Anda di halaman 1dari 11

Biodata Penulis (wajib diisi dan jangan dihapus)

Nama Lengkap: Siti Hudaiyah


Nomor HP (whatsapp): 081932395877
Alamat Email: siti.hudaiyah@mail.ugm.ac.id
No Rekening: 6917-01-011443-53-5
Nama Bank: BRI
No Rekening Atas Nama: Siti Hudaiyah
Deskripsikan diri anda secara singkat:

Siti Hudaiyah atau akrab disapa Haha merupakan mahasiswa aktif Departemen Silvikultur Fakultas
Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Disela-sela menjalankan perkuliahan, Haha juga aktif berorganisasi,
ko-asisten praktikum, dan terkadang menulis. Ia berharap agar mahasiswa kehutanan mampu
menyumbangkan gagasan-gagasan yang lebih besar untuk keberlanjutan hutan Indonesia.

Yuk, Mengenal Kawasan Konservasi di


Daerah Istimewa Yogyakarta!
Yogyakarta dikenal sebagai provinsi yang istimewa. Istimewa karena kebudayaannya, orangnya,
kulinernya, wisatanya, dan semua sisi kehidupannya. Masyarakat mengenal Yogyakarta sebagai kota
budaya dan kota pelajar. Namun ada satu hal yang menarik dari Yogyakarta, yaitu mengenai kawasan
konservasi yang relatif lengkap.

Dengan luas provinsi 318.680 Ha, luas kawasan hutan negara di Daerah Istimewa Yogyakarta mencapai
18.715, 06 Ha yang terbagi menjadi hutan konservasi, hutan lindung, dan hutan produksi. Kawasan hutan
tersebut terbagi atas Hutan Konservasi seluas 2.990,56 Ha (15,98%), Hutan Lindung 2.312,80 Ha
(12,36%) dan Hutan Produksi 13.411,70 Ha (71,66%). Sedangkan berdasarkan sebaran administratif
pemerintahan, 5 Kabupaten Gunung Kidul memiliki kawasan hutan terluas yaitu 14.895,50 ha (79,59%),
kemudian pada urutan kedua adalah Kabupaten Sleman seluas 1.729,46 ha (9,24%), Kabupaten Bantul
seluas 1.052, 60 ha (5,625), dan Kabupaten Kulon Progo seluas 1.037,50 ha (5,54%).

Provinsi DIY mempunyai ekosistem yang lengkap mulai dari ekosistem hutan pegunungan, ekosistem
hutan dataran rendah, dan vegetasi pantai serta mangrove. Selain itu, DIY mempunyai satu kesatuan
ekologis karst yang unik yaitu Geopark Gunungsewu. Hal ini menunjukkan bahwa keanekaragaman hayati
di Provinsi DIY sangat besar, berupa keanekaragaman ekosistem, keanekaragaman flora dan fauna, dan
keanekaragaman sumberdaya genetik. keanekaragaman hayati di berbagai ekosistem tersebut harus
terus dijaga agar tetap lestari dan mampu mewujudkan keseimbangan dalam kegiatan pembangunan.

Konservasi sumberdaya alam hayati adalah pengelolaan sumberdaya alam hayati yang pemanfaatannya
dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara
dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya. Pengukuhan kawasan konservasi oleh
pemerintah di Indonesia merupakan upaya konservasi sumberdaya alam hayati yang dilakukan melalui
kegiatan perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan
satwa beserta ekosistemnya dan pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam dan ekosistemnya.
Berdasarkan UU No. 5 tahun 1990, kawasan konservasi dibedakan menjadi:

1. Kawasan Suaka Alam

a. Kawasan Cagar Alam (dikelola oleh Balai KSDA/Balai Besar KSDA)

b. Kawasan Suaka Margasatwa (dikelola oleh Balai KSDA/Balai Besar KSDA)

2. Kawasan Pelestarian Alam

a. Kawasan Taman Nasional (dikelola oleh Balai Taman Nasional/Balai Besar Taman Nasional)

b. Kawasan Taman Hutan Raya (dikelola oleh Dinas Kehutanan)

c. Kawasan Taman Wisata Alam (dikelola oleh Balai KSDA/Balai Besar KSDA)

Kawasan konservasi yang ada di DIY antara lain: Cagar Alam (CA) Imogiri, Cagar Alam (CA)/Taman Wisata
Alam (TWA) Gunung Gamping, Suaka Margasatwa Paliyan, Suaka Margasatwa Sermo, Taman Nasional
Gunung Merapi, dan Taman Hutan Raya (Tahura) Bunder.

Cagar Alam Imogiri


Cagar Alam Imogiri terletak dalam petak Pasarehan/BDH Kodya (Komplek Pasarehan Raja-Raja Mataram)
yang dulunya merupakan wilayah pangkuan hutan produksi dari Dinas Kehutanan Provinsi DIY. CA Imogiri
ditunjuk melalui SK Menhut No. 171/Kpts-II/2000 Tanggal 29 Juni 2000 dengan luas kawasan Cagar Alam
Imogiri setelah dilakukan kegiatan rekonstruksi batas kawasan adalah 11,4 ha. Topografi kawasan berupa
perbukitan dengan kelerengan sedang. Beberapa hal yang menjadikan kawasan CA Imogiri memiliki nilai
penting adalah kawasan ini merupakan daerah wisata sekaligus tempat yang memiliki nilai budaya (cagar
budaya) yang “dikeramatkan” oleh penduduk sekitar khususnya dan masyarakat Yogyakarta pada
umumnya. Kawasan ini merupakan kawasan pelindung dan penyangga bagi kehidupan masyarakat
sekitar dan merupakan “pagar hidup” dari keberadaan kompleks makam Raja-Raja Mataram Islam yang
meliputi makam raja-raja dan kerabat keluarga dari Keraton Kasultanan Yogyakarta/Kasunanan Solo,
Makam Seniman dan makam penduduk sekitar.

Potesi flora dan fauna di CA Imogiri:

1. Flora

Jati (Tectona grandis), mahoni (Swietenia mahagoni), akasia, kayu putih (Melaleuca leucadendron),
sono keling (Dalbergia latifolia), secang (Caesalpinia boducella), kayu manis (Cinnamomum
zeylanicum), mindi (Melia azedarach), pulai (Alstonia scholaris), serut (Streblus asper), kepuh
(Sterculia foetida), duwet (Syzigium cumini), pinus (Pinus merkusii).

2. Fauna
Jenis satwa di kawasan Cagar Alam Imogiri diantaranya adalah dari famili aves (burung), mamalia,
reptil, dan insekta. Kelimpahan masing-masing famili terkategori jarang sampai sedang, populasi
terbanyak adalah dari famili aves dan insekta. Jenis Aves tercatat 39 jenis (sumber BKSDA tahu
2009) diantaranya: cekakak jawa (Halcyon cianoventris), cekakak sungai (Thodirhampus chloris),
tekukur biasa (Streptopelia chinensis), burung cabe (Dicalum trochileum), gagak (Corvus enca), elang
bido (Spilornis cheela), sikep madu asia (Pernis ptilorhynchus), bubut hutan (Centropus rectunguis),
layang-layang (Nectaria jugularis), Srigunting (Dicrurus paradiseus), terucuk (Pycnonotus goiaver),
prenjak coklat (Prinia polychroa). Jenis amphibi yang ada yaitu katak (Rana sp.) Jenis mamalia yaitu
bajing (Callosciurus notatus), musang luwak (Paradoxurus hermaphrodites).

Cagar Alam/Taman Wisata Alam Gunung Gamping


Luas : 1,108 Ha

Ditunjuk : SK Menhut No. 171/Kpts-II/1989 Tanggal 29 Juni 1989

Potensi objek wisata alam : panorama alam Batu Gamping dan wisata budaya Upacara Bekakak

Kawasan CA/TWA Gunung Gamping yang luas totalnya 1,084 hektar ini berupa situs cagar budaya berupa
Gunung Gamping dan area altar persembahan bekakak seluas 0,038 hektar sebagai kawasan cagar alam.
Dan sisanya seluas 1,064 hektar yang berupa petak persawahan dan tanah kering sebagai kawasan TWA.
Gunung Gamping terletak pada hamparan daerah bekas penambangan batu gamping yang terbentuk
pada jaman eosin 50 juta tahun yang lalu. Susunannya terdiri dari satu gundukan batu berwarna putih,
putih kemerahan sampai abu-abu. Pada retakannya dijumpai gejala kristalisasi dari mineral kalsit. Pada
batu gamping ini banyak pula dijumpai fosilfosil binatang laut yang sebagian berupa fragmen. Fosilnya
terdiri dari jenis Moluska, Koral, Bryozoa dan Feraminifora. Jenis batuan seperti ini hanya dapat dijumpai
di empat lokasi, yaitu di Ciletuh (Jabar), Karangsembung, Jiwo, dan Gamping (D.I. Yogyakarta).

Cagar alam ini memiliki ciri khas sebagai sisa peninggalan batu gamping jaman eosin 50 juta tahun yang
lalu dan berupa terumbu 40 karang, mengandung kapur (CaCO3) yang berkadar tinggi. Sedangkan untuk
kawasan Taman Wisata Alam Gunung Gamping sebenarnya hanya berupa petak persawahan dan tanah
kering.

Potesi kawasan :

3. Flora

Beringin (Ficus sp.), Gayam (Nocarpus edulis), kepel (Stelecocharpus burahol), mundu (Garcinia
dulcis), sawo kecik (Manilkara kauki/M. Achra), sawo bludru, rukem (Flacourtia indica), kemuning
(Murraya paniculata), keben (Barringtonia asiatica), pulai (Alstonia scholaris), ketapang (Terminalia
catappa), johar (Cassia siamea), wuni, kantil (Michelia champaca), kenanga (Canangium odoratum),
kemiri (Aleurites moluccana), namnam (Niphelium sp.).

4. Fauna

Aves ± 20 jenis diantaranya: burung madu sriganti (Nectarinia jugularis), cekakak jawa (Halcyon
cianoventris), tekukur biasa (Streptopelia chinensis), merbah cerucuk (Pyconotus goaiver), cinenen
pisang (Orthotomus sutoris), wiwik lurik (Cacomantis merulinus), burung hantu (Tyto alba),
pijantung kecil (Arachnotera langirostra), cabai jawa (Dicalum trochileum), cipoh kacat (Aegithina
tiphia), kutilang (Pycnonotus aurigaster).

Suaka Margasatwa Paliyan


Luas : 434,6 Ha

Ditunjuk : SK Menhut No. 171/Kpts-II/2000 Tanggal 29 Juni 2000

Tata batas : rekonstruksi tata batas tahun 2004, pemeliharaan pal batas tahun 2009

Aksesibilitas : Dari arah Kota Yogyakarta melalui Jalan Wonosari, Pertigaan Playen belok kiri sampai ke
lokasi Suaka Margasatwa Paliyan, kawasan ini terletak di sebelah selatan Kec. Paliyan Kab. Gunungkidul ±
2 km.

Suaka Margasatwa Paliyan dengan luas total 434,60 hektar berada di wilayah Kecamatan Paliyan dan
Kecamatan Saptosari, Kabupaten Gunung Kidul. Topografi kawasan berupa perbukitan karst dengan
lapisan tanah yang tipis, memiliki kelerengan diatas 40 % serta pada ketinggian antar 100 – 300 m dpl.
Letak Suaka Margasatwa Paliyan sendiri berada pada petak 136 s/d 141 yang dulunya merupakan
wilayah pangkuan hutan produksi dari Dinas Kehutanan Propinsi D.I Yogyakarta (tepatnya masuk wilayah
Resort Polisi Hutan (RPH) Paliyan yang tergabung dalam Bagian Daerah Hutan (BDH). Sekitar 80%
kawasan ini dirambah oleh masyarakat sebagai areal perladangan, sejak masih berstatus hutan produksi,
± 600 petani penggarap berladang di kawasan ini, mereka berasal dari 4 desa, yaitu Karang Asem dan
Karang Duwet yang termasuk willayah Kecamatan Paliyan, serta dua desa lagi yaitu Jetis dan Kepek yang
masuk wilayah Kecamatan Saptosari.

Potensi objek wisata alam : panorama alam Pegunungan Sewu, gua.

Potesi kawasan :

5. Flora

Ada 30 jenis diantaranya: jati (Tectona grandis), mahoni (Swietenia mahagoni), akasia, leda, kayu
putih (Melaleuca leucadendron), sono keling (Dalbergia latifolia), popohan (Buchanania
arborescens), secang (Caesalpinia boducella), kayu manis (Cinnamomum zeylanicum), kesambi
(Schleichera oleosa), mindi (Melia azedarach), pulai (Alstonia scholaris), serut (Streblus asper), maja
(Phyllantuhus acidus).

6. Fauna

Jenis Aves tercatat ±35 jenis diantaranya: alap-alap macan (Falco severus), burung madu sriganti
(Nectarinia jugularis), cikrak kutub (Phylloscopus borealis), cekakak jawa (Halcyon cianoventris),
elang alap cina (Accipiter soloensis), elang ular bido (Spilornis cheela), gelatik batu kelabu (Parus
major), tekukur biasa (Streptopelia chinensis), merbah cerucuk (Pycnonotus goiavier), gelatik jawa
(Padda oryza), ayam hutan (Gallus gallus), gemak loreng (Turnix suscitator).

Mamalia: monyet ekor panjang (Macaca fasicularis), musang (Paradoxurus hermaphrodites).

Insecta ±20 jenis diantaranya: Odontoponera denticulate, Anoplolepis gracilipes, Catopsilia pomona,
Hypolimnas misipus, Eurema hecabe, Melanitis sp.
Suaka Margasatwa Sermo
Luas : 181 Ha

Ditunjuk : SK Menhut No. 171/Kpts-II/2000 Tanggal 29 Juni 2000

Tata batas : rekonstruksi tata batas tahun 2004, pemeliharaan pal batas tahun 2009

Aksesibilitas : Jalan kabupaten sampai ke lokasi Suaka Margasatwa Sermo baik dan beraspal.

- Jogjakarta-Wates-Hargowilis, dengan jarak sekitar 40 km dan dari Wates-Hargowilis kurang lebih


9 km.

- Jogjakarta-Pengasih-Hargowilis dengan jarak tempuh dari Jogjakarta-Pengasih kurang lebih 20


km dan Pengasih-Hargowilis kurang lebih 16 km.

Potensi objek wisata alam : panorama alam Gunung Menoreh, Waduk Sermo.

Kawasan hutan Sermo merupakan hutan negara dengan fungsi sebagai hutan produksi, yang
pengelolaannya dilakukan oleh Pemerintah Daerah Propinsi D.I. Yogyakarta pelaksananya Dinas
Kehutanan 42 Propinsi D.I. Yogyakarta. Kemudian fungsi kawasan hutan hutan dirubah menjadi fungsi
lindung (hutan lindung) Kawasan hutan Sermo merupakan hutan tanaman, dimana jenis-jenis
vegetasinya ditanam mulai pada tahun empat puluhan hingga tahun sembilan puluhan. Sejak hutan
Sermo mempunyai fungsi produksi dan lindung, upaya pengelolaan dan pengamanan terus dilakukan
oleh Pemerintah Daerah, utamanya telah dibentuk institusi terendah yaitu Resort Polisi Hutan Sermo,
dengan dibangun sarana kerja berupa kantor.

Potesi kawasan :

7. Flora

Ada 35 jenis diantaranya: jati (Tectona grandis), mahoni (Swietenia mahagoni), akasia, kayu putih
(Melaluca leucadendron), sono keling (Dalbergia latifolia), secang (Caesalpinia boducella), kesambi
(Schleichera oleosa), mindi (Melia azedarach), pulai (Alstonia scholaris), wedusan (Ageratum
conyzoides), tapak liman (Elephantopus scaber), sambiloto (Andrographis panculata), putri malu
(Mimosa pudica), kerinyu (Eupatorium odoratum), telekan (Lantana camara).

8. Fauna

Aves tercatat ± 30 jenis diantaranya: kepodang kuduk hitam (Oriolus chinensis), burung madu
sriganti (Nectarinia jugularis), cikrak kutub (Phylloscopus borealis), cekakak jawa (Halcyon
cianoventris), elang ular bido (Spilornis cheela), gelatik batu kelabu (Parus major), tekukur biasa
(Streptopelia chinensis), merbah cerucuk (Pyconotus goaiver), ayam hutan (Gallus gallus), gemak
loreng (Turnix suscitator), cekakak sungai (Todirhampus chloris), pelanduk semak (Malacocicla
sepiarium).

Mamalia: monyet ekor panjang (Macaca fasicularis), musang luwak (Paradoxus hermaphrodites),
babi hutan (Sus scrofa), garangan (Herpetes javanicus).

Insect: belum teridentifikasi.


Taman Nasional Gunung Merapi
Luas : 181 Ha

Ditunjuk : SK Menhut No. 171/Kpts-II/2000 Tanggal 29 Juni 2000

Tata batas : rekonstruksi tata batas tahun 2004, pemeliharaan pal batas tahun 2009

Aksesibilitas : Jalan kabupaten sampai ke lokasi Suaka Margasatwa Sermo baik dan beraspal.

- Jogjakarta-Wates-Hargowilis, dengan jarak sekitar 40 km dan dari Wates-Hargowilis kurang lebih


9 km.

- Jogjakarta-Pengasih-Hargowilis dengan jarak tempuh dari Jogjakarta-Pengasih kurang lebih 20


km dan Pengasih-Hargowilis kurang lebih 16 km.

Potensi objek wisata alam : panorama alam Gunung Menoreh, Waduk Sermo.

Gunung Merapi merupakan kawasan berupa Taman Nasional yang memiliki ekosistem asli berupa
perpaduan antara ekosistem gunung berapi dengan hutan dataran tinggi dan pegunungan, dikelola
berdasarkan sistem zonasi dan dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,
menunjang budi daya, pariwisata dan rekreasi. Kawasan Hutan Gunung Merapi ditetapkan sebagai
Taman Nasional Gunung Merapi berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 134/Menhut-
II/2004 pada tanggal 4 Mei 2004 tentang perubahan Fungsi Kawasan Hutan Lindung, Cagar Alam dan
Taman Wisata Alam pada kelompok Hutan Gunung Merapi seluas ± 6.410 ha, terletak di Kabupaten
Magelang, Boyolali dan Klaten, Provinsi Jawa Tengah serta Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta (TNGM, 2009).

Kawasan hutan Gunung Merapi merupakan salah satu ekosistem pegunungan di Pulau Jawa bagian
tengah. Secara administratif kawasan ini terletak di dua propinsi yaitu Jawa Tengah dan Daerah Istimewa
Yogyakarta. Pengelolaan kawasan Merapi terbagi menjadi beberapa fungsi konservasi sebagai Hutan
Lindung, Cagar Alam, dan Taman Wisata Alam. Untuk mengembangkan pengelolaan kawasan konservasi
ini, pemerintah menggagas perubahan status kawasan menjadi taman nasional pada tahun 2001.
Gagasan perubahan ini menimbulkan polemik. Di tengah suasana pro-kontra, pemerintah mengeluarkan
SK Menhut No. 134/2004 tentang Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Lindung, Cagar Alam dan Taman
Wisata Alam pada Kelompok Hutan Gunung Merapi seluas ± 6410 ha yang terletak di Kabupaten
Magelang, Boyolali, Klaten, Propinsi Jawa Tengah dan Kabupaten Sleman, Propinsi DIY menjadi Taman
Nasional Gunung Merapi (TNGM). Sebanyak 26 Organisasi non-pemerintah di bidang Lingkungan (Ornop-
L) dan Organisasi akar rumput di kawasan Merapi menyuarakan ketidaksetujuannya terhadap TNGM
melalui Aliansi Masyarakat Peduli Merapi (AMPM) dan mendesak agar pemerintah mencabut kembali SK
penetapan tersebut dengan alasan mengabaikan partisipasi masyarakat. Upaya hukum yang ditempuh
Walhi gagal. Sidang Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) di Jakarta tanggal 24 Januari 2005 dimenangkan
oleh pemerintah. Proses persiapan menjadi TNGM selanjutnya terus dilakukan pemerintah. Sementara
itu, Ornop-L yang masih kontra TNGM terus melakukan upaya penguatan jaringan. Suasana pro-kontra
yang tak berkesudahan ini akan mempengaruhi upaya konservasi di kawasan Merapi. Penetapan
kawasan konservasi Merapi menjadi TNGM berarti mengubah perolehan mekanisme akses dan hak
terhadap sumberdaya alam di sana. Perubahan inilah yang memicu konflik pro-kontra TNGM.
Kawasan hutan Gunung Merapi merupakan salah satu ekosistem pegunungan di Pulau Jawa bagian
tengah yang mempunyai nilai tinggi bagi kehidupan manusia di sekitar kawasan ini baik dari kajian
ekologis, ekonomis, sosial dan budaya. Dari kajian ekologis, komponen biologis ekosistem hutan Gunung
Merapi mempunyai keanekaragaman yang tinggi. Di samping itu, gunung ini telah menciptakan
ekosistem yang spesifik yaitu hutan tropika pegunungan dan pola suksesi vegetasi yang berkembang
secara dinamis. Dari kajian ekonomis, sumberdaya lama Gunung Merapi telah lama dimanfaatkan
masyarakat baik berupa material maupun jasa lingkungan. Material yang dimanfaatkan masyarakat
antara lain pasir dan batu, hijauan pakan ternak, kayu bakar. Jasa lingkungan yang dinikmati masyarakat
sekitarnya adalah keindahan alam yang dikelola sebagai bisnis pariwisata, tata air yang menyediakan air
bersih dan air pertanian sepanjang tahun melalui sejumlah mata air yang berada di kawasan ini, dari
kajian sosial budaya, masyarakat di lereng-lereng kawasan hutan Gunung Merapi telah berinteraksi
dalam jangka waktu ratusan tahun, interaksi-interaksi tersebut memunculkan beragam budaya hasil dari
olah rasa antara manusia dan alam sekitarnya. Interaksi ini telah menciptakan sistem sosial dan budaya
yang khas.

Potesi kawasan :

Hutan pegunungan bawah didominasi oleh Lithocarpus sp, Castanopsis sp dan Quercus sp
serta sejumlah besar jenis pohon salam. Beberapa pohon yang membentuk tajuk hutan antara
lain: Acer laurinum, Engelhardia spicata, Schima wallchii, Weinmannia blumei. Jenis tumbuhan
yang menjulang tinggi antara lain: Altingia excelsa, Podocarpus spp. yang ketinggiannya
mencapai 60 m. Pakis dan paku banyak yang tumbuh hingga ketinggian pohon 15 m, jenis ini
merupakan komponen yang umum di daerah pegunungan, terutama pegunungan bawah
(Whitten dkk, 1999).
Jenis pohon yang dijumpai di hutan pegunungan atas antara lain: Dacycarpus imbricatus,
Rhododendron sp, Vaccinium sp, Gaultheria sp, Myria javanica, Weinmannia fraxinea. Lantai
hutan kaya akan semak belukar dan tumbuhan perdu, di tempat terbuka dapat ditemukan terna
yang indah (Whitten dkk, 1999).
Jenis anggrek yang ditemui di Taman Nasional Gunung Merapi ada beranekaragam, kurang
lebih 52 jenis baik jenis endemik maupun terancam punah. Jenis Vanda tricolor merupakan
contoh anggrek yang terancam punah di kawasan meskipun statusnya tidak dilindungi oleh
CITES maupun tercantum dalam Redlist Book. Jenis ini sudah tidak dapat ditemui di habitatnya
tetapi dapat ditemui di halaman rumah penduduk. Jenis lain yang cukup banyak adalah paku-
pakuan. Menurut penelitian Purnomo (1998) terdapat 73 jenis paku-pakuan di wilayah ini
contohnya Adiantum sp, Nephrolepis sp.

1.3.3. Keanekaragaman Fauna


Taman Nasional Gunung Merapi memiliki keanekaragaman satwa yang cukup tinggi. Di wilayah
ini terdapat beberapa jenis satwa endemik dan dilindungi undang-undang, antara lain Elang
Jawa (Spizaetus bartelsi), Tesia Jawa (Tesia superciliaris), dan Macan Tutul (Panthera pardus).
Berdasarkan penelitian Matalabiogama (2002) terdapat 99 jenis burung yang terdapat di TNGM,
antara lain Elang Bido (Spilornis cheela), Kutilang (Pycnonotus aurigaster), Merbah cerucuk
(Pycnonotus goiavier), Kacamata biasa (Zosterops palpebrosus), Ayam hutan (Gallus gallus).
Sedangkan mammalia yang ada antara lain Lutung Budeng (Trachypithecus auratus), Rusa
(Cervus sp), Kera Ekor Panjang (Macaca fascicularis).
9. Flora

Ada 35 jenis diantaranya: jati (Tectona grandis), mahoni (Swietenia mahagoni), akasia, kayu putih
(Melaluca leucadendron), sono keling (Dalbergia latifolia), secang (Caesalpinia boducella), kesambi
(Schleichera oleosa), mindi (Melia azedarach), pulai (Alstonia scholaris), wedusan (Ageratum
conyzoides), tapak liman (Elephantopus scaber), sambiloto (Andrographis panculata), putri malu
(Mimosa pudica), kerinyu (Eupatorium odoratum), telekan (Lantana camara).

10. Fauna

Aves tercatat ± 30 jenis diantaranya: kepodang kuduk hitam (Oriolus chinensis), burung madu
sriganti (Nectarinia jugularis), cikrak kutub (Phylloscopus borealis), cekakak jawa (Halcyon
cianoventris), elang ular bido (Spilornis cheela), gelatik batu kelabu (Parus major), tekukur biasa
(Streptopelia chinensis), merbah cerucuk (Pyconotus goaiver), ayam hutan (Gallus gallus), gemak
loreng (Turnix suscitator), cekakak sungai (Todirhampus chloris), pelanduk semak (Malacocicla
sepiarium).

Mamalia: monyet ekor panjang (Macaca fasicularis), musang luwak (Paradoxus hermaphrodites),
babi hutan (Sus scrofa), garangan (Herpetes javanicus).

Insect: belum teridentifikasi.

Taman Hutan Raya (Tahura) Bunder


Luas : 181 Ha

Ditunjuk : SK Menhut No. 171/Kpts-II/2000 Tanggal 29 Juni 2000

Tata batas : rekonstruksi tata batas tahun 2004, pemeliharaan pal batas tahun 2009

Aksesibilitas : Jalan kabupaten sampai ke lokasi Suaka Margasatwa Sermo baik dan beraspal.

- Jogjakarta-Wates-Hargowilis, dengan jarak sekitar 40 km dan dari Wates-Hargowilis kurang lebih


9 km.

- Jogjakarta-Pengasih-Hargowilis dengan jarak tempuh dari Jogjakarta-Pengasih kurang lebih 20


km dan Pengasih-Hargowilis kurang lebih 16 km.

Potensi objek wisata alam : panorama alam Gunung Menoreh, Waduk Sermo.

Taman hutan raya (Tahura) Bunder yang terletak di Desa Bunder, Kecamatan Playen Gunungkidul
merupakan kawasan konservasi dengan ekosistem unik yaitu lokasi yang merupakan pertemuan tiga
ekosistem. Ketiga ekosistem tersebut yaitu ekosistem gunung tua purba/Gunung Nglanggeran (sebelah
Utara), ekosistem Pegunungan Seribu Karst (sebelah timur) dan ekosistem/lembah wonosari (sebelah
selatan). Ketiga ekosistem ini telah ditetapkan oleh United Nations Educational, Scientific and Cultural
Organization (UNESCO) menjadi kawasan taman geologi, untuk dikembangkan sebagai Konservasi
Paleoekosistem (Anonim, 2015a). Tahura Bunder mempunyai sejarah proses alam yang besar dan
menarik untuk dijadikan bahan pelajaran peristiwa ekosistem masa lalu yang perlu diabadikan dan
diketahui oleh masyarakat luas. Rencana pengembangan wisata untuk konservasi Paleoekosistem
kawasan Gunungkidul yaitu dengan mengembangan wisata paleologis (paleological). Paleologi adalah
ilmu kepurbakalaan (Tamburello, 1957), sehingga Paleologis mempunyai arti bersifat ilmu-ilmu purbakala
atau berkaitan dengan paleologi. Wisata Paleologis berkaitan dengan ilmu-ilmu masa lalu yang akan
dibangun di Tahura Bunder yaitu atraksi arboretum tanaman karst purba (paleobotani), museum zoologi
purba (paleozoologi) dan teater ekosistem purba (paleoekosistem). Apabila hal itu terwujud, Tahura
Bunder mempunyai kekhasan dan keistimewaan dengan mengangkat tema paleologis, dan hanya satu-
satunya di Indonesia (Anonim, 2015d).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kawasan Tahura Bunder memiliki beberapa Potensi fisik yaitu
kondisi topografi, variasi kemiringan lereng, variasi jenis tanah, kondisi suhu, kenampakan geologi,
kenampakan hidrologi, ragam fauna terutama jenis burung, ragam flora, aksesibilitas, serta sarana dan
prasarana dasar penunjang. Kawasan Tahura Bunder memiliki potensi non fisik berupa berbagai instansi
yang dapat dijadikan sebagai lokasi pembelajaran Geografi, program wisata pendidikan lingkungan (Eco-
Edu Tourism) dari pengelola. Faktor pendukung dalam pengembangan kawasan Tahura Bunder sebagai
laboratorium alam geografi adalah (a) Ketersediaan sumber belajar geografi (b) Program Ecoedu Tourism
dari pengelola kawasan Tahura Bunder (c) Panorama alam yang indah (d) Aksesibilitas tinggi (e) Tingkat
keamanan tinggi.

Keunikan dan potensi dari kawasan Tahura Bunder ini belum banyak dilirik untuk kegiatan pembelajaran.
Kondisi fisik kawasan Tahura Bunder ini menunjang untuk dijadikan kawasan penelitian dan pendidikan.
Tahura Bunder memiliki unit persemaian tanaman hutan milik Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi
DIY terletak di blok 19 RPH Bunder, BDH Playen Kabupaten Gunungkidul, Areal penangkaran satwa
berada di blok 22 seluas kurang lebih 6,2 hektar yang berbatasan dengan lokasi persemaian. Industri
yang terdapat di kawasan Tahura Bunder adalah industri pengolahan minyak kayu putih yang terletak
pada blok 22 e bagian selatan, dimana industri tersebut dikelola oleh Dinas Kehutanan dan Perkebunan
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Rest Area Bunder yang digunakan sebagai lokasi peristirahatan
transportasi dari dan menuju Kota Wonosari (Khairun Nisa, 2007: 112-114).

Kawasan Tahura Bunder mempunyai berbagai jenis hewan dilindungi seperti Burung Madu Sriganti
(Nectarinia juularis), Elang Ular Bido (Spizaetus cheela), Elang Alpa Cina (Accipiter soloensis), Raja Udang
Meninting (Alcedo meninting), Alap-Alap Sapi (Falco sylvatica), Burung Madu Kelapa (Anthreptes
malacensis). Selain enam spesies hewan yang dilindungi ini kawasan Tahura Bunder juga memiliki kurang
lebih 37 jenis satwa liar. Kawasan Tahura Bunder juga menyimpan kekayaan spesies tumbuhan, sekitar 39
jenis spesies tumbuhan teridentifikasi ada dalam kawasan Tahura Bunder, contohnya adalah Kayu Putih
(Melaleuca leucadendron), Jati (Tectona grandis), Kemiri (Aleurites moluccensis), Cemara (Casuarina
equisetifolia), Akasia (Accacia auriculiformis), Mahoni (Swietina macrophyta) dan lain-lain (BKSDA DIY :
2007).

Potesi kawasan :

11. Flora

Ada 35 jenis diantaranya: jati (Tectona grandis), mahoni (Swietenia mahagoni), akasia, kayu putih
(Melaluca leucadendron), sono keling (Dalbergia latifolia), secang (Caesalpinia boducella), kesambi
(Schleichera oleosa), mindi (Melia azedarach), pulai (Alstonia scholaris), wedusan (Ageratum
conyzoides), tapak liman (Elephantopus scaber), sambiloto (Andrographis panculata), putri malu
(Mimosa pudica), kerinyu (Eupatorium odoratum), telekan (Lantana camara).

12. Fauna

Aves tercatat ± 30 jenis diantaranya: kepodang kuduk hitam (Oriolus chinensis), burung madu
sriganti (Nectarinia jugularis), cikrak kutub (Phylloscopus borealis), cekakak jawa (Halcyon
cianoventris), elang ular bido (Spilornis cheela), gelatik batu kelabu (Parus major), tekukur biasa
(Streptopelia chinensis), merbah cerucuk (Pyconotus goaiver), ayam hutan (Gallus gallus), gemak
loreng (Turnix suscitator), cekakak sungai (Todirhampus chloris), pelanduk semak (Malacocicla
sepiarium).

Mamalia: monyet ekor panjang (Macaca fasicularis), musang luwak (Paradoxus hermaphrodites),
babi hutan (Sus scrofa), garangan (Herpetes javanicus).

Insect: belum teridentifikasi.

Ekosistem
Kabupaten Bantul

Lokasi : Pantai Selatan

Tipe ekosistem : ekosistem pantai

Keunikan : tempat pendaratan penyu dan gumuk pasir

Kabupaten Sleman

Lokasi : Dusun Ketingan, Kelurahan Tirtoadi, Kecamatan Mlati, Komplek Candi Prambanan

Tipe ekosistem : ekosistem daratan

Keunikan : habitat burung kuntul (Bulbucus ibis) dan menjadi dea wisata fauna, habitat gelatik
jawa di komplek Candi Prambanan

Kabupaten Kulonprogo

Lokasi : Pantai Sungapan, muara Sungai Progo

Tipe ekosistem : ekosistem pantai

Keunikan : habitat burung migran, pendaratan penyu

Kabupaten Gunungkidul

Lokasi : Pegunungan Sewu, Kawasan Karst, Pantai Selatan

Tipe ekosistem : ekosistem karst, ekosistem pantai


Keunikan : kawasan karst, pendaratan penyu, hutan adat Wonosadi

Referensi:

Balai Konservasi Sumberdaya Alam Yogyakarta. 2010. Kawasan Konservasi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Yogyakarta: BKSDA Yogyakarta.

KPH Yogyakarta. 20. Pembelajaran KPH Yogyakarta. http://kph.menlhk.go.id/index.php?


option=com_content&view=category&layout=blog&id=70&Itemid=196

Muldalyanto. 2013. Strategi Pengelolaan Kawasan Hutan Produksi AB (Afgeschreven djati-Bosch) di


Kabupaten Gunungkidul Daerah Istimewa Yogyakarta. Tesis. Yogyakarta: Program Pascasarjana Fakultas
Kehutanan Universitas Gadjah Mada.

Amalia, R. 2017. Peran Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) dalam Pelestarian Sumberdaya Alam
Hayati dan Ekosistemnya di Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta.

Retnowati, D. 2016. Potensi Pasar Wisata Paleologis di Tahura Bunder Kabupaten Gunungkidul Daerah
Istimewa Yogyakarta. Tesis. Yogyakarta: Program Pascasarjana Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah
Mada.

Kuswijayanti, E.R., Dharmawan, A.H., dan Kartodihardjo, H. 2011. Konservasi Sumberdaya Alam di Taman
Nasional Gunung Merapi: Analisis Ekologi Politik. JPSL 1(1): 23—30.

Kuswijayanti, Elisabet Repelita, 2007. Konservasi Sumberdaya Alam di Taman Nasional Gunung Merapi:
Analisis Ekologi Politik. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Darmawan, Nugroho Sigit. 2015. Karakteristik Habitat dan Pola Sebaran Anggrung (Trema orientalis)
Pasca Erupsi 2010 di Resort Cangkringan Taman Nasional Gunung Merapi. Skripsi. Yogyakarta: Fakultas
Kehutanan Universitas Gadjah Mada.

Sulistyo, Thomas Danar. 2014. Potensi dan Upaya Pengembangan Kawasan Taman Hutan Raya Bunder
Kabupaten Gunungkidul sebagai Laboratorium Alam Geografi. Skripsi. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Yogyakarta.

Rakhmawati, Ulie. Rencana Kerja Pengelolaan Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi yang
Berkelanjutan dan Berbasis Masyarakat dengan Kampanye Pride. Sleman: Yayasan Kanopi Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai