Anda di halaman 1dari 63

BAB I

PENDAHULUAN

Salah satu gangguan jiwa yang menjadi permasalahan kesehatan diseluruh

dunia adalah skizofrenia. Skizofrenia merupakan gangguan mental yang serius

yang berefek pada pikiran, perasaan, dan perilaku manusia. Penderita skizofrenia

mengalami kesulian untuk membedakan hal yang nyata dan imajinasinya, berpikir

secara logis, kesulitan untuk menyampaikan perasaannya, atau berperilaku aneh.1

Orang dengan skizofrenia menunjukan gejala yang beragam dan tidak semua

orang yang didiagnosis dengan skizofrenia memiliki simptom yang sama.2

Skizofrenia sering terjadi pada orang dewasa dan diderita sekitar 26 juta

orang didunia.3 Di Indonesia, indikator kesehatan jiwa yang dinilai pada Riset

Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 antara lain gangguan jiwa berat, gangguan

mental emosional serta cakupan pengobatannya. Jumlah seluruh rumah tangga

yang dianalisis adalah 294.959 terdiri dari 1.027.763 anggota rumah tangga yang

berasal dari semua umur. Rumah tangga yang menjawab memiliki anggoota

rumah tangga dengan gangguan jiwa berat sebanyak 1.655, terdiri dari 1.588

rumah tangga dengan 1 orang anggota rumah tangga, 62 rumah tangga memiliki 2

orang anggota rumah tangga, 4 rumah tangga memiliki 3 anggota rumah tangga,

dan 1 rumah tangga dengan 4 orang anggota rumah tangga yang mengalami

gangguan jiwa berat. Jumlah seluruh responden dengan gangguan jiwa berat

berdasarkan data Riskesdas 2013 adalah sebanyak 1.728 orang. Angka prevalensi

gangguan jiwa menurut provinsi menurut Riskesdas tahun 2013, provinsi

1
Kalimantan Tengah mencatat sebanyak 0,9 % per mil. prevalensi psikosis

tertinggi di DI Yogyakarta dan Aceh (masing-masing 2,7‰), sedangkan yang

terendah di Kalimantan Barat (0,7‰). Prevalensi gangguan jiwa berat nasional

sebesar 1,7 per mil.4

Prevalensi skizofrenia yang menjalani pengobatan dibutuhkan penanganan

yang biasanya melibatkan terapi obat-obatan antipsikotik yang biasanya

diadministrasikan bersama penanganan psikososial dengan tujuan mengurangi

frekuensi kekambuhan dan memperbaiki defisit keterampilan dan kepatuhan

terhadap aturan pemakaian obat. Ketidakpatuhan minum obat menunjukkan

bahwa sebagian besar penderita skizofrenia berhenti memakai obat dari waktu ke

waktu. Sejumlah faktor tampaknya berhubungan dengan ketidakpatuhan pasien

dalam pengobatan, termasuk hubungan dokter atau tim medis lainnya dengan

pasien yang negatif, ongkos pengobatan, efek samping obat yang dirasakan oleh

pasien, lamanya pengobatan, dan dukungan sosial yang buruk dari keluarga

terdekat pasien skizofrenia.5

Melihat prevalensi penduduk Indonesia dengan skizofrenia masih cukup

tinggi, maka penulis ingin mengetahui lebih lanjut mengenai gangguan jiwa

skizofrenia secara lebih dalam mulai dari gambaran klinis hingga pengobatan

skizofrenia. Sehingga untuk kedepannya tulisan ini dapat membantu pembacanya

untuk mengetahui lebih lanjut tentang salah satu gangguan jiwa ini.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sejarah

Skizofrenia telah dikenal sejak zaman peradaban kuno di hampir semua

kebudayaan. Deskripsi tentang gangguan ini tercatat sebelum 2000 SM dibuku

kuno Egyptian Book of Hearts, bagian dari Ebers papyrus. Gejala-gejala

psikologikal dikira muncul dari jantung dan uterus, dan berhubungan dengan

pembuluh darah, racun, atau setan. Deskripsi Hindu (1400 SM) dapat ditemukan

di Atharva Veda, salah satu teks pada agama Hindu. Veda ini berisi hymne dan

mantra dari India kuno. Tertulis bahwa kesehatan merupakan hasil dari

keseimbangan 5 elemen (Butha) dan 3 humor (Dosa) dan ketidakseimbangan

menghasilkan kegilaan. Teks Cina berjudul The Yellow Emperor's Classic of

Internal Medicine, 1000 SM, menjabarkan gejala kegilaan, demensia, dan kejang.

Setan atau keadaan supernatural sering dikira sebagai penyebab tingkah laku

psikotik.6

Plato, penulis abab ke-5 dan ke-4 SM mendukung konsep yang modern

tentang hubungan antara pikiran dan tubuh. Beliau menemukan ide tentang

ketidaksadaran dan proses mental yang tidak berlogika dan menyatakan bahwa

semua orang mempunyai kapasitas pemikiran yang irrasional.Sigmund Freud

kemudian mengambarkan spekulasi Plato untuk mendukung teorinya tentang

proses ketidaksadaran sebagai fondasi gangguan mental, dan Freud juga mengutip

Plato dalam mendukung teorinya.6

3
Hippocrates menyingkirkan ide psikosis karena setan dan menganjurkan

bahwa gangguan seperti epilepsi, kebingungan, dan kegilaan semua berasal dari

otak. Dalam usaha menjelaskan gangguan mental dan fisik, beliau membuat dalil

tentang kehadiran "humors" di tubuh termasuk darah dan empedu. Fungsi mental

dan fisik yang optimal dapat tercapai jika humors ini berada dalam keadaan

seimbang dan harmonis. 6

Emil Kraepelin merupakan orang yang berjasa dalam sejarah modern

psikiatri dalam hal mengidentifikasi skizofrenia. Istilah dasar dari Emil Kraeplin

untuk skizofrenia adalah dementia praecox. Ini berdasarkan dari pengamatannya,

bahwa penyakit pasien berkembang pada umur yang relatif muda (praecox),

ditambah dengan perjalanan penyakit secara kronik dan tidak memiliki secara

jelas akhir dari perjalanan penyakit tersebut (dementia).7

Pada awal tulisannya tahun 1887 Kraepelin menyamakan hebefrenia

dengan dementia praecox dan membedakan dengan katatonia dan dementia

paranoid. Tahun 1898, Kraepelin mempresentasikan paper di Heidelburg berjudul

"The Diagnosis and Prognosis of Dementia Praecox" dan menunjukkan bahwa

berbagai kondisi psikotik ini merupakan satu kesatuan dari seluruh penyakit ini.

Kraepelin berpikir bahwa terdapat suatu gangguan organik yang melandasi

dementia praecox. Pada tahun 1899, di buku Psychiatrie tertulis "...in dementia

praecox, partial damage to, or destruction of, cells of the cerebral cortex must

probably occur, which may be compensated for in some cases, but which mostly

brings in its wake a singular, permanent impairment of the inner life." 7

4
Kraepelin membagi dementia prekoks menjadi 4 subtipe: paranoid,

hebefrenik, katatonik, dan simpleks. Pasien paranoid secara primer ditandai

delusi. Individu dengan hebefrenik terdapat tingkah laku bodoh dan pandir. Tanda

khas dari katatonik berupa gejala motorik dimana terdapat peningkatan tonus otot

dan postur yang menetap. Subtipe simpleks menunjukkan apatis dengan penarikan

diri. 7

Eugen Bleuler merupakan orang pertama mengunakan kata "skizofrenia",

berasal dari kata Yunani "pecah" dan "pikiran". Berbeda dengan kepribadian yang

terpecah, Bleuler mengartikan terpecahnya fungsi psikik. 7

Dia memperkenalkan 4 tanda penting berupa “4 A”,yaitu:

 Afek tumpul

 Asosiasi longgar

 Ambivalensi

 Autisme

Gejala lain dari skizofrenia seperti delusi, halusinasi, katatonia,

negativisme, dan stupor dikenal sebagai gejala sekunder. Bleuler mencatat bahwa

gejala sekunder ini muncul seperti gejala lainnya.7

Kurt Schneider memperkenalkan gejala tingkat pertama dan gejala tingkat

kedua.

Gejala tingkat pertama berupa:

 Mendengar suatu pikiran yang berbicara secara keras

 Halusinasi auditorik yang mengomentari tingkah laku penderita

5
 Thought withdrawal, insertion dan broadcasting

 Halusinasi somatik, atau mengalami pikiran yang terkontrol atau dipengaruhi

oleh alasan luar yang tidak jelas.

Gejala tingkat kedua berupa bentuk halusinasi, depresi, atau suasana

perasaan yang berubah, emosi yang tumpul, kebingungan, dan ide delusi yang

tiba-tiba. Bila gejala tingkat pertama absen, skizofrenia masih dapat didiagnosis

jika terdapat jumlah gejala tingkat kedua yang mencukupi.7

Tahun 1949, American Psychiatric Association bekerja sama dengan New

York Academy of Medicine mulai menetapkan standar sistem diagnosis di

Amerika Serikat. Hasilnya berupa Diagnostic and Statistical Manual of Mental

Disorders (DSM-I), diterbitkan tahun 1952. DSM-II terbit tahun 1968, tetapi tidak

jauh berbeda dengan yang terdahulu. DSM-III terbit tahun 1980, DSM-IV tahun

1994, dan DSM-IV-TR tahun 2000. Edisi ketiga mengalami perubahan yang

sangat besar. Pada DSM-IV, skizofrenia dibagi menjadi 5 subtipe berupa paranoid,

disorganisasi, katatonik, tak terinci, dan residual.6

2.2. Definisi

Skizofrenia berasal dari dua kata, yaitu Skizo yang artinya retak atau pecah

(split), dan Frenia yang artinya jiwa. Dengan demikian, seseorang yang menderita

skizofrenia adalah seseorang yang mengalami keretakan jiwa atau keretakan

kepribadian atau merupakan suatu gangguan psikosomatis, gejala-gejala pada

badan hanya sekunder karena gangguan dasar yang psikogenik atau merupakan

6
manifestasi somatis dari gangguan psikogenik. Skizofrenia biasanya ditandai

dengan adanya perubahan pada persepsi, pikiran, afek, dan perilaku seseorang.6

Dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM-IV)

skizofrenia didefinisikan sebagai sekelompok ciri dari gejala positif dan negatif;

kemampuan dalam fungsi sosial, pekerjaan atau hubungan antar pribadi dan

menunjukan terus gejala-gejala ini selama paling tidak 6 bulan. Sebagai

tambahan, gangguan skizoafektif dan gangguan afek dengan gejala psikotik tidak

didefinisikan sebagai skizofrenia dan juga skizofrenia tidak disebabkan oleh

karena efek langsung karena psikologi dari zat atau kondisi medis.8

Skizofrenia merupakan suatu deskripsi sindrom dengan variasi peenyebab

(banyak belum diketahui) dan perjalanan penyakit (tak selalu bersifat kronis atau

“decorating”) yang luas, serta sejumlah akibat yang bergantung pada

pertimbangan pengaruh genetik, fisik, dan sosial budaya. Pada umumnya ditandai

oleh penyimpangan yang fundamental dan karakteristik dari pikiran dan

persepsi,serta oleh afek yang tidak wajar (inappropiate), tumpul (blunted).

Kesadaran yang jernih dan kemampuan intelektual tetap terpelihara, walaupun

kemunduran kognitif tertentu dapat berkembang kemudian.9

2.3. Epidemiologi

Skizofrenia dapat ditemukan pada semua kelompok masyarakat dan di

berbagai daerah. Insiden dan tingkat prevalensi sepanjang hidup secara kasar

hampir sama di seluruh dunia. Gangguan ini mengenai hampir 1% populasi

dewasa dan biasanya onsetnya pada usia remaja akhir atau awal masa dewasa.10

7
Data WHO tahun 2000 menunjukan prevalensi skizofrenia adalah 0,5%,

sedangkan berdasarkan National Institute of Mental Health, prevalensi skizofrenia

di seluruh dunia adalah sekitar 1,1% dari populasi di atas usia 8 tahun, atau sekitar

51 juta orang di seluruh dunia menderita skizofrenia.11 Jika prevalensi jiwa berat

1% berarti ada 220 000 orang penderita gangguan jiwa di Indonesia dan 10%

(22.000 orang) membutuhkan perawatan di institusi perawatan. Data yang

diperolah dari data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, menunjukkan

prevalensi masyarakat indonesia yang mengalami gangguan mental emosi sebesar

11,6% pada penduduk berusia di atas 15 tahun.12 Jumlah seluruh responden

dengan gangguan jiwa berat berdasarkan data Riskesdas 2013 adalah sebanyak

1.728 orang.4

2.4. Etiologi

Etiologi terjadinya gangguan skizofrenia, dapat disebabkan oleh beberapa

faktor, yakni13:

a. Neuropatologi

Pada abad ke 19, neuropatologist belum bisa menemukan dasar

neuropatologis dari skizofrenia kemudian mereka mengklasifikasikanya

sebagai penyakit fungsional. Pada akhir abad ke 20, ditemukan bukti

bahwa skizofrenia melibatkan langkah dari sistem limbik dan ganglia

basal, termasuk abnormalitas dari korteks serebral, talamus, dan batang

otak. 13

a. Peran sistem limbik

8
Sistem limbik yang berperan dalam pengendalian emosi. Pada

sampel otak skizofrenia postmortem telah ditemukan suatu

penurunan ukuran daerah termasuk amigdala, hipokampus, dan

girus para hipokampus. Karena penurunan ukuran tersebut,

emosi yang timbul sulit untuk di kendalikan.

b. Peran Ganglia basalis

Ganglia basalis terlibat dalam mengendalikan pergerakan.

Pasien skizofrenia mempunyai pergerakan yang aneh (gaya

berjalan kaku, menyeringaikan wajah dan sterotipik) bahkan

tanpa adanya gangguan pergerakan akibat medikasi. Hal ini

dapat terjadi karena sedikitnya neuron-neuron akibat

berkurangnya volume otak terutama didaerah globus pallidus

dan substansia nigra. Selain itu, reseptor dopamine tipe 2 (D2)

meningkat jumlahnya di daerah caudatus, putamen, dan

nucleus accumbens.

c. Lobus frontalis

1) Ganglia basalis berhubungan timbal balik dengan lobus

frontalis, dengan demikian meningkatkan kemungkinan

bahwa kelainan pada fungsi lobus frontalis yang terlihat

pada beberapa pemeriksaan pencitraan otak mungkin

disebabkan oleh patologi di dalam ganglia basalis, bukan

di dalam lobus frontalis itu sendiri.

9
2) Peningkatan aliran darah yang lebih kecil ke korteks

frontalis dorsolateral saat melakukan prosedur aktivasi

psikologis.

3) Penurunan metabolisme glukosa di lobus frontal.

4) Atropi lobus frontalis, berhubungan dengan gejala negatif

skizofrenia.

5) Penurunan volume korteks prefrontal dorsolateral,

sehingga menyebabkan deficit fungsi yang menimbulkan

gejala mimik.

d. Atropi lobus temporal medial bilateral, yaitu girus

parahipokampus, girus hipokampus, dan amigdala

e. Pelebaran ventrikel ketiga dan ventrikel lateral yang stabil dan

kadang terlihat sebelum onset penyakit, sehingga mengurangi

volume otak.

f. Gangguan transmisi neuronal (sirkuit) akibat aliran darah yang

sedikit atau disfungsi traktus thalamocortical, dan penurunan

ukuran corpus callosum yang menimbukan gejala positif dan

negatif, serta gangguan kognitif.

b. Herediter

Seseorang kemungkinan menderita skizofrenia jika anggota

keluarga lainnya juga menderita skizofrenia dan kemungkinan

seseorang menderita skizofrenia adalah berhubungan dengan dekatnya

hubungan persaudaraan tersebut. Beberapa gen yang dijumpai pada

10
penderita skizofrenia, antara lain 1q, 5q, 6p, 6q, 8p, 10p, 13q, 15q, dan

22q. Adanya mutasi gen dystrobrevin DTNBP 1 dan Neureglin 1

berhubungan dengan munculnya gejala negatif pada penderita

skizofrenia. Selain itu, kepribadian schizoid, skizotipal, dan paranoid

memiliki kemungkinan besar dalam timbulnya skizofrenia.13

c. Gangguan anatomik dan Neurodevelopmental

Dicurigai ada beberapa bangunan anatomis di otak berperan

terhadap kejadian skizofren yaitu lobus temporal, sistem limbik dan

reticular activating sistem. Ventrikel penderita skizofrenia juga lebih

besar daripada populasi normal. Pada pemeriksaan Computed

Tomography/ CT-scan pada pasien dengan skizofrenia menunjukan

pembersaran ventrikel lateral dan ventrikel III dibandingkan dengan

orang normal.13

Selain itu hipotesis lain juga menyebutkan bahwa terdapat banyak

kelainan morfologi yang ditemukan pada wajah penderita skizofrenia

seperti mulut, bibir dan dagu yang menyempit dan terdorong

kebelakang, bagian atas wajah, mandibula dan dasar tengkorak lebih

lebar, serta palatum memendek melebar. Kemudian mata, orbita dan

pipi menjadi lebih ke lateral, bagian tepi orbita atas menjadi menonjol,

hidung mengecil, bibir yang tebal, dahi yang rendah, dan bagian tengah

serta wajah bagian bawah yang lebih panjang. Beberapa penulis

menyebutkan bahwa tengkorak pasien skizofrenia berbentuk seperti

brachiosefalika.16

11
d. Teori Biokimia

 Hipotesis dopamin

Rumusan paling sederhana dari hipotesis dopamin menyatakan

bahwa skizofrenia disebabkan dari terlalu banyaknya aktivitas

dopaminergik, sehingga menimbulkan gejal positif. Teori ini

timbul dari pengamatan :

1) Aktivitas antipsikotik dari obat-obat neuroleptik misalnya

fenotiazin bekerja dengan memblokade reseptor dopamin

pasca sinaps (tipe D2).

2) Obat-obat yang meningkatkan aktifitas dopaminergik

misalnya amfetamin akan memperburuk skizofrenia

karena amfetamin melepaskan dopamin sentral.

Teori ini tidak memperinci apakah hiperaktivitas dopaminergik

disebabkan oleh :

1) Terlalu banyak pelepasan dopamin.

2) Terlalu banyak reseptor dopamin.

3) Kombinasi kedua hal di atas.

4) Keterlibatan jalur dopamin di otak yaitu jalur

mesokortikal, jalur tubuloinfundibular, jalur mesolimbik.

 Hipotesis serotonin

Serotonin telah telah mendapat banyak perhatian dalam

penelitian skizofrenia sejak pengamatan bahwa antipsikotik

atipikal mempunyai aktifitas berhubungan dengan serotonin

12
yang kuat misalnya clozapine, risperidone, ritanserin). Secara

spesifik, antagonis pada reseptor serotonin (5-

hidroksitriptamin) tipe 2 (5-HT2) telah disadari penting untuk

menurunkan gejala psikotik dalam menurunkan perkembangan

gangguan pergerakan berhubungan dengan antagonisme-D2.

Seperti yang telah dinyatakan dalam penelitian mengenai

gangguan mood, aktifitas serotonin telah berperan dalam

perilaku bunuh diri dan impulsif yang juga dapat ditemukan

pada pasien skizofrenia. Hipotesa yang lain mengemukakan

bahwa kelebihan serotonin dapat menyebabkan gejala postif

dan gejala negatif skizofrenia.14

 Hipotesis norepinefrin

Beberapa peneliti telah melaporkan bahwa pemberian

antipsikotik jangka panjang menurunkan aktifitas neuron

noradrenergik di lokus cereleus dan bahwa efek terapeutik dari

beberapa antipsikotik mungkin melibatkan aktifitas pada

reseptor adrenergik-1 dan adrenergik-2. Walaupun hubungan

antara aktifitas dopaminergik dan noradrenergik masih belum

jelas, semakin banyak data yang menyatakan bahwa sistem

noradrenergik memodulasi sistem dopaminergik dalam cara

tertentu sehingga kelainan sistem noradrenegik

mempredisposisikan pasien untuk sering relaps.14

 Hipotesis asam amino

13
Neurotransmiter asam amino inhibitor gamma-aminobutyric

acid (GABA) juga telah terlibat dalam patofisiologi skizofrenia.

Data yang tersedia adalah konsisten dengan hipotesis bahwa

beberapa pasien dengan skizofrenia mengalami kehilangan

neuron GABA-ergik di dalam hipokampus. Hilangnya neuron

inhibitor GABA-ergik secara teoritik dapat menyebabkan

hiperaktifitas neuron dopaminergik dan noradrenergik.

Neurotransmiter asam amino eksitasi glutamat telah juga

dilaporkan terlibat dalam dasar biologis untuk skizofrenia.15

 Teori Neuropeptide

Dua zat neuropeptide, cholecystokinin dan neurotensin

ditemukan di berbagai daerah otak penderita skizofrenia.

Konsentrasi zat ini berubah pada keadaan psikosis.13,15

 Teori Glutamat

Pada pasien skizofrenia terdapat inhibisi pelepasan

neurotransmitter glutamate, hal ini penting perannya dalam

menimbulkan gejala akut skizofrenia.13

 Asetilkolin dan Nikotin

Penurunan jumlah reseptor muskarinik dan nikotinik di daerah

caudatus-putamen, hipokampus, korteks prefrontal

menyebabkan kekacauan regulasi sistem neurotransmitter,

sehingga timbul disfungsi kognitif pada pasien skizofrenia.13

14
e. Psikoneuroimunologi

Penurunan produksi interleukin-2 sel T, penurunan jumlah dan

responsivitas limfosit perifer, kelainan pada reaktivitas selular dan

humoral terhadap neuron, dan adanya antibodi yang diarahkan ke

otak (antibrain antibodies) paling banyak dikaitkannya dengan

terjadi skizofrenia13

f. Psikoneuroendokrinologi

Banyak laporan menggambarkan perbedaan neuroendokrin antara

kelompok pasien skizofrenia dan kelompok subyek kontrol normal.

Beberapa data menunjukkan penurunan konsentrasi luteinizing

hormone-follicle stimulating hormone (LH/ FSH), kemungkinan

dihubungkan dengan onset usia dan lamanya penyakit. Dua

kelainan tambahan yang dilaporkan adalah penumpulan pelepasan

prolaktin dan hormon pertumbuhan terhadap stimulasi

gonadotropin releasing hormone (GnRH) atau thyrotropin-releasing

hormone (TRH) dan suatu penumpulan pelepasan hormon

pertumbuhan terhadap stimulasi apomorphine yang mungkin

dikorelasikan dengan adanya gejala negatif.13

Selain teori yang dijelaskan diatas, terdapat teori-teori lain yang

mendukung etiologi terjadinya skizofrenia, yakni:

1. Teori Psikoanalitik

Sigmund Freud mendalilkan bahwa skizofrenia disebabkan oleh

fiksasi dalam perkembangan yang terjadi lebih awal yang

15
menyebabkan perkembangan neurosis. Freud juga mendalilkan

bahwa adanya defek ego juga berperan dalam gejala skizofrenia.

Jadi, konflik intrapsikis yang disebabkan dari fiksasi awal dan

defek ego, yang mungkin disebabkan oleh hubungan objek awal

yang buruk, merupakan awal mula timbulnya gejala psikotik.

2. Teori Psikodinamika

Penelitian pada kembar monozigotik secara berulang menunjukkan

bahwa faktor lingkungan dan psikologis mempunyai kepentingan

dalam perkembangan skizofrenia.

3. Teori Belajar

Menurut ahli teori belajar, anak-anak yang kemudian menderita

skizofrenia mempelajari reaksi dan cara berpikir yang irasional

dengan meniru orangtuanya yang mungkin memiliki masalah

emosionalnya sendiri yang bermakna. Hubungan interpersonal

yang buruk dari orang skizofrenia, menurut teori belajar, juga

berkembang karena dipelajarinya model yang buruk selama masa

anak-anak.17

16
2.5. Patofisiologi

Mekanisme terjadinya skizofrenia adalah sebagai berikut :

Gambar 1. Patofisiologi terjadinya skizofrenia

Faktor genetik dan lingkungan saling berhubungan dalam patofisiologi

terjadinya skizofrenia. Neurotransmitter yang berperan dalam patofisiologi

skizpofrenia adalah DA, 5HT, Glutamat, Peptide, Norepinefrin.18

17
Pada skizofrenia terdapat penurunan aliran darah dan ambilan glukosa

terutama di korteks prefrontalis. Pada pasien tipe II (negativisme) terdapat

penurunan sejumlah neuron dan penurunan jumlah substansia grisea. Selain itu,

migrasi neuron abnormal selama perkembangan otak secara patofisologis juga

sangat bermakna terhadap terjadinya skizofrenia.18

Hiperaktivitas sistem dopaminergik pada skizofrenia (hiperdopaminergia

pada sistem mesolimbik berkaitan dengan gejala positif, dan hipodopaminergia

pada sistem mesokortek dan nigrostriatal bertanggungjawab terhadap gejala

negatif dan gejala ekstrapiramidal) Reseptor dopamin yang terlibat adalah reseptor

dopamine-2 (D2) Peningkatan densitas reseptor D2 tampak pada jaringan otak

pasien skizoprenia. Peningkatan aktivitas sistem dopaminergik pada sistem

mesolimbik akan menyebabkan munculnya gejala positif, sedangkan peningkatan

aktivitas serotonergik akan menurunkan aktivitas dopaminergik pada sistem

mesokortek yang bertanggung-jawab terhadap gejala negatif.18

Gambar 2. Mekanisme terjadinya gejala positif dan negative pada


skizofrenia

18
Berikut merupakan 4 jalur utama dopamin yang berperan terhadap munculnya

gejala-gejala yang terdapat pada skizofrenia:8

a. Jalur nigrostriatal: dari substantia nigra ke basal ganglia → fungsi gerakan,

EPS

b. Jalur mesolimbik : dari tegmental area menuju ke sistem limbik → memori,

sikap, kesadaran, proses stimulus

c. Jalur mesokortikal : dari tegmental area menuju ke frontal cortex → kognisi,

fungsi sosial, komunikasi, respons terhadap stress

d. Jalur tuberoinfendibular: dari hipotalamus ke kelenjar pituitary → pelepasan

prolaktin.

Gambar 3. Sirkuit dopamin

19
2.6 Manifestasi Klinis

Ada tiga gejala utama yang menyertai skizofrenia yaitu gejala positif,

gejala negatif dan gejala kognitif. Gejala positif adalah tindakan yang mulai

membawa dampak bagi lingkungannya, seperti mengamuk dan berteriak-teriak.

Gejala negatif berupa tindakan yang tidak membawa dampak merugikan bagi

lingkungannya, seperti mengurung diri di kamar, melamun, menarik diri dari

pergaulan, dan sebagainya. Tidak ada penampilan atau prilaku yang khas.19

a. Gejala positif meliputi halusinasi, waham, perilaku aneh (cara berpakaian,

perilaku sosial, agresif, perilaku berulang), gangguan pikiran formal positif

(penyimpangan, tangensialitas, inkoherensi, dan lain-lain).

b. Gejala negatif meliputi pendataran afektif, alogia (miskin bicara, kemiskinan

isi bicara, afek yang tidak sesuai), tidak ada kemauan-apatis, anhedonia-

asosialitas, tidak memiliki atensi sosial.

c. Gejala kognitif meliputi miskin ide, sulit fokus dan memusatkan perhatian,

dan sulit dalam mengingat sesuatu yang baru atau sesuatu yang telah

dipelajari.

Menurut Bleuler, gejala-gejala skizofrenia terbagi dalam 2 kelompok yaitu

gejala primer yang meliputi gangguan proses pikir, gangguan emosi, gangguan

kemauan dan autisme. Gejala sekunder skizofrenia meliputi waham, halusinasi

dan gejala katatonik atau gangguan psikomotor yang lain.19

20
a. Gejala primer

- Gangguan proses pikiran, yang terutama terganggu adalah asosiasi.

Gangguannya berupa terdapatnya inkoherensi, pasien cenderung

menyamakan hal, seakan-akan pikiran berhenti, stereotipi pikiran (ide yang

sama berulang-ulang timbul dan diutarakan olehnya).

- Gangguan afek dan emosi (afek dan emosi dangkal, acuh tak acuh terjadap

dirinya), parathimi (yang seharusnya menimbulkan rasa senang, malah

menimbulkan rasa sedih pada pasien), paramimi (penderita senang tapi

menangis), terkadang afek dan emosinya tidak mempunyai satu kesatuan,

emosi yang berlebihan, hilangnya kemampuan untuk mengadakan hubungan

emosi yang baik, dua hal yang berlawanan mungkin terjadi bersama-sama.

- Gangguan kemauan (kelemahan kemauan dengan alasan yang tidak jelas,

negativisme (sikap yang negatif atau berlawanan terhadap suatu permintaan),

ambivalensi kemauan (menghendaki dua hal yang berlawanan pada waktu

bersamaan), otomatisme (penderita merasa kemauannya dipengaruhi orang

lain atau tenaga dari luar, sehingga ia melakukan sesuatu secara otomatis).

- Gejala psikomotor (gejala katatonik yaitu gerakan kurang luwes), bias sampai

stupor (tidak bergerak sama sekali), mutisme, berulang-ulang melakukan satu

gerakan atau sikap, verbigerasi (mengulang-ngulang kata), manerisme

(keanehan cara berjalan dan gaya), gejala katalepsi (bila dalam jangka waktu

lama), flexibilitas cerea (bila anggota gerak dibengkokan terasa ada tahanan

seperti pada lilin, negativisme (melakukan hal berlawanan dengan yang

21
diperintahkan), echolalia (meniru kata-kata yang diucapkan orang lain),

ekhopraxia (meniru perbuatan orang lain).

b. Gejala sekunder

- Waham (waham primer yang timbul secara tidak logis sama sekali, tanpa

penyebab apa-apa dari luar, terdapat hampir patognomonis pada

skizofrenia, waham sekunder biasanya terdengar logis, seperti waham

kebesaran, waham nihilistik, dan lain-lain.

- Halusinasi adalah pencerapan tanpa adanya rangsang apapun pada

pancaindra. Pada skizofrenia halusinasi timbul tanpa penurunan kesadaran.

Paling sering halusinasi auditorik, halusinasi visual jarang, namun bila ada

biasanya pada stadium permulaan.

Macam – macam halusinasi :

a. Halusinasi penglihatan (visual) : Persepsi berkerja salah menyangkut

penglihatan jarang terjadi pada penderita psikotik tapi sering terdapat

pada penderita psikosa organik, biasanya berupa bayangan yang tampak

menakutkan.

b. Halusinasi pendengaran (auditory) : Persepsi bekerja salah pada

pendengaran, paling sering didapat, biasanya berupa kata/kalimat

mengenai diri penderita baik berupa hal buruk, misalnya mengejek,

mengecam atau memerintah.

c. Halusinasi pencium (olfaktori) : Persepsi yang salah pada penciuman,

seiring pada skizofrenis, bau yang tercium biasanya tidak enak/bau

busuk yang merupakan lambang rasa bersalah/dosa.

22
d. Halusinasi peraba (taktil) : Persepsi yang salah pada sentuhan yang

terbentuk dari bagian tubuh berupa sensasi gerakan yang pelan sekali

diatas/dibawah kulit, penderita merasa badannya diraba/ada yang

menjalar di badannya padahal tidak ada, sering pada penderita

skizofrenia dan keracunan kokain.

e. Halusinasi seksual : Termasuk halusinasi raba, penderita merasa dirinya

diperkosa.

f. Pseudohalusinasi : Khas pada skizofrenia, penderita mendengar suara

hati nurani.

g. Halusinasi kinestetik : Merasa badannya bergerak dalam sebuah ruang,

atau anggota badannya bergerak.

h. Halusinasi viseral : Perasaan tertentu yang timbul di dalam tubuhnya.

i. Halusinasi hiponagogik : Terdapat ada kalanya pada orang normal,

tepat sebelum tertidur persepsi sensorik bekerja salah.

j. Halusinasi hipnopompik : Sama seperti halusinasi hiponagogik tetapi

terjadi tepat sebelum terbangun sama sekali dari tidurnya.

k. Halusinasi histerik : Timbul pada nervosa histerik karena konflik

emosional.19

Gejala yang pertama kali tampak adalah gejala postif. Timbulnya gejala

positif ini berbeda pada tiap gender.

23
Perjalanan penyakit skizofrenia terbagi menjadi tiga fase, yaitu:

1. Fase prodromal yaitu fase dimana gejala non spesifik muncul sebelum gejala

psikotik menjadi jelas. Lamanya bisa beberapa minggu, bulan bahkan tahunan.

Gejalanya berupa hendaya pekerjaan, fungsi sosial, perawatan diri, dan

penggunaan waktu luang.

2. Fase aktif yaitu fase dimana gejala psikotik menjadi jelas seperti perilaku

katatonik, halusinasi, delusi, disertai gangguan afek.

3. Fase residual yaitu fase yang gejala nya mirip seperti fase prodromal tetapi

gejala psikotiknya tidak begitu jelas.20

2.7. Klasifikasi Skizofrenia

Skizofrenia diklasifikasikan dalam beberapa jenis, yaitu skizofrenia paranoid,

skizofrenia herbefrenik, skizofrenia katatonik, skizofrenia simplex dan

skizofrenia residual. Berikut ini adalah tipe-tipe skizofrenia. Diagnosis

ditegakkan berdasarkan gejala yang dominan yaitu:19

a. Skizofrenia paranoid

 Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia

 Sebagai tambahan:

- Halusinasi dan/atau waham harus menonjol;

a) Suara-suara halusinasi yang mengancam pasien atau memberi perintah,

atau halusinasi auditorik tanpa bentuk verbal berupa bunyi pluit

(whistling), mendengung (humming), atau bunyi tawa (laughing);

24
b) Halusinasi pembauan atau pengecapan rasa, atau bersifat seksual, atau

lain-lain perasaan tubuh; halusinasi visual mungkin ada tetapi jarang

menonjol;

c) Waham dapat berupa hampir setiap jenis, tetapi waham dikendalikan

(delusion of control), dipengaruhi (delusion of influence), atau

”passivity” (delusion of passivity), dan keyakinan dikejar-kejar yang

beraneka ragam, adalah yang paling khas;

- Gangguam afektif, dorongan kehendak dan pembicaraan, serta gejala

katatonik secara relatif tidak nyata/tidak menonjol.

b. Skizofrenia herbefrenik

Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia.

Diagnosis hebeferina untuk pertama kali hanya ditegakkan pada usia remaja

atau dewasa muda (onset biasanya mulai 15-25 tahun).

Kepribadian premorbid menunjukkan ciri khas; pemalu dan senang

menyendiri (solitary), namun tidak harus demikian untuk menentukan

diagnosis.

 Untuk diagnosis hebeferina yang meyakinkan umumnya diperlukan

pengamatan kontinu selama dua atau tiga bulan lamanya, untuk memastikan

bahwa gambaran yang khas berikut ini memang benar bertahan:

- Perilaku yang tidak betanggung jawab dan tak dapat diramalkan, serta

mannerisme; ada kecenderungan untuk selalu menyendiri (solitary), dan

perilaku menunjukkan hampa tujuan dan hampa perasaan;

25
- Afek pasien dangkal (shallow) dan tidak wajar (inaproproate), sering

disertai oleh cekikikan (giggling) atau perasaan puas diri (self-satisfied),

senyum sendiri (self-absorbed smiling), atau oleh sikap, tinggi hati (lofty

manner), tertawa menyeringai (grimaces), mannerisme, mengibuli secara

bersenda gurau (pranks), keluhan hipokondriakal, dan ungkapan kata yang

diulang-ulang (reiterated phrases);

- Proses pikir mengalami disorganisasi dan pembicaraan tak menentu

(rambling) serta inkohoren.

 Gangguan afektif dan dorongan kehendak, serta gangguan proses pikir

umumnya menonjol. Halusinasi dan waham mungkin ada teta[i biasanya tidak

menonjol (fleeting and fragmentary delusions and hallucinations). Dorongan

kehendak (drive) dan yang bertujuan (determination) hilang serta sasaran

ditinggalkan, sehingga perilaku penderita memperlihatkan ciri khas, yaitu

perilaku tanpa tujuan (aimless) dan tanpa maksud (empty of purpose). Adanya

suatu preokupasi yang dangkal dan bersifat dibuat-buat terhadap agama,

filsafat dan tema abstrak lainnya, makin mempersukar orang memahami jalan

pikiran pasien.

c. Skizofrenia katatonik

Memenuhi kriteria umum untuk diagnosis skizofrenia.

Salah satu atau lebih dari perilaku berikut ini harus mendominasi gambaran

klinisnya:

a) Stupor (amat berkurangnya dalam reaktivitas terhadap lingkungan dan

dalam gerakan serta aktivitas spontan) atau mutisme (tidak berbicara);

26
b) Gaduh gelisah (tampak jelas aktivitas motorik yang tak bertujuan, yang

tidak dipengaruhi oleh stimuli eksternal);

c) Menampilakan posisi tubuh tertentu (secara sukarela mengambil dan

mempertahankan posisi tubuh tertentu yang tidak wajar atau aneh);

d) Negativisme (tampak jelas perlawanan yang tidak bermotif terhadap

semua perintah atau upaya untuk menggerakkan, atau pergerakan ke arah

berlawanan);

e) Rigiditas (mempertahankan posisi tubuh yang kaku untuk melawan upaya

menggerakkan dirinya);

f) Fleksibilitas cerea/ “waxy flexibility” (mempertahankan anggota gerak dan

tubuh dalam posisi yang dapat dibentuk dari luar); dan

g) Gejala-gejala lain seperti “command automatism” (kepatuhan secara

otomatis terhadap perintah), dan pengulangan kata-kata serta kalimat-

kalimat.

 Pada pasien yang tidak komunikatif dengan manifestasi perilaku dari

gangguan katatonik, diagnosis skizofrenia mungkin harus ditunda sampai

diperoleh bukti yang memadai tentang adanya gejala-gejala lain.

Penting untuk diperhatikan bahwa gejala-gejala katatonik bukan petunjuk

diagnostik untuk skizofrenia. Gejala katatonik dapat dicetuskan oleh penyakit

otak, gangguan metabolik, atau alkohol dan obat-obatan, serta dapat juga

terjadi pada gangguan afektif.

27
Gambar 4 Contoh perilaku pasien skizofrenia katatonik

d. Skizofrenia simplex

Diagnosis skizofrenia simpleks sulit dibuat secara meyakinkan karena

tergantung pada pemantapan perkembangan yang berjalan perlahan dan

progresif dari;

- gejala “negatif” yang khas dari skizofrenia residual tanpa didahului

riwayat halusinasi, waham, atau manifestasi lain dari episode psikotik, dan

- disertai dengan perubahan-perubahan perilaku pribadi yang bermakna,

bermanifestasi sebagai kehilangan minat yang mencolok, tidak berbuat

sesuatu, tanpa tujuan hidup, dan penarikan diri secara sosial.

Gangguan ini kurang jelas gejala psikotiknya dibandingkan subtipe

skizofrenia lainnya.

e. Skizofrenia residual

Tipe ini merupakan kategori yang dianggap telah terlepas dari skizofrenia

tetapi masih memperlihatkan gejala-gejala residual atau sisa, seperti

28
keyakinan-keyakinan negatif, atau mungkin masih memiliki ide-ide tidak

wajar yang tidak sepenuhnya delusional. Gejala-gejala residual itu dapat

meliputi menarik diri secara sosial, pikiran-pikiran ganjil, inaktivitas, dan

afek datar.

Skizofrenia jenis ini adalah keadaan kronis dari skizofrenia dengan riwayat

setidaknya satu episode psikotik yang jelas dan gejala-gejala berkembang

kearah gejala negatif yang lebih menonjol seperti keterlambatan

psikomotor, penurunan aktvitas, penumpulan afek, pasif, tidak ada inisiatif,

kemiskinan pembicaraan, ekspresi nonverbal yang menurun, buruknya

perawatan diri dan fungsi sosial.

Perjalanan gangguan skizofrenik juga dapat diklasifikasikan dengan

menggunakan kode lima karakter9 :

 F20.x0 Berkelanjutan

 F20.x1 Episodik dengan kemunduran progresif

 F20.x2 Episodek dengan kemunduran stabil

 F20.x3 Episodek berulang

 F20.x4 Remisi tak sempurna

 F20.x5 Remisis sempurna

 F20.x8 Lainnya

 F20.x9 Periode pengamatan kurang dari satu tahun

29
2.8. Diagnosis Skizofrenia

Diagnosis skizofrenia menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis

Gangguan Jiwa (PPDGJ) diIndonesia yang ke-III sebagai berikut:9

Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya

dua gejala atau lebih bila gejala-gejala itu kurang jelas):

a. thought echo = isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema

dalam kepalanya (tidak keras) dan isi pikiran ulangan walaupun isinya

sama tapi kualitasnya berbeda.

thought insertion or withdrawal = isi pikiran yang asing dari luar masuk

ke dalam pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil keluar oleh

sesuatu dari luar dirinya (withdrawal); dan

thought broadcasting = isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang lain

atau umum mengetahuinya;

b. delusion of control = waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu

kekuatan tertentu dari luar, atau

delusion of influence = waham tentang dirinya dipengaruhi oleh suatu

kekuatan tertentu dari luar

delusion of passivity = waham tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah

terhadap suatu kekuatan dari luar; (tentang dirinya secara jelas merujuk ke

pergerakan tubuh/anggota gerak atau pikiran, tindakan

atau penginderaan khusus);

delusion perception = pengalaman inderawi yang tak wajar, yang

bermakna sangat khas bagi dirinya, biasanya bersifat mistik atau mukjizat;

30
c. Halusinasi auditorik:

 Suara halusinasi yang berkomentar secara terus-menerus terhadap

perilkau pasien, atau

 Mendiskusikan perihal pasien diantara mereka sendiri (diantara

berbagai suara yang berbicara) atau

 Jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh

pasien

d. Waham-waham menetap lainnya yang menurut budaya setempat dianggap

tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal keyakinan agama

atau politik tertentu, atau kekuatan dan kemampuan di atas manusia biasa

- atau yang paling sedikit dua gejala dibawah ini yang harus selalu ada secara

jelas yaitu:

a. Halusinasi yang menetap dari panca indera apa saja, apabila disertai baik

oleh waham yang mengambang maupun yang setengah berbentuk tanpa

kandungan afektif yang jelas ataupun disertai oleh ide-ide berlebihan (over-

valued ideas) yang menetap atau apabila terjadi setiap hari selama

berminggu-minggu atau bahkan berbulan-bulan terus menerus;

b. Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan

(interpolation) yang berakibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak

relavan atau neologisme.

c. Prilaku katatonik seperti keadaan gaduh gelisah (ex-citement), posisi tubuh

tertentu (posturing) atau fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme dan

stupor.

31
d. Gejala-gejala negatif seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang dan

respon emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya

mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunnya kinerja

sosial, tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh

depresi atau medikasi neuroleptika;

- Adanya gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama kurun

waktu satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase non-psikotik

prodromal).

- Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu

keseluruhan (overall quality) dari beberapa aspek prilaku pribadi (personal

behavior), bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak

berbuat sesuatu, sikap larut dalam diri sendiri (self absorbed attitude) dan

penarikan diri secara sosial.

Adapun acuan yang paling banyak digunakan untuk diagnosa skizofrenia

adalah DSM IV (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder, edisi 4).

DSM IV mempunyai kriteria diagnosis dari APA (American Psychiatric

Association) untuk skizofrenia. Seperti pada DSM-III-R, halusinasi maupun

waham tidak diperlukan untuk diagosis skizofrenia karena pasien dapat memenuhi

diagnosis jika mereka memenuhi dua gejala yang dituliskan dalam gejala nomor

tiga sampai lima di dalam kriteria A. Kriteria B menghilangkan kata “pemburukan

deteriortation” di dalam variabel perjalanan skizophrenia di antara pasien-pasien.

Namun demikian kriteria B masih memerlukan gangguan fungsi selama fase aktif

32
penyakit. DSM-IV masih memerlukan gejala minimal 6 bulan dan tidak adanya

diagnosis gangguan skizoefektif atau gangguan mood.21

Kriteria diagnosis schizophrenia berdasarkan DSM IV21

A. Gejala karakteristik: dua (atau lebih berikut), masing-masing ditemukan

untuk bagian waktu yang bermakna selama periode 1 bulan (atau kurang jika

diobati dengan berhasil):

- Waham

- Halusinasi

- Bicara terdisorganisasi (misalnya sering menyimpang atau inkoheren)

- Perilaku terdisorganisasi atau katatonik yang jelas

- Gejala negatif yaitu pendataran afektif, alogia, atau tidak ada kemauan

(avolition)

Catatan: hanya satu gejala kriteria A yang diperlukan jika waham adalah

kacau atau halusinasi terdiri dari suara yang terus menerus mengomentari

perilaku atau pikiran pasien, atau dua atau lebih suara yang saling bercakap

satu sama lainnya.

B. Disfungsi sosial atau pekerjaan: untuk bagian waktu yang bermakna sejak

onset gangguan, satu atau lebih fungsi utama, seperti pekerjaan, hubungan

interpersonal, atau perawatan diri adalah jelas dibawah tingkat yang dipakai

sebelum onset (atau jika onset pada masa anak-anak atau remaja, kegagalan

untuk mencapai tingkat pencapaian interpersonal, akademik atau pekerjaan

yang diharapkan).

33
C. Durasi. Tanda gangguan terus menerus menetap selama sekurangnya 6 bulan.

Periode 6 bulan ini harus termasuk sekurangnya 1 bulan gejala (atau kurang

jika diobati dengan berhasil) yang memenuhi kriteria A (yaitu gejala fase

aktif) dan mungkin termasuk periode gejala prodormal atau residual. Selama

periode prodomal atau residual, tanda gejala mungkin dimanifestasikan hanya

oleh gejala negatif atau dua atau lebih gejala yang dituliskan dalam kriteria A

dalam bentuk yang diperlemah (misalnya keyakinan yang aneh, pengalamam

persepsi yang tidak lazim).

D. Penyingkiran gangguan skizoafektif dan gangguan mood: gangguan

skizoafektif dan gangguan mood dengan ciri psikotik telah disingkirkan

karena:

- Tidak ada episode depresi berat, manik, atau campuran yang telah terjadi

bersama-sama dengan gejala fase aktif, atau

- Jika episode mood telah terjadi selama gejala fase aktif, durasi totalnya

adalah relatif singkat dibandingkan durasi periode aktif dan residual.

E. Penyingkiran zat/kondisi medis umum: gangguan tidak disebabkan oleh efek

fisiologis langsung dari suatu zat (misalnya obat yang disalahgunakan, suatu

medikasi) atau suatu kondisi medis umum.

2.9. Penatalaksanaan

Pengobatan harus segera dilakukan mengingat keadaan psikotik yang lama

menimbulkan kemungkinan penderita lebih besar menuju kepada kemunduran

mental. Terapis diharapkan tidak melihat penderita skizofrenia sebagai penderita

34
yang tidak dapat disembuhkan lagi atau suatu makluk aneh dan inferior, seperti

orang yang menderita lepra zaman dahulu.19

A. Farmakoterapi

Indikasi pemberian obat antipsikotik pada skizofrenia adalah pertama

untuk mengendalikan gejala aktif dan kedua untuk mencegah kekambuhan.19

Efektifitas antipsikotik dalam pengobatan skizofrenia telah dibuktikan

oleh berbagai penelitian buta ganda terkontrol. Untuk antipsikotik tipikal dan

generasi pertama, tidak ada bukti bahwa obat ini lebih baik daripada yang lain

untuk gejala-gejala tertentu. Strategi pengobatan tergantung pada fase penyakit

apakah akut atau kronis. Fase akut biasanya ditandai oleh gejala psikotik (yang

baru dialami atau yang kambuh) yang perlu segera diatasi. Tujuan pengobatan

disini adalah untuk mengurangi gejala psikotik yang parah.

Secara umum antipsikotik sebaiknya dimulai pada dosis rendah. Dosis

tersebut dipertahankan selama 4 - 6 minggu, kecuali terdapat gejala psikotik atau

agresif atau sulit tidur yang parah. Peningkatan dosis yang terlalu cepat akan

meningkatkan risiko terjadinya gejala ekstrapiramidal dan gejala negatif sekunder

tanpa adanya kegunaan dari antipsikotik itu sendiri. Penggunaan obat parenteral

short-acting untuk pasien baru sebaiknya dihindari. Namun terapi dengan obat

long-acting tidak boleh diberikan kecuali pada pasien dengan riwayat tidak

responsive dengan bentuk pengobatan lain. Penggunaan dosis tinggi untuk

pengobatan skizofrenia akut tidak memberikan hasil yang lebih baik dibanding

dengan penggunaan dosis rata-rata. Beberapa studi mengatakan bahwa penundaan

35
pemberian antipsikotik akan memberikan outcome yang lebih buruk, diperkirakan

karena beberapa aspek pada psikosis secara biologis toksik terhadap struktur otak.

Beberapa pasien memberikan respon terhadap antipsikotik dalam minggu

pertama pengobatan atau bahkan pada hari pertama. Kebanyakan akan tidak

memberikan respon dalam 2 – 6 minggu. Namun tidak disarankan untuk

memutuskan obat dan mengganti dengan jenis yang lain sebelum pengobatan

mencapai 4 – 6 minggu, kecuali terdapat efek samping atau gejala ekstrapiramidal

yang tidak sesuai dengan pengobatan.19, 22

Penggunaan beberapa antipsikotik pada waktu bersamaan harus dihindari,

khususnya penggunaan antipsikotik tipikal yang diberikan secara oral dan

parenteral, kecuali pengobatannya memang sedang dialihkan dari intramuscular

menjadi oral terapi. Pada beberapa kasus bila antipsikotik tidak dapat mengontrol

rasa cemas dan agitasi yang berlebihan, penggunaan benzodiazepine dapat

diberikan.22

Antipsikotik dibagi menjadi 2 kelompok besar :22,23,24

a. Antipsikotik klasik (tipikal), terutama efektif mengatasi gejala positif, pada

umumnya dibagi lagi dalam sejumlah kelompok sebagi berikut :

 Derivat-fenotiazin :

Rantai aliphatic : klorpromazin (Largactil)

Rantai piperidin : thioridazin (Melleril)

Rantai piperazin : perfenazin (Trilafon), flufenazin (Anatensol), dan

trifluoperazin (Stelazine)

36
 Derivat-butirofenon : Haloperidol (Haldol, Serenace)

 Derivat-butilpiperidin : Pimozide (Orap)

b. Antipsikotik atipikal, bekerja efektif melawan gejala negatif, yang kebal

terhadap obat klasik. Efek sampingnya lebih ringan, khususnya gangguan

ekstrapiramidal dan dyskinesia tardiv. Dibagi dalam beberapa kelompok yaitu :

 Benzamide : Sulpiride (Dogmatil)

 Dibenzodiazepine :Clozapine (Clozaril), Olanzapine (Zypera),

Quetipine (Seroquel)

 Benzisoxazole : Risperidone (Risperidal), Aripiprazole (Abilify)

Tabel 1. Sediaan obat antipsikotik dan dosis anjuran24


No Nama Generik Nama Dagang Sediaan Dosis
Anjuran
1 Chlorpromazine Largactil (Aventis Tab. 25 mg 150-600
Pharma) 100 mg mg/h
Promactil Tab. 100 mg
(Combiphar)
Meprosetil Tab. 100 mg
(Meprofarm)
Cepezet Tab. 100 mg
(Mersifarma)
2 Haloperidol Serenace (Pfizer- Tab. 0,5 mg 5-15 mg/h
Pharmacia) 1,5 & 5 mg
Liq. 2 mg/ml
Amp. 5 mg/ml
Haldol (Jansen) Tab. 2 mg
5 mg
Govotil (Guardian Tab. 2 mg
Pharmatama) 5 mg
Lodomer Tab. 2 mg
(Mersifarma) 5 mg
Haldol Decanoas Amp. 50 mg/ml 50 mg/2-4
(Jansen) minggu
3 Perphenazine Trilafon Tab. 2 mg 12-24 mg/h
(Schering) 4 & 8 mg
4 Fluphenazine Anatensol (B-M- Tab. 2,5 mg 10-15 mg/h
Squibb) 5 mg

37
Fluphenazine- Modecate (B-M- Vial. 25 mg/ml 25 mg/2-4
decanoate Squibb) minggu
5 Levomepromazine Nozinan (Aventis Tab. 25 mg 25-50 mg/h
Pharma)
6 Trifluoperazine Stelazine (Glaxo- Tab. 1 mg 10-15 mg/h
Smith-Kline) 5 mg
7 Thioridazine Melleril Tab. 50 mg 150-600
(Norvatis) 100 mg mg/h
8 Sulpiride Dogmatil Forte Amp. 50 mg/ml 300-600
(Delagrange) Tab. 200 mg mg/h
9 Pimozide Orap Forte Tab. 4 mg 2-4 mg/h
(Jansen)
10 Risperidone Risperdal (Jansen) Tab. 1,2,3 mg Tab.2-6mg/h
Neripros (Pharos) Tab. 1,2,3 mg
Noprenia (Novell) Tab. 1,2,3 mg
Persidal Tab. 1,2,3 mg
(Mersifarma)
Rizodal (Guardian Tab. 1,2,3 mg
Pharmatama)
Zofreda (Kalbe Tab. 1,2,3 mg
Farma)
11 Clozapine Clozaril Tab. 25 mg 25-100 mg/h
(Novartis) 100 mg
12 Quetiapine Seroquel (Astra Tab. 25 mg 50-400 mg/h
Zeneca) 100 mg
200 mg
13 Olanzapine Zyprexa (Eli Lily) Tab. 5 mg 10-20 mg/h
10 mg

Farmakokinetik obat Antipsikosik

Sebagian besar antipsikosis tidak diabsorpsi secara lengkap setelah

pemberian oral, walaupun preparat cair diabsorpsi dengan lebih efisien

dibandingkan bentuk lain. Risperidone diabsorpsi cepat setelah pemberian oral,

mencapai kadar puncak kira-kira 1 jam setelah pemberian, dan memiliki waktu

paruh plasma kira-kira 24 jam. Kadar stabil remoxipride dicapai setelah kira-kira

2 hari pemberian obat, berbeda dengan antipsikosis lain, dimana gangguan hati

38
dapat memiliki efek klinis yang bermakna, gangguan hati memiliki sedikit

pengaruh pada eliminasi remoxipride. Karena pola metabolisme tersebut, dosis

remoxipride harus diturunkan untuk pasien lanjut usia. Waktu paruh

butyrophenone (haloperidol) dan diphenil-butylpiperidine lebih lama

dibandingkan fenotiazin, dan kecenderungan efek klinis parkinsonisme yang

disebabkan oleh butyrophenone (haloperidol) dan diphenil-butylpiperidine

berlangsung lebih lama dibandingkan yang disebabkan oleh antipsikotik lain.

Sebagian besar obat antipsikotik memiliki ikatan dengan protein plasma, volume

distribusi, dan kelarutan dalam lemak yang tinggi. Obat antipsikotik

dimetabolisme di hati dan mencapai kadar plasma dalam 5 sampai 10 hari.25,26

Farmakodinamik Antipsikosik

Mekanisme kerja obat antipsikosis adalah dihipotesiskan melalui

antagonisme reseptor D2, sehingga mencegah dopamin endogen mengaktivasi

reseptor. Walaupun hipotesis dopamin berlaku untuk semua obat antipsikosis,

tetapi tidak berlaku untuk clozapine yang tampaknya memiliki mekanisme kerja

yang berbeda, kemungkinan melibatkan reseptor D4 atau reseptor 5-HT2 atau

keduanya. Walaupun antagonisme reseptor D2 diperkirakan merupakan inti dari

efek terapeutik risperidone maupun remoxipride, telah dihipotesiskan bahwa

aktivitas antagonis tambahan dari obat tersebut pada reseptor 5-HT2 untuk

rispridone, dan reseptor sigma untuk remoxipride menjelaskan sekurangnya

separuh sifat efek sampingnya yang baik. Sebagian besar efek merugikan

neurologis dan endokrinologi dari antipsikotik juga dapat dijelaskan oleh

penghambatan obat pada reseptor dopamin. Tetapi berbagai antipsikotik juga

39
menghambat reseptor noradrenergik, kolinergik, dan histaminergik, jadi

menyebabkan bervariasinya sifat efek merugikan yang ditemukan pada obat-obat

tersebut.25,26

Pengaturan Dosis

Pemilihan Obat

 Pemilihan jenis obat mempertimbangkan gejala psikosis yang dominan dan

efek samping obat.

 Apabila ada obat yang tidak memberi respons klinis dalam dosis optimal

setelah jangka waktu yang memadai, dapat diganti dengan obat lain dengan

golongan berbeda, dengan dosis ekivalen-nya.

 Apabila gejala negatif lebih menonjol dari gejala positif maka pilihan obat

anti-psikosis atipikal perlu dipertimbangkan, khususnya bagi yang tidak dapat

mentolerir efek samping ekstrapiramidal.

 Dari antara obat yang sesuai terhadap diagnosis tertentu, obat spesifik harus

dipilih menurut riwayat respons obat pasien (kepatuhan, respons terapetik, dan

yang merugikan).

40
Tabel 2. Daftar obat anti-psikotik, tingkat efek samping sedasi, otonom,

dan ekstrapiramidal syndrome24

Anti-psikosis Mg.q Dosis (mg/h) Sedasi Oton Eks.Pr


o
Mik
Chlorpromazine 100 150 600 +++ +++ ++
Thioridazine 100 100 900 +++ +++ +
Perphenazine 8 8 48 + + +++
Trifluoperazine 5 5 60 + + +++
Fluphenazine 5 5 60 ++ + +++
Haloperidol 2 2 100 + + ++++
Pimozide 2 2 6 + + ++
Clozapine 25 25 75 ++++ + -
Levomepromazine 25 50 300 ++++ ++ +
Sulpiride 200 200 1600 + + +
Risperidone 2 2 9 + + +

Dalam pengaturan dosis perlu dipertimbangkan:24

 Onset efek primer (efek klinis) : sekitar 2 – 4 minggu

 Onset efek sekunder (efek samping) : sekitar 2 – 6 jam.

 Waktu paruh : 12 – 14 jam (pemberian obat 1-2 x perhari).

 Dosis pagi dan malam dapat berbeda untuk mengurangi dampak dari efek

samping (dosis pagi kecil, dosis malam lebih besar) sehingga tidak begitu

mengganggu kualitas hidup pasien.

Mulai dengan “dosis awal” sesuai dengan “dosis anjuran”, dinaikkan

setiap 2-3 hari  sampai mencapai “dosis efektif” (mulai timbul peredaran

Sindrom Psikosis)  dievaluasi setiap 2 minggu dan bila perlu dinaikkan 

“dosis optimal” dipertahankan sekitar 8-12 minggu (stabilisasi) diturunkan

setiap 2 minggu  “dosis maintenance”  dipertahankan 6 bulan sampai 2

41
tahun (diselingi “drug holiday” 1-2 hari/minggu)  tapering off (dosis diturunkan

tiap 2-4 minggu) stop.24

Profil Efek Samping

Efek samping obat anti-psikosis dapat berupa:25,27

a. Sedasi dan inhibisi psikomotor (rasa mengantuk, kewaspadaan, berkurang,

kinerja psikomotor menurun, kemampuan kognitif menurun).

b. Gangguan otonomik (hipotensi, antikolinergik/parasimpatolitik : mulut kering,

kesulitan miksi dan defekasi, hidung tersumbat, mata kabur, tekanan

intraokuler meninggi, gangguan irama jantung).

c. Gangguan ekstrapiramidal (distonia akut, akathisia, sindrom parkinson :

tremor, bradikinesia, rigiditas).

d. Gangguan endokrin (amenorrhea, gynecomastia), metabolik (jaundice),

hematoligik (agranulositosis), biasanya pada pemakaian jangka panjang.

Efek samping ini ada yang dapat ditolerir oleh pasien, ada yang lambat

dan ada yang sampai membutuhkan obat simtomatis untuk meringankan

penderitaan pasien. Efek samping dapat juga irreversible seperti tardive

dyskinesia (gerakan berulang involunter pada: lidah, wajah, mulut/rahang, dan

anggota gerak, dimana diwaktu tidur gejala tersebut menghilang. Biasanya terjadi

pada jangka panjang dan pada pasien usia lanjut. Bila terjadi gejala tersebut, obat

antipsikosis perlahan-lahan dihentikan. Obat pengganti antipsikosis yang paling

baik adalah Clozapine 50-100 mg/h.28

42
Pada penggunaan obat antipsikosis jangka panjang, secara periodik harus

dilakukan pemeriksaan laboratorium seperti darah rutin, urin lengkap, fungsi hati,

fungsi ginjal, untuk mendeteksi dini perubahan akibat efek samping obat. Obat

antipsikosis hampir tidak pernah menimbulkan kematian sebagai akibat overdosis

atau untuk bunuh diri.27

Kontraindikasi26:

a. Penyakit hati (hepato-toksik)

b. Penyakit darah (hemato-toksik)

c. Epilepsi (menurunkan ambang kejang)

d. Kelainan jantung (menghambat irama jantung)

e. Febris yang tinggi (thermoregulator di SSP)

f. Ketergantungan alkohol (penekanan SSP meningkat)

g. Penyakit SSP (parkinson, tumor otak dll)

h. Gangguan kesadaran disebabkan “CNS-depressant” (kesadaran makin

memburuk)

A. Antipsikotik tipikal

Obat antipsikotik tipikal disebut juga antipsikotik konvensional atau

antipsikotik generasi 1 (APG-1). Obat antipsikotik tipikal ini memiliki

mekanisme kerja sebagai dopamin reseptor antagonis (DRA). Sejak

ditemukannya klorpromazine (CPZ) pada tahun 1950, pengobatan skizofrenia

mengalami kemajuan. CPZ dan antipsikotik lainnya yang mirip mengurangi

43
gejala positif dari skizofren sampai 70 %, Namun untuk gejala negatifnya,

antipsikotik tipikal memiliki efek yang kurang, begitu juga efek terhadap

gangguan mood dan gangguan kognisinya.29

APG-1 memiliki cara kerja mengurangi aktifitas dopaminergik dengan

cara memblok reseptor D2 dengan pemanjangan inaktifasi mesolimbik dan

dopamine mesokortikal dan dopamine pada badan nigra pada otak, akan

memberikan efek antipsikotik dan ekstrapiramidal. Pemilihan obat antipsikotik

tipikal didasarkan oleh banyak pertimbangan, termasuk adanya preparat obat

long-acting. Obat potensi ringan (dosis maksimal 300 mg/ hari seperti CPZ,

thioridazine, mesoridazine) lebih memiliki efek sedative dan hipotensi

dibanding dengan obat dengan potensi tinggi seperti haloperidol dan

fluphenazine. Obat potensi tinggi dapat mengakibatkan gejala ekstrapiramidal

lebih sering dibanding dengan potensi rendah. Namun kedua obat ini

memberikan efek yang sama dalam mengurangi agitasi.25

Jika pasien memiliki riwayat pengobatan dan tidak terdapat gejala

ekstrapiramidal, obat potensi tinggi seperti haloperidol dan fluphenazine

menjadi pilihan utama. Jika terdapat gejala ekstrapiramidal, obat

antikolinergik seperti benztropine, biperiden atau trihexyphenidyl dapat

digunakan atau dapat diganti obat menjadi obat potensi sedang (seperti

trifluoperazine) atau potensi ringan. Antipsikotik atipikal juga menjadi pilihan

jika terdapat gejala ekstrapiramidal. Gejala ekstrapiramidal yang tidak teratasi

dapat menyebabkan gejala negative dan kurangnya kepatuhan minum obat.

44
a. Chlorpromazine

Chlorpromazine bekerja dengan memblok Dopamin 2 reseptor,

mengurangi gejala positif dari psikosis. Kombinasi dari blokade Dopamin D2,

Histamin H1, dan kolinergik M1 pada pusat muntah dapat mengurangi gejala

mual dan muntah.25

Efek samping dari obat berupa efek samping motorik karena mekanisme

kerjanya memblokade repeptor dopamin 2 di striatum, peningkataan hormon

prolaktin karena berefek pada blokade reseptor dopamin 2 di hipofisis, pada

keadaan penggunaan dosis tinggi dapat menyebabkan perburukan gejala negatif

dan gejala kognitif (neuroleptic-induced deficit syndrome). Efek antikolinergik

menyebabkan sedasi, pandangan kabur, konstipasi, mulut kering. Efek

antihistamin menyebabkan sedasi dan peningkatan berat badan. Dengan

memblokade reseptor alfa 1 adrenergik dapat menyebabkan dizzines, hipotensi,

dan sedasi. 25

Apabila terjadi efek samping, diberikan benztrophine atau

trihexylphenidyl untuk gejala motorik. Dapat juga diberikan amantadine yang

membantu mengurangi efek samping motorik. Benzodiazepines dapat membantu

mengurangi akathisia.25

Cara pemberian obat, apabila diberikan dengan dosis rendah dapat

mengakibatkan efek sedasi lebih kuat dibanding antipsikotik. Pada sediaan ampul

dan vial mengandung sulfites yang dapat memicu alergi terutama pada pasien

asma. Untuk menghentikan obat dilakukan slow down titration (setelah 6-8

45
minggu), penghentian obat oral secara mendadak dapat menyebabkan kambuhnya

gejala psikosis dan memperburuk gejala. Apabila diberikan obat antiparkinson,

harus tetap dilanjutkan selama beberapa minggu meskipun pemberian

chlorpromazine telah dihentikan. Chlorpromazine memiliki waktu paruh 8-33

jam. 25

b. Haloperidol

Haloperidol merupakan obat yang bekerja mengurangi gejala positif

skizofrenia dengan bekerja pada blokade reseptor dopamin 2 dan digunakan

sebagai terapi lini kedua pada gangguan kepribadian berat pada anak, gangguan

bipolar, dan gangguan dementia. Dengan mekanisme kerjanya pada jalur

nigrostriatal, maka haloperidol dapat mengakibatkan tic, dan sindrom Tourette.25

Efek samping haloperidol berupa gangguan motorik, peningkatan prolaktin,

memperburuk gejala negatif dan kognitif dengan pemberian dalam dosis besar,

dizzines, sedasi, dan hipotensi, dan peningkatan berat badan.25

Rata-rata dosis yang biasa digunakan adalah 1-40 mg/hari oral. Dosis awal

oral 1-5 mg/hari, dapat diberikan sekali sehari atau terbagi beberapa dosis. Dosis

maksimal tidak boleh lebih dari 100mg/hari. Pada dosis injeksi, dosis awal 2-5

mg, setelah diberikan terapi injeksi pasien dipertimbangkan untuk diganti dengan

terapi oral. Untuk sediaan haloperidol long acting ( injeksi Deconate), diberikan

dosis awal 10-15 kali dari dosis oral awal pada pasien perawatan dengan dosis

rendah. Dosis diberikan 20 kali lipat dari dosis oral sebelumnya ada pasien

perawatan pada dosis obat antipsikotik yang lebih tinggi. 25

46
Pada dosis yang tinggi haloperidol mengakibatkan/perburukan gejala

negatif sebaliknya pada dosis rendah tidak mampu mengurangi gejala skizofrenia.

Obat haloperidol long-acting memiliki waktu paruh 3 minggu, sedangkan obat

short actng memiliki waktu paruh mencapai 12-38 jam.25

B. Antipsikotik atipikal

Antipsikotik atipikal termasuk, clozapine, risperidone, olanzapine,

quetiapine, dan ziprazidone. Obat golongan atipikal ini lebih menunjukan efek

yang kurang terhadap terjadinya ekstrapiramidal sindrom.25

a. Clozapine

Clozapine bekerja memblok reseptor 2 dopamin sehingga mengurangi

gejala positif dan menstabilkan gejala afektif, bekerja pada reseptor serotonin 2A

sehingga meningkatkan pelepasan dopamin pada daerah otak lain sehingga

menurunkan gejala motorik. Secara spesifik bekerja pada reseptor 5HT2C dan

reseptor 5HT1A yang memberikan efek pada gejala afektif dan gejala kognitif.

Secara teorinya, obat ini diberikan pada pasien lalu diamati hingga 4-6 minggu

untuk menentukan efektifitas obat namun pada praktiknya pasien pasien

memerlukan 16-2 minggu untuk memberikan efek yang baik, terutama pada kasus

treatment-resistant . Waktu paruh dari clozapine adalah 5-16 jam, dimetabolisme

dengan enzim CYP450 dihepar, termasuk 1A2, 2D6, 3A4. 26,28

47
Efek samping dari clozapine adalah sedasi, peningkatan berat badan,

dizzines, hipotensi, mulut kering, konstipasi, dan jarang sekali mengakibatkan

gejala motorik.

b. Risperidon

Risperidon merupakan golongan benzisoxazole. Risperidon memiliki efek

mengurangi gejala positif dan negatif yang lebih baik daripada haloperidol.

Namun tidak terdapat bukti yang menunjukan bahwa risperidon efektif terhadap

pasien yang gagal terapi dengan antipsikotik tipikal. Risperidon juga dapat

meningkatkan fungsi kognitif. 24.25,26

Risperidon mempunyai kecenderungan untuk dapat menyebabkan tardive

diskinesia, sehingga pemakaian risperidon biasanya dalam dosis rendah (4 – 8

mg/hari) namun lebih efektif dibanding dengan obat antipsikotik tipikal dengan

dosis yang sama. Beberapa pasien memberi efek pada dosis 2 mg/hari, namun ada

juga yang memberi respon pada 10 – 16 mg/hari. Pada dosis 2 -4 mg/hari, gejala

ekstrapiramidal biasanya ringan. Risperidon memiliki ikatan pada reseptor D2

yang lebih kuat daripada clozapine.

Risperidon merupakan pilihan untuk pasien yang memberi respon baik

terhadap antipsikotik tipikal yang ditandai dengan penurunan gejala positif,

namun memiliki efek samping gejala ekstrapiramidal dan gejala negatif sekunder.

Risperidon juga efektif untuk menekan tardive diskinesia. Efek samping

risperidon selain gejala ekstrapiramidal adalah akathisia, peningkatan berat badan,

disfungsi seksual, penurunan libido, dan galaktorea. Tidak seperti clozapine,

48
risperidon meningkatkan serum prolaktin. Tidak ada laporan bahwa risperidon

dapat menyebabkan agranulositosis.25,29

c. Olanzapine

Merupakan salah satu obat antipsikotik atipikal yang bekerja memblokade

reseptor dopamin 2 mengurangi gejala positif psikosis dan memstabilkan gejala

afektif. Olanzapine juga memiliki efek memblokade reseptor serotonin 2A

sehingga mengurangi gejala motorik. Secara spesifik memiliki kemampuan untuk

mejadi antagonis pada reseptor 5HT2C memberikan efek pada gejala kognitif dan

afektif pada beberapa pasien. Dosis yang digunakan 10-20 mg/ hari baik oral atau

intramuskular. Dosis awal diberikan 5-10 mg per hari dosis tunggal, dengan

maksimal dosis 20mg/hari. Olanzapine memiliki metabolit yang inactive dan

memiliki waktu paruh 21-54 jam. Olanzapine memiliki struktur yang mirip

dengan clozapin, dan memiliki risiko yang rendah untuk terjadinya gejala

ekstrapiramidal, efektif terutama dalam mengatasi gejala negatif, dan memiliki

efek minimal terhadap prolaktin. Sama seperti clozapine, respon pengobatan dapat

baru terlihat setelah beberapa bulan.29

Olanzapine memberi efek samping gangguan ekstrapiramidal dan tardive

diskinesia yang lebih ringan dibanding haloperidol. Efek samping dari olanzapin

adalah peningkatan berat badan dan sedasi. Efek samping lainnya adalah

mengantuk dan peningkatan kadar transaminase hepar. Apabila terjadi efek

samping gangguan/ gejala motorik dianjutrkan untuk diberikan Benztrophine atau

triheksilfenidil.25

49
d. Quetiapine, Sertindole dan Ziprasidone25,26,29

Ketiga obat tersebut merupakan obat antipsikotik yang dapat memberikan

efek samping gejala ekstrapiramidal lebih rendah. Seperti clozapine, risperidon

dan olanzapin, ketiga obat ini lebih poten terhadap reseptor 5HT antagonis

dibanding dengan D2 antagonis.

Quentiapine merupakan dibenzothiazepine dengan potensi yang kuat

tehadap reseptor 5-HT2, α1, dan H1. Quentiapine juga memiliki kemampuan

memblok yang sedang terhadap reseptor D2 dan kemampuan yang kecil pada

reseptor M. Quetiapine secara cepat diabsorbsi sesudah diminum, mencapai

konsentrasi puncak di plasma dalam waktu 1,5 jam, dimetabolisme oleh hepar.

Dengan waktu paruh 6 jam yang terdapat di dalam batas dosis klinik yang

dianjurkan.25 Dengan dosis 150 – 180 mg/hari dalam 2 – 3 sehari, quetiapine

memberi hasil dalam mengatasi gejala positif dan negatif. Efek samping utama

dari obat ini adalah rasa mengantuk, mulut kering, peningkatan berat badan,

agitasi, konstipasi, dan hipotensi ortostatik.25

Sertindole merupakan golongan imidazolidonone yang memiliki potensi

kuat terhadap reseptor 5-HT2, D2, dan α1. untuk mengurangi gejala positif,

digunakan dosis 12 – 24 mg/hari, setara dengan haloperidol dengan dosis 4 – 16

mg/hari. Sertindole pada dosis 20 – 24 mg/hari memiliki efek lebih besar pada

gejala negatif dibanding dengan haloperidol. Efek samping dari obat ini adalah

sakit kepala, takikardi, pemanjangan interval Q-T, penurunan pompa jantung,

peningkatan berat badan, kongesti nasal, mual, dan insomnia. Sertindole memiliki

masa kerja yang panjang, yaitu 1 – 4 hari, sehingga dapat diberikan sehari 1x.25

50
Ziprasidone memblokade reseptor Dopamin 2, mengurangi gejala positif

dari skizofrenia dan menstabilkan gejala afektif dengan spesifik berinteraksi

dengan reseptor 5HT2C dan reseptor 5HT1A. Obat ini tidak bekerja dengan baik

apabila dipakai dengan obat psikotik golongan atipikal seperti risperidon,

quetiapine, aripiprazole, dan amisulpride. Waktu paruhnya 6,6 jam, dan

dimetabolisme oleh enzim CYP 450 3A4.25

C. Antipsikotik generasi ketiga

Aripiprazole sering diklasfikasikan sebagai antipsikosis generasi kedua

atau golongan atipikal dan digunakan untuk mood stabilizer. Dimetabolisme oleh

CYP240 2D6 dan CYP450 3A4 dengan rerata waktu paruh mencapai 75 jam- 94

jam.25 Namun dewasa dini, terdapat pembedaan mekanisme kerja sehingga obat

ini harus dipisahkan dengan generasi kedua. Aripiprazole memiliki mekanisme

yang unik dibandingkan dengan obat psikotik D2 yang lain. Obat ini merupakan

partial agonis reseptor Dopamin D2 di jalur mesolimbik. Melalui mekanisme ini

dipercaya meningkatkan signal dopamin yang konstan sekitar 35%. Hal ini erat

dihubungkan dengan salah satu penurunan transmisi dopamin atau meningkatkan

dopamin, tergantung dari kerja reseptor ariprazole. Namun bukti lain yang

menunjukan keunggulan aripriprazole masih dalam taraf pengembangan.29

51
Tabel 3. Dosis obat antipsikotik golongan kedua dan ketiga

2.9.2. Terapi Elektro-Konvulsi (TEK)/ Electric Convulsan Theraphy (ECT)29

Seperti juga terapi konvulsi yang lain, cara kerja eletrokonvulsi belum

diketahui dengan jelas. Dapat dikatakan bahwa terapi konvulsi dapat

memperpendek serangan skizofrenia dan mempermudah kontak dengan penderita.

Akan tetapi terapi ini tidak dapat mencegah serangan yang akan datang. Bila

dibandingkan dengan terapi koma insulin, maka terapi elektrokonvulsi lebih

sering terjadi serangan ulang. Akan tetapi, terapi elektrokonvulsi lebih mudah

diberikan, bahaya lebih sedikit, lebih murah, dan tidak memerlukan tenaga yang

khusus seperti pada terapi koma insulin. Terapi elektrokovulsif menunjukkan hasil

yang baik pada skizofrenia katatonik, terutama stupor. Terhadap skizofrenia

52
simplex dan hebefrenik umumnya efeknya mengecewakan, bila gejala hanya

ringan lalu diberi terapi ini kadang-kadang gejala menjadi lebih berat.

Gambar 5. terapi ECT pada pasien skizofrenia.

Pada permulaan (untuk konvulsi yang pertma kali bagi seorang penderita)

biasanya dipakai 100-150 volt dan 0,2-0,3 detik dengan konvulsator jenis pertama

dan 4 J dengan 2-3 detik dengan konvulsator jenis kedua. Bila tidak terjadi

konvulsi, langsung diulangi dengan voltase yang sama, atau bila sudah terputus

beberapa detik lamanya, dengan voltase yang lebih tinggi. Kita dapat

mengulanginya hingga 3 kali, bila tidak terjadi konvulsi, sebaiknya terapi ditunda

sampai esok harinya. Hanya konvulsi umum yang dapat menimbulkan hasil

pengobatan yang diinginkan. Nilai ambang konvulsi berlainan pada penderita

yang berbeda, lebih tinggi pada wanita dan pada usia lanjut. Nilai ambang

konvulsi juga menjadi lebih tinggi sesudah konvulsi pertama.29

53
2.9.3. Psikoterapi

Psikoterapi adalah suatu cara pengobatan terhadap masalah emosional

seorang pasien yang dilakukan oleh seorang yang terlatih dalam hubungan

profesional secar sukarela, dengan maksud hendak menghilangkan, mengubah

atau menghambat gejala-gejala yang ada, mengoreksi perilaku yang terganggu

dan mengembangkan pertumbuhan kepribadian secara positif. Psikoterapi dalam

bentuk psikoanalisis tidak membawa hasil yang diharapkan justru menambah

angka kejadian autisme dan isolasi. Yang dapat membantu penderita adalah

psikoterapi suportif individual atau kelompok, serta bimbingan yang praktis

dengan maksud mengembalikan penderita ke masyarakat. Belakangan ini terapi

dilakukan pada pasien skizofrenia dan memberikan hasil yang menjanjikan.19

Psikoterapi dapat dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu:12

1. Psikoterapi suportif (atau supresif, atau non-spesifik)

Tujuan :

a. Menguatkan daya tahan mental yang ada

b. Mengembangkan mekanisme baru dan yang lebiah baik untuk

mempertahankan kontrol diri.

c. Mengembalikan keseimbangan adaptif (dapat menyesuaikan diri).

Cara-cara psikoterapi suportif yaitu :

 Ventilasi atau katarsis

 Persuasi

54
 Sugesti

 Bimbingan dan Penyuluhan

 Terapi kerja

 Hipno-terapi dan narkoterapi

 Psikoterapi kelompok

 Terapi perilaku

2. Psikoterapi wawasan (genetik-dinamik) dibagi menjadi :

a. Psikoterapi reedukatif, cara-caranya :

 Terapi hubungan antarmanusia

 Terapi sikap

 Terapi wawancara

 Konseling terapeutik

 Terapi kelompok yang reedukatif

 Terapi somatis

b. Psikoterapi rekonstruktif

Cara-cara psikoterapi rekonstruktif :

 Psikoanalisis Freud

 Psikoanalisis non-Freudian

 Psikoterapi yang berpotensi kepada psikoanalisis

1. Terapi perilaku

55
Rencana pengobatan untuk skizofrenia harus ditujukan pada kemampuan

dan kekurangan pasien. Terapi perilaku menggunakan hadiah ekonomi dan

latihan keterampulan sosial untuk meningkatkan kemampuan sosial kemmpuan

memenuhi diri sendiri, latihan praktis, dan komunikasi interpersonal. Perilaku

adaptif adalah didorong dengan pujian atau hadiah yang dapat ditebus untuk

hal-hal yang diharapkan, seperti hak istimewa dan pas jalan di rumah sakit.

Dengan demikian, frekuensi perilaku maladaptif atau menyimpang seperti

berbicara lantang, berbicara sendirian di masyarakat dan postur tubuh yang

aneh dapat diturunkan.12

Latihan keterampilan perilaku seringkali dinamakan terapi keterampilan

sosial, terapi dapat secara langsung membantu dan berguna bagi pasien dan

merupakan tambahan alami terapi farmakologis. Di samping gejala personal

dari skizofrenia, beberapa gejala skizofrenia yang paling terlihat adalah

menyangkut hubungan pasien dengan orang lain, termasuk kontak mata yang

buruk, keterlambatan respon yang tidak lazim, ekspresi eajah yang aneh, tidak

adanya spontanitas dalam situasi sosial, dan persepsi yang tidak akurat atau

tidak adanya persepsi emosi terhadap orang lain. Latihan keterampiln perilaku

melibatkan penggunaan kaset video orang lain dan pasien, permainan simulasi

dalam terapi, dan pekerjaan rumah tetang keterampilan yang telah dilakukan.12

2. Terapi berorientasi keluarga

Karena pasien skizofrenia seringkali dipulangkan dalam keadaan remisi

parsial, keluarga dimana pasien skizofrenia kembali seringkali mendapatkan

manfaat dari terapi keluarga yang singkat tetapi intensif. Pusat dari terapi harus

56
pada situasi segera dan harus termasuk mengidentifikasi dan menghindari

situasi yang kemungkinan menimbulkan kesulitan. Jika masalah memang

timbul pada pasien di dalam keluarga, pusat terapi harus pada pemecahan

masalah secara cepat. Didalam sesion keluarga dengan pasien skizofrenia, ahli

terapi harus mengendalikan intensitas emosional dari sesion. Sejumlah

penelitian telah menemukan bahwa terapi keluarga adalah efektif dalam

menurunkan relaps.12

3. Terapi kelompok

Terapi kelompok bagi skizofrenia biasanya memusatkan pada rencana,

masalah dan hubungan dalam kehidupan nyata. Kelompok mungkin

terorientasi secara perilaku, terorientasi secara psikodinamika atau tilikan, atau

suportif. Terapi kelompok adalah efektif dalam menurunkan isolasi sosial,

meningkatkan rasa persatuan, dan meningkatkan tes realitas bagi pasien dengan

skizofrenia.12

Gambar 6. Terapi berkelompok dengan melakukan kegiatan bersama


berupa senam untuk menghindari isolasi dan autism.

57
4. Psikoterapi individual

Penelitian yang paling baik tentang efek psikoterapi individual dalam

pengobatan skizofrenia telah memberikan data bahwa terapi adalah membantu

dan menambah efek terapi farmakologis. Jenis terapi yang ditelita adalah

psikoterapi suportif dan psikoterpi berorientasi tilikan. Suatu konsep penting

didalam psikoterapi bagi seorang skizofrenia adalah perkembangan suatu

hubungan terapeutik yang dialami pasien sebagai aman. Sekurangnya satu

penelitian menemukan bahwa pasien skizofrenia yang mampu membentuk

iktan terapeutik yang baik kemungkinan akan tetap mengikuti psikoterapi, tetap

patuh dengan medikasinya, dan mempunyai hasil akhir yang baik pada

pemeriksaan follow up dua tahun.12

2.10. Prognosis

Prognosis pasien schizophrenia ditentukan oleh faktor-faktor berikut30:

Tabel 3. Prognosis Skizofrenia

Prognosis Baik Prognosis Buruk

Tidak ada riwayat keluarga yang Ada riwayat keluarga yang menderita

menderita skizofrenia skizofrenia

Perilaku dan personalitas premorbid Perilaku dan personalitas premorbid

yang baik yang buruk (kepribadian skizoid)

Late onset Onset cepat

Sudah menikah Lajang, bercerai atau menjanda

Onset akut Insidious onset (onset tersembunyi)

58
Faktor presipitasi nyata Tak ada faktor presipitasi yang nyata

Gejala kelainan mood terutama kelainan Tanda dan gejala gangguan neurologis

depresif Perilaku autistik, cenderung menarik diri

Gejala positif (Positive symptoms) Gejala negatif (Negative symptoms)

Tidak ada remisi dalam 3 tahun

Sering kambuh

Riwayat trauma perinatal

Dahulu bila diagnosis skizofrenia telah dibuat maka hal ini sudah tidak ada

harapan lagi bagi orang yang bersangkutan, bahwa kepribadiannya selalu akan

menuju kemunduran mental Dan bila seseorang dengan skizofrenia kemudian

menjadi sembuh maka diagnosisnya diragukan.19

Sekarang dengan pengobatan modern, ternyata bila penderita datang

berobat dalam tahu pertama setelah serangan pertama, maka kira0kira sepertiga

dari mereka akan sembuh sempurna (full remision). Sepertiga yang lain dapat

dikembalikan ke masyarakat dalam keadaan yang cacat sedikit dan harus

diperiksa rutin. Yang sisanya memiliki prognosis yang buruk, mereka tidak dapat

berfungsi ke masyarakat dan mengalami kemunduran mental, sehingga menjadi

penghuni tetap Rumah sakit jiwa.

Dengan intervensi dini yang komprehensif, yang antara lain meliputi

pemeberian antipsikotik yang optimal, terapi kognitif perilaku, keterlibatan

keluarga , perawatan dimasyarakat dan manajemen kasus yang baik, angka

kesembuhan skizofrenia dapat ditingkatkan.

59
Untuk menentapkan prognosis, harus dipertimbangkan pokok-pokok

dibawah ini:19

a. Kepribadian psikotik: bila skizoid dan hubungan antar manusia

memang kurang memuaskan maka prognosis lebih jelek

b. Bila skizofrenia itu muncul secara akut, maka prognosisnya lebih baik

daripada muncul secara kronik dan perlahan-lahan

c. Jenis : prognosis jenis katatonik yang paling baik daripada semua

jenis. Sering penderita dengan skizofrenia katatonik sembuh sempurna

dan kembali ke kepribadian presikotik. Kemudian menyusul jenis

paranoid. Banyak dari penderita skizofrenia jenis ini kembali ke

masyarakat.

Skizofrenia jenis hebrefrenik dan skizofrenia simpleks mempunyai

prognosisi yang sama buruk. Biasanya penderita jenis ini mengarah

kepada kemunduran mental.

d. Umur : makin muda umur permulaannya, prognosis semakin buruk

e. Pengobatan : semakin lekas dilakukan pengobatan , maka prognosanya

akan semakin baik.

f. Dikatakan bahwa bila terdapat faktor pencetus, seperti penyakit

badaniah atau stres psikologis maka prognosisnya lebih baik

g. Faktor keturunan: prognosis menjadi lebih berat bila didalam keluarga

terdapat seseorang yang juga menderita penyakit skizofrenia.19

60
Untuk menjawab pertanyaan dapatkah penderita skizofrenia kembali

seperti semula, sebaiknya ditunggu sampai pengobatan berjalan beberapa bulan

tergantung pada keadaan inilah kemudian dianjurkan pasien dapat ditempatkan

pada pekerjaan sebelum sakit, pindah kebagian lain yang tanggung jawabnya

lebih kurang, atau mungkin harus menyesuaikan diri dengan pekerjaan yang jauh

lebih sederhana.

61
BAB III

PENUTUP

Skizofrenia merupakan salah satu masalah kesehatan dunia hingga saat ini.

Skizofrenia adalah gangguan mental atau kelompok gangguan yang ditandai oleh

kekacauan dalam bentuk dan isi pikiran (contohnya delusi atau halusinasi), dalam

mood (contohnya afek yang tidak sesuai), dalam perasaan dirinya dan

hubungannya dengan dunialuar serta dalam hal tingkah laku. Menurut DSM-IV,

adapun klasifikasi untuk skizofenia yakni subtipe paranoid,terdisorganisasi

(hebefrenik), katatonik, tidak tergolongkan dan residual. Untuk istilah skizofrenia

simpleks dalam DSM-IV adalah gangguan deterioratif sederhana.

Gejala Karakteristik skizofrenia : dua (atau lebih) berikut, masing-masing

ditemukan untuk bagian waktu yang bermakna selama periode 1 bulan

 Waham

 Halusinasi

 Bicara terdisorganisasi (misalnya sering menyimpang atau

inkoheresi)

 Perilaku terdisorganisasi atau katatonik yang jelas

 Gejala negatif yaitu pendataran afektif, alogia, atau tidak

ada kemauan (avolition).

Penatalaksanaan pasien schizophrenia menggunakan model

multimodalitas yang menggabungkan psikofarmaka dan psikoterapi.

Psikofarmaka dapat digunakan antipsikotik tipikal maupun atipikal. Untuk

62
psikoterapi membutuhkan keterlibatan individu, tenaga kesehatan, keluarga dan

lingkungan yang mendukung kesembuhan pasien

Prognosis pasien baik ditentukan oleh riwayat keluarga tentang gangguan

mood/afektif, perilaku dan personalitas premorbid yang baik, sudah menikah,

onset akut, gejala kelainan mood terutama kelainan depresif, gejala positif

(positive symptoms) , sistem pembantu (support systems) yang baik.

63

Anda mungkin juga menyukai