untuk mengurangi tarikan (stretching) yang
diprovokasi manuver dan menunjukkan hasil yang
positif.
(7) Gerakan Abnormal

74
Beberapa gerakan abnormal yang bisa terjadi karena
stroke:
- Hemibalisme/hemichorea
Hemibalisme/hemichorea adalah kelainan
gerakan yang paling umum dilaporkan terjadi setelah
stroke, terjadi pada 40% kasus dalam serangkaian
kasus. Hemibalisme ditandai dengan gerakan
ekstremitas yang kuat, tidak teratur, berpola buruk, dan
amplitudo tinggi di satu sisi tubuh dan sering dianggap
sebagai jenis chorea yang parah.
- Dystonia
Dystonia terdiri dari kontraksi otot berkelanjutan
yang tidak disengaja yang menyebabkan gerakan
memutar dan berulang atau postur abnormal. Setelah
hemiballism-hemichorea, dystonia adalah gangguan
pergerakan paling umum kedua setelah stroke, mewakili
sekitar 20% kasus, dan sering berbentuk fokal atau
hemidystonia. Stroke adalah penyebab paling umum
dari hemidystonia, terhitung hampir 50% dari semua
kasus.
- Tremor Holmes
Tremor Holmes (juga disebut tremor rubral, otak
tengah, atau cerebellar outflow) ditandai dengan tremor
istirahat pada anggota tubuh dengan penekanan yang
jelas pada tindakan, niat, dan gerakan berorientasi
tujuan. Biasanya tidak teratur, frekuensi rendah (<4,5
Hz) dan biasanya melibatkan ekstremitas atas. Tremor
Holmes sering digambarkan berhubungan dengan
stroke.

4. Pemeriksaan Penunjang
1) Gula Darah Sewaktu
(1) Pemeriksaan Gula Darah Sewaktu

75
Pemeriksaan gula darah bertujuan untuk mengetahui
normal tidaknya kadar gula darah dalam tubuh. Tingkat glukosa
dalam darah dapat diukur dengan mengoleskan setetes darah ke
strip tes yang diolah secara kimiawi yang kemudian
dimasukkan ke dalam pengukur glukosa darah
elektronik. Reaksi antara strip tes dan darah dideteksi oleh
meteran dan ditampilkan dalam satuan mg/dL atau mmol/L.
Terdapat berbagai tes gula darah seperti gula darah
puasa, oral glucose tolerance test (tes toleransi glukosa), dan
gula darah sewaktu. Dalam skenario, pemeriksaan yang
dilakukan adalah tes gula darah sewaktu yang mana tes ini
dapat dilakukan kapan saja tanpa perlu berpuasa terlebih
dahulu. Kadar normalnya adalah <200 mg/dL dan Ketika lebih
dari itu dapat menandakan bahwa pasien mengalami diabetes.
Adapun interpretasi dari hasil tes gula darah sewaktu adalah
sebagai berikut:

Selain itu, terdapat sumber yang lebih memperinci


tentang kadar gula darah sewaktu yang tergolong dalam
prediabetes, yakni:

76
Berdasarkan skenario, hasil pemeriksaan gula darah
sewaktu Ny. W adalah 190 mg/dL. Meskipun kadar tersebut
tergolong normal karena masih <200 mg/dL, tetapi hasil
tersebut dapat diinterpretasikan sebagai prediabetes.
(2) Tatalaksana Prediabetes
Kondisi prediabetes harus segera ditatalaksana agar
risiko terjadinya diabetes melitus tipe 2, penyakit jantung, dan
stroke tidak meningkat. Adapun tatalaksana yang dapat
diberikan terdiri dari tatalaksana nonfarmakologi, farmakologi,
dan pembedahan.
- Nonfarmakologi
Tatalaksana nonfarmakologi yang dapat
dilakukan untuk mengontrol gula darah di antaranya
adalah dengan:
● Pengaturan asupan diet
Pengaturan asupan diet ini bertujuan
untuk memperbaiki HbA1c, tekanan darah,
kadar kolesterol, berat badan, serta sekaligus
untuk mencegah terjadinya komplikasi lain dari
kondisi prediabetes ini. Tidak ada pola makan
ideal yang bisa diterapkan pada semua individu.
Oleh karena itu, pola makan ideal tiap individu
harus dikonsultasikan dengan memperhatikan
total energi yang diperlukan untuk mencapai dan
mempertahankan berat badan ideal.
● Aktivitas dan latihan fisik

77
Aktivitas dan latihan fisik dapat
memperbaiki sensitivitas insulin dan juga dapat
membantu mencapai dan mempertahankan berat
badan ideal, kadar lipid normal, dan tekanan
darah normal.

- Farmakologi
Pemberian terapi medikamentosa seringkali
diperlukan karena modifikasi gaya hidup yang
seringkali tidak efektif. Terapi farmakologi ditujukan
agar sensitivitas insulin meningkat dan menghambat
gangguan toleransi glukosa. Intervensi farmakologi
diperlukan sedini mungkin saat pasien berada dalam
kondisi prediabetes dan dapat dijadikan pendamping
terapi kontrol gaya hidup. Beberapa obat yang dapat
dijadikan terapi farmakologi pada pasien prediabetes di
antaranya adalah metformin, alfa glukosidase inhibitor
(akarbose), tiazolidindion, GLP-1RA, DPP-4 inhibitors,
dan orlistat. Dalam pemberian terapi farmakologi

78
penting untuk menyeimbangkan manfaat dan risiko dari
masing-masing obat.
- Pembedahan Bariatrik
Pembedahan bariatrik adalah pembedahan
khusus untuk menangani pasien obesitas. Pembedahan
bariatrik disarankan pada pasien prediabetes yang gagal
menurunkan berat badan dan gagal mencapai perbaikan
kondisi gula darah pada terapi non pembedahan. Pada
umumnya pembedahan bariatrik yang dilakukan adalah
sleeve gastrectomy, yakni dengan melangsingkan
lambung sehingga akan terjadi pembatasan jumlah
makanan yang dikonsumsi dan juga diiringi dengan
penurunan hormon lapar (ghrelin).
2) Hasil EKG
(1) Irama Sinus Normal
Berdasarkan hasil pemeriksaan pada skenario, irama
sinus pasien normal. Irama sinus normal merupakan irama
jantung normal yang berasal dari nodus SA (pacemaker)
dengan frekuensi antara 60-100 kali permenit dalam kondisi
istirahat dan pada elektrokardiograf akan tampak bahwa tiap
gelombang P akan diikuti dengan kompleks QRS. Irama sinus
yang lambat atau kurang dari frekuensi normalnya disebut
dengan sinus bradikardia, sedangkan irama sinus yang lebih
dari frekuensi normal disebut dengan sinus takikardia.

79
Terdapat beberapa garis lurus yang menghubungkan
gelombang, di antaranya adalah:
- Interval PR meliputi gelombang P dan kompleks QRS
yang menunjukkan awal depolarisasi atrium sampai
awal depolarisasi ventrikel
- Segmen PR dari akhir gelombang P ke awal kompleks
QRS yang menunjukkan akhir depolarisasi atrium
sampai awal depolarisasi ventrikel
- Segmen ST dari akhir kompleks QRS sampai awal
gelombang T yang menunjukkan akhir depolarisasi
ventrikel sampai awal repolarisasi ventrikel
- Interval QT dari kompleks QRS, segmen ST, dan
gelombang T yang menunjukkan awal depolarisasi
ventrikel sampai akhir repolarisasi ventrikel
- Interval QRS yang menunjukkan durasi kompleks QRS
atau durasi depolarisasi ventrikel
(2) Left Ventricular Hypertrophy
Left Ventricular Hypertrophy atau hipertrofi ventrikel
kiri merupakan kondisi yang mana terjadi penebalan pada
dinding ventrikel kiri jantung yang bertugas sebagai pompa
utama jantung. Hipertrofi ventrikel kiri ini menyebabkan
dinding ventrikel kaku dan sulit untuk memompa darah secara
efektif sehingga lama-kelamaan jantung akan kelelahan dan
akhirnya gagal memompa darah ke seluruh tubuh.

80
Hipertrofi ventrikel kiri paling banyak terjadi akibat
hipertensi yang tidak terkontrol. Berdasarkan skenario, Ny. W
memiliki riwayat hipertensi sejak 5 tahun lalu, tetapi tidak rutin
mengonsumsi obat. Hal inilah yang kemungkinan
menyebabkan mekanisme hipertrofi ventrikel kiri sebagai
berikut:
- Hipertensi yang tidak terkontrol → preload dan
afterload di ventrikel kiri meningkat → stress
miokardia meningkat → miosit meregang → proliferasi
fibroblast dan kontraktilitas sintesis protein meningkat
→ jumlah miosit meningkat dan penambahan sarkomer
tersusun paralel → penebalan dinding ventrikel kiri →
semakin parah → hipertrofi ventrikel kiri
- Hipertensi yang tidak terkontrol → preload dan
afterload di ventrikel kiri meningkat → stress
miokardia meningkat → miosit meregang → aktivasi
ekstraseluler matriks proteinase → proteinase
mendegradasi sarkomer sitoskeleton dan mencerna
jaringan kolagen di sekitar miosit → penambahan
sarkomer dan peningkatan elastisitas serat otot →
dilatasi ventrikel kiri dan peningkatan ukuran ruang →
semakin parah → hipertrofi ventrikel kiri
Hipertrofi ventrikel kiri agak sedikit rumit ketika
didiagnosis dari elektrokardiograf karena memiliki banyak
kriteria. Meskipun begitu, inti besarnya adalah harus ada
peningkatan amplitudo gelombang R di sadapan-sadapan di
atas ventrikel kiri dan peningkatan amplitudo gelombang S di
sadapan-sadapan di atas ventrikel kanan. Terkadang juga
dijumpai terjadinya deviasi aksis ke kiri di atas -15°.
Hipertrofi ventrikel kiri harus ditatalaksana untuk
menurunkan tingkat risiko terjadinya fibrilasi atrium, gagal
jantung kongestif, disfungsi diastolik, miokard infark,
kerusakan jantung yang parah, dan bahkan kematian akibat
kurang efektifnya pompa jantung dan kurangnya volume darah

81
yang didistribusikan. Adapun tatalaksana yang dapat diberikan
adalah:
- Pengobatan untuk hipertensi. Mengembalikan tekanan
darah menuju normal dapat membantu mencegah
hipertrofi ventrikel kiri yang lebih parah, gagal jantung,
serangan jantung, maupun stroke
- Pengelolaan gaya hidup. Pengelolaan gaya hidup yang
baik dapat berupa pola makan yang baik dan juga rutin
beraktivitas fisik dengan tujuan mengurangi tekanan
darah dan kemungkinan komplikasi hipertrofi ventrikel
kiri
3) CT-Scan
Computerised tomography yang umumnya disebut sebagai
CT-scan merupakan prosedur pencitraan diagnostik yang
menggunakan kombinasi sinar X (X-ray) dan teknologi komputer
untuk menghasilkan gambar bagian dalam tubuh. Hasil CT-scan
menunjukkan gambar detail dari setiap bagian tubuh, termasuk tulang,
otot, lemak, organ, dan pembuluh darah. Non-contrast CT head
merupakan standar emas modalitas pencitraan dalam diagnosis awal
pendarahan intrakranial (ICH), dikarenakan prosedur yang cepat dan
mudah diakses. MRI dan gradient-echo sequences juga merupakan
modalitas pencitraan yang baik untuk identidikasi ICH, tetapi memiliki
kelemahan karena memerlukan lebih banyak waktu, serta lebih sulit
diakses.
CT-Scan otak adalah prosedur pencitraan diagnostik
non-invasif yang menggunakan pengukuran sinar-X khusus untuk
menghasilkan gambar horizontal (akisal/irisan) otak. CT scan otak
dapat memberikan informasi yang lebih terperinci tentang jaringan dan
struktur otak daripada rontogen kepala standar, sehingga dapat
memberikan lebih banyak data terkait cedera dan/atau penyakit otak.
Prosedur lainnya yang dapat digunakan untuk mendiagnosis gangguan
otak adalah sinar-X, pencitraan resonansi magnetik (MRI), positron
emission tomography (PET) scan, dan arteriogram serebral.

82
Selama CT-Scan otak, berkas sinar-X akan bergerak dalam
lingkaran di sekitar tubuh, memungkinkan banyak pandangan yang
berbeda ke otak. Informasi sinar-X dikirim ke komputer yang
menginterpretasikan data sinar-X dan menampilkannya dalam bentuk
dua dimensi (2D) pada monitor. CT scan otak dapat dilakukan dengan
atau tanpa kontras, yakni zat yang diminum atau disuntikkan melalui
jalur intravena sehingga organ atau jaringan yang diteliti terlihat lebih
jelas. Pemeriksaan kontras mungkin mengharuskan prosedur puasa
untuk jangka waktu tertentu.

Penilaian densitas dalam gambar CT dikenal dengan istilah


hiperdens (gambaran putih), hipodens (gambaran hitam) dan isodens
(gambaran yang sama dengan organ sekitarnya). Pada pasien stroke
iskemik bayangan didapatkan hipodens (a) sedangkan pada stroke
hemoragik gambar bayangan hiperdens (b) (Arifputera, et al. 2016).
4) Mekanisme Abnormalitas Hasil Pemeriksaan: Patofisiologi Perdarahan
Intraserebral (ICH)
Perdarahan dalam parenkim serebral sering dikategorikan
sebagai cedera primer, yakni cedera jaringan langsung dari hematoma
dan cedera sekunder akibat perubahan patologis selanjutnya yang
dihasilkan dari pendarahan. Meskipun ICH umumnya dianggap
sebagai penyakit peristiwa tunggal, namun baru-baru ini ICH dianggap
sebagai kondisi dinamis dengan beberapa fase, yaitu:

83
- Ekstravasasi (kebocoran) awal darah ke dalam parenkim
- Subsequent bleeding di sekitar gumpalan darah dapat
menyebabkan ekspansi
- Pembengkakan atau edema di sekitar hematoma
ICH akut menyebabkan peningkatan massa secara tiba-tiba di
dalam parenkim otak, sehingga terjadi kompresi dan gangguan
jaringan saraf di sekitarnya, yang mengarah ke petential compromise
jalur persinyalan sel di dekatnya dan menyebabkan defisit neurologis
fokal. Darah akan menghilang ke dalam white-matter, meninggalkan
fokus kecil jaringan saraf utuh di antara hematoma dan sekitarnya. Saat
hematoma berada di dalam batang otak, manifestasi awal dapat berupa
penurunan tingkat kesadaran, bersamaan dengan gangguan
kardiorespirasi atau bahkan berhenti. Selanjutnya, peningkatan regulasi
kaskade inflamasi akan menyebabkan ketidakseimbangan dalam
mekanisme hemostatik dan peningkatan ekspresi matrix
metalloproteinase. Hipertensi yang tidak diobati dan diatesis
pendarahan akan meningkatkan insidensi pertumbuhan hematoma.
Hipertensi akan menyebabkan lipohialinosis, yakni penebalan hialin
konsentris pada pembuluh darah otak kecil yang menyebabkan oklusi
small penetrating arteries.
Disintegrasi blood brain barrier (BBB) dan efek massa bekuan
darah akan menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial (ICP)
secara tiba-tiba, sehingga terjadi distorsi arsitektur jaringan lokal yang
dapat menganggu aliran keluar vena. Hal ini menyebabkan
pembengkakan pembuluh darah. Efek massa lokal pada jaringan dapat
menyebabkan peregangan dan ruptur mikroskopis dari pembuluh darah
disekitarnya (venula dan arteriol), memungkinkan fokus kecil
pendarahan di sekitar perbatasan ICH. Hasil peningkatan tekanan
intraserebral dapat menyebabkan sindrom herniasi dan menyebabkan
tekanan perfusi serebral (CPP) yang lebih rendah, sehingga terjadi
cedera otak sekunder. Sebagai konsekuensi dari pendarahan akut,
parenkim otak akan merekrut sitokin inflamasi dan trombin, yang
menyebabkan edema jaringan sekitar pendarahan akut.

84
Kemudian, ICH akan menyebabkan timbulnya abnnormalitas di
otak yang terbaca melalui pemeriksaan CT-Scan kepala, antara lain:
(1) Lesi Hiperdens
ICH primer atau ICH spontan merupakan pengecualian,
di mana tidak ada penyebab patologis atau struktural lain yang
ditemukan, serta didukung oleh riwayat hipertensi lronis,
peningkatan usia, dan lokasi gumpalan. Pasien dengan
hipertensi arteri kronis akan mengalami lipohyalinosis dan
perubahan degeneratif dari arteriol penetrasi, sehingga terjadi
aneurisma Charcot-Bouchard. Aneurisma Charcot-Bouchard
adalah aneurisma kecil (mikroaneurisma) di otak yang terjadi
pada pembuluh darah penetrasi kecil dengan diameter <300
mikrometer. Pembuluh darah yang paling umum terlibat adalah
lenticulostriate branches (LSA) dari middle cerebral artery
(MCA). Pembuluh darah ini mensuplai darah ke basal ganglia
dan posterior limb of the internal capsule.
Ruptur dari aneurisma ini akan menyebabkan
pendarahan ke struktur dalam otak, sehingga terjadi ICH yang
jika terjadi pendarahan terus-menerus akan menyebabkan
cedera pada LSA yang kemudian menjalar ke MSA. Akumulasi
hemoglobin dari darah yang mengendap pada arteri
menyebabkan hiperdensitas pada hasil CT scan. Oleh karena
itu, gambaran CT scan pada pasien ICH akan menunjukkan lesi
hiperdens di ganglia basalis hingga lobus temporal dekstra.
Cedera pada ganglia basalis akan menyebabkan masalah dalam
mengontrol bicara, gerakan, dan postur tubuh. Kombinasi
gejala ini disebut parkinsonisme.
(2) Obliterasi ventrikel lateral
Pada pasien ICH, akan terjadi peningkatan tekanan
intraserebral (ICH) dan edema vasogenik. Selain itu, ruptur
mikroaneurisma juga akan menyebabkan akumulasi hematoma
pada basal ganglia yang lama-kelamaan akan semakin
membesar. Ruptur tersebut akan menyebabkan lesi pada
ganglia basalis hingga lobus temporal dekstra dengan estimasi

85
volume 50cc. Maka, lesi dengan estimasi volume 50cc dan
edema vasogenik yang terjadi pada otak akan mengobliterasi
ventrikel lateral.
(3) Midline Shift
Pergeseran garis tengah otak (midline shift) merupakan
fitur penting yang dapat diukur dengan menggunakan berbagai
modalitas pencitraan, termasuk X-ray, CT scan, dan MRI.
Pergeseran struktur intrakranial garis tengah membantu
mendiagnosis lesi intrakranial, terutama cedera otak traumatis,
stroke, tumor otak, dan abses. Midline shift juga menjadi tanda
peningkatan tekanan intrakranial, juga indikator berkurangnya
perfusi otak akibat massa atau efek massa intrakranial.
Pada perdarahan intraserebral (ICH) akan terjadi
pendarahan berulang dan peningkatan blood clot. Hal ini
menyebabkan terjadi peningkatan mass effect (tekanan lokal
akibat hematoma) dan ICP sehingga terjadi penurunan blood
flow, juga terjadi lisis eritrosit dan inflamasi akibat
pembentukan thrombin sehingga terjadi edema vasogenik.
Edema vasogenik akan menyebabkan peningkatan
permeabilitas pembuluh darah sehingga plasma dapat dengan
mudah keluar ke ekstravaskuler, maka akan menyebabkan
jaringan otak, darah, dan cerebrospinal fluid (CSF) mengalami
pergeseran dari lokasi normal. Selain itu, pendarahan lokal
kecil yang terjadi pada hematoma akan terus-menerus
membesar sehingga menyebabkan kerusakan klinis pada otak.
Oleh karena itu, pasien dengan ICH akan mengalami herniasi
dan menghasilkan CT scan dengan midline shift.
5) Interpretasi dan Nilai Normal

86
Hasil Pemeriksaan Kondisi Normal Interpretasi

Lesi hiperdens di Tidak ada lesi Abnormal


ganglia basalis
hingga lobus
temporal dekstra
dengan estimasi
volume 50 cc

Obliterasi ventrikel Tidak terjadi Abnormal


lateral obliterasi

Midline shift Tidak ada midline Abnormal


shift

87
VI. KERANGKA KONSEP

VII. KESIMPULAN
Ny. W, 60 tahun, menderita Intracerebral Hemorrhage Stroke karena hipertensi yang
tidak terkontrol sejak lima tahun yang lalu.

88
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, N., 2022. Pendampingan Asuhan Keperawatan Medikal Bedah pada Klien
dengan Gangguan Sistem Pencernaan: Gastroenteritis Akut. Kolaborasi: Jurnal
Pengabdian Kepada Masyarakat, 2(3), pp.262-269.

Annisa Lily, Dkk. (2022). Tatalaksana Terapi Stroke Hemoragik Pada Pasien Dengan
Hipertensi. Jurnal Kedokteran Unram 2022,11(3):976-979 ISSN 2301-5977,
e-ISSN 2527-7154.

Astuti Dwi Wulandari, dkk. (2021). Perdarahan Subarakhnoid (PSA). Jurnal


Kedokteran 2021,10(1):338-346 ISSN 2301-5977, e-ISSN 2527-7154.

Bahrudin, M., 2013. Neurologi klinis. UMMPress.

Cleveland Clinic. (2022). Hemorrhagic Stroke. Diakses pada 28 Februari 2023 dari
https://my.clevelandclinic.org/health/diseases/23969-hemorrhagic-stroke

Cooper University Health Care. (2022). Complications After Stroke. Diakses pada 28
Februari 2023 dari
https://www.cooperhealth.org/services/stroke-program/complications-after-str
oke

David S Liebeskind. (2019). Hemorrhagic Stroke Treatment & Management.


Medscape.

Faisal, Arif. 1991. Hasil Pemeriksaan CT Scanning pada Penderita Stroke. Berkala
Ilmu Kedokteran, 23 (4).

Gao, Y., et al. (2018). Muscle Atrophy Induced by Mechanical Unloading:


Mechanisms and Potential Countermeasures. Frontiers in Physiology, 9, pp.
235.

Gupta, K., dan Das, J. M. 2022. Charcot Bouchard Aneurysm.


https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK553028/. Diakses 28 Februari 2023

89
John Hopkins University. 2023. Computed Tomography (CT or CAT) Scan of the
Brain.
https://www.hopkinsmedicine.org/health/treatment-tests-and-therapies/comput
ed-tomography-ct-or-cat-scan-of-the-brain. Diakses 27 Februari 2023

Kumar Ajaya, dkk. (2022). Hemorrhagic Stroke. NCBI.

Kurniawati Lusy. (2015). Studi Penggunaan Antihipertensi Pada Pasien Stroke.


Repository Unair.

Liao, C.C. dkk. 2018. Brain Midline Shift Measurement and Its Automation: A Review
of Techniques and Algorithms. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/
PMC5925103/. Diakses 27 Februari 2023

Lorenza Olvira Yolanda, B. (2021) ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN


STROKE HEMORAGIK DENGAN MASALAH KEPERAWATAN RISIKO
DEFISIT NUTRISI. Universitas Muhammadiyah Ponorogo.

Marcellari, F. dkk. 2014. Neuroimagining in Intracerebral Hemorrhage. AHA


Journal, 45 (3). https://doi.org/10.1161/STROKEAHA.113.003701. Diakses
27 Februari 2023

Montaño, A., Hanley, D. F. and Hemphill, J. C. (2021) ‘Hemorrhagic stroke’,


Handbook of Clinical Neurology, 176, pp. 229–248. doi:
10.1016/B978-0-444-64034-5.00019-5.

Munakomi, S., dan Das, J. M. 2022. Brain Herniation.


https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK542246/. Diakses 27 Februari 2023

NHS. 2021. CT Scan. https://www.nhs.uk/conditions/ct-scan/. Diakses 27 Februari


2023

Patel PR, De Jesus O. CT Scan. [Updated 2022 Jan 5]. In: StatPearls [Internet].
Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK567796/.

90
Prio, U. N. M., Mardana, I., & Liem, S. L. L. (2017). Gambaran Hasil Pemeriksaan
Ct-Scan Kepala Pada Pasien Stroke Dengan Faktor Risiko Hipertensi Periode
Januari 2016─ Juni 2016.

Rajashekar, D., dan Liang, J. W. 2022. Intracerebral Hemorrhage.


https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK553103/. Diakses 27 Februari 2023

Reynaldi, D. (2018) STUDI PENGGUNAAN ANTIFIBRINOLITIK PADA PASIEN


STROKE HEMORAGIK (Penelitian Dilakukan di RSUD Sidoarjo),
Undergraduate thesis. University of Muhammadiyah Malang.

Shao, Z. dkk. 2019. Pathophysiological Mechanisms and Potential Therapeutic


Targets in Intracerebral Hemorrhage. Neuropharmacology Article, volume 10.
https://doi.org/10.3389/fphar.2019.01079. Diakses 27 Februari 2023

Unnithan, Ajaya Kumar., Das, Joe M., Mehta, Parth. (2022). Hemorrhagic Stroke.
Diakses pada 28 Februari 2023 dari
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK559173/

Yin, L., et al. (2021). Skeletal Muscle Atrophy: From Mechanisms to Treatments.
Pharmacological Research, 172, pp. 105807.

Yulianti Dewi Bisri, Tatang Bisri. (2012). Pengelolaan Perioperatif Stroke Hemoragik.
Jurnal Neuroanestesia Indonesia 2012; 1(1):59-66.

91

Anda mungkin juga menyukai