PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Syari’at Islam diturunkan dengan tujuan mewujudkan kesejahteraan
bijaksana1.
Penetapan hukum dalam syari’at Islam selalu berorientasi pada aspek
juga dengan konteks Indonesia yakni dalam sebuah negara terdapat sebuah
aturan atau hukum yang mengatur tentang kehidupan manusia, yang tercantum
ialah ikatan lahir batin antara seseorang pria dan seorang wanita sebagai suami
istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia
menjadi wali nasab (wali yang masih mempunyai hubungan keluarga dengan
pihak wanita) dan wali hakim. Kedua, ditinjau dari keberadaanyaa terbagi
menjadi wali aqrab (dekat) dan wali ab’ad (jauh) Ketiga, ditinjau dari
imam mazhab. Dalam hal ini pengertian wali mujbir adalah hak ijbar wali
persetujuan dari wanita yang bersangkutan9. Dengan adanya konsep ini, ada
ada unsur paksaan dari siapapun dalam sebuah perkawinan dan perkawinan
tanpa adanya wali adalah tidak sah. Berkaitan dengan wali mujbir, Menurut
Mahmud Yunus wali mujbir artinya, wali yang boleh memaksakan perkawinan
Imam Ahmad, dan Imamiyah berpendapat bahwa ayah sah menikahkan anak
bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun, harus mendapat
izin dari orang tua sebagaimana diatur dalam pasal 6 ayat (2) (3) (4)dan (5).
Permasalahan ijbar jadi pembicaraan serius para intelektual muslim
(karier), menghidupi keluarga ataupun dirinya sendiri, sekolah dan kuliah. Hal
berdasarkan akal dan kedewasaan. Namun masih ada (banyak) wanita yang
dijodohkan, dipilihkan, bahkan dipaksa oleh orang tua (wali). Tidak sedikit
dari perkawinan tersebut yang dilakukan terhadap wanita pada usia belasan
tahun, akan tetapi mereka tidak mampu menolak karena dipaksa oleh para
wali mereka, dengan alasan bahwa hak ijbar dibolehkan syariat. Penolakan
mereka secara nyata karena tidak adanya kecocokan dengan laki-laki yang
akan dicalonkan, masih kecil, ingin meneruskan sekolah atau kuliah, telah
perkawinan?
2. Bagaimana pandangan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang hak
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Biografi Imam al-Syafi’i
Imam al-Syafi’i lahir di Gaza, Pelestina pada tahun 150 H/767 M dan
meninggal dunia di Fusfat (Kairo) Mesir pada tahun 204 H /20 januari M. ia
adalah Ulama mujtahid (ahli ijtihad) dibidang fiqh dan salah seorang dari
Abbasiyah.1 Dia lahir di Gaza pada tahun wafatnya Abu Hanifah. Berkenaan
Syafi’i berasal dari Bani Muthalib, suku Quraisy, silsilah nasabnya adalah
Muhammad ibn Idris ibn Abbas ibn ustman ibn Syafi’i ibn Saib ibn Abid ibn
Abdul Yazid Ibnu Hisyam ibn Muthalib ibn Abdul Manaf. Nasab al-Syafi’i
Syafi’i ibn as-Sa’ib ibn Abid ibn Abd Yazid ibn Hasyim ibn al-Muthalib ibn
Abd Manaf, Abdul Manaf ibn Qusay kakek kesembilan dari Imam al-Syafi’i
adalah Abdul Manaf ibn Qusay kakek keempat dari Nabi Muhammad SAW,
jadi nasab Imam al-Syafi’i bertemu dengan Muhammad SAW pada Abdul
Manaf.4 Sedangkan ibunya bernama Fatimah binti Abdullah ibn al-Husain ibn
Ali ibn Abi Thalib. Ia adalah cicit dari Ali ibn Abi Thalib, Dengan demikian
kedua orang tua Imam al Syafi’i berasal dari bangsawan Arab Qurasy.
Kedua orang tuanya meninggalkan Mekkah menuju Gaza, Palestina,
ketika ia masih dalam kandungan. Tiada berapa lama setelah tiba di Gaza
Meskipun begitu pada usia 9 tahun beliau sudah dapat menghafal al-Qur’an 30
juz diluar Kepala dengan lancarnya. Imam al-Syafi’i Setelah dapat menghafal
mempelajari bahasa arab yang asli dan fasih. Di sana selama bertahun-tahun
Imam al-Syafi’i mendalami bahasa. Kesusastraan, dan adat istiadat arab yang
mempunyai peran yang sangat penting. Pada diri Imam al-Syafi’i terkumpul
bertemu dengan nasab Rasulullah dalam satu nasab dan garis keturunan yang
sangat baik, semua itu merupakan kemuliaan yang paling tinggi yang tidak
ternilai dengan materi. Oleh karena itu Imam al-Syafi’i selain tempat
kelahirannya mulia ia juga terlahir dari nasab yang mulia. Dia dilahirkan di
Baitul Maqdis dan tumbuh di tanah suci Mekkah. Di mekkah dia mulai
menimba ilmu, setelah itu dia pindah ke Madinah ke Baghdad dua kali. Dan
akhirnya menetap di mesir tahun 199 Hijriah dan menetap disana hingga akhir
hayatnya.
Tepat pada Hari Kamis malam jum’at tanggal 29 rajab 204 H (820 M).
jum’at setelah maghrib. Pada waktu itu, aku sedang berada disampingnya,
jasadnya dimakamkan pada hari jum’at setelah ashar, hari terakhir dibulan
Rajab. Ketika kami pulang dari mengiring jenazahnya kami melihat Hilal
mempunyai al-ribuan murid yang berasal dari berbagai penjuru, diantara yang
terkenal adalah : ar-Rabi’ ibn sulaiman al-Marawai, Abdullah ibn zubair al-
Hamidi, Yusuf ibn Yahya ibn Buwaiti, Abu Ibrahim, Isma’il ibn Yahya al-
Mujazani, Yunus ibn Abdul A’la as-Sadafi, Ahmad ibn Sibti, Yahya ibn Wazir
al Misri, Harmalah ibn Yahya Abdullah at-Tujaibi, Ahmad ibn Hambal, hasan
ibn Ali al-Karabisi, Abu Saur Ibrahim ibn Khalid Yamani al-Kalibi, Hasan ibn
sekitar 140 an kitab, baik dalam ushul maupun dalam furu’ (cabang).
19membagi karya Imam al-Syafi’i menjadi dua bagian yaitu al qadim dan al
hadits. Al- Qadim adalah kitab-kitab karyanya yang ditulis ketika imam al-
kitab karyanya yang ditulis ketika berada di mesir. Diantara kitab yang
3. Ikhtilaf al-Hadits
Disebut ikhtilaf al-hadits karena di dalamnya mengungkapkan
perbedaan para ulama dalam persepsinya tentang hadits mulai dari sanad
hanya dalam hal ini terdapat kesan bahwa hadits yang disebut dalam kitab
berkaitan dengan fiqh dalam kitab al-Umm, dimana dari segi sanadnya
islam. Seorang pakar ilmu pengetahuan agama yang luas dan memiliki
termaktub dalam karyanya yang terkenal yaitu “ar Risalah”. Kitab ar-Risalah
dalam kitab ar-Risalah, bahwa dasar Imam Syafi’i dalam menetapkan hukum
adalah:
1. Kitab Allah (al-Qur’an).
2. Sunnah Rasul (al-Hadist).
3. Ijma’
4. Qiyas.
Imam Syafi’i sangat mengutamakan dan menyertakan al-hadist sebagai
Adapun yang dimaksud dengan hadits ahad adalah hadist yang diriwayatkan
oleh satu orang dari satu orang dan demikian seterusnya sampai ke
dapat mengubah arti hadist, dan hendaknya cakap meriwayatkan hadist kata
menyadari apa yang mungkin dapat mengubah artinya, tidak diketahui jelas,
mungkin dia telah mengubah yang halal kepada yang haram atau sebaliknya.
untuk mengikuti Nabi tidak terbatas, karena itu apabila Nabi mengeluarkan
suatu ketentuan umat islam wajib mentaatinya andai kata ketentuan dari Nabi
berkata, bapak saya menceritakan padaku, diceritakan Ali ibn Ishaq berkata
akan menjadi teman yang ketiga bagi mereka,dan barang siapa merasa bahagia
dengan amal baiknya dan merasa susah dengan amal buruknya, maka dia
Berkumpulnya ulama disuatu massa tentang hukum syar’i amali dari suatu
sesuatu secara eksplisit, baik dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah dan tidak
terdapat pula dalam ijma’ (kesepakatan para ulama) maka Imam Syafi’i
ketentuan hukum itu harus di cari dengan ijtihad dan ijtihad itu tidak lain
adalah qiyas.
Qiyas menurut bahasa berarti menyamakan sesuatu, sedangkan menurut
ahli ushul fiqh adalah mempersamakan hukum sesuatu peristiwa yang tidak
ada nas hukumnya dengan suatu peristiwa yang ada nash hukumnya, karena
persamaan keduanya itu dalam illat hukumnya. Sedangkan illat ialah suatu
sifat yang ada pada ashal (al-ashl) yang sifat itu menjadi dasar untuk
menetapkan hukum ashal serta untuk mengetahui hukum pada fara’ (al-fara’)
dan akhirat dengan memperoleh manfaat dan keuntungan serta terhindar dari
segala macam kerusakan. Illat hukumnya suatu sifat yang nyata dan pasti ada
dipimpinya.
Oleh sebab itu pada garis besarnya, perwalian itu dapat di bagi atas :
1. Perwalian atas orang
2. Perwalian atas barang
3. Perwalian atas orang dalam perkawinannya.
Orang yang diberi kekuasaan perwalian disebut wali, yang akan
manusia, lebih jauh lagi pernikahan itu merupakan suatu perbuatan yang
dilaksanakan sesuai dengan aturan dan ketentuan yang telah diatur oleh
dunia dan di hadapan Allah swt. Untuk itulah dalam pernikahan terdapat
beberapa syarat dan rukun yang mesti dipenuhi apabila seseorang ingin
syarat dan rukun pernikahan tersebut, menjadi sebab tidak sahnya pernikahan
yang dilaksanakan.
Adapun yang menjadi rukun dalam pernikahan menurut para ulama
adalah
ََﺻﻴْـَﻐﺔ
ﱄ ََوﺷﺎ وَﻫﺪَوانِ َوو ا وواَارَْ َﻛﺎﻧﻪﻪﻪ َ ا
ﲬَﺴﺔﻪ ََزووجٌ ََوَزَوﺟﺔو ََووو و
Artinya : “ Rukun nikah itu ada lima : calon suami, calon isteri, wali, dua
dekat dengan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata wali didefinisikan
janji nikah dengan pengantin pria). Sedangkan menurut Kamal Mukhtar dalam
wali secara bahasa dapat berarti “wilayah, yang berarti: Penguasaan dan
Perlindungan.
Adapun pengertian wali secara terminologis, para ulama memberikan
definisi yang berbeda-beda, namun apabila dicermati dari beberapa definisi itu
mengarah pada satu titik kesimpulan yang saling menguatkan. Untuk lebih
jelasnya, di antara definisi-definisi itu adalah :
1. Abdurrahman Al-Jaziri dalam kitabnya al-Fiqh Ala-Mazhabi al-Arba’ah
mengatakan :
ﱄ ﻪَﻫﻮْ اﻟوﱠﺬ يّ ﯾـ وﺘََـﻮْﻗَ ﻪﻒ َﻋ اﻠَوﻴْﻪ وﺻﱠﺤﺔﻪ ااﻟَاﻌوﻘﺪَ ﻓَﻼَ ﯾوَ ﻪ
ﺼﺢُ ﺑوﻪاﺪَو وﻧﻪ اَاﻟﻮْاوَ ﱞ
Artinya : “wali dalam pernikahan adalah orang yang tergantung padanya sah
akad nikah. Akad nikah dilakukan oleh dua pihak, yaitu pihak laki-laki
yang dilakukan oleh mempelai laki-laki itu sendiri dan pihak perempuan
akad nikahnya merupakan rukun akad nikah tersebut. Dasarnya adalah firman
Allah :
Artinya : “Dan apabila kamu menceraikan perempuan, kemudian telah habis
kemudian. Itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui,
perkawinan kepada pihak pria, bukan kepada kaum wanita, serta larangan
dalam ayat ini ditujukan kepada wali, maksudnya ialah bahwa para wali
orangnya biasa saja. Akan tetapi, bekas isterinya itu ingin kembali
akan terjadi jika tanpa ada wali, terbukti riwayat Ma’qil di atas ia
turunnya ayat tersebut adalah riwayat Hasan ini dan sekaligus merupakan
alasan yang kuat tentang hukum wali. Karena kalau wali itu tidak ada, untuk
dirinya sendiri, tentu ia tidak perlu kepada saudara lelakinya tersebut. Sebab
tidak sah akad perkawinan yang tidak dilakukan oleh wali. Wali itu
secara prinsip. Dalam akad perkawinan itu sendiri wali dapat berkedudukan
sebagai orang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dan dapat pula
tersebut.
Para ulama sepakat mendudukan wali sebagai rukun dan syarat dalam
mempelai yang masih kecil tidak dapat melakukan akad dengan sendirinya
dan oleh karenanya akad tersebut dilakukan oleh walinya. Namun bagi
perempuan yang telah dewasa baik ia sudah janda atau masih perawan, ulama
berbeda pendapat.
Imam Abu Hanifah atau dikenal juga dengan Imam Hanafi mengatakan
bahwa seorang wanita boleh memilih sendiri suaminya dan boleh pula
melakukan akad nikah sendiri, baik ia perawan (gadis) ataupun janda. Tidak
dengannya dan maharnya tidak kurang dari mahar mitsil. Tetapi bila dia
memilih seorang laki-laki yang tidak sekufu denganya, maka walinya boleh
kurang dari mahar mitsil, qadhi boleh meminta membatalkan aqadnya bila
seorang laki-laki (calon suami) itu setara derajatnya dengan wanita (yang akan
Hanifah ialah :
1. Islam
2. Merdeka
3. Keahlian
4. Nasab, dan
5. Harta atau kelapangan hidup
Demikian hal-hal yang harus se-kufu menurut Imam Abu Hanifah, bila
bahwa tidak ada nikah tanpa wali, dan wali menjadi syarat sahnya nikah.
Pendapat ini juga dianut dan dikemukakan oleh Imam Malik. Imam al-Syafi’i
tidak sah.
Namun demikian berdasarkan riwayat Ibnu al-Qasim dari Imam Malik, ia
mengatakan bahwa persyaratan wali itu sunnat hukumnya dan bukan fardhu.
adanya waris yang mewarisi antara suami dan isteri yang perkawinannya
terjadi tanpa menggunakan wali, dan juga bahwa wanita yang tidak terhormat
itu boleh mewakilkan kepada seorang laki-laki untuk menikahkannya. Imam
Baghdad yang mengatakan wali itu termasuk syarat sahnya nikah, bukan
syarat kelengkapan.
Berkenaan dengan masalah wali ini, Imam Ahmad bin Hanbal juga
yang dilangsungkan tanpa seorang wali adalah batal.15 Silang pendapat ini
disebabkan tidak terdapatnya satu ayat pun atau hadis yang mensyaratkan
Namun ayat-ayat dan hadits-hadits yang biasa dipakai sebagai alasan oleh
itu.