Anda di halaman 1dari 16

TEORI INTEGRASI “EMILE DURKHEIM”

INTEGRASI VIA MORAL

MAKALAH

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas

Mata Kuliah Integrasi dan Asimilasi

KELOMPOK III

MUHAMMAD RUHIYAT – 1268040006 (2012)

SITI MAISITAH – 1368042004 (2013)

JURUSAN PENDIDIKAN ANTROPOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR


BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Secara umum    suatu masyarakat senantiasa terintegrasi di atas
tumbuhnya konsensus (kesepakatan) di antara sebagian besar anggota masyarakat
tentang nilai-nilai kemasyarakatan yang bersifat fundamental (mendasar). Selain itu
masyarakat terintegrasi karena berbagai anggota masyarakat sekaligus menjadi
anggota dari berbagai kesatuan sosial (cross-cutting affiliation). Setiap konflik yang
terjadi di antara kesatuan sosial dengan kesatuan sosial lainnya akan segera
dinetralkan oleh adanya loyalitas ganda (cross-cutting loyalities) dari anggota
masyarakat terhadap berbagai kesatuan sosial. Menurut Devid Lockwood, consensus
dan konflik merupakan dua sisi dari suatu kenyataan yang sama dan dua gejala yang
melekat secar bersama-sama di dalam masyarakat. Seperti halnya dengan konflik
yang dapat terjadi antar individu, individu dengan kelompok, dan antarkelompok.
Demikian pula halnya dengan consensus, consensus dapat pula terjadi antar individu,
individu dengan kelompok, dan antar kelompok.1
Menurut R. William Liddle, consensus nasional yang mengintegrasikan
masyarakat yang pluralistic pada hakikatnya adalah mempunyai dua tingkatan sebagai
prasyarat bagi tumbuhnya suatu integrasi nasional yang tangguh. Pertama, sebagian
besar anggota suku bangsa bersepakat tentang batas-batas territorial dari negara
sebagai suatu kehidupan politik di mana mereka sebagai warganya. Kedua, apabila
sebagian besar anggota masyarakatnya bersepakat mengenai struktur pemerintah dan
aturan-aturan dari proses politik yang berlaku bagi seluruh masyarakat di atas wilayah
negara yang bersangkutan. Nasikun menambahkan bahwa integrasi nasional yang
kuat dan tangguh hanya akan berkembang di atas consensus nasional mengenai batas-
batas suatu masyarakat poitik dan system politik yang berlaku bagi seluruh
masyarakat tersebut. Kemudian, suatu consensus nasional mengenai “system nilai”
yang akan mendasari hubungan-hubungan social di antara anggota suatu masyarakat
negara.2

1
Untuk keterangan lebih lanjut silahkan baca - Maurice Duverger, Sosiologi Politik. (Jakarta: CV. Rajawali,
1985). Hlm. 24
B. RUMUSAN MASALAH
Dalam penulisan makalah ini, penulis menemukan beberapa masalah yang
akan menjadi acuan untuk membuat selanjutnya. Masalah tersebut akan penulis
selesaikan dengan berbagai usaha yang maksimal. Adapun rumusan masalah yang
dimaksud adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana integrasi secara umum?
2. Bagaimana historisasi Emile Durkheim?
3. Bagaimana pandangan Emile Durkheim mengenai Integrasi?
4. Bagaimana Integrasi Via Moral dari Emile Durkheim?

C. TUJUAN PENULISAN
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Memberikan penjelasan mengenai Teori Integrasi Via Moral dari Emile
Durkheim
2. Memenuhi salah satu tugas mata kuliah Integrasi dan Asimilasi

D. MANFAAT PENULISAN
Manfaat yang dapat diperoleh dari penulisan makalah ini baik bagi penulis
maupun bagi pembaca adalah :
1. Sebagai wahana untuk mengembangkan penulis membuat karya tulis
2. Dapat memotivasi para mahasiswa untuk memahami secara mendalam
mengenai kajian Teori Emile Durkheim : Integrasi Via Moral
3. Dapat menambah pembendaharaan literatur perpustakaan

2
Untuk keterangan lebih lanjut silahkan baca - Maurice Duverger, Sosiologi Politik. (Jakarta: CV. Rajawali,
1985). Hlm. 27
BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN INTEGRASI
Integrasi berasal dari bahasa inggris “integration” yang berarti kesempurnaan
atau keseluruhan. Integrasi dimaknai sebagai proses penyesuaian di antara sistem-
unsur yang saling berbeda dalam kehidupan masyarakat sehingga menghasilkan pola
kehidupan masyarakat yang memilki keserasian fungsi. Dalam KBBI integrasi
diartikan pembauran sesuatu yang tertentu hingga menjadi kesatuan yang utuh dan
bulat. Integrasi sistem adalah proses penyesuaian sistem-unsur yang berbeda dalam
masyarakat sehingga menjadi satu kesatuan. Unsur-unsur yang berbeda tersebut dapat
meliputi ras, etnis, agama bahasa, kebiasaan, sistem nilai dan lain sebagainya.3
Pengertian integrasi sosial menurut salah satu ahli, yaitu menurut
Koentjaraningrat (2009 : 16)  integrasi sebagai suatu pola hubungan yang mengakui
adanya perbedaan ras dalam masyarakat, tetapi tidak memberikan fungsi penting pada
perbedaan pada ras tersebut. Definisi lain mengenai integrasi adalah suatu keadaan di
mana kelompok-kelompok etnik beradaptasi dan bersikap komformitas terhadap
kebudayaan mayoritas masyarakat, namun masih tetap mempertahankan kebudayaan
mereka masing-masing.
Integrasi memiliki 2 pengertian, yaitu :
1. Pengendalian terhadap konflik dan penyimpangan sosial dalam suatu sistem
sosial tertentu
2. Membuat suatu keseluruhan dan menyatukan unsur-unsur tertentu

Sedangkan yang disebut integrasi sosial adalah jika yang dikendalikan,


disatukan, atau dikaitkan satu sama lain itu adalah unsur-unsur sosial atau
kemasyarakatan. Suatu integrasi sosial di perlukan agar masyarakat tidak bubar
meskipun menghadapi berbagai tantangan, baik merupa tantangan fisik
maupun konflik yang terjadi secara sosial budaya. Menurut pandangan para
penganut fungsionalisme struktur sistem sosial senantiasa terintegrasi di atas dua
landasan berikut :
3
Annehira, “Unsur Kebudayaan Dan Integrasi”, diakses dari http://www.anneahira.com/7-unsur-
kebudayaan.htm. Pada tanggal 18 November 2015
1. Suatu masyarakat senantiasa terintegrasi di atas
tumbuhnya konsensus (kesepakatan) di antara sebagian besar anggota
masyarakat tentang nilai-nilai kemasyarakatan yang bersifat fundamental
(mendasar).
2. Masyarakat terintegrasi karena berbagai anggota masyarakat sekaligus
menjadi anggota dari berbagai kesatuan sosial (cross-cutting affiliation).
Setiap konflik yang terjadi di antara kesatuan sosial dengan kesatuan
sosial lainnya akan segera dinetralkan oleh adanya loyalitas ganda (cross-
cutting loyalities) dari anggota masyarakat terhadap berbagai kesatuan
sosial.4

Penganut konflik berpendapat bahwa masyarakat terintegtrasi atas paksaan


dan karena adanya saling ketergantungan di antara berbagai kelompok. Integrasi
sosial akan terbentuk apabila sebagian besar masyarakat memiliki kesepakatan
tentang batas-batas teritorial, nilai-nilai, norma-norma, dan pranata-pranata sosial.

B. SYARAT DAN FAKTOR TERJADINYA INTEGRASI


Menurut  William F. Ogburn dan Meyer Nimkoff, syarat  terjadinya integrasi
sosial adalah :
1. Anggota masyarakat merasa bahwa mereka berhasil saling mengisi
kebutuhan-kebutuhan mereka.
2. Masyarakat berhasil menciptakan kesepakatan (konsensus) bersama
mengenai nilai dan norma
3. Nilai dan norma sosial itu berlaku cukup lama dan dijalankan secara
konsisten.

Adapun faktor yang mempengaruhi cepat atau lambatnya proses integrasi:

1. Homogenitas kelompok, pada masyarakat yang homogenitasnya rendah


integrasi sangat mudah tercapai , demikian sebaliknya.
2. Besar kecilnya kelompok, jumlah anggota kelompok mempengaruhi cepat
lambatnya integrasi karena membutuhkan penyesuaian diantara anggota.
3. Mobilitas geografis, semakin sering anggota suatu masyarakat datang dan
pergi maka semakin mempengaruhi proses integrasi

4
Ibid.
4. Efektifitas komunikasi, semakin efektif komunikasi, maka semakin cepat
integrasi anggota-anggota masyarakat tercapai.5

C. HISTORISASI EMILE DURKHEIM


Emile Durkheim lahir di Epinal, provinsi Lorraine, Perancis Timur pada 15
April 1858. Durkheim boleh disebut sebagai sosiologi Perancis pertama yang
sepanjang hidupnya menempuh jenjang ilmu sosiologi yang paling akademis. Dialah
yang juga memperbaiki metode berfikir sosiologis yang tidak hanya berdasarkan
pemikiran-pemikiran logika filosofis tetapi sosiologi akan menjadi ilmu pengetahuan
yang benar katanya apabila mengangkat gejala sosial sebagai fakta-fakta yang dapat
diobservasi.
...A thing he definite as anything that could be observed. Social phenomena,
he said, must be treated as “things”, If Sociology was to be made a
science.” dan Durkheim pula dengan kukuh menolak interpretasi yang
biologistik dan psikoligistik terhadap masalah-masalah sosial. Itulah
sebabnya Sorokin memasukkan Durkheim masuk ke dalam aliran
sosiologistik (Durkheim dalam Koentjaraningrat 2009: 45)

Dia dilahirkan dalam keluarga agamis namun pada usia belasan tahun minat
terhadap agama lebih akademis daripada teologis. Pada usia 21 tahun Durkheim
diterima di Ecole Normale Superieure setelah sebelumnya gagal dalam ujian masuk.
Di Universitas tersebut dia merupakan mahasiswa yang serius dan kritis, kemudian
pemikiran Durkeim dipengaruhi oleh dua orang profesor di Universitasnya itu
(FustelDe Coulanges dan Emile Boutroux).

Setelah menamatkan pendidikan di Ecole Normale Superieure, Durkheim


mengajar filsafat di salah satu sekolah menengah atas (Lycees Louis-Le-Grand) di
Paris pada tahun 1882 sampai 1887. Kemudian masih pada tahun 1887 (29 tahun)
disamping prestasinya sebagai pengajar dan pembuat artikel dia juga berhasil
mencetuskan sosiologi sebagai disiplin ilmu yang sah di bidang akademik karena
prestasinya itu dia dirgai dan diangkat sebagai ahli ilmu sosial di fakultas pendidikan
dan fakultas ilmu sosial di universitas Bourdeaux.

5
Untuk keterangan lebih lanjut silahkan baca – Soerjono Soekanto, Mengenal tujuh tokoh sosiologi. (Jakarta:
Rajawali Pres, 2011). Hlm. 3-5
Tahun 1893 Durkheim menerbitkan tesis doktoralnya dalam bahasa perancis
yaitu The Division of Labour in Society dan tesisnya dalam bahasa Latin tentang
Montesqouieu. Kemudian tahun 1895 menerbitkan buku keduanya yaitu The Rules of
Sociological Method. Tahun 1896 diangkat menjadi professor penuh untuk pertama
kalinya di Prancis dalam bidang ilmu sosial. Tahun 1897 menerbitkan buku ketiganya
yang berjudul Suicide (Le-Suicide) dan mendirikan L’Anée Sociologique (jurnal
ilmiah pertama tentang Sosiologi). Tahun 1899 Durkheim ditarik ke Sorbonne dan
tahun 1906 dipromosikan sebagai profesor penuh dalam ilmu pendidikan. Enam tahun
keudian (1912) menerbitkan karya keempatnya yaitu The Elementary Forms of
Religious Life. Satu tahun setelahnya (1913) kedudukannya diubah menjadi professor
ilmu Pendidikan dan Sosiologi. Pada tahun ini Sosiologi resmi didirikan dalam
lembaga pendidikan yang sangat terhormat di Prancis. Tahun 1915 Durkheim
mendapat musibah, putranya (Andre) cedera parah dan meninggal. Pada 15 November
1917 (pada usia 59 tahun) Durkheim meninggal sesudah menerima penghormatan dari
orang-orang semasanya untuk karirnya yang produktif dan bermakna, serta setelah dia
mendirikan dasar Sosiologi ilmiah.6

D. EMILE DURKHEIM : INTEGRASI VIA MORAL


Menurut Durkheim, keseluruhan ilmu pengetahuan tentang masyarakat harus
didasarkan pada prinsip-prinsip fundamental yaitu “realitas objektif” dan
“kenyataan/fakta sosial”. Gagasan Durkheim tentang solidaritas dan integritas sosial
sebagai fakta sosial sangat dipengaruhi oleh situasi yang terjadi saat itu. Akibat dari
revolusi Perancis dan kekalahan Perancis dari Prusia, membuat goyah keteraturan
sosial dan situasi politik. Meskipun situasi politik dan sosial goyah, namun revolusi
industri tetap maju, dan membawa perubahan dalam struktur ekonomi, hubungan
sosial, serta orientasi budaya. Dalam bidang pendidikan, terjadi pergeseran
berdasarkan sikap antiklerikal, maka kebanyakan sistim pendidikan Khatolik diganti
dengan sistim pendidikan sekuler. Oleh karena itu, dalam masa peralihan ini,
Durkheim yang tidak bernostalgia dengan keberhasilan masa lalu, merasa perlu untuk
mengembangkan satu alternatif lain pendidikan (secara khusus pendidikan moral).
Durkheim memandang bahwa pendidikan moral merupakan salah hal yang amat
penting untuk memperkuat dasar-dasar masyarakat dan meningkatkan integrasi serta
solidaritas sosialnya.
6
Nazaruddin Sjamsuddin, Integrasi Politik di Indonesia. (Jakarta: Gramedia, 1989) Hlm. 32-36
Berikut adalah beberapa teori-teori Emile Durkheim:
1. Fakta Sosial (The Rule Of Sociological Method) 
Emile Durkheim mengembangkan konsep masalah pokok sosiologi menjadi
penting dan kemudian diujinya melalui studi empiris. Secara singkat, Pokok
bahasan dari sosiologi adalah studi atas fakta sosial. Fakta sosial didefenisikan
sebagai: Fakta sosial adalah seluruh cara bertindak, baku maupun tidak, yang
dapat berlaku pada diri individu sebagai sebuah paksaan eksternal; atau bisa juga
dikatakan bahwa fakta sosial adalah seluruh cara bertindak yang umum dipakai
suatu masyarakat, dan pada saat yang sama keberadaannya terlepas dari
manifestasi-manifestasi individual.
Asumsi dasar dari pendefenisian Durkheim tersebut adalah bahwa gejala
sosial itu riil dan mempengaruhi kesadaran individu serta perilakunya. Gejala
sosial (seperti aturan legal, beban moral, bahasa dan konsensus sosial) sebagai
seuatu yang riil/faktual, maka gejala-gejala tersebut dapat dipelajari dengan
metode-metode empirik. Oleh sebab itu, dimungkinkan untuk dikembangkannya
metode keilmuan dengan gejala/fakta sosial sebagai objek material ilmu tersebut,
yaitu ilmu sosiologi.7
Durkheim membedakan dua tipe ranah fakta sosial:
a. Fakta sosial Material
Fakta sosial material lebih mudah dipahami karena bisa diamati. Fakta
sosial material  tersebut sering kali mengekspresikan kekuatan moral yang
lebih besar dan kuta yang sama-sama berada diluar individu dan memaksa
mereka. Kekuatan moral inilah yang disebut dengan fakta sosial
nonmaterial.
b. Fakta sosial Nonmaterial
Durkheim mengakui bahwa fakta sosial nonmaterial memiliki batasan
tertentu, ia ada dalam fikiran individu. Akan tetapi dia yakin bahwa ketika
orang memulai berinteraksi secara sempurna, maka interaksi itu akan
mematuhi hukumnya sendiri. Individu masih perlu sebagai satu jenis
lapisan bagi fakta sosial nonmaterial, namun bentuk dan isi partikularnya
akan ditentukan oleh interaksi dan tidak oleh individu. Oleh karena itu
dalam karya yang sama Durkheim menulis bahwa hal-hal yang bersifat

7
Untuk keterangan lebih lanjut silahkan baca - Maurice Duverger, Sosiologi Politik. (Jakarta: CV. Rajawali,
1985). Hlm. 68-70
sosial hanya bisa teraktualisasi melalui manusia; mereka adalah produk
aktivitas manusia.
Jenis-jenis fakta sosial nonmaterial:
a. Moralitas
Perspektif Durkheim tentang moralitas terdiri dari dua aspek. Pertama,
Durkheim yakin bahwa moralitas adalah fakta sosial, dengan kata lain,
moralitas bisa dipelajari secara empiris, karena ia berada di luar individu,
ia memaksa individu, dan bisa dijelaskan dengan fakta-fakta sosial lain.
Artinya, moralitas bukanlah sesuatu yang bisa dipikirkan secara filosofis,
namun sesuatu yang mesti dipelajari sebagai fenomena empiris. Kedua,
Durkheim dianggap sebagai sosiolog moralitas karena studinya didorong
oleh kepeduliannya kepada “kesehatan” moral masyarakat modern.
b. Kesadaran Kolektif
Durkheim mendefinisikan kesadaran kolektif sebagai berikut; “seluruh
kepercayaan dan perasaan bersama orang kebanyakan dalam sebuah
masyarakat akan membentuk suatu sistem yang tetap yang punya
kehidupan sendiri, kita boleh menyebutnya dengan kesadaran kolektif atau
kesadaran umum. Dengan demikian, dia tidak sama dengan kesadaran
partikular, kendati hanya bisa disadari lewat kesadaran-kesadaran
partikular” (Annehira, 2011 : http://www.anneahira.com/7-unsur-
kebudayaan.htm. Diakses pada tanggal 18 November 2015).
Ada beberapa hal yang patut dicatat dari definisi ini. Pertama,
kesadaran kolektif terdapat dalam kehidupan sebuah masyarakat ketika
dia menyebut “keseluruhan” kepercayaan dan sentimen bersama. Kedua,
Durkheim memahami kesadaran kolektif sebagai sesuatu terlepas dari dan
mampu menciptakan fakta sosial yang lain. Kesadaran kolektif bukan
hanya sekedar cerminan dari basis material sebagaimana yang
dikemukakan Marx. Ketiga, kesadaran kolektif baru bisa “terwujud”
melalui kesadaran-kesadaran individual.8
Kesadaran kolektif merujuk pada struktur umum pengertian, norma,
dan kepercayaan bersama. Oleh karena itu dia adalah konsep yang sangat
terbuka dan tidak tetap. Durkheim menggunakan konsep ini untuk
menyatakan bahwa masyarakat “primitif” memiliki kesadaran kolektif
8
Ibid.80-81
yang kuat, yaitu pengertian, norma, dan kepercayaan bersama, lebih dari
masyarakat modern.
c. Representasi Kolektif
Contoh representasi kolektif adalah simbol agama, mitos, dan legenda
populer. Semuanya mempresentasikan kepercayaan, norma, dan nilai
kolektif, dan mendorong kita untuk menyesuaikan diri dengan klaim
kolektif. Representasi kolektif juga tidak bisa direduksi kepada individu-
individu, karena ia muncul dari interaksi sosial, dan hanya bisa dipelajari
secara langsung karena cenderung berhubungan dengan simbol material
seperti isyarat, ikon, dan gambar atau berhubungan dengan praktik seperti
ritual (Durkheim dalam Maurice 1985: 81)
d. Arus Sosial
Menurut Durkheim, arus sosial merupakan fakta sosial yang tidak
menghadirkan diri dalam bentuk yang jelas. Durkheim mencontohkan
dengan “dengan luapan semangat, amarah, dan rasa kasihan” yang
terbentuk dalam kumpulan publik.
e. Pikiran Kelompok
Durkheim menyatakan bahwa pikiran kolektif sebenarnya adalah
kumpulan pikiran individu. Akan tetapi pikiran individual tidak secara
mekanis saling bersinggungan dan tertutup satu sama lain. Pikiran-pikiran
individual terus-menerus berinteraksi melalui pertukaran simbol: mereka
megelompokkan diri berdasarkan hubungan alami mereka, mereka
menyusun dan mengatur diri mereka sendiri. Dalam hal ini terbentuklah
suatu hal baru yang murni bersifat psikologis, hal yang tak ada
bandingannya di dunia biasa.9
2. Teori Solidaritas (The Division of Labour in Society)
The Division of Labor in Society adalah karya monumental dari Durkheim
dan merupakan karya sosiologi klasik yang pertama. Di dalamnya Durkheim
memanfaatkan ilmu sosiologi untuk meniliti sesuatu yang disebut sebagai krisis
moralitas. Selama hidupnya, Durkkheim merasa adanya krisis moralitas di
Perancis akibat adanya revolusi Perancis. Revolusi Perancis telah mendorong
orang untuk terpusat pada hak-hak individual, yang merupakan reaksi kontra
terhadap dominasi gereja. Durkheim melihat bahwa krisis moralitas
9
Nazaruddin Sjamsuddin, Integrasi Politik di Indonesia. (Jakarta: Gramedia, 1989) Hlm. 21-25
(individualisme) berakibat pada pembagian kerja yang memaksa individu-
individu tertuntut secara ekonomis dan mengancam moralitas sosial, oleh sebab
itulah dibutuhkan moralitas sosial yang baru. Pada titik ini, Durkheim
memandang bahwa pembagian kerja tersebut dapat berfungsi positif karena pada
akhirnya akan membuahkan solidaritas antara dua orang atau lebih.
Dalam buku ini menerangkan bahwa masyarakat modern tidak diikat oleh
kesamaan antara orang-orang yang melakukan pekerjaaan yang sama, akan tetapi
pembagian kerjalah yang mengikat masyarakat dengan memaksa mereka agar
tergantung satu sama lain. solidaritas menunjuk pada suatu keadaan hubungan
antara individu dan / atau kelompok yang didasarkan pada perasaan moral dan
kepercayaan yang dianut bersama yang diperkuat oleh pengalaman emosional
bersama.10
a. Solidaritas mekanis
Solidaritas mekanis dibentuk oleh hukum represif (pelaku suatu kejahatan atau
perilaku menyimpang akan terkena hukuman, dan hal itu akan membalas
kesadaran kolektif yang dilanggar oleh kejahatan itu). karena anggota
masyarakat jenis ini memiliki kesamaan satu sama lain, dan karena mereka
cenderung sangat percaya pada moralitas bersama, apapun pelanggaran
terhadap system nilai bersama tidak akan dinilai main-main oleh setiap
individu. Pelanggar akan dihukum atas pelanggaranya terhadap system moral
kolektif.  Meskipun pelanggaran terhadap system moral hanya pelanggaran
kecil namun mungkin saja akan dihukum dengan hukuman yang berat.
b. Solidaritas organik
Masyarakat solidaritas organik dibentuk oleh hukum restitutif (ia bertujuan
bukan untuk menghukum melainkan untuk memulihkan aktivitas normal dari
suatu masyarakat yang kompleks).Dimana seseorang yang melanggar harus
melakukan restitusi untuk kejahatan mereka, pelanggaran dilihat sebagai
serangan terhadap individu tertentu atau sekmen tertentu dari masyarakat
bukannya terhadap sistem moral itu sendiri. Dalam hal ini, kurangnya moral
kebanyakan orang tidak melakukan reaksi xecara emosional terhadap
pelanggaran hukum. Durkheim berpendapat masyarakat modern bentuk
solidaritas moralnya mengalami perubahan bukannya hilang. Dalam
masyarakat ini, perkembangan kemandirian yang diakibatkan oleh
10
Ibid. 53-62
perkembangan pembagian kerja menimbulkan kesadaran-kesadaran individual
yang lebih mandiri, akan tetapi sekaligus menjadi semakin tergantung satu
sama lain, karena masing-masing individu hanya merupakan satu bagian saja
dari suatu pembagian pekerjaan sosial dan dinamika penduduk. 11
Pembagian kerja sebagai fakta sosial material diyakini oleh Durkheim mesti
dijelaskan oleh fakta sosial yang lainnya. Durkheim meyakini bahwa
perubahan solidaritas mekanis menjadi solidaritas organis disebabkan oleh
dinamika penduduk. Konsep ini merujuk pada jumlah orang dalam masyarakat
dan banyaknya interaksi yang terjadi di antara mereka. Semakin banyak orang
berarti makin meningkatnya kompetisi memperebutkan sumber-sumber yang
terbatas, sementara makin meningkatnya jumlah interaksi akan berarti makin
meningkatnya perjuangan untuk bertahan di antara komponen-komponen
masyarakat. Peningkatan pembagian kerja seharusnya menyebabkan orang
untuk saling melengkapi, dan bukannya berkonflik satu sama lain. Peningkatan
pembagian kerja menawarkan efisiensi yang lebih baik, yang menyebabkan
peningkatan sumber daya, menciptakan kompetensi di antaranya secara damai.
Masyarakat yang dibentuk oleh solidaritas organis mengarah pada bentuk yang
lebih solid dan lebih individual daripada masyarakat yang dibentuk oleh
solidaritas mekanis. Di sini, Durkheim memberi muatan positif pada
individualitas  yang bukannya menghancurkan keeratan ikatan sosial, tetapi
malahan dibutuhkan untuk memperkuat ikatan tersebut. Dalam masyarakat
organik, ikatan sosial bukan lagi bertumpu pada pemilikan kepercayaan dan
sistem bersama, melainkan pada saling ketergantungan para individu.12
c. Hukum Represif dan Restutif
Fakta sosial material dan fakta sosial nonmaterial sebetulnya saling terkait.
Dalam pembahasan sebelumnya, pembagian kerja dan dinamika penduduk adalah
fakta sosial material dan solidaritas yang terbentuk di dalamnya adalah fakta
sosial nonmaterial. Namun, perhatian Durkheim lebih ditujukan pada fakta sosial
nonmaterial, yakni solidaritas tersebut. Untuk mempelajari fakta sosial
nonmaterial secara ilmiah, sosiolog harus menguji fakta sosial material yang
merefleksikan hakikat dan perubahan fakta sosial nonmaterial. Dalam karya

11
Annehira, “Unsur Kebudayaan Dan Integrasi”, diakses dari http://www.anneahira.com/7-unsur-
kebudayaan.htm. Pada tanggal 18 November 2015
12
Supriadi Torro, dkk. Integrasi Sosial dan Asimilasi. (Makassar: Badan Penerbit UNM, 2014) Hlm.12
monumentalnya tersebut, Durkheim mencoba untuk menkaji perbedaan antara
hukum dalam masyarakat dengan solidaritas mekanis dengan hukum dalam
masyarakat dengan solidaritas organis. Hukum represif membentuk masyarakat
dengan solidaritas mekanis, karena moralitas kolektif yang ada menjadi standar
untuk menghukum. Pada hukum represif ini, pelanggaran terhadap moralitas
bersama akan membuat pelanggar dihukum secara berat. Hukum restitutif
(bersifat memulihkan) membentuk masyarakat dengan solidaritas organis. Dalam
masyarakat seperti ini, pelanggaran dilihat sebagai serangan terhadap individu,
bukan terhadap sistim moral kolektif. Pada masyarakat dengan solidaritas ini,
sistim moral kolektif bergeser maknanya, bukan dihilangkan. Hukum yang
diterapkan didasarkan atas restitusi.13
d. Teori Bunuh Diri
Durkheim memilih studi bunuh diri karena persoalan ini relative merupakan
fenomena konkrit dan spesifik, di mana tersedia data yang bagus cara komparatif.
Akan tetapi, alasan utama Durkheim untuk melakukan studi bunuh diri ini adalah
untuk menunjukkan kekuatan disiplin Sosiologi. Dia melakukan penelitian
tentang angka bunuh diri di beberapa negara di Eropa. Secara statistik hasil dari
data-data yang dikumpulkannya menunjukkan kesimpulan bahwa gejala-gejala
psikologis sebenarnya tidak berpengaruh terhadap kecenderungan untuk
melakukan bunuh diri. Menurut Durkheim peristiwa-peristiwa bunuh diri
sebenarnya merupakan kenyataan-kenyataan sosial tersendiri yang karena itu
dapat dijadikan sarana penelitian dengan menghubungkannya terhadap sturktur
sosial dan derajat integrasi sosial dari suatu kehidupan masyarakat.14
Pentingnya arti solidaritas sosial dalam masyarakat bagi seorang individu
ditunjukkan oleh Durkheim dalam menganalisis tindakan bunuh diri. Tindakan
yang demikian tampak individual, namun tidak dapat dijelaskan melalui cara
individual, karena selalu berhubunganan dengan perkara sosial.
Durkheim tidak memfokuskan diri pada mengapa orang bunuh diri, tetapi
pada mengapa angka bunuh diri dalam satu kelompok (masyarakat) bisa lebih
tinggi dari kelompok (masyarakat) yang lainnya. Kesimpulan Durkheim akan hal
tersebut adalah bahwa faktor terpenting dalam perbedaan angka bunuh diri akan

13
Untuk keterangan lebih lanjut silahkan baca – Soerjono Soekanto, Mengenal tujuh tokoh sosiologi. (Jakarta:
Rajawali Pres, 2011). Hlm. 50-51
14
Nazaruddin Sjamsuddin, Integrasi Politik di Indonesia. (Jakarta: Gramedia, 1989) Hlm. 30-34
ditemukan dalam perbedaan level fakta sosial. Kelompok yang berbeda memiliki
sentimen kolektif yang berbeda sehingga menciptakan arus sosial yang berbeda
pula. Arus sosial itulah yang mempengaruhi keputusan seorang individu untuk
bunuh diri.15

15
Untuk keterangan lebih lanjut silahkan baca – Soerjono Soekanto, Mengenal tujuh tokoh sosiologi. (Jakarta:
Rajawali Pres, 2011). Hlm. 60
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian telah dikemukakan pada bab – bab sebelumnya dalam
makalah ini, maka penulis menulis kesimpulan sebagai berikut :
1. Integrasi berasal dari bahasa inggris “integration” yang berarti kesempurnaan
atau keseluruhan. Integrasi dimaknai sebagai proses penyesuaian di antara
sistem-unsur yang saling berbeda dalam kehidupan masyarakat sehingga
menghasilkan pola kehidupan masyarakat yang memilki keserasian fungsi.
2. Durkheim melihat integrasi melalui moral masyarakat, bahwa di dalam
integrasi terdapat solidaritas. Yaitu solidaritas organik dan solidaritas mekanik.
3. Menurut Emile Durkheim, manusia yang bermoral adalah memenuhi beberapa
kategori berikut:
a. Konsisten dan disiplin
b. Mementingkan kepentingan orang lain
c. Otonom (tidak terpengaruh oleh orang lain)

B. SARAN
Untuk lebih meningkatkan pengetahuan penulis dan pembaca mengenai teori
Emile Durkheim: Integrasi via Moral, penulis memberikan saran – saran sebagai
berikut :
1. Sebagai penulis, hendaknya lebih banyak membaca buku – buku mengenai
Integrasi Sosial, terutama pendapat Emile Durkheim mengenai Integrasi via
Moral guna meningkatkan pengetahuan yang lebih luas.
2. Hendaknya di perpustakaan Universitas Negeri Makassar disediakan buku –
buku acuan mengenai Integrasi Sosial, terutama pendapat Emile Durkheim
mengenai Integrasi via Moral.
DAFTAR PUSTAKA

Annehira. 2014. “Unsur Kebudayaan”. http://www.anneahira.com/7-unsur-kebudayaan.htm.


Diakses pada tanggal 18 November 2015, diposting pada tanggal 5 Januari 2014
Duverger, Maurice. 1985. Sosiologi Politik. Jakarta: CV. Rajawali

Sjamsuddin, nazaruddin.1989. Integrasi Politik di Indonesia. Jakarta: Gramedia

Soekanto, soerjono. 2011. Mengenal Tujuh Tokoh Sosiologi. Jakarta: Rajawali Pres

Prof. Dr. Koentjaraningrat, 2009 Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT. RENIKA CIPTA

Torro, Supriadi, Iwan Gardono S, dan Abdul Rahman. 2014. Integrasi Sosial dan Asimilasi.
Makassar: Badan Penerbit UNM

Anda mungkin juga menyukai