Anda di halaman 1dari 6

ASPEK KENYAMANAN TERMAL

DALAM BANGUNAN
October 25, 2013 · Filed under Tugas Kapita Selekta

Kenyamanan manusia di dalam suatu bangunan dapat dibedakan menjadi kenyamanan


termal/suhu, kenyamanan visual/cahaya dan kenyamanan akustik/suara. Kenyamanan ini
bersifat subjektif tergantung dari kondisi fisik seseorang, seperti usia, jenis kelamin, warna
kulit dan kemampuan beradaptasi serta kondisi lingkungan. Akan tetapi kenyamanan ini
memiliki standar yang sama di setiap tempat yang harus dipenuhi oleh suatu bangunan.
Kenyamanan termal berhubungan dengan iklim dan kalor. Ada beberapa aspek yang dapat
mempengaruhi kenyamanan termal, yaitu:

 Suhu udara

Suhu udara ini erat kaitannya dengan kalor. Kalor tercipta karena adanya perbedaan suhu.
Kalor mengalir dari suhu tinggi ke suhu rendah. Suhu udara dapat dibedakan menjadi dua,
yaitu suhu udara normal dan suhu udara rata-rata (MRT = Mean radiant temperature) yang
merupakan suhu rata-rata lingkungan sekitar seseorang. MRT dapat mempengaruhi tubuh
seseorang sebesar 66%. Kenyamanan termal akan tercipta jika perbedaan antara MRT dan
suhu udara normal kurang dari 50. Kenyamanan termal pada manusia adalah pada suhu tubuh
370C dan jika naik sampai 50 atau turun sampai 20 maka akan timbul ketidaknyamanan atau
bahkan kematian. Sedangkan suhu udara lingkungan dikatakan nyaman pada suhu sekitar
250C, diatas 260C maka tubuh manusia sudah berkeringat. Maka dari itu, selain kemampuan
tubuh manusia untuk mempertahankan suhu diperlukan juga pengondisian lingkungan yang
optimal. Seperti penggunaan pakaian yang tebal di daerah dingin atau pemakaian kipas angin
pada daerah yang panas.

 Kelembaban udara

Kelembaban udara adalah kandungan uap air di udara. Kelembaban udara ini mempengaruhi
pelepasan kalor dari tubuh manusia. Kelembaban udara yang tinggi akan menyebabkan kalor
di dalam tubuh manusia sulit dilepaskan sehingga timbul ketidaknyamanan. Begitupun
dengan kelembaban udara yang rendah akan banyak mengambil kalor dari tubuh sehingga
akan timbul kulit kering dan sebagainya.

 Kecepatan aliran angin

Angin adalah udara yang bergerak. Udara yang bergerak ini membantu mempercepat
pelepasan kalor pada permukaan kulit seseorang. Angin akan membantu mengangkat uap-uap
air yang menghambat pelepasan kalor. Akan tetapi jika angin ini terlalu kencang maka kalor
yang dilepaskan tubuh menjadi berlebih sehingga akan timbul kondisi kedinginan yang
mengurangi kenyamanan termal.

 Radiasi matahari

Radiasi matahari sampai ke bumi untuk menghangatkan permukaan bumi. Begitupun pada
suatu bangunan, radiasi matahari akan membuat ruangan terasa hangat. Pada siang hari
radiasi matahari ini melimpah sehingga jika terlalu banyak akan mengakibatkan suhu udara di
dalam ruangan meningkat, sebaliknya pada malam hari radiasi matahari sangat minim
sehingga menimbulkan kedinginan pada tubuh seseorang. Maka dari itu diperlukan
perancangan bangunan yang dapat mengatasi kelebihan dan kekurangan dari efek radiasi
matahari ini.

Keempat aspek tersebut adalah aspek lingkungan, terdapat aspek lain yang merupakan aspek
manusia yaitu:

 Aktivitas manusia

Aktivitas manusia pada umumnya menghasilkan kalor yang akan dilepaskan ke lingkungan.
Kalor ini berbeda-beda untuk setiap aktivitas. Aktivitas berat seperti berolahraga,
mengangkat beban dan pekerjaan berat lain yang memerlukan energi yang besar akan
menghasilkan kalor yang besar pula. Sedangkan aktivitas seperti istirahat atau tidur
menghasilkan kalor yang minimum.

 Pakaian

Kalor yang dilepaskan seseorang ke lingkungan dipengaruhi juga oleh pakaian yang
dikenakan. Ketika pakaian yang dikenakan adalah pakaian yang tipis dan pendek maka
pelepasan kalor akan banyak terjadi. Hal ini biasanya dilakukan di daerah dengan suhu udara
yang tinggi. Sebaliknya jika pakaian yang dipakai adalah pakaian tebal dan panjang maka
pelepasan kalor dari kulit akan minimum. Biasanya pakaian seperti ini dipakai di daerah
dengan suhu rendah.

Untuk dapat mencapai kenyamanan termal maka diperlukan pengondisian udara yang baik.
Pengondisian udara ini bisa secara alami atau buatan. Pengondisian udara ini tergantung dari
kebutuhan di setiap daerah. Untuk daerah tropis maka pengondisian udara yang dibutuhkan
adalah untuk mengurangi kalor yang dalam suatu bangunan sedangkan di daerah dingin maka
pengondisian udara yang dimaksud adalah bertujuan untuk mempertahankan kalor di dalam
ruangan. Untuk daerah tropis seperti Indonesia, pengondisian udara secara alami adalah
dengan cara memanfaatkan aliran angin dan menghindari radiasi matahari berlebih. Hal ini
dapat dicapai dengan merancang sebuah bangunan dengan memperhatikan arah aliran angin
di lingkungan sekitar dan arah bukaan jendela yang tidak menghadap matahari langsung.
Sedangkan pengondisian udara buatan adalah suatu rekayasa di dalam ruangan dengan
menciptakan aliran udara secara paksa. Hal yang sudah lazim adalah penggunaan kipas angin
atau AC pada ruangan untuk menurunkan suhu di dalam ruangan atau menggunakan heater
untuk menaikkan suhu udara di malam hari. Tentunya pengondisian udara buatan ini
memerlukan energi yang besar sehingga pada perancangan bangunan pengondisian udara
secara alami sangat dioptimalkan.

Pengondisian udara atau penghawaan secara alami dapat dilakukan dengan beberapa hal
berikut:

 Bukaan jendela atau ventilasi yang baik

Ventilasi adalah suatu celah atau lubang tempat mengalirnya udara untuk tujuan pertukaran
kalor. Ventilasi ini biasanya merupakan bukaan jendela pada suatu bangunan. Arah bukaan
jendela biasanya tergantung dari keadaan iklim suatu daerah dengan memperhatikan arah
radiasi matahari. Pada daerah tropis maka orientasi bangunannya menghindari arah radiasi
matahari langsung. Biasanya untuk keperluan ini dirancang bangunan dengan orientasi Utara-
Selatan, artinya bukaan jendela terdapat di sisi Utara dan Selatan sehingga radiasi matahari
yang masuk melalui bukaan jendela dapat diminimumkan. Bukaan jendela ini berkaitan juga
dengan arah aliran angin. Untuk mendapatkan udara yang sejuk maka arah bukaan jendela
harus searah dengan arah aliran angin. Aliran angin ini akan sangat membantu adanya
konveksi di dalam ruangan sehingga kalor yang ada di dalam suatu ruangan akan dilepaskan
dengan mudah.

 Perancangan plafon yang tinggi

Plafon yang dirancang dengan ketinggian hingga 3,15 m akan menurunkan suhu ruangan
0,150C (mendesain rumah tropis , Bona Yudha Prasetya). Dengan plafon yang tinggi maka
akan tercipta ruang konveksi yang besar. Udara panas akan cenderung naik ke atas, maka
pada bangunan dengan plafon yang tinggi udara panas akan berkumpul di atas sehingga
aktivitas manusia yang berada di bawah tidak akan terganggu dengan panas. Perancangan
plafon ini akan maksimal jika ditambah perancangan ventilasi di bagian atas ruangan
sehingga udara panas dari bagian atas ruangan akan bersirkulasi dengan udara segar dari luar.

 Perancangan elemen pembayang pada jendela

Bukaan jendela atau ventilasi merupakan hal yang bersifat permanen karena merupakan
bagian dari rancangan bangunan. Sedangkan untuk pengondisian yang lebih fleksibel sesuai
dengan keperluan aktivitas seseorang maka dibutuhkan elemen pembayang. Elemen
pembayang ini dapat bersifat permanen atau dapat diatur (adjustable). Elemen pembayang
permanen biasanya berupa overhang di luar bangunan atau louver dan light-shelves di atas
jendela. Sedangkan elemen pembayang yang dapat diatur biasanya berupa tenda atau gondola
di luar bangunan atau roller dan curtain yang dipasang di dalam bangunan.

 Pemilihan material bangunan

Material bangunan biasanya digunakan pada dinding untuk berbagai keperluan. Untuk
meningkatkan kenyamanan termal, misalnya pada bangunan dengan orientasi bukaan jendela
Utara-Selatan maka dinding yang menghadap Timur dan Barat haruslah memiliki material
yang lambat dalam menghantarkan kalor dari radiasi matahari. Sehingga pada malam hari
ketika radiasi matahari minimum, kalor yang merambat melalui dinding akan sampai di
dalam ruangan dan menghangatkan ruangan. Pemilihan material ini bertujuan untuk
memaksimalkan sirkulasi udara di dalam ruangan.

 Penanaman vegetasi di sekitar bangunan

Penanaman vegetasi ditujukan untuk memperoleh lebih banyak udara segar di sekitar
bangunan. Vegetasi yang rimbun juga akan menimbulkan efek teduh yang akan
meningkatkan kenyamanan. Vegetasi ini baiknya diletakkan menghadap matahari langsung
agar dapat berfotosintesis secara maksimal dan menghasilkan lebih banyak oksigen yang
akan masuk ke dalam ruangan.

https://akasum.wordpress.com/2013/10/25/aspek-kenyamanan-termal-dalam-bangunan/
1
ARSITEKTUR, KENYAMANAN TERMAL DAN ENERGI
Tri Harso Karyono
Kuliah Terbuka Jurusan Arsitektur, Universitas Soegrijapranata, Semarang, 9 Nopember
1996
Ada tiga sasaran yang seharusnya dipenuhi oleh suatu karya arsitektur (baca: bangunan).
Pertama, bahwa bangunan harus merupakan produk dari suatu kerja seni (work of art).
Kedua,
bahwa bangunan harus mampu memberikan kenyamanan (baik psikis maupun fisik) kepada
penghuninya. Dan yang terakhir, bahwa bangunan perlu hemat terhadap pemakaian energi
[1].
Bangunan yang gagal menjadi produk dari 'work of art' akan sulit mendapatkan tempat
dalam catatan sejarah arsitektur. Bangunan yang gagal mewadahi aktifitas pemakainya
dengan
'nyaman' akan dirombak - ditambah atau dikurangi agar bangunan tersebut menjadi nyaman.
Sedangkan bangunan yang gagal menghemat dalam pemakaian energi akan menjadi mahal
secara operasional, apalagi jika hal ini dikaitkan dengan masalah penipisan cadangan minyak
bumi sebagai sumber utama energi untuk bangunan dewasa ini.
Kenyamanan termal
Pada dasarnya arsitektur merupakan wadah kegiatan manusia agar kegiatan itu dapat
terselenggara secara nyaman. Ada dua aspek kenyamanan yang perlu dipenuhi oleh suatu
karya arsitektur, yakni kenyamanan psikis dan fisik. Kenyamanan psikis banyak kaitannya
dengan kepercayaan, agama, aturan adat, dan sebagainya. Aspek ini bersifat personal,
kualitatif dan tidak terukur secara kuantitatif. Sementara di lain pihak, kenyamanan fisik lebih
bersifat universal dan dapat dikuantifisir. Kenyamanan fisik terdiri - di antaranya adalah:
kenyamanan ruang (spatial comfort), kenyamanan penglihatan (visual comfort), kenyamanan
pendengaran (audial comfort) dan kenyamanan termal (thermal comfort)[2]. Dari keempat
macam kenyamanan fisik tersebut, 'kenyamanan termal' -lah yang paling dominan
berpengaruh pada penggunaan energi pada bangunan.
Teori kenyamanan termal menyatakan bahwa rasa panas atau dingin yang dirasakan oleh
tubuh manusia adalah merupakan wujud respon dari sensor perasa pada kulit terhadap stimuli
suhu yang ada di sekitarnya. Sensor perasa berperan menyampaikan informasi rangsangan
rasa kepada otak, di mana otak akan memberikan perintah kepada bagian-bagian tubuh
tertentu agar melakukan antisipasi guna mempertahankan suhu tubuh agar tetap berada pada
sekitar 37oC. Hal ini diperlukan oleh organ tubuh untuk dapat menjalankan fungsinya secara
baik.
Apabila suhu udara di sekitar tubuh manusia lebih tinggi dari suhu nyaman yang diperlukan
oleh tubuh, aliran darah pada permukaan tubuh atau anggota badan akan meningkat dan ini
akan meningkatkan suhu kulit. Peningkatan suhu ini bertujuan untuk melepaskan lebih
banyak
panas dari dalam tubuh secara radiasi ke udara di sekitarnya. Proses pengeluaran keringat
2
akan terjadi pada suhu udara yang lebih tinggi lagi, sebagai tindak lanjut dari usaha pelepasan
panas tubuh melalui proses penguapan, apabila suhu luar terlalu tinggi. Pada situasi di mana
suhu udara lebih rendah dari yang diperlukan tubuh, peredaran darah ke permukaan tubuh
atau
anggota badan dikurangi. Hal ini merupakan usaha tubuh untuk mengurangi pelepasan panas
ke udara disekitarnya. Pada situasi ini pada umumnya tangan atau kaki menjadi dingin dan
pucat. Otot-otot akan berkontraksi dan tubuh akan meinggigil pada suhu udara yang lebih
rendah lagi. Hal ini merupakan usaha terakhir tubuh untuk memperoleh tambahan panas
melalui peningkatan proses metabolisme. Pada kondisi lebih ekstrim, baik terlalu panas
ataupun terlalu dingin, manusia mungkin tidak lagi mampu bertahan untuk hidup.
Ilmu kenyamanan termal hanya membatasi pada kondisi udara tidak ekstrim (moderate
thermal environment), di mana manusia masih dapat mengantisipasi dirinya terhadap
perubahan suhu udara di sekitarnya. Dalam kondisi yang tidak ekstrim ini terdapat daerah
suhu
di mana manusia tidak memerlukan usaha apapun, seperti halnya menggigil atau
mengeluarkan keringat, dalam rangka mempertahankan suhu tubuhnya agar tetap berkisar
pada 37oC. Daerah suhu inilah yang kemudian disebut dengan 'suhu nyaman' [3]. Penelitian
Farida Idealistina [4] menyatakan bahwa suhu nyaman diperlukan manusia untuk
mengoptimalkan produktifitas kerja.
Karena tubuh manusia memiliki variasi antara satu dengan lainnya seperti halnya gemuk,
kurus, kekar, dan sebagainya, ada kecenderungan bahwa suhu nyaman yang dimiliki oleh
tiap-
tiap individu berbeda. Untuk itu secara teori tidak akan pernah terjadi bahwa sekelompok
manusia dapat merasakan nyaman seluruhnya apabila ditempatkan dalam satu ruang yang
memiliki suhu yang sama. Prosentase maksimum yang dapat dicapai oleh suhu tertentu untuk
memberikan kenyamanan terhadap suatu kelompok manusia adalah 95%. Artinya pada suhu
tersebut 95% dari individu dalam kelompok itu merasa nyaman. Suhu inilah yang kemudian
secara teori didefinisikan sebagai suhu nyaman [5].
Tingkat Keberlakuan Standar Kenyaman Termal
Sensasi manusia terhadap suhu (termal) di sekitarnya menurut Standar Internasional ISO-
7730
merupakan fungsi dari empat faktor iklim yaitu, suhu udara, suhu radiasi, kelembaban udara,
dan kecepatan angin, serta dua faktor individu yakni, tingkat kegiatan yang berkaitan dengan
tingkat metabolisme tubuh, serta jenis pakaian yang dikenakan [5]. Secara teori kenyamanan
termal tidak dipengaruhi oleh hal-hal seperti jenis kelamin, usia, tingkat kegemukan, tempat
tinggal geografis, suku bangsa, adaptasi, kepadatan, warna, dan lainnya. Secara teori
sekelompok manusia Indonesia dan sekelompok manusia dari bangsa lain akan memperoleh
tingkat kenyamanan termal yang sama ketika mereka ditempatkan di ruang sama, melakukan
aktifitas sama dan mengenakan pakaian sama.
3
Humphreys [7,8] dan Nicol [9] mengeluarkan teori adaptasi (the adaptive model), yang
menyangkal keberlakuan Standar Internasional, ISO. Menurut Humphreys dan Nicol
kenyamanan termal dipengaruhi oleh adaptasi dari masing-masing individu terhadap suhu
luar
di sekitarnya. Analisis Humphreys [7] terhadap sejumlah penelitian kenyamanan termal di
sejumlahi tempat di dunia ditemukan bahwa Standar Internasional ISO tidak sejalan dengan
sejumlah kesimpulan dari penelitian-penelitian tersebut. ISO cenderung memprediksi suhu
nyaman lebih tinggi bagi mereka yang bermukim di iklim sedang atau iklim dingin.
Sementara
untuk mereka yang bermukim di iklim panas atau tropis Iso memprediksi sebaliknya, justru
terlalu rendah.
Dinyatakan oleh Humphreys [7,8] bahwa suhu nyaman merupakan fungsi dari suhu udara
luar rata-rata bulanan di suatu tempat. Suatu formula dirumuskan oleh Humphreys untuk
memprediksi suhu nyaman bagi manusia di tempat tertentu dengan iklim tertentu.
4.8.4. Suhu Nyaman dan Penghematan Energi dalam Bangunan
Hasil penelitian kenyamanan termal yang dilakukan Karyono [12] dinyatakan bahwa sekitar
95% dari 596 karyawan/wati yang bekerja di Jakarta merasa nyaman pada 26,4oC suhu
udara,
Ta atau pada 26,7oC suhu operasi, To (suhu gabungan rata-rata antara suhu udara dan suhu
akibat radiasi). Sementara standar kenyamanan termal di Indonesia yang berpedoman pada
standar Amerika (ANSI/ASHRAE 55-1992)[6] merekomendasikan suhu nyaman pada 22.5o-
26oC To, atau disederhanakan menjadi 24oC + 1o atau + 2oC To. Jika dibandingkan hasil
penelitian Karyono di atas, suhu nyaman pada perencanaan bangunan berpengkondisi udara
di
Jakarta (Indonesia) berada sekitar 2.5oC To lebih rendah, dan ini akan mempunyai implikasi
tertentu terhadap penggunaan energi dalam bangunan. Sementara itu perhitungan (prediksi)
ISO yang diukur dengan menggunakan thermal comfort meter type 1212 pada penelitian
Karyono [12] menunjukkan suhu nyaman sekitar 25,5oCTo, yang berarti sekitar 1,1oC To
lebih
rendah dari suhu nyaman hasil penelitian di Jakarta [13].
Dari uraian di atas terlihat bahwa baik rekomendasi ISO maupun ASHRAE memperlihatkan
angka yang lebih rendah dari hasil penelitian Karyono di Jakarta. Suatu telaah yang dilakukan
Karyono [14] terhadap beberapa penelitian kenyamanan termal di wilayah Asia Tengggara
dan
Papua New Guinea memperlihatakan bahwa suhu nyaman mereka yang tinggal dalam
kawasan itu berkisar antara 24,5 hingga 30oC Ta (24,2 - 28,5oC To) di mana angka ini lebih
tinggi dibanding rekomendasi baik dari ISO maupun ASHRAE.
Perbedaan suhu nyaman bagi mereka yang tinggal di daerah tropis lembab dengan ISO
maupun ASHRAE memberikan indikasi bahwa faktor suhu luar rata-rata (iklim setempat)
berpengaruh terhadap pemilihan suhu nyaman manusia. Seperti diketahui bahwa kedua
standar tersebut (ISO dan ASHRAE) dirumuskan dari hasil penelitian di negara beriklim
sedang
4
dengan sampel sebagian besar bangsa Eropa dan Amerika Utara, yang sebagaimana
diperkirakan oleh Humpreys dan Nicol, akan menghasilkan suhu nyaman yang cenderung
lebih
rendah dibandingkan dengan mereka yang tinggal di daerah panas atau tropis. Hal ini
disebabkan oleh adanya faktor adaptasi terhadap suhu udara luar yang lebih tinggi.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa akibat penerapan suhu nyaman yang berasal
dari standar asing - yang lebih rendah dari kebutuhan nyata suhu nyaman manusia Indonesia -
di satu pihak karyawan/wati yang bekerja pada gedung-gedung berpengkondisi udara akan
merasakan ruang yang lebih dingin dari yang diperlukan, atau dengan kata lain 'dingin-tidak
nyaman', di lain pihak berdasarkan penelitian dan perhitungan teoritis bahwa
kenaikkan/penurunan suhu bangunan sebesar 1oC akan menurunkan/menaikkan 10%
konsumsi energi pada bangunan tersebut. Dengan kata lain kenaikkan 2,5oC pada suhu
perencanaan dari 24oC (standar ASHRAE) menjadi 26,5oC (suhu nyaman hasil penelitian
Jakarta), akan menghasilkan penghematan energi sebesara 25% pada bangunan-bangunan
berpengkondisi udara di Jakarta.
Kiranya penelitian serupa dapat diperluas untuk kota dan daerah lain di Indonesia.
Penelitian ini akan bermanfaat bagi penentuan standar suhu nyaman di daerah setempat. Hasil
penelitian tersebut akan membantu arsitek dalam merancang bangunan yang nyaman dan
hemat energi, meskipun tidak pernah dicatat dalam sejarah arsitektur.

ARSITEKTUR, KENYAMANAN TERMAL DAN ENERGI (PDF Download Available).


Available from:
https://www.researchgate.net/publication/305186728_ARSITEKTUR_KENYAMANAN_TE
RMAL_DAN_ENERGI [accessed Apr 10 2018].

Anda mungkin juga menyukai