Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN TUTORIAL

BLOK HEMATOLOGI SKENARIO I

KELOMPOK A.9

AMALIA NUR WAHYU C. G0016023


BENEDICTUS ADITYA SATYA L.A. G0016041
CYNTHIA HANNY LESTARI G0016055
FATIKHA LIDEA RISKA M.S. G0016077
GIRAS REFINDASASTI G0016093
INTANIAR G0016113
MUHAMMAD PUTUT SATRIO T. G0016139
NAJMA NUSAIBAH G0016163
RIZKIKA ALBANJAR S. G0016189
SAHRUL FAJAR R.. G0016193
SYA’IRUL TANDI ALLA R.. G0016211
VINA ALEXANDRA KURNIASARI G0016221

TUTOR : Andy Yok Siswosaputro, drg., M.Kes.


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
TAHUN 2016
BAB I

PENDAHULUAN

SKENARIO I
Kasus I :

Seorang anak perempuan berusia 5 tahun dibawake dokter dengan keluhan demam, disertai
perut mual dan susah makan. Selain itu, menurut ibu, anaknya terlihat lemah dan pucat sejak
2 bulan yang lalu. Kata guru TK-nya, anak tiddak selincah teman-temannya dan sering
tertidur di kelas. Sejak kecil anak sulit makan dan dan tidak suka makan daging. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan konjungtiva palpebra inferior, mukosa bibir , dan kuku pucat,
hiperemi faring dan tonsil, tidak didapatkan hepatomegaly dan splenomegaly. Pada
pemeriksaan laboratorium didapatkan Hb 7.0 g/dL (nilai rujukan Hb anak : 11.5-14.5 g/dL),
MCV 52 fL (nilai rujukan 80-100 fL), MCH 21 pg/sel (nilai rujukan 26-34 pg/sel). Dokter
meminta pemeriksaan laboratorium lanjutan.

Kasus 2 :

Seorang anak laki-laki berusia 4 tahun dibawa orang tuanya ke dokter dengan keluhan anak
terlihat pucat. Keluhan pucat sudah terjadi sejak berusia 3 tahun dan makin lama makin berat.
Orang tua sudah membawanya ke dokter dan sudah diberi tablet tambah darah, tetapi tidak
membaik. Sebulan terakhir terlihat kulitnya kekuningan. Pasien adalah anak pertama, dalam
keluarga tidak ada yang mengalami sakit serupa. Pada pemeriksaan fisik didapatkan anak
sangat pucat, tampak sesat, konjungtiva pucat, sklera ikterik, frontal bossing, hepatomegaly
2cm dibawah arkus kostarum dan splenomegali Schuffner 3. Pada pemeriksaan jantung
didapatkan bising jantung sistolik derajat 3. Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan
Hb 5.8 g/dL, MCV 53.5 fL, MCH 16 pg/sel. Dokter meminta pemeriksaan laboratorium
lanjutan.
BAB II

DISKUSI DAN TINJAUAN PUSTAKA

A. Langkah I: Membaca skenario dan memahami pengertian beberapa istilah dalam


skenario.
Dalam skenario kali ini, kami mengklarifikasi istilah-istilah berikut ini:

1. Konjungtiva palpebral inferior : konjungtiva yang menutupi bagian dalam kelopak mata
dan sklera kecuali kornea.

2. Hiperemi faring : Meningkatnya jumlah darah di bagian/organ tubuh.

3. Splenomegali : Pembesaran organ lien.

4. Hepatomegali : Perbesaran organ hepar.

5. MCV : Volume dari sel darah merah (erirosit).

6. Frontal bossing : Dahi terlihat menonjol.

7. Arkus Kostarum : Bagian dari apertura inferor toraks dibentuk oleh kartilago costae 7-10
yang berartikulasi.

8. Sklera ikterik : Menguningnya sklera mata.

9. MCH : Jumlah Hb rata-rata dalam eritrosit.

B. Langkah II: Menentukan/ mendefinisikan permasalahan

Masalah yang terdapat pada skenario kasus 1 dan kasus 2 adalah :

1. Apakah diagnosis pada kasus 1 dan 2 ?


2. Apa hubungan sulit makan & tidak suka makan daging dengan gejala pada
kasus 1 ?
3. Mengapa anak tidak lincah dan apa hubungannya dengan diagnosis penyakit ?
4. Apa penyebab konjungtiva palpebra inferior, mukosa bibir & kuku pucat ?
5. Apa hubungan bising jantung sistolik derajat 3 dengan diagnosis ?
6. Kenapa pada kasus 1 tdk ada hepatomegali & splenomegali sedang kasus 2
ada ?
7. Mengapa terjadi hiperemi faring dan tonsil ?
8. Apa penyebab kulit kekuningan, sklera ikterik & frontal bossing ?
9. Mengapa anak sudah diberi tablet tambah darah tetapi masih tidak membaik ?
10. Bagaimana menegakkan diagnosis pada kasus 1 &2 ?
11. Apakah hubungan usia, jenis kelamin, dan keturunan terhadap kasus ?
12. Apakah pemeriksaan laboratorium yang sesuai ?
13. Apakah etiologi, patofisiologi dan terapi dari kedua kasus ?
14. Bagaimana epidemiologi dari penyakit 1 & 2 ?
15. Bagaimana pencegahan dan prognosis kedua kasus ?
16. Bagaimana sintesis eritrosit ?
17. Apa saja gejala penyakit pada skenario tersebut ?
18. Mengapa anak tampak sesak ?

C. Langkah III: Menganalisis permasalahan dan membuat pernyataan sementara


mengenai permasalahan (tersebut dalam langkah II)

Diagnosis pada kasus I :

Anemia defisiensi zaft besi 

 Anak tidak suka makan daging dapat menurunkan kada Besi.


 Tidak ditemukan hepatomegaly dan splenomegaly

Diagnosis pada kasus II :

Anemia Hemolitik  belum dapat diketahui tipenya

 Karena sudah diberi tablet tambah darah tetapi tidak membaik, hal ini disebabkan karena
darah mudah mengalami hemolysis.
 Terdapat hepatomegaly dan splenomegaly.

Anemia Hemolitik terdapat 2 penyebab :

1. Defek dari membrane sel  dibagi menjadi 2 :


1) Spherocytosis Herediter :
Membrane eritrosit mudah rusak karena defisiensi protein ankyrin dan spectrin.
Bentuk eritrosis tidak bikonkaf jadi lebih bulat dan kecil.
Penatalaksanaan : - Ringan : Transfusi darah dan pemberian asam folat 1mg/hari
- Sedang – Berat : Splenektomi
2) Elliptocytosis Herediter :
Membran mudah rusak karena defisiensi protein spectrin, protein Band 4.1 dan
protein Band 4.2.
Penatalaksanaan : - Ringan : Belum diperlukan
- Sedang – Berat : transfuse , pemberian asam folat, dan
splenektomi.

Asam folat dapat berfungsi dalam proses pematangan eritrosit.

Ankyrin, spectrin, protein Band 4.1 dan protein Band 4.2 merupakan protein penyusun dari membrane
sel eritrosit.

Kekuningan disebabkan karena aktivitas dari perombakan Hb yang bewarna merah dan menyebabkan
penumpukan dari bilirubin.

Kulit tampak pucat merupakan manifestasi tidak langsung. Dipengaruhi oleh pigmen, suhu,
kedalaman, dan distribusi bantalan kapiler. Kemudian Hb, MCV, dan MCH yang rendah akan
menyebabkan penurunan pengikatan O2 dalam jaringan dan menyebabkan kepucatan.

Frontal Bossing disebabkan karena sel darah rusak mengakibatkan sel produksi meningkat kemudian
aktivitas sumsum tulang meningkat dan biasanya pada anak akan terjadi ekspansi pada dahi.

Anak mengalami sesak napas karena eritrosit yang lisis mengakibatkan kadar Hb menjadi rendah
sehingga suplai dari O2 menjadi berkurang.

Kriteria Anemia (WHO)

- Pria dewasa  Hb <13 g/dL


- Wanita dewasa tidak hamil  Hb <12 g/dL
- Wanita hamil  Hb <11 g/dL
- Anak 6-12th  Hb <12 g/dL

Jadi umur, jenis kelamin, dan keturunan dapat mempengaruhi anemia. Pada usia muda misalnya,
karena kebutuhan zat besi didalam tubuh meningkat. Pada ibu hamil kebutuhan zat besi dan asam
folat juga meningkat.

 Etiologi

Kasus 1 :

Kehilanga darah kronik. Bersumber dari pendarahan seperti pada kanker kolon dan hemoroid.
Kemudian pendarahan traktus genitalia wanita dan metroragia (keluar darah di luar siklus menstruasi).
Peningkatan kebutuhan gizi yang tidak dipenuhi seperti pada kehamilan dan bayi.

Terlalu banyak mengonsumsi makanan berserat, kurang Vit. C, dan rendah daging.

Kasus 2 :

Hemolisis intravaskuker (kongenital  terjadi hemolysis di pembuluh darah) dan ekstravaskuler yang
bersifat adaptif.

 Hemolisis Intravaskuler :

Secara mekanik karena aliran turbulen akibat tidak efektifnya katub jantung yang memnyebabkan
suara mur-mur sehingga berhubungan dengan bising jantung sistolik derajat 3 tersebut.

Terdapat pula aktifitas fisika dan kimia yang merusak membrane seperti suhu tinggi dan terpajang
toksin clostridium.

Jika sudah kronis dapat menyebabkan nekrosis tubulus ginjal.

 Hemolisis ekstravaskuler :

Berkaitan dengan kerusakan limfa dan hepar. Permukaan limfa tersusun seperti anyaman kecil, agar
eritrosit data masuk harus berubah bentuk dulu. Kelainan dimana eritrosit tidak dapat berubah bentuk
akan memyebabkan erotrosit susah difagositosis.

 Penegakkan Diagnosis :

1. Tahap Anamnesis :

untuk mengetahui gejala umum, khusus, dan komplikasi.

2. Tahap Pemeriksaan Fisik :

Untuk mendapatkan tanda-tanda umum

3. Tahap pemeriksaan laboratorium :


Pemeriksaan darah tepi secara menyeluruh (Hb, Hct, Leukosit, Trombosit, Retikulosit), MCV, MCH,
dan MCHC.

Pemeriksaan jika karena cacing tambang telur / gram feses.

Pemeriksaan kadar G6PD, enzim piruvat kinase, dan glukosa phosphate isomerase.

 Patofisiologi

Kasus 1 :

Masuk ke dalam tahap iron deplate state dimana kadar Fe didalam tubuh rendah sehingga
mengakibatkan kadar Fernitin menjadi rendah dan menyebabkan eritropoiesis terganggu.

Jika defisiensi Fe berlanjut maka mempengaruhi bentuk eritrosit tetapi belum terjadi anemia.

Karena saturasi transferrin menurun maka receptor transferrin akan meningkat dan kemampuan ikat
besi juga meningkat tapi simpanan Fe rendah berlanjut sehingga Hb terus menurun dan terjadi anemia
defisiensi Besi.
Eritropoeisis ( Sintesis Eritrosit )

Sel darah memulai kehidupannya di dalam susmsung tulang dari suatutipe sel yang disebut sel punca
hematopoietik pluripoten, yang merupakan asal dari semua sel dalam darah sirkulasi. Sewaktu sel-sel
darah ini bereproduksi, ada sebagian kecil dari sel-sel ini yang bertahan persis seperti sel-sel
pluripoten aslinya dan disimpan dalam sumsung tulang guna mempertahankan suplai sel-sel darah
tersebut, walaupun jumlahnya berkurang seriring dengan pertambahan usia. Sebagian besar sel-sel
yang direproduksi akan berdiferensiasi untuk membentuk sel yang lain. Sel yang berada pada tahap
pertengahanan sangat miri[ dengan sel punca pluripoten,walaupun sel-sel ini telah membentuk suatu
jalur khusus pembelahan sel dan disebut committed stem cells.

Berbagai committed stem cells, bila ditumbuhkan dalam biakan, akan menghasilkan kloni tipe sel
darah yang spesifik. Suatu committed stem cells yang menghasilkan eritrosit disebut unit pembentuk
koloni eritrosit, dan singkatan CFU-E yang digunakan untuk menandai jenis sel punca ini.

Tahap-Tahap Diferensiasi Sel Darah Merah

Sel pertama yang dapat dikenali sebagai bagian dari rangkaian sel darah merah adalah proeritoblas.
Dengan rangsangan yang sesuai, sejumlah besar sel ini dibentuuk dari sel-sel punca CFU-E.
Begitu proeritroblas iini terbentuk, maka ia akan membelah beberapa kali, sampai membentuk
banyak sel darah merah yang matang. Sel-sel generasi pertama ini disebut eritroblas basofil sebab
dapat dipulas dengan zat warna basa; sel yang terdapat pada tahap ini mengumpulkan sedikit sekali
hemogoblin. Pada generasi berikutnyya, sel sudah dipenuhi oleh hemogoblin sampai konsentrasi
sekitar 34 persen, nukleus memadat menjadi keicl, dan sisa akhirnya diabsorbsi atau didorong keuar
dari sel. Pada saat yang sama, retikulum endoplasma direabsorbsi. Sel pada tahap ini disebut
retikulosit karena masih mengandung sejumlah kecil materi basofilik, yaitu terdiri atas sisa-sisa
aparatus Golgi, mitokondria, dan sedikit organel sitoplasma lainnya. Selama tahap ini, sel-sel berjalan
dari sumsung tulang masuk ke dalam kapiler darah dengan cara diapedesis. Materi basofilik yang
tersisa dalam retikulosit normalnya akan menghilang dalam waktu 1 sampai 2 hari, dan sel kemudian
menjadi eritrosit matang.

Regulasi Eritrosit

Stimulus utama yang dapat merangsang hropoietin, yaitu suatu glikoprotein dengan berat molekul
kira-kira 34.000. Eritropoietin dirangsang oleh hipoksia pada jaringan, setelah itu ginjal akan
meningkatkan kadar hypoxia-inducible fterinduksi hipoksiagen actor-1 (HIF-1) jaringan, yang
berfungsi sebagai faktor transkripsi untuk sejumlah besar gen terinduksi hipoksia. HIF-1 mengikat
unsur respons hipoksia yang ada pada gen eritropetin, merangsang transkripsi mRNA dan pada
akhirnya meningkatkan sintesis eritropoietin.

Pematangan Sel Darah Merah

Pematangan sel darah merah dipengaruhi oleh dua vitami yang khususnya penting untuk pematangan
akhir sel darah merah adalah vitamin B12 dan asam folat. Keduanya penting untuk sintesis DNA
karena masing-masing vitamin dengan cara yang berbeda dibutuhkan untuk pembentukan timidin
trifosfat, yaitu salah satu zat pembangun esensial DNA.

Pembentukan Hemogoblin

Sintesis hemoglobin dimulai dalam proeritoblas dan berlanjut bahkan dalam stadium retikulosit pada
pembentukan sel darah merah. Oleh karena itu, ketika retikulosit meninggalkan sumsung tulang dan
masuk ke dalam aliran darah, retikulisti tetap membentuk sejumlah kecil hemogoblin satu hari
sesudah dan seterusnya sampai sel tersebut menjadi eritrosit yang matang. Mulai-mulai, suksinil-KoA
berikatan dengan glisin untuk membentuk molekul pirol. Kemudian, empat pirol bergabung untuk
membentuk protoporfirin IX, yang kemudian bergabung dengan bersi untuk membentuk molekul
heme. Akhirnya, setiap molekul heme bergabung dengan rantai polipeptida panjang, yaitu globin yang
disintesis oleh ribosom, membentuk suatu subunit hemogoblin yang disebut rantai hemogoblin.
Empat rantai ini selanjutnya akan berikatan longgar satu sama lain untuk membentuk molekul
hemogoblin yang lengkap.
Gejala Anemia

Gejala anemia diklasifikasikan menjadi 3 gejala, meliputi

1. Gejala Umum
2. Gejala Khas
3. Gejala Penyakit Dasar

Gejala umum pada penderita anemia, yaitu

- Hb < 8 g/dl
- Lemah dan berkunang-kunanng
- Telinga mendengung
- Konjungtiva dan jaringan dibawah kuku pucat

Tanda-tanda diatas disebut sebagai sindroma anemia.

Salah satu gejala penyakit dasar pada anemia, yaitu

- Infeksi cacing tambang : dispepsia, perut seperti penuh, parotitis


- Kanker colon : gangguang buang air besar

Gejala khas beberapa anemia :

Defisiensi besi : dispagia, atrofi papila lidah, kuku sendo, stomatitis angularis

Megaloblastik : glossitis, gangguan neurologik akibat defisiensi B12

Hemolitik : ikterus sphenomegali, hepatomegali

Aplastik : Perdarahan, infeksi ( tanda-tanda ).


Epidemiologi

Kasus I

Anemia Defisiensi Besi :

- Terjadi pada daerah tropis dengan keadaan ekonomi pada masyarakat yang rendah
- Banyak terjadi pada anak-anak
 0 - ½ tahun lahir dengan berat badan rendah / kembar
 ½ - 5 terjadi karena infeksi parasit / kurang makanan tambahan
 5 tahun – remaja disebabkan oleh kurangnya makanan mengandung zat bersi heme
yang dapat didapatkan pada makanan yang bersumber hewani
- Pada daerah Afrika dan Asia mortalitas dan mortaditas pada penyakit anemia defisiensi zat besi
tinggi

Kasus II

Anemi Hemolitik

Anemia hemolitik mewakili sekitar 5% dari semua anemia. Anemia Hemolitik


Autoimun/Autoimmune Hemolytic Anemia (AIAH) akut relatif jarang terjadi, dengan insiden 1-3
kasus per 100.000 penduduk per tahun.

Anema hemolitik tidak spesifik pada semua ras manusia. Namun, gangguan sel sabit terutama
ditemukan di Afrika, Amerika, beberapa orang Arab, dan Aborigin di India selatan.

Pada sebagian kasus, anemia hemolitik tidak spesifik dengan jenis kelamin. Namun, AIHA akut
lebih sering menyerang pada wanita dibanding pria. Walaupun anemia hemolitik dapat menyerang
pada semua umur, kelainan herediter biasanya tmbyul pada awal kehidupan. AIHA lebih sering
terjadi pada pertengahan usia dan pada usia lanjut.

Anemia Megaloblastik

Patogenesis

Anemia megaloblastik adalah anemia yang disebabkan oleh kekurangan vitamin B12 dan asam folat
akibatnya eritrosit menjadi berukuran lebih besar atau megaloblast. Akibat dari defisiensi tersebut
maturasi inti sel DNA dalam nukleus menjadi lebih lambat dan kromatin melonggar. Sel megaloblast
ini fungsinya tidak normal, dihancurkan semasih dalam sumsum tulang (hemolisis intramedular)
sehingga terjadi eritropoesis inefektif dan masa hidup eritrosit lebih pendek, yang berujung pada
terjadinya anemia. Kelainan yang sama, tetapi pada tingkat yang lebih ringan juga terjadi pada sistem
mieloid dan megakariosit sehingga pada anemia megaloblastik sering disertai leukopenia dan
trombositopenia ringan.

Penyebab

Anemia megaloblastik disebabkan oleh kekurangan vitamin B12 atau asam folat. Pada wanita hamil
anemia defisiensi asam folat paling sering disebabkan karena faktor nutrisi, karena cadangan asam folat
tubuh jauh lebih rendah dibandingkan dengan cadangan vitamin B12.
Defisiensi Vit B12

- Anemia pernisiosa (Addisisonian)


- Diit (vegetarian)
- Tropical sprue
- Gastrektomi

Defisiensi Folat

- Gizi (nutritional)
- Penyakit Coeliac
- Tripical sprue
- Kehamilan

Gambaran Klinik

Gambaran umum anemia megaloblastik adalah :

1. Anemia timbul perlahan dan progresif


2. Kadang-kadang disertai ikterus ringan
3. Glositis dengan lidah berwarna merah, seperti daging (buffy tongue).

Pada defisiensi vitamin B12 dijumpai gejala neuropati, sedangkan defisiensi folat tidak disertai
neuropati. Gejala neuropati berupa subacute combined degeneration.

Terapi

Terapi utama anemia defisiensi vitamin B12 dan defisiensi asam folat adalah terapi ganti dengan
vitamin B12 atau asam folat meskipun demikian terapi kausal dengan perbaikan gizi dan lain-lain
tetap harus dilakukan.

1. Untuk defisiensi vitamin B12: Hydroxycobalamin intramuskuler 200 mg/hari, atau 1000
mg diberikan tiap minggu selama 7 minggu. Dosis pemeliharaan 200 mg tiap bulan atau
1000 mg tiap 3 bulan
2. Untuk defisiensi folat : Berikan asam folat 5 mg/hari selama 4 bulan.
3. Respons terhadap terapi : Retikulosit mulai naik hari 2-3 dengan puncak pada hari 7-8. HB
harus naik 2-3 g/dl tiap 2 minggu.

Neuropati biasanya dapat membaik, tetapi kerusakan medulla spinalis biasanya


irreversible.

Anemia Aplastik

Definisi

Anemia aplastik adalah anemia yang disertai oleh pansitopenia (atau bisitopenia) pada darah tepi yang
disebabkan oleh kelainan primer pada sumsum tulang dalam bentuk aplasia atau hipoplasia tanpa
adanya infiltrasi, supresi atau pendesakan sumsum tulang. Karena sumsung tulang pada sebagian besar
kasus bersifat hipoplastik, bukan aplastik total, maka anemia ini disebut juga sebagai anemia
hipoplastik.
Klasifikasi

Anemia aplastik dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

A. Anemia aplastik didapat (azquired aplastic anemia)


1. Karena bahan kimia atau fisik.
a. Bahan-bahan yang “dose dependent”
b. Bahan-yang bahan “dose independent”

2. Anemia aplastik/hipoplastik karena sebab-sebab lain: infeksi virus (dengue, hepatitis),

infeksi mikrobakterial, kehamilan, penyakit SImmond, sklerosis tiroid.

3. Idiopatik

B. Familial antara lain :

1. Pansitopenia konstitusional Fanconi;

2. Defisiensi pankreas pada anak;

3. Gangguan herediter pemasukan asam folat kedalam sel.

Epidemiologi

Anemia aplastik tergolong penyakit ytang jarang dengan insiden di negara maju: 3-6 kasus/1 juta

penduduk/tahun. Epidemiologi anemiia aplastik di Timur Jauh mempunyai pola yang berbeda dengan

di negara Barat.

a. Di negara Timur (Asia Tenggara dan Cina) insidennya 2—3 kali lebih tinggi dibandingkan

dengan di negara Barat;

b. Laki-laki lebih sering terkena dibandingkan dengan wanita;

c. Faktor lingkungan, mungkin infeksi virus, antara lain virus hepatitis, diduga memegang

peranan penting.

Etiologi

Penyebab anemia aplastik sebagian besar (50—70%) tidak diketahui,atau bersifat idiopatik. Kesulitan

dalam mencari penyebab penyakit ini disebabkan oleh proses yang berlangsung perlahan-lahan. Di

samping itu juga disebabkan oleh belum tersedianya model binatang percobaan yang tepat. Sebagian

besar penelusuran etiologi dilakukan melalui penelitian epidemiologik.


Penyebab Anemia Aplastik

I. Primer

1. Kelainan kongenital:

a. Fanconi

b. nonFanconi

c. dyskeratosis congenita

2. Idiopatik: penyebabnya tidak dapat ditentukan

II. Sekunder

1. Akibat radiasi, bahan kimia atau obat

2. Akibat obat-obat idiosinkratik

3. Karena penyebab lain:

a. Infeksi virus: hepatitis virus/virus lain

b. Akibat kehamilan

Patofisiologi

Mekanisme terjadinya anemia plastik diperkirakan melalui:

1. Kerusakan sel induk (seed theory);

2. Kerusakan linngkungan mikro (soil theory);

3. Mekanisme imunologik.

Kerusakan sel induk telah dapat dibuktikan secara tidak langsung melalui keberhasilan transplantasi

sumsum tulang pada penderita anemia aplastik, yang berarti bahwa penggantian sel induk dapat

memperbaiki proses patologik yang terjadi. Teori kerusakan lingkungan mikro dibuktikan melalui

tikus percobaan yang diberikan radiasi, sedangkan teori imunologik ini dibuktikan secara tidak

langsng melalui keberhasilan pengobatan imunosupresif. Kelainan imunologik diperkiarakan

menjadi penyebab dasar dari kerusakan sel induk atau lingkungan mikro sumsung tulang.
Gejala Klinik

Gejala klinik anemia aplastik timbul akibat adanya anemia, leukopenia dan trombositopenia. Gejala ini

dapat berupa :

a. Sindrom anemia: gejala anemia bervariasi mulai dari ringan sampai berat.

b. Gejala perdarahan: paling sering timbul dalam bentuk perdarahan kulit seperti petechie dan

echymosis. Perdarahan mukosa dapat berupa epistaxis, perdarahan subkonjungtiva, perdarahan

gusi, hematemesis/melena dan pada wanita dapat berupa menorhagia. Perdarahan organ dalam

lebih jarang dijumpai, tetapi jika terjadi perdarahan otak sering bersifat fatal.

c. Tanda-tanda infeksi dapat berupa ulserasi mulut atau tenggorok selulitis leher, febris, dan sepsis

atau syok septik.

d. Organimegali berupa hematomegali, splenomegali atau limfadenopati tidak dijumpai.

Terapi

Secara garis besarnya terapi untuk anemia aplastik teridiri atas:

1. Terapi kausal;

2. Terapi suportif;

3. Terapi untuk memperbaiki fungsi sumsum tulang: terapi untuk merangsang pertumbuhan

sumsung tulang;

4. Terapi definitif yang terdiri atas:

a. Pemakaian anti-lymphocyte globuline;

b. Transplantasi sumsung tulang


Prognosis dan Perjalanan Penyakit:

Prognosis atau perjalanan penyakit anemua aplastik sangat bervariasi, tetapi tanpa pengobatan pada

umumnya memberikan prognosis yang buruk. Prognosis dapat dibagi menjadi tiga, yaitu

1. Kasus berat dan progresif, rata-rata mati dalam 3 bulan: merupakan 10-15% kasus.

2. Penderita dengan perjalanan penyakit kronik dengan remisi dan relapse. Meninggal dalam 1

tahun, merupakan 50% kasus.

3. Penderita yang mengalami remisi sempurna atau parsial, hanya merupakan bagian kecil

penderita.

Anda mungkin juga menyukai