Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Anak Balita sebagai masa emas atau "golden age" yaitu insan manusia yang berusia 0-
6 tahun (UU No. 20 Tahun 2003), meskipun sebagian pakar menyebut anak balita adalah
anak dalam rentang usia 0-8 tahun.
Kelompok anak yang berada dalam proses pertumbuhan dan perkembangan yang
bersifat unik, artinya memiliki pola pertumbuhan dan perkembangan fisik (koordinasi
motorik halus dan motorik kasar), kecerdasan (daya pikir, daya cipta, kecerdasan emosi,
kecerdasan spiritual), sosio-emosional (sikap dan perilaku serta agama), bahasa dan
komunikasi yang khusus sesuai dengan tingkat pertumbuhan dan perkembangan yang
sedang dilalui oleh anak tersebut.
Secara psikologis, rentang usia tersebut dibagi dalam 3 tahapan yaitu masa sebelum
lahir, masa bayi dan masa awal kanak-kanak. Pada ketiga tahapan tersebut banyak terjadi
perubahan yang mencolok, baik fisik maupun psikologis, karena tekanan budaya dan
harapan untuk menguasai tugas-tugas perkembangan tertentu, yang akan mempengaruhi
tumbuh kembang anak. Pembagian menurut tahapan tersebut sangat tergantung pada
faktor sosial, yaitu tuntutan dan harapan untuk menguasai proses perkembangan yang
harus dilampaui anak dari lingkungannya.
Pada setiap tahap perkembangan, terdapat beberapa aspek fisik dan psikologis yang
terjadi, misalnya pada masa bayi secara umum menunjukkan bahwa anak sangat
tergantung pada orang dewasa, sedangkan saat anak memasuki awal masa kanak-kanak,
ketergantungan mulai berkurang dan ada harapan serta perlakuan tertentu dari kelompok
sosial serta mulai tumbuh kemandirian, yang akan berakhir saat anak mulai masuk sekolah
dasar. Perkembangan pada setiap aspek memiliki tingkat dan kecepatan yang berbeda-beda
baik, tergantung dari faktor individu maupun lingkungan yang menstimulirnya. Seluruh
perkembangan ini akan dilampaui anak dan setiap aspek perkembangannya tidak berdiri
sendiri melainkan saling terkait satu sama lain.
Berdasarkan hal tersebut, maka tumbuh kembang anak serta kemampuan mereka dapat
diidentifikasi lebih awal, yang selanjutnya dapat dikembangkan. Berbekal pemahaman
tentang perkembangan anak balita maka orang tua atau orang dewasa lainnya dapat
mengetahui titik terpenting untuk pengembangannya, dengan menitik beratkan pada masa
belajar anak. Dengan demikian pertumbuhan dan perkembangan anak balita tersebut perlu
diarahkan pada peletakan dasar-dasar yang tepat bagi pertumbuhan dan perkembangan
fisik, daya pikir, daya cipta, sosio-emosional, bahasa, komunikasi yang seimbang sebagai
dasar pembentukan pribadi.
BAB II
TINJAUAN PUATAKA

2.1 Pengertian Balita


Anak balita adalah anak yang telah menginjak usia di atas satu tahun atau lebih
popular dengan pengertian usia anak di bawah lima tahun (Muaris.H, 2006).
Menurut Sutomo. B. dan Anggraeni. DY, (2010), Balita adalah istilah umum bagi
anak usia 1-3 tahun (batita) dan anak prasekolah (3-5 tahun). Saat usia batita, anak masih
tergantung penuh kepada orang tua untuk melakukan kegiatan penting, seperti mandi,
buang air dan makan. Perkembangan berbicara dan berjalan sudah bertambah baik.
Namun kemampuan lain masih terbatas.
Masa balita merupakan periode penting dalam proses tumbuh kembang manusia.
Perkembangan dan pertumbuhan di masa itu menjadi penentu keberhasilan pertumbuhan
dan perkembangan anak di periode selanjutnya. Masa tumbuh kembang di usia ini
merupakan masa yang berlangsung cepat dan tidak akan pernah terulang, karena itu sering
disebut golden age atau masa keemasan.

2.2 Karakteristik Balita


Menurut karakteristik, balita terbagi dalam dua kategori yaitu anak usia 1–3 tahun
(batita) dan anak usia prasekolah (Uripi, 2004). Anak usia 1-3 tahun merupakan
konsumen pasif, artinya anak menerima makanan dari apa yang disediakan ibunya. Laju
pertumbuhan masa batita lebih besar dari masa usia pra-sekolah sehingga diperlukan
jumlah makanan yang relatif besar. Namun perut yang masih lebih kecil menyebabkan
jumlah makanan yang mampu diterimanya dalam sekali makan lebih kecil dari anak yang
usianya lebih besar. Oleh karena itu, pola makan yang diberikan adalah porsi kecil dengan
frekuensi sering
Pada usia pra-sekolah anak menjadi konsumen aktif. Mereka sudah dapat memilih
makanan yang disukainya. Pada usia ini anak mulai bergaul dengan lingkungannya atau
bersekolah playgroup sehingga anak mengalami beberapa perubahan dalam perilaku. Pada
masa ini anak akan mencapai fase gemar memprotes sehingga mereka akan mengatakan
“tidak” terhadap setiap ajakan. Pada masa ini berat badan anak cenderung mengalami
penurunan, akibat dari aktivitas yang mulai banyak dan pemilihan maupun penolakan
terhadap makanan. Diperkirakan pula bahwa anak perempuan relative lebih banyak
mengalami gangguan status gizi bila dibandingkan dengan anak laki-laki (BPS, 1999)

2.3 Tumbuh Kembang Balita


Secara umum tumbuh kembang setiap anak berbeda-beda, namun prosesnya senantiasa
melalui tiga pola yang sama, yakni:
a. Pertumbuhan dimulai dari tubuh bagian atas menuju bagian bawah (sefalokaudal).
Pertumbuhannya dimulai dari kepala hingga ke ujung kaki, anak akan berusaha
menegakkan tubuhnya, lalu dilanjutkan belajar menggunakan kakinya.
b. Perkembangan dimulai dari batang tubuh ke arah luar. Contohnya adalah anak akan
lebih dulu menguasai penggunaan telapak tangan untuk menggenggam, sebelum ia
mampu meraih benda dengan jemarinya.
c. Setelah dua pola di atas dikuasai, barulah anak belajar mengeksplorasi keterampilan-
keterampilan lain. Seperti melempar, menendang, berlari dan lain-lain.
Pertumbuhan pada bayi dan balita merupakan gejala kuantitatif. Pada konteks ini,
berlangsung perubahan ukuran dan jumlah sel, serta jaringan intraseluler pada tubuh anak.
Dengan kata lain, berlangsung proses multiplikasi organ tubuh anak, disertai penambahan
ukuran-ukuran tubuhnya. Hal ini ditandai oleh:
a. Meningkatnya berat badan dan tinggi badan.
b. Bertambahnya ukuran lingkar kepala.
c. Muncul dan bertambahnya gigi dan geraham.
d. Menguatnya tulang dan membesarnya otot-otot.
e. Bertambahnya organ-organ tubuh lainnya, seperti rambut, kuku, dan sebagainya.
Penambahan ukuran-ukuran tubuh ini tentu tidak harus drastis. Sebaliknya,
berlangsung perlahan, bertahap, dan terpola secara proporsional pada tiap bulannya.
Ketika didapati penambahan ukuran tubuhnya, artinya proses pertumbuhannya
berlangsung baik. Sebaliknya jika yang terlihat gejala penurunan ukuran, itu sinyal
terjadinya gangguan atau hambatan proses pertumbuhan. Cara mudah mengetahui baik
tidaknya pertumbuhan bayi dan balita adalah dengan mengamati grafik pertambahan berat
dan tinggi badan yang terdapat pada Kartu Menuju Sehat (KMS). Dengan bertambahnya
usia anak, harusnya bertambah pula berat dan tinggi badannya. Cara lainnya yaitu dengan
pemantauan status gizi. Pemantauan status gizi pada bayi dan balita telah dibuatkan
standarisasinya oleh Harvard University dan Wolanski. Penggunaan standar tersebut di
Indonesia telah dimodifikasi agar sesuai untuk kasus anak Indonesia. Perkembangan pada
masa balita merupakan gejala kualitatif, artinya pada diri balita berlangsung proses
peningkatan dan pematangan (maturasi) kemampuan personal dan kemampuan sosial.
Kemampuan personal ditandai pendayagunaan segenap fungsi alatalat pengindraan
dan sistem organ tubuh lain yang dimilikinya.
Kemampuan fungsi pengindraan meliputi ;
a. Penglihatan, misalnya melihat, melirik, menonton, membaca dan lain-lain.
b. Pendengaran, misalnya reaksi mendengarkan bunyi, menyimak pembicaraan dan lain-
lain.
c. Penciuman, misalnya mencium dan membau sesuatu.10
d. Peraba, misalnya reaksi saat menyentuh atau disentuh, meraba benda, dan lain-lain.
e. Pengecap, misalnya menghisap ASI, mengetahui rasa makanan dan minuma

2.4 Kebutuhan Utama Proses Tumbuh Kembang


Dalam proses tumbuh kembang, anak memiliki kebutuhan yang harus terpenuhi,
kebutuhan tersebut yakni ; a. Kebutuhan akan gizi11 (asuh); b. Kebutuhan emosi dan kasih
sayang (asih); dan c. Kebutuhan stimulasi dini (asah) (PN.Evelin dan Djamaludin. N.
2010).
a. Pemenuhan kebutuhan gizi (asuh).
Usia balita adalah periode penting dalam proses tubuh kembang anak yang
merupakan masa pertumbuhan dasar anak. Pada usia ini, perkembangan kemampuan
berbahasa, berkreativitas, kesadaran social, emosional dan inteligensi anak berjalan
sangat cepat. Pemenuhan kebutuhan gizi dalam rangka menopang tumbuh kembang
fisik dan biologis balita perlu diberikan secara tepat dan berimbang. Tepat berarti
makanan yang diberikan mengandung zatzat gizi yang sesuai kebutuhannya,
berdasarkan tingkat usia. Berimbang berarti komposisi zat-zat gizinya menunjang
proses tumbuh kembang sesuai usianya. Dengan terpenuhinya kebutuhan gizi secara
baik, perkembangan otaknya akan berlangsung optimal. Keterampilan fisiknya pun
akan berkembang sebagai dampak perkembangan bagian otak yang mengatur sistem
sensorik dan motoriknya. Pemenuhan kebutuhan fisik atau biologis yang baik, akan
berdampak pada sistem imunitas tubuhnya sehingga daya tahan tubuhnya akan terjaga
dengan baik dan tidak mudah terserang penyakit
b. Menunjang proses
Tumbuh kembang sesuai usianya. Dengan terpenuhinya kebutuhan gizi secara
baik, perkembangan otaknya akan berlangsung optimal. Keterampilan fisiknya pun
akan berkembang sebagai dampak perkembangan bagian otak yang mengatur sistem
sensorik dan motoriknya. Pemenuhan kebutuhan fisik atau biologis yang baik, akan
berdampak pada sistem imunitas tubuhnya sehingga daya tahan tubuhnya akan terjaga
dengan baik dan tidak mudah terserang penyakit
c. Pemenuhan kebutuhan stimulasi dini (asah).
Stimulasi dini merupakan kegiatan orangtua memberikan rangsangan tertentu
pada anak sedini mungkin. Bahkan hal ini dianjurkan ketika anak masih dalam
kandungan dengan tujuan agar tumbuh kembang anak dapat berjalan dengan
optimal.Stimulasi dini meliputi kegiatan merangsang melalui sentuhansentuhan lembut
secara bervariasi dan berkelanjutan, kegiatan mengajari anak berkomunikasi,
mengenal objek warna, mengenal huruf dan angka. Selain itu, stimulasi dini dapat
mendorong munculnya pikiran dan emosi positif, kemandirian, kreativitas dan lain-
lain. Pemenuhan kebutuhan stimulasi dini secara baik dan benar dapat merangsang
kecerdasan majemuk (multiple intelligences) anak. Kecerdasan majemuk ini meliputi,
kecerdasan linguistic, kecerdasan logis-matematis, kecerdasan spasial, kecerdasan
kinestetik. kecerdasan musical, kecerdasan intrapribadi (intrapersonal), kecerdasan
interpersonal, dan kecerdasan naturalis.

2.5. Komunikasi Terapeutik


2.5.1. Pengertian
Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang dilakukan atau dirancang untuk
tujuan terapi. Seorang penolong atau perawat dapat membantu klien mengatasi masalah
yang dihadapinya melalui komunikasi (Suryani, 2005).
Menurut Purwanto, komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang direncanakan
secara sadar, bertujuan dan kegiatannya dipusatkan untuk kesembuhan pasien. Pada
dasarnya komunikasi terapeutik merupakan komunikasi professional yang mengarah
pada tujuan yaitu penyembuhan pasien (Siti Fatmawati, 2010).
Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang direncanakan secara sadar,
bertujuan dan kegiatannya dipusatkan untuk kesembuhan pasien (Siti Fatmawati, 2010).
Komunikasi terapeutik adalah merupakan hubungan interpersonal antara perawat
dan klien, dalam hal ini perawat dan klien memperoleh pengalaman belajar bersama
dalam rangka memperbaiki pengalaman emosional klien (Stuart, 1998).

2.5.2. Tujuan Komunikasi Terapeutik


Komunikasi terapeutik bertujuan untuk mengembangkan pribadi klien kearah yang lebih
positif atau adaptif dan diarahkan pada pertumbuhan klien yang meliputi:
1. Realisasi diri, penerimaan diri, dan peningkatan penghormatan diri. Melalui
komunikasi terapeutik diharapkan terjadi perubahan dalam diri klien. Klien yang
tadinya tidak biasa menerima apa adanya atau merasa rendah diri, setelah
berkomunikasi terapeutik dengan perawat akan mampu menerima dirinya.
2. Kemampuan membina hubungan interpersonal dan saling bergantung dengan orang
lain. Melalui komunikasi terapeutik, klien belajar bagaimana menerima dan diterima
orang lain. Dengan komunikasi yang terbuka, jujur dan menerima klien apa adanya,
perawat akan dapat meningkatkan kemampuan klien dalam membina hubungan
saling percaya.
3. Peningkatan fungsi dan kemampuan untuk memuaskan kebutuhan serta mencapai
tujuan yang realistis. Terkadang klien menetapkan ideal diri atau tujuan yang terlalu
tinggi tanpa mengukur kemampuannya.
4. Rasa identitas personal yang jelas dan peningkatan integritas diri. Identitas personal
disini termasuk status, peran, dan jenis kelamin. Klien yang mengalami gangguan
identitas personal biasanya tidak mempunyai rasa percaya diri dan mengalami harga
diri rendah. Melalui komunikasi terapeutik diharapkan perawat dapat membantu
klien meningkatkan integritas dirinya dan identitas diri yang jelas. Dalam hal ini
perawat berusaha menggali semua aspek kehidupan klien di masa sekarang dan
masa lalu. Kemudian perawat membantu meningkatkan integritas diri klien melalui
komunikasinya dengan klien, (Suryani 2005).

2.5.3 Prinsip Dasar Komunikasi Terapeutik


Komunikasi terapeutik meningkatkan pemahaman dan membantu
terbentuknya hubungan yang konstruktif diantara perawat-klien. Tidak seperti
komunikasi sosial, komunikasi terapeutik mempunyai tujuan untuk membantu
klien mencapai suatu tujuan dalam asuhan keperawatan. Oleh karenanya sangat
penting bagi perawat untuk memahami prinsip dasar komunikasi terapeutik
berikut ini ;

1. Perawat harus menghargai keunikan klien, menghargai perbedaan karakter,


memahami perasaan dan perilaku klien dengan melihat perbedaan latar
belakang keluarga, budaya, dan keunikan setiap individu.
2. Semua komunikasi yang dilakukan harus dapat menjaga harga diri pemberi
maupun penerima pesan, dalam hal ini perawat harus mampu menjaga harga
dirinya dan harga diri klien.

3. Komunikasi yang menciptakan tumbuhnya hubungan saling percaya (trust)


harus dicapai terlebih dahulu sebelum menggali permasalahan dan
memberikan alternatif pemecahan masalah (Stuart,1998). Hubungan saling
percaya antara perawat dan klien adalah kunci dari komunikasi terapeutik.

2.5.4 Hubungan Perawat dan Klien/Helping Relationship

Salah satu karakteristik dasar dari komunikasi yaitu ketika seseorang melakukan
komunikasi terhadap orang lain maka akan tercipta suatu hubungan diantara keduanya,
selain itu komunikasi bersifat resiprokal dan berkelanjutan. Hal inilah yang pada
akhirnya membentuk suatu hubungan ‘helping relationship’. Helping relationship
adalah hubungan yang terjadi diantara dua (atau lebih) individu maupun kelompok
yang saling memberikan dan menerima bantuan atau dukungan untuk memenuhi
kebutuhan dasarnya sepanjang kehidupan. Pada konteks keperawatan hubungan yang
dimaksud adalah hubungan antara perawat dan klien. Ketika hubungan antara perawat
dan klien terjadi, perawat sebagai penolong (helper) membantu klien sebagai orang
yang membutuhkan pertolongan, untuk mencapai tujuan yaitu terpenuhinya kebutuhan
dasar manusia klien.
Menurut Roger dalam Stuart G.W (1998), ada beberapa karakteristik seorang
helper (perawat) yang dapat memfasilitasi tumbuhnya hubungan yang terapeutik,
yaitu:

1. Kejujuran

Kejujuran sangat penting, karena tanpa adanya kejujuran mustahil bisa terbina
hubungan saling percaya. Seseorang akan menaruh rasa percaya pada lawan bicara
yang terbuka dan mempunyai respons yang tidak dibuat-buat, sebaliknya ia akan
berhati-hati pada lawan bicara yang terlalu halus sehingga sering
menyembunyikan isi hatinya yang sebenarnya dengan kata-kata atau sikapnya
yang tidak jujur (Rahmat, J.,1996 dalam Suryani,2005).). Sangat penting bagi
perawat untuk menjaga kejujuran saat berkomunikasi dengan klien, karena apabila
hal tersebut tidak dilakukan maka klien akan menarik diri, merasa dibohongi,
membenci perawat atau bisa juga berpura-pura patuh terhadap perawat.

2. Tidak membingungkan dan cukup ekspresif

Dalam berkomunikasi dengan klien, perawat sebaiknya menggunakan kata-


kata yang mudah dipahami oleh klien dan tidak menggunakan kalimat yang
berbelit-belit. Komunikasi nonverbal perawat harus cukup ekspresif dan sesuai
dengan verbalnya karena ketidaksesuaian akan menimbulkan kebingungan bagi
klien.

3. Bersikap positif

Bersikap positif terhadap apa saja yang dikatakan dan disampaikan lewat
komunikasi nonverbal sangat penting baik dalam membina hubungan saling
percaya maupun dalam membuat rencana tindakan bersama klien. Bersikap positif
ditunjukkan dengan bersikap hangat, penuh perhatian dan penghargaan terhadap
klien. Untuk mencapai kehangatan dan ketulusan dalam hubungan yang terapeutik
tidak memerlukan kedekatan yang kuat atau ikatan tertentu diantara perawat dan
klien akan tetapi penciptaan suasana yang dapat membuat klien merasa aman dan
diterima dalam mengungkapkan perasaan dan pikirannya (Burnard,P dan Morrison
P,1991 dalam Suryani,2005).

4. Empati bukan simpati

Sikap empati sangat diperlukan dalam asuhan keperawatan, karena dengan


sikap ini perawat akan mampu merasakan dan memikirkan permasalahan klien
seperti yang dirasakan dan dipikirkan klien (Brammer,1993 dalam Suryani,2005).
Dengan bersikap empati perawat dapat memberikan alternative pemecahan
masalah karena perawat tidak hanya merasakan permasalahan klien tetapi juga
tidak berlarut-larut dalam perasaaan tersebut dan turut berupaya mencari
penyelesaian masalah secara objektif.

5. Mampu melihat permasalahan dari pandangan klien

Dalam memberikan asuhan keperawatan, perawat harus berorientasi pada


klien (Taylor, Lilis dan Le Mone, 1993), oleh karenaya perawat harus mampu
untuk melihat permasalahan yang sedang dihadapi klien dari sudut pandang klien.
Untuk mampu melakukan hal ini perawat harus memahami dan memiliki
kemampuan mendengarkan dengan aktif dan penuh perhatian. Mendengarkan
dengan penuh perhatian berarti mengabsorpsi isi dari komunikasi (kata-kata dan
perasaan) tanpa melakukan seleksi. Pendengar (perawat) tidak sekedar
mendengarkan dan menyampaikan respon yang di inginkan oleh pembicara
(klien), tetapi berfokus pada kebutuhan pembicara. Mendengarkan dengan penuh
perhatian menunjukkan sikap caring sehingga memotivasi klien untuk berbicara
atau menyampaikan perasaannya.

6. Menerima klien apa adanya

Seorang helper yang efektif memiliki kemampuan untuk menerima klien apa
adanya. Jika seseorang merasa diterima maka dia akan merasa aman dalam
menjalin hubungan interpersonal (Sullivan, 1971 dalam Antai Ontong, 1995 dalam
Suryani, 2005). Nilai yang diyakini atau diterapkan oleh perawat terhadap dirinya
tidak dapat diterapkan pada klien, apabila hal ini terjadi maka perawat tidak
menunjukkan sikap menerima klien apa adanya.

7. Sensitif terhadap perasaan klien

Seorang perawat harus mampu mengenali perasaan klien untuk dapat


menciptakan hubungan terapeutik yang baik dan efektif dengan klien. Dengan
bersikap sensitive terhadap perasaan klien perawat dapat terhindar dari berkata
atau melakukan hal-hal yang menyinggung privasi ataupun perasaan klien.

8. Tidak mudah terpengaruh oleh masa lalu klien ataupun diri perawat sendiri

Perawat harus mampu memandang dan menghargai klien sebagai individu


yang ada pada saat ini, bukan atas masa lalunya, demikian pula terhadap dirinya
sendiri.

2.5.5 Tahapan Komunikasi Terapeutik

Telah disebutkan sebelumnya bahwa komunikasi terapeutik merupakan


komunikasi yang terstruktur dan memiliki tahapan-tahapan. Stuart G.W, 1998
menjelaskan bahwa dalam prosesnya komunikasi terapeutik terbagi menjadi empat
tahapan yaitu tahap persiapan atau tahap pra-interaksi, tahap perkenalan atau orientasi,
tahap kerja dan tahap terminasi.

1. Tahap Persiapan/Pra-interaksi

Dalam tahapan ini perawat menggali perasaan dan menilik dirinya dengan cara
mengidentifikasi kelebihan dan kekurangannya. Pada tahap ini juga perawat mencari
informasi tentang klien sebagai lawan bicaranya. Setelah hal ini dilakukan perawat
merancang strategi untuk pertemuan pertama dengan klien. Tahapan ini dilakukan oleh
perawat dengan tujuan mengurangi rasa cemas atau kecemasan yang mungkin
dirasakan oleh perawat sebelum melakukan komunikasi terapeutik dengan klien.
Kecemasan yang dialami seseorang dapat sangat mempengaruhi interaksinya
dengan orang lain (Ellis, Gates dan Kenworthy, 2000 dalam Suryani, 2005). Hal ini
disebabkan oleh adanya kesalahan dalam menginterpretasikan apa yang diucapkan
oleh lawan bicara. Pada saat perawat merasa cemas, dia tidak akan mampu
mendengarkan apa yang dikatakan oleh klien dengan baik (Brammer, 1993 dalam
Suryani, 2005) sehingga tidak mampu melakukan active listening (mendengarkan
dengan aktif dan penuh perhatian).

Tugas perawat dalam tahapan ini adalah:

1. Mengeksplorasi perasaan, mendefinisikan harapan dan mengidentifikasi


kecemasan.
2. Menganalisis kekuatan dan kelemahan diri.

3. Mengumpulkan data tentang klien.

4. Merencanakan pertemuan pertama dengan klien.

2. Tahap Perkenalan/Orientasi

Tahap perkenalan dilaksanakan setiap kali pertemuan dengan klien dilakukan.


Tujuan dalam tahap ini adalah memvalidasi keakuratan data dan rencana yang telah
dibuat sesuai dengan keadaan klien saat ini, serta mengevaluasi hasil tindakan yang
telah lalu (Stuart.G.W, 1998).

Tugas perawat dalam tahapan ini adalah:

1. Membina rasa saling percaya, menunjukkan penerimaan dan komunikasi terbuka.


2. Merumuskan kontrak (waktu, tempat pertemuan, dan topik pembicaraan) bersama-
sama dengan klien dan menjelaskan atau mengklarifikasi kembali kontrak yang
telah disepakati bersama.

3. Menggali pikiran dan perasaan serta mengidentifikasi masalah klien yang


umumnya dilakukan dengan menggunakan teknik komunikasi pertanyaan terbuka.
4. Merumuskan tujuan interaksi dengan klien.

Sangat penting bagi perawat untuk melaksanakan tahapan ini dengan baik karena
tahapan ini merupakan dasar bagi hubungan terapeutik antara perawat dan klien.

3. Tahap Kerja

Tahap kerja merupakan inti dari keseluruhan proses komunikasi terapeutik.


Tahap kerja merupakan tahap yang terpanjang dalam komunikasi terapeutik karena
didalamnya perawat dituntut untuk membantu dan mendukung klien untuk
menyampaikan perasaan dan pikirannya dan kemudian menganalisa respons ataupun
pesan komunikasi verbal dan non verbal yang disampaikan oleh klien. Dalam tahap ini
pula perawat mendengarkan secara aktif dan dengan penuh perhatian sehingga mampu
membantu klien untuk mendefinisikan masalah yang sedang dihadapi oleh klien,
mencari penyelesaian masalah dan mengevaluasinya (Stuart,G.W,1998).

Dibagian akhir tahap ini, perawat diharapkan mampu menyimpulkan


percakapannya dengan klien. Teknik menyimpulkan ini merupakan usaha untuk
memadukan dan menegaskan hal-hal penting dalam percakapan, dan membantu
perawat dan klien memiliki pikiran dan ide yang sama. Dengan dilakukannya
penarikan kesimpulan oleh perawat maka klien dapat merasakan bahwa keseluruhan
pesan atau perasaan yang telah disampaikannya diterima dengan baik dan benar-benar
dipahami oleh perawat (Murray,B. & Judith,P,1997 dalam Suryani,2005).

4. Tahap Terminasi

Terminasi merupakan akhir dari pertemuan perawat dan klien. Tahap terminasi
dibagi dua yaitu terminasi sementara dan terminasi akhir. Terminasi sementara adalah
akhir dari tiap pertemuan perawat dan klien, setelah hal ini dilakukan perawat dan
klien masih akan bertemu kembali pada waktu yang berbeda sesuai dengan kontrak
waktu yang telah disepakati bersama. Sedangkan terminasi akhir dilakukan oleh
perawat setelah menyelesaikan seluruh proses keperawatan (Stuart,G.W,1998).
Tugas perawat dalam tahap ini adalah:

1. Mengevaluasi pencapaian tujuan dari interaksi yang telah dilaksanakan (evaluasi


objektif). Brammer dan McDonald (1996) menyatakan bahwa meminta klien
untuk menyimpulkan tentang apa yang telah didiskusikan merupakan sesuatu yang
sangat berguna pada tahap ini.
2. Melakukan evaluasi subjektif dengan cara menanyakan perasaan klien setelah
berinteraksi dengan perawat.

3. Menyepakati tindak lanjut terhadap interaksi yang telah dilakukan. Tindak lanjut
yang disepakati harus relevan dengan interaksi yang baru saja dilakukan atau
dengan interaksi yang akan dilakukan selanjutnya. Tindak lanjut dievaluasi dalam
tahap orientasi pada pertemuan berikutnya.

2.5.6 Sikap Dalam Melakukan Komunikasi Terapeutik

Egan (1998) dalam Kozier,et.al (2004), telah menggambarkan lima cara yang
spesifik untuk menunjukkan kehadiran secara fisik ketika melaksanakan komunikasi
terapeutik, yang ia definisikan sebagai sikap atas kehadiran atau keberadaan terhadap
orang lain atau ketika sedang berada dengan orang lain. Berikut adalah tindakan atau
sikap yang dilakukan ketika menunjukkan kehadiran secara fisik :

1. Berhadapan dengan lawan bicara

Dengan posisi ini perawat menyatakan kesiapannya (“saya siap untuk anda”).

2. Sikap tubuh terbuka; kaki dan tangan terbuka (tidak bersilangan)

Sikap tubuh yang terbuka menunjukkan bahwa perawat bersedia untuk mendukung
terciptanya komunikasi.

3. Menunduk/memposisikan tubuh kearah/lebih dekat dengan lawan bicara

Hal ini menunjukkan bahwa perawat bersiap untuk merespon dalam komunikasi
(berbicara-mendengar).
4. Pertahankan kontak mata, sejajar, dan natural

Dengan posisi mata sejajar perawat menunjukkan kesediaannya untuk


mempertahankan komunikasi.

5. Bersikap tenang

Akan lebih terlihat bila tidak terburu-buru saat berbicara dan menggunakan
gerakan/bahasa tubuh yang natural.

2.6 Teknik-teknik Komunikasi Terapeutik pada Balita


2.6.1. Teknik Verbal
1. Melalui orang lain atau pihak ketiga
Cara berkomunikasi ini pertama dilakukan oleh anak dalam menumbuhkan
kepercayaan diri anak, dengan menghindari secara langsung berkomunikasi dengan
melibatkan orang tua secara langsung yang sedang berada di samping anak. Selain itu
dapat digunakan cara dengan memberikan komentar tentang mainan, baju yang sedang
dipakainya serta hal lainnya, dengan catatan tidak langsung pada pokok pembicaraan.
2. Bercerita
Melalui cara ini pesan yang akan disampaikan kepada anak dapat mudah
diterima, mengingat anak sangat suka sekali dengan cerita, tetapi cerita yang
disampaikan hendaknya sesuai dengan pesan yang akan disampaikan, yang dapat
diekspresikan melalui tulisan maupun gambar.
3. Memfasilitasi
Memfasilitasi anak adalah bagian cara berkomunikasi, melalui ini ekspresi
anak atau respon anak terhadap pesan dapat diterima. Dalam memfasilitasi kita harus
mampu mengekspresikan perasaan dan tidak boleh dominan, tetapi anak harus
diberikan respons terhadap pesan yang disampaikan melalui mendengarkan dengan
penuh perhatian dan jangan merefleksikan ungkapan negatif yang menunjukkan kesan
yang jelek pada anak.
4. Biblioterapi
Melalui pemberian buku atau majalah dapat digunakan untuk mengekspresikan
perasaan, dengan menceritakan isi buku atau majalah yang sesuai dengan pesan yang
akan disampaikan kepada anak.
5. Meminta untuk menyebutkan keinginan
Ungkapan ini penting dalam berkomunikasi dengan anak, dengan meminta
anak untuk menyebutkan keinginan dapat diketahui berbagai keluhan yang dirasakan
anak dan keinginan tersebut dapat menunjukkan perasaan dan pikiran anak pada saat
itu.
6.Pilihan pro dan kontra
Penggunaan teknik komunikasi ini sangat penting dalam menentukan atau
mengetahui perasaan dan pikiran anak, dengan mengajukan pasa situasi yang
menunjukkan pilihan yang positif dan negatif sesuai dengan pendapat anak.
7. Penggunaan skala
Penggunaan skala atau peringkat ini digunakan dalam mengungkapkan
perasaan sakit pada anak seperti penggunaan perasaan nyeri, cemas, sedih dan lain-
lain, dengan menganjurkan anak untuk mengekspresikan perasaan sakitnya.

2.6.2. Teknik Non Verbal


Teknik komunikasi non verbal dapat digunakan pada balita seperti :
1. Menulis
Menulis adalah suatu alternatif pendekatan komunikasi bagi anak, remaja muda
dan pra remaja. Untuk memulai suatu percakapan perawat dapat memeriksa/
menyelidiki tentang tulisan dan mungkin juga meminta untuk membaca beberapa
bagian. Dengan menulis anak-anak lebih riil dan nyata.
2. Menggambar
Menggambar adalah salah satu bentuk komunikasi yang berharga melalui
pengamatan gambar. Dasar asumsi dalam menginterpretasi gambar adalah bahwa anak-
anak mengungkapakan tentang dirinya. Untuk mengevaluasi sebuah gambar
utamakan/fokuskan pada unsur-unsur sebagai berikut :
a. Ukuran dari bentuk badan individu, ini mengekspresikan orang penting
b. Urutan bentuk gambar, mengekspresikan prioritas kepentingan
c. Posisi anak terhadap anggota keluarga lainnya, mengekspresikan perasaan anak
terhadap status dalam keluaraga atau ikatan keluarga
d. Bagian adanya hapusan, bayangan atau gambar silang, mengekspresikan
ambivalen/ pertentangan, keprihatinan atau kecemasan pada hal- hal tertentu.
3. Gerakan gambar keluarga
Menggambarkan suatu kelompok, berpengaruh pada perasaan anak-anak dan
respon emosi, dia akan menggambarkan pikirannya tentang dirinya dan anggota
keluarga yang lainnya. Gambar kelompok yang paling berharga bagi anak adalah
gambar keluarga.
4. Sosiogram
Menggambar tak perlu dibatasi bagi anak- anak, dan jenis gambar yang berguna
bagi anak- anak seusia 5 tahun adalah sosiogram (gambar ruang kehidupan) atau
lingkungan keluarga. Menggambar suatu lingkaran adalah untuk melambangkan orang-
orang yang hampir mirip dalam kehidupan anak, dan gambar bundaran- bundaran
didekat lingkaran menunjukkan keakraban/ kedekatan.
5. Menggambar bersama dalam keluarga
Salah satu teknik yang berguna dan dapat diterapkan pada anak- anak adalah
menggambar bersama dalam keluarga. Menggambar bersama dalam keluarga
merupakan satu alat yang berguna untuk mengungkapkan dinamika dan hubungan
keluarga.

6. Bermain
Bermain merupakan salah satu cara yang paling efektif untuk berhubungan
dengan anak. Dengan bermain dapat dikumpulkan petunjuk mengenai tumbuh kembang
fisik, intelektual dan sosial. Terapeutik play sering digunakan untuk mengurangi trauma
akibat sakit atau masuk rumah sakit atau untuk mempersiapkan anak sebelum dilakukan
prosedur medis/ perawatan.
Diatas telah dijelaskan beberapa teknik komunikasi terapeutik pada umumnya,
sedangkan cara yang perlu diterapkan saat melakukan komunikasi terapeutik dengan
pasien balita, antara lain : (Mundakir, 2005 : 153-154)
1. Nada suara, diharapkan perawat dapat berbicara dengan nada suara yang rendah
dan lambat. Agar pasien anak jauh lebih mengerti apa yang ditanyakan oleh
perawat.
2. Mengalihkan aktivitas, pasien anak yang terkadang hiperaktif lebih menyukai
aktivitas yang ia sukai, sehingga perawat perlu membuat jadwal yang bergantian
antara aktivitas yang pasien anak sukai dengan aktivitas terapi atau medis.
3. Jarak interaksi, diharapkan perawat dapat mempertahankan jarak yang aman saat
berinteraksi dengan pasien anak.
4. Kontak mata, diharapkan perawat dapat mengurangi kontak mata saat mendapat
respon dari pasien anak yang kurang baik, dan kembali melakukan kontak mata
saat kira-kira pasien anak sudah dapat mengontrol perilakunya.
5. Sentuhan, jangan pernah menyentuh anak tanpa izin dari si anak.

Komunikasi dengan anak merupakan sesuatu yang penting dalam menjaga


hubungan dengan anak,melalui komunikasi ini pula perawat dapat memudahkan
mengambil berbagai data yang terdapat pada diri anak yang selanjutnya digunakan dalam
penentuan masalah keperawatan atau tindakan keperawatan.

2.7 Tahap Perkembangan Balita

1. Usia 0 – 8 Minggu

Perkembangan Kemampuan Berbicara dan Bahasa

Pada masa awal, seorang bayi akan mendengarkan dan mencoba mengikuti suara
yang didengarnya. Sebenarnya tidak hanya itu, sejak lahir ia sudah belajar mengamati dan
mengikuti gerak tubuh serta ekspresi wajah orang yang dilihatnya dari jarak tertentu.

Meskipun masih bayi, seorang anak akan mampu memahami dan merasakan
adanya komunikasi dua arah dengan memberikan respon lewat gerak tubuh dan suara.
Sejak dua minggu pertama, ia sudah mulai terlibat dengan percakapan, dan pada minggu
ke-6 ia akan mengenali suara sang ibu, dan pada usia 8 minggu, ia mulai mampu
memberikan respon terhadap suara yang dikenalinya.

2. Usia 8 – 24 Minggu

Perkembangan Kemampuan Berbicara dan Bahasa

Tidak lama setelah seorang bayi tersenyum, ia mulai belajar mengekspresikan


dirinya melalui suara-suara yang sangat lucu dan sederhana, seperti ‘eh’, ‘ah’, ‘uh’, ‘oh’
dan tidak lama kemudian ia akan mulai mengucapkan konsonan seperti ‘m’, ‘p’, ‘b’, ‘j’
dan ‘k’. Pada usia 12 minggu, seorang bayi sudah mulai terlibat pada percakapan
“tunggal” dengan menyuarakan ‘gaga’, ‘ah goo’, dan pada usia 16 minggu, ia makin
mampu mengeluarkan suara seperti tertawa atau teriakan riang, dan bublling. Pada usia 24
minggu, seorang bayi akan mulai bisa menyuarakan ‘ma’, ‘ka’, ‘da’ dan sejenisnya.
Sebenarnya banyak tanda-tanda yang menunjukkan bahwa seorang anak sudah mulai
memahami apa yang orang tuanya atau orang lain katakan. Lucunya, anak-anak itu akan
bermain dengan suaranya sendiri dan terus mengulang apa yang didengar dari suaranya
sendiri.

3. Usia 28 Minggu – 1 Tahun

Perkembangan Kemampuan Berbicara dan Bahasa

Usia 28 minggu seorang anak mulai bisa mengucapkan ‘ba’, ‘da’, ‘ka’ secara jelas
sekali. Bahkan waktu menangis pun vokal suaranya sangat lantang dan dengan penuh
intonasi. Pada usia 32 minggu, ia akan mampu mengulang beberapa suku kata yang
sebelumnya sudah mampu diucapkannya. Pada usia 48 minggu, seorang anak mulai
mampu sedikit demi sedikit mengucapkan sepatah kata yang sarat dengan arti. Selain itu,
ia mulai mengerti kata “tidak” dan mengikuti instruksi sederhana seperti ‘bye-bye’ atau
main ‘ciluk-baa’. Ia juga mulai bisa meniru bunyi binatang seperti ‘guk’, ‘kuk’, ‘ck’..

4. Usia 1 Tahun – 18 Bulan

Perkembangan Kemampuan Berbicara dan Bahasa


Pada usia setahun, seorang anak akan mampu mengucapkan dua atau tiga patah
kata yang punya makna. Sebenarnya, ia juga sudah mampu memahami sebuah obyek
sederhana yang diperlihatkan padanya. Pada usia 15 bulan, anak mulai bisa mengucapkan
dan meniru kata yang sederhana dan sering didengarnya untuk kemudian
mengekspresikannya pada porsi/ situasi yang tepat. Usia 18 bulan, ia sudah mampu
menunjuk obyek-obyek yang dilihatnya di buku dan dijumpainya setiap hari. Selain itu ia
juga mampu menghasilkan kurang lebih 10 kata yang bermakna.

5. Usia 18 Bulan – 2 Tahun

Perkembangan Kemampuan Berbicara dan Bahasa

Pada rentang usia ini, kemampuan bicara anak semakin tinggi dan kompleks.
Perbendaharaan katanya pun bisa mencapai 30 kata dan mulai sering mengutarakan
pertanyaan sederhana, seperti ‘mana ?’, ‘dimana?’ dan memberikan jawaban singkat,
seperti ‘tidak’, ‘disana’, ‘disitu’, ‘mau’. Pada usia ini mereka juga mulai menggunakan
kata-kata yang menunjukkan kepemilikan, seperti ‘punya ani’, ‘punyaku’. Bagaimana pun
juga, sebuah percakapan melibatkan komunikasi dua belah pihak, sehingga anak juga
akan belajar merespon setelah mendapatkan stimulus. Semakin hari ia semakin luwes
dalam menggunakan kata-kata dan bahasa sesuai dengan situasi yang sedang dihadapinya
dan mengutarakan kebutuhannya. Namun perlu diingat, oleh karena perkembangan
koordinasi motoriknya juga belum terlalu sempurna, maka kata-kata yang diucapkannya
masih sering kabur, misalnya ‘balon’ jadi ‘aon’, ‘roti’ jadi ‘oti’.

6. Usia 2 Tahun – 3 Tahun

Perkembangan Kemampuan Berbicara dan Bahasa

Seorang anak mulai menguasai 200 – 300 kata dan senang bicara sendiri
(monolog). Sekali waktu ia akan memperhatikan kata-kata yang baru didengarnya untuk
dipelajari secara diam-diam. Mereka mulai mendengarkan pesan-pesan yang penuh
makna, yang memerlukan perhatian dengan penuh minat dan perhatian. Perhatian mereka
juga semakin luas dan semakin bervariasi. Mereka juga semakin lancar dalam bercakap-
cakap, meski pengucapannya juga belum sempurna. Anak seusia ini juga semakin tertarik
mendengarkan cerita yang lebih panjang dan kompleks. Jika diajak bercakap-cakap,
mudah bagi mereka untuk loncat dari satu topik pembicaraan ke yang lainnya. Selain itu,
mereka sudah mampu menggunakan kata sambung “sama”, misalnya “ani pergi ke pasar
sama ibu”, untuk menggambarkan dan menyambung dua situasi yang berbeda. Pada usia
ini mereka juga bisa menggunakan kata “aku”, “saya”, “kamu” dengan baik dan benar.
Dengan banyaknya kata-kata yang mereka pahami, mereka semakin mengerti perbedaan
antara yang terjadi di masa lalu, masa kini dan masa sekarang.

7. Usia 3 – 4 Tahun

Perkembangan Kemampuan Berbicara dan Bahasa

Anak mulai mampu menggunakan kata-kata yang bersifat perintah; hal ini juga
menunjukkan adanya rasa percaya diri yang kuat dalam menggunakan kata-kata dan
menguasai keadaan. Mereka senang sekali mengenali kata-kata baru dan terus berlatih
untuk menguasainya. Mereka menyadari, bahwa dengan kata-kata mereka bisa
mengendalikan situasi seperti yang diinginkannya, bisa mempengaruhi orang lain, bisa
mengajak teman-temannya atau ibunya. Mereka juga mulai mengenali konsep-konsep
tentang kemungkinan, kesempatan, dengan “andaikan”, “mungkin”, “misalnya”, “kalau”.
Perbendaharaan katanya makin banyak dan bervariasi seiring dengan peningkatan
penggunaan kalimat yang utuh. Anak-anak itu juga makin sering bertanya sebagai
ungkapan rasa keingintahuan mereka, seperti “kenapa dia Ma?”, “sedang apa dia Ma?”,
“mau ke mana?”
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari penjelasan diatas, maka dapat kami simpulkan bahwa :
1. Komunikasi terapeutik pada balita adalah komunikasi yang dilakukan antara perawat
dan klien (balita), yang direncanakan secara sadar , bertujuan dan kegiatannya
dipusatkan untuk kesembuhan balita.
2. Tujuan yang diharapkan dalam melakukan komunikasi terapeutik pada balita adalah
membantu klien untuk memperjelas dan mengurangi beban
perasaan dan pikiran, mengurangi keraguan, membantu dalam hal mengambil
tindakan yang efektif dan mempertahankan kekuatan egonya, mempengaruhi orang
lain, lingkungan fisik dan dirinya sendiri.
3. Prinsip-prinsip komunikasi terapeutik, diantaranya seperti berpegang pada etika,
komunikasi harus ditandai dengan sikap saling menerima percaya,dan menghargai,
perawat harus memahami dan menghayati nilai yang dianut oleh klien, perawat harus
menyadari pentingnya kebutuhan klien baik fisik maupun mental.
4. Cara komunikasi terapeutik yang perawat lakukan saat menghadapi pasien balita
seperti posisi badan, jarak interaksi, kontak mata, nada suara saat berbicara, sentuhan,
dan pengalihan aktivitas dapat membuat pasien balita merasa nyaman dan aman akan
keberadaan perawat.
6. Beberapa karakteristik seorang perawat yang dapat memfasilitasi tumbuhnya
hubungan yang terapeutik, diantaranya seperti kejujuran, tidak membingungkan dan
cukup ekspresif, bersikap positif, empati bukan simpati, mampu melihat
permasalahan dari pandanga klien.
Naskah Role Play

D : Dokter : Dwinanda

I : Ibu Balita A : Laurensia

P : Perawat : Aprisella

A : Ahli Gizi : Maulana

B : Balita A : Maria

Pada malam hari sekitar pukul 23.00 WIB balita A dilarikan kerumah sakit dikabupaten Solo
dengan keluhan mengalami demam naik turun, sudah 2 hari dan disertai mual dan muntah.

D : Suster tolong pasangkan infus kepada adik ini ya ?

P : Baik dok akan saya segera pasangkan (mempersiapkan infus set)

D : (Dokter terlihat mennenengkan balita M yang sedari tadi menangis) Sudah ya jangan
nangis lagi (tersenyum).

I : Iya sudah jangan nangis lagi ibu disini, ibu akan menemani kamu.

B : Aku gak mau diinfus? Katanya teman-temanku diinfus itu sakit.

P : Adik ini enggak sakit kok. (sambil tersenyum kepada balita M).

B : Iya itu sakit (sambil menangis dan ketakutan).

P : Nanti adik kalau enggak dipasangkan infus sakit adik enggak sembuh-sembuh lo.

I : Iya nak , kamu harus nurut sama perawatnya ya, ibu janji jika kamu mau diinfus ibu akan
beliin kamu boneka yang sangat besar.

B : Beneran bu ?

I : Iya ibu janji, nanti ibu beliin.

B : Iya udah aku mau diinfus.

P : Nah begitu dong kalau begini nanti sakit adik bisa sembuh secepatnya.
Infus pun terpasang, lalu perawat mengantarkan pasien keruang perawatan.

P : Bu nanti kalau ada apa-apa ibu bisa memencet tombol disamping tempat tidur itu ya, atau
bisa mencari saya diruang perawat.

I : Iya Sus.

Keesokan harinya Perawat dan dokter pergi memeriksa keaadan balita A

D : Hallo adik selamat pagi ? Bagaimana keadaan adik ?

B : Pagi, tidak baik ?

D : Dokter periksa ya ?

B : Iya dok.

D : Bu ini anaknya tadi malam masih demam apa tidak ?

I : Tadi malam sempat demam tinggi lagi dok.

D : Sus tolong diambil darahnya kita lakukan pemeriksaan lab.

P : Baik dok akan saya lakukan .

Setelah dilakukan pemeriksaan lab , hasilnyapun sudah keluar dan dokter memanggil ibu
balita M untik mendiksusikan keadaan balita M.

I : Selamat siang dok ( sambil membuka pintu ).

D : Siang juga bu silahkan duduk.

I : Maaf sebelumnya dok, ada perlu apa dokter memanggil saya kessini.

D : Begini bu maksud saya memanggil ibu kesini untuk memberitahukan keadaan balita M.

I : Anak saya kenapa dok ( cemas san panik ).

D : Begini bu balita M mengidap penyakit DBD!


I : Astaga, kenapa itu dapat terjadi pada anak saya dok, padahal saya selalu menjaga anak saya
dengan baik saya juga sangat memperhatikan makanan yang dikonsumsi anak saya.

D : Itu dapat terjadi karena faktor lingkungan sekitar yang kususnya tempat tinggal yang kotor
dan banyak genangan air.

I : Genangan air dok ?

D : Iya bu karena genangan-gennagan air dapat menjadi sarang nyamuk, mungkin karena itu
balita M mengidap penyakit DBD.

I : Dok tolong sembuhkan anak saya dok, berapapun biaya perawatannya saya bayar dok yang
penting anak saya dapat sembuh dan dapat beraktivitas seperti semula.

D : Memang itu sudah menjadi tugas saya bu.

I : Kalau begitu terimakasih dok

D : Iya bu sama-sama.

Keesokan harinya perawat datang membawa resep dari dokter, yang ditujukan untuk balita
M.

P : Selamat pagi ?

I : Selamat pagi juga sus

P : Hallo adik bagaiman kabarnya ?

B : (Tanpa jawaban)

I : Dijawab dong dik, kalau susuternya nanya.

B : Pagi sus.

I : Nah begitu dong itu baru anak ibu . Sus ada apa ya suster datang kemari ?

P : Begini bu saya kesini ingin bermaksud mengantarkan resep obat dari dokter untuk penyakit
balita M.

I : Oh terimakasih ya sus sudah repot-repot mengantarkan.


P : Iya sama-sama bu, itu sudah kewajiban saya bu.

Lalu perawat datang keruangan ahli gizi untuk mendiskusikan makanan yang cocok untuk
balita M.

P : ( mengetuk pintu ) Assalamu’alaikum selamat siang ?

A : Wassalamu’alaikum, selamat siang! Ada apa ya ?

P : Begini saya datang kemari bermaksud untuk mendiskusikan program terapi makanan yang
cocok unuk klien saya.

A : Kalau boleh tau kalien anda mengidap penyakit apa ya ?

P : DBD

A : Usiannya berapa ya ?

P : 4 tahun.

A : Begini makanan yang cocok untuk penderita DBD antara lain karbohidrat atau dapat
diberikan bubur karena bubur merupakan makanan yang lunak mampu dicerna dengan mudah
oleh pencernaan sehingga cocok untuk balita.

P : Lalu untuk minumannya bagaiman ?

A : Untuk minumannya dapat diberikan jus buah kususnya buah yang banyak mengandung
vitamin C, kita tahu sendiri bahwa vitamin C dapat merangsang pembentukanan hormon
adrenal.

P : Kalau begitu terimakasih ya, selamat siang

A : iya sama-sama, siang juga .

SELESAI

Anda mungkin juga menyukai