Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PENDAHULUAN

MENINGITISENSEFALITIS TB

A. Konsep Dasar Teori


I. Definisi
Meningitis adalah radang umum pada arakhnoid dan piamater yang dapat
terjadi secara akut dan kronis. Sedangkan ensefalitis adalah radang jaringan
otak. Meningoensefalitis tuberkulosis adalah peradangan pada meningen dan
otak yang disebabkan oleh Mikobakterium tuberkulosis (TB). Penderita dengan
meningoensefalitis dapat menunjukkan kombinasi gejala meningitis dan
ensefalitis.

II. Etiologi
Infeksi TB pada system saraf pusat disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium tuberculosis. Seperti semua jenis infeksi TB, infeksi SSP
dimulai dari inhalasi partikel yang infektif. Dalam droplet penderita TB
mengandung sejumlah bakteri TB yag dapat mencapai alveoli dan bereplikasi
dalam makrofag (Scheld, 2004). Sekitar 2-4 minggu akan dibentuk respon
imun. Kumpulan bakteri yang diserang, limfosit, dan sel-sel yang
mengelilinginya membentuk suatu focus perkejuan. Fokus ini akan diresorpsi
oleh makrofag disekitarnya dan meninggalkan bekas infeksi. Bila, focus terlalu
besar makan akan dibentuk kapsul fibrosa yang akan mengelilingi focus
tersebut, namun bakteri yang masih hidup didalamnya dapat mengalami
reaktivasi kembali. Jika pertahanan tubuh rendah, maka focus tersebut akan
semakin membesar karena terjadi proliferasi bakteri. Pada penderita dengan
sistem imunitas yang lemah, focus infeksi tersebut akan mudah ruptur dan
menyebabkan TB ekstra paru dan dapat menyerang meningen dan jaringan
otak (Van de Berk, 2004).

III.Insidensi
Sebelum maraknya penggunaan antibiotika, ditemukan 1000 anak dengan
TB akif di New York sekitar pada tahun 1930. Hampir 15% diantaranya
menderita meningitis TB dan meninggal. Pada awal tahun 2003, menurut
WHO terdapat sekitar 1/3 penduduk dunia menderita TB aktif dan 70.000
diantaranya menderita meningitis (Balentine, 2010). WHO juga melaporkan
9,27 juta kasus baru dan 1,3 juta kasus ME- TB yang berhubungan dengan
HIV pada tahun 2007 (Sengoz, 2011).

IV. Manifestasi Klinis


Keluhan pertama biasanya nyeri kepala. Rasa ini dapat menjalar ke
tengkuk dan punggung. Tengkuk menjadi kaku. Kaku kuduk disebabkan oleh
mngejangnya otot-otot ekstensor tengkuk. Kesadaran menurun , tanda kernig
dan Brudzinki positif.
Gejala meningitis tidak selalu sama, tergantung dari usia penderita serta
virus apa yang menyebabkan. Gejala yang paling umum adalam demam
tinggi, sakit kepala, pilek, mual, muntah, kejang. Setelah itu penderita merasa
sangat lelah, leher terasa pegal dan kaku, gangguan kesadaran serta
penglihatan menjadi kurang jelas.
Gejala meningitis meliputi:
1. Gejala Infeksi akut
 Panas
 Nafsu makan menurun
 Anak Lesu
2. Gejala kenaikan tekanan Intra Kranial
 Kesadaran menurun
 Kejang
 Ubun – ubun besar menonjol
3. Gejala rangsang meningeal
 Kaku kuduk
 Kernig
 Brudzinski
Menurut Lincoln, manifestasi klinis dari meningitis tuberculosa
dikelompokkan dalam tiga stadium1:
1. Stadium I (stadium inisial / stadium non spesifik / fase prodromal)
 Prodromal, berlangsung 1 - 3 minggu
 Biasanya gejalanya tidak khas, timbul perlahan- lahan, tanpa
kelainan neurologis
Gejala: * demam (tidak terlalu tinggi)
* rasa lemah
* nafsu makan menurun (anorexia)
* nyeri perut
* sakit kepala
* tidur terganggu
* mual, muntah
* konstipasi
* apatis
* irritable1
 Pada bayi, irritable dan ubun- ubun menonjol merupakan manifestasi yang
sering ditemukan; sedangkan pada anak yang lebih tua memperlihatkan
perubahan suasana hati yang mendadak, prestasi sekolah menurun, letargi,
apatis, mungkin saja tanpa disertai demam dan timbul kejang
intermiten.4,7,9 .
 Jika sebuah tuberkel pecah ke dalam ruang sub arachnoid maka stadium I
akan berlangsung singkat sehingga sering terabaikan dan akan langsung
masuk ke stadium III1.
2. Stadium II (stadium transisional / fase meningitik)
 Disebut juga fase meningitik, yang ditandai dengan memberatnya penyakit.
Pada fase ini terjadi rangsangan pada selaput otak/meningen.1,4
 Ditandai oleh adanya kelainan neurologik, akibat eksudat yang terbentuk
diatas lengkung serebri.
 Pemeriksaan kaku kuduk (+), refleks Kernig dan Brudzinski (+) kecuali
pada bayi.
 Dengan berjalannya waktu, terbentuk infiltrat (massa jelly berwarna abu) di
dasar otak  menyebabkan gangguan otak / batang otak1,3.
 Pada fase ini, eksudat yang mengalami organisasi akan mengakibatkan
kelumpuhan saraf kranial dan hidrosefalus, gangguan kesadaran,
papiledema ringan serta adanya tuberkel di koroid. Vaskulitis
menyebabkan gangguan fokal, saraf kranial dan kadang medulla spinalis.
Hemiparesis yang timbul disebabkan karena infark/ iskemia, quadriparesis
dapat terjadi akibat infark bilateral atau edema otak yang berat1,3.
 Pada anak berusia di bawah 3 tahun, iritabel dan muntah adalah gejala
utamanya, sedangkan sakit kepala jarang dikeluhkan. Sedangkan pada
anak yang lebih besar, sakit kepala adalah keluhan utamanya, dan
kesadarannya makin menurun.
 Gejala:
* Akibat rangsang meningen : sakit kepala berat dan muntah (keluhan utama)5
* Akibat peradangan / penyempitan arteri di otak:
- disorientasi
- bingung
- kejang
- tremor
- hemibalismus / hemikorea
- hemiparesis / quadriparesis
- penurunan kesadaran
* Gangguan otak / batang otak / gangguan saraf kranial:
Saraf kranial yang sering terkena adalah saraf otak III, IV, VI, dan VII
Tanda: - strabismus - diplopia
- ptosis - reaksi pupil lambat
- gangguan penglihatan kabur

Gambar 3. Kaku Kuduk (Nuchal Rigidity) Pada Penderita Meningitis

3. Stadium III (koma / fase paralitik)1


 Terjadi percepatan penyakit, berlandsung selama ± 2-3 minggu
 Gangguan fungsi otak semakin jelas.
 Terjadi akibat infark batang otak akibat lesi pembuluh darah atau
strangulasi oleh eksudat yang mengalami organisasi.
 Gejala: * pernapasan irregular
* demam tinggi
* edema papil
* hiperglikemia
* kesadaran makin menurun, irritable dan apatik, mengantuk,
stupor, koma, otot ekstensor menjadi kaku dan spasme,
opistotonus, pupil melebar dan tidak bereaksi sama sekali.
* nadi dan pernafasan menjadi tidak teratur
* hiperpireksia
* akhirnya, pasien dapat meninggal.
Tiga stadium tersebut di atas biasanya tidak jelas batasnya antara satu
dengan yang lain, tetapi bila tidak diobati biasanya berlangsung 3 minggu
sebelum pasien meninggal. Dikatakan akut bila 3 stadium tersebit berlangsung
selama 1 minggu.
Hidrosefalus dapat terjadi pada kira-kira 2/3 pasien, terutama yang
penyakitnya telah berlangsung lebih dari 3 minggu. Hal ini terjadi apabila
pengobatan terlambat atau tidak adekuat

V. Patofisiologi
Mycobaterium Tuberculosis masuk tubuh
Tersering melalui inhalasi
Jarang pada kulit, saluran cerna
Multiplikasi
Infeksi paru / fokus infeksi lain
Penyebaran hematogen
Meningens
Membentuk tuberkel
Bakteri M.Tuberculosis tidak aktif / dormain
Bila daya tahan tubuh menurun
Rupture tuberkel meningen
Pelepasan Bakteri ke ruang subarachnoid dan encephalon
MENINGOENSEFALITIS TUBERKULOSA

Eksudat purulent menyebar ke Aktivitas makrofag dan virus Mengikuti cairan darah sistemi
dasar otak dan medulla spinalis
Pelepasan zat pirogen endogen Penyebaran infeksi sistemik
Kerusakan Spinalis
Merangsang kerja berlebihan Sepsis
CO2 Meningkat dari PGE2 di hipothalamus
Resiko Tinggi Infeksi
Instabil termoregulasi
Permeabilitas vaskuler pada
serebri
Suhu tubuh meningkat
Permeabilitas vaskuler pada
serebri Hipertermia

Transudasi cairan

Edema serebri

Volume tekanan otak TIK meningkat

Vasospasme pembuluh Nyeri kepala


darah arteri
Sirkulasi terhenti
VI.Pemeriksaan Penunjang
Gangguan perfusi Kesadaran menurun Penumpukan sekret Ketidakefektifan
2.8.1 Anamnesis
jaringan otak bersihan jalan napasa
Dapat ditemukan riwayat kontak dengan pasien TB, malaise, anoreksia,
demam, nyeri kepala yang semakin memburuk, perubahan mental, penurunan
kesadaran, kejang, kelumpuhan saraf kranial, hemiparese, atau gangguan
neurologis lain (Meiti F, 2011).
2.8.2 Pemeriksaan fisik
Sering ditemukan tanda klinis berupa kaku kuduk (40-80%), kebingungan
(10-30%), penurunan kesadaran (30-60%), parese saraf kranial (30-50%),
hemiparese (10-20%), paraparese (5-10%), dan kejang (50% pada anak-anak dan
5% pada dewasa) (Twaithes G et al, 2009).
2.8.3 Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium rutin : tidak khas, dapat ditemukan leukosit yang meningkat,
normal, atau menurun, diff count bergeser ke kiri, kadang-kadang
ditemukan hiponatremia akibat SIADH (Meiti F, 2011).
2. Analisa CSF :
a. Jumlah lekosit 100-500/L, biasanya predominan limfosit
b. Protein 100-500 mg/dl
c. Glukosa < 45 mg/dl
d. Warna jernih atau xantochrom
e. Terdapat peningkatan tekanan pada LP, 40-75% pada anak dan 50%
pada dewasa (Meiti F, 2011) (Marra,2004).
2. Mikrobiologi : ditemukan M.tuberculosis pada kultur CSS merupakan gold
standard, tetapi sangat sulit, lebih dari 90% hasilnya negative (Meiti F,
2011).
3. CSF PCR (Polymerase Chain Reaction) spesifik tetapi tidak sensitive
(Marra CM, 2004).
4. Pada pemeriksaan foto rontgen thoraks ditemukan tuberkulosis aktif pada
paru dan dapat sembuh sampai 50% pada dewasa dan 90% pada anak-anak
(Meiti F, 2011).
5. Hasil tes PPD tuberkulin negatif pada 10-15% anak dan 50% pada dewasa
(Meiti F, 2011).
6. CT Scan kepala : Dapat ditemukan kelainan pada pemeriksaan CT scan
seperti hidrosefalus, penyangatan meningeal, lesi massa (tuberkuloma,
tuberculous abscess), dan infark. Semua pasien dengan kecurigaan
meningitis TB sebaiknya dilakukan pemeriksaan neuroimaging, idealnya
dilakukan sebelum dilakukan LP (Marra CM, 2004) (Ganiem AR, 2010).
7. Funduskopi : Dapat terlihat adanya tuberkel pada khoroid, dan edema
papil yang menandakan adanya peninggian tekanan intracranial (Meiti F,
2011).

Penatalaksanaan
1. Perawatan umum
a. Penderita dirawat di rumah sakit.
b. Mula – mula cairan diberikan secara infus dalam jumlah yang cukup
dan jangan berlebihan.
c. Bila gelisah diberi sedativa seperti Fenobarbital atau penenang.
d. Nyeri kepala diatasi dengan analgetika.
e. Panas diturunkan dengan :
Kompres es
Paracetamol
Asam salisilat
Pada anak dosisnya 10 mg/kg BB tiap 4 jam secara oral
f. Kejang diatasi dengan :
Diazepam
Dewasa : dosisnya 10 – 20 mg IV
Anak : dosisnya 0,5 mg/kg BB IV
Fenobarbital
Dewasa : dosisnya 6 – 120 mg/hari secara oral
Anak : dosisnya 5 – 6 mg/kg BB/hari secara oral
Difenil hidantoin
Dewasa : dosisnya 300 mg/hari secara oral
Anak : dosisnya 5 – 9 mg/kg BB/hari secara oral
g. Sumber infeksi yang menimbulkan meningitis purulenta diberantas
dengan obat – obatan atau dengan operasi
h. Kenaikan tekanan intra kranial diatasi dengan :
Manitol
Dosisnya 1 – 1,5 mg/kg BB secara IV dalam 30 – 60 menit dan
dapat diulangi 2 kali dengan jarak 4 jam
Kortikosteroid
Biasanya dipakai deksametason secara IV dengan dosis
pertama 10 mg lalu diulangi dengan 4 mg setiap 6 jam.
Kortikosteroid masih menimbulkan pertentangan. Ada yang
setuju untuk memakainya tetapi ada juga yang mengatakan
tidak ada gunanya.
Pernafasan diusahakan sebaik mungkin dengan
membersihkan jalan nafas.
i. Bila ada hidrosefalus obstruktif dilakukan operasi pemasangan pirau
(shunting).
j. Efusi subdural pada anak dikeluarkan 25 – 30 cc setiap hari selama 2
– 3 minggu, bila gagal dilakukan operasi.
k. Fisiotherapi diberikan untuk mencegah dan mengurangi cacat.

2. Pemberian Antibiotika.
Antibiotika spektrum luas harus diberikan secepat mungkin tanpa
menunggu hasil biakan. Baru setelah ada hasil biakan diganti dengan antibiotika
yang sesuai. Pada terapi meningitis diperlukan antibiotika yang jauh lebih besar
daripada konsentrasi bakterisidal minimal, oleh karena :
Dengan menembusnya organisme ke dalam ruang sub araknoid
berarti daya tahan host telah menurun.
Keadaan likuor serebrospinalis tidak menguntungkan bagi leukosit
dan fagositosis tidak efektif.
Pada awal perjalanan meningitis purulenta konsentrasi antibodi dan
komplemen dalam likuor rendah.
Pemberian antibiotika dianjurkan secara intravena yang mempunyai
spektrum luas baik terhadap kuman gram positif, gram negatif dan anaerob serta
dapat melewati sawar darah otak (blood brain barier). Selanjutnya antibiotika
diberikan berdasarkan hasil test sensitivitas menurut jenis bakteri.
Antibiotika yang sering dipakai untuk meningitis purulenta adalah :
a. Ampisilin
Diberikan secara intravena
Dosis : Neonatus : 50 – 100 mg/kg BB/hari
dibagi dalam 2 kali pemberian.
Umur 1 – 2 bulan : 100 – 200 mg/kg BB/hari
dibagi dalam 3 kali pemberian.
Umur > 2 bulan : 300 – 400 mg/kg BB/hari
dibagi dalam 4 kali pemberian.
Dewasa : 8 – 12 gram/hari
dibagi dalam 4 kali pemberian.
b. Gentamisin
Diberikan secara intravena
Dosis : Prematur : 5 mg/kg BB/hari
dibagi dalam 2 kali pemberian.
Neonatus : 7,5 mg/kg BB/hari
dibagi dalam 3 kali pemberian.
Bayi dan dewasa : 5 mg/kg BB/hari
dibagi dalam 3 kali pemberian.
c. Kloramfenikol
Diberikan secara intravena
Dosis : Prematur : 25 mg/kg BB/hari
dibagi dalam 2 kali pemberian.
Bayi genap bulan : 50 mg/kg BB/hari
dibagi dalam 2 kali pemberian.
Anak : 100 mg/kg BB/hari
dibagi dalam 4 kali pemberian.

Dewasa : 4 – 8 gram/hari
dibagi dalam 4 kali pemberian.
d. Sefalosporin
Diberikan secara intravena
Sefotaksim
Dosis : Prematur & neonatus : 50 mg/kg BB/hari
dibagi dalam 2 kali
pemberian.
Bayi & anak : 50 – 200 mg/kg BB/hari
dibagi dalam 2–4 kali
pemberian.
Dewasa : 2 gram tiap 4 – 6 jam.
Bila fungsi ginjal jelek, dosis diturunkan.
Sefuroksim
Dosis : Anak : 200 mg/kg BB/hari
dibagi dalam 4 kali
pemberian.
 Dewasa : 2 gram tiap 6 jam

B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan


A. Pengkajian
Anamnesa
1. Identitas:
Nama, umur, jenis kelamin, agama, suku bangsa, alamat, tanggal masuk
rumah sakit, nomor register, tanggal pengkajian dan diagnosa medis.
Identitas ini digunakan untuk membedakan klien satu dengan yang lain.
Jenis kelamin, umur dan alamat dapat mempercepat atau memperberat
keadaan penyakit infeksi. Meningoensefalitis dapat terjadi pada semua
kelompok umur.
2. Keluhan utama:
Panas badan meningkat, kejang, kesadaran menurun.
3. Riwayat penyakit sekarang:
Mula-mula pasien gelisah , muntah-muntah , panas badan meningkat, sakit
kepala.
4. Riwayat penyakit dahulu:
Klien sebelumnya menderita batuk , pilek kurang lebih 1-4 hari, pernah
menderita penyakit Herpes, penyakit infeksi pada hidung, telinga dan
tenggorokan.
5. Riwayat kesehatan keluarga:
Keluarga ada yang menderita penyakit yang disebabkan oleh virus contoh:
Herpes dan lain-lain. Bakteri contoh: Staphylococcus Aureus,
Streptococcus , E. Coli , dan lain-lain.
Pemeriksaan fisik

B1 (Breathing) : Perubahan-perubahan akibat peningkatan tekanan


intra cranial menyebabakan kompresi pada batang
otak yang menyebabkan pernafasan tidak teratur.
Apabila tekanan intrakranial sampai pada batas fatal
akan terjadi paralisa otot pernafasan.
B2 (Blood) : Adanya kompresi pada pusat vasomotor
menyebabkan terjadi iskemik pada daerah tersebut,
hal ini akan merangsaang vasokonstriktor dan
menyebabkan tekanan darah meningkat. Tekanan
pada pusat vasomotor menyebabkan meningkatnya
transmitter rangsang parasimpatis ke jantung.
B3 (Brain) : Kesadaran menurun. Gangguan tingkat kesadaran
dapat disebabkan oleh gangguan metabolisme dan
difusi serebral yang berkaitan dengan kegagalan
neural akibat prosses peradangan otak.
B4 (Bladder) : Biasanya pada pasien meningo ensefalitis kebiasaan
miksi dengan frekuensi normal.
B5 (Bowel) : Penderita akan merasa mual dan muntah karena
peningkatan tekanan intrakranial yang menstimulasi
hipotalamus anterior dan nervus vagus sehingga
meningkatkan sekresi asam lambung.
B6 (Bone) : Hemiplegi

 Pola aktifitas : Aktifitas tirah baring, pola istirahat terganggu


dan istirahat dengan adanya kejang / konvulsif

 Makan dan : Mual muntah, disertai dengan kesulitan menelan,


minum sehingga membutuhkan bantuan NGT dalam
pemenuhan nutrisi
 Neurosensori : Terjadi kerusakan pada nervus kranialis, yang
terkadang menyebabkan perubahan persepsi
sensori. Kaku kuduk (+), pemeriksaan kernig sign
(+), Burdinzki (+)
 Integritas ego : Perubahan status mental dari letargi sampai koma

 Kenyamanan : Terdapat nyeri kepala karena peningkatan TIK


akibat edema serebri
 Keamanan : Perubahan dalam fungsi mental, tonus otot yang tak
terkoordinasi sehingga diperlukan pengaman
disamping tempat tidur sampai restrain pada
ekstremitas

B. Diagnosa keperawatan
 Gangguan perfusi jaringan b/d edema serebral.
 Gangguan rasa nyaman nyeri b/d proses inflamasi
 Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d kesulitan
menelan
 Resiko infeksi b/d penyebaran infeksi sistemik
 Resiko cidera b/d disfungsi motorik : kejang
 Hipertermi b/d peningkatan laju metabolisme
 Resiko gangguan integritas kulit b/d tirah baring

C. INTERVENSI KEPERAWATAN
Diagnosa Tujuan dan Intervensi Rasional
keperawatan Kriteria Hasil
Gangguan Setelah dilakukan Mandiri
1. Monitoring tanda- 1. Sebagai acuan dasar
perfusi tindakan
tanda vital dalam pemberian
jaringan b/d keperawatan selama
2. Monitoring tingkat
intervensi lebih lanjut
edema 3x24 jam, perfusi
kesadaran 2. Penurunan tingkat
serebral. jaringan serebral 3. Tinggikan kepala
kesadaran pasien akan
menjadi adekuat di tempat tidur 15-
memerlukan tindakan
dengan kriteria 30 derajat.
yang intensif
hasil: 3. Peningkatan aliran vena
1. Tanda vital
Kolaborasi dari kepala akan
dalam batas
1. Berikan cairan iv menurunkan TIK
normal
(larutan hipertonik,
TD : 120/80
elektrolit ). 1. Meminimalkan fluktuasi
mmHg
N : 60-100 2. Berikan obat : dalam aliran vaskuler dan
x/menit steroid, TIK.
S : 36,5-37,5 0 C 2. Menurunkan
clorpomazin,
RR : 20-22 x/menit
permeabilitas kapiler
2. Menunjukka asetaminofen
untuk membatasi edema
n
serebral, mengatasi
peningkatan
kelainan postur tubuh
kesadaran
atau menggigil yang
yang berarti
dapat meningkatkan TIK,
menurunkan konsumsi
oksigen dan resiko
kejang
Gangguan Setelah dilakukan Mandiri
1. Monitoring tanda- 1. Sebagai acuan dasar
rasa nyaman tindakan
tanda vital dalam pemberian
nyeri b/d keperawatan selama
2. Kaji skala nyeri
intervensi lebih lanjut
proses 3x24 jam, nyeri
dengan teknik 2. Mengetahui tingkat atau
inflamasi dapat berkurang
PQRST skala nyeri yang
ataupun hilang 4. Ajarkan pada
dirasakan oleh pasien
dengan kriteria pasien terkait 3. Merupakan teknik non
hasil: dengan teknik farmakologis dalam
1. Tanda vital
distraksi nyeri menurunkan rasa nyeri
dalam batas 4. Keramaian atau suasana
(nafas dalam,
normal gaduh akan menambah
berbincang-
TD : 120/80
ketidaknyamanan yang
bincang dengan
mmHg
dirasakan pasien
N : 60-100 pasien)
1. Merupakan terapi secara
5. Berikan
x/menit
farmakologis dalam
S : 36,5-37,5 0 C lingkungan yang
penurun sensasi nyeri
RR : 20-22 x/menit kondusif
2. TENS mampu memblokir
2. Pasien mampu Kolaborasi
sensasi nyeri yang dirasa
mengatasi 1. Memberikan terapi
pada pusat nyeri di otak
nyeri analgetik
3. Skala nyeri 2. Menganjurkan
berkurang penggunaan TENS
4. Pasien
menunjukka
n ekspresi
wajah tidak
menahan
nyeri
Ketidakseimb Setelah dilakukan Mandiri 1. Sebagai acuan dasar
1. Monitoring BB,
angan nutrisi tindakan dalam pemberian
TB, Lila
kurang dari keperawatan selama intervensi terkait dengan
2. Kaji intake output
kebutuhan 3x24 jam, intake makanan dan pemenuhan nutrisi
tubuh b/d nutrisi tubuh cairan
3. Anjurkan
kesulitan menjadi adekuat
penggunaan NGT
menelan dengan kriteria 2. Mengetahui intake
bila pasien
hasil: maupun output makanan
1. BB dan Lila kesulitan menelan
dan cairan pasien
dalam batas atau mengalami 3. Merupakan alternatif
normal mual muntah yang pemberian nutrisi pada
2. Hasil
tak terkontrol pasien dengan gangguan
pemeriksaan 4. Monitoring kadar
menelan maupun keadaan
Hb dan Hb maupun kadar
mual muntah tak
albumin albumin
terkontrol
dalam batas 4. Kekurangan albumin
normal Kolaborasi akan meningkatkan
(Hb : 13,0
resiko infeksi, dan kadar
mg/dl dan
1. Mengkonsultas Hb yang rendah akan
albumin )
ikan dengan meminimalkan
ahli gizi terkait pendistribusian O2 oleh
diit yang oksihemoglobin
1. Merupakan intervensi
sesuai nutrisi
khusus dalam rencana
pasien
pemberian diit yang tepat
pada pasien, dan
mengetahui kandungan
maupun takaran nutrisi
yang tepat pada pasien.
Resiko infeksi Setelah dilakukan Mandiri
1. Monitoring tanda-
b/d tindakan 1. Sebagai acuan dasar
tanda vit
penyebaran keperawatan selama dalam pemberian
infeksi 3x24 jam, tidak 2. Beri tindakan intervensi lebih lanjut
sistemik didapatkan tanda- isolasi sebagai bila didapatkan suhu
tanda infeksi kriteria pencegahan tubuh yang meningkat
3. Pertahankan teknik
hasil: sebagai respon tubuh
1. Tanda vital aseptik dan teknik
terhadap antigen yang
dalam batas cuci tangan yang masuk
2. Pada fase awal
normal tepat saat sebelum
TD : 120/80 meningitis, isolasi
melakukan
mmHg mungkin diperlukan
tindakan pada
N : 60-100
sampai organisme
pasien, sesudah
x/menit
diketahui / dosis
S : 36,5-37,5 0 C melakukan
antibiotik yang cocok
RR : 20-22 x/menit tindakan pada
telah diberikan untuk
2. Tidak pasien. Setelah
menurunkan resiko
terdapat kontak dengan
penyebaran pada orang
tanda-tanda cairan maupun
lain
infeksi lingkungan pasien
3. Menurunkan resiko
(Rubor, 4. Monitoring kadar
pasien terkena infeksi
Tumor, leukosit
sekunder, dan mengontrol
Kalor, Dolor,
Kolaborasi : penyebaran infeksi
Fungsiolesa)
4. Leukositosis merupakan
3. Hasil
1. Berikan terapi tanda bahwa sedang
pemeriksaan
antibiotik iv: terjadi reaksi pertahanan
leukosit
penisilin G, imunitas dalam tubuh
dalam batas
1. Obat yang dipilih
ampisilin,
normal
tergantung pada tipe
klorampenikol,
infeksi dan sensitivitas
gentamisin
individu
Resiko cidera Setelah dilakukan Mandiri
1. Pertahankan
b/d disfungsi tindakan
penghalang tempat
motorik : keperawatan selama 1. Melindungi pasien bila
tidur tetap
kejang 3x24 jam, resiko terjadi kejang
terpasang.
cidera dapat
diminimalisir 2. Menurunkan resiko
2. Berikan posisi
dengan kriteria terjatuh / trauma ketika
tirah baring
hasil: terjadi vertigo, sinkop,
3. Pasang restrain
1. Tidak
atau ataksia
pada ekstremitas
ditemukan
atas maupun
cidera tubuh
3. Memberikan pertahanan
bawah
saat kejang
tambahan pada resiko
berlangsung Kolaborasi
jatuh pada pasien
1. Berikan obat :
venitoin,
1. Merupakan indikasi
diasepam,
untuk penanganan dan
venobarbital.
pencegahan kejang secara
farmakologis
Hipertermi Setelah dilakukan Mandiri 2. Sebagai acuan dasar
1. Monitoring tanda-
b/d tindakan dalam pemberian
tanda vital
peningkatan keperawatan selama intervensi lebih lanjut
laju 3x24 jam, suhu bila didapatkan suhu
metabolisme tubuh dalam batas tubuh yang meningkat
normal dengan sebagai respon
kriteria hasil: peningkatan laju
1. Tanda vital
metabolisme
dalam batas 2. Observasi adanya 3. Konvulsi / kejang
normal reaksi kejang merupakan respon
TD : 120/80 3. Anjurkan
lanjutan dari peningkatan
mmHg penggunaan
laju metabolisme yang
N : 60-100
pakaian tipis
signifikan
x/menit 4. Berikan kompres
S : 36,5-37,5 0 C
air dingin saat
RR : 20-22 x/menit 4. Pakaian yang tipis
terjadi hipertermia
2. Tidak ada mampu menyerap
reaksi Kolaborasi keringat sebagai hasil
konvulsi / 1. Berikan terapi metabolisme tubuh
5. Bertujuan menurunkan
kejang antipiretik sesuai
suhu tubuh yang tinggi
indikasi

1. Merupakan terapi secara


farmakologis dalam
rangka menurunkan suhu
tubuh yang tinggi

Resiko Setelah dilakukan Mandiri


1. Monitoring
gangguan tindakan 1. Sirkulasi darah yang baik
sirkulasi kulit
integritas keperawatan selama merupakan indikasi
punggung
kulit b/d tirah 3x24 jam, integritas bahwa perfusi jaringan
(sekaligus menilai
baring kulit baik, dengan pada daerah punggung
adakah lesi atau
kriteria hasil: baik
1. Tidak ada tidak)
2. Berikan posisi
lesi maupun
2. Mencegah terjadinya luka
nekrosis miring kiri miring dekubitus akibat
pada kulit kanan penekanan pembuluh
punggung darah sekitar punggung
2. Sirkulasi 3. Memberikan rasa nyaman
darah pada dan memperlancar
3. Berikan massase
punggung sirkulasi darah di daerah
punggung dan
lancar punggung
baby oil setelah
3. Keutuhan 4. Mencegah penekanan
memandikan
kulit terjaga pakaian yang ketat pada
pasien
baik sirkulasi darah daerah
4. Berikan pakaian
kelembaban punggung pasien
yang longgar
5. Memberikan
maupun 5. Berikan stik laken
kenyamanan pada pasien
tekstur atau kain sebagai
dari rasa panas akibat
alas tirah baring
pemberian perlak di
bawah punggung

DAFTAR PUSTAKA

Balentine, J. Encephalitis and Meningitis. 2010. Available in :


http://www.emedicine.com
Fauci, Anthony S. Kasper, Dennis L. Longo, Dan L. Braunwald, Hauser, Eugene
Stephen L. Jameson, J. Larry. Loscalzo, Joseph. Chapter 158 Tuberculosis
in: Harrison principle of internal medicine 17th edition. USA: Mc Graw
Hill. 2008
Ganiem, AR. 2010. Kapan Mencurigai Suatu Meningitis. Dalam: Neurology in
Daily Practice. Bagian/UPF Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran
UNPAD. Bandung. Hal. 7-29
Mansjoer, A. Meningitis Tuberkulosis. Dalam : Kapita Selekta Kedokteran Edisi
ketiga. Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta : 2000
Meiti F. 2011. Meningitis Tuberkulosis. Dalam: Infeksi Pada Sistim Saraf,
Kelompok Studi Neuro Infeksi. Airlangga University Press, Surabaya

Anda mungkin juga menyukai