Perancangan Sistem Propusi Kapal Propeller Engine Dan Poros
Perancangan Sistem Propusi Kapal Propeller Engine Dan Poros
BAB I : PENDAHULUAN
Perencanaan propeller dan sistem perporosan merupakan salah satu tahapan penting
dalam mendesain kapal. Sebelum merencanakan propeller dan sistem perporosan, kita
diharuskan terlebih dalulu untuk mengetahui fungsi-fungsi dari bagian propeller dan sistem
perporosan yang akan kita rancang dan yang paling penting adalah kita harus mengetahui data
utama kapal yang dirancang.
Propeller merupakan bentuk alat penggerak kapal yang paling umum digunakan dalam
menggerakkan kapal. Sebuah kapal dapat bergerak dengan kecepatan sesuai keinginan owner
membutuhkan gaya dorong (thrust). Gaya dorong tersebut dihasilkan oleh motor induk atau main
engine yang ditransmisikan melalui poros dan disalurkan ke baling-baling (propeller).
Hal awal yang dilakukan untuk pendesainan propeller adalah perhitungan tahanan total.
Pada perancangan propeller dan sistem perporosan ini metode yang digunakan untuk menghitung
tahanan adalah metode Harvald. Tahapan selanjutnya adalah mehitung daya engine yang akan
ditransmisikan ke propeller untuk menghasilkan gaya dorong (BHP). Setelah didapatkan BHP
maka kita harus mencari main engine yang mempunyai nilai sesuai BHP untuk bisa menjalankan
tugasnya dengan baik.
Langkah selanjutnya adalah menghitung dan menentukan jenis propeller yang akan
digunakan. Pada perhitungan dan penentuan dimensi propeller yang digunakan adalah Bp -
diagram, dari diagram tersebut nantinya akan didapatkan dimensi dari propeller yang dirancang.
Dalam tahapan ini yang paling penting adalah mencari propeller yang paling effisien, diameternya
memenuhi persyaratan dari kapal yang dirancang, dan memenuhi sarat kavitasi.
Perhitungan dan perancangan stern tube merupakan tahapan yang terakhir. Stern tube
merupakan tabung kedap yang berguna untuk mencegah air dari luar memasuki badan kapal.
Selain itu stern tube juga berfungsi sebagai penopang dan tempat untuk melumasi poros.
Dalam laporan ini juga akan dihitung mengenai perencanaan boss propeller, kopling, tebal
bantalan, pasak, stern post, intermediate shaft serta kopling penghubung antara poros propeller
dan poros intermediate. Jenis pelumasan dari stern tube yang digunakan dalam perencanaan
perporosan ini adalah sistem pelumasan minyak.
Sebelum memulai merancang sebuah kapal, langkah pertama yang dilakukan adalah mencari
data kapal yang telah ditentukan. Data kapal pembanding ini berguna sebagai acuan dari dimensi
kapal yang akan dirancang. Data kapal yang ditentukan dapat dicari dibuku ataupun website dari
berbagai biro klasifikasi yang ada dimanapun. Contohnya NK,BV,GL,dll. Dalam perancangan
desain ini data kapal yang digunakan berasal dari Nippon Kaiji Kyokai ( ClassNK ). Berikut adalah
data dimensi kapal yang digunakan :
Pada perancangan Propeller dan Sistem Perporosan ini, pengerjaanya harus mengacu
pada rules & regulation yang berlaku. Karena apabila tidak mengikuti aturan yang telah ditetapkan
oleh klas maka rancangan propeller dan sistem perporosan ini tidak akan diterima oleh klas yang
bersangkutan. Dengan mengikuti aturan yang telah ditetapkan oleh klas maka kesempurnaan
konstruksi dan kelengakapannya dapat dipertanggung jawabkan.
Perancangan propeller dan sistem perporosan ini mengikuti aturan yang ada dalam BKI
(Biro Klasifikasi Indonesia). BKI merupakan suatu lembaga badan teknik yang melakukan kegiatan
berupa pengawasan untuk kapal baru maupun kapal yang sedang beroperasi, dan pemberian
sertifikasi untuk kapal-kapal yang telah lulus penilaian atas kesempurnaan konstruksi dan
kelengkapannya. Dan untuk perhitungan tahanan pada kali ini digunakan metode Harvald.
Sebelum menghitung tahanan kapal kita harus menentukan dahulu besarnya volume displasmen,
berat displasmen, luas permukaan basah (wetted surface area), Fraude Number, dan Reynold
Number dari kapal yang kita rancang. Berikut adalah tahapan pehitungannya :
Volume displasmen adalah volume air yang dipindahkan oleh badan kapal sebagai
sebuah floating body. Rumus dari volume displasmen adalah :
▼ = Cb x LWL x B x T (2.1)
B = Lebar kapal
Berat displasmen merupakan berat dari volume air yang dipindahkan oleh kapal.
Rumus yang digunakan untuk mencari berat displasmen adalah :
Luas permukaan basah adalah luas permukaan badan kapal yang tercelup di dalam
air. Dimana rumusnya adalah :
Lpp = Panjang antara kedua garis tegak buritan dan garis tegak haluan yang
dihitung pada garis air muat
Fraude number ini berhubungan dengan kecapatan kapal. Semakin besar angka
fraude number maka semakin cepat kecepatan kapal tersebut.
𝑣
Fn = (2.4)
√𝑔 𝑥 𝐿𝑤𝑙
Nilai reynold number akan digunakan pada saat pencarian tahanan gesek.
Rumus untuk mencari Rn :
𝑣 𝑥 𝐿𝑤𝑙
Rn = 𝑉𝑘 (2.5)
Vk = Koefisien viskositas kinematik
Setelah didapatkannya koefisien tahanan sisa kita masih harus melakukan koreksi,
karena kapal pada umumnya berbeda dengan standar yang telah ditentukan. Berikut ini
adalah koreksi yang harus dilakukan :
II.1.7.a. B/T
Diagram tersebut dibuat hanya untuk kapal yang mempunyai rasio lebar -
sarat “ B/T = 2,5 “ (Harvald,1992 : 119) ,maka untuk kapal yang mempunyai nilai
lebih besar atau lebih kecil dari 2,5 harus dilakukan pengkoreksian.
Dalam buku acuan Tahanan dan Propulsi Kapal, rumus koreksi sebagai
berikut :
103 CR = 103 CR(B/T=2.5) + 0.16(B/T – 2,5) (2.7)
Letak LCB yang optimum akan menentuka kapal yang didesain mempunyai
tahanan sekecil mungkin. Namun penentuan letak LCB yang optimum merupakan
kuantitas yang masih meragukan dan banyak sumber yang memberikan pendapat
yang berbeda. Sebagai upaya untuk mengatasi kerancuan tersebut, maka semua
informasi yang ada dikumpulkan dan diringkas pada LCBstandar yang didefinisikan
sebagai fungsi linier dari fraude number (Fn). Pengkoreksian penyimpangan LCB ini
hanya berlaku untuk LCB yang mempunyai letak berada di depan LCBstandar.
Karena letak LCB kapal yang saya desain berada dibelakang LCBstandar maka
pengkoreksian dapat diabaikan karena hal tersebut tidak akan memberikan
kesalahan yang berarti(Harvald,1992 : 130).
Ada beberapa bagian tambahan kapal yang harus dikoreksi. Tapi dalam hal
ini yang perlu dikoreksi adalah boss baling-baling, Cr perlu dinaikkan sebesar
3%-5%(Harvald,1992 : 132).
Pemberian koreksi pada CFS untuk kapal merupakan cara yang umum dilakukan
dalam praktek dan sudah lama diterapkan akibat adanya kekasaran pada permukaan kapal
meskipun kapal itu masih baru(Harvald,1992 : 132).
Tahanan udara dapat ditentukan dengan memakai data mengenai struktur yang
berada di atas air dan data udara. Namun demikian besarnya tahanan udara umumnya
tidak begitu penting dan dapat diabaikan. Tapi disini ditentukan besarnya tahanan udara
dan tahanan kemudi adalah sebagai berikut :
Koefisien tahanan total kapal (CT) dapat ditentukan dengan menjumlahkan seluruh
koefisien tahanan kapal yang ada :
Dalam hal ini tahanan total masih dalam pelayaran percobaaan, untuk kondisi
rata-rata pelayaran dinas harus diberikan margin tambahan pada tahanan dan daya efektif.
Sea margin atau service margin yang diberikan untuk pelayaran Jakarta – Calcutta sekitar
15% - 20%.
Untuk menghitung besarnya daya motor induk kapal, yang perlu kita perhitungkan adalah
sebagai berikut :
Daya Efektif atau EHP adalah daya yang diperlukan untuk menggerakkan kapal di
air atau untuk menarik kapal dengan kecepatan (v). Perhitungan daya efektif kapal (EHP)
adalah sebagai berikut :
EHP = RT x VS (2.12)
II.2.2. Daya pada Tabung Poros Buritan Baling-Baling (Delivered Horse Power)
DHP adalah daya yang diterima propeller dari sistem perporosan atau daya yang
dihantarkan oleh sistem perporosan ke propeller untuk diubah menjadi gaya dorong
(thrust).
Pc = Coefficient Propulsif
w = wake friction
Efisiensi propulsi adalah water efficiency dari propeller pada saat dilakukan
open water test, dan bernilai sekitar 40%-70%.
Untuk kapal yang kamar mesinnya terletak di bagian belakang akan mengalami
losses sebesar 2%, sedangkan pada kapal yang kamar mesinnya pada daerah midship kapal
mengalami losses sebesar 3%. Pada perencanaan ini kamar mesin di bagian belakang
sehingga mengalami losses atau efisiensi transmisi porosnya (ηsηb) sebesar 0.98. Untuk
menghitung DHP dapat menggunakan rumus :
II.2.4.a. BHPSCR
Adanya pengaruh effisiensi roda sistem gigi transmisi (ηG), karena memakai
sistem roda gigi reduksi tunggal atau single reduction gears dengan loss 2% untuk
arah maju shg ηG = 98 %.
II.2.4.b BHPMCR
Daya keluaran pada kondisi maksimum dari motor induk, dimana besarnya
daya BHPscr = 85% dari BHPmcr (kondisi maksimum).
Setelah diketahui BHPMCR maka dapat ditentukan jenis motor induk / main engine
yang akan kita pilih sesuai kapal yang dirancang.
Pada perencanaan ini telah didapatkan nilai dari daya penggerak utama yang
dibutuhkan,yaitu sebesar 18939,77 kW. Untuk pemilihan main engine, akan ada 2 main
engine yang akan dijadikan pertimbangan. Berikut adalah engine beserta spesifikasinya.
1. MAN B&W
Dalam pemilihan mesin pada merk MAN B&W, yang akan dipertimbangkan
adalah tipe S60ME-B8 dan V48/60CR. Tipe S6-ME-B8 dan V48/60CR dirasa
paling sesuai karena daya yang memenuhi dan daya yang dibutuhkan tidak
terlampau jauh dengan daya yang dihasilkan engine. Berikut adalah spesifikasi
dari S60ME-B8 dan V48/60CR dan dimensi dari mesin tersebut :
Berdasarkann kebutuhan daya mesin yang telah didapat, maka jenis mesin yang
akan digunakan untuk kapal adalah MAN B&W tipe MAN V48/60CR. Pemilihan mesin
MAN B&W tipe MAN V48/60CR dikarenakan dimensi tidak terlalu besar dan cocok dengan
kapal yang didesain.
Dikarenakan putaran yang dihasilkan oleh MAN B&W V48/60CR adalah 514 rpm,
maka dibutuhkan reduction gear untuk menurunkan putaran tersebut. Maka dipilihlah
reduction gear REINTJES DLG 110131. Berikut adalah spesifikasi dari reduction gear
tersebut :
REDUCTION GEAR
Jenis REINTJES
Tipe DLG 110131
Ratio 2,929
Max. Rated power 22890 kW
Max. RPM 750 rpm
II.2.6. Summary
Dari perhitungan yang telah dilakukan kita dapat melihat hasil lengkapnya yang
terdapat pada tabel 2.3.
Tabel 2.3 Perhitungan Tahanan Kapal
Dari perhitungan daya mesin yang telah dilakukan,kita dapat melihat data
lengkapnya pada tabel 2.4.
Tabel 2.4 Perhitungan Kebutuhan Power
Ada 3 komponen utama dalam merancang propeller, yaitu Delivered Power, Rate of
Rotation (N), dan Speed of Advance (Va). Dimana delivered power adalah daya yang diserap oleh
propeller dari shafting system untuk diubah menjadi Thrust Power. Sedangkan rate of rotation
adalah putaran propeller dan speed of advance adalah kecepatan aliran fluida pada disk propeller.
Nilai dari Va ini lebih rendah dari nilai servis kapal,hal ini disebabkan oleh dampak gesekan dari
fluida yang bekerja sepanjang lambung kapal hingga disk propeller.
Propeller merupakan alat penggerak yang paling umum digunakan untuk menggerakkan
kapal. Propeller yang digunakan pada kapal mempunyai daun baling-baling yang jumlahnya
beragam tergantung dari kecocokannya pada kapal yang dirancang. Pada sub-bab II.2 tentang
kebutuhan power motor telah didapatkan besarnya daya yang dibutuhkan oleh kapal. Maka pada
sub-bab ini akan dicari tipe propeller yang paling cocok dengan kapal yang menggunakan daya
sebesar itu. Apabila mesin dan baling-baling telah cocok ketika dilakukan Engine Propeller
Matching, maka kita dapat melanjutkan langkah selanjutnya yaitu mendesain propeller sesuai
dengan data yang telah didapat.
Mencari nilai Bp, Bp1 dan 0,1739√𝐵𝑝1 adalah langkah awal yang sangat
menentukan dalam pemilihan tipe propeller
Gambar II.3.1 Bδ seri model baling-baling berdaun 4, jenis Wageningen B4-55 (Lewis,1988:202)
D0 = δ0 x Va x N-1 (2.22)
Db adalah nilai diameter propeller yang yang kita desain. Perhitungan besarnya
nilai Db tergantung pada jenis propeller yang dipakai. Nilai Db dapat dicari dengan rumus :
Db = 0,96 x D0 (2.23)
Pencarian nilai δb dan 1/Jb digunakan untuk menentukan perpotongan nilai 1/Jb
dengan optimum line pada diagram BPδ. Dari perpotongan tersebut akan didapatkan nilai
P/Db dan effisiensi propeller. Untuk mencari nilai δb dan 1/Jb dapat menggunakan rumus :
δb = Db x N x Va-1 (2.24)
Gambar II.3.2. Diagram Bpδ propeller berdaun empat jenis Wageningen B4-55(Harvald,1992:145).
II.3.5. Summary
Db (ft)
Type
Single n (rpm) P/Db ηb
Propeller
Screw
B4-55 17,623 175,487 0,846 0,561
Perhitungan resiko kavitasi ini sangat penting untuk memastikan bahwa propeller yang
dipilih bebas dari kerusakan yang diakibatkan oleh terjadinya kavitasi.
Untuk nilai Ae/A0 didapat dari tipe propeller yang digunakan. Tipe propeller yang
akan digunakan pada kapal yang sedang didesain ini adalah tipe B4-55. Dari tipe tersebut
diketahui nilai dari Ae/A0 setiap propeller.
AP = AD + (1,067-0,0229(P/D)) (2.28)
T merupakan gaya yang diakibatkan oleh propeller. Untuk mendapatkan nilai dari T
kita dapat menggunakan rumus sebagai berikut :
T = Rt / ( 1-t ) (2.30)
Rt = tahanan total
τC merupakan thrust coefficient atau koefisien gaya dorong. τC ini digunakan untuk
mengetahui apakah propeller yang digunakan kapal mengalami kavitasi atau tidak pada
saat beroperasi. Dengan adanya kavitasi maka propeller tidak akan dapat bekerja secara
maksimal. Maka dari itu perhitungan kavitasi ini sangatlah penting dalam perancangan
propeller di kapal. Untuk mendapatkan nilai τC kita dapat menggunakan rumus :
𝑇
τC = 𝐴𝑝 𝑥 0,5 𝑥 𝜌 𝑥 Vr^2 (2.31)
Setelah mendapatkan nilai σ0,7R, maka nilai dari τC dapat diketahui dari
pembacaarn diagram Burril (Harvald,1992:201). Cara pembacaan diagramnya adalah
dengan menarik garis vertikal keatas pada nilai σ0,7R sampai memotong garis putus-putus yang
kedua. Dari perpotongan ditarik garis horisontal dan akan didapatkan nilai τC. Propeller
dinyatakan tidak kavitasi apa bila τC hitungan lebih kecil dari τC diagram Burril.
Gambar II.4.1 Diagram Burril untuk model propeller berdaun empat untuk kapal niaga(Harvald,1992)
II.4.7 Summary
Berdasarkan perhitungan yang dilakukan untuk resiko kavitasi, didapat data bahwa
propeller jenis Wageningen B4-55 tidak mengalami kavitasi pada saat perancangan. Untuk
data lengkap perhitungan dapat dilihat pada tabel 2.6 .
Tabel 2.6 Perhitungan resiko kavitasi
Ao 244,013 ft2
Ae/Ao 0,55
Ae 134,207 ft2
Ap 140,6 ft2
Vr2 2566,154
T 1302,224 kN
τC 0,0071
σ0,7R 0,237
τC
diagram 0,1115
KT = β x J2 (2.36)
Dimana nilai J divariasikan antara 0 (nol) sampai dengan 1 (satu). Dan pada desain
ini nilai J divariasikan dengan kelipatan 0,1.
0.800
0.700
0.600
0.500
0.400 Kt trial
0.300 Kt service
0.200
0.100
0.000
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2
Pada data sebelumnya telah didapatkan nilai P/Db sebesar 0,846. Nilai P/Db
digunakan untuk pembacaan pada diagram KT. Dari pembacaan pada diagram KT
didapatkan nilai KT, 10KQ dan efisiensi. Adapun nilai yang divariasikan adalah nilai J
antara 0-1 dengan kelipatan 0.1.
Untuk menentukan nilai KT, 10KQ dan efisiensi dari nilai P/Db sebesar 0,846 , kita
harus mencari nilai dari KT, 10KQ dan efisiensi untuk nilai P/Db sebesar 0,8 dan nilai P/Db
sebesar 0,9. Setelah didapatkan data kita bisa melakukan interpolasi terhadap nilai P/Db
sebesar 0,8 dan nilai P/Db sebesar 0,9.
Gambar II.5.2 Diagram Kt hasil uji baling-baling terbuka pada baling-baling berdaun empat(Harvald,1992).
Dari data yang telah didapat dapat dilanjutkan dengan membuat grafik open water
test baling-baling jenis Wageningen B4-55. Pada grafik open water test tersebut akan
didapatkan nilai J, KT, 10KQ ,dan efisiensin untuk keadaan service dan trial.
Selanjutnya adalah menghitung nilai putaran baling-baling yang sesuai dengan data
yang telah didapatkan. Untuk menghitungnya dapat menggunakan rumus :
𝑽𝒂
𝒏= 𝑱𝒙𝑫
(2.37)
0.8
0.7
0.6
KT
0.5
10 KQ
0.4
ηo
0.3 Kt trial
0.2 Kt service
0.1
0
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2
Pembuatan tabel ini bertujuan untuk mencari nilai dari BHP pada putaran mesin
saat titik operasi yang telah ditentukan sebelumnya. Data yang diperlukan adalah data
pada saat kapal sedang beroperasi dengan kondisi clean hull dan service condition.
Setelah data didapat langkah selanjutnya adalah membuat grafik pada keadaan clean hull
dan service condition.
Tabel 2.7 Perhitungan Daya pada Saat Clean Hull
Engine envelope yang digunakan harus sesuain dengan spesifikasi mesin yang
dipilih. Data yang ada pada engine project guid mesin MAN V48 adalah :
Tabel 2.9 Data Engine Envelope
Daya Putaran
Point Daya Putaran (%) (%)
1 19200 514 100% 100%
2 15360 514 80% 100%
3 16320 437 85% 85%
4 13060 437 68% 85%
110.0%
100.0%
90.0%
L1-L2
80.0% L2-L4
L3-L4
70.0% L1-L3
60.0%
50.0%
80.0% 85.0% 90.0% 95.0% 100.0% 105.0%
Langkah selanjutnya adalah menggabungkan kuva yang telah dibentuk. Hasil yang
penting untuk diketahui adalah titik operasi dari mesin dan baling-baling.
90.0%
POWER (kW%)
80.0%
70.0%
60.0%
50.0%
40.0%
70.0% 75.0% 80.0% 85.0% 90.0% 95.0% 100.0% 105.0%
RPM (n%)
II.5.7 Summary
Berdasarkan hasil perhitungan EPM yang dilakukan, didapatkan titik operasi baling-
baling 98% dan mesin 97.33% pada kondisi maksimum. Untuk hasil lebih lanjut terdapat pada
tabel 2.10.
Tabel 2.10 Hasil EPM
MAN B&W V48/60CR merupakan tipe motor induk yang akan digunakan dalam
perencanaan perancangan sistem propulsi ini. Tipe ini dipilih dikarenakan dimensi yang
tidak terlalu besar dan dapat kapal yang dirancang dapat menampung engine ini. Daya
yang hasilkan juga tidak terlampau jauh dengan daya yang dibutuhkan oleh sistem
propulsi. Berikut adalah dimensi beserta spesifikasinya :
REDUCTION GEAR
Jenis REINTJES
Tipe DLG 110131
Ratio 2,929
Max. Rated power 22890 kW
Max. RPM 750 rpm
Propeller tipe B4-55 merupakan propeller yang akan digunakan dalam sistem
propulsi ini. Setelah dilakukan engine propeller matching dengan berbagai tipe propeller,
tipe inilah yang sesuai dengan engine yang telah ditetapkan. Berikut adalah spesifikasinya :
Tabel II.26. Spesifikasi Propeller
Tipe B4-55
Diameter (Db) 5,371 m
Efisiensi ( η ) 0,561
Jumlah Daun ( Z ) 4
Pada perhitungan poros propeller,hal yang perlu diperhatikan adalah daya perencanaan,
momen puntir, tegangan geser, faktor konsentrasi tegangan, faktor beban lentur, diameter poros
yang direncanakan, dan diameter boss propeller. Berikut adalah penjelasan lebih lanjut tentang
faktor-faktor diatas.
Daya perencanaan yang akan digunakan dalam sistem perporosan ini harus sesuai
dengan SHP yang sudah dihitung pada bab 2. Perhitungan daya perencanaan adalah
sebuah tindakan koresi untuk mengindikasi adanya daya overload yang akan dialami oleh
mesin selama beroperasi. Berikut adalah rumus dari daya perencanaan :
Pw = fc x SHP (3.1)
Momen puntir pada poros diakibatkan dengan adanya gerakan rotasi yang bekerja
sepanjang poros. Rumus dari momen puntir adalah :
Tegangan geser maksimal yang dapat diterima oleh poros tergantung pada bahan
poros yang digunakan. Ketika poros diberi puntiran dan alur pasak maka dalam
perhitungannya harus dilakukan koreksi dari nilai tegangan geser yang diizinkan. Rumus
dari tegangan geser yang diizinkan adalah :
Sf1 = 6.0 (Bahan S-C dengan pengaruh masa, dan baja paduan)
beban dikenakan secara halus, 1.0 – 1.5 jika terjadi sedikit kejutan atau tumbukan, dan 1.5
– 3.0 jika beban dikenakan dengan kejutan atau tumbukan yang besar. Dalam perhitungan
kali ini, diambil nilai Kt sebesar 1.5 .
Selain mengalami momen puntir, poros juga akan mengalami beban lentur. Maka
dari itu nilai dari faktor beban lentur harus disertakan dalam perhitungan diameter poros
yang direncanakan. Besarnya nilai dari beban lentur terlatak antara 1.2 – 2.3 , tetapi jika
diperkirakan tidak akan terjadi momen lentur maka nilai Cb yang diambil 1.0 .
Diameter dari poros yang direncanakan dapat diketahi apabila telah didapat nilai
momen puntir, tegangan geser, faktor konsentrasi tegangan dan faktor beban lentur.
Apabila sudah didapat faktor-faktor tersebut maka dapat dihitung diameter poros yang
dibutuhkan untuk menahan semua beban tersebut. Berikut adalah perhitungan diameter
poros yang direncanakan :
5.1
𝐷𝑠 = [ tA 𝐾𝑡 𝑥 𝐶𝑏 𝑥 𝑇] (3.4)
Boss dari baling-baling harus mampu menahan putaran poros sehingga baling-
baling dapat memberikan gaya dorong (thrust) yang baik pada kapal. Pembuatan boss
propeller terdapat aturan tersendiri, biasanya selain mengikuti aturan klasifikasi, juga
tergantung pada jenis bahan yang digunakan dalam pembuatan boss itu sendiri. Berikut
adalah pada Tabel 3.2 yang berisikan perhitungan dimensi boss propeller berdasarkan
bahan yang digunakan. Dari data-data Tabel 3.2, dapat diketahui besarnya nilai dimensi
boss propeller yang akan dirancang.
Material
Item Manganese
Ni Al Bronze Cast Iron
Bronze
rb/tr 1 1 1
Di dalam peraturan Biro Klasifikasi Indonesia (BKI) 2006, disebutkan bahwa key ways dari
poros yang meruncing harus diatur agar kekonisan poros membentuk transisi yang gradual jika
dilihat secara keseluruhan. Selain itu ujung dari key ways tersebut juga tidak boleh terlalu tajam.
Pada umumnya nilai kemiringan dari kekonisan suatu poros berkisar antara 1:12 sampai dengan
1:20 dari panjang boss propeller, sehingga didapatkanlah rumus untuk mengatur kekonisan
sebagai berikut :
x = 1/13 x Lb (3.5)
Da = Ds – 2x (3.6)
x = Kemiringan konis
Spie atau pasak adalah baja lunak yang disisipkan antara poros dengan boss propeller
agar keduanya bersatu dan mampu mentransmisikan putaran dari main engine. Pemilihan jenis
pasak tergantung dari besarnya daya yang disalurkan pada bagian poros baling-baling. Dilihat dari
pemasangannya, pasak dapat dibedakan menjadi beberapa macam yaitu : pasak benam, pasak
pelana, pasak bulat, pasak bintang (spline). Berikut adalah beberapa perhitungan yang digunakan
untuk perencanaan spie poros propeller :
T = torsi
L = Panjang pasak
B = Lebar pasak
t = 1/6 x Ds (3.10)
t = Tebal pasak
R = 0.125 x Ds (3.11)
R = Radius pasak
Seperti yang telah diatur pada Biro Klasifikasi Indonesia (BKI) 2006, bahwa alur pasak
pada poros yang meruncing atau membentuk konis harus dirancang sedemikian mungkin,
sehingga membentuk keruncingan yang gradual. Selain itu ujung dari alur pasak tersebut juga
tidak boleh terlalu tajam. Untuk lebih jelasnya bisa dilihat gambar berikut :
Flens adalah suatu komponen yang digunakan untuk menyambung antar suatu poros
dengan poros yang lainnya. Dalam hal ini flens biasa disebut dengan kopling. Dalam perencanaan
flens poros banyak faktor-faktor yang harus diperhatikan,antara lain(Sularso, 1997) :
Db = 2.5 x Ds (3.13)
L = 5 x 0.5 x Ds (3.15)
L = Panjang kopling
Mur pengikat poros adalah suatu komponen yang mengikat flens poros yang
menghubungkan suatu poros dengan poros yang lainnya. Perhitungan ini digunakan sebagai
acuan pemillihan mur dan baut yang tersedia di pasaran. Diameter mur yang dipilih tidak boleh
lebih kecil dari perhitungan yang telah direncanakan. Diameter minimum (ds) baut yang dipasang
di flange kopling ditentukan dengan menggunakan rumus yang telah ditetapkan. Berikut adalah
perhitungan yang digunakan dalam perencanaan mur pengikat poros :
106 𝑥 𝑃
ds = 16 𝑥 √ (3.16)
𝑁 𝑥 𝐷 𝑥 𝑍 𝑥 𝑅𝑚
N = Putaran poros
D = Diameter baut yang direncanakan
Z = Jumlah baut
Rm = Kekuatan tarik material
d ≥ 0.6 x Ds (3.17)
Do = 2 x d (3.18)
H = 0.8~1.0 x d (3.19)
H = Tinggi mur
III.6 Summary
Untuk hasil perhitungan diatas yang akaan digunakan pada saat penggambaran dapat
dilihat pada Tabel 3.3.
Tabel 3.3. Hasil Perhitungan
Dalam bab ini, dibahas perencanaan mengenai stern post beserta afterpeak bulkhead,
tabung poros (stern-tube), bantalan poros depan dan belakang, rumah bantalan, system
kekedapan stern-tube, rope guard, dan juga sistem pelumasan dari bantalan. Semua perhitungan
dalam bab ini hanya dijadikan acuan sebagai pemilihan stern-tube beserta komponenya yang
tersedia di pasara. Perencanaan ini mengacu pada Biro Klasifikasi Indonesia.
Dalam Biro Klasifikasi Indonesia, stern-post merupakan suatu bagian yang terletak di
buritan kapal yang biasanya terletak pada lambung kapal. Di dalam Biro Klasifikasi Indonesia,
diberikan peraturan mengenai propeller post, yaitu dalam pemasangan propeller post dan rudder
post pada lambung kapal harus disesuaikan engan aturan yang telah ditetapkan. Hal ini bertujuan
untuk memperhitungkan gaya-gaya yang timbul nantinya cukup besar, oleh karena itu dilakukan
penguatan dari sisi konstruksi kapal.
AP-bulkhead merupakan sekat yang terletak pada buritan kapaldan berfungsi sebagai
memberikan ruangan yang kedap antara stern tube dengan rudder trunk.Berikut adalah
perhitungan dari stern-post yang diatur dalam Biro Klasifikasi Indonesia (BKI) 2006 :
l = 1.4L + 90 (4.1)
b = 1.6L + 15 (4.2)
Perencanaan tabung poros sangat dipengaruhi dengan perencanaan letak dari ceruk
buritan yang telah didesain sebelumnya dalam tugas rencana garis. Dimana perencanaan ceruk
buritan meliputi peletakan stern post dan AP-bulkhead. Untuk tebal dari stern-tube telah diberikan
formula sebagai berikut :
Untuk peletakan stern-tube ditentukan minimal 3 jarak gading, dimana dalam tugas
rencana garis sebelumnya ditentukan bahwa jarak gading yang berada pada bagian tersebut
sebesar 600 mm. Dengan pertimbangan tertentu, dalam perencanaan ini, mengunakan 5 jarak
gading, jadi didapatkanlah rumusan seperti dbawah ini :
Di dalam Biro Klasifikasi Indonesia (BKI) 2006 telah ditegaskan mengenai perencanaan
bantalan poros depan. Perencaan poros itu sendiri bergantung pada jenis pelumasan dan bahan
yang digunakan pada stern-tube. Seperti yang telah dijelaskan pada Biro Klasifikasi Indonesia
(BKI) 2006.
“Where the propeller shaft inside the stern-tube runs in oil-lubricated white metal bearings or in
synthetic rubber or reinforced resin or plastic materials approved for use in oil-lubricated stern-tube
bearings, the lengths of the after and forward bearings should be approximately 2 x da and 0,8 x
da respectively.”
Dijelaskan bahwa, untuk stern-tube yang terbuat dari bahan white metal bearing, synthetic
rubber, reinforced resin atau material plastik diperbolehkan untuk menggunakan jenis pelumasan
minyak. Sehingga berdasarkan peraturan tersebut, panjang dari perencanaan bantalan depan
adalah sebagai berikut :
Seperti halnya dalam perencanaan bantalan poros depan, perencanaan bantalan poros
belakang juga telah diatur dalam Biro Klasifikasi Indonesia (BKI) 2006. Dimana penentuan dari
panjang bantalan juga ditinjau dari bahan dan jenis pelumasan pada stern-tube yang digunakan.
Selain itu, panjang dari bantalan poros belakang juga dapat dikurangi menjadi 1.5 x da, diamana
kontak beban yang dihitung pada beban statis dari propeller kurang dari 0.8 Mpa untuk stern-tube
berbahan white metal bearing dan 0.6 Mpa untuk synthetic material. Persamaan untuk mencari
panjang dari bantalan poros belakang (Lsa) dan juga ketebalan dari bantalan (B) itu sendiri dalam
Biro Klasifikasi Indonesia (BKI) 2006 diberikan sebagai berikut :
Lsa = 2 x da (4-6)
B = ((Ds/30) x 3.175) (4-7)
IV.5. Perencanaan Rumah Bantalan
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, perhitungan stern-tube hanya dibuat sebagai
acuan saja dalam pemilihan stern-tube yang telah ada dipasaran. Oleh karena itu, perencanaan
rumah bantalan pada perhitungan stern-tube tidak begitu detail dilakukan, dikarenakan nanti akan
menyesuaikan dengan stern-tube yang dipilih dari pasaran tersebut.
Namun dalam aturan yang ada, ketebalan minimal dari rumah bantalan tersebut adalah
sebagi berikut :
tb = 0.18 x Ds (4-8)
IV.6.Perencanaan Sistem Kekedapan Stern-tube
Sistem kekedapan akan dipasang pada dua bagian, yaitu inner end dan outer end dari
stern-tube. Fungsi kekedapan pada stern-tube yang menggunakan pelumasan air laut ialah,
mencegah masuknya air laut. Sedangkan untuk yang menggunakan sistem pelumasan minyak
berfungsi untuk mencegah air laut masuk dan juga untuk mencegah minyak yang digunakan
sebagai pelumas bocor keluar dari kapal.
Terdapat perbedaan sistem seal antara stern-tube yang menggunakan pelumasan air laut
dengan pelumasan minyak. Dimana stern-tube yang menggunakan pelumasan air laut
menggunakan stuffing box dan gland yang konvensional pada bagian AP bulkhead. Tetapi pada
stern-tube yang menggunakan peluamasan minyak umumnya menggunakan lip seal atau radial
face seal ataupun keduanya.
Rope guard adalah suatu pengaman pada sterntube. Pada kapal, rope guard memiliki
fungsi sebagai pelindung pada propeller dari benda-benda laut yang dapat enyangkut pada
propeller, yang mengakibatkan turunnya daya dorong dari propeller itu sendiri.
Rope guard dapat terbuat dari fiberglass ataupun metal. Rope guard yang terbuat dari
fiberglass didesain menyatu dengan flat-head machine screw. Sementara rope guard yang terbuat
dari metal dilas pada suatu tempat yang mana terhubung dengan flat-head machine screw.
Sama halnya pada perencanaan rumah bantalan sebelumnya, rope guard tidak
diperhitungkan pada perencanaan kali ini, dikarenakan nantinya pemilihan rope guard akan
menjadi satu dengan pemilihan stern-tube yang ada dipasaran. Jadi desainer kapal tidak perlu
terlalu memperhitungkan perencanaan rope-guard, semua sudah dilakukan oleh pabrik.
Sistem pelumasan pada bantalan terdapat 2 jenis, yaitu pelumasan dengan air laut dan
pelumasan dengan minyak. Fungsi dari pelumas itu sendiri adalah unutk mencegah pergesekan,
menghindari keausan, mengurangi hilangnya tenaga, dan mengurangi timbulnya panas pada
stern-tube. Dalam penentuan pemilihan jenis pelumas harus benar-benar diperhatikan, kesalahan
dalam pemilihan bahan pelumasan dapat berakibat fatal karena dapat merusak komponen-
komponen yang ada. Pemilihan jenis pelumasan berpengaruh pada proses perencanaan stern-
tube.
Pada perencanaan propeller dan sistem perporosan kali ini, menggunakan sistem
pelumasan minyak. Pemilihan penggunaan pelumas minyak dikarenakan, hampir semua kapal
modern menggunakan pelumasan minyak. Selain itu, umur stern-tube yang menggunakan
pelumasan minyak lebih lama dari pada yang menggunakan pelumasan air laut. Hal itu mungkin
dikarenakan pelumasan menggunakan air laut lebih menuju pada kekorosian komponen yang ada,
dari pada menggunakan pelumasan minyak.
IV.9. Summary
Untuk data lengkap perhitungan dapat dilihat pada Tabel 4.2.
Tabel 4.1. Hasil Perhitungan
LAMPIRAN
Propeller and Shaft Arrangement