Anda di halaman 1dari 47

DESAIN II (ME091318) : PROPELLER & SISTEM PERPOROSAN

BAB I : PENDAHULUAN
Perencanaan propeller dan sistem perporosan merupakan salah satu tahapan penting
dalam mendesain kapal. Sebelum merencanakan propeller dan sistem perporosan, kita
diharuskan terlebih dalulu untuk mengetahui fungsi-fungsi dari bagian propeller dan sistem
perporosan yang akan kita rancang dan yang paling penting adalah kita harus mengetahui data
utama kapal yang dirancang.

I.1 Filosofi Desain

Propeller merupakan bentuk alat penggerak kapal yang paling umum digunakan dalam
menggerakkan kapal. Sebuah kapal dapat bergerak dengan kecepatan sesuai keinginan owner
membutuhkan gaya dorong (thrust). Gaya dorong tersebut dihasilkan oleh motor induk atau main
engine yang ditransmisikan melalui poros dan disalurkan ke baling-baling (propeller).

Hal awal yang dilakukan untuk pendesainan propeller adalah perhitungan tahanan total.
Pada perancangan propeller dan sistem perporosan ini metode yang digunakan untuk menghitung
tahanan adalah metode Harvald. Tahapan selanjutnya adalah mehitung daya engine yang akan
ditransmisikan ke propeller untuk menghasilkan gaya dorong (BHP). Setelah didapatkan BHP
maka kita harus mencari main engine yang mempunyai nilai sesuai BHP untuk bisa menjalankan
tugasnya dengan baik.

Langkah selanjutnya adalah menghitung dan menentukan jenis propeller yang akan
digunakan. Pada perhitungan dan penentuan dimensi propeller yang digunakan adalah Bp - 
diagram, dari diagram tersebut nantinya akan didapatkan dimensi dari propeller yang dirancang.
Dalam tahapan ini yang paling penting adalah mencari propeller yang paling effisien, diameternya
memenuhi persyaratan dari kapal yang dirancang, dan memenuhi sarat kavitasi.

Engine propeller matching (EPM) adalah tahapan selanjutnya. EPM merupakan


mencocokan performa dari propeller dengan mesin yang digunakan. Setelah itu tahapan yang
dilakukan adalah melakukan perhitungan perancanaan poros. Dalam perencanaan poros hal yang
perlu diperhatikan adalah besarnya daya yang disalurka (SHP) dan besarnya torsi yang akan
diterima oleh poros.

Perhitungan dan perancangan stern tube merupakan tahapan yang terakhir. Stern tube
merupakan tabung kedap yang berguna untuk mencegah air dari luar memasuki badan kapal.
Selain itu stern tube juga berfungsi sebagai penopang dan tempat untuk melumasi poros.

Dalam laporan ini juga akan dihitung mengenai perencanaan boss propeller, kopling, tebal
bantalan, pasak, stern post, intermediate shaft serta kopling penghubung antara poros propeller
dan poros intermediate. Jenis pelumasan dari stern tube yang digunakan dalam perencanaan
perporosan ini adalah sistem pelumasan minyak.

Bimo Wira Para (4211100055) Page 1


DESAIN II (ME091318) : PROPELLER & SISTEM PERPOROSAN

I.2 Data Utama Ukuran Kapal

Sebelum memulai merancang sebuah kapal, langkah pertama yang dilakukan adalah mencari
data kapal yang telah ditentukan. Data kapal pembanding ini berguna sebagai acuan dari dimensi
kapal yang akan dirancang. Data kapal yang ditentukan dapat dicari dibuku ataupun website dari
berbagai biro klasifikasi yang ada dimanapun. Contohnya NK,BV,GL,dll. Dalam perancangan
desain ini data kapal yang digunakan berasal dari Nippon Kaiji Kyokai ( ClassNK ). Berikut adalah
data dimensi kapal yang digunakan :

Tipe Kapal : Containner Carrier


Nama Kapal : CTP Fortune
Tahun Pembangunan : 1998
Tonnage Gross : 14855
Deadwight : 16567
Lpp : 152,00m
B : 26,20 m
H : 13,20 m
T : 8,27 m
Daya Motor : 12268 kW
Rpm : 105 Rpm
𝑣𝑠 : 20 knot

Gambar I.2.1 Kapal Pembanding (vesseltracker.com)

Bimo Wira Para (4211100055) Page 2


DESAIN II (ME091318) : PROPELLER & SISTEM PERPOROSAN

I.3 Data Gambar Lines Plan

Gambar I.3.1 Body Plan

Bimo Wira Para (4211100055) Page 3


DESAIN II (ME091318) : PROPELLER & SISTEM PERPOROSAN

Gambar I.3.2 Half Breadth Plan

Bimo Wira Para (4211100055) Page 4


DESAIN II (ME091318) : PROPELLER & SISTEM PERPOROSAN

Gambar 1.3.3 Sheer Plan bagian buritan

Bimo Wira Para (4211100055) Page 5


DESAIN II (ME091318) : PROPELLER & SISTEM PERPOROSAN

Gambar I.3.4 Sheer Plan bagian haluan

Bimo Wira Para (4211100055) Page 6


DESAIN II (ME091318) : PROPELLER & SISTEM PERPOROSAN

I.3 Rules & Regulations

Pada perancangan Propeller dan Sistem Perporosan ini, pengerjaanya harus mengacu
pada rules & regulation yang berlaku. Karena apabila tidak mengikuti aturan yang telah ditetapkan
oleh klas maka rancangan propeller dan sistem perporosan ini tidak akan diterima oleh klas yang
bersangkutan. Dengan mengikuti aturan yang telah ditetapkan oleh klas maka kesempurnaan
konstruksi dan kelengakapannya dapat dipertanggung jawabkan.

Perancangan propeller dan sistem perporosan ini mengikuti aturan yang ada dalam BKI
(Biro Klasifikasi Indonesia). BKI merupakan suatu lembaga badan teknik yang melakukan kegiatan
berupa pengawasan untuk kapal baru maupun kapal yang sedang beroperasi, dan pemberian
sertifikasi untuk kapal-kapal yang telah lulus penilaian atas kesempurnaan konstruksi dan
kelengkapannya. Dan untuk perhitungan tahanan pada kali ini digunakan metode Harvald.

Bimo Wira Para (4211100055) Page 7


DESAIN II (ME091318) : PROPELLER & SISTEM PERPOROSAN

BAB II : PERHITUNGAN PROPELLER


Perencanaan desain propeller dan sistem perporosan adalah hal yang sangat penting bagi
suatu kapal yang ingin mencapai kecepatan berlayar sesuai dengan yang diinginkan. Hal ini
berkaitan dengan pemilihan main engine sebagai media penghasil gaya dorong pada kapal. Tipe
propeller dan diameter poros yang sesuai juga perlu direncanakan agar daya yang dihasilkan main
engine dapat menghasilkan gaya dorong yang maksimal untuk mendapatkan kecepatan yang
diinginkan. Maka dari itu dalam BAB II – Perhitungan Propeller ini akan membahas tentang :

 Perhitungan tahana total kapal


 Perhitungan kebutuhan power
 Pemilihan main engine dan reduction gear
 Pemilihan daun dan tipe propeller
 Perhitungan resiko kavitasi
 Engine Propeller Matching

II.1 Perhitungan Tahanan Kapal


Tahanan (resistance) kapal adalah suatu gaya yang diakibatkan oleh fluida yang
berlawanan arah dengan gerak kapal. Tahanan kapal diaplikasikan untuk mencari kebutuhan gaya
dorong (thrust) yang dibutuhkan oleh kapal,agar kapal dapat bergerak dengan kecepatan dinas
(service speed) yang sesuai dengan perencanaannya (Adji,2009). Pada kesempatan ini
perhitungan tahanan menggunakan metode Harvald dalam perhitungannya. Hasil tahanan akhir
atau tahanan total pada suatu kapal merupakan kalkulasi gabungan dari beberapa tahanan yang
terdiri dari :

 Tahanan gesek (friction resistance)


 Tahanan sisa (residuary resistance)
 Tahanan tambahan
 Tahanan udara dan kemudi

Sebelum menghitung tahanan kapal kita harus menentukan dahulu besarnya volume displasmen,
berat displasmen, luas permukaan basah (wetted surface area), Fraude Number, dan Reynold
Number dari kapal yang kita rancang. Berikut adalah tahapan pehitungannya :

II.1.1. Perhitungan Volume Dispalsmen

Volume displasmen adalah volume air yang dipindahkan oleh badan kapal sebagai
sebuah floating body. Rumus dari volume displasmen adalah :

▼ = Cb x LWL x B x T (2.1)

Cb = Koefisien blok kapal yang terletak dibawah garis air

LWL = Panjang kapal yang dihitung pada garis air

B = Lebar kapal

T = Tinggi sarat air kapal

Bimo Wira Para (4211100055) Page 8


DESAIN II (ME091318) : PROPELLER & SISTEM PERPOROSAN

II.1.2. Perhitungan Berat Displasmen

Berat displasmen merupakan berat dari volume air yang dipindahkan oleh kapal.
Rumus yang digunakan untuk mencari berat displasmen adalah :

∆ = Cb x LWL x B x T x 𝜌 air laut


∆ = ▼ x 𝜌 air laut (2.2)

ρ air laut = Masa jenis air laut

II.1.3. Luas Permukaan Basah

Luas permukaan basah adalah luas permukaan badan kapal yang tercelup di dalam
air. Dimana rumusnya adalah :

S = 1,025 Lpp x (Cb x B + 1,7 T) (2.3)

Lpp = Panjang antara kedua garis tegak buritan dan garis tegak haluan yang
dihitung pada garis air muat

II.1.4. Fraude Number

Fraude number ini berhubungan dengan kecapatan kapal. Semakin besar angka
fraude number maka semakin cepat kecepatan kapal tersebut.
𝑣
Fn = (2.4)
√𝑔 𝑥 𝐿𝑤𝑙

V = Kecepatan dinas kapal (m/s)

g = Percepatan gravitasi (m/s2)

II.1.5. Reynold Number

Nilai reynold number akan digunakan pada saat pencarian tahanan gesek.
Rumus untuk mencari Rn :
𝑣 𝑥 𝐿𝑤𝑙
Rn = 𝑉𝑘 (2.5)
Vk = Koefisien viskositas kinematik

II.1.6. Tahanan Gesek (Friction Resistance)


Tahanan gesek adalah tahanan yang disebabkan karena gesekan dari semua fluida
yang mempunyai viskositas dan karena adanya viskositas maka akan menimbulkan
gesekan dengan permukaan kapal. Ada 2 cara untuk mencari tahanan gesek, yaitu dengan
menghitung sesuai rumus, dan dengan melihat diagram 5.5.14 (Harvald, 1992 : 129).
Dengan cara yang kedua kita hanya tinggal mempertemukan nilai kecepatan kapal dan
panjang dari kapal kita tapi apabila kita menggunakan cara yang kedua hasil yang didapat
tidak begitu presisi. Berikut adalah rumusan untuk mencari tahanan gesek :
0,075
CF = (log 𝑅𝑛−2)2 (2.6)

Bimo Wira Para (4211100055) Page 9


DESAIN II (ME091318) : PROPELLER & SISTEM PERPOROSAN

II.1.7. Tahanan Sisa (Residuary Resistance)

Koefisien tahanan sisa (CR) dapat ditentukan dari diagram Guldhammer-


Harvald(Harvald,1992 : 118-126). Langkah awal dalam menentukan koefisien tahanan
𝐿𝑤𝑙
sisa,kita diharuskan mencari nilai dari 1 dan nilai dari koefisien prismatik (φ) dari kapal
∇3
yang kita desain. Setelah mendapatkan kedua nilai tersebut kita bisa mencari nilai koefisien
tahanan sisa kapal pada diagram.

Setelah didapatkannya koefisien tahanan sisa kita masih harus melakukan koreksi,
karena kapal pada umumnya berbeda dengan standar yang telah ditentukan. Berikut ini
adalah koreksi yang harus dilakukan :

II.1.7.a. B/T

Diagram tersebut dibuat hanya untuk kapal yang mempunyai rasio lebar -
sarat “ B/T = 2,5 “ (Harvald,1992 : 119) ,maka untuk kapal yang mempunyai nilai
lebih besar atau lebih kecil dari 2,5 harus dilakukan pengkoreksian.

Dalam buku acuan Tahanan dan Propulsi Kapal, rumus koreksi sebagai
berikut :
103 CR = 103 CR(B/T=2.5) + 0.16(B/T – 2,5) (2.7)

dimana nilai dari CR bisa bernilai positif maupun negatif.

II.1.7.b. Penyimpangan LCB

Letak LCB yang optimum akan menentuka kapal yang didesain mempunyai
tahanan sekecil mungkin. Namun penentuan letak LCB yang optimum merupakan
kuantitas yang masih meragukan dan banyak sumber yang memberikan pendapat
yang berbeda. Sebagai upaya untuk mengatasi kerancuan tersebut, maka semua
informasi yang ada dikumpulkan dan diringkas pada LCBstandar yang didefinisikan
sebagai fungsi linier dari fraude number (Fn). Pengkoreksian penyimpangan LCB ini
hanya berlaku untuk LCB yang mempunyai letak berada di depan LCBstandar.
Karena letak LCB kapal yang saya desain berada dibelakang LCBstandar maka
pengkoreksian dapat diabaikan karena hal tersebut tidak akan memberikan
kesalahan yang berarti(Harvald,1992 : 130).

II.1.7.c. Anggota Badan Kapal

Ada beberapa bagian tambahan kapal yang harus dikoreksi. Tapi dalam hal
ini yang perlu dikoreksi adalah boss baling-baling, Cr perlu dinaikkan sebesar
3%-5%(Harvald,1992 : 132).

II.1.8. Tahanan Tambahan (CFS)

Pemberian koreksi pada CFS untuk kapal merupakan cara yang umum dilakukan
dalam praktek dan sudah lama diterapkan akibat adanya kekasaran pada permukaan kapal
meskipun kapal itu masih baru(Harvald,1992 : 132).

II.1.9. Tahanan Udara dan Tahanan Kemudi

Tahanan udara dapat ditentukan dengan memakai data mengenai struktur yang
berada di atas air dan data udara. Namun demikian besarnya tahanan udara umumnya
tidak begitu penting dan dapat diabaikan. Tapi disini ditentukan besarnya tahanan udara
dan tahanan kemudi adalah sebagai berikut :

Bimo Wira Para (4211100055) Page 10


DESAIN II (ME091318) : PROPELLER & SISTEM PERPOROSAN

CAA = 0,00007 (2.8)

CAS = 0,00004 (2.9)

CAA = Tahanan Udara

CAS = Tahanan Kemudi

II.1.10. Tahanan Total Kapal

Koefisien tahanan total kapal (CT) dapat ditentukan dengan menjumlahkan seluruh
koefisien tahanan kapal yang ada :

CT = CF + CR + CFS + CAA + CAS (2.10)


1
RT = CT ( 2 𝜌 𝑉 2 𝑆 ) (2.11)

Dalam hal ini tahanan total masih dalam pelayaran percobaaan, untuk kondisi
rata-rata pelayaran dinas harus diberikan margin tambahan pada tahanan dan daya efektif.
Sea margin atau service margin yang diberikan untuk pelayaran Jakarta – Calcutta sekitar
15% - 20%.

Bimo Wira Para (4211100055) Page 11


DESAIN II (ME091318) : PROPELLER & SISTEM PERPOROSAN

II.2 Pehitungan Kebutuhan Power Motor


Secara umum kapal yang bergerak di air dengan kecepatan tertentu maka akan mengalami
tahanan (resistance) yang gaya nya berlawanan dengan arah gerak kapal. Besarnya gaya
tersebut harus mampu diatasi oleh gaya dorong kapal (thrust) yang dihasilkan oleh kerja dari alat
gerak kapal (propulsor). Daya yang disalurkan (Delivered Power) ke propulsor berasal dari daya
poros (Shaft Power),sedang kan daya power itu sendiri berasal dari daya rem (Brake Power) yang
merupakan daya keluaran dari motor penggerak kapal.

Untuk menghitung besarnya daya motor induk kapal, yang perlu kita perhitungkan adalah
sebagai berikut :

II.2.1. Daya Efektif Kapal (Effective Horse Power)

Daya Efektif atau EHP adalah daya yang diperlukan untuk menggerakkan kapal di
air atau untuk menarik kapal dengan kecepatan (v). Perhitungan daya efektif kapal (EHP)
adalah sebagai berikut :

EHP = RT x VS (2.12)

II.2.2. Daya pada Tabung Poros Buritan Baling-Baling (Delivered Horse Power)

DHP adalah daya yang diterima propeller dari sistem perporosan atau daya yang
dihantarkan oleh sistem perporosan ke propeller untuk diubah menjadi gaya dorong
(thrust).

DHP = EHP / PC (2.13)

dimana, Pc = ηH x ηrr x ηo (2.14)

Pc = Coefficient Propulsif

II.2.2.a. Efisiensi Lambung (ηH)


(1−𝑡)
ηH = (1−𝑤) (2.15)

t = thrust deduction factor

w = wake friction

II.2.2.b. Efisiensi Relatif Rotatif (ηrr)

Nilai ηrr untuk kapal single screw bernilai sekitar 1.0-1.1 .

II.2.2c. Efisiensi Propulsi (ηo)

Efisiensi propulsi adalah water efficiency dari propeller pada saat dilakukan
open water test, dan bernilai sekitar 40%-70%.

Bimo Wira Para (4211100055) Page 12


DESAIN II (ME091318) : PROPELLER & SISTEM PERPOROSAN

II.2.3. Daya pada Poros Baling-Baling (Shaft Horse Power)

Untuk kapal yang kamar mesinnya terletak di bagian belakang akan mengalami
losses sebesar 2%, sedangkan pada kapal yang kamar mesinnya pada daerah midship kapal
mengalami losses sebesar 3%. Pada perencanaan ini kamar mesin di bagian belakang
sehingga mengalami losses atau efisiensi transmisi porosnya (ηsηb) sebesar 0.98. Untuk
menghitung DHP dapat menggunakan rumus :

SHP = DHP/ ηsηb (2.16)

II.2.4. Daya Penggerak Utama yang Diperlukan (Brake Horse Power)

Untuk menghitung daya penggerak utama yang dibutuhkan dapat menggunakan


rumus 1.50-1.51 yang diambil dari Tupper (1996).

II.2.4.a. BHPSCR

Adanya pengaruh effisiensi roda sistem gigi transmisi (ηG), karena memakai
sistem roda gigi reduksi tunggal atau single reduction gears dengan loss 2% untuk
arah maju shg ηG = 98 %.

BHPscr = SHP/ηG (2.17)

II.2.4.b BHPMCR

Daya keluaran pada kondisi maksimum dari motor induk, dimana besarnya
daya BHPscr = 85% dari BHPmcr (kondisi maksimum).

BHPmcr = BHPscr/0.85 (2.18)

Setelah diketahui BHPMCR maka dapat ditentukan jenis motor induk / main engine
yang akan kita pilih sesuai kapal yang dirancang.

II.2.5. Pemilihan Motor Induk dan Gearbox

Pada perencanaan ini telah didapatkan nilai dari daya penggerak utama yang
dibutuhkan,yaitu sebesar 18939,77 kW. Untuk pemilihan main engine, akan ada 2 main
engine yang akan dijadikan pertimbangan. Berikut adalah engine beserta spesifikasinya.

1. MAN B&W
Dalam pemilihan mesin pada merk MAN B&W, yang akan dipertimbangkan
adalah tipe S60ME-B8 dan V48/60CR. Tipe S6-ME-B8 dan V48/60CR dirasa
paling sesuai karena daya yang memenuhi dan daya yang dibutuhkan tidak
terlampau jauh dengan daya yang dihasilkan engine. Berikut adalah spesifikasi
dari S60ME-B8 dan V48/60CR dan dimensi dari mesin tersebut :

Bimo Wira Para (4211100055) Page 13


DESAIN II (ME091318) : PROPELLER & SISTEM PERPOROSAN

Gambar II.2.1 MAN B&W S60ME-B8

Gambar II.2.2 Dimensi MAN B&W V48/60CR

Bimo Wira Para (4211100055) Page 14


DESAIN II (ME091318) : PROPELLER & SISTEM PERPOROSAN

Tabel 2.1 Spesifikasi Mesin

JENIS MAN B&W JENIS MAN B&W


TYPE S60ME-B8 TYPE V48/60CR
25533,06 HP 26104,7 HP
DAYA MAX DAYA MAX
19040 kW 19200 kW
JUMLAH SILINDER 8 JUMLAH SILINDER 16
BORE 1920 mm BORE 480 mm
STROKE 2400 mm STROKE 600 mm
105 Rpm 514 Rpm
PUTARAN PUTARAN
1,75 Rps 8,57 Rps
SFOC 170 g/kWh SFOC 181 g/kWh

Berdasarkann kebutuhan daya mesin yang telah didapat, maka jenis mesin yang
akan digunakan untuk kapal adalah MAN B&W tipe MAN V48/60CR. Pemilihan mesin
MAN B&W tipe MAN V48/60CR dikarenakan dimensi tidak terlalu besar dan cocok dengan
kapal yang didesain.

Dikarenakan putaran yang dihasilkan oleh MAN B&W V48/60CR adalah 514 rpm,
maka dibutuhkan reduction gear untuk menurunkan putaran tersebut. Maka dipilihlah
reduction gear REINTJES DLG 110131. Berikut adalah spesifikasi dari reduction gear
tersebut :

Gambar II.2.3 REINTJES DLG110131

Tabel 2.2 Spesifikasi Reduction Gear

REDUCTION GEAR
Jenis REINTJES
Tipe DLG 110131
Ratio 2,929
Max. Rated power 22890 kW
Max. RPM 750 rpm

Bimo Wira Para (4211100055) Page 15


DESAIN II (ME091318) : PROPELLER & SISTEM PERPOROSAN

II.2.6. Summary

Dari perhitungan yang telah dilakukan kita dapat melihat hasil lengkapnya yang
terdapat pada tabel 2.3.
Tabel 2.3 Perhitungan Tahanan Kapal

No. Komponen Perhitungan Hasil Satuan


1. ▼ 20930,17 m3
2. ∆ 21453,42 ton
3. Tahanan Gesek 373,59 kN
4. Tahanan Sisa 382,53 kN
5. Tahanan Tambahan 88,49 kN
6. Tahanan Total 872,49 kN

Dari perhitungan daya mesin yang telah dilakukan,kita dapat melihat data
lengkapnya pada tabel 2.4.
Tabel 2.4 Perhitungan Kebutuhan Power

No. Komponen Perhitungan Hasil Satuan


1. EHP 14023,89 kW
2. Wake Friction 0,255
3. Thrust Deduction Factor 0,2295
4. Pc 0,641
5. DHP 16098,80 kW
6. SHP 11840,67 kW
7. BHPSCR 16098,8 kW
8. BHPMCR 18939,77 kW

Bimo Wira Para (4211100055) Page 16


DESAIN II (ME091318) : PROPELLER & SISTEM PERPOROSAN

I.3 Pemilihan Daun Propeller


Dalam melakukan perancangan dan pemilihan baling-baling hal yang perlu dipahami
adalah tentang definisi yang mempunyai hubungan langsung dengan perancangan baling-baling
tersebut,yaitu Power, Kecepatan, Gaya,dan Effisiensi.

Ada 3 komponen utama dalam merancang propeller, yaitu Delivered Power, Rate of
Rotation (N), dan Speed of Advance (Va). Dimana delivered power adalah daya yang diserap oleh
propeller dari shafting system untuk diubah menjadi Thrust Power. Sedangkan rate of rotation
adalah putaran propeller dan speed of advance adalah kecepatan aliran fluida pada disk propeller.
Nilai dari Va ini lebih rendah dari nilai servis kapal,hal ini disebabkan oleh dampak gesekan dari
fluida yang bekerja sepanjang lambung kapal hingga disk propeller.

Propeller merupakan alat penggerak yang paling umum digunakan untuk menggerakkan
kapal. Propeller yang digunakan pada kapal mempunyai daun baling-baling yang jumlahnya
beragam tergantung dari kecocokannya pada kapal yang dirancang. Pada sub-bab II.2 tentang
kebutuhan power motor telah didapatkan besarnya daya yang dibutuhkan oleh kapal. Maka pada
sub-bab ini akan dicari tipe propeller yang paling cocok dengan kapal yang menggunakan daya
sebesar itu. Apabila mesin dan baling-baling telah cocok ketika dilakukan Engine Propeller
Matching, maka kita dapat melanjutkan langkah selanjutnya yaitu mendesain propeller sesuai
dengan data yang telah didapat.

II.3.1 Menentukan Nilai Bp, Bp1 dan 0,1739√𝑩𝒑𝟏

Mencari nilai Bp, Bp1 dan 0,1739√𝐵𝑝1 adalah langkah awal yang sangat
menentukan dalam pemilihan tipe propeller

II.3.1.a Menghitung nilai Bp

Untuk menentukan nilai Bp kita dapat menggunakan rumus:

Bp = P1/2 x N x Va-2,5 (2.19)

P = daya poros dalam Satuan Inggris (HP)

N = jumlah putaran propeller per menit

Va = kecepatan aliran fluida pada disk propeller (knot)

II.3.1.b Menghitung nilai Bp1

Rumus Bp1 bisa didefinisikan sebagai :

Bp1 = P1/2 x D x Va-3/2 (2.20)

II.3.1.c Menghitung 0,1739√𝑩𝒑𝟏

Setelah didapatkan nilai Bp1,dapat ditentukan nilai 0,1739√𝐵𝑝1 yang akan


digunakan dalam menentukan nilai P/D dan 1/J0. Untuk menentukan nilai tersebut
dapat dilakukan dengan cara memotongkan nilai 0,1739√𝐵𝑝1 dengan garis
optimum yang berada pada grafik Bδ tiap jenis propeller.

Bimo Wira Para (4211100055) Page 17


DESAIN II (ME091318) : PROPELLER & SISTEM PERPOROSAN

Gambar II.3.1 Bδ seri model baling-baling berdaun 4, jenis Wageningen B4-55 (Lewis,1988:202)

II.3.2 Menentukan Nilai δ0 dan D0

Penentuan nilai δ0 dan D0 akan digunakan dalam penentuan nilai Db.

II.3.2.a Menghitung Nilai δ0

Untuk mencari nilai δ0 dapat menggunakan rumus :

δ0 = (1/J0)/ 0,009875 (2.21)

II.3.21.b Menghitung Nilai D0

Untuk mencari nilai D0 dapat menggunakan rumus :

D0 = δ0 x Va x N-1 (2.22)

II.3.3 Menentukan Nilai Db

Db adalah nilai diameter propeller yang yang kita desain. Perhitungan besarnya
nilai Db tergantung pada jenis propeller yang dipakai. Nilai Db dapat dicari dengan rumus :

Db = 0,96 x D0 (2.23)

Setelah didapatkan nilai Db kita harus melakukan pemeriksaan dahulu terhadap


besarnya diameter maksimum propeller yang diperbolehkan digunakan kapal yang
didesain.

Bimo Wira Para (4211100055) Page 18


DESAIN II (ME091318) : PROPELLER & SISTEM PERPOROSAN

II.3.4 Menentukan Nilai δb dan 1/Jb

Pencarian nilai δb dan 1/Jb digunakan untuk menentukan perpotongan nilai 1/Jb
dengan optimum line pada diagram BPδ. Dari perpotongan tersebut akan didapatkan nilai
P/Db dan effisiensi propeller. Untuk mencari nilai δb dan 1/Jb dapat menggunakan rumus :

δb = Db x N x Va-1 (2.24)

1/Jb = δb x 0,009875 (2.25)

Gambar II.3.2. Diagram Bpδ propeller berdaun empat jenis Wageningen B4-55(Harvald,1992:145).

II.3.5. Summary

Berdasarkan perhitungan yang dilakukan untuk pemilihan daun propeller,maka


didapatkan propeller sementara yang akan digunakan adalah propeller berdaun empat,
jenis Wageningen B4-55. Dan untuk hasil lengkapnya dapat dilihat pada tabel 2.5 .
Tabel 2.5 Spesifikasi Propeller

Db (ft)
Type
Single n (rpm) P/Db ηb
Propeller
Screw
B4-55 17,623 175,487 0,846 0,561

II.4 Perhitungan Resiko Kavitasi


Kavitasi adalah peristiwa munculnya gelembung-gelembung uap air bertekanan pada
permukaan daun propeller yang disebabkan oleh perbedaan tekanan yang cukup besar pada bagi
back dan face pada propeller. Kavitasi sangat merugikan bagi propeller karena gelembung-
gelembung uap air tersebut dapat mengikis permukaan daun propeller, selain itu kavitasi juga
dapat mengurangi effisiensi propeller.

Bimo Wira Para (4211100055) Page 19


DESAIN II (ME091318) : PROPELLER & SISTEM PERPOROSAN

Perhitungan resiko kavitasi ini sangat penting untuk memastikan bahwa propeller yang
dipilih bebas dari kerusakan yang diakibatkan oleh terjadinya kavitasi.

II.4.1 Menentukan A0 (Luasan Optimum), Ae/A0 ,dan Ae

Untuk A0 atau luasan optimum dapat dicari dengan menggunakan rumus:

A0 = 1/4 x π x Db2 (2.26)

Untuk nilai Ae/A0 didapat dari tipe propeller yang digunakan. Tipe propeller yang
akan digunakan pada kapal yang sedang didesain ini adalah tipe B4-55. Dari tipe tersebut
diketahui nilai dari Ae/A0 setiap propeller.

Untuk luasan Ae dapat dicari dengan rumus :

Ae = (Ae/A0) x 1/4 x π x Db2 (2.27)

II.4.2 Menentukan Nilai AP

AP adalah luasan proyeksi daun propeller. Untuk mencari Ap dapat digunakan


rumus Taylor.(Lewis,1988:182)

AP = AD + (1,067-0,0229(P/D)) (2.28)

II.4.3 Menentukan Nilai Vr2

Untuk mendapatkan nilai dari Vr2 kita dapat menggunakan rumus :

Vr2 = VA2 + (0,7 x D x N)2 (2.29)

II.4.4 Menentukan Nilai T

T merupakan gaya yang diakibatkan oleh propeller. Untuk mendapatkan nilai dari T
kita dapat menggunakan rumus sebagai berikut :

T = Rt / ( 1-t ) (2.30)

Rt = tahanan total

t = thrust deduction factor

Bimo Wira Para (4211100055) Page 20


DESAIN II (ME091318) : PROPELLER & SISTEM PERPOROSAN

II.4.5 Menentukan Nilai τC

τC merupakan thrust coefficient atau koefisien gaya dorong. τC ini digunakan untuk
mengetahui apakah propeller yang digunakan kapal mengalami kavitasi atau tidak pada
saat beroperasi. Dengan adanya kavitasi maka propeller tidak akan dapat bekerja secara
maksimal. Maka dari itu perhitungan kavitasi ini sangatlah penting dalam perancangan
propeller di kapal. Untuk mendapatkan nilai τC kita dapat menggunakan rumus :
𝑇
τC = 𝐴𝑝 𝑥 0,5 𝑥 𝜌 𝑥 Vr^2 (2.31)

II.4.6 Menentukan Nilai σ0,7R


Untuk menentukan nilai dari σ0,7R kita dapat menggunakan rumus :
188,2+19,62 ℎ
σ0,7R = (2.32)
𝑉𝑎 2 +(4,836 𝑥 𝑁2 𝑥 𝐷 2 )

Setelah mendapatkan nilai σ0,7R, maka nilai dari τC dapat diketahui dari
pembacaarn diagram Burril (Harvald,1992:201). Cara pembacaan diagramnya adalah
dengan menarik garis vertikal keatas pada nilai σ0,7R sampai memotong garis putus-putus yang
kedua. Dari perpotongan ditarik garis horisontal dan akan didapatkan nilai τC. Propeller
dinyatakan tidak kavitasi apa bila τC hitungan lebih kecil dari τC diagram Burril.

Gambar II.4.1 Diagram Burril untuk model propeller berdaun empat untuk kapal niaga(Harvald,1992)

Bimo Wira Para (4211100055) Page 21


DESAIN II (ME091318) : PROPELLER & SISTEM PERPOROSAN

II.4.7 Summary

Berdasarkan perhitungan yang dilakukan untuk resiko kavitasi, didapat data bahwa
propeller jenis Wageningen B4-55 tidak mengalami kavitasi pada saat perancangan. Untuk
data lengkap perhitungan dapat dilihat pada tabel 2.6 .
Tabel 2.6 Perhitungan resiko kavitasi

Ao 244,013 ft2
Ae/Ao 0,55
Ae 134,207 ft2
Ap 140,6 ft2
Vr2 2566,154
T 1302,224 kN
τC 0,0071
σ0,7R 0,237
τC
diagram 0,1115

Bimo Wira Para (4211100055) Page 22


DESAIN II (ME091318) : PROPELLER & SISTEM PERPOROSAN

II.5 Engine Propeller Matching

Engine propeller matching adalah proses dimana dilakukannya pengecekan kecocokan


antara mesin dan baling-baling yang telah kita pilih sebelumnya. Engine propeller matching harus
dilakukan pada saat perancangaan propeller karena apabila mesin dan baling-baling tidak cocok
maka kerja yang dihasilkan oleh propeller tidak bisa maksimal. Pengecekan antara kerja mesin
dan propeller ini bertujuan untuk mencapai kesesuaian titik operasi yang dibutuhkan baling-baling.

Untuk melakukan pengecekan banyak komponen yang harus diperhatikan, misalnya


putaran baling-baling, diameter baling-baling, tahanan total dan speed of advance.Yang mana
data diatas bisa diketahui dari perhitungan terdahulu.

II.5.1 Menghitung Koefisien α dan β

Dalam pencarian nilai α dapat menggunakan rumus :

α trial = Rt trial / Vs2 (2.33)

α service = Rt service / Vs2 (2.34)

Dan untuk mencari nilai β bisa menggunakan rumus :

β trial = α trial x ((1-t) (1-w)2 ρ2 D2))-1 (2.35)

β service = α service x ((1-t) (1-w)2 ρ2 D2))-1

II.5.2 Mebuat Kurva KT-J

Dengan menggunakan data yang telah didapatkan nilai KT trial dan KT


service bisa dicari dengan menggunakan rumus :

KT = β x J2 (2.36)

Dimana nilai J divariasikan antara 0 (nol) sampai dengan 1 (satu). Dan pada desain
ini nilai J divariasikan dengan kelipatan 0,1.

0.800
0.700
0.600
0.500
0.400 Kt trial

0.300 Kt service

0.200
0.100
0.000
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2

Gambar II.5.1 Kurva KT-J

Bimo Wira Para (4211100055) Page 23


DESAIN II (ME091318) : PROPELLER & SISTEM PERPOROSAN

II.5.3 Pembacaan Diagram KT

Pada data sebelumnya telah didapatkan nilai P/Db sebesar 0,846. Nilai P/Db
digunakan untuk pembacaan pada diagram KT. Dari pembacaan pada diagram KT
didapatkan nilai KT, 10KQ dan efisiensi. Adapun nilai yang divariasikan adalah nilai J
antara 0-1 dengan kelipatan 0.1.

Untuk menentukan nilai KT, 10KQ dan efisiensi dari nilai P/Db sebesar 0,846 , kita
harus mencari nilai dari KT, 10KQ dan efisiensi untuk nilai P/Db sebesar 0,8 dan nilai P/Db
sebesar 0,9. Setelah didapatkan data kita bisa melakukan interpolasi terhadap nilai P/Db
sebesar 0,8 dan nilai P/Db sebesar 0,9.

Gambar II.5.2 Diagram Kt hasil uji baling-baling terbuka pada baling-baling berdaun empat(Harvald,1992).

II.5.4 Membuat Grafik Open Water Test

Dari data yang telah didapat dapat dilanjutkan dengan membuat grafik open water
test baling-baling jenis Wageningen B4-55. Pada grafik open water test tersebut akan
didapatkan nilai J, KT, 10KQ ,dan efisiensin untuk keadaan service dan trial.

Selanjutnya adalah menghitung nilai putaran baling-baling yang sesuai dengan data
yang telah didapatkan. Untuk menghitungnya dapat menggunakan rumus :
𝑽𝒂
𝒏= 𝑱𝒙𝑫
(2.37)

Bimo Wira Para (4211100055) Page 24


DESAIN II (ME091318) : PROPELLER & SISTEM PERPOROSAN

0.8

0.7

0.6
KT
0.5
10 KQ
0.4
ηo
0.3 Kt trial
0.2 Kt service
0.1

0
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2

Gambar II.5.3 Grafik Open Water Test

II.5.5 Membuat Tabel Clean Hull dan Service Condition

Pembuatan tabel ini bertujuan untuk mencari nilai dari BHP pada putaran mesin
saat titik operasi yang telah ditentukan sebelumnya. Data yang diperlukan adalah data
pada saat kapal sedang beroperasi dengan kondisi clean hull dan service condition.
Setelah data didapat langkah selanjutnya adalah membuat grafik pada keadaan clean hull
dan service condition.
Tabel 2.7 Perhitungan Daya pada Saat Clean Hull

Engine Ratio Propeller DHP BHP


Q Trial BHP per Cyl Rpm BHP
Rpm Gearbox Rps Trial Trial
50 2,929 0,284511 9312,018 16,65321 17,33986 1,083741 9,7% 0,1%
100 2,929 0,569022 37248,07 133,2256 138,7189 8,669932 19,5% 0,7%
150 2,929 0,853534 83808,16 449,6365 468,1763 29,261020 29,2% 2,4%

Engine Ratio Propeller DHP BHP


Q Trial BHP per Cyl Rpm BHP
Rpm Gearbox Rps Trial Trial
50 2,929 0,284511 9312,018 16,65321 17,33986 1,083741 9,7% 0,1%
100 2,929 0,569022 37248,07 133,2256 138,7189 8,669932 19,5% 0,7%
150 2,929 0,853534 83808,16 449,6365 468,1763 29,261020 29,2% 2,4%
200 2,929 1,138045 148992,3 1065,805 1109,751 69,359455 38,9% 5,8%
250 2,929 1,422556 232800,5 2081,651 2167,483 135,467685 48,6% 11,3%
300 2,929 1,707067 335232,7 3597,092 3745,411 234,088159 58,4% 19,5%
350 2,929 1,991578 456288,9 5712,049 5947,573 371,723327 68,1% 31,0%
400 2,929 2,27609 595969,2 8526,441 8878,01 554,875637 77,8% 46,2%
450 2,929 2,560601 754273,5 12140,19 12640,76 790,047538 87,5% 65,8%
476,77819 2,929 2,712975 846713,7 14439 15034,36 939,647223 92,8% 78,3%
514 2,929 2,924775 984079,2 18091,61 18837,58 1177,348512 100,0% 98,1%

Bimo Wira Para (4211100055) Page 25


DESAIN II (ME091318) : PROPELLER & SISTEM PERPOROSAN

Tabel 2.8 Perhitungan Daya pada Saat Service Condition

Engine Ratio Propeller Q DHP BHP


BHP per Cyl Rpm BHP
Rpm Gearbox Rps Service Service Service
50 2,929 0,284511 9460,417 16,91859 17,6162 1,101012 9,7% 0,1%
100 2,929 0,569022 37841,67 135,3488 140,9296 8,808098 19,5% 0,7%
150 2,929 0,853534 85143,75 456,8021 475,6373 29,727331 29,2% 2,5%
200 2,929 1,138045 151366,7 1082,79 1127,437 70,464785 38,9% 5,9%
250 2,929 1,422556 236510,4 2114,824 2202,025 137,626532 48,6% 11,5%
300 2,929 1,707067 340575 3654,416 3805,098 237,818648 58,4% 19,8%
350 2,929 1,991578 463560,4 5803,078 6042,355 377,647205 68,1% 31,5%
400 2,929 2,27609 605466,7 8662,321 9019,492 563,718276 77,8% 47,0%
450 2,929 2,560601 766293,8 12333,66 12842,21 802,637937 87,5% 66,9%
497,58994 2,929 2,831398 936943,6 16675,12 17362,69 1085,167845 96,8% 90,4%
514 2,929 2,924775 999761,7 18379,92 19137,78 1196,111039 100,0% 99,7%

II.5.6 Membuat Engine Envelope

Engine envelope yang digunakan harus sesuain dengan spesifikasi mesin yang
dipilih. Data yang ada pada engine project guid mesin MAN V48 adalah :
Tabel 2.9 Data Engine Envelope

Daya Putaran
Point Daya Putaran (%) (%)
1 19200 514 100% 100%
2 15360 514 80% 100%
3 16320 437 85% 85%
4 13060 437 68% 85%

110.0%

100.0%

90.0%
L1-L2

80.0% L2-L4
L3-L4
70.0% L1-L3

60.0%

50.0%
80.0% 85.0% 90.0% 95.0% 100.0% 105.0%

Gambar II.5.4 Kurva Engine Envelope

Bimo Wira Para (4211100055) Page 26


DESAIN II (ME091318) : PROPELLER & SISTEM PERPOROSAN

Langkah selanjutnya adalah menggabungkan kuva yang telah dibentuk. Hasil yang
penting untuk diketahui adalah titik operasi dari mesin dan baling-baling.

100.0% ENGINE ENVELOP CURVE

90.0%

POWER (kW%)
80.0%

70.0%

60.0%

50.0%

40.0%
70.0% 75.0% 80.0% 85.0% 90.0% 95.0% 100.0% 105.0%

RPM (n%)

Gambar II.5.5 Grafik EPM

II.5.7 Summary

Berdasarkan hasil perhitungan EPM yang dilakukan, didapatkan titik operasi baling-
baling 98% dan mesin 97.33% pada kondisi maksimum. Untuk hasil lebih lanjut terdapat pada
tabel 2.10.
Tabel 2.10 Hasil EPM

No Komponen Perhitungan Hasil Satuan


1 Jenis Mesin MAN V48
2 Jenis Baling-baling B4-55
3 Titik Operasi Baling-baling (normal operation) 94.53 %
4 Titik Operasi Mesin (normal operation) 78.37 %
5 Titik Operasi Baling-baling (maksimum 98 %
operation)
6 Titik Operasi Mesin (maksimum operation) 97.33 %

Bimo Wira Para (4211100055) Page 27


DESAIN II (ME091318) : PROPELLER & SISTEM PERPOROSAN

II.6 Penetapan Pemilihan Motor Induk, Gearbox, dan Tipe Propeller


II.6.1 Penetapan Motor Induk (Main Engine)

MAN B&W V48/60CR merupakan tipe motor induk yang akan digunakan dalam
perencanaan perancangan sistem propulsi ini. Tipe ini dipilih dikarenakan dimensi yang
tidak terlalu besar dan dapat kapal yang dirancang dapat menampung engine ini. Daya
yang hasilkan juga tidak terlampau jauh dengan daya yang dibutuhkan oleh sistem
propulsi. Berikut adalah dimensi beserta spesifikasinya :

Gambar II.6.1 Dimensi MAN B&W V48/60CR

Tabel 2.11 Spesifikasi MAN B&W V48/60CR

JENIS MAN B&W


TYPE V48/60CR
26104,7 HP
DAYA MAX
19200 kW
JUMLAH SILINDER 16
BORE 480 mm
STROKE 600 mm
514 Rpm
PUTARAN
8,57 Rps
SFOC 181 g/kWh

Bimo Wira Para (4211100055) Page 28


DESAIN II (ME091318) : PROPELLER & SISTEM PERPOROSAN

II.6.2 Penetapan Gearbox

REINTJES DLG110131 merupakan tipe reduction gear yang digunakan dalam


sistem ini. Reduction gear ini mampu mengatasi engine yang mempunyai maximum rated
power sebesar 22890 kW dengan putaran maksimum 700 rpm. Berikut dimensi dan
spesifikasinya :

Gambar II.6.2 REINTJES DLG110131

Tabel 2.12 Spesifikasi Reduction Gear

REDUCTION GEAR
Jenis REINTJES
Tipe DLG 110131
Ratio 2,929
Max. Rated power 22890 kW
Max. RPM 750 rpm

`II.6.3 Penetapan Tipe Propeller

Propeller tipe B4-55 merupakan propeller yang akan digunakan dalam sistem
propulsi ini. Setelah dilakukan engine propeller matching dengan berbagai tipe propeller,
tipe inilah yang sesuai dengan engine yang telah ditetapkan. Berikut adalah spesifikasinya :
Tabel II.26. Spesifikasi Propeller

Tipe B4-55
Diameter (Db) 5,371 m
Efisiensi ( η ) 0,561
Jumlah Daun ( Z ) 4

Bimo Wira Para (4211100055) Page 29


DESAIN II (ME091318) : PROPELLER & SISTEM PERPOROSAN

BAB III : PERHITUNGAN POROS DAN BANTALAN POROS


Perhitungan poros merupakan salah satu perencaan yang akan digunakan untuk
mendesain sistem perporosan dalam suatu kapal. Poros merupakan alat yang digunakan pada
kapal untuk mentransmisikan daya yang dihasilkan oleh main engine menuju baling-baling pada
kapal. Poros kapal harus direncanakan dengan baik dan matang agar daya yang disalurkan tidak
mengalami banyak kehilangan/losses. Apabila terlalu banyak losses yang ada pada perencanaan
sistem perporosan maka kapal tidak dapat beroperasi dengan baik.

Dalam perencanaan sistem perporosan ada banyak pertimbangan dalam pemilihannya


diantaranya adalah kekuatan poros, kekakuan poros, putaran kritis, faktor korosi,dan bahan poros.
Kekuatan poros harus direncanakan sebaik mungkin karena poros yang mentransmisikan daya
dari main engine tersebut akan mengalami berbagi macam gaya yang akan membebaninya
selama melakukan kerja. Kekakuan poros merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
dalam perancangan sistem perporosan. Suatu poros yang memiliki faktor kekakuan yang cukup
tinggi memang bagus tapi semakin kaku suatu poros maka makin mahal biaya yang harus
dikeluarkan untuk dapat menghasilkan poros tersebut. Kekakuan dari poros akan sangat
berpengaruh dengan besarnya getaran dan suara yang dihasilkan. Faktor putaran kritis adalah
suatu faktor yang diakibatkan dengan adanya kenaikan kecepatan putar dari suatu mesin yang
akan mengakibatkan terjadinya getaran yang cukup tinggi. Apabila suatu mesin dinaikan dayanya
maka nilai dari putaran kritis ini juga akan naik. Kenaikan putaran kritis dapat mengakibatkan
kerusakan pada poros dan bagian-bagian lainnya. Maka poros harus didesain sedemikian rupa
agar nilai kerjanya lebih rendah dari nilai putaran kritis dari poros tersebut. Sistem perporosan
yang bekerja di kapal akan ada kontak langsung dengan fluida cair yang menyebabkan korosi,
maka dari itu penentuan bahan-bahan anti-korosi merupakan salah satu hal penting dalam
penentuan sistem perporosan. Selain itu penentuan bahan-bahan poros juga harus dirancang
secara baik dan sesuai dengan kebutuhan dari kapal yang dirancang.

Dalam perencanaan sistem perporosan ada beberapa perhitungan yang harus


dilakukan,antara lain :

 Perhitungan poros propeller


 Perhitungan poros antara
 Perencanaan konis poros propeller
 Perencanaan spie poros propeller
 Perencanaan flens poros
 Perencanaan mur pengikat poros

Bimo Wira Para (4211100055) Page 30


DESAIN II (ME091318) : PROPELLER & SISTEM PERPOROSAN

III.1 Perhitungan Poros Propeller

Pada perhitungan poros propeller,hal yang perlu diperhatikan adalah daya perencanaan,
momen puntir, tegangan geser, faktor konsentrasi tegangan, faktor beban lentur, diameter poros
yang direncanakan, dan diameter boss propeller. Berikut adalah penjelasan lebih lanjut tentang
faktor-faktor diatas.

III.1.1 Daya Perencanaan (Pw)

Daya perencanaan yang akan digunakan dalam sistem perporosan ini harus sesuai
dengan SHP yang sudah dihitung pada bab 2. Perhitungan daya perencanaan adalah
sebuah tindakan koresi untuk mengindikasi adanya daya overload yang akan dialami oleh
mesin selama beroperasi. Berikut adalah rumus dari daya perencanaan :

Pw = fc x SHP (3.1)

fc = Faktor koreksi daya yang ditransmisikan

SHP = Shaft horse power


Tabel 3.1 Faktor-faktor koreksi daya yang akan ditransmisikan (Sularso, 1997)

Daya yang akan ditransmisikan fc


Daya rata-rata yang diperlukan 1.2 – 2.0
Daya maksimum yang diperlukan 0.8 – 1.2
Daya normal 1.0 – 1.5

III.1.2 Momen Puntir

Momen puntir pada poros diakibatkan dengan adanya gerakan rotasi yang bekerja
sepanjang poros. Rumus dari momen puntir adalah :

T = 9.74 x 105 x Pw / n (3.2)

n = Putaran poros (rpm)

III.1.3 Tegangan Geser yang Diizinkan

Tegangan geser maksimal yang dapat diterima oleh poros tergantung pada bahan
poros yang digunakan. Ketika poros diberi puntiran dan alur pasak maka dalam
perhitungannya harus dilakukan koreksi dari nilai tegangan geser yang diizinkan. Rumus
dari tegangan geser yang diizinkan adalah :

tA = σ / (Sf1 x Sf2) (3.3)

σ = Kekuatan tarik (kg/mm2)

Sf1 = 6.0 (Bahan S-C dengan pengaruh masa, dan baja paduan)

Sf2 = 1.3 – 3.0

III.1.4 Faktor Konsentrasi Tegangan

Faktor konsentrasi tegangan merupakan faktor yang digunakan untuk mengoreksi


nilai dari momen puntir. Faktor koreksi ini dinyatakan dengan Kt, dipilih sebesar 1.0 jika

Bimo Wira Para (4211100055) Page 31


DESAIN II (ME091318) : PROPELLER & SISTEM PERPOROSAN

beban dikenakan secara halus, 1.0 – 1.5 jika terjadi sedikit kejutan atau tumbukan, dan 1.5
– 3.0 jika beban dikenakan dengan kejutan atau tumbukan yang besar. Dalam perhitungan
kali ini, diambil nilai Kt sebesar 1.5 .

III.1.5 Faktor Beban Lentur

Selain mengalami momen puntir, poros juga akan mengalami beban lentur. Maka
dari itu nilai dari faktor beban lentur harus disertakan dalam perhitungan diameter poros
yang direncanakan. Besarnya nilai dari beban lentur terlatak antara 1.2 – 2.3 , tetapi jika
diperkirakan tidak akan terjadi momen lentur maka nilai Cb yang diambil 1.0 .

III.1.6 Diameter Poros yang Direncanakan

Diameter dari poros yang direncanakan dapat diketahi apabila telah didapat nilai
momen puntir, tegangan geser, faktor konsentrasi tegangan dan faktor beban lentur.
Apabila sudah didapat faktor-faktor tersebut maka dapat dihitung diameter poros yang
dibutuhkan untuk menahan semua beban tersebut. Berikut adalah perhitungan diameter
poros yang direncanakan :
5.1
𝐷𝑠 = [ tA 𝐾𝑡 𝑥 𝐶𝑏 𝑥 𝑇] (3.4)

Kt = Nilai faktor konsentrasi tegangan

Cb = Nilai faktor beban lentur

III.1.7 Diameter Boss Propeller

Boss dari baling-baling harus mampu menahan putaran poros sehingga baling-
baling dapat memberikan gaya dorong (thrust) yang baik pada kapal. Pembuatan boss
propeller terdapat aturan tersendiri, biasanya selain mengikuti aturan klasifikasi, juga
tergantung pada jenis bahan yang digunakan dalam pembuatan boss itu sendiri. Berikut
adalah pada Tabel 3.2 yang berisikan perhitungan dimensi boss propeller berdasarkan
bahan yang digunakan. Dari data-data Tabel 3.2, dapat diketahui besarnya nilai dimensi
boss propeller yang akan dirancang.

Gambar III.1.1 Dimensi Boss Propeller (O’brein, 1962)

Bimo Wira Para (4211100055) Page 32


DESAIN II (ME091318) : PROPELLER & SISTEM PERPOROSAN

Tabel 3.2 Perhitungan Dimensi Boss Propeller (O’brein, 1962)

Material

Item Manganese
Ni Al Bronze Cast Iron
Bronze

Lb/Ds 1.8 to 2.4 1.8 to 2.4 1.8 to 2.6

Db/Ds 1.8 to 2.0 1.8 to 2.0 1.8 to 2.4

Dba/Db 0.85 to 0.90 0.85 to 0.90 0.85 to 0.90

Dbf/Db 1.05 to 1.10 1.05 to 1.10 1.05 to 1.10

Boss Dimension Ln/Lb 0.3 0.3 0.3

tb/tr 0.75 0.75 0.75

rf/tr 0.75 0.75 0.75

rb/tr 0.75 0.75 0.75

rb/tr 1 1 1

Tip thickness t(T/D) 0.0035 0.003 0.0065


ratio t(T/D) 0.004 0.0035 0.0075

t(e/d) 0.001 0.001 0.002


Minimum edge
Thickness ratio t(e/d) 0.0015 0.0015 0.0025

Bimo Wira Para (4211100055) Page 33


DESAIN II (ME091318) : PROPELLER & SISTEM PERPOROSAN

III.2 Perencanaan Konis Poros Propeller

Di dalam peraturan Biro Klasifikasi Indonesia (BKI) 2006, disebutkan bahwa key ways dari
poros yang meruncing harus diatur agar kekonisan poros membentuk transisi yang gradual jika
dilihat secara keseluruhan. Selain itu ujung dari key ways tersebut juga tidak boleh terlalu tajam.
Pada umumnya nilai kemiringan dari kekonisan suatu poros berkisar antara 1:12 sampai dengan
1:20 dari panjang boss propeller, sehingga didapatkanlah rumus untuk mengatur kekonisan
sebagai berikut :

x = 1/13 x Lb (3.5)

Lb = Panjang boss propeller

Da = Ds – 2x (3.6)

Da = Diameter terkecil ujung konis

x = Kemiringan konis

III.3 Perencanaan Spie Poros Propeller

Spie atau pasak adalah baja lunak yang disisipkan antara poros dengan boss propeller
agar keduanya bersatu dan mampu mentransmisikan putaran dari main engine. Pemilihan jenis
pasak tergantung dari besarnya daya yang disalurkan pada bagian poros baling-baling. Dilihat dari
pemasangannya, pasak dapat dibedakan menjadi beberapa macam yaitu : pasak benam, pasak
pelana, pasak bulat, pasak bintang (spline). Berikut adalah beberapa perhitungan yang digunakan
untuk perencanaan spie poros propeller :

T = (DHP x 75 x 60)/(2π x N) (3.7)

T = torsi

DHP = Delivered Horse Power

L = 0.75 - 1.5 x Ds (3.8)

L = Panjang pasak

B = 25% - 35%Ds (3.9)

B = Lebar pasak

t = 1/6 x Ds (3.10)

t = Tebal pasak

R = 0.125 x Ds (3.11)

R = Radius pasak

Bimo Wira Para (4211100055) Page 34


DESAIN II (ME091318) : PROPELLER & SISTEM PERPOROSAN

Seperti yang telah diatur pada Biro Klasifikasi Indonesia (BKI) 2006, bahwa alur pasak
pada poros yang meruncing atau membentuk konis harus dirancang sedemikian mungkin,
sehingga membentuk keruncingan yang gradual. Selain itu ujung dari alur pasak tersebut juga
tidak boleh terlalu tajam. Untuk lebih jelasnya bisa dilihat gambar berikut :

Gambar III.3.1. Alur pasak dan kekonisan poros (BKI, 2006)

III.4 Perencanaan Flens Poros

Flens adalah suatu komponen yang digunakan untuk menyambung antar suatu poros
dengan poros yang lainnya. Dalam hal ini flens biasa disebut dengan kopling. Dalam perencanaan
flens poros banyak faktor-faktor yang harus diperhatikan,antara lain(Sularso, 1997) :

 Pemasangan yang mudah dan cepat, ringkas, dan ringan


 Aman jika digunakan pada putaran tinggi
 Tahan terhadap getaran dan tumbukan
 Terdapat sedikit kemungkinan gerakan aksial pada poros ketika kemungkinan terjadi
pemuaian.
Kopling flens terdiri atas naf dengan flens yang terbuat dari besi cor atau baja cor, dan
dipasang pada ujung poros dengan menggunakan baut pada flensnya. Ketebalan dari kopling
flens pada intermediate dan thrust shaft pada bagian ujung depan shaft propeller minimal 20%
dari diameter poros yang direncanakan(BKI,2006). Berikutadalah perhitungan yang digunakan
dalam perencanaan flens poros :

Sfl ≥ 20% x Ds (3.12)

Sfl = Ketebalan kopling

Bimo Wira Para (4211100055) Page 35


DESAIN II (ME091318) : PROPELLER & SISTEM PERPOROSAN

Db = 2.5 x Ds (3.13)

Db = Diameter lingkaran dalam kopling

DOut = 3.5 x Ds (3.14)

DOut = Diameter lingkaran luar kopling

L = 5 x 0.5 x Ds (3.15)

L = Panjang kopling

III.5 Perencanaan Mur Pengikat Poros

Mur pengikat poros adalah suatu komponen yang mengikat flens poros yang
menghubungkan suatu poros dengan poros yang lainnya. Perhitungan ini digunakan sebagai
acuan pemillihan mur dan baut yang tersedia di pasaran. Diameter mur yang dipilih tidak boleh
lebih kecil dari perhitungan yang telah direncanakan. Diameter minimum (ds) baut yang dipasang
di flange kopling ditentukan dengan menggunakan rumus yang telah ditetapkan. Berikut adalah
perhitungan yang digunakan dalam perencanaan mur pengikat poros :

106 𝑥 𝑃
ds = 16 𝑥 √ (3.16)
𝑁 𝑥 𝐷 𝑥 𝑍 𝑥 𝑅𝑚

N = Putaran poros
D = Diameter baut yang direncanakan
Z = Jumlah baut
Rm = Kekuatan tarik material
d ≥ 0.6 x Ds (3.17)

d = Diameter luar ulir

Do = 2 x d (3.18)

Do = Diameter luar mur

H = 0.8~1.0 x d (3.19)

H = Tinggi mur

Bimo Wira Para (4211100055) Page 36


DESAIN II (ME091318) : PROPELLER & SISTEM PERPOROSAN

III.6 Summary

Untuk hasil perhitungan diatas yang akaan digunakan pada saat penggambaran dapat
dilihat pada Tabel 3.3.
Tabel 3.3. Hasil Perhitungan

No Komponen Perhitungan Simbol Hasil


1 Daya perencanaan Pd 19200 kW
6
2 Momen puntir T 143,86x10 Kg/mm
3 Tegangan geser τA 6,042 Kg/mm2
4 Diameter poros perencanaan Ds 700 mm
5 Diameter boss propeller Db 1260 mm
6 Diameter boss propeller terkecil Dba 1071 mm
7 Diameter boss propeller terbesar Dbf 1323 mm
8 Diameter terkecil ujung konis Da 490 mm
9 Panjang boss propeller Lb 1680 mm
10 Panjang lubang dalam boss Ln 504 mm
11 Tebal sleeve s 29 mm
12 Panjang konis ujung poros propeller Lbkonis 1680 mm
13 Diameter luar ulir d 420 mm
14 Diameter inti mur di 336 mm
15 Diameter luar mur Do 840 mm
16 Tinggi mur H 336 mm
17 Torsi pada pasak Mt 69085,03
18 Panjang pasak L 910 mm
19 Lebar pasak B 175 mm
20 Tebal pasak t 117 mm
21 Radius ujung pasak R 88 mm
22 Gaya sentrifugal F 411038,1 kg
23 Penampang pasak A 20475 mm2
24 Kedalaman alur pasak pada poros t1 58,5 mm
25 Panjang konis Lk 1050 mm
26 Panjang kopling Lkopling 1925 mm
27 Tebal flens Sfl 210 mm
28 Tinggi mur H 55 mm

Bimo Wira Para (4211100055) Page 37


DESAIN II (ME091318) : PROPELLER & SISTEM PERPOROSAN

BAB IV : PERHITUNGAN STERN-TUBE


Stern-tube atau tabung poros merupakan tabung berogga yang terletak dibagian buritan
kapal. Propeller yang berada diluar badan kapal harus terhubung dengan main engineyang berada
di dalam lambung kapal agar dapat menghasilkan gaya dorong. Stern-tube sendiri berfungsi
sebagai media pelumasan poros dan mencegah terjadi kebocoran.

Dalam bab ini, dibahas perencanaan mengenai stern post beserta afterpeak bulkhead,
tabung poros (stern-tube), bantalan poros depan dan belakang, rumah bantalan, system
kekedapan stern-tube, rope guard, dan juga sistem pelumasan dari bantalan. Semua perhitungan
dalam bab ini hanya dijadikan acuan sebagai pemilihan stern-tube beserta komponenya yang
tersedia di pasara. Perencanaan ini mengacu pada Biro Klasifikasi Indonesia.

IV.1 Perencanaan Stern-post dan AP-bulkhead

Dalam Biro Klasifikasi Indonesia, stern-post merupakan suatu bagian yang terletak di
buritan kapal yang biasanya terletak pada lambung kapal. Di dalam Biro Klasifikasi Indonesia,
diberikan peraturan mengenai propeller post, yaitu dalam pemasangan propeller post dan rudder
post pada lambung kapal harus disesuaikan engan aturan yang telah ditetapkan. Hal ini bertujuan
untuk memperhitungkan gaya-gaya yang timbul nantinya cukup besar, oleh karena itu dilakukan
penguatan dari sisi konstruksi kapal.

AP-bulkhead merupakan sekat yang terletak pada buritan kapaldan berfungsi sebagai
memberikan ruangan yang kedap antara stern tube dengan rudder trunk.Berikut adalah
perhitungan dari stern-post yang diatur dalam Biro Klasifikasi Indonesia (BKI) 2006 :

l = 1.4L + 90 (4.1)

b = 1.6L + 15 (4.2)

IV.2 Perencanaan Tabung Poros (Stern-tube )

Perencanaan tabung poros sangat dipengaruhi dengan perencanaan letak dari ceruk
buritan yang telah didesain sebelumnya dalam tugas rencana garis. Dimana perencanaan ceruk
buritan meliputi peletakan stern post dan AP-bulkhead. Untuk tebal dari stern-tube telah diberikan
formula sebagai berikut :

T = ((Ds/20) + (3 x 254/4)) (4.3)

Untuk peletakan stern-tube ditentukan minimal 3 jarak gading, dimana dalam tugas
rencana garis sebelumnya ditentukan bahwa jarak gading yang berada pada bagian tersebut
sebesar 600 mm. Dengan pertimbangan tertentu, dalam perencanaan ini, mengunakan 5 jarak
gading, jadi didapatkanlah rumusan seperti dbawah ini :

Ls = 5 x jarak gading (4.4)

IV.3. Perencanaan Bantalan Poros Depan

Di dalam Biro Klasifikasi Indonesia (BKI) 2006 telah ditegaskan mengenai perencanaan
bantalan poros depan. Perencaan poros itu sendiri bergantung pada jenis pelumasan dan bahan
yang digunakan pada stern-tube. Seperti yang telah dijelaskan pada Biro Klasifikasi Indonesia
(BKI) 2006.

“Where the propeller shaft inside the stern-tube runs in oil-lubricated white metal bearings or in
synthetic rubber or reinforced resin or plastic materials approved for use in oil-lubricated stern-tube

Bimo Wira Para (4211100055) Page 38


DESAIN II (ME091318) : PROPELLER & SISTEM PERPOROSAN

bearings, the lengths of the after and forward bearings should be approximately 2 x da and 0,8 x
da respectively.”

Dijelaskan bahwa, untuk stern-tube yang terbuat dari bahan white metal bearing, synthetic
rubber, reinforced resin atau material plastik diperbolehkan untuk menggunakan jenis pelumasan
minyak. Sehingga berdasarkan peraturan tersebut, panjang dari perencanaan bantalan depan
adalah sebagai berikut :

Lsf = 0.8 x da (4-5)


IV.4. Perencanaan Bantalan Poros Belakang

Seperti halnya dalam perencanaan bantalan poros depan, perencanaan bantalan poros
belakang juga telah diatur dalam Biro Klasifikasi Indonesia (BKI) 2006. Dimana penentuan dari
panjang bantalan juga ditinjau dari bahan dan jenis pelumasan pada stern-tube yang digunakan.
Selain itu, panjang dari bantalan poros belakang juga dapat dikurangi menjadi 1.5 x da, diamana
kontak beban yang dihitung pada beban statis dari propeller kurang dari 0.8 Mpa untuk stern-tube
berbahan white metal bearing dan 0.6 Mpa untuk synthetic material. Persamaan untuk mencari
panjang dari bantalan poros belakang (Lsa) dan juga ketebalan dari bantalan (B) itu sendiri dalam
Biro Klasifikasi Indonesia (BKI) 2006 diberikan sebagai berikut :
Lsa = 2 x da (4-6)
B = ((Ds/30) x 3.175) (4-7)
IV.5. Perencanaan Rumah Bantalan

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, perhitungan stern-tube hanya dibuat sebagai
acuan saja dalam pemilihan stern-tube yang telah ada dipasaran. Oleh karena itu, perencanaan
rumah bantalan pada perhitungan stern-tube tidak begitu detail dilakukan, dikarenakan nanti akan
menyesuaikan dengan stern-tube yang dipilih dari pasaran tersebut.

Namun dalam aturan yang ada, ketebalan minimal dari rumah bantalan tersebut adalah
sebagi berikut :

tb = 0.18 x Ds (4-8)
IV.6.Perencanaan Sistem Kekedapan Stern-tube

Perencanaan sistem kekedapan stern-tube berkaitan dengan perencanaan stern-tube seal.


Sistem kekedapan stern-tube itu sendiri sangatlah penting dalam sebuah pendesaianan sistem
propulsi kapal. Hal itu dikarenakan jika terjadi kebocoran pada kapal yang mana disebabkan air
laut masuk melalui lubang poros, maka akan sangat membahayakan komponen-komponen
propulsi yang berada dalam kapal. oleh karena itu, sistem kekedapan harus benar-benar
diperhitungkan dengan baik.

Sistem kekedapan akan dipasang pada dua bagian, yaitu inner end dan outer end dari
stern-tube. Fungsi kekedapan pada stern-tube yang menggunakan pelumasan air laut ialah,
mencegah masuknya air laut. Sedangkan untuk yang menggunakan sistem pelumasan minyak
berfungsi untuk mencegah air laut masuk dan juga untuk mencegah minyak yang digunakan
sebagai pelumas bocor keluar dari kapal.

Terdapat perbedaan sistem seal antara stern-tube yang menggunakan pelumasan air laut
dengan pelumasan minyak. Dimana stern-tube yang menggunakan pelumasan air laut
menggunakan stuffing box dan gland yang konvensional pada bagian AP bulkhead. Tetapi pada
stern-tube yang menggunakan peluamasan minyak umumnya menggunakan lip seal atau radial
face seal ataupun keduanya.

Bimo Wira Para (4211100055) Page 39


DESAIN II (ME091318) : PROPELLER & SISTEM PERPOROSAN

IV.7. Perencanaan Rope-guard

Rope guard adalah suatu pengaman pada sterntube. Pada kapal, rope guard memiliki
fungsi sebagai pelindung pada propeller dari benda-benda laut yang dapat enyangkut pada
propeller, yang mengakibatkan turunnya daya dorong dari propeller itu sendiri.

Rope guard dapat terbuat dari fiberglass ataupun metal. Rope guard yang terbuat dari
fiberglass didesain menyatu dengan flat-head machine screw. Sementara rope guard yang terbuat
dari metal dilas pada suatu tempat yang mana terhubung dengan flat-head machine screw.

Sama halnya pada perencanaan rumah bantalan sebelumnya, rope guard tidak
diperhitungkan pada perencanaan kali ini, dikarenakan nantinya pemilihan rope guard akan
menjadi satu dengan pemilihan stern-tube yang ada dipasaran. Jadi desainer kapal tidak perlu
terlalu memperhitungkan perencanaan rope-guard, semua sudah dilakukan oleh pabrik.

IV.8. Perencanaan Sistem Pelumasan Bantalan

Sistem pelumasan pada bantalan terdapat 2 jenis, yaitu pelumasan dengan air laut dan
pelumasan dengan minyak. Fungsi dari pelumas itu sendiri adalah unutk mencegah pergesekan,
menghindari keausan, mengurangi hilangnya tenaga, dan mengurangi timbulnya panas pada
stern-tube. Dalam penentuan pemilihan jenis pelumas harus benar-benar diperhatikan, kesalahan
dalam pemilihan bahan pelumasan dapat berakibat fatal karena dapat merusak komponen-
komponen yang ada. Pemilihan jenis pelumasan berpengaruh pada proses perencanaan stern-
tube.
Pada perencanaan propeller dan sistem perporosan kali ini, menggunakan sistem
pelumasan minyak. Pemilihan penggunaan pelumas minyak dikarenakan, hampir semua kapal
modern menggunakan pelumasan minyak. Selain itu, umur stern-tube yang menggunakan
pelumasan minyak lebih lama dari pada yang menggunakan pelumasan air laut. Hal itu mungkin
dikarenakan pelumasan menggunakan air laut lebih menuju pada kekorosian komponen yang ada,
dari pada menggunakan pelumasan minyak.

IV.9. Summary
Untuk data lengkap perhitungan dapat dilihat pada Tabel 4.2.
Tabel 4.1. Hasil Perhitungan

No Komponen Perhitungan Simbol Hasil


1 Panjang tabung poros Ls 3000 mm
2 Panjang bantalan depan Lsf 1400 mm
3 Panjang bantalan belakang Lsa 560 mm
4 Tebal bantalan B 74,08 mm
5 Jarak maksimum tiap bantalan Lmax 11905,88 mm
6 Tebal rumah bantalan tb 126 mm
7 Tebal stern-tube T 54 mm
8 Lebar stern-post L 302,8 mm
9 Tebal stern-post Tstern-post 146,82 mm

Bimo Wira Para (4211100055) Page 40


DESAIN II (ME091318) : PROPELLER & SISTEM PERPOROSAN

LAMPIRAN
Propeller and Shaft Arrangement

Bimo Wira Para (4211100055) Page 41


DESAIN II (ME091318) : PROPELLER & SISTEM PERPOROSAN

1. Gambar Rencana Garis

Bimo Wira Para (4211100055) Page 42


DESAIN II (ME091318) : PROPELLER & SISTEM PERPOROSAN

2. Brosur Main Engine

Bimo Wira Para (4211100055) Page 43


DESAIN II (ME091318) : PROPELLER & SISTEM PERPOROSAN

3. Brosur Reduction Gear

Bimo Wira Para (4211100055) Page 44


DESAIN II (ME091318) : PROPELLER & SISTEM PERPOROSAN

4. Brosur Stern Tube

Bimo Wira Para (4211100055) Page 45


DESAIN II (ME091318) : PROPELLER & SISTEM PERPOROSAN

5. Brosur Forward Seal

Bimo Wira Para (4211100055) Page 46


DESAIN II (ME091318) : PROPELLER & SISTEM PERPOROSAN

6. Brosur After Seal

Bimo Wira Para (4211100055) Page 47

Anda mungkin juga menyukai