Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN SEMESTER PRAKTIKUM

MANAJEMEN LADANG TERNAK/PADANG PENGGEMBALAAN

OLEH
FIONA GITA SAFITRI
E10016123
B.5

FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS JAMBI
2018
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.


Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang mana berkat
rahmat dan hidayahnya penulis dapat menyelesaikan laporan semester praktikum
“Manajemen Ladang Ternak/Padang Penggembalaan” ini tepat pada waktunya.
Shalawat dan salam juga tak henti-hentinya penulis haturkan kepada Nabi besar
Muhammad SAW karena berkat beliaulah penulis dapat berada dalam dunia yang
penuh dengan ilmu pengetahuan seperti sekarang ini.
Rasa terima kasih juga penulis ucapkan sebesar-besarnya kepada dosen
pengampu matakuliah “Manajemen Ladang Ternak/Padang Penggembalaan”
karena berkat matakuliah ini, penulis mendapatkan ilmu pengetahuan mengenai
manajamen padang penggembalaan baik secara teori maupun lapang. Tak lupa,
penulis juga mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan satu kelompok yang
telah bekerjasama dengan baik selama praktikum ini berlangsung.
Penulis menyadari bahwa penulisan laporan ini akan jauh dari kata
sempurna, maka dari itu, penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya apabila
terdapat kesalahan dalam menulis laporan ini karena sesungguhnya pengetahuan
yang dimiliki penulis juga masih jauh dari kata sempurna.
Akhir kata, Wassalamualaikum Wr. Wb.

Jambi, 18 November 2018

Fiona Gita Safitri

i
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR ................................................................................ i
DAFTAR ISI ............................................................................................... ii
DAFTAR TABEL ....................................................................................... iii
BAB I: PENDAHULUAN .......................................................................... 4
1.1. Latar Belakang ............................................................................... 4
1.2. Tujuan............................................................................................. 6
1.3. Manfaat ........................................................................................... 6
BAB II: TINJAUAN PUSTAKA................................................................ 7
2.1. Komposisi Botani (Kapasitas Tampung) ....................................... 7
2.2. Pastura ............................................................................................ 8
2.3. Defoliasi ......................................................................................... 9
2.4. Nodul .............................................................................................. 11
BAB III: MATERI DAN METODA .......................................................... 12
3.1. Tempat dan Waktu ......................................................................... 12
3.2. Materi ............................................................................................. 12
3.3. Metode............................................................................................ 12
BAB IV: HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................... 14
4.1. Komposisi Botani (Kapasitas Tampung) ....................................... 14
4.2. Pastura ............................................................................................ 15
4.3. Defoliasi ......................................................................................... 16
4.4. Nodul .............................................................................................. 18
BAB V: PENUTUP .................................................................................... 19
5.1. Kesimpulan .................................................................................... 19
5.2. Saran ............................................................................................... 19
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

ii
DAFTAR TABEL

Tabel Halaman
1. Komposisi botani ............................................................................. 14
2. Kalibrasi bobot hijauan .................................................................... 14
3. Defoliasi ........................................................................................... 16

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pakan merupakan salah satu faktor penting dalam usaha pemeliharaan dan
peningkatan produktivitas ternak. Disamping pengaruh yang besar terhadap
produktivitas ternak, pakan juga merupakan biaya yang terbesar dalam usaha
pemeliharaan ternak dimana biaya pakan dapat mencapai 60%-80% dari
keseluruhan biaya produksi. Oleh sebab itu, kualitas dan ketersediaannya harus
terus menerus terjaga sehingga dapat memenuhi kebutuhan hidup pokok,
produksi, dan reproduksi. Kecukupan pakan ternak yang dipelihara merupakan
tantangan yang cukup serius dalam pengembangan peternakan di Indonesia.
Indikasi kekurangan pasokan pakan dan nutrisi ialah masih rendahnya tingkat
produksi ternak yang dihasilkan.
Pakan merupakan faktor yang sangat penting diperhatikan dalam usaha
budidaya ternak karena mempengaruhi tinggi rendahnya produksi ternak. Pakan
utama (pokok) ternak ruminansia adalah hijauan yang dapat berupa rumput-
rumputan maupun legume. Sekitar 60 sampai 90 persen dari total ransum yang
dikonsumsi ternak ruminansia berupa hijauan. Oleh karenanya, ketersediaan
pakan hijauan dalam jumlah yang cukup dengan kualitas yang baik merupakan
syarat yang harus dipenuhi dalam meningkatkan produksi ternak ruminansia.
Salah satu sumber pakan hijauan yang penting adalah padang penggembalaan
alami. Pemanfaatan padang penggembalaan alami sebagai sumber pakan sudah
lama dilakukan oleh peternakan kecil (peternakan rakyat) di pedesaan. Untuk
memperoleh pakan hijauan bagi ternak yang dipeliharanya, peternak
menggembalakan ternaknya pada padang penggembalaan alami yang berada di
sekitar tempat tinggal peternak. Pada kenyataannya, sistem pemeliharaan ternak
ruminansia dengan cara tersebut cenderung menghasilkan produksi yang relatif
rendah.
Hijauan pakan merupakan semua pakan sumber serat kasar yang berasal
dari tumbuh-tumbuhan, khususnya bagian yang berwarna hijau. Tidak semua
tanaman hijauan pakan dapat tumbuh baik di setiap tempat, tetapi dengan

4
pengolahan tanah yang baik dan benar, kemampuan tanah untuk tempat tumbuh
dan berkembangnya hijauan pakan dapat tercapai secara optimal dan akan
meningkatkan produktifitas hijauan pakan tersebut. Hijauan pakan terdiri dari
rumput alam dan leguminosa. Rumput alam (lokal) adalah jenis rumput yang
sudah lama beradaptasi dengan tanah dan iklim di Indonesia, rumput ini
mempunyai produksi dan kualitas yang rendah dan sering dijumpai di sekitar
lingkungan tempat tinggal kita.
Rumput Setaria merupakan salah satu pakan yang sangat penting untuk
dikembangkan karena penggunaannya sebagai padang pengembalaan dan rumput
potong serta kandungan gizinya yang sangat baik bagi kebutuhan ternak. Kadar
nitrogen yang terdapat pada Rumput Setaria bervariasi tergantung pada umur
tanaman. Pada tanaman muda kadar nitrogen diatas 3% dan pada tanaman dewasa
dibawah 1%. Kadar nutrisi antara satu kultivar dengan kultivar lainnya berbeda,
hal ini disebabkan perbedaan waktu berbunga. Rumput Setaria merupakan rumput
yang dapat beradaptasi baik terhadap tanah asam dengan kesuburan rendah dan
tahan yang terkena genangan air (Reksohadiprodjo, 1985).
Rumput raja (Pennisetum purpureum x Pennisetum thypoides) merupakan
salah satu jenis hijauan unggul untuk pakan ternak ruminansia. Rumput raja
memiliki produksi biomassa yang tinggi, kualitas nutrisi yang baik serta daya
adaptasi lingkungan yang cukup tinggi. Rumput raja merupakan hasil persilangan
antara Pennisetum purpureum dengan Pennisetum thypoides (Rukmana 2005).
Pertumbuhan dan produksi rumput raja dipengaruhi oleh kondisi dan jenis tanah,
dosis pupuk, dan kondisi cuaca.
Rumput raja dapat tumbuh dengan baik pada dataran rendah hingga
dataran tinggi (1 500 m dpl), menyukai tanah yang subur dan curah hujan di atas 1
000 mm tahun -1 , serta memiliki penyebaran yang merata sepanjang tahun.
Rumput raja berpotensi sebagai sumber hijauan pakan dan sumber biomassa.
Potensi rumput raja sebagai sumber biomassa dapat dikembangkan untuk biofuel.
Biofuel adalah bahan bakar terbarukan yang berupa padatan, cairan, atau gas
bakar yang berasal dari biomassa (Hattori dan Morita 2010).

5
1.2. Tujuan

Tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui komposisi botani pada
padang penggembalaan serta kapasitas tampungnya, keadaan pastura, pengaruh
defoliasi (pemotongan) terhadap pertumbuhan rumput setaria serta mengetahui
kecocokan tanah dengan bakteri Rhizobium sehingga munculnya nodul.

1.3. Manfaat

Manfaat dari praktukum ini adalah para praktikan (dalam hal ini
mahasiswa) dapat mengetahui dan mendapatkan pengalaman baru mengenai
komposisi botani disebuah pastura kemudian mengetahui jarak pemotongan yang
tepat agar tidak mengganggu pertumbuhan tanaman pakan serta kecocokan tanah
terhadap bakteri Rhizobium.

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Komposisi Botani (Kapasitas Tampung)

Menurut Marga (2016) komposisi botani adalah proporsi suatu spesies


tanaman terhadap seluruh tanaman yang tumbuh bersamanya. Indonesia memiliki
iklim tropis yang terdiri dari dua musim yaitu musim kemarau dan musim hujan
sehinga perubahan komposisi botani hijauan sangat dipengaruhi oleh kondisi
lingkungan seperti kesuburan tanah, ketersediaan air, dan naungan (cahaya).
Komposisi botani dan kuantitas hijauan sangat berpengaruh terhadap kapasitas
tampung ternak.
Menurut Susetyo (1980) komposisi botani adalah angka yang digunakan
menentukan penilaian secara kualitas terhadap padang rumput/padang
penggembalaan yang dapat mempengaruhi aktifitas ternak.
Menurut Reksohadiprodjo (1985) kapasitas tampung adalah kemampuan
suatu padang penggembalaan untuk menghasilkan hijauan pakan yang dibutuhkan
oleh sejumlah ekor ternak yang digembalakan dalam luasan satu hektar. Kapasitas
tampung dinyatakan dalam AU (animal unit) atau satuan/unit ternak (ST/UT).
Keadaan stocking rate optimum adalah sangat ideal dalam suatu peternakan
karena pertumbuhan ternak dan produksi hijauan pakan berada pada keadaan yang
optimum.
Menurut Susetyo (1980), kemampuan berbagai padang rumput dalam
menampung ternak berbeda-beda karena adanya perbedaan atau variasi dalam hal
kesuburan tanah, curah hujan dan penyebarannya, topografi dan hal lainnya.
Taksiran atau estimasinya didasarkan pada jumlah hijauan pakan tersedia.
Perhitungan estimasi kapasitas tampung didasarkan atas produksi tumbuhan yang
tergolong pakan hijauan yang dapat dikonsumsi oleh ternak. Produktivitas hijauan
berhubungan erat dengan kapasitas tampung pada suatu areal padang
penggembalaan ternak. Makin tinggi produktivitas hijauan maka makin tinggi
pula kapasitas tampung yang ditunjukkan dengan banyaknya ternak yang dapat
digembalakan (Rekspohadiprodjo 1985).

7
Menurut McIllroy (1977), kapasitas tampung untuk daerah tropika
berkisar diantara 2-7 UT/ha/tahun yang pengukurannya didasarkan pada
persentase bahan kering hijauan.
Menurut Siam (2012) analisa komposisi botani diperlukan untuk
mengetahui kondisi pastura yang dapat mempengaruhi produksi dan kualitas
hijauan yang dihasilkan. Analisis komposisi botani dapat dilakukan secara manual
dengan melihat secara langsung yang ada di suatu pastura. Namun hal ini tentu
akan menjadi masalah dalam menentukan akurasi jenis botani dan waktu yang
diperlukan untuk melihat kondisi botani dan waktu yang diperlukan untuk melihat
kondisi botani yang ada secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan metode
analisis komposisi botani hijauan makanan ternak yang cepat dan tepat.

2.2. Pastura

Dalam bahasa Inggris, hal-hal yang berkaitan dengan penggembalaan


disebut pastoral. Ekosistem ini terdiri atas peternak (pastoralist) dan hewan ternak.
Adapun padang penggembalaan disebut ekosistem pastoral (Iskandar, 2001).
Lebih lanjut dijelaskan bahwa masyarakat peternak (pastoralist society)
merupakan bagian integral yang sangat penting dalam ekosistem pastoral ini.
Berbagai aktifitas peternak itu mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungan
sekitarnya.
Mannetje (1978) mendefinisikan padang rumput sebagai suatu ekosistem
sumber pakan hijauan untuk ternak ruminansia. Kata ekosistem dalam pengertian
ini mengandung arti bahwa manusia berkepentingan dengan seluruh komponen-
komponen sistem padang rumput seperti tanah, tanaman, faktor-faktor iklim
pendukungnya serta ruminansia yang pakannya bergantung pada padang rumput
itu secara langsung atau tidak langsung. Ketergantungan ruminansia terhadap
padang rumput terjadi secara langsung pada sistem ekstensif dimana ternak
merumput (grazing) pada padang rumput. Sedangkan pada sistem intensif dimana
pemberian pakan dilakukan secara cut and carry maka ternak tidak berinteraksi
langsung dengan padang rumputnya.
Padang penggembalaan merupakan sumber penyedia hijauan yang lebih
ekonomis dan murah serta dapat secara langsung dikonsumsi oleh ternak atau

8
hewan bahkan satwa liar. Areal ini secara tidak langsung harus dapat memenuhi
kebutuhan hijauan dari ternak baik secara kuantitas maupun kualitas secara
kontinyu. Padang penggembalaan umumnya terdiri dari rumput seluruhnya atau
leguminosa saja, ataupun campuran rumput dan leguminosa (Susetyo, 1980).
Selanjutnya dinyatakan bahwa suatu padang penggembalaan dapat dikatakan
berpotensi jika padang tersebut mampu memproduksi hijauan pakan baik secara
kualitas maupun kuantitas. Potensi padang penggembalaan ditentukan oleh lokasi,
dimana hijauan pakan tersebut dapat tumbuh dengan baik karena ditunjang oleh
kesuburan tanah, iklim, topografi, sumber air dan pengelolaannya.
Hadi et al., (2002) menyebutkan sistem padang penggembalaan
merupakan kombinasi antara pelepasan ternak di padang penggembalaan bebas
dengan pemberian pakan. Di Indonesia sistem penggembalaan bebas hanya
ditemukan di wilayah timur Indonesia dimana terdapat areal padang rumput alami
yang luas. Di beberapa tempat ternak dilepas untuk merumput di tepi jalan,
halaman rumah atau tanah kosong di sekitar desa. Hal ini dimungkinkan terutama
bila aman dari pencurian atau kecelakaan terhadap ternak. Sistem ini
menggunakan sedikit tenaga kerja.
Ada dua faktor dominan penyebab rendahnya produksi ternak dengan
sistem pemeliharaan tersebut di atas, yaitu: (1) rendahnya kualitas padang
penggembalaan alami dan (2) jumlah ternak yang dipelihara pada padang
penggembalaan alami tersebut tidak sesuai dengan kapasitas tampung (Susetyo,
1980; Subagyo dan Kusmartono, 1988). Tinggi rendahnya kualitas suatu padang
penggembalaan berkaitan erat dengan komposisi botanis (tumbuhan) yang
terdapat pada padang penggembalaan tersebut.

2.3. Defoliasi

Menurut Paci (2015) dalam pemeliharaan tanaman beberapa hal yang


sangat penting untuk diperhatikan yaitu interval defoliasi seperti waktu defoliasi
dalam hal ini berkaitan pada umur tanaman, dan tinggi rendahnya pemotongan
pada tanaman, karena defoliasi dengan menggunakan teknik yang tepat
berpengaruh terhadap produksi hijauan, nilai nutrisi hijauan, kemampuan tanaman
untuk tumbuh kembali, komposisi botani dan ketahanan spesies tanaman.

9
Interval pemotongan adalah selang waktu antara pemotongan awal sampai
saat pemotongan berikutnya. Intensitas pemotongan dimaksudkan sebagai tinggi
pemotongan dari atas permukaan tanah (Kristyowantari, 1992). Intensitas
defoliasi meningkatkan penyerapan N yang dialokasikan untuk pertumbuhan daun
yang diperoleh dari akar dan daun tua. Frekuensi defoliasi tidak mempengaruhi
pengambilan alokasi N pada akar, daun tua maupun daun muda, namun frekuensi
defoliasi/pemotongan meningkatkan jumlah anakan pada tanaman. Hal ini
mengindikasikan bahwa mobilisasi N digunakan untuk pertumbuhan anakan pada
tanaman akibat pengaruh frekuensi defoliasi/pemotongan (Lestienne et al., 2006).
Pemotongan sangat mempengaruhi pertumbuhan berikutnya, semakin
sering dilakukan pemotongan dalam interval yang pendek maka pertumbuhan
kembali akan semakin lambat, disebabkan karena tanaman tidak ada kesempatan
yang cukup untuk berasimilasi (Rahman, 2002). Hal-hal yang perlu diperhatikan
dalam defoliasi adalah saat atau waktu untuk defoliasi dan tinggi rendahnya
pemotongan pada tanaman (Reksohadiprojo, 1999). Crowder and Cheda (1982)
menyatakan bahwa interval pemotongan pada tanaman berpengaruh terhadap
produksi hijauan, nilai nutrisi, kemampuan tanaman untuk tumbuh kembali,
komposisi botani dan ketahanan spesies tanaman. Frekuensi pemotongan berlaku
bahwa pada batas tertentu, frekuensi pemotongan/defoliasi yang semakin rendah
akan mengakibatkan produksi kumulatif bahan kering semakin tinggi
dibandingkan produksi kumulatif oleh pemotongan yang lebih sering. Interval
defoliasi sangat penting dipertimbangkan oleh setiap peternak karena setelah
pemotongan pertumbuhan tanaman kembali memerlukan zat-zat yang kaya energi
seperti gula yang erat hubungannya dengan zat-zat nitrogen, fospor dan kalium.
Pada interval pemotongan yang singkat kadar karbohidrat cadangan dalam
akar tanaman akan menurun sehingga dapat mengganggu pertumbuhan kembali
pada tanaman (Rahman, 2002). Adaptasi tanaman setelah pemotongan sangat
bergantung terhadap respon morfologi dan fisiologi tanaman. Kemampuan
tanaman menggunakan karbon dan nitrogen akan mengembalikan kemampuan
tanaman untuk berfotosintesis memenuhi kebutuhan organ tanaman untuk
bertahan hidup setelah pemotongan (Kavanova and Gloser, 2004).

10
2.4. Nodul

Menurut Permatassari (2011) kelembaban tanah sangat berperan dalam


pembentukan bintil akar. Permasalahan utama stress kelembaban yaitu kekeringan
dan jenuh.
Menurut Gibson et al. (1982), terjadi penurunan infeksi akar dan nodulasi
seiring dengan penurunan kelembaban tanah (kekeringan), bahkan tidak terbentuk
bintil akar pada tanah yang mengalami kekeringan. Hal ini disebabkan oleh
kegagalan proses infeksi rambut akar. Keadaan yang demikian juga dapat
menekan proses fiksasi nitrogen dan menurunkan fotosintesis. Defisiensi
kelembaban tanah sangat mempengaruhi fiksasi N2 sebab pembentukan bintil
awal, perkembangan bintil dan aktifitas nitrogenase lebih sensitif terhadap stress
kelembaban tanah daripada sistem metabolisme akar dan pucuk secara umum.
Stress yang ringan hanya menurunkan jumlah bintil sedangkan stress sedang dan
berat menurunkan baik jumlah maupun ukuran bintil akar tanaman.
Kandungan N dalam tanah (khususnya dalam bentuk NO3 -)dapat
menghambat proses nodulasi dan fiksasi N2 oleh bakteri rhizobia yang
bersimbiosis dengan tanaman legum. Selain itu Molibdenum merupakan unsur
mikro yang sangat esensial untuk semua tanaman dan sangat dibutuhkan untuk
pembentukkan bintil akar dan fungsi enzim kompleks nitrogenase dari bakteri
rhizobia. Tanah yang kekurangan Mo akan menurunkan populasi rhizobia
sehingga tanaman yang terinfeksi tidak ternodulasi efektif (Somasegaran dan
Hoben, 1994).

11
BAB III
MATERI DAN METODA

3.1. Tempat dan Waktu

Praktikum ini dilaksanakan di rumah kaca Fakultas Peternakan Universitas


Jambi, setiap hari sabtu Pada tanggal 1 September 2018 sampai 17 November
2018 Pukul 07.00 – 09.00 Wib dan 09.00 – 11.00 Wib.

3.2. Materi

Alat dan bahan yang digunakan pada praktikum ini adalah rumput lapang,
gulma, rumput setaria, legume kacangan, rumput raja, tanah, air, pupuk kandang,
polyback, timbangan, cangkul, parang, arit, karung, penggaris, dan gunting.

3.3. Metoda
Metoda pada praktikum komposisi botani yaitu untuk menghitung komposisi
botani yang dilakukan adalah metode point line intercept. Caranya pertama ukur
salah satu lahan sepanjang 1m, kemudian diukur lalu potong tanaman disalah satu
bagian, lalu pisahkan bagian rumput, gulma, dan legume. Setelah di potong
timbang tanaman tersebut. Lalu oven tanaman dengan suhu 105˚c setelah kering
hitung kadar bahan kering tanaman.
Metoda pada pratikum pastura yaitu dilakukan dengan membersihkan lahan
terlebih dahulu, setelah itu berikan pupuk kandang diatas lahan dan lakukan
penanaman rumput raja pada minggu depannya. Penanaman rumput raja di
lakukan dengan cara memberi jarak 25cm setiap tanaman. Setelah ditanam
dilakukan penyiraman setiap pagi dan sore hari sampai tanaman rumput raja
tumbuh dan berkembang.
Metoda pada praktikum defoliasi yaitu Defoliasi dilakukan dengan sediakan 4
rumpun rumput setaria (Setaria sphacelata) yang telah berumur 6 bulan, masing-
masing defoliasi dengan intensitas 10cm dan 30cm dengan frekuensi 1 minggu
sekali. Setelah di defoliasi di timbang berat segar dengan timbangan analitik
gantung, kemudian di jemur selama satu hari dibawah sinar matahari untuk
mengetahui berat kering mataharinya. Setelah itu bandingkan defoliasi antar
perlakuan. Pada praktikum terakhir (17 November 2018) dilakukan

12
pembongkaran untuk melihat pertumbuhan akar pada masing-masing perlakuan.
Metoda pada praktikum melihat bintil akar (nodul) yaitu, siapkan 2 bibit legum
kacangan ditanam dengan cara stek batang yang ditanam di dalam polybag,
kemudian diletakkan di lahan tanam rumput setaria. Setelah tumbuh selama 4
minggu, legum kacangan dibongkar dari polybag untuk melihat ada tidaknya
bintil akar.

13
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Komposisi Botani (Kapasitas Tampung)

Komposisi botani adalah proporsi suatu spesies tanaman terhadap seluruh


tanaman yang tumbuh bersamanya. Indonesia memiliki iklim tropis yang terdiri
dari dua musim yaitu musim kemarau dan musim hujan sehinga perubahan
komposisi botani hijauan sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan seperti
kesuburan tanah, ketersediaan air, dan naungan (cahaya). Komposisi botani dan
kuantitas hijauan sangat berpengaruh terhadap kapasitas tampung ternak. (Marga,
2016).

Tabel 1. Pengamatan komposisi botani dengan metode point line intercept


Sampel 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
I M M V M V V V M M M
II M M M V V V V V M M
III V V V V V V V V V V

Tabel 2. Kalibrasi bobot hijauan


Bobot Segar Bobot Kering
Sampel
Rumput Legum Gulma Rumput Legum Gulma
I 20gr - 25gr 10gr - 13gr
II 50gr 25gr - 25gr 12gr -
III 10gr 60gr 20gr 50gr 25gr 11gr

Berdasarkan table diatas dapat diketahui bahwa huruf “M” ditandai


sebagai tanaman Miss Plant, yaitu tanaman yang tidak menyentuh bagian atas alat
pengukur metode ini. Dan “V” ditandai sebagai tanaman yang menyentuh bagian
atas alat pengukur. Hal ini menandakan bahwa hanya ada empat tanaman pada
sampel pertama yang mengenai lidi pada alat pengukur, lima pada sampel pertama
dan sepuluh pada sampel ke-tiga. Menurut Susetyo (1980) komposisi botani
adalah angka yang digunakan menentukan penilaian secara kualitas terhadap
padang rumput/padang penggembalaan yang dapat mempengaruhi aktifitas ternak.
Menurut Siam (2012) analisa komposisi botani diperlukan untuk mengetahui
kondisi pastura yang dapat mempengaruhi produksi dan kualitas hijauan yang

14
dihasilkan. Analisis komposisi botani dapat dilakukan secara manual dengan
melihat secara langsung yang ada di suatu pastura. Namun hal ini tentu akan
menjadi masalah dalam menentukan akurasi jenis botani dan waktu yang
diperlukan untuk melihat kondisi botani dan waktu yang diperlukan untuk melihat
kondisi botani yang ada secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan metode
analisis komposisi botani hijauan makanan ternak yang cepat dan tepat.

4.2. Pastura

Dalam bahasa Inggris, hal-hal yang berkaitan dengan penggembalaan


disebut pastoral. Ekosistem ini terdiri atas peternak (pastoralist) dan hewan ternak.
Adapun padang penggembalaan disebut ekosistem pastoral (Iskandar, 2001).
Lebih lanjut dijelaskan bahwa masyarakat peternak (pastoralist society)
merupakan bagian integral yang sangat penting dalam ekosistem pastoral ini.
Berbagai aktifitas peternak itu mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungan
sekitarnya.
Mannetje (1978) mendefinisikan padang rumput sebagai suatu ekosistem
sumber pakan hijauan untuk ternak ruminansia. Kata ekosistem dalam pengertian
ini mengandung arti bahwa manusia berkepentingan dengan seluruh komponen-
komponen sistem padang rumput seperti tanah, tanaman, faktor-faktor iklim
pendukungnya serta ruminansia yang pakannya bergantung pada padang rumput
itu secara langsung atau tidak langsung. Ketergantungan ruminansia terhadap
padang rumput terjadi secara langsung pada sistem ekstensif dimana ternak
merumput (grazing) pada padang rumput. Sedangkan pada sistem intensif dimana
pemberian pakan dilakukan secara cut and carry maka ternak tidak berinteraksi
langsung dengan padang rumputnya.
Padang penggembalaan merupakan sumber penyedia hijauan yang lebih
ekonomis dan murah serta dapat secara langsung dikonsumsi oleh ternak atau
hewan bahkan satwa liar. Areal ini secara tidak langsung harus dapat memenuhi
kebutuhan hijauan dari ternak baik secara kuantitas maupun kualitas secara
kontinyu. Padang penggembalaan umumnya terdiri dari rumput seluruhnya atau
leguminosa saja, ataupun campuran rumput dan leguminosa (Susetyo, 1980).
Selanjutnya dinyatakan bahwa suatu padang penggembalaan dapat dikatakan

15
berpotensi jika padang tersebut mampu memproduksi hijauan pakan baik secara
kualitas maupun kuantitas. Potensi padang penggembalaan ditentukan oleh lokasi,
dimana hijauan pakan tersebut dapat tumbuh dengan baik karena ditunjang oleh
kesuburan tanah, iklim, topografi, sumber air dan pengelolaannya.
Hadi et al., (2002) menyebutkan sistem padang penggembalaan
merupakan kombinasi antara pelepasan ternak di padang penggembalaan bebas
dengan pemberian pakan. Di Indonesia sistem penggembalaan bebas hanya
ditemukan di wilayah timur Indonesia dimana terdapat areal padang rumput alami
yang luas. Di beberapa tempat ternak dilepas untuk merumput di tepi jalan,
halaman rumah atau tanah kosong di sekitar desa. Hal ini dimungkinkan terutama
bila aman dari pencurian atau kecelakaan terhadap ternak. Sistem ini
menggunakan sedikit tenaga kerja.

Ada dua faktor dominan penyebab rendahnya produksi ternak dengan


sistem pemeliharaan tersebut di atas, yaitu: (1) rendahnya kualitas padang
penggembalaan alami dan (2) jumlah ternak yang dipelihara pada padang
penggembalaan alami tersebut tidak sesuai dengan kapasitas tampung (Susetyo,
1980; Subagyo dan Kusmartono, 1988). Tinggi rendahnya kualitas suatu padang
penggembalaan berkaitan erat dengan komposisi botanis (tumbuhan) yang
terdapat pada padang penggembalaan tersebut.

4.3. Defoliasi

Menurut Paci (2015) dalam pemeliharaan tanaman beberapa hal yang


sangat penting untuk diperhatikan yaitu interval defoliasi seperti waktu defoliasi
dalam hal ini berkaitan pada umur tanaman, dan tinggi rendahnya pemotongan
pada tanaman, karena defoliasi dengan menggunakan teknik yang tepat
berpengaruh terhadap produksi hijauan, nilai nutrisi hijauan, kemampuan tanaman
untuk tumbuh kembali, komposisi botani dan ketahanan spesies tanaman.
Tabel 3. Defoliasi
Tinggi Berat
Interval
5cm 15cm 25cm 10cm 15cm 25cm
I 40cm 45cm 46 13gr 24.5gr 14.5gr
II 37cm 50cm 60 20gr 20gr 30gr
III 40cm 55cm 65 25gr 27gr 34gr
IV 41cm 58cm 57 20gr 30gr 40gr

16
Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa frekuensi defoliasi mempengaruhi
pertumbuhan tanaman yang mana tanaman yang dipotong dengan ukuran 25 cm
lebih cepat pertumbuhannya dibandingkan dengan yang dipotong dengan ukuran
5 cm dan 5cm. Interval pemotongan adalah selang waktu antara pemotongan awal
sampai saat pemotongan berikutnya. Intensitas pemotongan dimaksudkan sebagai
tinggi pemotongan dari atas permukaan tanah (Kristyowantari, 1992). Intensitas
defoliasi meningkatkan penyerapan N yang dialokasikan untuk pertumbuhan daun
yang diperoleh dari akar dan daun tua. Frekuensi defoliasi tidak mempengaruhi
pengambilan alokasi N pada akar, daun tua maupun daun muda, namun frekuensi
defoliasi/pemotongan meningkatkan jumlah anakan pada tanaman. Hal ini
mengindikasikan bahwa mobilisasi N digunakan untuk pertumbuhan anakan pada
tanaman akibat pengaruh frekuensi defoliasi/pemotongan (Lestienne et al., 2006).
Pemotongan sangat mempengaruhi pertumbuhan berikutnya, semakin
sering dilakukan pemotongan dalam interval yang pendek maka pertumbuhan
kembali akan semakin lambat, disebabkan karena tanaman tidak ada kesempatan
yang cukup untuk berasimilasi (Rahman, 2002). Hal-hal yang perlu diperhatikan
dalam defoliasi adalah saat atau waktu untuk defoliasi dan tinggi rendahnya
pemotongan pada tanaman (Reksohadiprojo, 1999). Crowder and Cheda (1982)
menyatakan bahwa interval pemotongan pada tanaman berpengaruh terhadap
produksi hijauan, nilai nutrisi, kemampuan tanaman untuk tumbuh kembali,
komposisi botani dan ketahanan spesies tanaman. Frekuensi pemotongan berlaku
bahwa pada batas tertentu, frekuensi pemotongan/defoliasi yang semakin rendah
akan mengakibatkan produksi kumulatif bahan kering semakin tinggi
dibandingkan produksi kumulatif oleh pemotongan yang lebih sering. Interval
defoliasi sangat penting dipertimbangkan oleh setiap peternak karena setelah
pemotongan pertumbuhan tanaman kembali memerlukan zat-zat yang kaya energi
seperti gula yang erat hubungannya dengan zat-zat nitrogen, fospor dan kalium.
Pada interval pemotongan yang singkat kadar karbohidrat cadangan dalam
akar tanaman akan menurun sehingga dapat mengganggu pertumbuhan kembali
pada tanaman (Rahman, 2002). Adaptasi tanaman setelah pemotongan sangat
bergantung terhadap respon morfologi dan fisiologi tanaman. Kemampuan
tanaman menggunakan karbon dan nitrogen akan mengembalikan kemampuan

17
tanaman untuk berfotosintesis memenuhi kebutuhan organ tanaman untuk
bertahan hidup setelah pemotongan (Kavanova and Gloser, 2004).

4.4. Nodul

Menurut Permatassari (2011) kelembaban tanah sangat berperan dalam


pembentukan bintil akar. Permasalahan utama stress kelembaban yaitu kekeringan
dan jenuh.
Menurut Gibson et al. (1982), terjadi penurunan infeksi akar dan nodulasi
seiring dengan penurunan kelembaban tanah (kekeringan), bahkan tidak terbentuk
bintil akar pada tanah yang mengalami kekeringan. Hal ini disebabkan oleh
kegagalan proses infeksi rambut akar. Keadaan yang demikian juga dapat
menekan proses fiksasi nitrogen dan menurunkan fotosintesis. Defisiensi
kelembaban tanah sangat mempengaruhi fiksasi N2 sebab pembentukan bintil
awal, perkembangan bintil dan aktifitas nitrogenase lebih sensitif terhadap stress
kelembaban tanah daripada sistem metabolisme akar dan pucuk secara umum.
Stress yang ringan hanya menurunkan jumlah bintil sedangkan stress sedang dan
berat menurunkan baik jumlah maupun ukuran bintil akar tanaman.
Kandungan N dalam tanah (khususnya dalam bentuk NO3 -)dapat
menghambat proses nodulasi dan fiksasi N2 oleh bakteri rhizobia yang
bersimbiosis dengan tanaman legum. Selain itu Molibdenum merupakan unsur
mikro yang sangat esensial untuk semua tanaman dan sangat dibutuhkan untuk
pembentukkan bintil akar dan fungsi enzim kompleks nitrogenase dari bakteri
rhizobia. Tanah yang kekurangan Mo akan menurunkan populasi rhizobia
sehingga tanaman yang terinfeksi tidak ternodulasi efektif (Somasegaran dan
Hoben, 1994).

18
BAB V
KESIMPULAN

5.1. Kesimpulan
Pada praktikum ini dapat disimpulkan bahwa pada komposisi botani yaitu
persentase tertinggi terdapat pada rumput dan komposisi terendah adalah gulma.
Kesimpulan yang diperoleh dari praktikum pasture yaitu Rumput raja tersebut
ditanam pada lahan ukuran 1x1m, dengan jarak tanam 25 cm. Jumlah rumput
yang ditanam yaitu 16 rumput. Dalam proses jarak tanam yang tepat tidak hanya
menghasilkan pertumbuhan dan jumlah anakan yang optimum, tetapi juga akan
memberikan hasil yang optimum. rekuensi defoliasi mempengaruhi pertumbuhan
tanaman yang mana tanaman yang dipotong dengan ukuran 25cm lebih cepat
pertumbuhannya dibandingkan dengan yang dipotong dengan ukuran 15 dan 5cm.
Kesimpulan pada praktikum nodul atau bintik akar yaitu nodul terbentuk akibat
infeksi bakteri pengikat nitrogen yang bersimbiosis secara mutualistik
dengan tumbuhan.

5.2. Saran

Diharapkan kepada praktikan agar saat praktikum lebih serius dan datang
tepat waktu sehingga praktikum dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan.

19
DAFTAR PUSTAKA

Gibson, A. H., B. L. Dreyfus and Y. R. Dommerergues. 1982. Microbiology of


Tropical Soils and Productivity. Martinus Nijhoff Publishers. London.

Iskandar, J. 2001. Manusia, Budaya dan Lingkungan. Kajian Ekologi Manusia.


Humanoria Utama Press. Bandung.

Kavanova, M. and V. Glozer. 2004. The use of internal nitrogen stores in the
rhizomatous grass Calamagrostis epigejos during regrowth after
defoliation. Annuals of Botany. 95 (3) : 457 - 463.

Lestienne, F., B. Thornton and F. Gastal. 2006. Impact of defoliation intensity and
frequency on N uptake and mobilization in Lolium perenne. Journal of
Experimental Botany. 57 (4) : 997-1006.

Marga, A. 2016. Evaluasi Kapasitas Tampung Dan Komposisi Botani Di


Perkebunan Kelapa Sawit Provinsi Lampung. Fakultas Pertanian,
Universitas Lampung. Lampung (Skripsi)

Mcllroy, R.J. 1977. Pengantar Budidaya Padang Rumput Tropika. Fakultas


Peternakan Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Paci, S. H. K. 2015. Pengaruh Pemupukan N Dan Interval Defoliasi Terhadap


Alokasi Biomassa Rumput Benggala (Panicum Maximum) Dan Rumput
Signal (Brachiaria Decumbens). Fakultas Peternakan, Universitas
Hasanuddin. Makasar

Permatasari, M. 2011. Uji Inokulum Rhizobia Dan Pengaruhnya Terhadap


Pertumbuhan Acacia Mangium Pada Tanah Masam Bekas Tambang.
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor, Jawa Barat.

Rahman, S. 2002. Introduksi tanaman makanan ternak di lahan perkebunan:


respon beberapa jenis tanaman makanan ternak terhadap naungan dan
tatalaksana pemotongan. Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Peternakan. 4 (1): 46-53.

Reksohadiprojo. 1985. Produksi Hijauan Ternak. BPFE. Universitas Gadjah


Mada. Yogyakarta

Reksohadiprojo. 1999. Produksi Biji Rumput dan Legum Makanan Ternak


Tropik. BPFE UGM, Yogyakarta.

Rukmana. 2005. Budidaya Rumput Unggul Hijauan Makanan Ternak. Yogyakarta


(ID): Kanisius. Hattori T, Morita S. 2010. Energy crops for sustainable
bioethanol production: which, where, and how?. Plant Prod Sci. 13(3):
221-234
Somasegaran, P. and H. J. Hoben. 1994. Handbook for Rhizobia : Methods in
Legume Rhizobium Technology. Springer-Verlag. New York.

Susetyo, I., Kismono dan B. Suwardi. 1981. Hijauan Makanan Ternak. Direktorat
Jendral Peternakan Departemen Pertanian. Jakarta.

Susetyo, S. 1980. Padang Penggembalaan. Departemen Ilmu Makanan Ternak


Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Anda mungkin juga menyukai