Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Syari’at Islam diturunkan dengan tujuan mewujudkan kesejahteraan

manusia (maslahah) dalam segala aspek kehidupan di dunia maupun akhirat,

sebagai risalah terakhir yang di bawa Rasul akhir zaman. Al-Qur’an

merupakan sumber dari syari’at Islam (sourse of law), sekaligus Undang

Undang (legal formal) yang mengatur kehidupan manusia baik kehidupan

vertikal kepada sang Khaliq, maupun hubungan horizontal antar sesama

makhluk-Nya. Al-Qur’an dengan berbagai keistimewaan dapat memecahkan

berbagai problem-problem kemanusiaan dalam berbagai segi kehidupan, baik

rohani, jasmani, sosial, ekonomi maupun politik dengan pemecahan yang

bijaksana1.
Penetapan hukum dalam syari’at Islam selalu berorientasi pada aspek

maslahat (termasuk menghilangkan kesulitan) yang didasarkan kepada tujuan

hukum itu ditetapkan, yang terangkum dalam al-Maqasid as-Syariah. Begitu

juga dengan konteks Indonesia yakni dalam sebuah negara terdapat sebuah

aturan atau hukum yang mengatur tentang kehidupan manusia, yang tercantum

dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Pada

dasarnya aturan sebuah hukum tidak lepas dari Undang-undang yang

mengatur adanya peraturan Undang-undang perkawinan. Tujuan dan pertama

dari akad perkawinan ialah untuk memperoleh keturunan dalam rangka

membentuk keluarga (rumah tangga) bahagia dan kekal. Sehingga dengan

adanya Undang-undang perkawinan ini akan terarah sebagaimana mestinya


dan dapat dijadikan rujukan dasar dalam melaksanakan perkawinan di

Indonesia, sehingga tidak menyimpang dari aturan yang berlaku. Perkawinan

ialah ikatan lahir batin antara seseorang pria dan seorang wanita sebagai suami

istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia

dan kekal, berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.2


Salah satu dari syarat-rukun dalam perkawinan adalah keberadaan wali.7

Karena setiap wali memberikan bimbingan, dan kemaslahatan terhadap orang

yang berada di bawah perwalianya. Fuqaha telah mengklasifikasikan wali ini

menjadi beberapa bagian : Pertama, ditinjau dari sifat kewalian terbagi

menjadi wali nasab (wali yang masih mempunyai hubungan keluarga dengan

pihak wanita) dan wali hakim. Kedua, ditinjau dari keberadaanyaa terbagi

menjadi wali aqrab (dekat) dan wali ab’ad (jauh) Ketiga, ditinjau dari

kekuasaanya terbagi menjadi wali mujbir dan ghairu mujbir.8


Dari klasifikasi di atas, wali mujbir menjadi kontroversi di antara para

imam mazhab. Dalam hal ini pengertian wali mujbir adalah hak ijbar wali

(Bapak dan Kakek) untuk memaksa menikahkan seorang wanita tanpa

persetujuan dari wanita yang bersangkutan9. Dengan adanya konsep ini, ada

kemungkinan terjadi perkawinan tanpa persetujuan dari calon mempelai,

dengan syarat walinya adalah bapak atau kakek.


Berbeda halnya dengan Undang-undang perkawinan Indonesia, tentang

syarat-syarat perkawinan berkaitan dengan keberadaan wali, secara eksplisit

memang tidak menyebutkan adanya wali mujbir namun dalam sebuah

perkawinan mengharuskan adanya persetujuan wali.10 Dengan kata lain, tidak

ada unsur paksaan dari siapapun dalam sebuah perkawinan dan perkawinan

tanpa adanya wali adalah tidak sah. Berkaitan dengan wali mujbir, Menurut
Mahmud Yunus wali mujbir artinya, wali yang boleh memaksakan perkawinan

kepada anaknya sehingga ia boleh mengawinkan anak perempuannya dengan

tiada meminta izin terlebih dahulu kepada anaknya.11


Menurut Imam Syafi’i, Lais bin Sa’ad, ibn Abi Laila, Ishaq bin Rahawih,

Imam Ahmad, dan Imamiyah berpendapat bahwa ayah sah menikahkan anak

gadisnya yang dewasa dan cerdas walaupun tanpa persetujuannya.12 Dalam

UU No. 1 tahun 1974 pada BAB 11 Pasal 6 disebutkan bahwa perkawinan

didasarkan atas persetujuan calon mempelai dan batas kedewasaan seseorang

untuk melangsungkan perkawinan adalah 21 tahun, selanjutnya dinyatakan

bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun, harus mendapat

izin dari orang tua sebagaimana diatur dalam pasal 6 ayat (2) (3) (4)dan (5).
Permasalahan ijbar jadi pembicaraan serius para intelektual muslim

kontemporer dan masyarakat indonesia. Dalam realitas masyarakat sekarang,

banyak wanita yang sudah terbiasa melakukan transaksi, pekerjaan publik

(karier), menghidupi keluarga ataupun dirinya sendiri, sekolah dan kuliah. Hal

ini menunjukan kapabilitas wanita dalam memikul tanggung jawab

berdasarkan akal dan kedewasaan. Namun masih ada (banyak) wanita yang

dijodohkan, dipilihkan, bahkan dipaksa oleh orang tua (wali). Tidak sedikit

dari perkawinan tersebut yang dilakukan terhadap wanita pada usia belasan

tahun, akan tetapi mereka tidak mampu menolak karena dipaksa oleh para

wali mereka, dengan alasan bahwa hak ijbar dibolehkan syariat. Penolakan

mereka secara nyata karena tidak adanya kecocokan dengan laki-laki yang

akan dicalonkan, masih kecil, ingin meneruskan sekolah atau kuliah, telah

mempunyai pilihan sendiri dan sebagainya, tidak memberikan pengaruh


signifikan bagi wali. Adapun contoh hak ijbar Imam Syafi’i adalah dalam

hadis dinyatakan bahwasanya “janda lebih berhak atas dirinya dibanding

walinya, sedangkan perawan dimintakan persetujuan atas dirinya”


B. Rumusan Masalah
Dari deskripsi latar belakang diatas, rumusan masalah yang hendak dikaji

adalah sebagai berikut:


1. Bagaimana pandangan Imam Syafi’i tentang hak ijbar wali dalam

perkawinan?
2. Bagaimana pandangan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang hak

ijbar wali dalam perkawinan?


C. Tujuan
Tujuan yang diharapkan dalam penelitian ini adalah :
a. Untuk mengetahui bagaimana pandangan Imam Syafi’I tentang hak ijbar

wali dalam perkawinan.


b. Untuk mengetahui bagaimana pandangan Undang-Undang No. 1 Tahun

1974 tentang hak ijbar wali dalam perkawinan.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Biografi Imam al-Syafi’i
Imam al-Syafi’i lahir di Gaza, Pelestina pada tahun 150 H/767 M dan

meninggal dunia di Fusfat (Kairo) Mesir pada tahun 204 H /20 januari M. ia

adalah Ulama mujtahid (ahli ijtihad) dibidang fiqh dan salah seorang dari

empat Imam Mazhab yang terkenal dalam Islam. Ia hidup dimasa

pemerintahan khalifah Harun ar-Rasyid al-Amin dan al-Ma’mun dari Dirasti

Abbasiyah.1 Dia lahir di Gaza pada tahun wafatnya Abu Hanifah. Berkenaan

dengan garis keturunannya mayoritas sejarawan berpendapat bahwa ayah al-

Syafi’i berasal dari Bani Muthalib, suku Quraisy, silsilah nasabnya adalah

Muhammad ibn Idris ibn Abbas ibn ustman ibn Syafi’i ibn Saib ibn Abid ibn
Abdul Yazid Ibnu Hisyam ibn Muthalib ibn Abdul Manaf. Nasab al-Syafi’i

bertemu dengan Rasulullah SAW di Abdul Manaf.


Kata al-Syafi’i dinisbahkan kepada nama kakeknya yang ketiga, yaitu al-

Syafi’i ibn as-Sa’ib ibn Abid ibn Abd Yazid ibn Hasyim ibn al-Muthalib ibn

Abd Manaf, Abdul Manaf ibn Qusay kakek kesembilan dari Imam al-Syafi’i

adalah Abdul Manaf ibn Qusay kakek keempat dari Nabi Muhammad SAW,

jadi nasab Imam al-Syafi’i bertemu dengan Muhammad SAW pada Abdul

Manaf.4 Sedangkan ibunya bernama Fatimah binti Abdullah ibn al-Husain ibn

Ali ibn Abi Thalib. Ia adalah cicit dari Ali ibn Abi Thalib, Dengan demikian

kedua orang tua Imam al Syafi’i berasal dari bangsawan Arab Qurasy.
Kedua orang tuanya meninggalkan Mekkah menuju Gaza, Palestina,

ketika ia masih dalam kandungan. Tiada berapa lama setelah tiba di Gaza

ayahnya jatuh sakit dan meninggal dunia. Beberapa bulan sepeninggalannya

ayahnya ia dilahirkan dalam keadaan yatim . Imam Al-Syafi’i diasuh dan

dibesarkan oleh ibunya sendiri dalam kehidupan yang sangat sederhana,

setelah Imam al-Syafi’i berumur dua tahun ibunya membawanya pulang ke

kampung asalnya mekkah, disinilah Imam Syafi’i tumbuh dan dibesarkan.

Meskipun begitu pada usia 9 tahun beliau sudah dapat menghafal al-Qur’an 30

juz diluar Kepala dengan lancarnya. Imam al-Syafi’i Setelah dapat menghafal

al-Qur’an Imam Syafi’i berangkat ke dusun Badui Banu Hudzail untuk

mempelajari bahasa arab yang asli dan fasih. Di sana selama bertahun-tahun

Imam al-Syafi’i mendalami bahasa. Kesusastraan, dan adat istiadat arab yang

asli. Berkat ketekunannya dan kesungguhannya Imam al-Syafi’i kemudian


dikenal sangat ahli bahasa dan kesusastraan arab, mahir dalam membuat syair,

serta mendalami adat istiadat arab yang asli.


An-Nawawy berkata,”ketahuilah bahwa sesungguhnya Imam al-Syafi’i

adalah termasuk manusia pilihan yang mempunyai akhlak mulia dan

mempunyai peran yang sangat penting. Pada diri Imam al-Syafi’i terkumpul

berbagai macam kemuliaan karunia Allah, diantarannya : Nasab yang suci

bertemu dengan nasab Rasulullah dalam satu nasab dan garis keturunan yang

sangat baik, semua itu merupakan kemuliaan yang paling tinggi yang tidak

ternilai dengan materi. Oleh karena itu Imam al-Syafi’i selain tempat

kelahirannya mulia ia juga terlahir dari nasab yang mulia. Dia dilahirkan di

Baitul Maqdis dan tumbuh di tanah suci Mekkah. Di mekkah dia mulai

menimba ilmu, setelah itu dia pindah ke Madinah ke Baghdad dua kali. Dan

akhirnya menetap di mesir tahun 199 Hijriah dan menetap disana hingga akhir

hayatnya.
Tepat pada Hari Kamis malam jum’at tanggal 29 rajab 204 H (820 M).

Ar- Rabi’ ibn sulaiman berkata,”Imam al-Syafi’i meninggal pada malam

jum’at setelah maghrib. Pada waktu itu, aku sedang berada disampingnya,

jasadnya dimakamkan pada hari jum’at setelah ashar, hari terakhir dibulan

Rajab. Ketika kami pulang dari mengiring jenazahnya kami melihat Hilal

bulan Sya’ban tahun 204 Hijriah.


B. Murid-Murid dan Karya-Karya Imam al-Syafi’i
Setelah sekian lama mengembara menuntut ilmu pada tahun 186 H.

Imam al-Syafi’i kembali ke Mekkah, dan di masjidil Haram ia mulai mengajar

dan mengembangkan ilmunya serta berijtihad secara mandiri dalam rangka

menyampaikan hasil-hasil ijtihadnya ia tekuni dengan berpindah-pindah


tempat, ia juga mengajar di Baghdad (195-197 H), dan di Mesir (198-204 H).

Dengan demikian ia sempat membentuk kader-kader yang akan

menyebarluaskan ide-idenya danbergerak dalam bidang hukum islam.


Sebagai ulama yang tempat mengajarnya berpindah-pindah al-Syafi’i

mempunyai al-ribuan murid yang berasal dari berbagai penjuru, diantara yang

terkenal adalah : ar-Rabi’ ibn sulaiman al-Marawai, Abdullah ibn zubair al-

Hamidi, Yusuf ibn Yahya ibn Buwaiti, Abu Ibrahim, Isma’il ibn Yahya al-

Mujazani, Yunus ibn Abdul A’la as-Sadafi, Ahmad ibn Sibti, Yahya ibn Wazir

al Misri, Harmalah ibn Yahya Abdullah at-Tujaibi, Ahmad ibn Hambal, hasan

ibn Ali al-Karabisi, Abu Saur Ibrahim ibn Khalid Yamani al-Kalibi, Hasan ibn

Ibrahim ibn Muhammad as-Sahab az-ja’farani. Mereka semua berhasil

menjadi ulama besar dimasanya.


Imam al-Syafi’i adalah profil ulama yang tekun dan berbakat dalam

menulis, al-Baihaqi mengatakan bahwa Imam al-Syafi’i telah menghasilkan

sekitar 140 an kitab, baik dalam ushul maupun dalam furu’ (cabang).

Sedangkan menurut Fuad Sazkin dalam pernyataannya yang secara ringkasnya

bahwa kitab karya Imam al-Syafi’i jumlahnya mencapai 113-140 kitab.

19membagi karya Imam al-Syafi’i menjadi dua bagian yaitu al qadim dan al

hadits. Al- Qadim adalah kitab-kitab karyanya yang ditulis ketika imam al-

Syafi’i berada di Baghdad dan Mekkah, sedangkan al Hadist adalah kitab-

kitab karyanya yang ditulis ketika berada di mesir. Diantara kitab yang

termashur dari hasil karyanya adalah..


1. Ar-Risalah
Kitab ini disusun berkaitan dengan kaidah-kaidah ushul fiqh yang

didalamnya diterangkan mengenai pokok-pokok pegangan Imam Syafi’i

dalam meng istimbathkan suatu hukum.


2. Al-Umm
Kitab induk ini berisikan hasil-hasil ijtihad Asy-Syafi’i yang telah

dikodifikasikan dalam bentuk juz dan jilid yang membahas masalah

Thaharah, Ibadah, Amaliyah, Munakahat dan lain-lain sebagainya.

3. Ikhtilaf al-Hadits
Disebut ikhtilaf al-hadits karena di dalamnya mengungkapkan

perbedaan para ulama dalam persepsinya tentang hadits mulai dari sanad

sampai perawi yang dapat di pegangi, termasuk analisisnya tentang hadits

yang menurutnya dapat di pegangi sebagai hujjah.


4. Musnad
Kitab al-musnad isinya hampir sama dengan yang ada didalam kitab

Ikhtilaf al-Hadits, kitab ini juga menggunakan perseolan mengenai hadits

hanya dalam hal ini terdapat kesan bahwa hadits yang disebut dalam kitab

ini adalah hadist yang dipergunakan Imam Syafi’i, khususnya yang

berkaitan dengan fiqh dalam kitab al-Umm, dimana dari segi sanadnya

telah dijelaskan secara jelas dan rinci.


C. Metode Istimbath Hukum Imam Syafi’i
Imam Syafi’i adalah seorang Imam Mazhab yang terkenal dalam sejarah

islam. Seorang pakar ilmu pengetahuan agama yang luas dan memiliki

kepandaian yang luar biasa, sehingga ia mampu merumuskan kaidah-kaidah

pokok yang dapat diyakini sebagai metode istinbath, sebagaimana yang

termaktub dalam karyanya yang terkenal yaitu “ar Risalah”. Kitab ar-Risalah

merupakan sumbangan Imam Syafi’i yang sangat besar dalam dunia

intelektual muslim. Dengan kitab al-Qur’an, as-Sunnah serta teori Imam


Syafi’i tentang prinsip-prinsip jurisprodensi (ushul fiqh) penjabaran hukum

islam dapat diawasi keotentikannya secara obyektif dan sekaligus kreatif

dikembangkan dengan suatu penalaran yang rasional.


Imam Syafi’i apabila hendak memutuskan suatu hukum beliau pertama-

tema mendahulukan tingkatan yang lebih tinggi sebagaimana diterangkan

dalam kitab ar-Risalah, bahwa dasar Imam Syafi’i dalam menetapkan hukum

adalah:
1. Kitab Allah (al-Qur’an).
2. Sunnah Rasul (al-Hadist).
3. Ijma’
4. Qiyas.
Imam Syafi’i sangat mengutamakan dan menyertakan al-hadist sebagai

pemberi penjelasan terhadap al-Qur’an yang sifatnya masih Zanni. Oleh

karena itu jumhur membolehkan mentahsis al-Qur’an dengan khabar ahad.

Adapun yang dimaksud dengan hadits ahad adalah hadist yang diriwayatkan

oleh satu orang dari satu orang dan demikian seterusnya sampai ke

sumbernya, yakni Nabi atau sahabat.


Hadist seperti ini tidak dapat menjadi hujjah, kecuali jika orang yang

meriwayatkan terpecaya dalam agamanya, dikenal jujur dalam periwayatan,

memahami apa yang diriwayatkan, menyadari sesuatu lafadz yang mungkin

dapat mengubah arti hadist, dan hendaknya cakap meriwayatkan hadist kata

demi kata sebagaimana yang ia dengar dan bukan hanya meriwayatkan

maksudnya, sebab apabila ia hanya meriwayatkan maksudnya dan tidak

menyadari apa yang mungkin dapat mengubah artinya, tidak diketahui jelas,

mungkin dia telah mengubah yang halal kepada yang haram atau sebaliknya.

Di samping itu mereka (jumhur) mengemukakan alasan bahwa perintah Allah

untuk mengikuti Nabi tidak terbatas, karena itu apabila Nabi mengeluarkan
suatu ketentuan umat islam wajib mentaatinya andai kata ketentuan dari Nabi

SAW itu menurut lahirya berlawanan dengan keumuman al-Qur’an, hendaklah

diusahakan untuk mengkompromikannya, ialah mentahsiskan keumumannya,

dan mereka konsekuen dengan pendapatnya bahwa dalalah lafadz ‘am

sebagian satunya adalah zanni..


Menurut Imam Syafi’i ijma’ merupakan hujjah syar’iyyah, karena ketika

Umar bin Khattab berkunjung ke Ahjabiyah, dia berpidato di muka para

sahabat, pada kesempatan itu beliau mengatakan: “Diceritakan dari Abdullah

berkata, bapak saya menceritakan padaku, diceritakan Ali ibn Ishaq berkata

Umar bin Khattab telah berkutbah di hadapan kaum muslimin di Jabiyah

dengan perkataan, Sesunguhnya Rasulallah SAW berdiri seperti berdirinya

aku disini dan bersabda: Berbuat baiklah kepada sahabat-sahabatku kemudian

penerus-penerusnya dan penerus yang selanjutnya, kemudian tersebarlah

kebohongan, kesaksiannya sehingga ada seorang laki-laki untuk memulai

bersaksi sebelum ditanya. Barang siapa yang ingin memperoleh kelapangan di


surga, maka ia harus mengikuti mayoritas ummat, maka sesungguhnya syaitan
beserta orang yang menyendiri, jka seorang bergabung dengan yang lainnya

sehingga menjadi berdua dan seterusnya, maka syaitan semakin menjauh.

Janganlah seorang laki-laki menyendiri dengan seorang wanita, sebab syaitan

akan menjadi teman yang ketiga bagi mereka,dan barang siapa merasa bahagia
dengan amal baiknya dan merasa susah dengan amal buruknya, maka dia

adalah mukmin yang sesungguhnya”.


Menurut Imam Syafi’i yang dimaksud dengan ijma’ adalah

Berkumpulnya ulama disuatu massa tentang hukum syar’i amali dari suatu

dalil yang di peganginya. Kemudian jika tidak terdapat ketentuan hukum

sesuatu secara eksplisit, baik dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah dan tidak
terdapat pula dalam ijma’ (kesepakatan para ulama) maka Imam Syafi’i

mempergunakan istinbath qiyas (analogi). Dalam kitab ar-Risalah Imam-

Syafi’i menyebutkan bahwa semua perseolan yang terjadi dalam kehidupan

seorang muslim tentu ada hukum yang jelas mengikat sekurang-kurangnya

adat ketentuan umum yang menunjukkan kepadanya. Jika tidak, maka

ketentuan hukum itu harus di cari dengan ijtihad dan ijtihad itu tidak lain

adalah qiyas.
Qiyas menurut bahasa berarti menyamakan sesuatu, sedangkan menurut

ahli ushul fiqh adalah mempersamakan hukum sesuatu peristiwa yang tidak

ada nas hukumnya dengan suatu peristiwa yang ada nash hukumnya, karena

persamaan keduanya itu dalam illat hukumnya. Sedangkan illat ialah suatu

sifat yang ada pada ashal (al-ashl) yang sifat itu menjadi dasar untuk

menetapkan hukum ashal serta untuk mengetahui hukum pada fara’ (al-fara’)

yang belum di tetapkan hukumnya. Hikmah hukum berbeda dengan illat

hukum. Hikmah hukum merupakan pendorong pembentukan hukum dan

sebagai tujuannya yang terakhir ialah untuk kemaslahatan manusia di dunia

dan akhirat dengan memperoleh manfaat dan keuntungan serta terhindar dari

segala macam kerusakan. Illat hukumnya suatu sifat yang nyata dan pasti ada

pada suatu peristiwa yang dijadikan dasar hukum.


D. Pengertian Wali
Perwalian dalam istilah fiqh disebut wilayah, yang berarti penguasaan

dan perlindungan. Menurut istilah fiqh yang dimaksud perwalian ialah

penguasaan penuh yang diberikan oleh agama kepada seseorang untuk

menguasai dan melindungi orang atau barang.


Penguasaan dan perlindungan ini disebabkan oleh:
1. Pemilikan atas orang atau barang, seperti perwalian atas budak yang

dimiliki atau barang –barang yang dimiliki.


2. Hubungan kerabat atau keturunan, seperti perwalian seorang atas salah

seorang kerabatnya atau anak-anaknya.


3. Karena memerdekakan seseorang budak, seperti perwalian seseorang atas

budak-budak yang telah dimerdekakanya.


4. Karena pengangkatan, seperti perwalian seseorang kepala negara atas

rakyatnya atau perwalian seorang pemimpin atas orang-orang yang

dipimpinya.
Oleh sebab itu pada garis besarnya, perwalian itu dapat di bagi atas :
1. Perwalian atas orang
2. Perwalian atas barang
3. Perwalian atas orang dalam perkawinannya.
Orang yang diberi kekuasaan perwalian disebut wali, yang akan

dibicarakan di sini ialah yang berhubungan dengan perwalian orang dalam

perkawinannya. Pernikahan merupakan perbuatan yang mulia dan terhormat,

karena pernikahan itu di samping menjadi wadah untuk mengembangkan umat

manusia, lebih jauh lagi pernikahan itu merupakan suatu perbuatan yang

mengandung nilai ibadah.


Sebagai perbuatan yang mulia dan sakral, pernikahan hendaknya

dilaksanakan sesuai dengan aturan dan ketentuan yang telah diatur oleh

syari’at Islam. Dengan demikian, pernikahan dapat di pertanggungjawabkan di

dunia dan di hadapan Allah swt. Untuk itulah dalam pernikahan terdapat

beberapa syarat dan rukun yang mesti dipenuhi apabila seseorang ingin

melaksanakan pernikahan, artinya terpenuhi syarat dan rukun tersebut menjadi

ukuran sahnya pernikahan yang dilaksanakan. Sebaliknya, tidak terpenuhinya

syarat dan rukun pernikahan tersebut, menjadi sebab tidak sahnya pernikahan

yang dilaksanakan.
Adapun yang menjadi rukun dalam pernikahan menurut para ulama
adalah
ََ‫ﺻﻴْـَﻐﺔ‬
‫ﱄ ََوﺷﺎ وَﻫﺪَوانِ َوو ا‬ ‫وواَارَْ َﻛﺎﻧﻪﻪﻪ َ ا‬
‫ﲬَﺴﺔﻪ ََزووجٌ ََوَزَوﺟﺔو ََووو و‬
Artinya : “ Rukun nikah itu ada lima : calon suami, calon isteri, wali, dua

orang saksi, dan sighat (ijab qabul)”


Salah satu di antara rukun nikah itu adalah wali. Wali dalam pernikahan

menempati urutan yang ketiga dalam urutan rukun nikah.


Wali secara etimologi berasal dari kata ‫وﻟﻲ‬- ‫وﻟﻴْﺎ‬- ‫“ وﻻ ﯾﺔ‬yang artinya ialah,

dekat dengan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata wali didefinisikan

dengan : Pengasuh pengantin wanita pada waktu menikah (yaitu melakukan

janji nikah dengan pengantin pria). Sedangkan menurut Kamal Mukhtar dalam

bukunya, azas-azas Hukum Islam tentang Perkawinan, mengatakan bahwa

wali secara bahasa dapat berarti “wilayah, yang berarti: Penguasaan dan

Perlindungan.
Adapun pengertian wali secara terminologis, para ulama memberikan

definisi yang berbeda-beda, namun apabila dicermati dari beberapa definisi itu
mengarah pada satu titik kesimpulan yang saling menguatkan. Untuk lebih
jelasnya, di antara definisi-definisi itu adalah :
1. Abdurrahman Al-Jaziri dalam kitabnya al-Fiqh Ala-Mazhabi al-Arba’ah

mengatakan :
‫ﱄ ﻪَﻫﻮْ اﻟوﱠﺬ يّ ﯾـ وﺘََـﻮْﻗَ ﻪﻒ َﻋ اﻠَوﻴْﻪ وﺻﱠﺤﺔﻪ ااﻟَاﻌوﻘﺪَ ﻓَﻼَ ﯾوَ ﻪ‬
‫ﺼﺢُ ﺑوﻪاﺪَو وﻧﻪ‬ ‫اَاﻟﻮْاوَ ﱞ‬
Artinya : “wali dalam pernikahan adalah orang yang tergantung padanya sah

akad nikah, maka tidak sah (nikah) tanpa dia”.7


2. Menurut Prof. Dr. Amir Syarifuddin, wali dalam perkawinan itu adalah

seseorang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dalam suatu

akad nikah. Akad nikah dilakukan oleh dua pihak, yaitu pihak laki-laki

yang dilakukan oleh mempelai laki-laki itu sendiri dan pihak perempuan

yang dilakukan oleh walinya.


Dari beberapa definisi yang telah dikemukakan para ulama di atas, dapat

dipahami bahwa yang dikatakan wali adalah seseorang yang mempunyai


kekuatan hukum untuk menikahkan seorang perempuan yangberada di bawah

perwaliannya, yang dapat menentukan sah atau tidaknya pernikahan. Atau

seseorang yang mempunyai kekuasaan, sehingga bisa bertindak menikahkan

perempuan yang berada di bawah perwaliannya. Keberadaanya menjadi rukun


dalam pernikahan yang akan dilaksanakan.
E. Dasar Hukum Perwalian
Adanya wali bagi seorang wanita atau seorang yang tidak mukallaf dalam

akad nikahnya merupakan rukun akad nikah tersebut. Dasarnya adalah firman

Allah :
Artinya : “Dan apabila kamu menceraikan perempuan, kemudian telah habis

masa iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi

mereka (wanita-wanita yang di bawah perwaliannya ) kawin

dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara

mereka dengan cara yang ma’ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada

orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari

kemudian. Itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui,

sedang kamu tidak mengetahui”.(Al-Baqarah : 232 )


Dalam ayat ini menjelaskan, bahwa Allah menyerahkan perkara

perkawinan kepada pihak pria, bukan kepada kaum wanita, serta larangan

dalam ayat ini ditujukan kepada wali, maksudnya ialah bahwa para wali

termasuk di antara orang-orang yang dapat menghalangi berlangsungnya

perkawinan, seandainya perkawinan itu dilaksanakan tanpa izin kepada

mereka, atau tidak mengindahkan ketentuan-ketentuan agama.


Imam Bukhari meriwayatkan Hadis yang barkenaan dengan turunya

firman Allah surat Al-Baqarah ayat 232.


Artinya : ”Ma’qil bin Yasar menceritakan bahwa ayat ini turun berkenaan

dengan dirinya. Katanya, ‘Aku menikahkan salah seorang saudara


perempuanku dengan seorang pria, tetapi kemudian diceraikannya.

Ketika iddahnya habis, mantan suaminya datang lagi

meminangnya. Aku berkata, “dulu, kamu aku jodohkan, aku

nikahkan, dan aku muliakan, tetapi kemudian kamu ceraikan. Kini,

kamu datang untuk meminangnya lagi. Demi Allah, kamu tidak

dapat kembali lagi kepadanya untuk selama-lamanya”. Lelaki ini

orangnya biasa saja. Akan tetapi, bekas isterinya itu ingin kembali

kepadanya, Allah lalu menurunkan ayat,’ maka janganlah kamu

(para wali) menghalang-halangi mereka setelah itu, aku

berkata,”sekarang, aku menerima, wahai Rasulullah, dengan

ucapanya”. Aku pun menikahkan saudaraku itu kepadanya..(HR.

Al-Bukhari, Abu Daud dan At- Tirmidzi)


Dari riwayat Bukhari di atas dapat penulis tarik kesimpulan bahwa

seorang wali berhak menghalangi yang diwalikannya, dan pernikahan tidak

akan terjadi jika tanpa ada wali, terbukti riwayat Ma’qil di atas ia

menghalangi pernikahan kembali adiknya sehingga turunnya surat al-Baqarah

ayat 232 di atas.


Al-Hafiz dalam Fathul Bari berkata,” yang paling tepat dari sebab

turunnya ayat tersebut adalah riwayat Hasan ini dan sekaligus merupakan

alasan yang kuat tentang hukum wali. Karena kalau wali itu tidak ada, untuk

apa disebutkan “menghalang-halangi”. Kalau wanita boleh mengawinkan

dirinya sendiri, tentu ia tidak perlu kepada saudara lelakinya tersebut. Sebab

barang siapa yang perkaranya menjadi kekuasaannya sendiri, tentulah ia tidak


akan dikatakan kepada orang lain “menghalang-halangi”, jika memang tidak

setuju pada tindakannya.


F. Kedudukan Wali dalam Perkawinan
Keberadaan seorang wali dalam akad nikah adalah suatu yang mesti dan

tidak sah akad perkawinan yang tidak dilakukan oleh wali. Wali itu

ditempatkan sebagai rukun dalam perkawinan menurut kesepakatan ulama

secara prinsip. Dalam akad perkawinan itu sendiri wali dapat berkedudukan

sebagai orang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dan dapat pula

sebagai orang yang diminta persetujuannya untuk kelangsungan perkawinan

tersebut.
Para ulama sepakat mendudukan wali sebagai rukun dan syarat dalam

akad perkawinan terhadap mempelai yang masih kecil. Di karenakan

mempelai yang masih kecil tidak dapat melakukan akad dengan sendirinya

dan oleh karenanya akad tersebut dilakukan oleh walinya. Namun bagi

perempuan yang telah dewasa baik ia sudah janda atau masih perawan, ulama

berbeda pendapat.
Imam Abu Hanifah atau dikenal juga dengan Imam Hanafi mengatakan

bahwa seorang wanita boleh memilih sendiri suaminya dan boleh pula

melakukan akad nikah sendiri, baik ia perawan (gadis) ataupun janda. Tidak

seoranpun yang mempunyai wewenang atas dirinya atau mementang

pilihannya, dengan syarat, orang yang dipilihnya itu se-kufu (sepadan)

dengannya dan maharnya tidak kurang dari mahar mitsil. Tetapi bila dia

memilih seorang laki-laki yang tidak sekufu denganya, maka walinya boleh

menentangnya dan meminta kepada qadhi untuk membatalkan aqad nikahnya.

Kemudian apabila wanita tersebut nikah dengan laki-laki dengan mahar

kurang dari mahar mitsil, qadhi boleh meminta membatalkan aqadnya bila

mahar mitsil tersebut tidak dipenuhi oleh suaminya.


Kafa’ah/kufu, artinya persamaan atau persesuaian. Bagi orang-orang

yang meganggapnya sebagai syarat dalam perkawinan, adalah hendaknya

seorang laki-laki (calon suami) itu setara derajatnya dengan wanita (yang akan

menjadi isterinya). Hal-hal yang diharuskan se-kufu menurut Imam Abu

Hanifah ialah :
1. Islam
2. Merdeka
3. Keahlian
4. Nasab, dan
5. Harta atau kelapangan hidup
Demikian hal-hal yang harus se-kufu menurut Imam Abu Hanifah, bila

seorang wanita menikah tanpa wali atau mengawinkan dirinya sendiri.

Selanjutnya Imam Abu Hanifah menambahkan,dalam hal seorang wanita

menikah tanpa wali atau menikahkan dirinya ia sendiri, wajib menghadirkan 2

(dua) orang saksi, mahar mitsil dan qadhi yang menikahkan.


Selanjutnya berdasarkan riwayat Asyhab, Imam Syafi’i berpendapat

bahwa tidak ada nikah tanpa wali, dan wali menjadi syarat sahnya nikah.

Pendapat ini juga dianut dan dikemukakan oleh Imam Malik. Imam al-Syafi’i

menambahkan bahwa wali merupakan salah satu rukun dalam pernikahan,

terpenuhinya rukun ini menjadi salah satu sebab sahnya pernikahan,

sebaliknya tidak adanya wali dalam pernikahan menyebabkan pernikahan itu

tidak sah.
Namun demikian berdasarkan riwayat Ibnu al-Qasim dari Imam Malik, ia

mengatakan bahwa persyaratan wali itu sunnat hukumnya dan bukan fardhu.

Demikian itu karena ia meriwayatkan dari Imam Malik bahwa ia berpendapat

adanya waris yang mewarisi antara suami dan isteri yang perkawinannya

terjadi tanpa menggunakan wali, dan juga bahwa wanita yang tidak terhormat
itu boleh mewakilkan kepada seorang laki-laki untuk menikahkannya. Imam

Malik juga menganjurkan agar seorang janda mengajukan walinya untuk

mengawinkannya. Dengan demikian, seolah Imam Malik menggungkap wali

itu termasuk syarat kelengkapan perkawinan, bukan syarat sahnya

perkawinan. Ini bertolak belakang dengan pendapat fuqaha Malik negeri

Baghdad yang mengatakan wali itu termasuk syarat sahnya nikah, bukan

syarat kelengkapan.
Berkenaan dengan masalah wali ini, Imam Ahmad bin Hanbal juga

mensyaratkan bahwa kehadiran seorang wali dalam suatu pernikahan adalah

menjadi syarat sahnya suatu pernikahan. Konsekuensinya ialah perkawinan

yang dilangsungkan tanpa seorang wali adalah batal.15 Silang pendapat ini

disebabkan tidak terdapatnya satu ayat pun atau hadis yang mensyaratkan

adanya wali dalam perkawinan, terlebih lagi yang menegaskan demikian.

Namun ayat-ayat dan hadits-hadits yang biasa dipakai sebagai alasan oleh

fuqaha yang mensyaratkan wali, hanya memuat kemungkinan yang demikian

itu.

Anda mungkin juga menyukai