Lapkas Kolestasis Pada Anak

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 31

1

LAPORAN KASUS
KOLESTASIS

Oleh:

Putu Eka Kristi Permatasari

(157008023)

Pembimbing:

dr. IGN Oka Nurjaya, Sp. A

BAGIAN SMF ILMU PENYAKIT ANAK

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH SANJIWANI GIANYAR

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS WARMADEWA

2015
2

BAB I
PENDAHULUAN

Ikterus adalah kekuningan pada kulit, sklera, membran mukosa dan cairan tubuh.
Ikterus merupakan penemuan klinis umum yang ditemukan pada 2 minggu pertama
kelahiran, terjadi pada 15% sampai 24% bayi baru lahir. Ikterus paling umum adalah
ikterus yang tidak langsung (indirect)/bilirunin yang tidak terkonyugasi dan dapat
sembuh secara spontan tanpa intervensi. Ikterus persisten merupakan kondisi yang
abnormal dan merupakan tanda dari kerusakan hepatobilier dan metabolik. Saat ikterus
lebih dari 2 minggu (persisten), harus dipikirkan kolestasis atau hiperbilirubin
terkonyugasi. Kolestasis menandakan rusaknya aliran empedu yang disebabkan oleh
gangguan intrahepatik atau ekstrahepatik. Untuk membedakan kolestasis dari ikterus
lainnya, serum bilirubin harus difraksikan ke dalam konyugasi atau level bilirubin direk
lebih besar dari 1mg/dL ketika jumlah total bilirubin kurang dari 5mg/dL atau lebih dari
20% dari jumlah bilirubin total jika jumlah total bilirubin lebih dari 5mg/dL.
Hiperbilirunin terkonyugasi bukan merupakan hal yang fisiologis. Serbaliknya,
hiperbilirubin yang tidak terkonyugasi merupakan hal yang umum terjadi akibat ikterus
fisiologis, breastfeeding and human milk–associated jaundice, hemolisis sel darah
merah, hipotiroid, sidrom gilbert atau sindrom Crigler-Najjar. Kunci untuk
mendiagnosis kolestasis diantaranya hepatomegali, diare, peningkatan berat badan yang
rendah, hipopigmentasi atau feses alkolik, dan urin yang berwarna pekat atau
memberikan warna pada popok1.
Kolestasis merupakan suatu gejala dengan etiologi yang bermacam-macam dan
salah satu penyebabnya, yakni infeksi virus, bakteri, dan parasit. Kolestasis pada
neonatus terjadi pada ±1:2.500 kelahiran hidup. Di Instalasi Rawat Inap Anak RSU Dr.
Sutomo Surabaya antara tahun 1999-2004 terdapat 19.270 pasien rawat inap, di
antaranya 96 pasien dengan neonatal kolestasis. Pada periode Januari sampai dengan
Desember 2003 di Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM tercatat 99 pasien
dengan kolestasis, 68 di antaranya dengan kolestasis intrahepatik. Penelitian Bachtiar
menunjukkan berbagai faktor risiko seperti nilai laboratorium (leukosit, C-reactive
3

protein/ CRP, imature total ratio/IT ratio) serta gejala klinis sepsis neonatorum tidak
bermakna secara statiskik dengan kejadian kolestasis, sedangkan lama rawat 15 hari
2,45 kali berisiko untuk terjadi kolestasis. Penelitian Wrigth dkk11 menunjukkan berat
badan, durasi pemberian nutrisi parenteral, dan penggunaan nutrisi parenteral bermakna
untuk terjadi kolestasis2.
Infan yang masih kekuningan lebih dari 2-3 minggu harus dievaluasi untuk
untuk mengeksklusi kolestasis neonatal, dan jika ada, dapat lebih cepat diidentifikasi
penyebab kolestasis untuk kemudian ditangani secara medis ataupun operasi. Meskipun
penatalaksanaan spesifik tidak tersedia, konsumsi nutrisi yang baik dapat mencegah
komplikasi. Data menunjukkan diagnosis dini kolestasis dan etiologinya berpotensial
menyelamatkan pasien lebih banyak1.
4

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Batasan Kolestasis


Kolestasis adalah kegagalan aliran cairan empedu masuk duodenum dalam jumlah
normal. Gangguan dapat terjadi mulai dari membrana-basolateral dari hepatosit sampai
tempat masuk saluran empedu ke dalam duodenum4. Dari segi klinis didefinisikan
sebagai akumulasi zat-zat yang diekskresi kedalam empedu seperti bilirubin, asam
empedu, dan kolesterol didalam darah dan jaringan tubuh. Secara patologi-anatomi
kolestasis adalah terdapatnya timbunan trombus empedu pada sel hati dan sistem bilier3.

2.2 Epidemiologi Kolestasis


Kolestasis pada bayi terjadi pada ± 1:25.000 kelahiran hidup. Insiden hepatitis neonatal
1:5000 kelahiran hidup, atresia bilier 1:10000-1:13000, defisiensi α-1 antitripsin
1:20000. Penyebab hepatoseluler ( intrahepatal) sekitar 45 hingga 69%, sementara
penyebab obstruktif 19 hingga 55% dari seluruh kasus. Sekitar 20 hingga 30%
penyebab kolestasis neonatal adalah idiopatik pada studi terakir ini, laporan yang terakir
menunjukan bahwa proporsi ini lebih randah. Publikasi yang terakir dilakukan
menunjukan bahwa Pi-Z dan Pi-S alleles gen bertanggujng jawab untuk terjadinya
devisiensi enzim alpha -1 antitrypsin yang meskipun jarang terjadi di populasi kita. 1.
Di Instalasi Rawat Inap Anak RSU Dr. Sutomo Surabaya antara tahun 1999-
2004 dari 19270 penderita rawat inap, didapat 96 penderita dengan neonatal kolestasis.
Neonatal hepatitis 68 (70,8%), atresia bilier 9 (9,4%), kista duktus koledukus 5 (5,2%),
kista hati 1 (1,04%), dan sindroma inspissated-bile 1 (1,04%). Prevalensi kolestasis
yang disebabkan oleh sepsis berkisar 3%-8%. Penelitian Bachtiar di Jakarta,
menemukan 65,9% angka kejadian kolestasis pada sepsis neonatorum. Mortalitas sepsis
neonatorum cukup tinggi berkisar 13%-25% dan angka mortalitas tersebut meningkat
pada bayi kurang bulan dan bayi dengan sakit berat pada saat awal. Sepsis sendiri dapat
menyebabkan kolestasis intrahepatik serta berperan dalam meningkatkan angka
5

kematian 52,8%. Sepsis sebagai penyebab kolestasis umumnya disebabkan oleh bakteri
Gram negative2.

2.3 Klasifikasi
Secara garis besar kolestasis dapat diklasifikasikan menjadi:
1. Kolestasis ekstrahepatik, obstruksi mekanis saluran empedu ekstrahepatik
Secara umum kelainan ini disebabkan lesi kongenital atau didapat. Merupakan
kelainan nekroinflamatori yang menyebabkan kerusakan dan akhirnya
pembuntuan 2 saluran empedu ekstrahepatik, diikuti kerusakan saluran empedu
intrahepatik. Penyebab utama yang pernah dilaporkan adalah proses imunologis,
infeksi virus terutama CMV dan Reo virus tipe 3, asam empedu yang toksik,
iskemia dan kelainan genetik. Biasanya penderita terkesan sehat saat lahir
dengan berat badan lahir, aktifitas dan minum normal. Ikterus baru terlihat
setelah berumur lebih dari 1 minggu. 10-20% penderita disertai kelainan
kongenital yang lain seperti asplenia, malrotasi dan gangguan kardiovaskuler4.
Deteksi dini dari kemungkinan adanya atresia bilier sangat penting sebab
efikasi pembedahan hepatik-portoenterostomi (Kasai) akan menurun apabila
dilakukan setelah umur 2 bulan. 12 Pada pemeriksaan ultrasound terlihat
kandung empedu kecil dan atretik disebabkan adanya proses obliterasi, tidak
jelas adanya pelebaran saluran empedu intrahepatik. Gambaran ini tidak
spesifik, kandung empedu yang normal mungkin dijumpai pada penderita
obstruksi saluran empedu ekstrahepatal sehingga tidak menyingkirkan
kemungkinan adanya atresia bilier. Gambaran histopatologis menemukan
adanya portal tract yang edematus dengan proliferasi saluran empedu,
kerusakan saluran dan adanya trombus empedu didalam duktuli. Pemeriksaan
kolangiogram intraoperatif dilakukan dengan visualisasi langsung untuk
mengetahui patensi saluran bilier sebelum dilakukan operasi Kasai4.
2. Kolestasis intrahepatik
a. Saluran Empedu Digolongkan dalam 2 bentuk, yaitu: (a) Paucity saluran
empedu, dan (b) Disgenesis saluran empedu. Oleh karena secara embriologis
saluran empedu intrahepatik (hepatoblas) berbeda asalnya dari saluran
6

empedu ekstrahepatik (foregut) maka kelainan saluran empedu dapat


mengenai hanya saluran intrahepatik atau hanya saluran ekstrahepatik saja.
Beberapa kelainan intrahepatik seperti ekstasia bilier dan hepatik fibrosis
kongenital, tidak mengenai saluran ekstrahepatik. Kelainan yang disebabkan
oleh infeksi virus CMV, sklerosing kolangitis, Caroli’s disease mengenai
kedua bagian saluran intra dan ekstra-hepatik. Karena primer tidak
menyerang sel hati maka secara umum tidak disertai dengan gangguan
fungsi hepatoseluler. Serum transaminase, albumin, faal koagulasi masih
dalam batas normal. Serum alkali fosfatase dan GGT akan meningkat.
Apabila proses berlanjut terus dan mengenai saluran empedu yang besar
dapat timbul ikterus, hepatomegali, hepatosplenomegali, dan tanda-tanda
hipertensi portal4.
Paucity saluran empedu intrahepatik lebih sering ditemukan pada
saat neonatal dibanding disgenesis, dibagi menjadi sindromik dan
nonsindromik. Dinamakan paucity apabila didapatkan < 0,5 saluran empedu
per portal tract. Contoh dari sindromik adalah sindrom Alagille, suatu
kelainan autosomal dominan disebabkan haploinsufisiensi pada gene
JAGGED. Sindroma ini ditemukan pada tahun 1975 merupakan penyakit
multi 3 organ pada mata (posterior embryotoxin), tulang belakang (butterfly
vertebrae), kardiovaskuler (stenosis katup pulmonal), dan muka yang
spesifik (triangular facial yaitu frontal yang dominan, mata yang dalam, dan
dagu yang sempit) Nonsindromik adalah paucity saluran empedu tanpa
disertai gejala organ lain. Kelainan saluran empedu intrahepatik lainnya
adalah sklerosing kolangitis neonatal, sindroma hiper IgM, sindroma
imunodefisiensi yang menyebabkan kerusakan pada saluran empedu4.
b. Kelainan hepatosit
Kelainan primer terjadi pada hepatosit menyebabkan gangguan pembentukan
dan aliran empedu. Hepatosit neonatus mempunyai cadangan asam empedu
yang sedikit, fungsi transport masih prematur, dan kemampuan sintesa asam
empedu yang rendah sehingga mudah terjadi kolestasis. Infeksi merupakan
penyebab utama yakni virus, bakteri, dan parasit. Pada sepsis misalnya
7

kolestasis merupakan akibat dari respon hepatosit terhadap sitokin yang


dihasilkan pada sepsis. Hepatitis neonatal adalah suatu deskripsi dari variasi
yang luas dari neonatal hepatopati, suatu inflamasi nonspesifik yang
disebabkan oleh kelainan genetik, endokrin, metabolik, dan infeksi intra-
uterin. Mempunyai gambaran histologis yang serupa yaitu adanya
pembentukan multinucleated giant cell dengan gangguan lobuler dan
serbukan sel radang, disertai timbunan trombus empedu pada hepatosit dan
kanalikuli. Diagnosa hepatitis neonatal sebaiknya tidak dipakai sebagai
diagnosa akhir, hanya dipakai apabila penyebab virus, bakteri, parasit,
gangguan metabolik tidak dapat ditemukan1.

Tabel 1. Etiologi kolestasis


Saluran Empedu Ekstrahepatik Biliary atresia
Biliary atresia
Choledochal cyst dan choledochocele
Biliary hipoplasia
Choledocholithiasis
Bile duct perforation
Neonatal sclerosing cholangitis
Saluran empedu intrahepatik Syndromic paucity (sindrom Alagille,
mutasi pada JAGGED1)
Nonsyndromic paucity
Hypothyroidism
Bile duct dysgenesis
Congenital hepatic fibrosis
Ductal plate malformation
Polycystic kidney disease
Caroli’s disease
Hepatic cyst
Cystic fibrosis
8

Langerhans’ cell histiocytiosis

2.4 Patofisiologi
Empedu adalah cairan yang disekresi hati berwarna hijau kekuningan merupakan
kombinasi produksi dari hepatosit dan kolangiosit. Empedu mengandung asam empedu,
kolesterol, phospholipid, toksin yang terdetoksifikasi, elektrolit, protein, dan bilirubin
terkonyugasi. Kolesterol dan asam empedu merupakan bagian terbesar dari empedu
sedang bilirubin terkonyugasi merupakan bagian kecil. Bagian utama dari aliran
empedu adalah sirkulasi enterohepatik dari asam empedu. Hepatosit adalah sel epetelial
dimana permukaan basolateralnya berhubungan dengan darah portal sedang permukaan
apikal (kanalikuler) berbatasan dengan empedu. Hepatosit adalah epitel terpolarisasi
berfungsi sebagai filter dan pompa bioaktif memisahkan racun dari darah dengan cara
metabolisme dan detoksifikasi intraseluler, mengeluarkan hasil proses tersebut kedalam
empedu. Salah satu contoh adalah penanganan dan detoksifikasi dari bilirubin tidak
terkonyugasi (bilirubin indirek). Bilirubin tidak terkonyugasi yang larut dalam lemak
diambil dari darah oleh transporter pada membran basolateral, dikonyugasi intraseluler
oleh enzim UDPGTa yang mengandung P450 menjadi bilirubin terkonyugasi yang larut
air dan dikeluarkan kedalam empedu oleh transporter mrp2. mrp2 merupakan bagian
yang bertanggungjawab terhadap aliran bebas asam empedu. Walaupun asam empedu
dikeluarkan dari hepatosit kedalam empedu oleh transporter lain, yaitu pompa aktif
asam empedu. Pada keadaan dimana aliran asam empedu menurun, sekresi dari
bilirubin terkonyugasi juga terganggu menyebabkan hiperbilirubinemia terkonyugasi.
Proses yang terjadi di hati seperti inflamasi, obstruksi, gangguan metabolik, dan iskemia
menimbulkan gangguan pada transporter hepatobilier menyebabkan penurunan aliran
empedu dan hiperbilirubinemi terkonyugasi5.
a. Perubahan fungsi hati pada kolestasis
Pada kolestasis yang berkepanjangan terjadi kerusakan fungsional dan struktural:
1. Proses transpor hati
9

Proses sekresi dari kanalikuli terganggu, terjadi inversi pada fungsi polaritas dari
hepatosit sehingga elminasi bahan seperti bilirubin terkonyugasi, asam empedu,
dan lemak kedalam empedu melalui plasma membran permukaan sinusoid
terganggu5.
2. Transformasi dan konyugasi dari obat dan zat toksik
Pada kolestasis berkepanjangan efek detergen dari asam empedu akan
menyebabkan gangguan sitokrom P-450. Fungsi oksidasi, glukoronidasi, sulfasi
dan konyugasi akan terganggu5.
3. Sintesis protein
Sintesis protein seperti alkali fosfatase dan GGT, akan meningkat sedang
produksi serum protein albumin-globulin akan menurun5.
4. Metabolisme asam empedu dan kolesterol
Kadar asam empedu intraseluler meningkat beberapa kali, sintesis asam empedu
dan kolesterol akan terhambat karena asam empedu yang tinggi menghambat
HMG-CoA reduktase dan 7 alfa-hydroxylase menyebabkan penurunan asam
empedu primer sehingga menurunkan rasio trihidroksi/dihidroksi bile acid
sehingga aktifitas hidropopik dan detergenik akan meningkat. Kadar kolesterol
darah tinggi tetapi produksi di hati menurun karena degradasi dan eliminasi di
usus menurun5.
5. Gangguan pada metabolisme logam
Terjadi penumpukan logam terutama Cu karena ekskresi bilier yang menurun.
Bila kadar ceruloplasmin normal maka tidak terjadi kerusakan hepatosit oleh Cu
karena Cu mengalami polimerisasi sehingga tidak toksik5.
6. Metabolisme cysteinyl leukotrienes
Cysteinyl leukotrienes suatu zat bersifat proinflamatori dan vasoaktif
dimetabolisir dan dieliminasi dihati, pada kolestasis terjadi kegagalan proses
sehingga kadarnya akan meningkat menyebabkan edema, vasokonstriksi, dan
progresifitas kolestasis. Oleh karena diekskresi diurin maka dapat menyebabkan
vaksokonstriksi pada ginjal5.
7. Mekanisme kerusakan hati sekunder
10

a. Asam empedu, terutama litokolat merupakan zat yang menyebabkan


kerusakan hati melalui aktifitas detergen dari sifatnya yang hidrofobik. Zat
ini akan melarutkan kolesterol dan fosfolipid dari sistim membran sehingga
intregritas membran akan terganggu. Maka fungsi yang berhubungan
+ + ++
dengan membran seperti Na , K -ATPase, Mg -ATPase, enzim-enzim lain
dan fungsi transport membran dapat terganggu, sehingga lalu lintas air dan
(28)
bahan-bahan lain melalui membran juga terganggu. Sistim transport
kalsium dalam hepatosit juga terganggu. Zat-zat lain yang mungkin
berperan dalam kerusakan hati adalah bilirubin, Cu, dan cysteinyl
leukotrienes namun peran utama dalam kerusakan hati pada kolestasis
adalah asam empedu5.
b. Proses imunologis, pada kolestasis didapat molekul HLA I yang mengalami
display secara abnormal pada permukaan hepatosit, sedang HLA I dan II
diekspresi pada saluran empedu sehingga menyebabkan respon imun
terhadap sel hepatosit dan sel kolangiosit. Selanjutnya akan terjadi sirosis
bilier5.

2.5 Manifestasi Klinis


Gambaran klinis kolestasis pada umumnya disebabkan karena adanya keadaan seperti
Terganggunya aliran empedu memasuki usus: (1) tinja berwarna dempul, (2) urobilin
dan sterkobilin tinja menurun, (3) urobilinogen urin menurun, (4) malabsorpsi lemak
dan vitamin yang larut dalam lemak, (5) hipoprotrombinemia; Akumulasi empedu
dalam darah: (1) Ikterus, (2) Gatal-gatal, (3) Hiperkolesterolemia, (4) Kerusakan sel
hepar sebagai akibat penumpukan garam empedu, (5) SGOT, SGPT, alkali fosfatase,
glutamil transpeptidase meningkat.
11

Bagan 1. Manifestasi umum kolestasis

2.6 Diagnosis
Tujuan utama evaluasi bayi dengan kolestasis adalah membedakan antara
kolestasis intrahepatik dengan ekstrahepatik sendini mungkin. Diagnosis dini
obstruksi bilier ekstrahepatik akan meningkatkan keberhasilan operasi.
Kolestasis intrahepatik seperti sepsis, galaktosemia atau endrokinopati dapat
diatasi dengan medikamentosa6.
a. Anamnesis
1. Adanya ikterus pada bayi usia lebih dari 14 hari, tinja akolis yang persisten
harus dicurigai adanya penyakit hati dan saluran bilier6.
12

2. Pada hepatitis neonatal sering terjadi pada anak laki-laki, lahir prematur atau
berat badan lahir rendah. Sedang pada atresia bilier sering terjadi pada anak
perempuan dengan berat badan lahir normal, dan memberi gejala ikterus dan
tinja akolis lebih awal6.
3. Sepsis diduga sebagai penyebab kuning pada bayi bila ditemukan ibu yang
demam atau disertai tanda-tanda infeksi6.
4. Adanya riwayat keluarga menderita kolestasis, maka kemungkinan besar
merupakan suatu kelainan genetik/metabolik (fibro-kistik atau defisiensi α1-
antitripsin)6.
b. Pemeriksaan fisik
Pada umumnya gejala ikterik pada neonatus baru akan terlihat bila kadar
bilirubin sekitar 7 mg/dl. Secara klinis mulai terlihat pada bulan pertama. Warna
kehijauan bila kadar bilirubin tinggi karena oksidasi bilirubin menjadi biliverdin.
Jaringan sklera mengandung banyak elastin yang mempunyai afinitas tinggi
terhadap bilirubin, sehingga pemeriksaan sklera lebih sensitif6.
Dikatakan pembesaran hati apabila tepi hati lebih dari 3,5 cm dibawah
arkus kota pada garis midklavikula kanan. Pada perabaan hati yang keras, tepi
yang tajam dan permukaan noduler diperkirakan adanya fibrosis atau sirosis.
Hati yang teraba pada epigastrium mencerminkan sirosis atau lobus Riedel
(pemanjangan lobus kanan yang normal). Nyeri tekan pada palpasi hati
diperkirakan adanya distensi kapsul Glisson karena edema. Bila limpa
membesar, satu dari beberapa penyebab seperti hipertensi portal, penyakit
storage, atau keganasan harus dicurigai. Hepatomegali yang besar tanpa
pembesaran organ lain dengan gangguan fungsi hati yang minimal mungkin
suatu fibrosis hepar kongenital. Perlu diperiksa adanya penyakit ginjal polikistik.
Asites menandakan adanya peningkatan tekanan vena portal dan fungsi hati
yang memburuk. Pada neonatus dengan infeksi kongenital, didapatkan
bersamaan dengan mikrosefali, korioretinitis, purpura, berat badan rendah, dan
gangguan organ lain6.
Alagille mengemukakan 4 keadaan klinis yang dapat menjadi patokan
untuk membedakan antara kolestasis ekstrahepatik dan intrahepatik. Dengan
13

kriteria tersebut kolestasis intrahepatik dapat dibedakan dengan kolestasis


ekstrahepatik ± 82% dari 133 penderita. Moyer menambah satu kriteria lagi
gambaran histopatologi hati6.

c. Pemeriksaan penunjang
1. Darah tepi lengkap, gambaran hapusan darah tepi
2. Biokimia darah : bilirubin direk dan indirek, ALT (SGPT) AST (SCOT),
γGT, masa protrombin, albumin, globulin, kolesterol, trigliserida, gula darah
puasa, ureum, kreatinin
3. Urin : rutin (lekosit, bilirubin, urobilinogen, reduksi) dan kultur
4. Tinjauan 3 porsi (dilihat warna tinja pada 3 periode dalam 24 jam)
14

5. Pemeriksaan etiologi infeksi : TORCH (toxoplasma, rubella, CMV, herpes


simpleks), hepatitis virus B/C
6. Pencitraan
a. USG 2 fase (puasa 6-8 jam dan sesudah minum)
b. USG doppler bila sudah sirosis
7. Biopsi Hati : pada evaluasi tersangka atresia bilier dan untuk mencari
etiologi kolestasis intrahepatik yang tidak dapat ditentukan dengan cara yang
non invasive7

Tabel 3. Data laboratorium awal pada bayi kolestasis


Kolestasis Kolestasis
intrahepatik ekstrahepatik
Bilirubin total (mg/dL) 12,1±9,6 10,2±4,5
Bilirubin total (mg/dL) 8,0±6,8 6,2±2,6
SGOT (peningkatan dari N) >20x <5x
SGPT (peningkatan dari N) >10x <5x
γGT (peningkatan dari N) <5x >5x
15

Bagan 2. Algoritma evaluasi kolestasis


2.7 Penatalaksanaan
a. Terapi etiologi
Terapi medikamentosa untuk kolestasis intrahepatik yang dapat diketahui
penyebabnya
b. Terapi suportif
1. Stimulasi aliran empedu : asam ursodeoksikolat 10-30mg/kgBB dalam 2-
3 dosis
16

2. Nutrisi diberikan untuk menunjang pertumbuhan optimal (kebutuhan


kalori umumnya dapat mencapai 130-150 kebutuhan bayi normal) dan
mengandung lemak rantai sedang (medium chain trigliseride-MCT)
3. Vitamin yang larut dalam lemak
 A : 5000-25000 IU
 D : calcitriol 0,05-0,2 µg/kgBB/hari
 E : 15-25 IU/kgBB/hari
 K1 : 2,5-5mg: 2-7 minggu atau 0,3 mg/kgBB setiap bulan
 Mineral dan trace element : Ca,P,Mn,Zn,Fe
4. Terapi komplikasi lain misalnya :
 Hiperlipidemia/xantelasma : obat HMG-coa reductase inhibitor
contohny kalestipol, simvastin
 Pruritus : salah satu di bawah ini
 Antihistamin : dipenhidramin 5-10mg/kgBB/hari, hidroksisin
2,5 mg/kgBB/hari dan rifampisin 10mg/kgBB/hari
 Kolestiramin 0,25-0,5g/kgBB/hari7

2.8 Prognosis
Prognosis kolestasis intrahepatik tergantung pada penyakit penyebab dan
banyaknya kerusakan sel-sel hati. Kolestasis yang terjadi oleh karena sepsis,
prognosisnya baik. pada kasus kolestasis ekstrahepatik seperti atresia bilier,
setelah dilakukan operasi kasai 30-60% bisa bertahan sampai 5 tahun7.
17

BAB III
LAPORAN KASUS

I. Identitas pasien
Nama : DGCD
Tempat/Tanggal Lahir : Gianyar, 1 Oktober 2015
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Br. Kaja Kauh, Tulikup
Suku : Bali, Indonesia
Nomor Rekam Medis : 541767
Tanggal pemeriksaan : 15 Oktober 2015

II. Anamnesis
Keluhan Utama
Panas + kuning

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien bayi laki-laki usia 8 hari datang ke IGD RSUD Sanjiwani dengan keluhan
utama panas dari tanggal 3/10/2015, Panas dikatakan naik pada malam hari dan
tidak menurun dengan penggunaan obat. Selain itu pasien juga dikeluhkan
kuning. Kuning dikatakan sejak 5 hari sebelum MRS (3/10/15 pk 07.00 wita).
Keluhan kuning muncul pertama kali di bagian wajah, kemudian menyebar ke
dada, perut dan paha. Dikatakan keluhan tidak membaik setelah di jemur selama
30 menit – 1 jam. Sebelum melahirkan ibu pasien sempat dikatakan mengalami
demam selama 3 hari. BAB (+) warna kuning kehijauan terakhir pagi ini, BAK
(+) normal tidak menimbulkan bercak warna pada pempers terakhir 20 menit
yang lalu. Penggunaan ASI (+), pasien dikatakan bergerak aktif dan menangis
kuat, mual muntah dikatakan (-). Di keluarga tidak ada yang menderita penyakit
yang sama sebelumnya atau mempunyai riwayat kuning sebelumnya.
18

Riwayat Penyakit Terdahulu


Pasien tidak pernah mengalami hal yang serupa sebelumnya. Riwayat penyakit
kronis seperti hipertensi, asma, DM, dan penyakit lainnya disangkal oleh
keluarga pasien.

Riwayat Pengobatan
Pasien sempat berobat ke klinik dengan keluhan panas pada usia 3 hari
dikatakan menerima obat penurun panas, namun lupa jenis obat yang diberikan.

Riwayat Penyakit Keluarga


Di keluarga tidak ada yang menderita penyakit yang sama sebelumnya atau
mempunyai riwayat kuning sebelumnya. Riwayat penyakit kronis seperti
hipertensi, asma, DM, dan penyakit lainnya pada keluarga ibu dan bapak pasien
disangkal.

Riwayat Pribadi/Sosial/Lingkungan
Pasien merupakan anak pertama. Pasien tinggal bersama orang tuanya, dengan
lingkungan rumah yang dikatakan cukup bersih dan sirkulasi udara yang cukup.
Saat proses kehamilan pasien mengonsumsi makanan bergizi dan vitamin.

Riwayat Alergi
Riwayat alergi belum diketahui.

Riwayat Persalinan
Pasien lahir secara spontan dengan berat badan lahir 2900 gram, panjang badan
49, ditolong oleh dokter, sedangkan lingkar kepala, lingkar dada, dan lingkar
lengan atas tidak diingat oleh ibu pasien. Tidak ada komplikasi pada ibu dan
bayi saat persalinan
19

Riwayat Imunisasi
Ibu pasien mengatakan bahwa anaknya baru mendapat imunisasi yang langsung
diberikan sesaat setelah lahir.

Riwayat Nutrisi
ASI :0 – sekarang

Riwayat Tumbuh Kembang


-

III. Pemeriksaan Fisik


a. Status present (15/10/2015)
 Keadaan Umum : baik
 Nadi : 140 x/menit, reguler, isi cukup
 RR : 44 x/menit, reguler
 Suhu Axila : 36,7°C

b. Status gizi
- Status gizi dengan menggunakan antropometri WHO:
 BB : 3,15 kg
 TB : 50 cm
 BBI : 3,5 kg
- Status Gizi menurut Waterlow
3.15/3.5 x 100% = 90% (Normal)
- WHO antropometri
 BB/U : Z score 0 s/d -1 (Sesuai)
 PB/U : Z score 0 s/d -2 (Sesuai)
 BB/TB : Z score 0 s/d -2 (Sesuai)

c. Status general:
 Kepala : Normocephali
20

 Mata : Konjungtiva pucat (-/-), hiperemi (-/-), Sclera ikterik (-/-)


 THT : Telinga : sekret (-)
Hidung : sekret (-)
Tenggorokan : faring hiperemi (-)
 Bibir : Sianosis (-)
 Leher : Pembesaran kelenjar (-)
 Thorax:
Cor : S1 S2 normal, reguler, murmur (+)
Pulmo : BronkoVesikuler +/+, Ronchi -/-, Wheezing -/-

 Abdomen
Inspeksi : Distensi (-)
Palpasi : Nyeri tekan (-), Hepar : tidak teraba,
lien: tidak teraba,turgor kembali cepat
Auskultasi : Bising usus (+) normal
 Ekstremitas : Keempat ekstremitas hangat, edema (-), CRT < 2 detik
 Kulit : Kuning kehijauan (+)
 Tinja : kuning

IV. Diagnosis
NCB + suspek sepsis neonatal awitan lambat + kolestasis intrahepatal ec
sepsis + suspek PJB asianotik susp PDA dd/ ASD

V. Penatalaksanaan
- Kebutuhan cairan 100 ml/kgBB/hr ~ 315ml/hari
- ASI on demand atau minimal 40 ml @ 3 jam, menyusui selang-seling
boleh 1-2x. sisa perdot/cup feeding
- Taxegram 2x150 intravena
- Estazor 3x30 mg oral
- Sequest 3x1 pulv
- Challenge furosemid 2gr iv 1x saja kemudian stop
21

VI. LAPORAN PERKEMBANGAN PASIEN DI RUANGAN

Tabel 4. Perkembangan pasien di ruangan


8/10/2015 S: Pasien pasien bayi laki-laki usia 8 hari - MRS
16.15 datang ke IGD RSUD Sanjiwani dengan - Kebutuhan cairan 100
keluhan utama panas dari tanggal µl/kgBB/hari
3/10/2015, Panas dikatakan naik pada - IVFD tridek 100 13 tpm
malam hari dan tidak menurun dengan mikro/menit
penggunaan obat. Selain itu pasien juga - Minum ASI
dikeluhkan kuning. Kuning dikatakan sejak 70ml/kgBB/hari
5 hari sebelum MRS (3/10/15 pk 07.00 minimal ASI tampung
wita). Keluhan kuning muncul pertama kali 25 ml @ 3jam
di bagian wajah, kemudian menyebar ke - Taxegram 2x150
dada, perut dan paha. Dikatakan keluhan intravena
tidak membaik setelah di jemur selama 30 - Estazor 3x30 mg oral
menit – 1 jam. Sebelum melahirkan ibu - Sequest 3x1 pulvenes
pasien sempat dikatakan mengalami demam - Bila mampu minum s/d
selama 3 hari. BAB (+) warna kuning 40 ml @ 3 jam besok
kehijauan terakhir pagi ini, BAK (+) normal stopper
tidak menimbulkan bercak warna pada - Plan : tampung tinja 3
pempers terakhir 20 menit yang lalu. porsi, UL, kultur urin,
Penggunaan ASI (+), pasien dikatakan CT scan kepala
bergerak aktif dan menangis kuat, mual
muntah dikatakan (-). Di keluarga tidak ada
yang menderita penyakit yang sama
sebelumnya atau mempunyai riwayat
kuning sebelumnya.
O: Status Present
ATR dan TGS isi cukup
HR: 158 x / menit
RR: 48 x / menit
22

Tax: 36,8 oC
Status General
Kepala: normocephali
Mata: an -/-, ikt -/-
THT: NCH (-)
Thorax: simetris (+),
Cor: S1S2 normal, reguler, murmur (-)
Pulmo: vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -
/-
Abdomen: distensi (+), BU(+)N, ascites (+),
hepar dan lien tidak teraba
Extremitas: hangat (+), CRT < 2 detik
A: NCB + suspek sepsis neonatal awitan
lambat + kolestasis suspek intrahepatal
dd/ekstrahepatal + observasi cefal hematom
9/10/2015 S : instabilitas suhu (+), mau minum sedikit- - Kebutuhan cairan 110
06.00 sedikit, BB= 3150 gram ml/kgBB/hari ~
O: Status Present 350ml/hari
ATR dan TGS isi cukup kuat - Tridex 100 6ml/jam
HR: 148 x / menit - Minum ASI
RR: 48 x / menit 70ml/kgBB/jam
Tax: 36,7 oC minimal 25ml @ 3 jam
Status General - Taxegram 2x150
Kepala: normocephali intravena
Mata: an -/-, ikt -/- - Estazor 3x30 mg oral
THT: NCH (-) - Sequest 3x1 pulv
Thorax: simetris (+), - Plan cek UL, tinja 3
Cor: S1S2 normal, reguler, murmur (+) porsi, + USG 2 fase
Pulmo: vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -
/-
Abdomen: Distensi (+), BU(+)N
23

Extremitas: hangat (+), edema(+)


A: NCB + suspek sepsis neonatal awitan
lambat + kolestasis suspek intrahepatal
dd/ekstrahepatal + observasi cefal hematom
10/10/2015 S : instabilitas suhu (-) kemarin siang - Kebutuhan cairan 120
06.00 cenderung hipotermi. BAB dempul (-),tinja ml/kgBB/hari
hijau kekuningan,BB= 3150 gram - Minum ASI minimal 48
O: Status Present ml @ 3 jam  stopper
ATR dan TGS isi cukup kuat - Taxegram 2x150
HR: 158 x / menit intravena
RR: 48 x / menit - Estazor 3x30 mg oral
Tax: 37,3 oC - Sequest 3x1 pulv
Status General - USG 2 fase
Kepala: normocephali (12/10/2015)
Mata: an -/-, ikt -/- Menerima hasil CT scan
THT: NCH (-) kepala scalp sweeling
Thorax: simetris (+),
Cor: S1S2 normal, reguler, murmur (+)
Pulmo: vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -
/-
Abdomen: Distensi (+), BU(+)N
Extremitas: hangat (+), edema(+)
A: NCB + suspek sepsis neonatal awitan
lambat + kolestasis suspek intrahepatal
dd/ekstrahepatal + observasi cefal
hematom
10/10/2015 Bayi muntah (+) minum 25ml @ 3 jam - Tridex 100 6ml/jam
08.00
11/10/2015 S : instabilitas suhu (+) - Kebutuhan cairan
06.00 O: Status Present 120ml/kgBB/hari
24

ATR dan Tangis cukup - ASI 25 ml @ 3 jam


HR: 150 x / menit - IVFD tridex 100
RR: 50 x / menit 6ml/jam
Tax: 36,8 oC - Taxegram 2x150
Status General intravena
Kepala: normocephali - Estazor 3x30 mg oral
Mata: an -/-, ikt -/- - Sequest 3x1 pulv
THT: NCH (-) - Plan : USG 2 fase, cek
Thorax: simetris (+), LFT, DL (12/10/2015)
Cor: S1S2 normal, reguler, murmur (+)
Pulmo: vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -
/-
Abdomen: Distensi (+), BU(+)N
Extremitas: hangat (+), edema(+)
A: NCB + suspek sepsis neonatal awitan
lambat + kolestasis suspek intrahepatal
dd/ekstrahepatal + Grain scalf swelling
12/10/2015 S : instabilitas suhu (+) - Kebutuhan cairan
06.00 O: Status Present 348ml/hari
ATR dan Tangis cukup - Puasa sementara ~
HR: 150 x / menit persiapan USG
RR: 45 x / menit - IVFD tridex 100 15 tpm
Tax: 36,7 oC (makro)/ 15ml/jam
Status General - Taxegram 2x150
Kepala: normocephali intravena
Mata: an -/-, ikt -/- - Estazor 3x30 mg oral
THT: NCH (-) - Sequest 3x1 pulv
Thorax: simetris (+), - Plan : USG 2 fase, cek
Cor: S1S2 normal, reguler, murmur (+) LFT, DL (hari ini)
Pulmo: vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -
/-
25

Abdomen: Distensi (+), BU(+)N


Extremitas: hangat (+), edema(+)
A: NCB + suspek sepsis neonatal awitan
lambat + kolestasis suspek intrahepatal
dd/ekstrahepatal + Grain scalf swelling
12/10/2015 Menerima hasil laboratorium - Antibiotika sampai
16.00 WBC : 9.6, Hb : 14, Hct 41.2, PLT 261 dengan 14 hari
SGOT : 76, SGPT : 9, bilirubin total 4.13, - Evaluasi DL setelah
bilirubin direk : 1.35 antibiotika 14 hari
Albumin : 3.19
Alp : 60
USG 2 fase : tidak tampak gangguan
kontraktilitas Gall bladder
Reassesment : kolestasis intrahepatal
13/10/2015 S : instabilitas suhu (+) - Kebutuhan cairan
06.00 O: Status Present 348ml/hari
ATR dan Tangis cukup
HR: 150 x / menit - IVFD tridex 100 15 tpm
RR: 45 x / menit (makro)/ 15ml/jam
Tax: 36,6 oC - Taxegram 2x150
Status General intravena
Kepala: normocephali - Estazor 3x30 mg oral
Mata: an -/-, ikt -/- - Sequest 3x1 pulv
THT: NCH (-) - Plan : Antibiotika s/d 14
Thorax: simetris (+), hari dan cek DL setelah
Cor: S1S2 normal, reguler, murmur (+) antibiotika 14 hari
Pulmo: vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -
/-
Abdomen: Distensi (+), BU(+)N
Extremitas: hangat (+), edema(+)
26

A: NCB + suspek sepsis neonatal awitan


lambat + kolestasis suspek intrahepatal
dd/ekstrahepatal + Grain scalf swelling
14/10/2015 S : instabilitas suhu (+) - Kebutuhan cairan
06.00 O: Status Present 348ml/hari
ATR dan Tangis cukup - IVFD tridex 100 15 tpm
HR: 140 x / menit (makro)/ 15ml/jam
RR: 40 x / menit - Taxegram 2x150
Tax: 35,8 oC intravena
Status General - Estazor 3x30 mg oral
Kepala: normocephali - Sequest 3x1 pulv
Mata: an -/-, ikt -/- - Plan : Antibiotika s/d 14
THT: NCH (-) hari dan cek DL setelah
Thorax: simetris (+), antibiotika 14 hari
Cor: S1S2 normal, reguler, murmur (+)
Pulmo: vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -
/-
Abdomen: Distensi (+), BU(+)N
Extremitas: hangat (+), edema(+)
A: NCB + suspek sepsis neonatal awitan
lambat + kolestasis suspek intrahepatal
dd/ekstrahepatal + Grain scalf swelling

Tabel 5.Pemeriksaan urin lengkap tanggal 8 Oktober 2015

Jenis Pemeriksaan Hasil Rujukan


Warna Kuning Kuning muda
Berat jenis 1,025 1,003-1,030
pH 6,0 4,8-7,5
Protein - Negatif
27

Glukosa +++ Negatif


Bilirubin Negatif Negatif
Urobilinogen Normal Normal
Keton Negatif Negatif
Nitrit Negatif Negatif
Eritrosit - Negatif
Lekosit - Negatif

Tabel 6. Pemeriksaan laboratorium tanggal 12 Oktober 2015

Jenis Pemeriksaan Hasil Rujukan


SGOT 76 < 35
SGPT 9 < 41
Protein total 4.22 6,6-8,8
Albumin 3,19 3,5-5,2
Bilirubin Total 4.13 0.1-1.2
Bilirubin direk 1.35 <0.2
Bilirubin indirek 2.78 < 0.75

Tabel 7. Pemeriksaan darah lengkap tanggal 12 Agustus 2015

Jenis Pemeriksaan Hasil Rujukan


WBC 9,6 4,0-10,0
Lymph # 4,2 0,8-4,0
Mid # 1,3 0,1-0,9
Gran # 4,1 2,0-7,0
Lymph % 44,2 20,0-40,0
Mid % 13,5 3,0-9,0
Gran % 42,3 50,0-70,0
RBC 4,59 3,50-5,50
28

HGB 14,0 11,0-16,0


HCT 41,2 37,0-54,0
MCV 89,8 82,0-95,0
MCH 30,5 27,0-31,0
MCHC 34,0 32,0-36,0
RDW-CV 15,8 11,5-14,5
RDW-SD 60,3 35,0-56,0
PLT 261 150-450
MPV 9,8 7,0-11,0
PDW 16,4 9,0-17,0
PCT 0,256 0,106-0,282
29

BAB IV
PEMBAHASAN

Kolestasis neonatal di definisikan sebagai hiperbilirubin terkonjugasi yang terjadi pada


bayi baru lahir atau diatas 14 hari yang terjadi sebagai akibat dari aliran empedu yang
berkurang atau terhambat. Setiap bayi baru lahir dengan kuning, dengan urin berwarna
kuning gelap yang merekat pada pempers, dengan atau tanpa disertai kotoran yang
berwarna pucat (dempul) harus dicurigai kuat dengan kolestasis neonatal. Pada pasien
bayi laki-laki usia 8 hari datang ke IGD RSUD Sanjiwani dengan keluhan utama kuning
dan panas, kuning dikatakan sejak 5 hari sebelum MRS (3/10/15 pk 07.00 wita).
Keluhan kuning muncul pertama kali di bagian wajah, kemudian menyebar ke dada,
perut dan paha. Dikatakan keluhan tidak membaik setelah dijemur selama 30 menit – 1
jam. Dari anamnesis mengarahkan diagnosis ke bayi dengan ikterus. Ikterus yang
terjadi tidak pernah hilang. Dari anamnesis tidak didapatkan riwayat BAB dempul, dan
warna urin kuning, pada kondisi ini pasien masih didiagnosis dengan ikterus fisiologis
sebelum pemeriksaan lab dilakukan. Dalam perjalanan perkembangannya selama 2 hari
di RS (10/10/2015) warna kulit pasien sedikit demi sedikit berubah menjadi kuning
kehijauan, sehingga pasien tetap harus dicurigai menderita kolestasis neonatal.
Kolestasis neonatal terjadi pada 1 diantara 2500 kelahiran hidup. Penyebab
hepatoseluler (intrahepatal) sekitar 45 hingga 69%, sementara penyebab obstruktif 19
hingga 55% dari seluruh kasus. Sekitar 20 hingga 30% penyebab kolestasis neonatal
adalah idiopatik. Dari riwayat keadaan pasien dan klinis nampaknya tidak cocok dengan
kolestasis ekstrahepatik. Dilihat dari tidak didapatkan riwayat BAB dempul, dan warna
urin kuning yang menjadi khas pada etiologi tertinggi kolestasis extrahepatik yaitu
atresia billier. Jadi kemungkinan ikterus yang terjadi disebabkan oleh kolestasis
intrahepatik.
Evaluasi awal bayi dengan kolestasis neonatal termasuk pemeriksaan fungsi hati
yang lengkap, tes hormon tiroid dan skrining sepsis yang diikuti pemeriksaan radiologi
yang spesifik dan uji patohistologi. Prinsip utama dalam mendiagnosis adalah untuk
menentukan atau membedakan penyakit hepatoseluler ini dari kelainan anatomi atau
memerlukan tindakan pembedahan. Dilakukan langkah mengikuti tahapan evaluasi
30

kolestasis. Untuk menunjang diagnosis dilakukan pemeriksaan penunjang yaitu


bilirubin total dan fraksi bilirubin. Hasil menunjukkan peningkatan bilirubin total 4,13
mg/dl dan bilirubin direk 1,78 mg/dl sehingga sesuai dengan kolestasis. Untuk
mengetahui kondisi kelainan hepatoselular dan bilier dilakukan pemeriksaan penunjang
SGOT, SGPT, alkali fosfatase, dan GGT. Nilai SGOT meningkat didapatkan hasil
SGOT 76U/L, sedangkan nilai SGPT masih dalam batas normal.
USG abdomen mampu mendeskripsikan atresia bilier termasuk di triangular
core sign. Kandung empedu yang bentuknya tidak normal atau panjangnya kurang dari
1,9 cm atau tidak cukup ekogenik dengan dinding yang ireguler dan berlobus lobus. Jika
tidak ada kontraksi dari kandung empedu setelah pemberian minum per oral
bagaimanapun tidak menyingkirkan adanya artesia bilier yang proksimal. Sehingga
direkomendasikan bahwa USG harus dilakukan setelah 4 jam setelah puasa.
Pemeriksaan USG 2 fase sudah dilakukan namun tidak didapatkan adanya gangguan
kontraktilitas sebelum puasa maupun setelah puasa. Pemeriksaan FT4, TSH, fungsi hati
dan hepatitis B (IGM anti HBC,HCV,dan HAV) belum dapat dilakukan
Sebagian besar bayi dengan kolestasis neonatal memiliki berat badan yang
kurang dan memerlukan tunjangan nutrisi, tujuan dari penatalaksanaan adalah untuk
memberikan kalori yang cukup atau adekuat untuk menkompensasi dari steatorhea dan
menangani malnutrisi pemberian cairan (110mg/kg/hari~319ml/hari), ASI on demand
minimal 40ml @ 3 jam. Etiologi dari kolestasis pada pasien ini diduga adalah karena
adanya tanda instabilitas suhu menetap dan 3 hari sebelum melahirkan ibu pasien
memiliki riwayat demamm maka dari itu pasien diberikan antibiotic berupa taxegram
2x150 intravena selama 14 hari. Selain itu pasien juga diberikan terapi estazor 3x30 mg
oral yang mengandung asam urosidekolat yang bermanfaat untuk memperbaiki fungsi
hati dan mempunyai sifat antiinflamasi dan sitoprotektif. Juga diberikan tambahan obat
untuk mencegah pruritus berupa sequest 3x1 pulv yang mengandung kolesteramin
untuk mencegah terjadinya pruritus.
Pada pasien tidak dilakukan pemeriksaan feses 3 porsi yang seharusnya
dilakukan guna mengidentifikasi feses untuk keperluan diagnostik, selain itu pada
penatalaksanaan juga perlu diberikan vitamin larut lemak yaitu ADEK disebabkan
karena pada kolestasis terjadi gangguan penyerapan vitamin larut lemak di hati.
31

DAFTAR PUSTAKA

1. Feldman A & Sokol R, 2013, Neonatal Cholestasis, NeoReview, 14(.2).p.. 63-73.


Download from http://neonatologia.eu/files/publikacje/neocholestasis.pdf,
Accessed on : 18th October 2015

2. Karyana G, Putra S, Yanti V, 2012, Kolestasis pada Sepsis Neonatorum di


RSUP Sanglah, Denpasar, Sari Pediatri, 14(4).p.211-217. Download from
http://saripediatri.idai.or.id/pdfile/14-4-1.pdf, Accessed on : 18th October 2015

3. Bhatia V, Bavdekar A, Matthai S, Waikar Y & Anupam Sibal, 2014,


Management of Neonatal Cholestasis: Consensus Statement of the Pediatric
Gastroenterology Chapter of Indian Academy of Pediatrics, Indian Pediatric,
51.p.203-210. Download from http://indianpediatrics.net/mar2014/203.pdf,
Accessed on : 18th October 2015

4. Aronson P & Werner H, 2011, Netter’s Pediatrics, USA: Elsevier

5. Kleggman L, Stanton B, Schor N & Geme J, 2011 Nelson Textbook of


Pediatrics, Philladelphia: Elsevier

6. GötzeG, Blessing H, Grillhösl C, Gerner P & Hoerning A, 2015, Neonatal


cholestasis – differential diagnoses, current diagnostic procedures, and
treatment, Frontiers in pediatrics, doi: 10.3389/fped.2015.00043, Downliad
from http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4470262/,Accessed on :
18th October 2015

7. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2010. Pedoman Pelayanan Medis. Jakarta :


IDAI

Anda mungkin juga menyukai