Oleh:
Amola Besta Talenta G99162020
Fadhila Khairunisa G99172072
Muhammad Fiarry Fikaris G99162021
Tristira Rosyida G99162019
Zuhud Nur Wibisono G99162018
Pembimbing:
Dr. Didik Prasetyo, Sp.PD., M.Kes.
ii
HALAMAN PENGESAHAN
Oleh:
Amola Besta Talenta G99162020
Fadhila Khairunisa G99172072
Muhammad Fiarry Fikaris G99162021
Tristira Rosyida G99162019
Zuhud Nur Wibisono G99162018
ii
BAB I
STATUS PASIEN
I. ANAMNESIS
A. Identitas
Nama : Ny. S
Umur : 59 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Menjing, Kajuapak, Polokarto, Sukoharjo
No RM : 01408xxx
Suku : Jawa
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Pendidikan : SMP
Status : Menikah
Tanggal Masuk : 3 September 2018
Tanggal Periksa : 5 September 2018
B. Data dasar
Autoanamnesis dan alloanamnesis dilakukan saat hari kedua
perawatan di Bangsal Penyakit Dalam Flamboyan 8 RSUD Dr.
Moewardi Surakarta.
Keluhan utama:
Sesak napas memberat sejak 1 hari SMRS.
Riwayat penyakit sekarang:
Pasien mengeluhkan sesak napas yang memberat sejak 1 hari
sebelum masuk rumah sakit. Sesak napas sudah pasien rasakan hilang
timbul selama ± 2 bulan terakhir. Sesak napas yang memberat
dirasakan terus menerus hingga mengganggu aktivitas. Keluhan
memberat ketika pasien melakukan aktivitas meskipun aktvitas ringan.
Keluhan terasa lebih ringan ketika pasien beristirahat. Pasien mengaku
sesak napas tidak dipengaruhi oleh debu dan cuaca. Pasien biasa tidur
dengan 2-3 bantal. Selain sesak napas pasien juga mengeluhkan
bengkak di tungkai atas dan tungkai bawah di kedua sisi. Bengkak
dirasa bertambah besar selama seminggu ini. Keluhan bengkak
1
membesar biasanya bersamaan ketika pasien sesak dan mengecil
setelah mondok dua hari di rumah sakit.
Pasien juga mengeluh badannya terasa lemas. Lemas dirasakan
terus menerus.
Pasien BAK sehari 2 – 3 kali, sebanyak ½ gelas belimbing,
darah (-) dan nyeri BAK (-).BAK batu maupun pasir disangkal. BAB
pasien sehari sekali. Tidak ada BAB berdarah. Nafsu makan pasien
biasa, tidak ada penurunan.
Pasien mengaku memiliki sakit ginjal sejak 3 tahun yang lalu
dan rutin melakukan cuci darah di RSDM setiap Rabu siang. Pasien
juga mengaku memiliki sakit gula sejak 5 tahun yang lalu, sempat
menggunakan insulin dan obat gula namun tidak rutin. Selain itu
pasien memiliki riwayat penyakit darah tinggi sejak 3 tahun terakhir,
namun tidak rutin minum obat. Riwayat sakit jantung disangkal.
2
Pohon keluarga pasien:
Pasien
Keterangan :
: Pasien : Meninggal
: Laki-laki : Perempuan
Riwayat kebiasaan
Makan Pasien mengaku makan 3 kali sehari dengan
nasi, lauk-pauk, dan sayur. Pasien terkadang
makan buah.
Merokok Pasien tidak pernah merokok
Alkohol Disangkal
Obat Warung Pasien mengaku kadang kadang
menggunakan obat pegal linu yang dibeli di
warung
Minuman berenergi Disangkal
ataupun Jamu.
3
Riwayat gizi
Pasien makan 3 kali dalam sehari. Porsi untuk sekali makan +
10-12 sendok makan dengan dengan lauk tahu, tempe, telur, daging,
dan sayur. Pasien terkadang makan buah. Namun dalam 3 hari terakhir
pasien tidak mau makan karena keluhan nyeri perut yang dirasakan.
Sementara waktu pasien hanya minum dalam jumlah sedikit.
Anamnesis sistem
1. Keluhan utama : sesak napas sejak 1 hari sebelum masuk rumah
sakit.
2. Kulit : Warna coklat, gatal (-), bercak- bercak kuning (-),
luka (-)
3. Kepala : kepala terasa berat (-), perasaan berputar-putar (-),
nyeri kepala (-), rambut mudah rontok (-)
4. Mata : Mata berkunang-kunang (-), pandangan kabur (-),
gatal (-/-), mata kuning (-/-), mata merah
(-/-)
5. Hidung : Tersumbat (-), keluar darah (-), keluar lendir atau
air berlebihan (-), gatal (-)
6. Telinga : Telinga berdenging (-/-), pendengaran berkurang
(-/-), keluar cairan atau darah (-/-), Nyeri (-/-)
4
7. Mulut : Bibir kering (-), gusi berdarah (-), sariawan (+),
gigi mudah goyah (-), lidah kotor (-)
8. Tenggorokan : Rasa kering dan gatal (-), nyeri untuk menelan (-),
sakit tenggorokan (-), suara serak (-)
9. Sistem respirasi : Sesak nafas (+), batuk (-), dahak kuning kental
(-), darah (-), nyeri dada (-), mengi (-)
10. Sistem kardiovaskuler: Nyeri dada (-), terasa ada yang menekan
(-), sering pingsan (-), berdebar-debar (-), keringat
dingin (-), ulu hati terasa panas (-), denyut jantung
meningkat (-), bangun malam karena
sesak nafas (+), sesak saat aktifitas (+)
11. Sistem gastrointestinal: Diare (-), perut mrongkol (-), perut
membesar (-), mual (-), muntah darah (-), nafsu
makan berkurang (-), nyeri ulu hati (-), sulit BAB
(-), kentut (+), BAB hitam (-), BAB bercampur air
(-), BAB bercampur darah (-), BAB bercampur
lendir (-), rasa penuh di perut (-), cepat kenyang
(-), perut nyeri setelah makan (-), berat badan
menurun (-).
12. Sistem Muskuloskeletal: Lemas (+), leher kaku (-), keju-kemeng
(-), kaku sendi (-), nyeri sendi (-), bengkak sendi
(-), nyeri otot (-), kaku otot (-), kejang (-)
13. Sistem genitouterinal: Nyeri saat BAK (-), BAK bertambah (-),
panas saat BAK (-), air kencing warna seperti teh
(-), BAK darah (-), nanah (-), anyang-anyangan
(-), sering menahan kencing (-), rasa nyeri di
pinggang (-), rasa gatal pada saluran kencing (-),
rasa gatal pada alat kelamin (-).
14. Ekstremitas :
a. Atas : Bengkak (+/+), lemah (-/-), luka (-/-), kesemutan
(-/-), tremor (-/-), ujung jari terasa dingin (-/-), nyeri
5
(-/-), lebam-lebam kulit (-/-), kulit kehitaman (-/-),
kulit kemerahan (-/-)
b. Bawah : Bengkak (+/+), lemah (-/-), luka (-/-), kesemutan
(-/-), tremor (-/-), ujung jari terasa dingin (-/-), nyeri
(-/-), lebam- lebam kulit (-/-), kulit kehitaman (-/-),
kulit kemerahan (-/-)
6
8. Hidung : Tersumbat (-), keluar darah (-), keluar lendir atau air
berlebihan (-), gatal (-), epistaksis (-)
9. Mulut : Mukosa basah (+), sianosis (-), gusi berdarah (-), papil
lidah atrofi (-), gusi berdarah (-), luka pada sudut bibir
(-), oral thrush (-), lidah kotor (-).
10. Leher : JVP 5+2 cm, trakea ditengah,simetris, pembesaran
kelenjar tiroid (-), pembesaran kelenjar getah bening
leher (-), leher kaku (-), distensi vena-vena leher (-)
11. Thorax : Bentuk normochest, simetris, dinding dada = dinding
abdomen pengembangan dada kanan = kiri, retraksi
intercostal (-), pernafasan abdominothorakal, sela iga
melebar (-), pembesaran kelenjar getah bening axilla (-/-)
12. Jantung
Inspeksi : Ictus kordis tak tampak
Palpasi : Ictus kordis teraba di SIC VI 2 cm lateral LMCS,
tidak kuat angkat
Perkusi : Batas jantung kiri di SIC V 2 cm LMCS
Batas jantung kanan di SIC V LSD
Kesan batas jantung melebar
Auskultasi : Bunyi jantung I-II murni, intensitas normal,
reguler, bising (-), gallop (-).
13. Pulmo
a. Depan
Inspeksi
- Statis : Normochest, simetris, sela iga tidak melebar, iga
tidak mendatar
- Dinamis : Pengembangan dada simetris kanan = kiri, sela iga
tidak melebar, retraksi intercostal (-)
Palpasi
- Statis : Simetris
- Dinamis : Pergerakan kanan = kiri, fremitus raba kanan = kiri
Perkusi
- Kanan : Sonor, redup pada batas relatif paru-hepar pada
SIC V linea medioclavicularis dextra
- Kiri : Sonor, redup dari SIC V ke bawah.
Auskultasi
7
- Kanan : Suara dasar vesikuler normal, suara tambahan:
wheezing (-), ronkhi basah halus (+) SIC VI,
ronki basah kasar (-),krepitasi (-)
- Kiri : Suara dasar vesikuler normal, suara tambahan:
wheezing (-), ronkhi basah halus (+) SIC VI,
ronki basah kasar (-), krepitasi (-)
b. Belakang
Inspeksi
- Statis : Normochest, simetris, sela iga tidak melebar, iga
tidak mendatar
- Dinamis : Pengembangan dada simetris kanan=kiri, sela iga
tidak melebar, retraksi intercostal (-)
Palpasi
- Statis : Simetris
- Dinamis : Pergerakan kanan = kiri, fremitus raba kanan =kiri
Perkusi
- Kanan : Sonor
- Kiri : Sonor
- Peranjakan diafragma 5 cm
Auskultasi
- Kanan : Suara dasar vesikuler normal, suara tambahan:
wheezing (-), ronkhi basah halus (+), ronki basah
kasar (-), krepitasi (-)
- Kiri : Suara dasar vesikuler normal, suara tambahan:
wheezing (-), ronkhi basah halus (+), ronki basah
kasar (-), krepitasi (-)
13. Abdomen
Inspeksi : Dinding perut = dinding thorak, ascites (-),
venektasi (-), sikatrik (-), striae (-), caput medusae
(-), spider nevi (-)
Auskultasi : Bising usus (+) 16 x / menit
Perkusi : timpani (+), pekak alih (-), area traube timpani,
liver span 12 cm,
Palpasi : supel (+), distended (-), nyeri tekan (-), nyeri lepas
(-), defans muskuler (-), hepar dan lien tidak
teraba, undulasi (-)
14. Ginjal
Palpasi : bimanual palpation : ginjal kanan - kiri tidak teraba
8
Ekstremitas :
Akral dingin + + Oedem
+ +
Superior Ka/Ki : Oedem (+/+), sianosis (-/-), pucat (-/-), akral dingin
(-/-), luka (-/-), kuku pucat (-/-), spoon nail (-/-),
clubing finger (-/-), flat nail (-/-), nyeri tekan dan
nyeri gerak (-/-), deformitas (-/-)
Inferior Ka/Ki : Oedem (+/+), hiperpigmentasi (-), sianosis (-/-),
pucat (-/-), akral dingin (-/-), kuku pucat (-/-),
spoonnail (-/-), clubing finger (-/-), flat nail (-/-),
deformitas (-/-)
9
SGPT 14 u/l <45
Creatinine 12.8 (↑) mg/dl 0.6 – 1.1
Ureum 141 (↑) mg/dl <50
SEROLOGI
HbsAg Nonreactive
10
Leukosit 4.6 /LPB 0 – 12
EPITEL
Epitel squamous 10-15 /LPB Negatif
Epitel transitional - /LPB Negatif
Epitel bulat - /LPB Negatif
SILINDER
Hyaline 0 /LPK 0–3
Granulated 0-1 /LPK Negatif
Leukosit - /LPK Negatif
11
C. Elektrokardiografi
Tanggal 5 September 2018
12
D. Foto Rontgen Thoraks
Tanggal 14 Juli 2018
13
2. Efusi pleura kiri
3. Terpasang HD Cath dari sisi kanan dengan dengan tip terproyeksi
corpus VTh 8 sisi kanan
4. Cor tak valid dinilai
IV. RESUME
1. Keluhan utama
Sesak napas memberat sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit
Sesak napas memberat sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit.
Sesak napas sudah pasien rasakan hilang timbul selama ± 2 bulan
terakhir.
Sesak napas yang memberat dirasakan terus menerus hingga
mengganggu aktivitas.
Keluhan memberat ketika pasien melakukan aktivitas meskipun
aktivitas ringan.
Keluhan terasa lebih ringan ketika pasien beristirahat.
Sesak napas tidak dipengaruhi oleh debu dan cuaca.
Pasien biasa tidur dengan 2-3 bantal.
Selain sesak napas pasien juga mengeluhkan bengkak di tungkai
atas dan tungkai bawah di kedua sisi.
Bengkak dirasa bertambah besar selama seminggu ini.
Keluhan bengkak membesar biasanya bersamaan ketika pasien
bertambah sesak napas dan mengecil setelah mondok dua hari di
rumah sakit.
2. Pemeriksaan fisik:
Vital sign :
Tensi : 150/90 mmHg
Nadi : 80 kali /menit
Frekuensi nafas : 24 kali /menit
Suhu : 36.50 C
Pulmo : Auskultasi: ronki basah halus (+/+)
Ekstremitas Superior: oedem (+/+)
Ekstremitas Inferior: oedem (+/+)
3. Pemeriksaan penunjang :
a. Laboratorium darah :
14
Eritrosit 2.67 juta/ul, MCH 33.7 pg, MCHC 38.3 g/dl, Limfosit
20.20%, Creatinine 12.8 mg/dl, Ureum 141 mg/dl
6 September 2018: Hemoglobin 10.8 g/dl, Eritrosit 3.62 juta/ul,
Creatinine 4.4 mg/dl, Calsium ion 1.37 mmol/L,
b. Laboratorium urine : berat jenis 1.012, protein 1000 mg/dl,
eritrosit 0.06 mg/dl, epitel squamous 10-15/LPB, Silinder
granulated 0-1/LPK
c. Rontgen thorax: Oedem pulmo, efusi pleura kiri dan cor tak
valid dinilai
15
3. Ad fungsionam : dubia ad bonam
16
RENCANA AWAL
CaCO3
3 Hipertensi Pemeriksaan fisik : Urin rutin Amlodipine 10 Penjelasan kepada KUVS per
. TD : 150/90
Stage II Cek fungsi mg/24 jam pasien tentang 12 jam
ginjal diagnosis, rencana
terapi, dan
komplikasi
penyakitnya
4 DM tipe II Anamnesis: Cek profil Diet DM. Penjelasan kepada KU/VS
. Riwayat DM terkontrol sejak 5
dengan Gula lipid dan pasien mengenai per 8 jam
tahun yang lalu.
Darah asam urat kondisi, prosedur
Terkontrol Cek GDS, diagnosis dan
GD2PP, dan tatalaksana beserta
GDP komplikasi yang
dapat terjadi.
5. Anemia tipe Pemeriksaan laboratorium: Cek urin rutin Asam Folat Penjelasan kepada KU/VS
normositik- Hb : 9.0 Kultur Urine 800mg/24jam pasien mengenai per 8 jam
Tanggal 5 September 2018 (DPH2) 6 September 2018 (DPH3) 7 September 2018 (DPH4)
Subjektif Sesak napas mulai berkurang Sesak napas berkurang
Objektif KU : tampak sakit sedang, KU : tampak sakit sedang, KU : tampak sakit sedang,
composmentis, gizi kesan composmentis, gizi kesan composmentis, gizi kesan
cukup cukup cukup
Tensi : 150/90 mmHg Tensi : 150/90 mmHg Tensi : 150/80 mmHg
Respirasi : 24 kali/menit Respirasi : 20 kali/menit Respirasi : 20 kali/menit
Nadi : 80 kali/menit Nadi : 70 kali/menit Nadi : 70 kali/menit
Suhu : 36.5° C Suhu : 36.4° C Suhu : 36.4° C
Mata : konjungtiva pucat (-/-), sklera Mata : konjungtiva pucat (-/-), Mata : konjungtiva pucat (-/-),
ikterik(-/-) sklera ikterik (-/-) sklera ikterik (-/-)
Telinga : sekret (-/-) Telinga : sekret (-/-) Telinga : sekret (-/-)
Hidung : sekret (-/-) nafas cuping Hidung : sekret (-/-) nafas cuping Hidung : sekret (-/-) nafas cuping
hidung (-) hidung (-) hidung (-)
Mulut : sianosis (-), mukosa basah Mulut : sianosis (-), mukosa basah Mulut : sianosis (-), mukosa basah (+),
(+), atrofi papil lidah (-) (+), atrofi papil lidah (-) atrofi papil lidah (-)
Leher : JVP R+2, KGB tidak Leher : JVP R+2, KGB tidak Leher : JVP R+2, KGB tidak
membesar membesar membesar
Thorak: Normochest, Retraksi(-) Thorak: Normochest, Retraksi (-) Thorak: Normochest, Retraksi (-)
Cor Cor Cor
I : IC tidak tampak I : IC tidak tampak I : IC tidak tampak
P : IC tidak kuat angkat di SIV IV P : IC tidak kuat angkat di SIV IV P : IC tidak kuat angkat di SIV IV
LMCS LMCS LMCS
P :Batas jantung kesan tidak melebar P :Batas jantung kesan tidak melebar ke P :Batas jantung kesan tidak melebar ke
ke caudo lateral caudo lateral caudo lateral
A : BJ I-II intensitas normal, reguler, A : BJ I-II intensitas normal, reguler, A : BJ I-II intensitas normal, reguler,
bising (-), gallop (-) bising (-), gallop (-) bising (-), gallop (-)
Pulmo Pulmo Pulmo
I : Pengembangan dada kanan=kiri I : Pengembangan dada kanan=kiri I : Pengembangan dada kanan=kiri
P : Fremitus raba kanan=kiri P : Fremitus raba kanan=kiri P : Fremitus raba kanan=kiri
P : sonor/ sonor P : sonor/ sonor P : sonor/ sonor
A : Suara dasar vesikuler, suara A : Suara dasar vesikuler, suara A : Suara dasar vesikuler, suara
tambahan wheezing (-/-) ronchi tambahan wheezing (-/-) ronchi tambahan wheezing (-/-) ronchi
basah kasar (-/-) ronkhi basah basah kasar (-/-) ronkhi basah basah kasar (-/-) ronkhi basah
halus (+/+) halus (+/+) halus (+/+)
Abdomen Abdomen Abdomen
I : Dinding perut sejajar dengan I : Dinding perut sejajar dengan I : Dinding perut sejajar dengan
dinding dada dinding dada dinding dada
A : Bising usus (+) 12 x/menit A : Bising usus (+) 12 x/menit A : Bising usus (+) 12 x/menit
P : Timpani, pekak alih (-), area traube P : Timpani, pekak alih (-), area traube P : Timpani, pekak alih (-), area traube
timpani timpani timpani
21
P : supel (+), distended (-), nyeri tekan P : supel (+), distended (-), nyeri tekan P : supel (+), distended (-), nyeri tekan
(-) regio hipochondriaca sinistra (-) regio hipochondriaca sinistra (-) regio hipochondriaca sinistra
sampai regio epigastrica, nyeri sampai regio epigastrica, nyeri lepas sampai regio epigastrica, nyeri lepas
lepas (-), defans muskuler (-), hepar (-), defans muskuler (-), hepar dan (-), defans muskuler (-), hepar dan
dan lien tidak teraba, undulasi (-) lien tidak teraba, undulasi (-) lien tidak teraba, undulasi (-)
Ekstremitas Ekstremitas Ekstremitas
Superior Ka/Ki : Oedem (+/+), sianosis Superior Ka/Ki : Oedem (+/+), sianosis Superior Ka/Ki : Oedem (-/-), sianosis
(-/-), pucat (-/-), akral dingin (-/-), luka (-/-), pucat (-/-), akral dingin (-/-), luka (-/-), pucat (-/-), akral dingin (-/-), luka
(-/-), kuku pucat (-/-), spoon nail (-/-), (-/-), kuku pucat (-/-), spoon nail (-/-), (-/-), kuku pucat (-/-), spoon nail (-/-),
clubing finger (-/-), flat nail (-/-), nyeri clubing finger (-/-), flat nail (-/-), nyeri clubing finger (-/-), flat nail (-/-), nyeri
tekan dan nyeri gerak (-/-), deformitas tekan dan nyeri gerak (-/-), deformitas tekan dan nyeri gerak (-/-), deformitas
(-/-) (-/-) (-/-)
Inferior Ka/Ki : Oedema (+/+), Inferior Ka/Ki : Oedema (+/+), Inferior Ka/Ki : Oedema (-/-),
hiperpigmentasi (-), sianosis (-/-), pucat hiperpigmentasi (-), sianosis (-/-), pucat hiperpigmentasi (-), sianosis (-/-), pucat
(-/-), akral dingin (-/-), kuku pucat(-/-), (-/-), akral dingin (-/-), kuku pucat(-/-), (-/-), akral dingin (-/-), kuku pucat(-/-),
spoonnail (-/-), clubing finger (-/-), flat spoonnail (-/-), clubing finger (-/-), flat spoonnail (-/-), clubing finger (-/-), flat
nail (-/-), krepitasi genu (-/-), nyeri tekan nail (-/-), krepitasi genu (-/-), nyeri tekan nail (-/-), krepitasi genu (-/-), nyeri tekan
(-/-) regio cruris sinistra et dextra, nyeri (-/-) regio cruris sinistra et dextra, nyeri (-/-) regio cruris sinistra et dextra, nyeri
gerak genu (-/-), deformitas (-/-) gerak genu (-/-), deformitas (-/-) gerak genu (-/-), deformitas (-/-)
22
Akral dingin Akral dingin Akral dingin
Assesment 1. CHF NYHA III a. LVH e. HHD, DM 1. CHF NYHA III a. LVH e. HHD, DM 1. CHF NYHA III a. LVH e. HHD, DM
dengan oedem pulmo dengan oedem pulmo dengan oedem pulmo
2. DKD Stage V HD rutin Rabu 2. DKD Stage V HD rutin Rabu 2. DKD Stage V HD rutin Rabu
23
3. Hipertensi Urgensi 3. Hipertensi Urgensi 3. Hipertensi Stage II
4. DM Tipe 2 dengan gula darah 4. DM Tipe 2 dengan gula darah 4. DM Tipe 2 dengan gula darah
terkonrol terkonrol terkonrol
5. Anemia hipokromik mikrositik ec 5. Anemia hipokromik mikrositik ec 5. Anemia hipokromik mikrositik ec
PGK (Hb 8.1) PGK (Hb 8.1) PGK (Hb 10.8)
6. Hiponatremia ringan (134) 6. Hiponatremia ringan (134) 6. Hipokalsemia ringan (1.37)
7. Hipokalsemia ringan (1.31) 7. Hipokalsemia ringan (1.31)
Terapi 1. Bedrest tidak total setengah duduk 1. Bedrest tidak total setengah duduk 15. Bedrest tidak total setengah duduk
2. O2 2-3 lpm NK 2. O2 2-3 lpm NK 16. O2 2-3 lpm NK
3. Diet ginjal jantung DM 1700 kkal 3. Diet ginjal jantung DM 1700 kkal 17. Diet ginjal jantung DM 1700 kkal
4. Inf. D5% 16 tpm mikro 4. Inf. D5% 16 tpm mikro 18. Inf. D5% 16 tpm mikro
5. Inf EAS Primer 1 fl/24 jam 5. Inf EAS Primer 1 fl/24 jam 19. Inf EAS Primer 1 fl/24 jam
6. Inj Furosemid 20 mg/8 jam 6. Inj Furosemid 20 mg/8 jam 20. Inj Furosemid 20 mg/8 jam
7. Inj Fluimucyl 600 mcg/24 jam 7. Inj Fluimucyl 600 mcg/24 jam 21. Inj Fluimucyl 600 mcg/24 jam
8. Candesartan 16 mg/24 jam 8. Candesartan 16 mg/24 jam 22. Candesartan 16 mg/24 jam
9. Amlodipin 10 mg 0-0-0-1 9. Amlodipin 10 mg 0-0-0-1 23. Amlodipin 10 mg 0-0-0-1
10. Asam folat 800 mcg/24 jam 10. Asam folat 800 mcg/24 jam 24. Asam folat 800 mcg/24 jam
11. CaCO3 1 tab/8 jam 11. CaCO3 1 tab/8 jam 25. Clonidin 0.15 mg/12 jam
12. Clonidin 0.15 mg/12 jam 12. Clonidin 0.15 mg/12 jam 26. Hemodialisa
13. Kalitake sach 1 sach/8 jam 13. Kalitake sach 1 sach/8 jam
14. Hemodialisa 14. Hemodialisa
Planning - Lab DURCE post Hemodialisa - Hemodialisa dengan terapi on - Konfirmasi jadwal pemasangan AV
- Monitoring Balance Cairan hemodialisa 2 kolf PRC Shunt oleh TS BTKV
24
- Lab DURCE post Hemodialisa - KU baik BLPL
- Konsultasi BTKV untuk pemasangan
AV Shunt
- Monitoring Balance Cairan dan GDS
25
Resume Pulang
Pasien pulang dalam keadaan perbaikan
Dengan diagnosis
- CHF NYHA III a. LVH e. HHD, DM dengan oedem pulmo
- DKD Stage V HD rutin Rabu
- Hipertensi Stage II
- DM Tipe 2 dengan gula darah terkonrol
- Anemia hipokromik mikrositik ec PGK (Hb 10.8)
Pengobatan lanjut di poliklinik. 12 September 2018
Dengan terapi pulang
- Candesartan 16 mg/24 jam
- Amlodipin 10 mg 0-0-0-1
- Clonidin 0.15 mg/12 jam
- Hemodialisa
Dengan Hasil Lab terakhir 18/8/2018
Laboratorium darah
Hb : 10.8 Natrium : 136
Hct : 33 Kalium : 3.5
AL : 7.4 Kalsium : 1.37
AT : 257 Creatinine : 4.4
AE : 3.62 Ureum : 32
TINJAUAN PUSTAKA
GFR dapat dihitung dengan mempergunakan rumus Kockcroft – Gault sebagai berikut :
LFG (ml/mnt/1,73m2) = (140 – umur) X berat badan *)
72 X kreatinin plasma (mg/dl)
*) pada perempuan dikalikan 0,85
Dua penyebab utama penyakit ginjal kronik menurut Indonesian Renal Registry
(IRR) 2014 adalah penyakit ginjal hipertensi (37%) dan nefropati diabetika (27%).
Jumlah pasien penyakit ginjal Diagnosa Etiologi/Comorbid) di Indonesia tahun 2014
(IRR, 2014) :
- Penyakit ginjal hipertensi (4699)
- Nefropati diabetika (3401)
- Glumerulopati Primer (1317)
- Nefropati obstruktif (914)
- Pielonefritis Kronik (850)
- Nefropati Lupus (164)
- Ginjal polikistik (154)
- Nefropati asam urat (148)
- Lain-lain (921)
- Tidak diketahui (202)
Patofisiologi terjadinya Gagal Ginjal Kronis (GGK) meliputi dua mekanisme
yaitu mekanisme spesifik berdasarkan etiologi yang mendasari (nefropati diabetik,
glomerulonefritis, hipertensi, genetik, toksin) dan mekanisme progresif meliputi
hiperfiltrasi dan hipertrofi dari nefron yang masih normal sebagai mekanisme
kompensasi yang maladaptif (Kasper et al., 2015).
Hilangnya unit fungsional ginjal baik karena penyakit ataupun operasi akan
menyebabkan perubahan anatomis dan fungsional dari nefron normal yang tersisa.
Aliran darah ke glomerolus yang normal meningkat karena adanya peningkatan dari
nitrit oksida, sehingga akan menyebabkan hipertrofi dan hiperfiltrasi. Hal ini
menyebabkan terjadinya hipertensi glomerular sehingga meningkatkan tegangan dan
gaya pada dinding kapiler yang pada awalnya dapat diatasi oleh kontraktilitas dari
endotel dan membran basalis serta podosit. Podosit akan meningkatkan adhesi sel agar
dinding kapiler tetap utuh. Seiring berjalannya waktu, maka hipertensi glomerular ini
akan merusak podosit dan menyebabkan glomerulasklerosis (Kasper et al., 2015).
Gambar 2.1 Glumerolus Normal (Kiri) dan Hiperfiltrasi (Kanan)
Diagnosis
1. Anamnesis
Riwayat Hipertensi, DM, ISK, batu saluran kemih, SLE. Riwayat hipertensi dalam
kehamilan (pre-eklamsia, abortus spontan). Riwayat konsumsi obat NSAID, antimikroba,
kemoterapi, antiretroviral, paparan zat kontras. Evaluasi sindrom uremia : lemah, nafsu
makan berkurang, berat badan menurun, mual muntah, nokturia, sendawa, edema perifer,
neuropati perifer, pruritu, kram otot, kejang sampai koma. Riwayat penyakit ginjal pada
keluarga, juga evaluasi manifestasi sistem organ seperti auditorik, visual, kulit dan lainnya
untuk menilai apa ada PGK yang diturunkan (Sindrom Alport atau Fabry, sistinuria) atau
paparan nefrotoksik dari lingkungan (logam berat).
2. Pemeriksaan Fisik :
Difokuskan pada peningkatan tekanan darah dan kerusakan target organ : funduskopi,
pemeriksaan pre-kordial (heaving ventrikel kiri, bunyi jantung IV). Gangguan keseimbangan
cairan dan elektrolit : edema, polineuropati. Gangguan endokrin metabolik: amenorrhea,
malnutrisi, gangguan pertumbuhan dan perkembangan, infertilitas dan disfungsi seksual.
Gangguan saluran cerna : anoreksia, mual muntah, nafas bau urin (uremic fector), disgeusia
(metalik taste). Gangguan neuromuscular: letargi, sendawa, asteriksis, mioklonus, fasikulasi
otot, restless leg syndrome, miopati, kejang sampai koma. Gangguan dermatologis: palor,
hiperpigmentasi, pruritus.
3. Pemeriksaan Penunjang:
Laboratorium: darah perifer lengkap, penurunan LFG dengan rumus Kockroft-Gault,
tes klirens kreatinin, gula darah, profil lipid, analisa gas darah, serologis hepatitis, SI, TIBS,
feritin serum, hormon PTH, urinalisis.
Radiologis: foto polos abdomen, USG ginjal, ekokardiografi.
Biopsi ginjal untuk melihat abnormalitas parenkim ginjal, dilakukan biopsi jika dengan
tidakan non invasi diagnosis belum bisa ditegakkan. (Alwi et al, 2015) (KDIGO,2013)
Penatalaksanaan
Rencana tatalaksana penyakit ginjal kronik sesuai dengan derajatnya (Sudoyo, 2014):
Tabel 1.3 Tatalaksana Penyakit Ginjal Kronik
Derajat LFG Rencana Tatalaksana
(ml/mnt/1.73 m2)
1 ≥90 Terapi penyakit dasar, kondisi
komorbid, evaluasi perburukan
fungsi ginjal, memperkecil resiko
kardiovaskuler
2 60-89 Menghambat perburukan fungsi
ginjal
3 30-59 Evaluasi dan terapi Komplikasi
4 15-29 Persiapan untuk terapi pengganti
ginjal
5 < 15 Terapi Pengganti Ginjal
Komplikasi
Toksisitas Obat
Pada LFG yang rendah pemberian obat harus selalu diobsevasi karena obat
sedikit dieksresikan di ginjal. Kesalahan dosis obat pada pasien PGK umum terjadi
sehingga dapat menyebabkan toksisitas ginjal, toksistas sistemik, hal ini mengancam
keselamatan pasien. Penggunaan obat herbal untuk PGK tidak direkomendasikan
(KDIQO,2013).
Komplikasi Metabolik dan Endokrin
Anemia :
Anemia pada penyakit ginjal kronik terutama disebabkan oleh defisiensi
eritropoitin. Hal-hal lain yang ikut berperan dalam terjadinya anemia adalah,
defisiensi besi, kehilangan darah (misal, perdarahan saluran cerna, hematuri), masa
hidup eritrosit yang pendek akibat terjadinya hemolisis, defisiensi asam folat,
penekanan sumsum tulang oleh substansi uremik, proses inflamasi akut maupun
kronik. (KDIQO,2013).
Asidosis:
Eksresi asam pada awalnya mencegah penurunan konsentrasi serum
bikarbonat, tetapi pada orang dengan LFG< 40ml/mnt/1.73 m2 terjadi penurunan
kemampuan ginjal untuk mengeksresikan ion H+disertai penurunan kadar bikarbonat
(HCO3). Disarankan pada orang PGK dan konsentrasi serum bicarbonat <22mmol/l
diberikan suplemen bikarbonat oral (KDIQO,2013).
Gangguan tulang dan mineral :
Penurunan fungsi ginjal menyebabkan gangguan homeostasis mineral di
jaringan maupun serum. Dimulai pada CKD stage 3 kemampuan ginjal
mengeksresikan fosfat berkurang menyebabkan hiperfosfatemia, penurunan
1,25(OH)D dan disertai penurunan fibroblast growth faktor 23. Konversi 25(OH)D
menjadi 1,25 (OH)2 terganggu, terjadi penurunan absorbsi kalcium pada intestinal
dan peningkatan PTH. (KDIQO,2013).
Kerusakan Ginjal :
Proteinuria : akibat peningkatan permeabilitas glumerolus terhadap protein molekul
besar (albuminuria, proteinuria glumerular), reabsorbsi tubular yang tidak sempurna.
Albuminuria: Albuminuria merupakan pertanda pertama sebelum penurunan LFG
dari penyakit glumerolus seperti diabetes glumerulosclerosis. Albuminuria juga
pertanda hipertensi nefrosclerosis tetapi mungkin tidak muncul sampai terjadi
penurunan LFG. Albuminuria sering dihubungkan dengan penyebab yang mendasari
hipertensi, obesitas, dan penyakit pembuluh darah.
Sedimen urin abnormal : Tanda patognomik adanya kerusakan pada ginjal antara lain
ditemukam sel darah merah, sel darah putih, butiran endapan cast, dismorfik sel darah
merah.
Abnormal elektrolit dan patologi jaringan ginjal (KDIQO,2013)
Resiko infeksi :
Faktor risiko infeksi pada pasien dengan CKD yaitu : Usia lanjut,
penyakit penyerta yang memperberat seperti DM, hipoalbuminemia, Terapi
imunosupresan, sindrom nefrotik, uremia, anemia dan malnutrisi (KDIQO,2013).
Penyakit Kardiovaskuler: Albuminuria berhubungan dengan durasi dan keparahan
hipertensi berkebalikan dengan profil lipid seperti peningkatan total kolesterol,
trigliserida, lipoprotein dan HDL-C rendah yang dapat menyebabkan peningkatan
mortalitas kardiovascular. LVH banyak dijumpai pada pasien CKD, LVH menunjukan
target kerusakan organ pada jantung. Pada pasien CKD dengan resiko aterosklerosis
disarankan pemberian antiplatelet kecuali ada resiko perdarahan (KDIQO,2013).
Prognosis
Penting sekali untuk merujuk pasien penyakit ginjal kronis stadium 4 dan 5.
Terlambat merujuk (kurang dari 3 bulan sebelum onset terapi pengganti ginjal)
berkaiatan erat dengan meningkatnya angka mortalitas setelas dialisis dimulai. Pasien
penyakit ginjal kronis lebih baik ditangani oleh pelayanan kesehatan tingkat primer
bersama nefrologis. Edukasi pada pasien mengenai perjalanan penyakit, terapi
pengganti ginjal (hemodialisa,peritoneal dialisis, transplantasi) dan pemilihan akses
vascular untuk hemodialisa. Bagi yang ingin transplantasi, evaluasi donor harus
segera dimulai (Alwi et al, 2015). Pasien dengan penyakit ginjal polikistik berisiko
tinggi menjadi end stage renal disease (ESRD), sedangkan pasien dengan nefropati
diabetes berisiko tinggi mengalami kematian sebelum berakhir dengan end stage
renal disease (ESRD) (Haynes et al, 2014).
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Elektrokardiogram
Beberapa pola EKG abnormal mungkin didapatkan pada penderita CHF
seperti gelombang Q abnormal, left bundle branch block, gangguan konduksi lain,
hipertrofi ventrikel atau atrium kiri, aritmia ventrikel atau atrium dimana hal ini
dapat dijadikan bahan investigasi untuk menentukan penyakit dasar yang mendasari
terjadinya CHF (Camn et al., 2007).
Pemeriksaan Foto Thoraks Dada
Pemeriksaan foto thoraks dada juga direkomendasikan sebagai pilihan
pemeriksaan diagnostik lini pertama. Pemeriksaan ini dapat memberikan informasi
mengenai ukuran dan ketajaman jantung. Namun pemeriksaan ini memiliki
keterbatasan. Tidak adanya kardiomegali tidak dapat menyingkirkan adanya
kemungkinan penyakit katub atau disfungsi sistolik ventrikel kiri (Camn et al.,
2007).
Pemeriksaan Hematologi dan Biokimia
Beberapa pemeriksaan laboratorium direkomendasikan guideline ESC
sebagai bagian dari rutinitas diagnosis pada pasien yang dicurigai menderita CHF.
Pemeriksaan tersebut diantaranya yaitu hitung darah lengkap, elektrolit, glukosa,
ureum, kreatinin, enzim hepar, dan urinalisis. Biomarker miokardium seperti
troponin T atau I merupakan pemeriksaan penting selama fase akut infark miokard.
Pemeriksaan lain yang penting yaitu asam urat, C-reactive protein, dan
thyroidstimulatinghormone. Beberapa pemeriksaan yang penting saat followup dan
setelah pemberian pengobatan tertentu yaitu ureum, kreatinin, dan potassium (Camn
et al., 2007).
Pemeriksaan Ekokardiografi
Ekokardiografi telah digunakan secara luas, cepat, dengan teknik non-invasif,
dan aman dimana pemeriksaan ini dapat memberikan informasi mengenai dimensi
jantung, ketebalan dinding jantung dan pengukuran fungsi sistolik dan
diastolik.Penentuan LVEF merupakan kunci untuk mengukur fungsi sistolik
ventrikel kiri. Fungsi sistolik dinyatakan menurun jika didapatkan LVEF < 0,40
(Camn et al., 2007).
Gambar 2.5 Proses patofisiologi gagal jantung sebagai akibat dari disfungsi sistolik ventrikel
kiri. Kerusakan pada myocyte dan matriks ekstraseluler akan menyebabkan perubahan ukuran
dan fungsi ventrikel kiri dan terjadi remodeling. Perubahan ini akan menyebabkan instabilitas
elektrik dan proses sistemik sehingga mengakibatkan efek terhadap jaringan dan organ serta
kerusakan lebih parah pada jantung (Camn et al., 2007).
Penatalaksanaan Gagal Jantung Kongestif
- Tatalaksana non-farmakologi
- Manajemen perawatan mandiri
- Ketaatan pasien berobat
- Pemantauan berat badan mandiri
- Restriksi cairan
- Pengurangan berat badan
- Latihan fisik
Prognosis
CLASS SYMPTOMS 1-YEAR
MORTALITY*
I None, asymptomatic left ventricular 5%
dysfunction
II Dyspnoea or fatigue on moderate physical 10 %
exertion
III Dyspneoea or fatigue on normal daily 10 % - 20 %
activities
IV Dyspnoea or fatigue at rest 40 % - 50 %.
ANEMIA
Definisi
Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa eritrosit (red cell
mass) sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah yang
cukup ke jaringan perifer (penurunan oxygen carrying capacity). Secara praktis anemia
ditunjukkan oleh penurunan kadar hemoglobin, hematokrit atau hitung eritrosit (Bakta, 2009).
Etiologi
Pada dasarnya anemia disebabkan oleh karena gangguan pembentukan eritrosit oleh
sumsum tulang, kehilangan darah keluar tubuh (perdarahan), proses penghancuran eritrosit
dalam tubuh sebelum waktunya (hemolisis) (Bakta,2009).
Kriteria Anemia
Kriteria Anemia menurut WHO:
- Laki-laki dewasa Hb < 13 gr/dL
- Wanita dewasa tidak hamil Hb < 12 gr/dL
- Wanita hamil Hb < 11 gr/dl
- Klasifikasi Anemia
- Klasifikasi Anemia menurut etiopatogenesis : (Bakta.2009)
Anemia karena gangguan pembentukan eritrosit dalam sumsum tulang
Kekurangan bahan esensial pembentuk eritrosit
Anemia defisiensi besi
Anemia defisiensi asam folat
Anemia defisiensi vitamin B12
Gangguan penggunaan besi
Anemia akibat penyakit kronik
Anemia sideroblastik
Kerusakan sumsum tulang
Anemia aplastik
Anemia mieloptisik
Anemia pada keganasan hematologi
Anemia diseritropoietik
Anemia pada sindrom mielodisplastik
Anemia akibat perdarahan
Anemia pasca perdarahan akut
Anemia akibat perdarahan kronik
Anemia hemolitik
Klasifikasi anemia berdasarkan morfologi dan etiologi: (Bakta.2009)
Anemia hipokromik mikrositik
Anemia dengan ukuran eritrosit yang lebih kecil dari normal dan
mengandung konsentrasi hemoglobin yang kurang dari normal. (Indeks eritrosit :
MCV < 73 fl, MCH < 23 pg, MCHC 26 - 35 %). Penyebab anemia ini adalah:
a. Anemia defisiensi besi
b. Thalasemia major
c. Anemia akibat penyakit kronik
d. Anemia sideroblastik
Anemia normokromik normositer
Anemia normositik normokrom disebabkan oleh karena perdarahan akut,
hemolisis, dan penyakit-penyakit infiltratif metastatik pada sumsum tulang.
Terjadi penurunan jumlah eritrosit tidak disertai dengan perubahan konsentrasi
hemoglobin (Indeks eritrosit normal pada anak: MCV 73 – 101 fl, MCH 23 – 31
pg , MCHC 26 – 35 %), bentuk dan ukuran eritrosit. Contoh anemia dengan
morfologi ini adalah:
a. Anemia pasca perdarahan akut
b. Anemia aplastik
c. Anemia hemolitik didapat
d. Anemia akibat penyakit kronik
e. Anemia pada gagal ginjal kronik
f. Anemia pada sindrom mielodisplastik
g. Anemia pada keganasan hematologik
Anemia makrositik
Anemia dengan ukuran eritrosit yang lebih besar dari normal dan
hiperkrom karena konsentrasi hemoglobinnya lebih dari normal. (Indeks eritrosit
pada anak MCV > 73 fl, MCH = > 31 pg, MCHC = > 35 %). Ditemukan pada
anemia megaloblastik (defisiensi vitamin B12, asam folat), serta anemia
makrositik non-megaloblastik (penyakit hati, dan myelodisplasia)
Bentuk megaloblastic
Anemia defisiensi asam folat
Anemia defisiensi B12, termasuk anemia pernisiosa
Bentuk non-megaloblastik
Anemia pada penyakit hati kronik
Anemia pada hipotiroidisme
Anemia pada sindrom mielodisplastik
Diagnosis anemia
Gejala yang timbul akibat penyakit dasar yang menyebabkan anemia sangat
bervariasi tergantung dari penyebab anemia tersebut. Diagnosis cukup sulit jika
bersamaan dengan defisiensi zat besi. Penyebba anemia lain harus disingkirkan seelum
mendiagnosis, seperti perdarahan, malnutrisi, defisiensi asam folat, defisensi vitamin
B12 dan hemolisis.
Anemia hanyalah suatu sindrom, bukan suatu kesatuan penyakit (disease entity),
yang dapat disebabkan oleh berbagai penyakit dasar (underlying disease). Hal ini
penting diperhatikan dalam diagnosis anemia.
Menentukan adanya anemia
Menentukan jenis anemia
Menentukan etiologi atau penyakit dasar anemia
Menentukan ada atau tidaknya penyakit penyerta yang akan mempengaruhi hasil pengobatan.
HIPOKALSEMIA
Definisi
Kadar kalsium ion normal adalah 4.75-5.2 mgdl atau 1-1.3 mmol/L. Nilai normal
kalsium total serum : 8.2-10.2 mg/dl. Hipikalsemia jika kadar kalsium ion > 3.2 mg/dl atau >
0.8 mmol/L atau kalsium totak sebesar >8-8.5 mg/dl. Gejala hipokalsemia belum timbul bila
kadar kalsium ion > 3.2 mg/dl atau > 0.8 mmol/L atau kaslium total sebesar >8-8/5 mg/dl.
Gejala hipokalsemia akan timbul jika kadar kalsium < 2.8mg/dl atau < 0.7mmol/L atau kadar
kalsium total ≤ 7mg/dl.
Etiologi
Defisiensi vitamin D : asupan makanan tidak mengandung lemak, malabsorbsi pada gastrektomi
parsial, pankreatitis kronis, pemberian laksan yang terlalu lama,gangguan metabolisme pada
penyakit riketsia, pemberian obat anti kejang, gangguan fungsi ginjal, gangguan fungsi hati
kronik.
Pseudohipoparatiroidisme : organ sasaran tidak memberikan respon yang baik terhadap
hormone paratiroid.
Proses keganasan: karsinoma medular kelenjar tirois menyebbakan kalsitonin meningkat
sehingga ekstresi urin meningkat
Hiperfosfatemia : pada gagal ginjal kronik, gagal ginjal akut.
Hipomagnesia: menyebabkan penurunan kerja hormon paratiroid.
Anamnesis
Pasien dengan hipokalsemia dapat asimtomatik jika penurunan kadar kalsium ringan dan
sudah kronis. Sedangkan jika penurunan kadar kalsium sedang-berat dapat menimbulkan
keluhan-keluhan kebas, kram otot, parestesia umumnya di jari kaki, jari-jari tangan dan region
circumoral, peningkatan reflek yamg disebabkan meningkatnya iritabilitas neuromuscular. Jika
sudah berat dapat terjadi tetani dan kejang.
Pemeriksaan Fisik
Tanda Trousseau’s spasme: spasme karpal karena iskemik. Caranya dengan mengembangkan
manset pada lengan atas 20mmHg lebih tinggi dari tekanan sisitolik selama 3 menit.
Tanda Chvosteks’s: Kontraksi unilateral dari wajah dan otot kelopak mata karena iritasi saraf
fasial dengan memperkusi wajah tepat didepan telinga. Caranya mengetuk ringan saraf wajah di
daerah anterior telinga.
Hipokalsemia berat : spasme carpopedal, bronkospasme, laringospasme, kejang.
Tatalaksana
Pengobatan penyakit dasar
Penggantian kalsium tergantung dari tingkat keparahan penyakit,progesifitas dan komplikasi
yang timbul.
Peningkatan asupan diet kalsium : 1000-1500 mg/hari pada orang dewasa.
Antasida hidroksia lumunium : mengurangi kadar fosfat sebelum mengatasi hipokalsemia.
Hipokalsemia akut (simptomatik) :
Kalsium glukonat 10 % 10 ml (90 mg atau 2.2 mmol) diencerkan dengan 50% dekstrosa 5 %
atau Nacl 0.9 secara intravena selama 5 menit.
Dilanjutkan pemberian secara infuse 10 ampul kalsium glukonat (atau 900 mg kalsium dalam 1
liter dekstrosa 5% atau 0.9 Nacl dalam 24 jam).
Jika ada hipomagnesia dengan fungsi ginjal normal berikan larutan sulfat 10 % sebesar 2 gram
selama 10 menit dilanjutkan denagn 1 gram dalam 100cc cairan per 1 jam.
Hipokalsemia kronik
Tujuannya meningkatkan kadar kalsium sampai batas bawah normal ,
menghindari terjadinya hiperkalsiuria yang dapat mencetuskan batu ginjal.
Suplemen kalsium 1.000-1.500 mg/hari dalam dosis terbagi. Kalsium karbonat;
250 mg kalsium elemental dalm 650 mh tablet.
Vitamin D2 atau D3 25.000-100.000 U/hari.
Kalsitriol (1.25 (OH)2D) 0.23-2 gram/hari.
Jika albumin serum menurun: penurunan albumin serum 1.0 gram/dl (dari nilai normal 4.1
gram/dl) koreksi konsentrasi kalsium dengan menambahkan 0.8mh/dl dari kadar kalsium total.
Koreksi konsentrasi kalsium = kalsium hasil pemeriksaan (mg/dl) + (0.8 x (4-
albumin (gr/dl))
DIABETES MELITUS
DEFINISI
Diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik
dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi
insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. World Health Organization (WHO)
sebelumnya telah merumuskan bahwa DM merupakan sesuatu yang tidak dapat
dituangkan dalam satu jawaban yang jelas dan singkat tetapi secara umum dapat
dikatakan sebagai suatu kumpulan problema anatomik dan kimiawi akibat dari
sejumlah faktor dimana didapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan
gangguan fungsi insulin.
ETIOLOGI
Diabetes Melitus (DM) tipe 2 disebut juga Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus
(NIDDM) disebabkan karena kegagalan relatif sel β dan resistensi insulin. Resistensi insulin
adalah turunnya kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan
perifer dan untuk menghambat produksi glukosa oleh hati. Sel β tidak mengimbangi resistensi
insulin ini sepenuhnya, artinya terjadi defisiensi relatif insulin. Ketidakmampuan ini terlihat dari
berkurangnya sekresi insulin pada rangsangan glukosa, maupun pada rangsangan glukosa
bersama bahan perangsang sekresi insulin lain. Berarti sel β pankreas mengalami desensitisasi
terhadap glukosa (Gustaviani, 2006). Pada awalnya resistensi insulin belum menyebabkan klinis
Diabetes Melitus (DM). Sel β pankreas masih dapat mengkompensasi, sehingga terjadi
hiperinsulinemia, kadar glukosa darah masih normal atau baru sedikit meningkat. Kemudian
setelah terjadi kelelahan sel β pankreas, baru terjadi diabetes melitus klinis, yang ditandai
dengan adanya kadar glukosa darah yang meningkat, memenuhi kriteria diagnosis diabetes
melitus (Gustaviani, 2006).
PATOGENESIS DM TIPE II
Resistensi insulin pada otot dan liver serta kegagalan sel beta pankreas telah dikenal
merupakan patofisiologi kerusakan sentral dari DM tipe-2. Belakangan diketahui bahwa
kegagalan sel beta terjadi lebih dini dan lebih berat daripada yang diperkirakan sebelumnya.
Selain otot, liver dan sel beta, organ lain seperti: jaringan lemak (meningkatnya lipolisis),
gastrointestinal (defisiensi incretin), sel alpha pancreas (hiperglukagonemia), ginjal
(peningkatan absorpsi glukosa), dan otak (resistensi insulin), kesemuanya ikut berperan dalam
menimburkan terjadinya gangguan toleransi glukosa pada DM tipe-2 (PERKENI, 2015)
Delapan organ penting dalam gangguan toleransi glukosa ini (ominous octet) penting
dipahami karena dasar patofisiologi ini memberikan konsep tentang (PERKENI, 2015):
Pengobatan harus ditujukan guna memperbaiki gangguan patogenesis, bukan hanya
untuk menurunkan HbAlc saja
Pengobatan kombinasi yang diperlukan harus didasari atas kinerja obat pada gangguan
multipel dari patofisiologi DM tipe 2.
Pengobatan harus dimulai sedini mungkin untuk mencegah atau memperlambat
progresivitas kegagalan sel beta yang sudah terjadi pada penyandang gangguan
toleransi glukosa.
DeFronzo pada tahun 2009 menyampaikan, bahwa tidak hanya otot, liver dan sel beta
pankreas saja yang berperan sentral dalam patogenesis penderita DM tipe-2 tetapi terdapat
organ lain yang berperan yang disebutnya sebagai the ominous octet (gambar 1)
Gambar 1. The ominous octet, delapan organ yang berperan dalam patogenesis
hiperglikemia pada DM tipe 2
(Rolph A. DeFronzo. From the Triumvirate to the Ominous Octet: A New Poradigm for the
Treotment of Type 2 Diabetes Mellitus. Diobetes. 2009; 58:773-795)
Secara garis besar patogenesis DM tipe-2 disebabkan oleh delapan hal (omnious octet) berikut
(PERKENI, 2015):
Kegagalan sel beta pancreas:
Pada saat diagnosis DM tipe-2 ditegakkan, fungsi sel beta sudah sangat berkurang. Obat anti
diabetik yang bekerja melalui jalur ini adalah sulfonilurea, meglitinid, GLP-1 agonis dan
DPP-4 inhibitor.
Liver:
Pada penderita DM tipe-2 terjadi resistensi insulin yang berat dan memicu glukoneogenesis
sehingga produksi glukosa dalam keadaan basal oleh liver (HGP= hepatic glucose
production) meningkat. Obat yang bekerja melalui jalur ini adalah metformin, yang
menekan proses glukoneogenesis.
Otot:
Pada penderita DM tipe-2 didapatkan gangguan kinerja insulin yang multipel di
intramioselular, akibat gangguan fosforilasi tirosin sehingga timbul gangguan transport
glukosa dalam sel otot, penurunan sintesis glikogen, dan penurunan oksidasi glukosa. Obat
yang bekerja di jalur ini adalah metformin, dan tiazolidindion.
Sel lemak:
Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin, menyebabkan peningkatan
proses lipolysis dan kadar asam lemak bebas (FFA=Free Fatty Acid) dalam plasma.
Peningkatan FFA akan merangsang proses glukoneogenesis, dan mencetuskan resistensi
insulin di liver dan otot. FFA juga akan mengganggu sekresi insulin. Gangguan yang
disebabkan oleh FFA ini disebut sebagai lipotoxicity. Obat yang bekerja dijalur ini adalah
tiazolidindion.
Usus:
Glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh lebih besar dibandingkan bila diberikan
secara intravena. Efek yang dikenal sebagai efek incretin ini diperankan oleh 2 hormon
GLP-1 (glucagon-like polypeptide-1) dan GLP (glucose-dependent insulinotrophic
polypeptide atau disebut juga gastric inhibitory polypeptide). Pada penderita DM tipe-2
didapatkan defisiensi GLP-1 dan resisten terhadap GLP. Disamping hal tersebut incretin
segera dipecah oleh keberadaan enzim DPP-4, sehingga hanya bekerja dalam beberapa
menit. Obat yang bekerja dalam menghambat kinerja DPP-4 adalah kelompok DPP-4
inhibitor. Saluran pencernaan juga mempunyai peran dalam penyerapan karbohidrat melalui
kinerja ensim alfa-glukokinase yang memecah polisakarida menjadi monosakarida yang
kemudian diserap oleh usus dan berakibat meningkatkan glukosa darah setelah makan. Obat
yang bekerja untuk menghambat kinerja ensim alfa-glukokinase adalah akarbosa.
Sel Alpha Pancreas:
Sel-α pancreas merupakan organ ke-6 yang berperan dalam hiperglikemia dan sudah
diketahui sejak tahun 1970. Sel-α berfungsi αdalam sintesis glukagon yang dalam keadaan
puasa kadarnya didalam plasma penderita meningkat. Peningkatan ini menyebabkan HGP
dalam keadaan basal meningkat secara signifikan dibanding individu yang normal. Obat
yang menghambat sekresi glukagon atau menghambat reseptor glukagon meliputi GLP-1
agonis, DPP-4 inhibitor dan amylin.
Ginjal
Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam pathogenesis DM tipe-2. Ginjal
memfiltrasi sekitar 163 gram glukosa sehari. Sembilan puluh persen dari glukosa terfiltrasi
ini akan diserap kembali melalui peran SGLT-2 (Sodium Glucose co-Transporter) pada
bagian convuloted tubulus proksimal. Sedang 10% sisanya akan di absorbsi melalui peran
SGLT-L pada tubulus desenden dan asenden, sehingga akhirnya tidak ada glukosa dalam
urine. Pada penderita DM terjadi peningkatan ekspresi gen SGLT-2. Obat yang menghambat
kinerja SGLT-2 ini akan menghambat penyerapan kembali glukosa di tubulus ginjal
sehingga glukosa akan dikeluarkan lewat urine. Obat yang bekerja di jalur ini adalah SGLT-
2 inhibitor. Dapaglifozin adalah salah satunya.
Otak:
lnsulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada individu yang obese baik yang
DM maupun non-DM, didapatkan hiperinsulinemia yang merupakan mekanisme
kompensasi dari resistensi insulin. Pada golongan ini asupan makanan justru meningkat
mengacu akibat adanya resistensi insulin yang juga terjadi di otak. Obat yang bekerja dijalur
ini adalah GLP-1 agonis, amylin dan bromokriptin.
PATOFISIOLOGI
Tubuh memerlukan bahan untuk membentuk sel baru dan mengganti sel yang rusak. Di
samping itu tubuh juga memerlukan energi supaya sel tubuh berfungsi dengan baik. Energi pada
”mesin” tubuh manusia berasal dari bahan makanan yang dimakan sehari-hari, yang terdiri dari
karbohidrat, protein dan lemak (Suyono, 2007).
Supaya dapat berfungsi sebagai bahan bakar, zat makanan harus masuk dulu ke dalam
sel untuk dapat diolah. Di dalam sel, zat makanan terutama glukosa dibakar melalui proses
kimia yang rumit, yang hasil akhirnya adalah timbulnya energi. Proses ini disebut metabolisme.
Dalam proses metabolisme itu insulin memegang peranan yang sangat penting yaitu bertugas
memasukkan glukosa ke dalam sel, untuk selanjutnya dapat digunakan sebagai bahan bakar.
Insulin ini adalah suatu zat atau hormon yang dikeluarkan oleh sel beta pankreas (Suyono,
2007).
Diabetes Melitus (DM) tipe 1 disebabkan adanya reaksi autoimun yang disebabkan oleh
peradangan pada sel beta. Ini menyebabkan timbulnya antibodi terhadap sel beta yang disebut
Islet Cell Antibody (ICA). Reaksi antigen (sel beta) dengan antibodi (ICA) menyebabkan
hancurnya sel beta (Suyono, 2007).
Pada Diabetes Melitus (DM) tipe 2 jumlah insulin normal, malah mungkin lebih banyak
tetapi jumlah reseptor insulin yang terdapat pada permukaan sel yang kurang. Reseptor insulin
ini dapat diibaratkan sebagai lubang kunci pintu masuk ke dalam sel. Pada keadaan tadi jumlah
lubang kuncinya yang kurang, hingga meskipun anak kuncinya (insulin) banyak, tetapi karena
lubang kuncinya (reseptor) kurang, maka glukosa yang masuk akan sedikit, sehingga sel akan
kekurangan bahan bakar (glukosa) dan glukosa dalam pembuluh darah meningkat. Keadaan ini
disebut sebagai resistensi insulin (Suyono, 2007).
Penyebab resistensi insulin pada NIDDM sebenarnya tidak begitu jelas tetapi faktor-
faktor di bahwa ini banyak berperan (Suyono, 2007) :
Obesitas terutama yang berbentuk sentral
Diet tinggi lemak dan rendah karbohidrat
Kurang gerak badan
Faktor keturunan (herediter)
MANIFESTASI KLINIK
Gejala klasik Diabetes Melitus (DM) adalah rasa haus yang berlebihan (polidipsi),
sering kencing terutama pada malam hari (poliuri), banyak makan (polifagi) serta berat badan
yang turun dengan cepat. Di samping itu kadang-kadang ada keluhan lemah, kesemutan pada
jari tangan dan kaki, cepat lapar, gatal-gatal, penglihatan kabur, gairah seks menurun, luka sukar
sembuh dan pada ibu-ibu sering melahirkan bayi di atas 4 kg (Suyono, 2007).
Perjalan penyakit antara Diabetes Melitus (DM) tipe 1 dan DM tipe 2 tidak sama.
Demikian juga pengobatannya. Oleh karena itu ada baiknya bila diketahui sedikit tentang
perbedaannya, karena ada dampaknya pada rencana pengobatan.
Tabel 2.
Perbandingan antara DM tipe 1 dan DM tipe 2
DM Tipe 1 DM Tipe 2
Onset (umur) Biasanya < 40 tahun Biasanya > 40 tahun
Keadaan klinis saat Berat Ringan
diagnosis
Kadar Insulin Tak ada insulin Insulin normal atau
tinggi
Berat badan Biasanya kurus Biasanya gemuk atau
normal
Pengobatan Insulin, diet, olahraga Diet, olahraga, tablet,
insulin
Sumber : Suyono S, 2007
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan untuk diagnosa Diabetes Melitus (DM), melalui pemeriksaan kadar
glukosa darah (gula darah puasa, gula darah 2 jam setelah makan/post prandial/PP) dan setelah
pemberian glukosa per-oral (TTGO) (Gustaviani Reno, 2006).
Pemeriksaan kadar glukosa darah.
Bahan untuk pemeriksaan gula darah puasa, pasien harus berpuasa 6 – 12 jam sebelum
diambil darahnya. Setelah diambil darahnya, penderita diminta makan makanan seperti yang
biasa dia makan/minum glukosa per oral (75 gr) untuk TTGO, dan harus dihabiskan dalam
waktu 15 – 20 menit. Dua jam kemudian diambil darahnya untuk pemeriksaan glukosa 2 jam PP
(Gustaviani Reno, 2006).
Pemeriksaan dilakukan dengan cara darah disentrifugasi untuk mendapatkan serumnya,
kemudian diperiksa kadar gula darahnya. Bila pemeriksaan tidak langsung dilakukan (ada
penundaan waktu), darah dari penderita bisa ditambah dengan antiglikolitik (gliseraldehida,
fluoride, dan iodoasetat) untuk menghindari terjadinya glukosa darah yang rendah palsu. Ini
sangat penting untuk diketahui karena kesalahan pada fase ini dapat menyebabkan hasil
pemeriksaan gula darah tidak sesuai dengan sebenarnya, dan akan menyebabkan kesalahan
dalam penatalaksanaan penderita Diabetes Melitus (DM) (Gustaviani Reno, 2006).
Metode yang digunakan dalam pemeriksaan gula darah meliputi metode reduksi,
enzimatik, dan lainnya. Yang paling sering dilakukan adalah metode enzimatik, yaitu metode
glukosa oksidase (GOD) dan metode heksokinase (Gustaviani Reno, 2006).
Metode GOD, akurasi dan presisi yang baik (karena enzim GOD spesifik untuk
reaksi pertama), tapi reaksi kedua rawan interferen (tak spesifik). Interferen yang
bisa mengganggu antara lain bilirubin, asam urat, dan asam askorbat.
Metode heksokinase juga banyak digunakan. Metode ini memiliki akurasi dan
presisi yang sangat baik dan merupakan metode referens, karena enzim yang
digunakan spesifik untuk glukosa. Untuk mendiagnosa Diabetes Melitus (DM),
digunakan kriteria dari consensus perkumpulan Endokrinologi Indonesia tahun
1998.
Pemeriksaan HbA1C
HbA1C adalah komponen Hb yang terbentuk dari reaksi non-enzimatik antara glukosa
dengan N terminal valin rantai b Hb A dengan ikatan Almidin. Produk yang dihasilkan ini
diubah melalui proses Amadori menjadi ketoamin yang stabil dan irevarsibel (Gustaviani Reno,
2006).
Metode pemeriksaan HbA1C ; ion-exchange chromatography, HPLC (high performance
liquid chromatography), electroforesis, Immunoassay (EIA), Affinity Chromatography, dan
analisis kimiawi dengan kolorimetri (Gustaviani Reno, 2006).
Metode Ion Exchange Chromatography, harus dikontrol perubahan suhu reagen dan kolom,
kekuatan ion, dan pH dari buffer, Interferens yang mengganggu adalah adanya Hbs dan HbC
yang bisa memberikan hasil negatif palsu.
Metode HPLC (high performance liquid chromatography), prinsip sama dengan ion exchange
chromatography, bias diotomatisasi, serta memiliki akurasi dan presisi yang baik sekali.
Metode ini juga direkomendasikan menjadi metode referensi.
Metode elektroforesis, hasilnya berkorelasi baik dengan HPLC, tetapi presisinya kurang
dibanding HPLC, HbF memberikan hasil positif palsu, tetapi kekuatan ion, pH, suhu, HbS, dan
HbC tidak banyak berpengaruh pada metode ini.
Metode immunoassay (EIA), hanya mengukur HbA1C tidak mengukur HbA1C yang labih
maupun HbA1A dan HbA1B, mempunyai presisi yang baik.
Metode Affinity Chromatography, non-glycated hemoglobin serta bentuk labih dari HbA1C tidak
mengganggu penentuan glycated hemoglobin, tak dipengaruhi suhu. Presisi baik. HbF, HbS,
ataupun HbC hanya sedikit mempengaruhi metode ini, tetapi metode ini mengukur keseluruhan
glycated hemoglobin, sehingga hasil pengukuran dengan metode ini lebih tinggi dari metode
HPLC.
Metode Kalorimentri, waktu inkubasi lama (2 jam), lebih spesifik karena tidak dipengaruhi
non-glycosylated ataupun glycosylated labil. Kerugiannya waktu lama, sample besar, dan satuan
pengukuran yang kurang dikenal oleh klinisi, yaitu m mol/L.
Interpertasi hasil pemeriksaan HbA1C akan meningkat secara signifikan bila glukosa
darah meningkat. Karena itu, HbA1C bisa digunakan untuk melihat kualitas kontrol glukosa
darah pada penderita DM (glukosa darah tak terkontrol, terjadi peningkatan HbA 1C-nya) sejak 3
bulan lalu (umur eritrosit). HbA1C meningkat : pemberian Therapi lebih intensif untuk
menghindari komplikasi
(Gustaviani Reno, 2006).
Nilai yang dianjurkan PERKENI untuk HbA1C (terkontrol) : 4%, 5,9%.(6) Jadi, HbA1C
penting untuk melihat apakah penatalaksanaan sudah adekuat atau belum. Sebaiknya, penentuan
HbA1C ini dilakukan secara rutin tiap 3 bulan sekali
(Gustaviani Reno, 2006).
Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau kriteria DM digolongkan ke
dalam kelompok prediabetes yang meliputi; toleransi glukosa terganggu (TGT) dan glukosa
darah puasa terganggu (GDPT)
Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma puasa antara 100-
125 mg/dl dan pemeriksaan TTGO glukosa plasma 2-jam <140 mg/dl;
Toleransi Glukosa Terganggu (TGT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma 2 jam setelah TTGO
antara 140-199 mg/dl dan glukosa plasma puasa <100 mg/dl.
Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT
Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan HbA1C yang
menunjukkan angka 5,7 -6,4%.
Keterangan :
GDP = Glukosa Darah Puasa
GDS = Glukosa Darah Sewaktu
GDPT = Glukosa Darah Puasa Terganggu
TGT = Toleransi Glukosa Terganggu
Pemeriksaan penyaringan
Pemeriksaan penyaring ditujukan pada mereka yang mempunyai risiko Diabetes Melitus
(DM) namun tidak menunjukkan adanya gejala DM. Pemeriksaan ini bertujuan untuk
menemukan pasien dengan DM, TGT (Toleransi Glukosa Terganggu) maupun GDPT (Glukosa
Darah Puasa Terganggu), sehingga dapat ditangani lebih dini secara tepat. Pasien dengan TGT
dan GDPT juga disebut sebagai prediabetes, merupakan tahapan sementara menuju DM. Kedua
keadaan tersebut merupakan faktor risiko untuk terjadinya DM dan penyakit kardiovaskular di
kemudian hari (PERKENI, 2002).
Tabel 3.
Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring dan diagnosis DM (mg/dl)
Bukan DM Belum pasti DM
DM
Kadar glukosa darah Plasma vena < 110 110-199 > 200
sewaktu (mg/dl)
Darah < 90 90-199 > 200
kapiler
Kadar glukosa darah Plasma vena < 110 110-125 > 126
puasa (mg/dl)
Darah < 90 90-199 > 110
kapiler
Sumber : Soegondo S (2005)
catatan :
Untuk kelompok risiko tinggi yang tidak menunjukkan kelainan hasil, dilakukan pemeriksaan
ulangan tiap tahun. Bagi mereka yang berusia > 45 tahun tanpa faktor risiko lain, pemeriksaan
penyaring dapat dilakukan setiap 3 tahun.
Tabel 4.
Kriteria diagnostik diabetes melitus * dan gangguan toleransi glukosa
Kadar glukosa darah sewaktu (plasma vena) 200 mg/dl
Atau
Kadar glukosa darah puasa (plasma vena) 126 mg/dl
Atau
Kadar glukosa plasma 200 mg/dl pada dua jam sesudah beban glukosa
75 gram pada TTGO **
Sumber : PERKENI, 2002
*
Kriteria diagnostik tersebut harus dikonfirmasi ulang pada hari yang lain, kecuali untuk keadaan
khas hiperglikemia dengan dekompensasi metabolik berat, seperti ketoasidosis, gejala klasik : poliuri,
polidipsi, polifagi dan berat badan menurun cepat.
**
Cara Diagnosis dengan kriteria ini tidak dipakai rutin di klinik, untuk penelitian epidemiologis
pada penduduk dianjurkan memakai kriteria diagnostik kadar glukosa darah puasa dan dua jam pasca
pembebanan. Untuk DM gestasional juga dianjurkan kriteria diagnostik yang sama.
PENATALAKSANAAN
Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatnya kualitas
hidup
Diabetes Melitus (DM) (Sudoyo Aru, 2006).
Tujuan penatalaksanaan
Jangka pendek : hilangnya keluhan dan tanda DM, mempertahankan rasa
nyaman dan tercapainya target pengendalian glukosa darah.
Jangka panjang : tercegah dan terhambatnya progresivitas penyulit
mikroangiopati, makroangiopati, dan neuropati. Tujuan akhir pengelolaan adalah
turunnya morbiditas dan maortalitas dini DM.
Pengelolaan Diabetes Melitus (DM) dimulai dengan terapi gizi medis dan
latihan jasmani selama beberapa waktu (2 – 4 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum
mencapai sasaran, dilakukan intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO) dan
atau suntikan insulin. Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera diberikan secara tunggal atau
langsung kombinasi, sesuai indikasi. Dalam keadaan dekompensasi metabolik berat, misalnya
ketoasidosis berat, stres berat, berat adan yang menurun dengan cepat, adanya ketonuria, insulin
dapat segera diberikan. Pengetahuan tentang pemantauan mandiri tanda dan gejala hipoglikemia
dan cara mengatasinya harus diberikan pada pasien, sedangkan pemantauan kadar glukosa
darah dapat dilakukan secara mandiri, setelah mendapat pelatihan khusus (PERKENI, 2006).
Edukasi
Edukasi yang diberikan kepada pasien meliputi pemahaman tentang :
Perjalanan penyakit DM
Makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM
Penyulit DM dan risikonya
Intervensi farmakologis dan non-farmakologis serta target perawatan
Interaksi antara asupan makanan, aktifitas fisik, dan obat hipoglikemik oral
atau insulin serta obat-obatan lain
Cara pemantauan glukosa darah dan pemahaman hasil glukosa darah atau
urin mandiri (hanya jika pemantauan glukosa darah mandiri tidak tersedia)
Mengatasi sementara keadaan gawat darurat seperti rasa sakit, atau
hipoglikemia
Pentingnya latihan jasmani yang teratur
Masalah khusus yang dihadapi ( missal : hiperglikemia pada kehamilan)
Pentingnya perawatan diri
Cara mempergunakan fasilitas perawatan kesehatan
Protein
Dibutuhkan sebesar 15 – 20% total asupan energi
Sumber protein yang baik adalah ikan, seafood, daging tanpa lemak, ayam tanpa
kulit, produk susu rendah lemak, kacang dan kacang-kacangan, tahu, tempe
Pada pasien dengan nefropati perlu penurunan asupan protein menjadi 0,8 g/kg
BB/hari atau 10% dari kebutuhan energi dan 65% hendaknya bernilai biologik
tinggi
Garam
Sama dengan anjuran untuk masyarakat umum yaitu tidak lebih dari 3000 mg atau
sama dengan 6 – 7 g (1 sendok teh) garam dapur
Pembatasan natrium sampai 2400 mg atau sama dengan 6 gram/hari terutama pada
mereka yang hipertensi
Serat
onsumsi serat adalah ± 25 g/hari, diutamakan serat larut
Pemanis
ggunaan pemanis bergizi
dak dianjurkan karena efek samping pada lipid plasma
man digunakan sepanjang tidak melebihi batas aman
Kebutuhan kalori
Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan diabetisi.
Diantaranya adalah dengan perhitungan berdasarkan kebutuhan kalori basal sebesar
25-30 kalori / kg BB ideal, ditambah dan dikurangi bergantung pada beberapa faktor,
yaitu jenis kelamin, umur, aktifitas, berat badan, dll.
Perhitungan berat badan ideal ( BBI ) menurut Broca yang dimodifikasi adalah
sebagai berikut :
Berat badan ideal = 90 % x ( TB dalam cm - 100) x 1 kg
Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanita di bawah 150 cm, rumus
modifikasi menjadi : ( TB dalam cm – 100) x 1 kg
BB Normal : BB ideal ± 10 %
Kurus : < BBI – 10 %
Gemuk : > BBI + 10 %
Penentuan status gizi dapat digunakan
BMI / Body Mass Index = IMT / Indeks Masa Tubuh dan Rumus Broca.
BB ( Kg )
IMT =
TB2 ( m2 )
Klasifikasi IMT :
BB Kurang < 18,5
BB Normal 18,5 – 22,9
BB lebih ≥ 23,0
Dengan risiko 23,0 – 24,9
Obes I 25,0 – 29,9
Obes II ≥ 30
Umur
Untuk pasien usia di atas 40 tahun, kebutuhan kalori dikurangi 5 % untuk dekade
antara 40 an 59 tahun, dikurangi 10 % untuk usia 60 s/d 69 tahun, dan dikurangi 20
% untuk usia diatas 70 tahun
Berat badan
- Bila kegemukan dikurangi 20 – 30 % bergantung pada tingkat
kegemukan
-Bila kurus ditambah 20 – 30 % sesuai dengan kebutuhan untuk
meningkatkan BB
-Untuk tujuan penurunan BB jumlah kalori yang diberikan paling sedikit 1000 –
1200 kkal / hari untuk wanita dan 1200 – 1600 kkal / hari untuk pria
Makanan sejumlah kalori terhitung dengan komposisi tersebut di atas dibagi dalam
3 porsi besar untuk makan pagi( 20 % ), siang ( 30 % )dan sore ( 25 % ) serta 2 – 3
porsi makan ringan ( 10 – 15 % ) diantaranya. Untuk meningkatkan kepatuhan
pasien, sejauh mungkin perubahan dilakukan secara bertahap disesuaikan dengan
kebiasaan. Untuk diabetisi yang mengidap penyakit lain, pola pengaturan makan
disesuaikan dengan penyakit penyertanya.
Latihan jasmani
Dianjurkan latihan jasmani teratur 3-4 kali tiap minggu selama + 30 menit yang
sifatnya CRIPE ( Continous Rhytmical Interval Progressive Endurace training ).
Continous
Latihan harus berkesinambungan dan dilakukan terus-menerus tanpa henti. Contoh :
bila dipilih jogging 30 menit, maka selama 30 menit pasien melakukan jogging tanpa
istirahat.
Rhytmical
Latihan olah raga harus dipilih yang berirama, yaitu otot-otot berkontraksi dan
berelaksasi secara teratur.
Interval
Latihan dilakukan selang-seling antara gerak cepat dan lambat. Contoh : jalan cepat
diselingi dengan jalan lambat, dsb.
Progressive
Latihan dilakukan secara bertahap sesuai kemampuan dari intensitas ringan sampai
hingga mencapai 30-60 menit.
Sasaran Heart Rate = 75-85 % dari Maksimum Heart Rate
Maksimum Heart Rate = 220-umur
Endurance
Latihan daya tahan untuk meningkatkan kemampuan kardiorespirasi, seperti jalan
(jalan santai/cepat, sesuai umur), jogging, berenang dan bersepeda.
Hal yang perlu diperhatikan dalam latihan jasmani ini adalah jangan sampai memulai
olah raga sebelum makan, harus menggunakan sepatu yang pas, didampingi oleh
orang yang tahu bagaimana cara mengatasi hipoglikemia, harus membawa permen,
membawa tanda pengenal sebagai pasien DM dalam pengobatan, dan memeriksa
kaki dengan cermat setelah berolahraga.
Sedapat mungkin mencapai zona sasaran atau zona latihan yaitu 75-85% denyut nadi
maksimal yang dapat dihitung dengan cara sebagai berikut :
Kegiatan jasmani sehari – hari dan latihan jasmani secara teratur ( 3 – 4 kali
seminggu selama ± 30 menit ) merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DM
tipe 2. Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan
berat badan dan memperbaiki sensitifitas insulin, sehingga akan memperbaiki
kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani
aerobik seperti jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan jasmani
sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani. Hindarkan
kebiasaan hidup yang kurang gerak atau bermalas – malasan.
Terapi Farmakologis
Intervensi farmakologis ditambahkan jika sasaran glukosa darah belum tercapai dengan
TGM dan latihan jasmani (Sudoyo Aru, 2006).
bat Hipoglikemik Oral ( OHO )
Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 4 golongan
(Sudoyo Aru, 2006) :
Pemicu sekresi insulin (insuline secretagogue): sulfonilurea dan glinid
Penambah sensitifitas terhadap insulin : metformin, tiazolidindion
Penghambat glukoneogenesis : metformin
Pengambat absorpsi glukosa : penghambat glukosidase α
SULFONILUREA
Digunakan untuk pengobatan Diabetes Melitus (DM) tipe 2 sejak tahun
1950-an. Obat ini digunakan sebagai terapi farmakologis pada awal pengobatan
diabetes dimulai, terutama bila konsentrasi glukosa tinggi dan sudah terjadi
gangguan pada sekresi insulin. Sulfonilurea sering digunakan sebagai terapi
kombinasi karena kemampuannya untuk meningkatkan atau mempertahankan
sekresi insulin.
Mekanisme kerja efek hipoglikemia sulfonilurea adalah dengan merangsang
channel K yang tergantung pada ATP dari sel beta pankreas. Bila sulfonilurea terikat
pada reseptor (SUR) pada channel tersebut maka akan terjadi penutupan. Keadaan
ini menyebabkan penurunan permeabilitas K pada membran dan membuka channel
Ca tergantung voltase, dan menyebabkan peningkatan Ca intrasel. Ion Ca akan
terikat pada Calmodilun dan menyebabkan eksositosis granul yang mengandung
insulin.
Golongan obat ini bekerja dengan merangsang sel beta pankreas untuk
melepaskan insulin yang tersimpan. Oleh karena itu hanya bermanfaat untuk pasien
yang masih mempunyai kemampuan untuk sekresi insulin. Golongan obat ini tidak
dapat dipakai pada diabetes mellitus tipe 1.
Pemakaian sulfonilurea umumnya selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk
menghindari kemungkinan hipoglikemia. Pada keadaan tertentu dimana kadar
glukosa darah sangat tinggi, dapat diberikan sulfonilurea dengan dosis yang lebih
besar dengan perhatian khusus bahwa dalam beberapa hari sudah dapat diperoleh
efek klinis yang jelas dan dalam 1 minggu sudah terjadi penurunan kadar glukosa
darah yang cukup bermakna.
Bila konsentrasi glukosa puasa < 200mg/dl, Sulfonilurea sebaiknya dimulai
dengan pemberian dosis kecil dan titrasi secara bertahap setelah 1-2 minggu
sehingga tercapai glukosa darah puasa 90-130mg/dl. Bila glukosa darah puasa >
200mg/dl dapat diberikan dosis awal yang lebih besar. Obat sebaiknya diberikan
setengah jam sebelum makan karena diserap dengan lebih baik. Pada obat yang
diberikan satu kali sehari sebaiknya diberikan pada waktu makan pagi atau pada
makan makanan porsi terbesar.
GLINID
Kerjanya juga melalui reseptor sulfonilurea (SUR) dan mempunyai struktur
yang mirip dengan sulfonilurea tetapi tidak mempunyai efek sepertinya.
Repaglinid (derivat asam benzoat) dan nateglinid (derivat fenilalanin) kedua-
duanya diabsorbsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan cepat dikeluarkan
melalui metabolisme dalam hati sehingga diberikan 2 sampai 3 kali sehari.
GLITAZONE
Merupakan obat yang juga mempunyai efek farmakologis untuk
meningkatkan sensitivitas insulin. Mekanisme kerja Glitazone (Thiazolindione)
merupakan agonist peroxisome proliferators-activated receptor gamma (PPAR) yang
sangat selektif dan poten. Reseptor PPAR gamma terdapat di jaringan target kerja
insulin seperti jaringan adiposa, otot skelet dan hati, sedang reseptor pada organ
tersebut merupakan regulator homeostasis lipid, diferensiasi adiposit dan kerja
insulin.
Glitazone diabsorbsi dengan cepat dan konsentrasi tertinggi ter jadi setelah 1-
2 jam dan makanan tidak mempengaruhi farmakokinetik obat ini. Waktu paruh
berkisar antara 3-4 jam bagi rosiglitazone dan 3-7 jam bagi pioglitazone.
Secara klinik rosiglitazone dengan dosis 4 dan 8 mg/hari (dosis tunggal atau
dosis terbagi 2 kali sehari) memperbaiki konsentrasi glukosa puasa sampai 55 mg/dl
dan A1C sampai 1,5% dibandingkan dengan placebo. Sedangkan pioglitazone juga
mempunyai kemampuan menurunkan glukosa darah bila digunakan sebagai
monoterapi atau sebagai terapi kombinasi dengan dosis sampai 45 mg/dl dosis
tunggal. Tiazolidindion dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung kelas
I – IV karena dapat memperberat udem / retensi cairan dan juga pada gangguan faal
hati. Pada pasien yang menggunakan tiazolidindion perlu dilakukan pemantauan faal
hati secara berkala. Saat ini tiazolidindion tidak digunakan sebagai obat tunggal.
Penghambat Glukoneogenesis
METFORMIN
Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati
(glukoneogenesis), disamping juga memperbaiki ambilan perifer. Terutama dipakai
pada diabetisi gemuk. Metformin dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan
fungsi ginjal (kreatinin serum > 1,5) dan hati, serta pasien – pasien dengan
kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit serebrovaskular, sepsis, syok, gagal
jantung). Metformin dapat memberikan efek samping mual. Untuk mengurangi efek
samping tersebut dapat diberikan pada saat atau sesudah makan.
Tabel 5
Mekanisme kerja, efek samping utama dan pengaruh OHO terhadap penurunan A1C
( Hb-glikosilat )
Golongan Cara kerja Efeksamping Penurunan
utama utama A1C
Meningkatkan BB naik,
Sulfonilurea sekresi insulin hipoglikemia 1,5 – 2 %
Meningkatkan BB naik,
Glinid sekresi insulin hipoglikemia 1,5 – 2 %
Menekan Diare, dyspepsia,
produksi glukosa asidosis laktat
Metformin hati & menambah 1,5 – 2 %
sensitifitas
terhadap insulin
Penghambat Menghambat Flatulens, tinja
glukosidase α absorpsi glukosa lembek 0,5 – 1,0 %
Menambah Edema
Tiazolidindion sensitifitas 1,3%
terhadap insulin
Menekan Hipoglikemia, BB
Insulin produksi glukosa naik Potensial
hati, stimulasi sampai normal
pemanfaatan
glukosa
Sumber : Perkumpulan Endokrinologi Indonesia, 2006
Terapi kombinasi
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk
kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respon kadar glukosa darah.
Bersamaan dengan pengaturan diet dan kegiatan jasmani, bila diperlukan dapat
dilakukan pemberian OHO tunggal atau kombinasi. Terapi OHO dengan kombinasi
harus dipilih dua macam obat dari kelompok yang mempunyai mekanisme kerja
berbeda. Bila sasaran kadar glukosa darah belum tercapai, dapat pula diberikan
kombinasi tiga OHO dari kelompok yang berbeda atau kombinasi OHO dengan
insulin. Pada pasien yang disertai alasan klinik dimana insulin tidak memungkinkan
untuk dipakai, dipilih terapi kombinasi dengan tiga OHO.
Untuk kombinasi OHO dengan insulin, yang banyak dipergunakan adalah
kombinasi OHO dan insulin basal (insulin kerja sedang / panjang) yang diberikan
pada malam hari menjelang tidur. Dengan pendekatan terapi tersebut pada
umumnya dapat diperoleh kendali glukosa darah yang baik dengan dosis insulin
yang cukup kecil. Dosis awal insulin kerja menengah / panjang adalah 10 unit yang
diberikan sekitar jam 22.00, kemudian dilakukan evaluasi dosis tersebut dengan
menilai kadar glukosa darah puasa keesokan harinya.
Bila dengan cara seperti di atas kadar glukosa darah sepanjang hari masih tidak
terkendali, maka obat hpoglikemik oral dihentikan dan diberikan insulin saja
(PERKENI, 2006).
I. KOMPLIKASI
Dalam perjalanan penyakit DM, dapat terjadi penyulit akut dan menahun
(Sudoyo Aru, 2006).
Penyulit akut
Penyulit akut DM sampai saat ini masih merupakan kegawatan yang harus
ditangani dengan tepat dan benar karena hanya dengan cara itulah angka kematiannya
dapat ditekan serendah mungkin.
Ketoasidosis diabetik
Hiperosmolar nonketotik
Hipoglikemia
Penyulit menahun
Makroangiopati, yang melibatkan :
Pembuluh darah jantung
Pembuluh darah tepi
Pembuluh darah otak
Mikroangiopati:
Retinopati diabetik
Nefropati diabetik
Neuropati
J. PENGENDALIAN DM
Untuk dapat mencegah terjadinya komplikasi kronik, diperlukan pengendalian DM yang
baik yag merupakan sasaran terapi. DM terkndali baik, apabila kadar glukosa darah mencapai
kadar yang diharapkan serta kadar lipid dan A1C juga mencapai kadar yang diharapkan.
Demikian pula status gizi dan tekanan darah (Sudoyo Aru, 2006).
Tabel 8
Kriteria pengendalian DM
Baik Sedang Buruk
GD puasa 80 - 109 110 - 125 ≥ 126
GD 2 jam pp 80 - 144 145 - 179 ≥ 180
A1C < 6,5 6,5 – 8 >8
Kolesterol total < 200 200 - 239 ≥ 240
LDL < 100 100 - 129 ≥ 130
HDL >45
Trigliserida < 150 150 - 199 ≥ 200
IMT 18,5 – 22,9 23 - 25 >25
Tekanan darah < 130/80 130 – 140 / 80 - 90 >140/90
Sumber : Sudoyo Aru, 2006
K. PROGNOSIS
Sekitar 60% pasien DM yang mendapat insulin dapat bertahan hidup seperti
orang normal, sisanya dapat mengalami kebutaan, gagal ginjal kronis, dan kemungkinan
untuk meninggal lebih cepat( Mansjoer, 2001).
HIPERTENSI GRADE II
I. Pengertian Hipertensi
Menurut WHO (2013), hipertensi adalah kondisi dimana pembuluh darah mengalami
peningkatan tekanan secara persisten. Berdasarkan The Seventh Report of The Joint National
Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure
(JNC 7), hipertensi didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah sistolik 140 mmHg atau
lebih dan diastolik 90 mmHg atau lebih (Chobanian et al, 2003). Tekanan darah sistolik
merupakan pengukuran utama yang menjadi dasar penentuan diagnosis hipertensi (PERKI,
2015). Dikatakan hipertensi primer bila tidak ditemukan penyebab dari peningkatan tekanan
darah tersebut, sedangkan hipertensi sekunder disebabkan oleh penyakit/keadaan seperti
feokromositoma, hiperaldosteronisme primer (sindroma Conn), sindroma Cushing, penyakit
parenkim ginjal dan renovaskuler, serta akibat obat. Pada populasi lanjut usia, hipertensi
didefinisikan sebagai tekanan sistolik 160 mmHg dan tekanan diastolik 90 mmHg (Sheps,
2005).
1. DEFINISI
Diabetic kidney disease (DKD) adalah sindrom klinis pada pasien diabetes
mellitus yang ditandai dengan albuminuria menetap (>300 mg/24 jam atau >200
lg/menit) pada minimal dua kali pemeriksaan dalam kurun waktu 3 sampai 6 bulan,
penurunan kecepatan filtrasi glomerulus yang tidak fleksibel dan peningkatan tekanan
darah arterial tetapi tanpa penyakit ginjal lainnya atau penyakit kardiovaskuler 1.
2. KLASIFIKASI
Perjalanan penyakit serta kelainan ginjal pada diabetes mellitus lebih banyak
dipelajari pada diabetes mellitus tipe 1 daripada tipe 2, dan oleh Mogensen dibagi
menjadi 5 tahapan.
55
Reversible
3 Mikroalbuminuria 20-200 /N Mungkin
Persisten mg/menit Reversible
4 Makroalbuminuria >200 Rendah Hipertensi Mungkin Bisa
Proteinuria mg/menit Stabilisasi
56
progresivitas masih mungkin dapat dicegah dengan kendali glukosa dan tekanan
darah yang ketat.
d. Tahap IV (Stadium Makroalbuminuria / Nefropati Lanjut)
Merupakan tahap nefropati yang sudah lanjut (overt nefropati), diabetic kidney
disease bermanifestasi klinis dengan proteinuria yang nyata dengan pemeriksaan
biasa, tekanan darah sering meningkat serta LFG yang sudah menurun dibawah
normal sekitar 10ml/menit/tahun dan kecepatan penurunan ini berhubungan dengan
tingginya tekanan darah 5. Laju ekskresi albumin dalam urin adalah di atas 300
mg/24 jam (200 μg/menit). Perubahan histologis lebih jelas, juga timbul hipertensi
pada sebagian besar pasien. Sindroma nefrotik dan retinopati sering ditemukan pada
tahap ini. Terjadi setelah 15-20 tahun didiagnosis diabetes mellitus. Progresivitas
mengarah ke gagal ginjal hanya dapat diperlambat dengan pengendalian glukosa
darah, lemak darah, dan tekanan darah.
e. Tahap V (Stadium Uremia / Gagal Ginjal Terminal)
Glomerulus sudah demikian rendah sehingga pasien menunjukkan tanda-tanda
sindrom uremik dan memerlukan tindakan khusus yaitu terapi pengganti, dialisis,
maupun cangkok ginjal. Rata-rata dibutuhkan waktu 15-17 tahun untuk sampai pada
stadium IV dan 5-7 tahun kemudian akan sampai stadium V.
3. PATOFISIOLOGI
dengan proses non enzimatik yang disebut AGEs (Advanced Glicosylation End
oksidasi), dan protein kinase-C memberikan kontribusi pada kerusakan ginjal. Kelainan
timbulnya albuminuria.
57
Hiperfiltrasi dianggap sebagai awal dari mekanisme patogenik dalam laju
masih sehat dan pada akhirnya nefron yang sehat menjadi sklerosis. Peningkatan laju
arteriol aferen oleh efek yang tergantung glukosa, yang diperantarai hormon vasoaktif,
IGF-1, Nitric Oxide, prostaglandin, dan glukagon. Efek langsung dari hiperglikemia
kinase-C (PKC) yang termasuk dalam serine-threonin kinase yang memiliki fungsi
pada vaskuler seperti kontraktilitas, aliran darah, proliferasi sel dan permeabilitas
dan protein (reaksi mallard dan Browning). Pada awalnya, glukosa akan mengikat residu
amino secara nonenzimatik menjadi basa Schiff glikasi, lalu terjadi penyusunan ulang
untuk mencapai bentuk yang lebih stabil tetapi masih reversible dan disebut sebagai
produk amadori. Jika proses ini berlanjut terus, akan terbentuk Advanced Glycation End-
Products (AGEs) yang irreversible. AGEs diperkirakan menjadi perantara bagi beberapa
kegiatan seluler seperti ekspresi molecule adhesi yang berperan dalam penarikan sel-sel
mononuklear, juga pada terjadinya hipertrofi sel, sintesa matriks ekstraseluler serta inhibisi
sintesis Nitric Oxide. Proses ini akan terus berlanjut sampai terjadi ekspansi mesangium
dan pembentukan nodul serta fibrosis tubulointerstitialis sesuai dengan tahap-tahap dari
58
sehingga menyebabkan konstriksi arteriola efferentia di glomerulus, menyebabkan
peningkatan tekanan kapiler glomerulus dan hipertensi, serta menstimulasi fibrosis dan
interstitial.
Saat ini diketahui bahwa connective tissue growth factor (CTGF) merupakan
faktor penting pada nefropati diabetikum. Pada sel ginjal, CTGF diinduksi oleh kadar
glukosa darah yang tinggi dan berkaitan dengan perubahan sintesis matriks
ekstraselular, migrasi sel, serta transisi epitel menjadi mesenkim. CTGF merupakan
protein yang disekresi dan dapat dideteksi di cairan biologis. CTGF plasma pada
atas nilai batas 413 pmol/l plasma merupakan prediktor independen terhadap ESRD
dan berkaitan dengan penurunan LFG. Selain itu hal tersebut juga dikaitkan dengan
penurunan LFG yang lebih tinggi pada pasien dengan nefropati diabetikum
tahun. Pada pasien dengan nefrotik albuminuria >3 g/hari, CTGF plasma hanya
sebagai prediktor ESRD. Kadar CTGF plasma juga merupakan prediktor independen
59
Beberapa kejadian memegang peranan penting, yaitu kelainan pada endotel,
a. Endotel
endotel akibat timbunan sorbitol dan fruktosa, sehingga faal endotel terganggu
membrane basalis glomerulus sebagai akibat dari deposisi kolagen tipe I, III, IV
akan meningkat bila tekanan intraglomeruler meningkat, misalnya pada latihan dan
glomerulus menebal kurang lebih 15%, sesudah 5 tahun 30%, dan setelah 20 tahun
c. Mesangium
efektif mengecil. Pada diabetes mellitus dengan gangguan faal ginjal yang lanjut,
60
maka permukaan tersebut semakin mengecil dan akhirnya glomerulus tidak
18
berfungsi lagi .
dan mesangium. Dalam keadaan normal, kompleks ini dibersihkan oleh fagosit
(RES) dan sel-sel mesangium, sedangkan pada diabetes mellitus dengan kendali
glukosa yang rendah, fagosit RES dan sel mesangium kurang mampu
filtrasi efektif bertambah sedikit. Kelebihan kompleks imun di dalam darah juga
4. DIAGNOSIS
Diagnosis diabetic kidney disease dapat dibuat apabila dipenuhi persyaratan
a. Diabetes Mellitus
b. Retinopati Diabetika
c. Albuminuria menetap (>300 mg/24 jam atau >200 lg/menit) pada minimal dua kali
pemeriksaan dalam kurun waktu 3 sampai 6 bulan tanpa penyebab proteinuria yang
lain.
a. Anamnesis
61
Dari anamnesis kita dapatkan gejala-gejala khas maupun keluhan tidak
khas dari gejala penyakit diabetes. Keluhan khas berupa poliuri, polidipsi, polifagi,
penurunan berat badan. Keluhan tidak khas berupa: kesemutan, luka sukar sembuh,
a. Pemeriksaan Fisik
1) Pemeriksaan Mata
kapiler retina
vena
c) Eksudat berupa :
kapiler.
f) Neovaskularisasi
2) Bila penderita jatuh pada stadium end stage (stadium IV-V) atau CRF end
a) Cardiomegali
b) Edema pulmo
62
c. Pemeriksaan Laboratorium
Perbandingan
Laju Ekskresi Albumin Urin
Albumin Urin –
Kondisi
24 Jam Sewaktu Kreatinin
(mg/hari) (µg/menit) (µg/mg)
Normoalbuminuria <30 <20 <30
Mikroalbuminuria 30-300 20-200 30-300 (299)
Makroalbuminuria >300 >200 >300
Diagnosis ditegakkan jika 2 dari 3 pemeriksan berturut-turut dalam 3 bulan
Negatif Positif
96
DAFTAR PUSTAKA
97
Waspadji, S. (2006). Diabetes mellitus di Indonesia, Dalam : Aru W, dkk,
editors, Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III, Edisi 4., Jakarta: FK UI.
Sudoyo A W dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I ed.IV, Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, Jakarta
Sudoyo A W dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III ed.IV, Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, Jakarta
Soegondo, Sidartawan., dkk. (2004). Penatalaksanaan Diabetes Melitus
Terpadu. Jakarta:
Penerbit FKUI. Halaman 7-17, 281-285 dan 293- 298.
Scobie, Ian. (2007). Atlas of Diabetes Mellitus. Third edition. UK: Informa
Healthacer. Halaman 1-33 dan 69-75
Holt and Kumar (2010). ABC of Diabetes. Sixth edition. UK: Wiley-Blackwell.
Halaman 1-5, 34-37, dan 64-66.
98