Anda di halaman 1dari 26

Dinamika integrasi sosial : integrasi sosial umat

beragama di ambon

Saidin Ernas

Institute Pendidikan Islam Negeri Ambon

Abstract

Sosial dinamika pasca-konflik Ambon, Maluku, 1999-2004, menunjukkan bahwa


meskipun orang-orang khusus di area Islam-kristen. Situs integrasi mulai terjadi
secara alami. Proses integrasi yang terjadi juga melahirkan nilai-nilai baru dan
pandangan inklusif yang memberi harapan bagi perdamaian. Menggunakan teori
sosial integrasi adaptasi dinamis dari Parsonian struktur-fungsional paradigm klasik
dan bersatu dengan penelitian kualitatif, penelitian ini berhasil memformulasikan
beberapa penemuan penting. Pertama, integrasi sosial terjadi di Kota Ambon dapat
berjalan secara alami melalui ekonomi interaksi, konsensus tentang politik
keseimbangan dan inklusif agama. Selain itu, ada tempat-tempat umum seperti
kantor, sekolah, pusat perbelanjaan dan warung kopi sebagai media integrasi yang
semakin penting dalam dinamika masyarakat. Kedua, integrasi sosial telah
menciptakan arti yang sangat penting mengarah ke model harmoni aktif ditandai
dengan proses semakin aktif interaksi sosial antara agama yang berbeda serta
memperkuat pluralisme dan multikulturalisme wawasan karena melakukan kampanye
oleh institusi-institusi pendidikan dan masyarakat sipil. Ketiga, penelitian ini juga
mengingatkan kita bahwa meskipun proses intergrasi sosial semakin positif di kota
Ambon, orang masih perlu berhati - hati dengan pertumbuhan radikal ideologi agama
radikal di tingkat tertentu, dan juga tentu memperkuat identitas politik dalam jangka
panjang yang berpotensi melahirkan. sikap untuk berekerja dan kebiasaan yang
berbahaya bagi perkembangan perdamaian.

Kata kunci; Integrasi Sosial, Konflik, Perdamaian, Ambon

231
PENGENALAN

Konflik yang terjadi di Maluku selama periode 1999-2003, adalah salah satu
tragedi kemanusiaan terbesar di Indonesia. konflik itu diwujudkan dalam tindakan
kekerasan kolektif dengan simbol-simbol agama yang kuat telah menyebabkan
kerusakan yang luar biasa, baik dari segi jumlah korban jiwa, kerusakan properti dan
perusakan tatanan moral dan sosial dari komunitas agama di Maluku yang
dampaknya masih terasa saat ini. Konflik juga menciptakan segregasi sosial antara
komunitas Muslim dan Kristen. Tidak mengherankan, Azumardi Azra (2000) pernah
disebut konflik Maluku konflik sosial yang paling dahsyat dalam sejarah Indonesia
modern. Itu konflik agama yang kuat yang akhirnya bisa dihentikan melalui proses
dialog yang panjang dan rumit. Itu semua dimulai dengan kesepakatan damai Malino
pada tahun 2002, kedua belah pihak akhirnya sepakat untuk mengakhiri konflik
sebagai cara untuk membangun perdamaian. Mereka mencoba untuk kembali ke
kehidupan normal dan berusaha untuk meninggalkan sebuah tragedi besar yang
membuat mereka saling bermusuhan selama beberapa tahun. Perlahan-lahan,
hubungan sosial antara orang-orang dari agama yang berbeda, etnis dan budaya yang
kembali didirikan. Saya mulai dengan kegiatan ekonomi, momentum agama dan
interaksi sosial yang secara alamiah terjadi melalui ruang publik.

Fenomena sosial yang telah menjadi umum di Ambon, tentu dapat disebut
sebagai tanda positif perdamaian. Namun, sejauh mana fenomena yang melayani
dasar yang kuat untuk membangun keharmonisan dan perdamaian akan memerlukan
studi analisis baru. Studi tentang integrasi sosial dapat berfungsi sebagai pintu
gerbang untuk menganalisis dan mengevaluasi proses perubahan yang terjadi setelah
konflik, karena konsep integrasi sosial saat ini tidak hanya berbicara tentang
penyatuan masyarakat majemuk dari berbagai agama dan etnis dalam umum identitas,
atau asimilasi antara dominan dan minoritas kelompok (Rita Pranawati, 2011).
Selanjutnya, konsep integrasi sosial seperti yang dibahas oleh beberapa ilmuwan
sosial, harus dapat menunjukkan bentuk-bentuk hubungan sosial yang otentik;
mengakui keberadaan masing-masing, saling percaya dan kesetaraan (Asutosh

232
Varsney, 2000). Demikian juga, integrasi sosial harus dilihat dalam konteks moralitas
baru yang telah berkembang sejauh yang mendukung keharmonisan dan kedamaian
dalam masyarakat yang akan mengikat mereka dalam keseimbangan sosial (Biku
Parekh, 2008).

Tulisan ini pada dasarnya adalah proses evaluasi kritis terhadap dinamika
pembangunan perdamaian di kota Ambon saat ini, khususnya yang berkaitan dengan
sifat dari upaya masyarakat untuk membangun hubungan sosial yang lebih harmonis
di tengah-tengah segregasi sosial. Masih ada segregasi sosial, di mana permukiman
dipisahkan oleh identitas agama: Islam dan Kristen. Fenomena ini telah menjadi saat
yang tepat untuk memeriksa perubahan yang terjadi pada pasca konflik Maluku.
Adalah proses integrasi sosial menjadi lebih baik dan otentik antara komunitas etnis
dan agama di Ambon? Lalu bagaimana dengan bentuk dan proses integrasi yang
sedang terjadi pada saat ini, apakah itu berkontribusi pada penguatan perdamaian atau
sebaliknya apakah itu mengadakan potensi konflik untuk kembali meledak-dalam
eskalasi berbahaya?

Umumnya, teori integrasi sosial. Dalam studi sosiologis, teori integrasi sosial
merupakan bagian dari paradigma fungsionalisme struktural yang diperkenalkan oleh
Talcot Parson (1927-1979). Paradigma ini mengasumsikan bahwa pada dasarnya
orang berada dalam sistem sosial yang mengikat mereka dalam kesetimbangan. Hal
ini tercermin dalam dua pemahaman dasar integrasi sosial, pertama, kontrol konflik
dan penyimpangan sosial dalam suatu sistem sosial tertentu, dan kedua, membawa
unsur-unsur bersama-sama tertentu dalam masyarakat dalam rangka menciptakan
tatanan sosial (George Ritzer & Douglas J. Goodman 2009). Proses ini bertujuan
untuk mengintegrasikan kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat, dengan
menjembatani perbedaan yang disebabkan oleh sejumlah faktor seperti wilayah,
budaya, agama, kepentingan, kelas sosial dan sebagainya, sehingga dapat mengurangi
kesenjangan yang disebabkan oleh faktor-faktor ini.

233
Sejauh ini, studi tentang integrasi sosial sering dipengaruhi oleh wacana
kekuatan serikat pekerja dalam identitas bersama yang kuat untuk mengatasi
perbedaan. Sebuah komentar sosial yang menyoroti subordinasi kekuatan minoritas
untuk mengirimkan dan akan bersatu di bawah kekuasaan identitas mayoritas.
Kemudian sebagai kelanjutan dari perspektif tersebut, konsep asimilasi dipromosikan,
di mana identitas minoritas dan budaya diharapkan untuk berkumpul dengan identitas
budaya mayoritas. Dalam studinya integrasi nasional, Nazaruddin Syamsudin
berpendapat bahwa integrasi sosial merupakan bagian dari konsep integrasi nasional
yang pada dasarnya mencakup dua masalah mendasar. Pertama, bagaimana membuat
orang menjadi tunduk dan patuh dengan tuntutan dan kepentingan bangsa dan negara.
Kedua, bagaimana meningkatkan konsensus normatif yang mengatur perilaku positif
dari masyarakat atau individu di dalamnya (Nazaruddin Syamsuddin, 1996).
pandangan Nazaruddin, benar-benar mewakili banyak ilmuwan politik zamannya
yang melihat negara sebagai entitas politik dan sosial-satunya yang keberadaannya
harus diurus, meskipun dalam proses itu pasti mengabaikan keragaman dan
perbedaan yang telah menjadi fakta sosial di Indonesia.

Sejak reformasi 1998, yang ditandai dengan demokrasi dan wacana demokrasi
yang mendorong keterbukaan, banyak ilmuwan mengkritik konsep integrasi sebagai
bagian dari wacana kekuatan hegemonik. Banyak ilmuwan dan peneliti melihat
konsep integrasi sosial sebagai konsep ilmu sosial yang telah kehilangan konteksnya
di tengah-tengah tuntutan demokrasi dan menghargai perbedaan. Oleh karena itu,
setiap studi yang mempromosikan integrasi sosial dianggap sebagai kegiatan teoritis
yang tidak menarik dan pro-status quo. Namun, dari sudut pandang saya, apa yang
para ilmuwan sosial perlu lakukan adalah untuk merilis konsep ilmiah dari
interpretasi kekuatan yang telah memerintah di atasnya. Sebagaimana didalilkan
seorang sosiolog, Heru Nugroho (1999), ilmuwan sosial saat ini membutuhkan
menyeimbangkan wacana publik secara seimbang untuk berpartisipasi dan terlibat
dalam wacana tentang keragaman, tanpa paksaan dari negara untuk masyarakat sipil.

234
Demikian pula, tulisan ini berusaha untuk mempromosikan konsep integrasi
sosial dalam masyarakat demokratis, yang melihat perbedaan sebagai realitas politik
yang harus dikelola secara demokratis. Pandangan demokratis konsep integrasi sosial
menekankan pada pentingnya hubungan yang setara dan saling menguntungkan. Biku
Parekh (2008: 84-87) menjelaskan bahwa proses integrasi sosial dalam masyarakat
demokratis membutuhkan tiga faktor. Pertama, persetujuan dari mayoritas
anggotanya terhadap nilai-nilai sosial tertentu yang (kontrak moral) yang mendasar
dan penting. Kedua, orang yang ditarik bersama-sama di berbagai unit sosial
pemantauan saling menguntungkan dengan aspek sosial yang potensial. Hal ini untuk
menjaga dominasi dan kontrol mayoritas atas minoritas. Ketiga, ada saling
ketergantungan antara kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat yang berkumpul
untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi dan sosial secara keseluruhan.

Alasan utama untuk kelahiran integrasi sosial dalam masyarakat demokratis


adalah adanya suatu situasi di mana orang dapat berkomunikasi dan berinteraksi
dalam egaliter, penuh percaya diri dan saling membutuhkan. Asutosh Varsney (2003)
disebut situasi seperti ini hanya mungkin melalui keterlibatan masyarakat, baik
melalui interaksi diprakarsai oleh kelompok-kelompok masyarakat sipil (terorganisir
jaringan sipil) dan interaksi yang terjadi secara alami melalui ruang publik egaliter
(jaringan sipil sehari-hari). Kedua proses ini dapat menumbuhkan kepercayaan yang
menjamin bahwa kelompok-kelompok yang berbeda dalam masyarakat tidak akan
terlibat dalam kekerasan kepada orang lain. integrasi sosial juga membutuhkan
pengakuan dari ketidakabsahan perbedaan dan hak untuk perbedaan itu untuk hidup
di masyarakat. Dengan pengakuan tersebut, sikap toleran terhadap perbedaan akan
muncul. Persyaratan lain yang penting adalah kontrak moral (Parekh, 2008), suatu
bentuk nilai-nilai bersama yang mengikat masyarakat dalam kesetimbangan.

Sebuah pandangan baru tentang integrasi sosial dalam masyarakat demokratis


tentu tidak akan menyangkal adanya konflik sebagai bagian integral dari fenomena
sosial dan perubahan. Konflik, sebagai Ralf Dahrendrof (lihat George Ritzer &
Douglas J. Goodman, 2009) berpendapat, adalah fenomena sosial yang selalu hadir
(melekat/omni-sekarang) di setiap masyarakat manusia. komunitas manusia

235
dimanapun mereka berada akan selalu memiliki kemungkinan konflik (Tuhana
Taufiq, 2000), termasuk di Ambon. Namun, potensi konflik tidak perlu dihadapi
dengan cara kekuasaan hegemonik, sebagai masyarakat dan negara perlu mengelola
berbagai potensi konflik yang ada sedemikian rupa sehingga mereka dapat diterima
oleh semua pihak (Maswadi Rauf, 2000 ).

Pola integrasi sosial di tengah-tengah konflik, segregasi sosial dan konflik


yang masih merajalela yang saya disebut sebagai “dinamika sosial integrasi". Dengan
kata lain, dinamika integrasi sosial adalah proses penyatuan masyarakat yang terjadi
secara alami, tanpa penaklukan mayoritas terhadap minoritas, atau sebaliknya. Dalam
integrasi sosial yang dinamis, konflik dan perselisihan harus konstruktif ditafsirkan
dan dikelola dengan cara yang demokratis yang dapat diterima oleh berbagai
kelompok kepentingan yang ada. Tidak ada masyarakat benar-benar bebas dari
konflik; kemampuan masyarakat untuk mengelola dan konflik kontrol akan
menentukan apakah atau tidak potensi konflik bisa berkembang menjadi tabrakan
yang merusak.

Kasus pembangunan perdamaian di Ambon dibahas dalam penelitian ini bisa


menjadi pelajaran menarik tentang model dinamis dari integrasi sosial. Walaupun
orang-orang Ambon tetap terbagi atas segregasi sosial berdasarkan agama, mereka
yang terlibat dalam upaya untuk mengelola perbedaan oleh alam, sebagian melalui
inisiatif budaya. Orang-orang di Ambon telah mencoba untuk membangun sebuah
proses integrasi sosial di atas dasar nilai-nilai kebijaksanaan baru yang akan mengikat
mereka bersama-sama meskipun mereka masih mengakui perbedaan antara mereka.
Nilai yang dibagi yang mempromosikan harmoni dan perdamaian yang berfungsi
sebagai kebiasaan positif dalam masyarakat (Pierre Bourdeou, 2008). Kebiasaan
seperti itu akan menjadi struktur mental atau kognitif dimana orang-orang di Ambon
akan berusaha untuk memulihkan hubungan sosial yang telah terpisah.

236
AMBON DALAM KONTEKS SOSIAL DAN AGAMA

Konflik yang melanda Ambon 1999-2004, telah mengakibatkan kerusakan


besar. Selain jumlah korban tewas dan terluka, fasilitas umum dan rumah-rumah
warga juga hancur atau dibakar. Dampak konflik juga memberikan kontribusi
terhadap perpecahan masyarakat Maluku menjadi dua komunitas, yaitu Muslim dan
Kristen. Masyarakat yang hidup dan menetap di sebuah desa yang terdiri dari
kelompok-kelompok etnis, ras dan agama yang beragam telah mengungsi dan
dipisahkan dan diambil bersama-sama dengan masyarakat masing-masing.

Setelah Perjanjian Malino pada tahun 2002 mulai berlaku, kota Ambon adalah
perlahan kondusif, ditandai dengan menurunnya intensitas konflik, penghancuran
senjata, pembangunan fasilitas umum dan kembalinya pengungsi yang mengungsi di
berbagai tempat (baik di kota Ambon dan daerah lain). Namun, para pengungsi harus
menghadapi kenyataan traumatis dan takut untuk kembali ke rumah mereka dan
bertemu dengan tetangga mereka dari agama yang berbeda. Kemudian, para
pengungsi biasanya memilih pemukiman baru dengan orang-orang dari agama yang
sama (Subair di al., 2008).

Pengungsi Kristen kembali ke pemukiman yang didominasi Kristen, sebagai


serta pengungsi Muslim yang mulai membangun rumah di pemukiman Muslim.
Sebagian besar pengungsi mengambil inisiatif untuk barter tinggal dengan orang-
orang dari agama yang berbeda untuk memperoleh rumah di pemukiman baru
mereka. komunitas Muslim umumnya mendiami daerah di Waihaong, Silale dan
tersebar di desa Batu Merah yang penduduknya kian hari kian ramai. Beberapa rumah
harus dibangun di lereng gunung dan bukit dengan masalah keamanan, dan
berpotensi merusak lingkungan dan kelestarian alam. Desa Batu Merah tidak benar-
benar besar tetapi terpaksa menerima ribuan pengungsi yang mencari tempat baru
untuk tinggal di desa Muslim. Sementara komunitas Kristen memilih untuk tinggal di
Kecamatan Nusaniwe, seperti Latuhalat, Amahusu, Kudamati, Batu gantung, Wainitu
dan Mangga Dua. daerah Christian juga termasuk Karang Panjang, Ahuru dan

237
beberapa tempat lain di wilayah Galala ke Paso di Kecamatan Baguala. Bahkan,
wilayah Kristen masih tampak lebih lebar dari area yang digunakan oleh komunitas
Muslim, tapi wilayah Kristen juga padat padat penduduknya.

Segregasi sosial yang diciptakan secara sosiologis memang sangat


mengkhawatirkan. Pemukiman yang dibangun pada identitas kelompok, yang
homogen dan eksklusif, tentu tidak sehat dan akan mudah menimbulkan kecurigaan,
masalah sosial dan konflik. Alasan utama adalah bahwa tidak ada kelompok lain yang
berperan sebagai katalis untuk isu-isu konflik yang timbul di masyarakat. Di
lingkungan di mana ada warga yang menganut berbagai agama, integrasi sosial dan
kesempatan untuk saling melindungi akan terjadi. Petter Blau dan Schwartz (1984)
menyebutkan pentingnya situasi heterogen untuk memperkuat loyalitas ganda dalam
kehidupan sosial. Intinya adalah bahwa orang yang berafiliasi dengan agama tertentu
akan menjaga hubungan baik dengan kelompok mereka sendiri serta orang lain. Ini
merupakan konsekuensi dari berada di lingkungan yang sama. Ini adalah apa yang
para ahli disebut sebagai “dual kesetiaan”, di mana lebih loyalitas seseorang dalam
keadaan sosial, semakin seseorang memiliki toleransi dan menjaga hubungan baik
kepada semua orang. Melalui hubungan, masyarakat yang heterogen dapat menjaga
dan saling melindungi. Namun, pandangan yang dikemukakan oleh Petter Blau,
tampaknya tunduk koreksi ketika mengamati fenomena konflik di Ambon, di mana
tetangga telah menyerang dan membunuh satu sama lain. Mereka tampaknya tidak
memiliki loyalitas kepada tetangga mereka yang telah tinggal selama bertahun-tahun
di sekitar mereka. pandangan yang dikemukakan oleh Petter Blau, tampaknya tunduk
koreksi ketika mengamati fenomena konflik di Ambon, di mana tetangga telah
menyerang dan membunuh satu sama lain. Mereka tampaknya tidak memiliki
loyalitas kepada tetangga mereka yang telah tinggal selama bertahun-tahun di sekitar
mereka. pandangan yang dikemukakan oleh Petter Blau, tampaknya tunduk koreksi
ketika mengamati fenomena konflik di Ambon, di mana tetangga telah menyerang
dan membunuh satu sama lain. Mereka tampaknya tidak memiliki loyalitas kepada
tetangga mereka yang telah tinggal selama bertahun-tahun di sekitar mereka.

238
INTEGRASI SOSIAL VARIASI DI AMBON

Setelah konflik dan kekerasan yang perlahan turun, masyarakat Ambon


mencoba untuk membangun kembali kehidupan sosial dan hubungan sosial karena
perasaan kecurigaan dan kebencian masih kuat di masyarakat. Terlepas dari ini, kita
dapat melihat bahwa orang-orang mulai belajar bagaimana mengelola kehidupan
sosial dengan cara yang tidak normal. kelainan seperti itu jelas ketika orang dipaksa
untuk menerima kenyataan bahwa kehidupan di kota Ambon telah berubah menjadi
segregasi sosial yang ekstrim dan menjadi wajah baru dari kota kecil ini. Selain itu,
lahan perumahan menyusut telah sulit bagi pemerintah untuk mendorong
pembangunan unit perumahan baru yang bisa berfungsi sebagai “oasis” di mana
orang-orang dari agama yang berbeda dapat hidup bersama dalam damai. Memang, di
beberapa tempat, seperti Poka dan Wayame orang datang dari latar belakang yang
berbeda, tapi secara keseluruhan Ambon adalah kota yang dibagi.

Meskipun demikian, fenomena yang terjadi di Ambon tepatnya dikonfirmasi


kebenaran teori struktural fungsional yang diusulkan oleh Parson (1927-1929) yang
percaya bahwa masyarakat merupakan suatu sistem yang terdiri dari berbagai unit
sosial, yang secara alami dan sistematis akan mengalami proses reintegrasi, dan akan
membentuk sistem sosial yang mengikat orang dalam keseimbangan sosial (George
Ritzer & Douglas J. Goodman 2009). Manusia adalah makhluk sosial yang selalu
membutuhkan kehidupan bersama, karena sebagai teori struktural fungsional percaya
bahwa manusia akan selalu berusaha untuk menemukan cara untuk membangun
kehidupan yang lebih baik bersama-sama, meskipun dalam proses, beberapa konflik
dan kontradiksi mungkin timbul. Pada dasarnya, sifat manusia membutuhkan situasi
tertentu untuk dapat memenuhi kebutuhan ekonomi, politik dan budaya. Konflik dan
perdamaian akhirnya muncul sebagai suatu kontradiksi namun saling melengkapi
sehingga integritas variasi terjadi pada pasca konflik Ambon di Maluku.

Pertama, integrasi sosial secara alami akan memanfaatkan kegiatan ekonomi


di pasar lokal. Jelas, situasi masyarakat pasca konflik Maluku memiliki kondisi

239
ekonomi yang buruk. Di beberapa tempat, orang memiliki kesulitan mendapatkan
bahan makanan dan makanan pokok lainnya untuk kebutuhan sehari-hari karena
distribusi terhambat oleh segregasi sosial dan pemukiman yang jauh. Setiap
kelompok membangun kehidupan sendiri, punya kegiatan sendiri ekonomi, pasar
sendiri, dll Dalam kondisi ini ada kelompok orang-orang dari kedua komunitas yang
berkomunikasi dan melakukan transaksi makanan perlu dijual kepada publik di
lingkungan mereka. Kelompok dengan kepentingan ekonomi telah mengambil
inisiatif untuk memecahkan es sebagai akibat dari konflik, meskipun tinggal di
segregasi mereka memiliki kontak melalui komunikasi dan pertukaran barang antara
pedagang. Mardika dan Batumerah pasar yang secara geografis terletak antara
Muslim dan wilayah Kristen di Kota Ambon bertindak sebagai media yang membawa
komunitas ini bersama-sama. Orang-orang dari komunitas Muslim dan Kristen
menjual barang dagangan mereka di sini. Secara bertahap, pasar Mardika yang
dibakar selama konflik, hidup kembali dan menjadi ruang publik pertama bagi
mereka untuk saling bertemu. Bugis, Makassar dan pedagang lainnya yang
meninggalkan Ambon, kembali ke pasar dan dibangun kembali toko yang hancur dan
kios. hidup kembali dan menjadi ruang publik pertama bagi mereka untuk saling
bertemu. Bugis, Makassar dan pedagang lainnya yang meninggalkan Ambon, kembali
ke pasar dan dibangun kembali toko yang hancur dan kios. hidup kembali dan
menjadi ruang publik pertama bagi mereka untuk saling bertemu. Bugis, Makassar
dan pedagang lainnya yang meninggalkan Ambon, kembali ke pasar dan dibangun
kembali toko dan kios yang hancur.

Fenomena Ambon menunjukkan bahwa pasar adalah tempat yang memiliki


unsur-unsur sosial, ekonomi, budaya dan politik. Kegiatan di pasar tidak hanya
tentang nilai-nilai ekonomi (di mana pembeli dan penjual bertemu untuk mengadakan
pertukaran uang dan barang), tetapi juga memiliki dimensi sosial yang berkaitan satu
sama lain dalam kehidupan publik. Peran pasar yang berubah menjadi media sosial
integrasi, membawa kelompok bersama-sama beragam yang awalnya dibangun
hubungan karena kebutuhan ekonomi. Melalui kontak tersebut, komunikasi terputus

240
kini kembali didirikan. kegiatan ekonomi di pasar yang disajikan untuk mendorong
lahirnya gerakan rekonsiliasi di Ambon, yang dilakukan tanpa direkayasa, alami dan
inspiratif, sangat inklusif, yang juga membuktikan ekonomi tidak hanya memicu
konflik tetapi juga agen untuk mempersatukan dua komunitas yang berperang
(Kristen dan muslim).

Kedua, ada upaya untuk mengubah acara keagamaan sebagai media integrasi
sosial. Pada saat kita mungkin tidak menyadari bahwa peristiwa ritual dan agama
dipenuhi dengan ekspresi yang bermakna simbolis. Abdullah (2006) menyatakan
bahwa kegiatan upacara keagamaan dan ritual yang momentum untuk terus
mempertahankan nilai-nilai dan mereproduksi nilai-nilai agama sebagai media
komunikasi dan integrasi masyarakat. Melalui acara keagamaan masyarakat, orang
bisa membangun kohesi sosial dan integrasi untuk meningkatkan keseimbangan
sosial. Perkembangan pasca konflik Maluku menunjukkan bahwa orang-orang
Ambon yang digunakan acara keagamaan sebagai media untuk membentuk integrasi
sosial dan membawa kebersamaan di antara mereka.

Ada dua acara keagamaan digunakan sebagai momentum untuk media


integrasi dan harmoni, yaitu Musabaqah Tilawatul Quran ( Qur'an Recital Kompetisi)
(MTQ) tahun 2012 dan Gospel Choir Nasional (Pesparawi) 2015. Dalam ajang MTQ
Nasional tahun 2012 orang dari agama yang berbeda Ambon mulai membangun
persatuan melalui keterlibatan aktif dalam kegiatan. Meskipun MTQ 2012 merupakan
acara keagamaan Muslim, jelas kita bisa melihat bahwa orang Kristen dan Katolik di
Ambon terlibat dan berpartisipasi dalam kegiatan ini. Bentuk-bentuk keterlibatan
yang dapat dicatat adalah partisipasi dari kelompok paduan suara menyanyikan lagu-
lagu march dari MTQ, beberapa orang mengambil peran sebagai anggota komite
dalam berbagai fungsi, dan menyediakan tempat untuk acara MTQ. Beberapa orang
Kristen yang ditawarkan rumah mereka sebagai tempat tinggal untuk para delegasi
MTQ dari berbagai daerah. Sementara itu di berbagai jalan utama ke gang-gang
sempit di kota Ambon, Kristen memasang spanduk dan baliho yang membuat
pernyataan mendukung MTQ di Kota Ambon. Beberapa peserta yang datang dari

241
berbagai daerah menyatakn heran disambut oleh komunitas Kristen selama
pelaksanaan MTQ.

Demikian pula, acara National Pesparawi tahun 2015, kontes lagu-lagu pujian
yang diselenggarakan setiap tahun oleh orang-orang Kristen di Indonesia, juga
menerima sambutan hangat dari Muslim di Kota Ambon. Masyarakat Batu Merah
Muslim disediakan rumah mereka sebagai akomodasi untuk Pesparawi kontingen dari
berbagai provinsi. Di masjid Batu Merah, orang menyanyikan shalawat dan nyanyian
agama untuk menyambut kontingen Pesparawi dari berbagai provinsi yang melewati
desa Batu Merah. Mereka displyed kain putih dan meminta kontingen Pesparawi
untuk turun dari kendaraan untuk berjalan kaki dengan mereka di desa Batu Merah
sebagai ungkapan persaudaraan. Saya juga mencatat berbagai kegiatan yang mereka
lakukan bersama-sama dalam menjaga rumah ibadah pada hari libur keagamaan
seperti pada eid dan Natal. Selama kegiatan Idul Fitri, sejumlah pemuda Kristen dari
Batu Gantung biasanya hadir sebagai relawan untuk membantu menjaga kegiatan
shalat Idul Fitri yang akan dilakukan dengan aman. Demikian pula, pada Natal,
banyak orang muda dari Batu Merah, Waihaong dan Silale membantu untuk
mengamankan layanan Natal yang diadakan di gereja-gereja di kota Ambon, salah
satunya adalah di Silo Gereja. Sebuah media massa lokal menyebutkan bahwa pada
Natal 2014, ada 120 anggota remaja masjid di Kota Ambon yang bergabung dengan
polisi dan tentara dalam mengamankan 48 Gereja di Kota Ambon. Menurut Ketua
Generasi Muda Gereja Protestan (AMGPM) Maluku, Elifas Tomix Maspaitella, apa
yang pemuda Muslim lakukan untuk menjaga layanan Natal aman adalah wajah asli
dari budaya Maluku, dan itu membuktikan bahwa kesadaran akan komunitas
beragama di Maluku untuk saling menghargai mulai tumbuh lagi setelah konflik
berdarah satu dekade yang lalu.

Apa yang terjadi di Ambon menunjukkan upaya untuk membuat agama dan
saat ritual sebagai media untuk membangun integrasi dan harmoni sosial. acara
keagamaan telah simbolis menjadi media yang membawa pesan dan simbol yang
mengintegrasikan kelompok orang yang berbeda agama dalam kesadaran agama,

242
budaya. Oleh karena itu, menurut Julian Steward, upacara keagamaan atau acara
dilaksanakan oleh masyarakat yang upaya untuk beradaptasi dengan perubahan
lingkungan sehingga melalui upacara dan ritual masyarakat (baik agama dan budaya)
dapat mengekspresikan diri mereka, melestarikan dan mengkomunikasikan nilai-nilai
budaya agar referensi dalam mewujudkan solidaritas sosial dan integrasi sosial (Julian
Steward di Bambang Hudayana di al., 2012).

Ketiga, penggunaan ruang publik sebagai arena untuk integrasi sosial. Dalam
konteks kehidupan di kota Ambon, ruang publik yang berperan dalam mendorong
komunikasi dan integrasi antara warga merupakan pusat kegiatan ekonomi seperti
pasar, kantor-kantor pemerintah, sekolah-sekolah umum, dan toko kopi yang
berkembang di pasca konflik Maluku. kantor-kantor pemerintah memiliki peran yang
sangat penting untuk membawa bersama-sama orang-orang dari berbagai latar
belakang. Karyawan yang “dipaksa” oleh sistem yang berlaku di kantor untuk bekerja
sama dalam cara yang teratur, sementara sekolah telah menjadi ruang publik untuk
semua siswa dengan latar belakang yang berbeda. Meskipun mirip dengan kantor,
ruang publik selama konflik didasarkan pada afiliasi agama, bahkan sekolah juga
terpisah. Namun, mulai berubah, terutama untuk sekolah-sekolah yang terletak di
wilayah perbatasan antara Muslim dan Kristen, seperti Senir SMA 3 dari Ambon.
Penelitian yang dilakukan oleh Adam Latuconsina (2013) menyebutkan bahwa
sebuah sekolah semakin inklusif adalah tempat untuk membina sikap toleran di masa
depan. Mahasiswa dari berbagai latar belakang belajar untuk mengenal identitas
agama masing-masing rekan-rekan mereka berbeda agama dan keyakinan, yang
diharapkan untuk membentuk karakter inklusif di kalangan generasi muda. ruang
publik lain adalah rumah kopi yang berkembang di bangun dari konflik di Maluku.
Rumah kopi telah menjadi ruang publik yang menyatukan orang dari berbagai
kelompok identitas yang berbeda. Suasana santai, informal, dan lucu dari kedai kopi
dapat digunakan untuk membangun hubungan yang baik antara pengunjung yang
sudah tahu baik satu sama lain sebelumnya, bahkan antara orang asing. Percakapan
dan hubungan sosial yang terjadi di sebuah kedai kopi mungkin tidak secara langsung

243
mengatasi masalah yang timbul di masyarakat, namun pertemuan antara orang-orang
dari latar belakang yang berbeda di sini memungkinkan komunikasi, dan pertukaran
perspektif. Rumor, kecurigaan dan berbagai bentuk lain dari informasi negatif
mendapatkan 'disensor' dan diperjelas melalui percakapan di warung kopi. Rumor
sering pengapian konflik yang dapat dinetralisir, atau disebut dalam literatur studi
perdamaian sebagai “dibunuh” oleh proses pertukaran informasi sehingga tidak dapat
dengan mudah digunakan untuk mobilisasi konflik.

Ruang publik egaliter akan menjadi “jembatan” untuk hubungan baik antara
agama dan etnis. Mengacu pada teori Varsney (2003) modal sosial, pola hubungan
dalam ruang publik egaliter akan menciptakan pola hubungan yang tidak formal
dalam kehidupan sehari-hari (bentuk sehari-hari keterlibatan). Menurut Varsney, pola
hubungan informal yang yang memiliki ketahanan lebih kuat untuk menekan potensi
konflik, adalah alami dan bebas dari kepentingan politik dan sering terjadi dalam
organisasi formal. Namun, bukan berarti pola hubungan formal (bentuk asosiasi
keterlibatan) seperti di kantor-kantor dan sekolah-sekolah yang tidak penting
(Asutosh Varsney di Iqbal Ahnaf, 2013). Kedua pola jenis hubungan dapat
memainkan peran penting dalam mencegah polarisasi dari identitas yang bahkan
berpotensi untuk digunakan sebagai mobilitas konflik.

Keempat, konsensus pada politik keseimbangan, diikuti dengan upaya untuk


mengalokasikan sumber daya untuk mengakomodasi semua kepentingan identitas
politik. Hal ini penting karena selama konflik, isu keseimbangan posisi penting dalam
birokrasi lokal terus dibahas. Bahkan merupakan salah satu isu sengit diperdebatkan
dalam Perjanjian Malino pada tahun 2002 (Saidin Ernas, 2006). Selain birokrasi
lokal, keseimbangan dalam pengelolaan pendidikan di Universitas Pattimura juga
dikritik oleh sejumlah pemimpin Islam karena dianggap dikendalikan oleh komunitas
Kristen. Dalam perkembangan selanjutnya, konsep keseimbangan meskipun tidak
secara formal diatur dalam peraturan yang ada di Maluku, menjadi kesadaran
pengamat politik dan pengamat politik konsensus dalam praktek local politik dan
pemerintah.

244
Akibatnya, konfigurasi kepemimpinan politik selalu melambangkan
akomodasi politik yang seimbang. Dalam pemilu pasca-konflik, Maluku Gubernur,
Brigadir Jenderal (Purn) Karel Albert Ralahalu, seorang Kristen mengambil
Muhammad Latuconsina (Muslim) sebagai pasangannya dan kemudian
memenangkan pemilu. Pada masa kedua, Karel mengambil Kata Assegaf sebagai
mitra berjalan dan kembali berhasil muncul sebagai pemenang. Kota Ambon juga
mengadopsi praktek keseimbangan poltical. Jopy Papilaya berhasil muncul sebagai
Walikota dengan mengambil Syarid Haldler sebagai wakil walikota dan pada periode
berikutnya ia mengambil Olivia Latuconsina. Walikota saat Ambon (periode 2011-
2016) dipegang oleh richad Louhanapesy dengan Syam Latuconsina sebagai wakil
walikota. Hampir semua calon yang terlibat dalam pemilihan Gubernur dan Walikota
masih berlatih politik keseimbangan ini dengan calon yang berasal dari agama yang
berbeda, Muslim-Kristen. Di tingkat birokrasi daerah keseimbangan konsolidasi
politik juga terjadi. Para pegawai pemerintah diangkat dengan melihat alokasi
berdasarkan saldo agama. Begitu juga halnya dengan pengembangan kebijakan.
Seperti digambarkan dalam beberapa program pembangunan daerah, di mana mereka
dilakukan dengan mengadopsi pendekatan keseimbangan. Misalnya, pembangunan
Islamic Center diikuti oleh pembangunan Pusat Kristen dan Pusat Katolik, dll Pada
tahun lalu, pemerintah mengirim sejumlah Di tingkat birokrasi daerah keseimbangan
konsolidasi politik juga terjadi. Para pegawai pemerintah diangkat dengan melihat
alokasi berdasarkan saldo agama. Begitu juga halnya dengan pengembangan
kebijakan. Seperti digambarkan dalam beberapa program pembangunan daerah, di
mana mereka dilakukan dengan mengadopsi pendekatan keseimbangan. Misalnya,
pembangunan Islamic Center diikuti oleh pembangunan Pusat Kristen dan Pusat
Katolik, dll Pada tahun lalu, pemerintah mengirim sejumlah Di tingkat birokrasi
daerah keseimbangan konsolidasi politik juga terjadi. Para pegawai pemerintah
diangkat dengan melihat alokasi berdasarkan saldo agama. Begitu juga halnya dengan
pengembangan kebijakan. Seperti digambarkan dalam beberapa program
pembangunan daerah, di mana mereka dilakukan dengan mengadopsi pendekatan
keseimbangan. Misalnya, pembangunan Islamic Center diikuti oleh pembangunan

245
Pusat Kristen dan Pusat Katolik, dll. Pada tahun lalu, pemerintah mengirim sejumlah
imam untuk melakukan Umrah yang didanai sepenuhnya oleh pemerintah provinsi.
Pada saat yang bersamaan pemerintah juga membiayai beberapa imam dan pastur
untuk wisata spiritual ke Israel.

Pengamat politik pembangunan menurut Bachtiar Efendi (1996) adalah


kebijakan alokatif, di mana pemerintah mengalokasikan sumber daya ekonomi dan
politik secara merata pada semua kekuatan politik untuk menghindari kecemburuan
dan perasaan diperlakukan tidak adil. Contoh 'masing-masing mendapat bagian'
politik juga dapat dilihat dari perspektif perwakilan politik yang secara tidak langsung
diimplementasikan sebagai merupakan bagian integral dalam proses rekonsiliasi
untuk perdamaian. Dalam hal ini, representasi didefinisikan sebagai ekspresi posisi
kesetaraan dalam hubungan masyarakat heterogen. Demokrasi itu sendiri sering
diartikan sebagai suara mayoritas, sering menghilangkan suara minoritas yang telah
dianggap “penyerahan ke paradigma kepentingan umum. Jadi, salah satu adjudikasi
dibuat dalam representasi sebagai resolusi konflik di Maluku dan Ambon adalah
menciptakan komposisi keseimbangan posisi birokrasi antara agama yang berbeda
dan etnis.

DINAMIS INTEGRASI SOSIAL DAN SEMANGAT ENERGIK INKLUSIF

Konflik Ambon menunjukkan dinamika dimana sistem sosial yang dibentuk


setelah konflik cenderung untuk mencari pola baru hubungan antara masyarakat.
Meskipun segregasi sosial, perlahan tapi pasti, orang-orang dari Ambon (Muslim dan
Kristen) mencoba untuk menemukan bentuk-bentuk baru kesadaran tentang
perdamaian. Ini menimbulkan kesadaran praktek-praktek sosial dan interaksi sosial
yang baru, yang lebih terbuka dan inklusif, bahkan dengan energi yang lebih kuat.
Fenomena ini bisa digambarkan sebagai inklusivitas energik yang berfungsi sebagai
model integrasi sosial yang dinamis di Ambon.

246
Pertama, memperkuat semangat energik inklusivitas dalam praktek harmoni
aktif. Secara keseluruhan, dapat dikatakan bahwa nilai-nilai pemahaman agama yang
inklusif secara perlahan tumbuh dan berkembang dalam masyarakat beragama di
Ambon, terutama di kalangan para pemimpin agama yang menyadari pentingnya
membina nilai-nilai inklusivitas dalam mendukung perdamaian. Bahkan pada
kenyataannya, nilai-nilai inklusivitas telah melahirkan model baru dari kerukunan
beragama aktif. Masyarakat tidak hanya mengakui perbedaan dalam masyarakat,
tetapi juga secara aktif berusaha untuk belajar dan meningkatkan solidaritas dalam
kehidupan sosial.

Penggunaan 'harmoni aktif' istilah dalam makalah ini adalah untuk


membedakan wacana umum kerukunan beragama yang telah digunakan oleh negara.
Misalnya, dalam wacana rezim Orde Baru, konsep ini tampaknya menjadi pasif dan
hegemonik. Harmony ditafsirkan hanya tidak mengganggu dan mencampuri urusan
orang dari berbagai agama dan budaya. Jadi, selama era Orde Baru, konsep harmoni
dibatasi oleh kebijakan yang tampaknya represif. Dalam SARA (suku, agama, ras dan
hubungan antar kelompok) kebijakan misalnya, demi harmoni, kita harus tidak
membahas hal-hal mengenai perbedaan. Hal ini jelas melahirkan sikap tertutup
terhadap perbedaan bahkan pada kelahiran harmoni yang diciptakan di permukaan.
Beberapa sosiolog melihat model harmoni Orde Baru sebagai harmoni pasif, dimana
orang-orang hanya tahu ada perbedaan dalam meyakini sesuatu pandangan politik
tapi jelas mereka tidak mengenal perbedaan, karena dianggap sebagai penganggu
stabilitas sosial

Sementara itu, dalam konsep harmoni aktif, tidak hanya menciptakan toleransi
sebagaimana disebutkan di atas, tetapi juga muncul untuk melakukan upaya aktif
untuk dialog bersama dan meningkatkan saling pengertian. Harmony dibangun di atas
kesadaran, pengetahuan dan kepercayaan mereka yang berbeda. Dalam konsep
harmoni aktif, dialog egaliter dan inklusif sangat menonjol, karena orang-orang
didorong untuk mendiskusikan perbedaan dalam upaya untuk belajar dan mengenali
perbedaan. Selain itu, dialog ini bertujuan untuk memahami pandangan menurut

247
pandangan konstruksi sendiri, tidak dari kita. Dalam konteks ini dialog jangka antar
agama, yang sangat penting dalam membangun toleransi, lebih dari sekedar harmoni
pasif.

Konteks kehidupan antar agama di Ambon menunjukkan bahwa nilai-nilai


harmoni yang berkembang aktif yang ditandai dengan munculnya lembaga-lembaga
keagamaan yang melakukan dialog antar agama khususnya di kalangan Gereja
Protestan Maluku, yang secara resmi membuat konsep bagian dialog antar-agama dari
agama layanan. Pendidikan dan pelatihan kurikulum untuk pendeta Kristen di Maluku
mulai menawarkan studi intensif pada dialog antar-agama antara Islam dan Kristen,
dan tidak lagi berfokus pada studi perbandingan agama yang mengandung perspektif
oposisi biner.

Kekuatan masyarakat sipil yang berkembang dalam periode pasca-konflik


juga muncul sebagai kekuatan yang aktif berkampanye untuk model harmoni, seperti
yang ditunjukkan oleh sejumlah teolog dan aktivis yang bergabung dengan agensi
EL-AI-EM. Sejak tahun 2005 sejumlah aktivis lembaga ini telah berfokus pada
konsolidasi dialog publik terkait dengan berbagai masalah sosial, tidak hanya masalah
agama teologis tetapi juga masalah sosial kontemporer seperti HIV / AIDS, Narkoba
dan kekerasan dalam rumah tangga. dialog publik yang diselenggarakan untuk
membangun persepsi bersama pada beberapa isu-isu kontemporer yang bergulir
dalam wacana publik sehari-hari di kota Ambon. Selain itu juga dilakukan berbagai
terbatas pertemuan antar agama, untuk memeriksa dan memetakan perkembangan
situasi keamanan secara berkala. Pemetaan situasi ini kemudian dikirim ke berbagai
pemangku kepentingan, dengan koneksi dan pengaruh dalam masyarakat. Seorang
aktivis dari EL-AI-EM, Wakano Abidin mengatakan bahwa upaya untuk membangun
dialog adalah sebagai cara untuk menumbuhkan sikap toleran dan kehidupan
beragama di Ambon sebagai bagian dari harmoni aktif.

Seperti dijelaskan sebelumnya, peran masyarakat dari berbagai kelompok


agama di acara-acara keagamaan seperti MTQ, Pesparawi dan partisipasi dalam

248
mengamankan rumah-rumah ibadah selama liburan dan Natal adalah bentuk nyata
dari harmoni aktif. Masyarakat tidak hanya bersedia untuk menghormati perbedaan,
tetapi juga terlibat dalam tindakan nyata untuk melembagakan nilai-nilai harmoni
sebagai cara untuk membangun kehidupan yang toleran bersama-sama.

Konsep kerukunan aktif adalah semangat baru keanekaragaman yang sedang


dikembangkan di Ambon meskipun kesulitan untuk mengembangkannya karena
kadang-kadang para aktivis harus berurusan dengan kritik dan gugatan dari kelompok
agama konservatif. Di masa depan, semangat harmoni aktif akan menjadi nilai-nilai
baru dalam semangat warga agama kota Ambon. Di sini dapat dilihat bahwa secara
tidak langsung konflik telah mendorong model agama baru yang jauh lebih progresif
dalam menyikapi perbedaan keyakinan.

Kedua, semangat energik inklusivitas dalam gagasan pluralisme dan


multikulturalisme sebagai bentuk baru kesadaran untuk menciptakan perdamaian di
Kota Ambon. Beberapa institusi lokal di Ambon, seperti LSM, lembaga keagamaan
dan universitas berusaha untuk menginternalisasi wacana pluralisme dan
multikulturalisme dalam kehidupan masyarakat lokal. Mereka menjadikannya sebagai
tema kampanye, slogan atau diskusi agama dan budaya di ruang publik dan, tentu
saja, di dunia akademis. Bahkan, ada universitas yang mengadopsinya secara resmi
sebagai bagian dari visi dan misi mengimplementasikannya dalam program akademik
dan sosial-budaya. Pluralisme digunakan secara terbuka oleh Gereja Protestan
Malaku (GPM) dalam membingkai dialog agama. Pluralisme biasanya dipasangkan
dengan praktek-praktek kearifan lokal sebagai pela dan Gandong. Pada ulang tahun
ke-80 di tahun 2015, GPM dipromosikan tema pluralisme yang dituangkan dalam
teks-teks gereja untuk kampanye publik. Pluralisme dianggap sebagai ekstraksi dari
pengalaman konflik berlarut-larut dan revitalisasi kearifan lokal sebagai media dialog
dalam keberagaman. Lis Marantika dari GPM Maluku menyebutkan bahwa tema
pluralisme dipromosikan oleh Gereja Maluku Protestan sejalan dengan semangat
persaudaraan, pesan agama dan moral dalam Kitab Suci. Apa Lis disebut tentu
memiliki justifikasi empiris ketika melihat seluruh proses transformasi pasca konflik

249
Maluku Gereja Protestan. GPM melanjutkan program untuk mendorong pemahaman
tentang pentingnya sikap pluralis dalam praktek keagamaan di Maluku. Untuk para
pemimpin GPM, Ambon dan Maluku masyarakat dapat membuat pluralisme narasi
baru untuk menyatukan diri dalam keragaman. Proses ini dilakukan melalui dialog
egaliter, dan revitalisasi nilai-nilai kearifan lokal. Selain upaya yang dilakukan oleh
gereja, Universitas Kristen Maluku (UKIM) juga berkampanye diri mereka sebagai
“kampus persaudaraan orang”, yang menurut presiden akan memberikan pengetahuan
untuk semua siswa terlepas dari kelompok agama dan etnis. Pilihan tema “kampus
persaudaraan orang” menekankan pada pentingnya semangat persaudaraan yang
terintegrasi dalam proses pembelajaran di universitas. The UKIM juga meluncurkan
Perdamaian Pusat Studi, yang secara khusus meneliti konflik dan perdamaian di
Maluku.

Sementara itu umat Islam juga terus mengkampanyekan konsep


multikulturalisme sebagai wacana sosial untuk mengekspresikan semangat
persaudaraan. Bahkan Institut Agama Islam (IAIN) Ambon termasuk
multikulturalisme dalam visi utama dan sebagai tema sentral yang membingkai
kegiatan akademik seluruh IAIN Ambon. Multikulturalisme diadopsi dalam
kurikulum akademik dari semua program studi, kegiatan siswa dan kegiatan
akademik lainnya. Sebagai implementasi dari visi multikulturalisme, pada tahun
2015, sejumlah mahasiswa dari Departemen Sosiologi, Fakultas Dakwa dan
Ushuluddin IAIN Ambon dikirim ke siswa magang ke Maluku Gereja Protestan
(GPM). Magang di gereja adalah salah satu terobosan besar yang dibuat dalam
membangun pemahaman dan pengetahuan tentang keragaman dan perbedaan IAIN
siswa. Melalui memahami perbedaan, (oleh pengalaman) siswa diharapkan memiliki
sikap dan karakter yang menghargai perbedaan dan menghindari permusuhan
terhadap kelompok lain yang memiliki kepercayaan yang berbeda.

Mengacu Diana L. Eck (2002), semangat pluralisme yang sedang dibangun di


Ambon dapat mendorong keterlibatan energik dan aktif dalam menghadapi segregasi
dan keragaman. Kesadaran pluralitas akan mendorong dialog agama inklusif untuk

250
berbicara dan mendengarkan, pikiran terbuka dan mempromosikan pemahaman
bersama tentang realitas perbedaan. Melalui kampanye pluralisme dan
multikulturalisme, berbagai kelompok sosial dalam Ambon ingin menemukan cara
untuk membangun saling pengertian dan kerjasama yang lebih baik meskipun fakta
bahwa secara geografis dan sosiologis masyarakat kota Ambon masih tetap dalam
segregasi. Konsep akademik Pluralisme dan Multikulturalisme diharapkan akan
digunakan untuk mengelola perbedaan dan keragaman di Maluku.

TANTANGAN AGAMA RADIKALISME DAN SERUAN IDENTITAS


POLITIK.

Meskipun saya telah menunjukkan berbagai perkembangan positif dalam


integrasi sosial yang dinamis yang terjadi di kota Ambon dan nilai-nilai baru mereka
melekat pada mereka, bersama dengan bahwa masih ada potensi konflik yang perlu
ditangani. Hal ini terutama terkait dengan ancaman radikalisme agama yang terus-
menerus mencari tempat di komunitas potensi konflik, seperti yang terjadi di Ambon.
Demikian pula, ancaman praktek politik identitas cenderung menyoroti fanatisme
primordial yang saat ini gejala umum dari praksis politik di Indonesia. jaringan
radikalisme yang dimaksud dalam tulisan ini adalah fenomena kelompok agama yang
menyebarkan gagasan-gagasan dari masyarakat eksklusif kota Ambon. Pemahaman
radikal bisa datang dari kedua Muslim dan Kristen yang tidak mendukung praktek-
praktek harmoni aktif atau kampanye tentang pluralisme dan multikulturalisme di
Ambon.

Ini perlu diingatkan karena di kalangan umat Islam, jaringan radikal masih
memiliki akar budaya dilembagakan selama konflik di Maluku. Gerakan disebarkan
oleh kelompok-kelompok radikal seperti Jihad pasukan paramiliter masih
meninggalkan basis budaya belakang yang mewarisi pandangan dunia keagamaan
yang cenderung eksklusif. Kelompok-kelompok ini lahir dari mantan kombatan yang
tidak kembali ke rumah. Mereka menetap di Ambon dan membangun gerakan dan
kelompok-kelompok agama yang ternyata berbeda dari gerakan agama yang ada

251
sebelum konflik: Islam moderat. Menurut Badan Nasional Penanggulangan
Terorisme (BNPT) gerakan yang disebut itu sendiri gerakan Salafi yang tidak bisa
dikategorikan sebagai gerakan teroris, meskipun tidak menutup kemungkinan dalam
jangka panjang, hal itu akan menyebabkan eksklusivisme radikal yang keras dan
kaku.

Meskipun tidak terlalu menonjol, di antara orang-orang Kristen juga ada


kelompok agama yang memiliki pandangan keagamaan yang cenderung eksklusif.
Berbeda dengan pemahaman Kristen yang dikembangkan oleh Gereja Maluku
Protestan, kelompok eksklusif Kristen cenderung agresif dan dianggap kurang
toleran. Yance Z. Rumahuru berpendapat bahwa kelompok-kelompok ini berasal dari
kelompok Kristen radikal kelompok Gereja Karismatik dan Gereja Pantekosta yang
biasanya agresif dalam penyebaran misi. dalih mencari domba yang hilang di
Maluku. Bahkan, kadang-kadang mereka juga mata orang-orang Kristen lainnya yang
tidak sepaham. Namun tampaknya bahwa kelompok ini tidak dominan, sehingga
pandangan keagamaan yang kurang dikembangkan dalam wacana agama di Maluku.
Berbeda dengan pemahaman Kristen yang dikembangkan oleh Gereja Maluku
Protestan, kelompok eksklusif Kristen cenderung agresif dan dianggap kurang
toleran. Yance Z. Rumahuru berpendapat bahwa kelompok-kelompok ini berasal dari
kelompok Kristen radikal kelompok Gereja Karismatik dan Gereja Pantekosta yang
biasanya agresif dalam penyebaran misi. dalih mencari domba yang hilang di
Maluku. Bahkan, kadang-kadang mereka juga mata orang-orang Kristen lainnya yang
tidak sepaham. Namun tampaknya bahwa kelompok ini tidak dominan, sehingga
pandangan keagamaan yang kurang dikembangkan dalam wacana agama di Maluku.

Selain radikalisme agama, tantangan lain yang perlu menyadari dalam proses
integrasi sosial dan perdamaian agama di Ambon adalah fenomena politik identitas.
politik identitas pada dasarnya merupakan bagian dari upaya yang dilakukan oleh
komunitas etnis, agama, dan budaya tertentu untuk ditampung dalam sistem politik
lokal. Namun, mengkhawatirkan ketika ditampilkan di Ambon sebagai kota sudah
mulai pulih dari luka-luka konflik berdarah. Fenomena politik identitas bisa

252
membawa kembali sentimen agama dan etnis yang dapat dengan mudah
menyebabkan mobilisasi kekerasan.

Era politik Indonesia kontemporer saat menunjukkan realitas pasti dialami


oleh Indonesia terkait dengan penguatan politik identitas. Agnes Heller (di Abdillah,
2002) diasumsikan politik identitas sebagai politik yang berfokus pada perbedaan
sebagai kategori utama yang menjanjikan kebebasan, toleransi, dan kebebasan untuk
bermain bebas meskipun menimbulkan pola intoleransi, kekerasan dan konflik etnis.
Dalam kasus Indonesia, dan lebih khusus Maluku, godaan politik identitas yang
muncul cenderung membawa etnis, agama dan ideologi politik.

Pola operasional politik identitas ini dapat ditemukan di masyarakat saat ini
ditunjukkan dengan jumlah konflik kepentingan dan fenomena ego sektoral di
Ambon, antara lain: Pertama, operasionalisasi politik identitas memainkan perannya
secara optimal melalui aparat pemerintah . Hal ini sejalan dengan tuntutan identitas
agama dan keseimbangan etnis di birokrasi lokal dan sistem politik. politik identitas
ini diungkapkan oleh isu-isu maraknya etnis dan fenomena primordial dilakukan
melalui isu-isu agama dan etnis di saat-saat penting seperti pemilihan umum dan
pemilihan legislatif. Demikian pula, hal ini juga terjadi ketika berbicara tentang etnis
dan isu-isu imigran, yang dibuat dengan mayoritas dan minoritas. Kedua, dalam
konteks politik identitas di Maluku, hal ini juga memanfaatkan ekspresi beragama
yang mengandung kecenderungan untuk “menghilangkan” kelompok lain yang lebih
sedikit.

Berdasarkan kedua pola operasionalisasi, politik identitas tampaknya


cenderung mendistorsi wawasan agama inklusif yang orang telah mencoba
membangun di Maluku terutama dalam dekade terakhir, di mana jelas kita dapat
menyaksikan upaya peningkatan peran politik dari berbagai kelompok-kelompok
lokal di Ambon terus mengambil setting identitas politik (Dirk Tomsa, 2008). Pilkada
telah memicu praktisi elit dan politik untuk mengkonsolidasikan kepentingan politik
atas nama agama dan etnis yang sebenarnya cukup berbahaya bagi perdamaian.

253
Sebenarnya, penguatan politik identitas melalui representasi kelompok agama dan
etnis dalam alokasi posisi di birokrasi sebagai yang diberlakukan di beberapa kantor
pemerintahan di Ambon, telah entah bagaimana berhasil, dalam jangka pendek,
mengurangi konflik. Meskipun begitu, dalam jangka panjang, ini tidak kondusif
untuk mendukung upaya yang telah tercipta satu dekade ini.

KESIMPULAN

Penelitian ini menunjukkan bahwa meskipun Ambon masih robek dan


dipisahkan berdasarkan identitas agama, Islam dan Kristen, telah terjadi proses positif
karena sistem sosial yang sedang didirikan di Ambon cenderung menumbuhkan
semangat baru dari integrasi sosial yang bisa dibaca sebagai integrasi sosial yang
dinamis. Berkenaan dengan dinamika dalam diskusi, penelitian ini membuat beberapa
poin penting sebagai kesimpulan. Pertama, integrasi sosial yang dinamis yang terjadi
di Kota Ambon berlangsung secara alami, karena tekanan kebutuhan ekonomi yang
membawa orang bersama-sama di tempat seperti pasar. Pada saat yang sama, ada juga
inisiatif untuk merevitalisasi nilai-nilai kearifan lokal sebagai jembatan persaudaraan.
Masyarakat juga digunakan acara keagamaan seperti MTQ dan Pesparawi sebagai
media untuk integrasi sosial sekaligus meningkatkan kerjasama lintas agama semakin
positif. Sementara itu, kepentingan politik yang berbeda diwujudkan melalui upaya
untuk menghidupkan kembali ruang publik seperti pasar, kantor, sekolah, dan toko-
toko kopi yang mengejutkan berkembang di bangun dari konflik. Namun, ada
penguatan keseimbangan politik yang memberikan representasi demi agama dan etnis
dalam alokasi posisi politik dan publik dalam birokrasi dan sistem politik local.

Kedua, perkembangan di Ambon akhir-akhir ini juga menunjukkan semakin


kuatnya energi yang digambarkan dalam model inklusif harmoni aktif, yang ditandai
dengan proses interaksi sosial yang semakin aktif antara pengikut agama, dalam
dialog terbuka dan kondusif.

254
Ketiga, penelitian ini juga mengingatkan kita bahwa meskipun ada proses
integrasi sosial dan pengembangan perdamaian yang semakin positif di Ambon,
orang masih perlu untuk melihat pertumbuhan ideologi agama radikal yang pada
tingkat tertentu masih ada di masyarakat, baik Muslim dan Kristen. Pada saat yang
sama, daya tarik politik identitas yang muncul dalam momentum politik lokal seperti
pemilihan umum dan pemilihan lokal juga harus ditangani dengan hati-hati, karena
secara tidak langsung akan melahirkan sikap primordial dan etnosentris yang
berbahaya bagi perkembangan perdamaian di masa depan.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Irwan ( ed.). 2008. Agama dan Kearifan Lokal dalam Tantangan Global.
Yogyakarta: Sekolah Pascasarjana UGM dan Pustaka Pelajar.
Abdullah, Subair, dkk. 2008. Segregasi Pemukiman Berdasarkan Agama.
Yogyakarta; Graha Guru.
Ahnaf, Mohammad Iqbal. 2013. Mengelola Keragaman dari Bawah, Ko-Eksistensi
Santr-Tionhoa di Lasem Kawa Tengah. Yogyakarta; Sekolah Pascasarjana
UGM.
Azra, Azumardi. 2000. Muslim and Christian Relation in Contemporary
Indonesia,makalah pada Komprensi tentang “Christian and Muslim in The
Commonwealth”,Windsor , Inggris, 6-9 July.
Bertrand, Jacques. 2004. Nationalism anda Ethnic Conflik in Indonesia. Newyork:
Cambridge University Press.
Blau, Peter Michael dan Joseph E. Schwartz. 1984.Crosscutting Social Circles:
Testing a Macrostructural Theory of Interrelation. Orlando: Academic Press.
Bourdieu, Pierre. 1997. Outline of a Theory of Practice. United kindom: : Cambridge
University.
Denzin, N.K. dan YS. Lincoln. 1994. Handbook of Qualitatif Research. California:
Sage Publication.
Ernas, Saidin. 2006. Perjanjian Malino dan Penyelesaian Konflik Maluku.Tesis
Magister pada Program Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia.2012,
Policy of Social Conflict Resolution; Implementation of The Malino
Agreement, Journal of Govermant and Politics, volume 3, Nomor 2, Agustus.

255
Eck,Diana L. 2000. New Religious America; How a Cristian Country has Become
The World Most Religiousy Diversy Nation. New York; The Continum
Internastional Publishing.
Latuconsina, Adam. 2013. Relasi Agama dan Etnik dalam Pendidikan. Yogyakarta;
Kemenag RI-TICI Publication.
Nugroho, Heru, dkk. 1999. Konstruksi Sara, Kemajemukan dan Demokrasi, UNISIA,
No.40/XXII/1999.
Parekh, Biku. 2008. Rethinking Multiculturalism, Keragaman Budaya dan Teori
Politik. Yogyakarta: Kanisius.
Pranawati, Rita (ed.). 2011. Kebebasan Beragama dan Integrasi Sosial. Jakarta:
Center for Study of Religion and Culture (CSRC).
Rauf, Maswadi. 2000.Konsensus Politik Sebuah Penjajagan Teoritik,(Jakarta:
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.)
Ritzer, George. 1992. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Jakarta;
Rajawali Press.
Rozi, Syafuan, dkk. 2006. Kekerasan Komunal; Anatomi dan Resolusi Konflik di
Indonesia.Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan LIPI.
Syamsudin, Nazaruddin. 1989. Integrasi Politik di Indonesia. Jakarta: Gramedia
Tomsa, Dirk. 2008. Electoral Democracy in Devided Society; The 2008 Gibernatorial
Electon in Maluku, Indonesia.Journal of South East Asia Research, 17, 2, pp
229–259.
Varshney, Asutosh. 2003. Etnic Conflict and Civic Life: Hindus and Muslims in
India. New Haven: Yale University.
Yanuarti, Sri, dkk. 2003. Konflik di Maluku Tengah; Penyebab, karakteristik, dan
Penyelesaian Jangka Panjang. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI) Proyek Pengembangan Riset Unggulan/Komepetitif LIPI/Program Isu.

256

Anda mungkin juga menyukai