Anda di halaman 1dari 14

PROSEDUR PELAKSANAAN

(Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis)

Oleh : Dea Zubaidah Sinaga

Kamelia arpha

Suci andriani tambunan

Oka ramadhani

PROGRAM STUDI NERS

FAKULTAS FARMASI DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA

MEDAN 2018
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................. i


KATA PENGANTAR ........................................................................... ii
DAFTAR ISI.......................................................................................... iii
BAB 1 PENDAHULUAN ..................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah.............................................................. 3
1.3. Tujuan Penulisan ............................................................... 3
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ........................................................... 5
2.1Sejarah dan Perkembangan ........................................ 5
2.2Definisi CAPD ........................................................... 6
2.3Tujuan CAPD............................................................. 8
2.4Indikasi CAPD ......................................................... 8
2.5Kontraindikasi CAPD .............................................. 9
2.7Prosedur CAPD ........................................................ 11
2.1.1. Keuntungan CAPD ................................................ 20
2.1.2. Kelemahan CAPD.................................................. 21
2.1.3. Komplikasi CAPD ................................................. 21
2.1.4. Fase Persiapan Sebelum CAPD ............................. 23
BAB 3 PENUTUP ................................................................................. 36
4.1. Simpulan .............................................................................. 36
4.2. Saran ..................................................................................... 36
DAFTAR PUSTAKA
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Saat ini, terdapat teknologi baru yang hadir sebagai terapi bagipenderita gagal ginjal,
yaitu Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis(CAPD). Terapi pengganti ginjal ini
sesuai sebagai metode pengobatan yang diberikan kepada pasien gagal ginjal yang tidak
mungkin lagi diobati secara konservatif dengan diet dan obat-obatan. (Suhardjono,
2008)Peritonial dialisis dapat dilakukan dengan dua macam cara, yaituContinuous
Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) yang menggunakanTwinbag CAPD System,
serta Automated Peritoneal Dialysis (APD) yangmenggunakan mesin khusus. CAPD
merupakan dialisis mandiri yang bisa dilakukan sendiri oleh penderita, sedangkan APD
dilakukan dengan mesin khusus di rumah sakit (Situmorang, 2004). Dengan demikian,
penggunaan metode CAPD dapat dijadikan pilihan selain hemodialisis dan transpalansi
ginjal. CAPD dapat menciptakan kualitas hidup yang lebih baik bagi penderita, sebab
mereka dapat menjalani hidupnya dengan normal, tanpa banyak batasan untuk
mengkonsumsi makanan (Erlan, 2007).
Kualitas hidup bisa dipandang dari segi subyektif dan obyektif. Dari segi subyektif
merupakan perasaan enak dan puas atas segala sesuatu secara umum, sedangkan secara
obyektif adalah pemenuhan tuntutan kesejahteraan materi, status sosial, dan kesempurnaan
fisik secara sosial atau budaya (Trisnowati, 2002).
Menurut Kunmartini (2008), pasien penyakit ginjal kronik (PGK) seringkali dihadapi
dengan berbagai komplikasi yang mengikuti penyakit yang dideritanya yang berakibat
semakin menurunnya kualitas hidup orang tersebut. Menurut Cella (1994), penilaian kualitas
hidup penderita gagal ginjaldapat dilihat pada aspek kesehatan fisik, kesehatan mental,
fungsi sosial, rolefunction dan perasaan sejahtera.
Pada masa yang akan datang, semua jenis pelayanan kesehatan, pemantauan terhadap
efikasi pengobatan harus mempertimbangkan kualitas hidup penderita disamping status
klinis dan status ekonominya (Ganz, 1994).
Jumlah pasien yang tetap hidup dengan terapi dialisis di Amerika Serikat terus
meningkat dari tahun ke tahun. Di negara ini mortalitas pasien dengan dialisis mendekati
18% per tahun. Kematian ini disebabkan karena masalah penyakit kardiovaskuler dan
infeksi1. Lima puluh persen populasi dialisis di dunia menggunakan cara peritoneal dialisis.
Peritoneal dialisis digunakan hampir 12% pada populasi dialisis di Amerika Serikat. Di
negara-negara berkembang populasi pasien dengan peritoneal dialisis ini cenderung naik.
Angka ketahanan hidup pada pasien yang menggunakan hemodialisis dibandingkan dengan
peritoneal dialisis adalah hampir sama. Perkecualian pada pasien diabetik usia tua yang
mendapatkan terapi CAPD dimana mereka mempunyai resiko relatif kematian 1,26 kali
dibandingkan mereka yang diterapi dengan hemodialisis. Faktor-faktor komorbid yang tidak
diukur mungkin dapat menjelaskan terjadinya perbedaan ini atau mungkin juga karena
adanya bias yang tidak terdiskripsi.
Karena angka ketahanan hidup pada pasien yang menggunakan hemodialisis
dibandingkan dengan peritoneal dialisis adalah hampir sama, dan adanya beberapa kelebihan
peritoneal dialisis anatara lain lebih fleksibel, lebih efektif dalam segi biaya dan tehnik yang
lebih sederhana, maka penggunaan CAPD di Indonesia cenderunglebih disukai. Hal inilah
yang mendorong penulis untuk melakukan penelitian secara deskriptif mengenai CAPD.
1.2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Definisi ( Continous Ambulatory Peritoneal Dialisis )?
2. Bagaimana prinsip kerja, indikasi, kontraindikasi, komplikasi, keuntungan serta kerugian
CAPD?
1.3. Tujuan Penulisan
Berkaitan dengan rumusan masalah diatas, diharapkan memberikan tujuan dan manfaat
sebagai berikut :
1.3.1. Tujuan Umum
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Sistem Perkemihan, serta
para mahasiswa dapat mengetahui dan memahami tentangCAPD( Continous
Ambulatory Peritoneal Dialisis ).
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Mahasiswa memahami konsep tentang CAPD( Continous Ambulatory
Peritoneal Dialisis ).
2. Mahasiswa memahami prinsip kerja, indikasi, kontraindikasi, komplikasi
keuntungan, serta kerugian CAPD
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Pengertian CAPD (Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis)
CAPD adalah suatu proses dialysis di dalam rongga perut yang bekerja sebagai
penampung cairan dialysis, dan peritoneum sebagai membrane semi permeable yang
berfungsi sebagai tempat yang dilewati cairan tubuh yang berlebihan & solute yang berisi
racun yang akan dibuang.Di dalam rongga perut ini terdapat banyak sel-sel darah kecil
(kapiler) yang berada pada satu sisi dari membran peritoneum dan cairan dialysis pada
sisi yang lain.Rongga peritoneum berisi + 100ml cairan yang berfungsi untuk lubrikasi /
pelicin dari membran peritoneum. Pada orang dewasa normal, rongga peritoneum dapan
mentoleransi cairan > 2 liter tanpa menimbulkan rasa tidak nyaman.
CAPD adalah metode pencucian darah dengan mengunakan peritoneum (selaput yang
melapisi perut dan pembungkus organ perut). Selaput ini memiliki area permukaan yang
luas dan kaya akan pembuluh darah. Zat-zat dari darah dapat dengan mudah tersaring
melalui peritoneum ke dalam rongga perut. Cairan dimasukkan melalui sebuah selang
kecil yang menembus dinding perut ke dalam rongga perut. Cairan harus dibiarkan
selama waktu tertentu sehingga limbah metabolic dari aliran darah secara perlahan masuk
ke dalam cairan tersebut, kemudian cairan dikeluarkan, dibuang, dan diganti dengan
cairan yang baru.

2. Epidemiologi CAPD
Dengan CAPD dikatakan dapat menciptakan kualitas hidup yang lebih baik bagi
penderita. Sebab, mereka dapat menjalani hidupnya dengan normal, tanpa banyak batasan
untuk mengkonsumsi makanan.

3. Tujuan CAPD
Sebagai terapi pengganti, kegiatan CAPD mempunyai tujuan :
1. Membuang produk metabolisme protein seperti urea, kreatinin dan asam urat
2. Membuang kelebihan air.
3. Mempertahankan atau mengembalikan system buffer tubuh.
4. Mempertahankan atau mengembalikan kadar elektrolit tubuh
5. Memperbaiki status kesehatan penderita.

4. Indikasi tindakan CAPD


CAPD merupakan terapi pilihan bagi pasien yang ingin melaksanakan dialysis sendiri di
rumah, indikasi CAPD adalah pasien-pasien yang menjalani HD rumatan (maintenence)
atau HD kronis yang mempunyai masalah dengan caraterapi yang sekarang, seperti
gangguan fungsi atau kegagalan alat untuk aksesvaskuler, rasa haus yang berlebihan,
hipertensi berat, sakit kepala pasca dialisisdan anemia berat yang memerlukan
transfusi.Penyakit ginjal stadium terminal yang terjadi akibat diabetes sering
dipertimbangkan sebagai indikasi untuk dilakukan CAPD karena hipertensi,uremia dan
hiperglikemia lebih mudah diatasi dengan cara ini dari pada HD.
Pasien lansia dapat memanfaatkan teknik CAPD dengan baik jika keluarga atau
masyarakat memberikan dukungan. Pasien yang aktif dalam penanganan penyakitnya,
menginginkan lebih banyak kebebasan dan memiliki motivasi serta keinginan untuk
melaksanakan penanganan yang diperlukan sangat sesuai dengan terapi CAPD. Selain
kemampuan pasien dukungan dari keluarga untuk melasanakan CAPD harus
dipertimbangkan ketika memilih terapi ini.
Pasien memilih CAPD agar bebas dari ketergantungannya pada mesin, mengontrol
sendiri aktifitasnya sehari-hari menghindari pembatasan makanan meningkatkan asupan
cairan, menaikkan nilai hematokrit serum, memperbaiki kontrol tekananan darah, bebas
dari keharusan pemasangan jarum infuse (venipuncture) dan merasa sehat secara umum
meskipun CAPD memberikesan pasien tampak bebas, terapinya berlangsung secara
kontinyu sehingga pasien harus menjalani dialisis selama 24 jam /hari setiap hari.
Sebagian pasien menganggap cara ini membatasi kebebasanya dan memilih HD yang
lebih bersifat intermiten
Indikasi biokimiawi:
1. Ureum darah >200 mg%
2. Kalium < 6 mEq/L
3. HCO3 < 10 – 15 mEq/L
4. pH < 7,1
5. Kontraindikasi dilakukan CAPD

1. Perlekatan akibat pembedahan atau penyakit inflamasi sistemik sebelumnya.Perlekatan


akan mengurangi klirens solut.
2. Nyeri punggung kronis yang rekuren di sertai riwayat kelainan pada diskusinter
vertebralis dapat diperburuk oleh tekanan cairan dialisat dalam abdomen yang kontinyu
3. Adanya riwayat kolostomi, ileostomi, nefrostomi atau ileal conduit dapat meningkatkan
resiko peritonitis walaupun tindakan operasi tersebut bukan kontraindikasi absolut untuk
CAPD
4. Pasien dengan pengobatan imunosupresif akan mengalami komplikasi akibat
kesembuhan luka yang buruk pada lokasi pemasangan kateter.
5. Diverkulitis mengingat CAPD pernah disertai adanya ruptur divertikulum.
6. Pasien dengan artritis atau kekuatan tangan menurun karena akan memerlukan bantuan
dalam melaksanakan pertukaran cairan

6. Faktor yang mempengaruhi CAPD


1. Pemeliharaan kateter peritoneal permanen sangat mempengaruhi keberhasilan
CAPD. Masalah yang dapat terjadi pada kateter mencakup obstruksi satu arah,
tercabutnya kateter dari panggul, terbelitnya kateter dengan omentum,
perembesan cairan dialisat, infeksi pada lokasi keluarnya kateter, pembentukan
bekuan fibrin, kontaminasi bakteri/jamur serta masuknya udara pada selang
kateter. Masalah-masalah tersebut dapat menyebabkan terganggunya penetesan
serta pengaliran keluar cairan dialisat. Untuk itu kateter harus dilindungi terhadap
tindakan manipulasi dan lokasi masuknya kateter ke dalam abdomen memerlukan
perawatan yang cermat sesuai protokol dasar.
2. Suhu larutan dialisat yang hangat dapat mencegah gangguan rasa nyaman serta
nyeri pada abdomen dan menyebabkan dilatasi pembuluh - pembuluh darah
peritoneum sehingga meningkatkan klirens ureum. Sedangkan suhu larutan
dialisat yang terlalu dingin dapat menimbulkan nyeri serta vasokontriksi dan
menurunnya klirens natrium. Maka sebelum dilakukan penambahan obat-obatan
pada larutan dialisat, larutan ini dihangatkan hingga mencapai suhu tubuh
sehingga dapat memperoleh hasil yang optimal.
3. Keberhasilan terapi dialisis peritoneal pada dasarnya tergantung pada gizi yang
cukup. Malnutrisi merupakan salah satu faktor utama dalam morbiditas dan
mortalitas pasien dialisis. Penyebab utama gizi buruk adalah asupan energi tidak
cukup, suplai protein tidak cukup, kehilangan asam amino, protein, vitamin dan
elektrolit akibat dialisis, gangguan endokrinologis dan lain-lain. Untuk sukses
jangka panjang terapi dialisis kronis, sangat penting bahwa pasien berada dalam
keadaan gizi yang baik ketika memasuki program dialisis.

7. Konsep fisiologi tindakan CAPD


CAPD bekerja berdasarkan prinsip-prinsip yang sama seperti pada bentuk dialysis
lainnya, yaitu difusi dan osmosis. Tetapi karena CAPD merupakan terapi dialysis yang
kontinyu, kadar produk limbah nitrogen dalam serum berada dalam keadaan yang stabil.
Nilainya bergantung pada:
1. Fungsi ginjal yang masih tersisa
2. Volume dialisat setiap hari
3. Kecepatan produk limbah tersebut diproduksi
Fluktuasi hasil-hasil laboratorium ini pada CAPD tidak begitu ekstrim dibandingkan
dengan dialisis peritoneal intermiten, karena proses dialisis berlangsung secara konstan.
Kadar elektrolit biasanya tetap berada dalam kisaran normal.

Dialisis Peritoneal diawali dengan memasukkan cairan dialisat (cairan khusus untuk
dialisis) ke dalam rongga perutmelalui selang kateter, lalu dibiarkan selama 4-6 jam.
Ketika dialisat berada didalam rongga perut, zat-zat racun dari dalam darah akan
dibersihkan dan kelebihan cairan tubuh akan ditarik ke dalam cairan dialisat. Zat-zat
racun yang terlarut di dalam darah akan pindah ke dalam cairan dialisat melalui selaput
rongga perut (membran peritoneum) yang berfungsi sebagai alat penyaring, proses
perpindahan ini disebut difusi. Semakin lama waktu retensi, klirens molekul yang
berukuran sedang semakin baik, molekul ini merupakan toksin uremik yang signifikan.
Dengan CAPD, kliren molekul ini meningkat. Substansi dengan berat molekul rendah,
seperti ureum, akan berdifusi lebih cepat dalam proses dialisis dari pada
molekul berukuran sedang, meskipun pengeluarannya selama CAPD lebih lambat
daripada selama hemodialisis.

Pengeluaran cairan yang berlebihan pada saat dialisis peritoneal dicapai dengan
menggunakan larutan dialisat hipertonik yang memiliki konsentrasi glukosa yang tinggi
sehingga tercipta gradien osmotik. Larutan glukosa 1,5%, 2,5% dan 4,25% harus tersedia
dengan beberapa ukuran volume, mulai dari 500 ml ± 3000 ml, sehingga memungkinkan
pemilihan dialisat yang sesuai dengan toleransi, ukuran tubuh dan kebutuhan fisiologik
pasien. Semakin tinggi konsentrasi glukosa,semakin besar gradien osmotik dan semakin
banyak air yang dikeluarkan. Perpindahan ini disebut osmosis.

8. Prosedur tindakan CAPD


pemasangan CAPD dilakukan dengan pembedahan untuk pemasangan peritoneum dan
kateter untuk memasukan cairan dialisat. Setelah itu proses dialisis pun dapat dilakukan
dengan cairan dextrose.

1. Proses dialysis peritoneal ini tidak menimbulkan rasa sakit.


2. Membutuhkan waktu yang singkat, terdiri dari 3 langkah.
1. Pertama, masukkan dialisat berlangsung selama 10 menit
2. Kedua, cairan dibiarkan dalam rongga perut untuk selama periode waktu
tertentu (4-6 jam)
3. Ketiga, pengeluaran cairan yang berlangsung selama 20 menit

Ketiga proses diatas dilakukan beberapa kali tergantung kebutuhan dan bisa dilakukan
oleh pasien sendiri secara mandiri setelah dilatih dan tidak perlu ke rumah sakit.

Proses pertukaran CAPD dilakukan biasanya 4 kali sehari setiap minggu rata-rata
diulangi 4 jam sekali. Cairan dialisat dimasukkan sebanyak 2 liter setiap pergantian.
Sebelum pemasangan CAPD obat-obat yang biasanya diberikan seperti antibiotik, BP
medicine, obat hiperglikemia, serta vitamin dan mineral.
Untuk pergantian cairan harus memenuhi persyaratan kebersihan seperti clean water,
memakai sarung tangan, masker, mencuci tangan, dan dilakukan di tempat yang bersih.

9. Keuntungan dan kelemahan CAPD


Keuntungan :
a. dapat dilakukan sendiri di rumah
b. lebih mudah dilakukan dan lebih simple
c. mudah dipelajari prosedur dan tindakannya oleh pasien
d. waktu lebih fleksibel dan tidak harus ke rumah sakit
e. tidak terasa nyeri saat melakukan exchange fluid
f. diet dan intake cairan lebih bebas
g. diindikasikan untuk pasien dengan gangguan jantung
Kerugian :
a. lebih mudah terkena peritonitis
b. resiko infeksi dari jalan masuk kateter
c. gangguan citra tubuh akibat terpasangnya selaput peritonium pada bagian
abdomen.

10. Alat yang digunakan untuk CAPD


Untuk perawatan harian :
a. Air bersih, sabun
b. Kantong dialisat dan kantong produk sisa
c. Standar infuse
d. Kateter bentuk X
e. Sarung tangan bersih disposable
f. Medical masker
g. Clam kateter dan lap bersih yang halus
h. Disposable syiremge
11. Komplikasi

CAPD bukan teknik dialisis tanpa komlikasi. Kebanyakan komplikasinya bersifat ringan,
meskipun beberapa diantaranya jika tidak diatasi dapt membawa akibat yang serius pada
pasien.
1. Peritonitis
a. Peritonitis merupakan komplikasi yang paling sering dijumpai dan yang paling
serius komplikasi ini terjadi pada 60% hingga 80% pasien yang menjalani dialisis
pritoneal. Sebagia besar kejadian perotinitis disebabkan kontaminasi
Staphylococcus epidermidis yang bersifat aksidental. Kejadian ini mengakibatkan
gejala ringan dan prognosisnya baik; meskipun demikia, peritonitis akibat
Staphylococcus aureus mengasilkan angka morbiditas yang lebih tinggi, memiliki
prognosis yang lebih serius dan berjalan lebih lama.
2. Kebocoran
a. Kebocoran dialisat melalui luka insisi atau luka pada pemasangan kateter dapat
segera diketahui setelah kateter dipasang. Biasanya kebocoran tersebut berhenti
sepontan jika terapi dialisis ditunda selama beberapa hari untuk menyembuhkan
luka insisi dan tempat keluarnya kateter. Selama periode ini, faktor-faktor yang
memperlambat proses kesembuhan seperti aktivitas abdomen yang tidak
semestinya atau mengejan pada saat buang air besar harus dikurangi. Kebocoran
melalui tempat pemasangan kateter atau kedalam dinding abdomen dapat terjadi
sepontan beberapa bulan atau beberapa tahun setelah pemasangan kateter tersebut.
Kebocoran sering dapat dihindari dengan melalui infus cairan dialisat dengan
volume kecil (100-200 ml) dan kemudian secara bertahap meningkatkan volime
tersebuthingga mencapi 200 ml.
3. Perdarahan
a. Cairan drainase (effluent) dialisat yang mengandung darah kadang-kadang dapat
terlihat, khususnya pada pasien wanita yang sedang haid. ( Cairan hipertonik
menarik darah ke uterus lewat orifisium tuba falopii yang bermuara dalam kavum
peritoneal )
4. Komplikasi lain
1. Komlikasi lain mencakup hernia abdomen yang mungkin terjadi akibat peningkatan
tekanan intra abdomen yang terus- menerus. Tipe hernia yang pernah terjadi adalah
type insisional, inguinal, diagfragmatik dan umbilical. Tekanan intra abdomen yang
secara persisten meningkat juga akan memperburuk gejala hernia peatus dan
hemoroid.
2. Hipertrigliseridemia sering dijumpai pada pasien-pasien yang menjalani CAPD
sehingga timbul kesan bahwa terapi ini dapat mempermudah aterogenesis. Penyakit
kardiovaskular tetap merupakan menyebab utama kematian pada populasi pasien ini.
3. Nyeri punggung bawah dan anoreksia akibat adanya cairan dalam rongga abdomen
disamping rasa manis yang selalu terasa pada indra pengecap serta berkaitan dengan
absobsi glukosa dapat pula terjadi pada terapi CAPD.
4. Kesalahan letak kateter
5. Sumbatan pada masuk dan keluarnya cairan dialisa.

5.Gangguan citra tubuh dan seksualitas


Meskipun CAPD telah memberikan kebebasan yang lebih besar dan hak untuk
mengontrol sendiri terapinya kepada pasien penyakit renal stadium terminal, namun
bentuk terapi ini bukan tanpa masalah. Pasien sering mengalami perubahan citra tubuh
dengan adanya kateter abdomen dan kantong penampung serta selang di badannya.
Seksualitas dan fungsi seksual dapat berubah : pasien beserta pasangannya mungkin
enggan untuk melakukan aktifitas social dan keengganan ini sebagian timbul karena
secara psikologis, kateter menjadi “penghalang” aktifitas tersebut. Keberadaan dua liter
cairan dialisa, kateter peritoneal dan kantong drainase dapat menggangu fungsi seksual
serta cairan tubuh pada pasien-pasien ini.
BAB 4
PENUTUP
1.1. Simpulan
CAPD (Continuius Ambulatory Peritoneal Dialysis)
Merupakan metode pencucian darah dengan mengunakan peritoneum (selaput
yang melapisi perut dan pembungkus organ perut). Selaput ini memiliki area permukaan
yang luas dan kaya akan pembuluh darah. Zat-zat dari darah dapat dengan mudah tersaring
melalui peritoneum ke dalam rongga perut. Cairan dimasukkan melalui sebuah selang kecil
yang menembus dinding perut ke dalam rongga perut. Cairan harus dibiarkan selama
waktu tertentu sehingga limbah metabolic dari aliran darah secara perlahan masuk ke
dalam cairan tersebut, kemudian cairan dikeluarkan, dibuang, dan diganti dengan cairan
yang baru.
1.2. Saran
Perkembangan teknologi di era globalisasi ini kian menuntut manusia untuk selalu
berevolusi dan berinovasi, khususnya dibidang teknologi kesehatan. Berbagai penemuan-
penemuan terkait dengan terapi pengobatan dan metode pengobatan terbaru pun telah
ditemukan. Salah satunya adalah metode dialysis tanpa mesin yaitu metode CAPD. Kita
sebagai mahasiswa perawat, sebagai bibit yang nantinya akan meneruskan pembangunan di
bidang kesehatan sudah sepatutnya untuk membekali diri dengan segala dan setiap
perkembangan yang terjadi di masyarakat. Hal ini penting karena dapat membantu
mahasiswa nantinya dalam menjalankan profesinya di bidang keperawatan. Dengan
memiliki jiwa yang sensitive akan perkembangan teknologi, maka ilmu pun akan selalu
diperoleh guna profesionalisme kerja yang juga nantinya akan bermanfaat dalam
memberikan asuhan keperawatan melalui pendekatan proses keperawatan.
DAFTAR PUSTAKA

Iqbal et al. Outcome of Peritoneal Dialysis and Hemodialysis in Elderly Patients with Diabetes:
Early Experience from Bangladesh. Advances in Peritoneal Dialysis 2005;21:85-9.
Ardaya. 2003. Manajemen gagal ginjal kronik. Nefrologi Klinik, tatalaksana Gagal ginjal
Kronik.Palembang:Perhimpunan Nefrologi Indonesia
Keane WF, Baillie GR, Boeschoeten, E, Gokal R, Adult Peritoneal Dialysisi-Related Peritonitis
Treatment Recomendations : 2000 Update Peritoneal Dyalisis International 2000,20396-
411
Haryanti E et al. Kejadian Peritonitis Pada Pasien Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis :
Identifikasi mikroorganisme dan sensitifitas antibiotik. Divisi Ginjal Dan Hipertensi
Bagian/SMF Ilmu Penyakit dalam FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar
Risqina P, Sembiring LP, Bebasari E, Gambaran Kualitas Hidup Pasien Gagal
Ginjal Kronik Yang Menjalani Terapi Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis Di RSUD
Arifin Achmad Provinsi Riau Dengan Menggunakan Kuesioner KDQOL-SF. Penulis untuk
korespondensi: Fakultas Kedokteran Universitas Riau

Anda mungkin juga menyukai