Anda di halaman 1dari 72

Nada Safitri

1706046086

Resume buku “Gender Work Stress and Health”

STRESSORS AND HEALTH

Para peneliti telah mempelajari perbedaan gender dalam hal-hal penyebab stress dan faktor
kesehatan yang berhubungan dengan stress. Ada sebuah bukti bahwa pria dan wanita mengalami
stress dalam rentang yang berbeda. Pria dan wanita memiliki kesamaan dalam stress yang
diakibatkan oleh pekerjaan, antara lain ketidakjelasan peran, ketidakamanan kerja, pengurangan
kartawan dan tekanan waktu. Wanita melaporkan bahwa beban kerja total mereka lebih tinggi.
Beban kerja wanita adalah 78 jam per minggu, sedangkan pria menanggung 68 jam per minggu
(Frankenhaeuser, 1991).

Beban kerja yang tinggi ini membuat kesulitan bagi para wanita untuk mengatasi masalah
kesehatan fisik dan mental mereka. Penelitian menunjukkan bahwa level dari hormon pemicu
stress seperti epinephrine, norephinephrine, dan kortisol pada wanita tetap tinggi walaupun sehabis
bekerja, yang dapat berpengaruh pada kelelahan dan bahkan pada penyakit. Selain itu para wanita
juga sangat rentan terhadap kelebihan peran, yang merupakan pengalaman dari berbagai
ekspektasi yang saling bertentangan dari yang lain.

Para wanita juga melaporkan lebih banyak hambatan untuk pencapaian di tempat kerja,
seperti “glass ceiling”, sebuah penghalang tak terlihat yang menghalangi para waita untuk
mencapai posisi tinggi di tempat kerja. Wanita biasanya berada di level bawah dalam sebuah
organisasi. Diskriminasi adalah hal yang paling memungkingkan terjadi dalam proses perekrutan
dan proses promosi jabatan. Para wanita juga jarang menerima peluang pengembangan (seperti
mentoring) yang sebenarnya bermanfaat bagi mereka untuk mendapatkan posisi yang baik (Nelson
& Burke, 2000).

Sebagai tambahan, wanita juga mengalami “matermal wall” atau “dinding keibuan”
dimana mereka jadi sedikit menerima tugas yang mereka suka atau kesempatan karir yang terbatas
ketka mereka sudah memiliki anak (Williams, 1999). Pemilik usaha kadang-kadang
mengasumsikan bahwa ketika seorang wanita sudah memiliki anak, dia akan lebih berkomitmen
pada anaknya dibanding pekerjaannya-sehingga ia tidak bisa menjadi karyawan yang baik lagi.

Wanita juga bisa mengalami “tokenisme” ketika mereka adalah orang pertama dari wanita
lain yang dapat menduduki posisi eksekutif. Hal ini biasanya membuat mereka merasa diasingkan
dan dikecualikan dari jaringan informal, dan juga mengalain stereotyping dan diskriminasi dari
kelompok mayoritas. Para wanita juga kerap menerima kekerasan seksual dan perilaku sosial-
seksual dibanding pria. Kebiasaan sosial-seksual termasuk menggoda dan membuat lelucon
seksual. Wanita yang bekerja di nontradisional pekerjaan, seperti konstruksi atau polisi, sangat
rentan terhadap stress ini, yang dikaitkan dengan gejala seperti mual, sakit kepala dan penyakit
psikologis (Goldenhar, Swanson, Hurrell, Ruder, & Deddens, 1998). Wanita juga mengalami
stress dalam politik organisasi dibandingkan pria (Nelson, Hitt, & Quick, 1989). Mereka juga
mengalami kesulitan dalam mengolah informasi, bisa jadi dihalangi dari hubungan informal, dan
kurang memiliki kekuasaan yang kuat dalam organisasi karena mereka memilih untuk berada di
posisi level bawah dalam hirearki organisasi. Konsekwensinya, perempuan jadi memiliki sedikit
pengaruh ke atas dan sumber daya yang lebih sedikit.

Pekerjaan yang banyak merekrut pria dibanding wanita memiliki beban yang setara dengan
keuntungannya. Penyebab stress disini antara lain jam kerja yang panjang, perjalanan yang cukup
besar, sedikit waktu untuk keluarga, politik perusahaan dan kompetisi antar karyawan, dan risiko
tinggi untuk dipecat bagi kinerja yang buruk (Alvesson & Billing, 1997). Karena pengalaman
sosialnya, lebih sering mengalami tekanan peran, yang berupa kesalahan jangka panjang untuk
memenuhi ekspetasi peran sebagai seorang pria.

Penyebab stress lain yang mengancam pria adalah kebingungan seputar peran kontemporer
pria (Burke & Nelson, 1998). Banyak pria melaporkan tidak mengetahui ekspektasi yang jelas dari
mereka akhir-akhir ini; yang lainnya melaporkan bahwa mereka merasakan mereka kehilangan
haknya sebagai minoritas; yang lainnya tetap merasakan bahwa mereka adalah korban dari
dikriminasi. Dalam peran gender saat ini, pria tidak hanya diharapkan dapat menjadi pencari
nafkah, tapi mereka juga diharapkan dapat mengambil tanggung jawab rumah tangga yang lebih
besar, lebih mengungkapkan perasaan mereka, dan lebih aktif dalam merawat anak. Ada
peningkatan minat dalam mengeksplorasi peran laki-laki dan pengembangan seorang pria dalam
sebuah tekanan.
Wanita cenderung untuk melaporkan lebih banyak kesusahan dibandingkan pria, namun
gejala kesusahan mereka cenderung berada di gambaran yang kurang berbahaya (Matuszek,
Nelson, & Quick, 1995). Wanita melaporkan tanda-tanda psikologis yang tinggi seperti insomnia,
kecemasan, sakit kepala, jantung berdebar-debar, pusing, mimpi buruk, gemetaran, dan motivasi
yang kurang. Mereka biasanya melaporkan lebih banyak gejala papda kesehatan mental dan
mereka adalah pengguna tertinggi dari pelayanan kesehatan, dan lebih banyak menderita penyakit
psikologis dibandingkan pria. Ini mungkin terjadi karena wanita memilh untuk lebih
mengungkapkan gejala mereka dan mencari perawatan.

Kesulitan yang dialami pria cenderung lebih ke arah kematian. Pria memiliki risiko yang
lebih tinggi terhadap kondisi kronis yang dapat mengakibatkan kematian (seperti penyakit jantung
coroner), dan penyakit lainnya. Perbedaan antara angka harapan hidup pria lebih rendah 8 tahun
dibanding wanita, dan banyak peneliti mengungkapkan kematian dini biasanya terjadi pada pria.

Gejala perilaku pada stress juga berbeda antar gender. Wanita lebih memilih untuk
merokok, sedangkan pria cenderung untuk minum (mabuk). Anoreksia dan bulimia adalah yang
paling sering terjadi pada wanita dibanding pria. Manajer wanita cenderung lebih sering
menyalahgunakan bat penenang, anti-depresan, dan pil tidur dibanding manajer pria (Quick,
Quick, Nelson & Hurrell, 1997).

Variasi dalam gejala-gejala stress ini juga menunjukan coping yang berbeda antara pria
dan wanita. Pria cenderung lebih fokus untuk mengatasi masalah, merencanakan aksi yang
rasional, humor, dan fantasi untuk copingnya. Sedangkan wanita lebih berfokus pada emosional,
seperti mengekspresikan emosi mereka dan mencari dukungan sosial yang positif. Yang lainnya
seperti menyalahkan diri sendiri, cuek, yang tidak memiliki manfaat.

Wanita juga cenderung dapat mengontrol diet sehat mereka dibanding pria, yang dapat
menaikkan ketahanan mereka dalam mengatasi stress (Lindquist, Beilin, & Knuiman, 1997).
Mereka melihat bahwa diet adalah cara coping yang penting. Pria cenderung lebih suka untuk
berolahraga sebagai teknik coping mereka, yang dapat membantu kebugaran mereka untuk
mengatasi stress (Nelson, Hitt, & Quick, 1989).

Intinya, ada perbedaan antara pria dan wanita saat mengalami stress, gejala-gejala stress
yang mereka laporkan, dan bagaimana cara mereka untuk coping. Sebagai tambahan, perbedaan
individu yang penting mempengaruhi bagaimana mereka ketika mengalami stress dan hasil
kesehatan mereka.

INDIVIDUAL CHARACTERISTICS

Williams (1999) mencatat bahwa peran gender saat ini membatasi potensi laki-laki dan
perempuan. Feminitas konvensional cenderung meminggirkan dan melemahkan perempuan,
sedangkan maskulinitas tradisional menghambat kemampuan laki-laki untuk terlibat sepenuhnya
dalam kehidupan keluarga dan menjebak mereka dalam kehidupan kerja paksa.

Taylor dan rekan-rekannya (Azar, 2000; Taylor et al., 2000) mengusulkan bahwa
perempuan merespon situasi stres dengan melindungi diri mereka sendiri dan orang lain melalui
perilaku pengasuhan, dan dengan membentuk hubungan dengan orang lain (disebut sebagai
"cenderung dan berteman"). Tanggapan cenderung-dan-berteman berasal dari sistem lampiran
otak. . Oksitosin, sering hadir pada tingkat yang lebih tinggi pada wanita dibandingkan pada pria,
dan yang meningkatkan perilaku pengasuhan, juga mengurangi respon fight-or-flight.

Perbedaan individu lainnya, selain gender, mempengaruhi proses stres. Pengaruh negatif
adalah kecenderungan untuk melihat kehidupan secara pesimis dan negatif (Watson & I Clark,
1984). Individu yang tinggi dalam pengaruh negatif melaporkan tekanan yang lebih besar, dan
persepsi penurunan kontrol (Ball, Trevino, & Sims, 1994). Secara keseluruhan, wanita melaporkan
lebih banyak pengaruh negatif daripada pria (Jick & Mitz, 1985). Perilaku tipe A dikaitkan dengan
tekanan darah yang lebih tinggi, detak jantung yang lebih tinggi, dan faktor risiko lain yang
meningkat untuk penyakit jantung koroner pada kedua jenis kelamin (Borysenko, 1987).

Workaholism adalah variabel perbedaan individu lain dengan implikasi untuk stres kerja.
Workaholism memiliki tiga aspek: keterlibatan kerja, perasaan terdorong untuk bekerja, dan
kenikmatan kerja (Spence & Robbins, 1992). Satu studi lulusan MBA menunjukkan beberapa
perbedaan gender yang menonjol di antara segi-segi workaholism (Burke, 1999). Perempuan
melaporkan keterlibatan kerja yang lebih rendah, tetapi serupa dengan laki-laki dalam tingkat
kesenangan kerja dan bekerja. Perempuan juga melaporkan tingkat kesempurnaan diri yang lebih
tinggi dan stres kerja secara keseluruhan daripada laki-laki.

WORK-HOME CONFLICT AND FAMILY DYNAMICS


Ada banyak ekspektasi peran gender yang memengaruhi antarmuka kerja-keluarga.
Maskulinitas sering didefinisikan oleh ukuran gaji seorang laki-laki; sedangkan feminitas
disamakan dengan pengasuhan. Wanita masih diharapkan untuk mengambil tanggung jawab
utama untuk rumah dan keluarga. Baik pria maupun wanita tunduk pada norma pekerja yang ideal;
yaitu, karyawan ideal yang bekerja penuh waktu dan lembur, dan tidak mengambil cuti untuk
membesarkan anak (Williams, 1999).

Bekerja dan keluarga saling mempengaruhi dalam interaksi yang kompleks. Jumlah beban
kerja bervariasi berdasarkan jenis kelamin, usia, tingkat pekerjaan, dan jumlah anak-anak.
Perempuan memiliki beban kerja total yang lebih berat daripada laki-laki, dan beban kerja secara
keseluruhan meningkat dengan jumlah anak-anak di rumah (Lundberg, Mardberg, & a
Frankenhaeuser, 1994).

Konflik kerja-rumah telah dikaitkan dengan kecemasan, depresi, dan permusuhan di


kalangan wanita yang bekerja, dan efek merusaknya lebih kuat bagi wanita yang memiliki anak
(Beatty, 1996). Budaya tidak diragukan memainkan peran dalam konflik kerja-keluarga.

Crossover adalah bentuk penularan stres di mana stres kerja satu pasangan menciptakan
stres bagi yang lain. Burnout, khususnya, mungkin menular. Selain itu, ketika satu pasangan
memiliki rasa kontrol, itu juga menguntungkan pasangannya. Anak-anak juga dipengaruhi oleh
stres orang tua. Galambos, Sears, Almeida, dan Kolaric (1995) mencatat bahwa konflik orangtua-
anak adalah yang tertinggi ketika kedua orang tua merasa stres.

Perlu dicatat bahwa ada sedikit pengetahuan tentang sisi positif dari antarmuka keluarga-
kerja; yaitu, peran kerja dan keluarga mungkin memiliki efek yang memperkaya, bukannya saling
bertentangan, satu sama lain. Dua mekanisme akan mempromosikan hipotesis peningkatan
(Greenhaus & Parasuraman, 1999). Salah satunya adalah peningkatan status. Mekanisme lain di
mana peran kerja dan keluarga mungkin saling memperkaya adalah peningkatan kepribadian.

Konflik kerja-rumah merupakan pemicu stres bagi perempuan dan laki-laki, dan
memainkan peran penting dalam kerangka kerja untuk memahami gender dan stres di tempat kerja.
Memeriksa ekspektasi peran gender, proses persilangan, dan dinamika keluarga yang lebih luas
akan meningkatkan pengetahuan kita tentang cara-cara di mana pekerjaan dan peran keluarga
memengaruhi kesehatan.
PREVENTION AND INTERVENTIONS

Prinsip dasar manajemen stres preventif adalah bahwa upaya pencegahan harus dimulai
pada tingkat dasar. Intervensi primer berfokus pada mengubah penyebab stres, atau mengubah
persepsi stres seseorang. Intervensi tingkat primer harus dilengkapi dengan intervensi sekunder,
yang berfokus pada perubahan respons individu terhadap stres sehingga ia lebih siap secara
psikologis dan fisik untuk menghadapinya. Jalan terakhir untuk pencegahan adalah pencegahan
tersier, atau menyembuhkan luka kesusahan. Pencegahan tersier biasanya melibatkan rujukan ke
profesional medis dan konselor yang berkualifikasi dan difokuskan pada gejala gangguan.

Prinsip dasar lain dari manajemen stres preventif adalah bahwa individu dan organisasi
berbagi beban tanggung jawab untuk kesehatan dan kesejahteraan. Sayangnya, terlalu sering
tanggung jawab untuk manajemen stres diserahkan kepada individu. Namun ada B\beberapa
organisasi terlibat dalam program-program spesifik gender. Sebagian besar intervensi dapat
membantu pria dan wanita mengelola risiko kesehatan dan meningkatkan kesejahteraan.
Pengaturan kerja alternatif seperti flextime, kerja paruh waktu, dan pembagian kerja dapat
membantu individu mengelola konflik kerja dan tekanan waktu.

Jika organisasi ingin merancang intervensi khusus gender, mereka harus fokus pada
menghilangkan stres yang setiap jenisnya rentan. Bagi wanita, stressor meliputi beban kerja total,
langit-langit kaca, dinding keibuan, tokenisme, dan masalah jaringan politik. Untuk laki-laki,
intervensi primer harus menargetkan ketegangan peran gender dan kebingungan peran.

Intervensi yang ditargetkan untuk jenis kelamin tertentu masih dapat menguntungkan
kedua jenis kelamin, dan karena itu harus ditawarkan kepada keduanya. Mendidik karyawan
tentang risiko kesehatan dari peran dan perilaku adalah permulaan dan harus dikombinasikan
dengan perubahan dalam budaya organisasi.

(hal 20-22)

OCCUPATIONAL HEALTH

Stress kerja hanya dapat dieksplor secara memadai menggunakan pendekatan multidisiplin
(Cooper, 1996; Cooper, Cooper, & Eaker, 1988), salah satunya yaitu investigasi yang
mengkombinasikan masalah psikologi, sosiologi dan fisiologi yang membebani individu. Sumber
dan pengaruh stress bersifat berkelipatan dan tidak terbatas hanya pada situasi tertentu, misalnya
hanya karena di bawah tekanan pekerjaan saja, namun bisa juga dari situasi keseluruhan kehidupan
individu.

Bagi seorang manajer wanita, sumber stress yang paling berkaitan berasal dari
organisasional dan ekstraorganisasional. Stressor organisasi berkaitan dengan masalah kelompok
minoritas (diskriminasi, prasangka, pelecehan seksual) dan menjadi wanita “token” (isolasi,
stereotip, pengecualian, dan kurangnya role model). Sedangkan, stressor ekstra organisasional
berfokus pada interaksi antara komitmen kerja dan rumah. Stressor ini bersifat interaktif dan
kumulatif serta saling terintegrasi sehingga mempengaruhi kinerja, perilaku, kepuasan kerja dan
kesejahteraan.

Tekanan yang berlebihan dan kekurangan waktu berdampak buruk pada kemampuan
wanita untuk coping, sehingga mengarah pada kurangnya kesejahteraan dan penggunaan strategi
coping yang maladaptif seperti pengunaan narkoba dan alkohol. Namun, berdasarkan studi Long
(1998), dampak dari stressor tersebut pada manajer wanita dikurangi oleh faktor-faktor lain. Akses
yang lebih besar untuk sumber daya coping seperti rasa kontrol pribadi yang meningkat,
mengarahkan kepada tingkat kepuasan kerja yang lebih tinggi dan tingkat kesulitan pekerjaan yang
lebih rendah bagi manajer daripada orang yang bekerja sebagai posisi administratif. Sehingga
manajer wanita kurang beresiko daripada rekan non-manajer.

STRESOR MANAJERIAL

Meskipun sama-sama menganggap pekerjaan mereka menantang dan membangkitkan


semangat, manajer laki-laki masih berada dalam posisi yang lebih baik daripada manajer wanita.
Wanita terus berada pada tingkat manajemen yang lebih rendah, dimana mereka diharapkan tampil
dengan standar yang lebih tinggi tapi dibayar lebih rendah daripada rekan pria. Promosi dari posisi
tersebut juga terhambat karena organisasi gagal memberikan kesempatan yang sama kepada
wanita seperti rekan pria. Hanya beberapa organisasi saja yang telah berkomitmen untuk
menghilangkan hambatan sehingga wanita mempunyai kesempatan untuk menuju tingkat manajer
yang lebih tinggi.

Berikut beberapa stressor lainnya yang dialami oleh manajer wanita:

1. Stereotip Gender
Diskriminasi tidak langsung sering dialami oleh wanita selama karier manajerial mereka,
karena wanita sering diasumsikan tidak memiliki komitmen dan motivasi yang dibutuhkan
untuk sukses. Persepsi kurangnya minat perempuan pada pekerjaan manajerial menjadikan
kurangnya perwakilan wanita dalam posisi manajemen dan menyalahkan wanita jika terdapat
keadaan sulit.

2. Karyawan Minoritas
Perempuan dari latar belakang etnis minoritas dua kali lipat dirugikan dalam hal kemajuan
karir sebagai akibat dari stressor yang unik (Greenhaus, Parasuraman, & Wormley, 1990;
Hite, 1996). Prasangka yang dirasakan, diskriminasi, budaya yang berbeda dan efek seksisme
serta rasisme (terutama manajer wanita bekulit hitam) merupakan sumber stres bagi pekerja
minoritas, di atas dan di luar sumber stres kerja normal
3. Dukungan Pernikahan
Wanita terus melaporkan tingkat stress yang lebih besar sebagai konsekuensi atas
pengalamaan mereka di dalam dan di luar lingkungan kerja. Pekerja manajaerial juga
dianggap sangat menuntut karena wanita dianggap sebagai karir “dua orang” sehingga
dukungan dari pasangan mereka sangat dibutuhkan.

Marital Support

Cooper dan Lewis (1998) menemukan bahwa sementara banyak organisasi mengakui istri
sebagai aset, suami dipandang sebagai kewajiban. Selain itu, manajer wanita dengan anak-anak
berpotensi lebih berisiko dari tingkat stres yang lebih tinggi karena tingkat permintaan emosional
dan fisik yang lebih besar yang mereka hadapi (Jamieson, 1998).

Organizational Culture

Untuk mencapai kesuksesan, perempuan biasanya harus beradaptasi dengan budaya


organisasi dengan mengambil nilai-nilai dan sikap laki-laki, menjadi maskulin dalam orientasi
peran gender mereka (Sachs, Chrisler, & Devlin, 1992). Manajer perempuan tidak hanya dibatasi
oleh kekuatan laki-laki, tetapi juga oleh sikap perempuan sendiri terhadap model manajemen laki-
laki dan perlawanan mereka terhadap perempuan sukses lainnya (Apter & Gamsey, 1994; Nelson
& Burke, 2000).
Business Networks

Manajer perempuan tampaknya enggan untuk terlibat dalam politik yang merupakan
bagian integral dari kehidupan organisasi dan jaringan bisnis. Welsh (1980) percaya bahwa
kurangnya harga diri adalah salah satu faktor yang membuat wanita begitu ragu untuk
menggunakan jaringan bisnis. Ketika manajer pria membutuhkan bantuan, seperti dalam situasi
promosi, mereka meminta bantuan orang lain. Karena jaringan laki-laki cenderung lebih
berpengaruh daripada perempuan, perempuan sering kali menolak informasi dan bantuan yang
sama dengan rekan laki-laki mereka (Nelson, Hitt, & Quick, 1997).

INDIVIDUAL AND PERSONALITY CHARACTERISTICS

Self -Esteem

Harga diri secara umum didefinisikan sebagai derajat yang kita sukai dan hargai diri kita
sendiri. Individu dengan harga diri rendah cenderung melaporkan tingkat kecemasan dan depresi
yang lebih besar daripada mereka yang memiliki tingkat harga diri yang lebih tinggi (Pierce,
Gardner, Dunham, & Cummings, 1993). Bukti juga menunjukkan bahwa harga diri secara umum
dan secara spesifik memoderasi hubungan antara stresor dan hasil stres (Jex, Cventanovski, &
Allen, 19934).

Self-Efficacy

Mereka yang memiliki rasa self-efficacy yang rendah akan meragukan kemampuan mereka
sendiri, dan ketika keraguan ini tumbuh, individu cenderung mengurangi upaya mereka atau
menyerah sama sekali dan sebaliknya. Dibandingkan pria, wanita cenderung memiliki lebih sedikit
pengalaman dengan tugas manajerial, pekerjaan mereka lebih dibatasi tugasnya, secara
keseluruhan mereka menerima dukungan verbal yang kurang, dan sebagai hasilnya mengalami
ketegangan psikologis yang lebih besar (Vianen & Keizer, 1996).

Personal Control

Orang telah menentukan harapan mereka terhadap tindakan mereka tergantung pada
kontrol mereka atas situasi tersebut, baik dari eksternal maupun internal. Kontrol internal terkait
dengan perilaku pribadi, persepsi yang berada di bawah kendali pribadi. Sebaliknya eksternal yang
tidak terkait dengan perilaku seseorang dan hal tersebut sering di luar kontrol diri. Dijelaskan
bahwa mereka yang punya kontrol internal lebih jarang berisiko mengalami stres daripada mereka
yang memiliki kontrol eksternal. Namun, manajer wanita cenderung melaporkan tingkat kontrol
internal yang lebih rendah dan lebih cenderung menggunakan perilaku yang berpusat pada emosi
daripada manajer laki-laki, sehingga meningkatkan peluang mereka mengalami sakit psikologis
sebagai akibat dari stres kerja (Hochwarter, Perrewe, & Dawkins, 1995 ; Vtngerhoets & Heck,
1990).

Meski orang-orang kebanyakan mengklasifikasikan ‘internal’ atau ‘eksternal’, konsep


sesungguhnya tidaklah dikotomi namun lebih condong ke arah sangat internal sampai sangat
eksternal (Weiten 1989).

Individu dengan lokus pengendalian internal cenderung memiliki kebutuhan tinggi untuk membuat
prestasi, menunjukkan sikap bertanggung jawab yang tinggi dalam mengerjakan tugas, bersikap
lebih inisiatif dalam berusaha untuk mencapai goals mereka, dan mengadopsi pattern sikap yang
memfasilitasi kendali terhadap diri sendiri (Cherrington, 1991: Kapalka & Lachenmeyer, 1988;
Lefcourt, 1982). Pada umumnya, indiviidu dengan lokus pengendalian internal cenderung lebih
sedikit mengalami kelainan psikologis dibandingkan dengan individu yang memiliki lokus
pengendalian eksternal (Weiten, 1989).

Manajer wanita cenderung mempunyai level kontrol internal yang lebih rendah dan lebih
cenderung menggunakan perilaku yang berpusat pada emosi dibandingkan dengan manajer laki-
laki--sehingga meningkatkan kemungkinan mereka untuk mengalami kesehatan psikologis yang
buruk sebagai hasil dari stress kerja (Hochwarter, Perrewe, & Dawkins, 1995; Vingerhoets &
Heck, 1990).

Coping Styles

Strategi coping setiap individu ditentukan oleh banyak faktor personal dan lingkungan, dimana
keefektikannya dalam menghadapi masalah bergantung pada individu itu sendiri. Terdapat dua
penggolongan umum jenis coping yaitu: problem-focused coping, yang lebih membahas mengenai
situasi yang membuat stress itu sendiri dan emotion-focused coping, yang berhubungan dengan
perasaan dan reaksi terhadap peristiwa yang membuat stress (Latack, Kinicki, & Prussia, 1995).
Problem-focused coping telah terbukti dalam mengurangi tekanan emosional dan menunjukkan
hubungan yang negatif dengan depresi, sementara emotion-focused coping menambah tekanan
emosional dan menunjukkan hubungan yang positif dengan depresi (Mitchell, Cronkite, & Moos,
1983; Vitaliano, Maiuro, Russo, & Becker, 1987).

Vingerhoets dan Van Heck (1990) menemukan bahwa laki-laki lebih cenderung menggunakan
strategi problem-focused coping yang aktif, merencanakan serta merasionalisasikan tindakan
mereka. Sebaliknya, perempuan lebih memilih menggunakan ,solusi emotion-focused,
menghubungkan dengan menyalahkan diri sendiri dan angan-angan. Perempuan juga mencari
support secara sosial dan mencari forum untuk mengekspresikan perasaan mereka yang mana
merupakan sebuah strategi coping yang positif. Meski begitu, hal ini dapat menghasilkan hasil
yang negatif ketika level support yang diterima kecil.

Kecenderungan manajer perempuan terhadap tindakan emotion-focused coping tidak sepenuhnya


menjadi alasan mengapa mereka mengalami stress lebih besar ketimbang laki-laki. Peneliti
menemukan bahwa kemampuan perempuan dalam menghadapi stress dapat dipengaruhi oleh
kecenderungan mereka terhadap pola tingkah laku Tipe A. Individu dengan Tipe A secara khusus
ditantang oleh situasi dimana kendali mereka terancam yang mana dapat menghasilkan kondisi
dimana mereka mengerahkan dan mempertahakan kontrol terhadap lingkungan secara agresif
(Caplan, 1983).

Stress Outcomes

Perbedaan gender telah terbukti memiliki hubungan terhadap stress kerja. Penelitian sebelumnya
telah mengindikasi bahwa manajer perempuan memiliki respon yang berbeda dengan manajer laki-
laki dalam hal hasil dari stress. Penyakit akibat stress cenderung berbentuk sebagai penyakit fisik
pada eksekutif laki-laki sementara untuk eksekutif perempuan lebih cenderung mengembangkan
penyakit pada kesehatan mental.

Berikut adalah beberapa alasan mengapa perbedaan tersebut dapat terjadi:

1. Perempuan lebih bersedia mengungkapkan gejala-gejala yang mereka alami kepada orang
lain.
2. Adanya perbedaan pemahaman mengenai illness antara perempuan dan laki-laki; Perempuan
menguraikan lebih lanjut mengenai gejala-gejala mereka, lebih sering mendiskusikan efek
psikologis dari gejala mereka, tidak hanya efek fisik.
3. Perempuan pada umumnya mengalami kesehatan mental yang lebih buruk dibandingkan
dengan laki-laki.
Nelson, Hitt, & Quick (1997) menyatakan bahwa perempuan menderita kesehatan mental yang
lebih buruk bukan karena emosi mereka lebih tidak stabil dibandingan dengan laki-laki, namun
karena mereka mengalami sumber stress psikologis dan fisiologis yang lebih besar.

Persepsi dari Ketidakpastian

Menurut Aven dan Renn (2009), risiko dapat didefinisikan sebagai “ tentang ketidakpastian dan
sensitifitas konsekuensi (outcome) dari sebuah aktifitas yang berhubungan dengan nilai
kemanusiaan”. Funtowicz and Ravetz (in Kasperson et al. 2001: 177) membagi level dari konsep
mengenai ketidakpastian pada bagian teknikal, metodologi, dan epistemologikal level. Tetapi
ketidakpastian teknis dimuat dengan lebih dari satu jenis ketidakpastian: Aven (2003)
mendefinisikan ketidakpastian sebagai kurangnya pengetahuan tentang kinerja sistem dan tentang
jumlah yang dapat diamati pada khususnya.yang dimaksud ialah, tidak hanya pengetahuan kita
(atau kurangnya itu) melibatkan ketidakpastian tetapi juga pengamatan kuantitas dan kuantitas itu
sendiri. Ketidakpastian karena itu ada di berbagai tingkatan, yang harus dilihat secara rinci ketika
mempelajari persepsi ketidakpastian.

Funtowicz and Ravetz, (1992) mengusulkan lima kategori untuk mengekspresikan berbagai
jenisketidakpastian yang mempengaruhi informasi ilmiah (NUSAP): Angka, Satuan, Penyebaran,
Penilaian, dan Silsilah, yakni :
1. “Data yang digunakan yang tidak representatif untuk peralatan aktual atau acara, data
dikumpulkan dari operasi perwakilan non dan kondisi lingkungan dll”
2. Metode analisis data yang menghasilkan perkiraan tidak memadai
3. Informasi yang salah, mungkin deskripsi lingkungan
4. Informasi yang tidak memadai, mungkin tentang bagaimana menggunakan peralatan
5. Variasi statistik, basis datanya terlalu kecil ”(Aven, 2003: 16)
Ada sejumlah teknik untuk menilai ketidakpastian di tingkat teknis. Ini menentukan probabilitas
untuk kuantitas yang tidak dapat diobservasi atau estimasi kualitatif untuk berbagai faktor
ketidakpastian (Bell dan Glade, 2004). Tetapi teknik-teknik ini sulit untuk dijelaskan dan para ahli
memiliki sedikit pengalaman dalam menjelaskannya. Selain itu, mereka kadang-kadang menjadi
tercampur dengan informasi probabilitas risiko itu sendiri (Renn, 2008), Berbicara tentang
ketidakpastian dalam risiko perubahan iklim juga sulit untuk didamaikan dengan "konstruksi
media objektivitas, kebenaran dan keseimbangan" (Smith , 2005: 1471). Selain itu implikasi teknis
ketidakpastian tidak mudah dipahami, bahkan oleh para ahli dari bidang lain. Oleh karena itu
‘ketidakpastian’ adalah ‘kotak hitam’ dalam persepsi risiko.
4. faktor konteks secara rutin diselidiki tetapi mereka sering digabungkan dengan personalfactors.
Misalnya, pengalaman banjir pribadi sering didokumentasikan sebagai variabel intervening untuk
menjelaskan perbedaan regional dalam persepsi risiko banjir (Ruin et al., 2007, Kaiser et al., 2004,
Siegrist et al., 2008). Banyak penelitian menunjukkan bahwa persepsi risiko banjir tergantung pada
tempat tinggal (daerah dengan banjir sering versus banjir langka) (Brilly dan Polic, 2005; untuk
banjir berlumpur lihat Heitz et al., 2009).

Faktor ekonomi tampaknya tidak memainkan peran penting dalam persepsi risiko, dengan
pengecualian kepemilikan rumah. Grothmann mampu menunjukkan bahwa dampak ekonomi yang
dirasakan memiliki sedikit pengaruh pada persepsi risiko serta pada kesediaan untuk mengambil
tindakan pencegahan. Satu-satunya variabel ekonomi yang memiliki pengaruh pada kedua hasil
(persepsi dan kemauan) adalah kepemilikan rumah. Prediktor yang paling kuat adalah paparan
baru-baru ini terhadap banjir (Grothmann et al., 2006).

Analisis kami terhadap 30 studi menunjukkan pentingnya dua variabel utama: pengalaman
peristiwa berbahaya di masa lalu dan kepercayaan pada ahli dan pihak berwenang. Minor tapi
masih signifikan pentingnya adalah kepemilikan rumah dan liputan media. Wawasan ini dapat
digunakan untuk komunikasi risiko dan tata kelola risiko. Bagian 6 dan bagian III dari laporan ini
akan membahas kemungkinan implikasi dan mengartikulasikan beberapa rekomendasi. Dua aspek
tambahan harus disebutkan di sini karena mereka menyentuh tata kelola dan komunikasi:

Persepsi peristiwa banjir telah ditemukan berubah setelah proses partisipasi (Stanghellini dan
Collentine, 2008, Slinger et al., 2007). Penelitian menunjukkan bahwa orang menjadi lebih sadar
akan banjir dan lebih termotivasi untuk memulai tindakan perlindungan jika mereka terlibat dalam
latihan partisipatif. Hal ini tampaknya disebabkan oleh pergeseran ke arah kepercayaan lebih pada
pihak berwenang dan para ahli. Sebagai hasil dari latihan partisipasi yang sukses, publik dan para
ilmuwan bersedia belajar dari satu sama lain dan untuk menyesuaikan persepsi dan perilaku
mereka setelah mereka dihadapkan dengan informasi yang dapat dipercaya tentang paparan,
konsekuensi dan tindakan perlindungan. Dampak lain dari lokakarya partisipatif adalah bahwa
warga kurang fokus pada langkah-langkah teknis dan mengindikasikan bahwa mereka berharap
pembuat kebijakan untuk menyebarkan perhatian mereka secara lebih merata atas berbagai
langkah-langkah manajemen risiko banjir termasuk zonasi ketat dan membangun waduk banjir
dan polder (Slinger et al., 2007)

Pemahaman penting lain untuk tata kelola risiko adalah kenyataan bahwa bahaya alam cenderung
dinilai lebih rendah pada tingkat risikoyang dirasakan, misalnya, risiko teknologi (Plapp dan
Werner, 2006, lihat juga bagian 2 dan 3). "Merusak dengan alam" adalah prediktor terkuat dari
risiko yang dirasakan dalam studi persepsi yang membandingkan risiko yang berbeda dari sumber
alam dan teknologi (Sjöberg, 2000). Dalam beberapa tahun terakhir, banjir semakin dirasakan
sebagai "disebabkan manusia" daripada tindakan Tuhan atau alam. Orang cenderung lebih dan
lebih percaya bahwa tingkat kerusakan serta frekuensi bencana disebabkan atau setidaknya
diperkuat oleh tindakan manusia seperti intervensi ke dalam iklim atau mengarahkan kembali
sungai. Akibatnya bahaya alam dapat menghadapi CapHaz-Net WP 3 Laporan tentang Persepsi
Risiko 9/2010 37 pola yang sama yang mencirikan persepsi bahaya teknologi (Deeming et al.akan
terbit)

Relevansi persepsi risiko untuk pembangunan kapasitas sosial: Studi kasus dan contoh
praktik terbaik

5.1 Banjir

Persepsi risiko dan tindakan pencegahan. Contoh banjir Mulde 2002 (Jerman)

1. Studi kasus berikut mengeksplorasi persepsi warga tentang risiko banjir baik sebelum dan
sesudah peristiwa banjir besar. Itu menguji faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi risiko dan
persepsi kegunaan dan tanggung jawab untuk berbagai tindakan perlindungan dan mitigasi, baik
publik maupun swasta. Perbedaan publik / privat terbukti signifikan dengan penduduk yang
mengambil posisi kritis terhadap peningkatan yang disarankan dalam tanggung jawab banjir
pribadi.

2. Pada tahun 2002, banjir besar terjadi di lembah sungai Eropa Tengah Elbe dan mempengaruhi
sejumlah anak sungai dan wilayah di Jerman dan Republik Ceko. Diantara mereka ada juga Sungai
Vereinigte Mulde di Sachsen, Jerman. Pada tahun 2004 kami mulai menyelidiki dimensi sosial
banjir Mulde 2002 dalam kerangka Proyek Keberadaan FP6 yang Terintegrasi. 3 Mengacu pada
deskripsi kondisi kerangka kerja kelembagaan di wilayah Mulde (sebagai kontribusi terhadap
laporan WP2 CapHaz-Net; Walker et al.2009: 38–43) serta berkonsentrasi pada kerentanan sosial
(sebagai kontribusi terhadap laporan WP 4 CapHazNet; Tapsell dkk. 2010; untuk analisis
terperinci lihat Steinführer dan Kuhlicke 2007 dan, dengan fokus pada kejutan dan ketidaktahuan:
Kuhlicke 2008), contoh empiris ini mengacu pada bagaimana orang merasakan risiko banjir.

3. Makalah ini disusun sebagai berikut: Pada bagian pertama, kami akan menguraikan pemahaman
kita tentang persepsi risiko dan menarik implikasi metodologis tentang bagaimana pendekatan itu.
Dalam bagian kedua kami mendeskripsikan desain penelitian kami. Bagian ketiga menyajikan
temuan utama dari studi kasus. Bagian keempat merangkum wawasan dan menarik implikasi
teoretis dan metodologis.

Pendekatan kami terhadap persepsi risiko dan desain penelitian

Dalam proyek yang disebutkan sebelumnya, kami, pertama-tama, menyelidiki bagaimana orang-
orang merasakan risiko banjir dan bagaimana persepsi ini berubah melalui peristiwa banjir tahun
2002 dan, kedua, bagaimana orang memandang tanggung jawab untuk perlindungan dan tindakan
pencegahan yang berbeda-beda.

Minat yang didapatkan dari sumber kami adalah pertanyaan bagaimana persepsi risiko
mempengaruhi penerapan tindakan pencegahan pribadi ukuran.

Penelitian ini dilakukan pada 2005/2006 di tiga lokasi di bagian Saxon Sungai Vereinigte Mulde:
desa Sermuth (populasi 600 pada tahun 2005), desa Erlln (populasi 90 pada tahun 2005) dan kota
kecil Eilenburg ( populasi sekitar 17.500 pada tahun 2005). Semua permukiman ini sangat
terpengaruh oleh banjir Elbe pada bulan Agustus 2002 dan di masing-masing dari mereka terjadi
evakuasi. Cara utama pengumpulan data adalah melalui survei kuesioner standar yang dilakukan
pada bulan Desember 2005, yaitu lebih dari tiga tahun setelah kejadian. Untuk survei kuesioner,
kami menerapkan desain penelitian yang terdiri dari survei yang dikelola sendiri dengan beberapa
elemen wawancara tatap muka dan survei pos. 404 responden adalah sumber informasi utama
kami, bersama dengan 22 wawancara mendalam dengan para pemangku kepentingan dan
penduduk yang terkena dampak.

Temuan utama dari studi kasus “Vereinigte Mulde”


Persepsi risiko banjir

Hampir 90% responden tidak dapat membayangkan bahwa banjir seperti banjir tahun 2002 dapat
mengancam mereka. Proporsi ini berubah secara drastis setelah banjir. Mayoritas orang, yaitu
hampir 70%, sekarang dapat membayangkan bahwa peristiwa "buruk" atau bahkan "buruk" dapat
terjadi lagi di daerah masing-masing (Gambar 5.1).

Sementara imajinasi sebelum banjir tidak secara signifikan dipengaruhi oleh salah satu variabel
independen (seperti usia, jenis kelamin, pendidikan atau kepemilikan), penilaian tentang
terulangnya banjir yang sama atau bahkan lebih buruk di atas semua pertanyaan tentang usia:
Orang-orang yang dapat membayangkan bahwa kejadian seperti itu mungkin terjadi lagi adalah
rata-rata 54 tahun, sementara kelompok yang berlawanan berusia 64 (p <0,001; T-test). Untuk
orang lanjut usia kemungkinan reoccurrence dinilai lebih rendah, mungkin CapHaz-Net WP 3
Laporan tentang Persepsi Risiko 9/2010 40 karena pertanyaan tersebut tidak dipahami sebagai
eksperimen abstrak. Mereka agaknya tampaknya langsung menghubungkan pertanyaan ke masa
hidup yang tersedia yang mereka kaitkan kepada diri mereka sendiri ("selama masa hidup saya").
Hipotesis kami bahwa persepsi risiko mempengaruhi penerapan langkah-langkah pencegahan
dapat diverifikasi sejauh bahwa responden yang merasakan terulangnya peristiwa seperti banjir
2002 sebagai kemungkinan diterapkan tindakan pencegahan lebih lanjut setelah banjir 2002
dibandingkan mereka yang tidak mengevaluasi kekambuhan sebagai kemungkinan (p <0,05, 2-
sisi; p <0,01, 1-sisi; uji Exact Fisher).

Laki-laki yang menderita di bawah kode maskulinitas menjadikan mereka lebih agresif, dominan,
berorientasi pada pencapaian, kompetitif, kaku, bersedia mengambil risiko, secara emosional
terbatas, dan menghindari semua hal feminin (Levant & Pollack, 1995; Maier, 1999; Mooney,
1995). Kode ini memengaruhi sifat pria tersebut dan usia. Harapan hidup rata-rata untuk laki-laki
di Amerika Utara adalah 8 tahun lebih pendek daripada untuk perempuan. Baik Harrison (1978)
dan Waldron (1976) memperkirakan bahwa perbedaan harapan hidup antara perempuan dan laki-
laki dicatat lebih kuat oleh perilaku terkait peran seks daripada faktor biologis atau genetik. Peran
laki-laki tradisional tidak hanya mencegah laki-laki tesrsebut mencari bantuan medis pada tahap
awal penyakit dan penyakit, tetapi juga memperhatikan tanda-tanda peringatan dini penyakit
(Waldron & Johnson, 1976).

Sementara wanita telah menunjukkan tingkat yang lebih tinggi dari gangguan afektif, kecemasan,
dan somatik, dan pria telah menunjukkan tingkat penyalahgunaan zat dan gangguan kepribadian
yang lebih tinggi (Landers, 1989). Orang-orang seperti itu terlalu banyak berinvestasi dalam
pekerjaan, secara emosional tidak tersedia bagi keluarga mereka, dan tidak menyadari dampak
gaya hidup mereka terhadap pasangan mereka, anak-anak mereka, dan kesehatan emosional dan
fisik mereka (Brooks, 1992; Pleck, 1995). Orang dihargai untuk menjadi kompetitif di tempat
kerja, di mana kontrol emosi seseorang, agresi, dan ketegasan dianggap "efektif" sementara
mengekspresikan perasaan kelemahan dan kerentanan tidak (Kofodimos, 1993; Maier, 1999).
Komponen sosial negatif maskulinitas (agresif atau eksploitatif) telah ditemukan berkorelasi
dengan kecenderungan menuju pertempuran (Spence, Helmrich, & Holahan, 1979) dan
penggunaan alkohol dan narkoba (Snell, Belk, & Hawkins, 1987).

Cost of Corporate Masculinity

Pada saat anak laki-laki mencapai usia lima tahun, mereka disosialisasikan ke dalam perilaku peran
mascule (Paley, 1984). Anak-anak ini diajarkan untuk percaya bahwa mereka harus dikontrol,
agresif, kompetitif, keras, dan setia. Ketika anak laki-laki memasuki usia remaja, mereka belajar
bahwa untuk mengisi peran maskulin mereka juga harus menjadi penyedia dan pelindung keluarga
mereka. Nilai-nilai ini konsisten dengan komitmen sosial untuk bekerja dan prinsip-prinsip
maskulinitas perusahaan (Maier, 1991).
Sebagai akibatnya, laki-laki kadang tidak menyadari keadaan internal dan kebutuhan pribadi
mereka, mengingat kecenderungan mereka untuk menyesuaikan dengan tuntutan eksternal, yang
disebut orientasi pasar (Fromm, 1974, 1976). Mayoritas pria korporasi tampaknya puas dengan
kehidupan dan pengalaman hidup mereka tetapi sebagian kecil merasa terjebak, terasing, dan
menjadi korban. Perasaan harga diri pria korporat menjadi terkait dengan berhasil mengatasi
tantangan di sepanjang jalur mobilitas karier ke atas. Orang-orang ini harus merasa dihargai oleh
orang lain sebelum mereka dapat menghargai diri mereka sendiri (Korman & Korman, 1980).

Jawabannya terletak pada membebaskan laki-laki dari persyaratan untuk menjadi "objek sukses"
saat mengisi peran penyedia. Ini melibatkan pemutusan cetakan mascur. Ini menantang karena
berbagai alasan. Beberapa pria tidak menyadari seberapa kuat mereka telah disosialisasikan. Bagi
mereka, melepaskan maskulinitas adalah tanda kelemahan. Perilaku baru akan tidak nyaman bagi
orang-orang ini. Manfaat kebebasan dari peran maskulin termasuk menjadi manajer yang lebih
efektif, memperoleh keseimbangan karir dan keluarga, dan menjadi kurang bekerja dengan
kecanduan. Dengan demikian, maskulinitas korporat memiliki biaya tidak hanya untuk pria
individu tetapi juga untuk organisasi.

The Type A Experience

Sindrom perilaku Tipe A telah menarik perhatian besar di kalangan penelitian medis dan
psikologis selama 2 dekade terakhir. Serangkaian studi penting telah sangat mengimplikasikan
pola Tipe A dalam patogenesis penyakit jantung koroner (PJK) yang tidak bergantung pada faktor
risiko standar seperti usia, hipertensi, diet, dan keturunan yang umumnya terkait dengan kondisi
tersebut (Friedman & Rosenman, 1974). Bukti penelitian menemukan bahwa risiko individu Tipe
A mengembangkan PJK dan memiliki serangan jantung fatal sekitar dua kali lipat dari Tipe B
dalam populasi.

Perilaku Tipe A menimbulkan ancaman terhadap karier, kepribadian, dan kehidupan itu sendiri.
Perilaku Tipe A mengancam karier melalui ketidaksabaran, kemarahan, dan kelelahan.
Kecenderungan tipe A mengancam kepribadian dengan meningkatkan konflik interpersonal,
mempersempit kemungkinan untuk kesenangan (membatasi diri pada hal-hal yang dapat dihitung-
menjadi membosankan dan membosankan). Akhirnya, Tipe A mengancam kehidupan dengan
mendorong perkembangan penyakit arteri dan hubungannya dengan rokok rokok.

Berbeda dengan rekan-rekan Tipe B mereka, Tipe As bekerja lebih banyak jam per minggu,
melakukan perjalanan lebih banyak hari per tahun, mengambil lebih sedikit liburan dan waktu
libur kerja, dan lebih banyak pekerjaan yang terlibat dan komitmen organisasi (Howard, Cun-
ningham, 6r Rechnitzer, 1977) ). Tipe A lebih cenderung mengalami harga diri yang tinggi di
tempat kerja (Burke & Weir, 1980). Hal ini mendorong Tipe As untuk lebih berinvestasi dan
berkomitmen untuk pekerjaan mereka daripada rekan-rekan Tipe B mereka. Tipe As belum tentu
lebih puas dalam pekerjaan mereka. Perilaku Tipe A biasanya ditemukan tidak memiliki hubungan
dengan kepuasan kerja (Burke 6r Weir, 1980; Howard, Cunningham, & Rechnitzer, 1977).

Jadi, meskipun Type As berinvestasi lebih banyak pada diri mereka sendiri dalam peran kerja
mereka dan melaporkan kepuasan kerja yang lebih besar, mereka tidak selalu lebih puas dalam
pekerjaan mereka dan menjalankan risiko meningkatnya perasaan kegagalan pribadi di kemudian
hari dalam karir mereka.

Workaholism

Porter (1996) mendefinisikan workaholism sebagai keterlibatan yang berlebihan dengan pekerjaan
yang dibuktikan dengan pengabaian di bidang lain dalam kehidupan dan didasarkan pada motif
internal dari pemeliharaan perilaku daripada persyaratan pekerjaan atau organisasi. Workaholism
membuat seseorang sulit untuk berpikir tentang hal lain selain bekerja dan cenderung akan
mengabaikan keluarga, teman, bahkan diri mereka sendiri. Terdapat dua faktor yaitu internal dan
eksternal yang mendorong individu untuk bekerja secara berlebihan. Faktor internal meliputi
kebutuhan, keinginan, dan dorongan, sedangkan faktor eksternal meliputi tekanan organisasi, nilai,
dan penghargaan. Kofodimos mengimplikasikan dua polaritas luas untuk menjelaskan komitmen
manusia yang meningkat terhadap waktu dan energi untuk bekerja dan mengabaikan
kehidupannya, yaitu :

- Striving for mastery : berbentuk penekanan pada pencapaian tugas, rasionalitas dalam
pengambilan keputusan, dan melihat orang lain sebagai sumber daya untuk menyelesaikan
pekerjaan.
- Avoidance of intimacy : Kurangnya empati dan kasih sayang, ketidakpekaan terhadap
perasaan seseorang, keengganan untuk menjadi spontan dan bersenang-senang, serta
ketidakmampuan untuk mengakui kelemahan.

Ketidakseimbangan antara hal tersebut dapat menimbullkan kerugian dalam jangka panjang.
Seperti kesulitan dalam kehidupan pribadi (krisis keluarga, hubungan jauh) serta kegagalan dalam
manajemen (kemarahan, intimidasi overcontrol, tidak meminta bantuan, menghindari umpan
balik) yang pada akhirnya ini akan meningkatkan tingkat stres dan biaya perawatan kesehatan.

Career Success and Personal Failure

Career success and personal failure adalah sindrom yang menimpa beberapa manusia manajerial
dan profesional pada usia paruh baya dan menengah. Ini mengacu pada manusia berpengalaman
yang telah mencapai tingkat keberhasilan tinggi, namun merasa tidak puas terhadap kehidupan
mereka secara keseluruhan. Mereka merasa frustrasi, sedih, kesepian, terasingi, putus asa, dan
mempertanyakan makna dan arah hidupnya. Seorang individu yang sangat sukses dalam kariernya,
tetapi merasa gagal secara personal dapat disebabkan karena mereka menyadari bahwa tuntutan
hidup mereka bertentangan dan tidak dapat dimiliki semua, pandangan tentang hubungan sebab-
akibat salah, banyak pilihan atau keputusan dibuat untuk menyenangkan orang lain, dan memiliki
beberapa teman dekat, tetapi pada dasarnya sendirian.

Adapun pada seseorang dalam usia paruh baya meliputi kesadaran penurunan fisik, usia lanjut,
tujuan yang tidak akan pernah tercapai, perubahan dalam keluarga, hubungan interpersonal, dan
merasa kuno. Perasaan ini dapat mengakibatkan hilangnya minat kerja dan ketidakpuasan terhadap
pekerjaan, karier, atau kehidupan seseorang secara umum. Pada akhirnya itu akan mengarah pada
tekanan psikologis dan keinginan untuk mengartikulasikan kembali tujuan dan makna hidup
seseorang.

CHANGING MEN AND ORGANIZATIONS

Ada semakin banyak bukti bahwa inisiatif pendidikan dan konseling dapat terbukti bermanfaat
dalam mengurangi aspek yang paling mematikan dari peran laki-laki. Friedman dan rekan-
rekannya (Friedman & Rosenman, 1974; Friedman & Ulmer, 1984) menunjukkan dengan jelas
bahwa perilaku Tipe A dapat dimodifikasi, menghasilkan pengurangan yang sesuai dalam kejadian
PJK. Program mereka (Friedman & Ulmer, 1984) memberikan informasi rinci tentang cara-cara
untuk mengurangi urgensi waktu, permusuhan mengambang bebas, dan kecenderungan merusak
diri. Program ini melibatkan restrukturisasi kognitif, modifikasi perilaku, self moni-toring,
dukungan sosial, dan penguatan. Para penulis ini memberikan bukti efektivitas program ini dalam
mencegah kematian terkait penyakit jantung. Williams dan Williams (1993) mendeskripsikan
suatu program untuk mengendalikan kesulitan, salah satu komponen kunci dari perilaku koroner
yang rawan (Williams, 1989). Strategi utama melibatkan belajar bagaimana membelokkan
kemarahan, meningkatkan hubungan, dan mengadopsi sikap positif. Ada juga sejumlah lokakarya
yang tersedia yang memungkinkan laki-laki dan perempuan untuk menghadapi ketidakpuasan
maskulinitas. Silverstein dan Rash-baum (1994) menawarkan satu lokakarya seperti itu, berjudul,
“Keberanian untuk membesarkan pria yang baik.” Lokakarya ini mempertanyakan motif
tradisional kedewasaan dan mendorong baik ibu dan ayah untuk menolak sanksi penghentian
emosional yang secara tradisional dituntut oleh anak laki-laki. . Silverstein dan Rashbaum juga
mendorong cara baru menilai perilaku "feminin" tradisional seperti empati, perawatan, dan kasih
sayang. Seperti yang Kaufman (1993) tulis, inilah saatnya untuk memulai "menghancurkan
armor." 'Mencapai keseimbangan membutuhkan perubahan baik pada individu maupun organisasi.
Kofodimos (1993) menganjurkan, pada tingkat terluas, bahwa individu mengubah pendekatan
mereka untuk hidup, dan bahwa organisasi meninjau dan mengubah norma, nilai, dan praktik
mereka. Individu perlu mengidentifikasi alokasi waktu dan energi yang sesuai dengan nilai dan
kebutuhan mereka. Organisasi yang mendukung keseimbangan perlu memeriksa dan
mendefinisikan kembali kinerja efektif di tempat kerja (menjadi lebih dari jam kerja per minggu)
serta mendefinisikan kembali pengertian karir dan kesuksesan karir. Korman dan Korman (1980)
menawarkan beberapa saran untuk intervensi sosial dan organisasi yang dapat dipertimbangkan
untuk mengurangi keberhasilan karir dan pengalaman kegagalan pribadi. Pertama, dengan
pengakuan yang lebih besar atas keberadaan masalah, para profesional di masyarakat kita dapat
mengembangkan program yang dirancang secara eksplisit untuk membantu individu
mengantisipasi atau menyelesaikan masalah kesuksesan karir dan kegagalan pribadi. Ini mungkin
melibatkan pengembangan lokakarya pertumbuhan dan perencanaan kehidupan pribadi, pusat
penilaian, fasilitas konseling karir dan pribadi, dan materi bantuan mandiri, semuanya dirancang
khusus untuk membantu individu dalam mengatasi atau mencegah keparahan pengalaman ini.
Intervensi lain di tingkat masyarakat mungkin melibatkan sistem pendidikan. Siswa di sekolah
menengah dan universitas bisa terkena arti yang berbeda dari kata "sukses"; untuk pilihan gaya
hidup yang layak; ke tahap perkembangan orang dewasa dan tugas-tugas, masalah, dan masalah
mereka yang relevan; untuk efek interaktif pekerjaan dan kehidupan keluarga; dan untuk
pengaturan tujuan dan karir dan kegiatan perencanaan hidup. Ada kebutuhan yang jelas untuk
menggambarkan realitas kesuksesan dengan lebih akurat. Model kemasyarakatan didorong begitu
antusias oleh sekolah-sekolah yang menawarkan program pengembangan manajemen bisnis dan
perusahaan (yaitu, kerja keras akan membawa kesuksesan, kesuksesan secara otomatis
menciptakan kehidupan yang baik, kehidupan yang sehat) sangat merusak realitas. Ketika
seseorang memulai karirnya, harapan yang tidak realistis dapat mengakibatkan kekecewaan pada
usia paruh baya, diikuti oleh gejala psikosomatis, penyakit fisik, alkoholisme, dan serangan
jantung. Biaya kesuksesan harus disajikan jika pandangan seimbang dapat diperoleh. Intervensi di
tingkat organisasi sangat penting namun pada saat ini hampir tidak ada. Organisasi berada dalam
posisi untuk menyediakan program penilaian dan perencanaan karir bagi karyawan mereka dan
banyak yang melakukannya. Untungnya, ada pengakuan yang semakin besar bahwa jenis-jenis
program ini tidak masuk akal tanpa mempertimbangkan kebutuhan dan sasaran kehidupan pribadi.
Selain itu, tidak mungkin mengabaikan fakta bahwa kehidupan kerja individu dan kehidupan
pribadi saling mempengaruhi hingga tingkat yang signifikan. Tidaklah beralasan untuk
mengharapkan organisasi mempertimbangkan dampak yang mereka rasakan terhadap keluarga
karyawan mereka; untuk memahami sejauh mana dampak itu dengan survei dari kedua karyawan
dan pasangan mereka; untuk menyediakan fasilitas konseling yang memadai bagi karyawan dan
keluarga mereka; dan untuk mengambil peran yang lebih aktif dalam melibatkan dan
mempersiapkan keluarga untuk pekerjaan dan perubahan karir yang mungkin mempengaruhi
mereka. Pada tahap awal karier seseorang, organisasi dapat mengidentifikasi mereka yang rentan
terhadap kesuksesan karier dan kegagalan pribadi. Setiap kelompok manajemen teratas tahu siapa
pecandu kerja dan Tipe As mereka dan dapat mulai

Gender and Stress

Ada cukup banyak perselisihan tentang masalah apakah wanita mengalami bentuk stres kerja yang
unik. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa, secara umum, wanita cenderung menduduki posisi
organisasi dengan kontrol, kekuasaan, dan otoritas yang lebih sedikit, dan bahwa mereka biasanya
memiliki lebih banyak interupsi karier daripada pria (Barnett, Beiner, & Baruch, 1987). Selain itu,
perempuan lebih mungkin untuk tertanam dalam jaringan keluarga dan komunitas, diharapkan
untuk memelihara, dan cenderung menderita "masalah orang lain" (Belle, 1987; Wethington &
McLeod, 1987). Yang lain berpendapat bahwa bukti penelitian tidak begitu jelas. Sementara
wanita mungkin mengalami stresor yang unik dan menanggapi mereka secara berbeda daripada
laki-laki, gender berinteraksi dengan stressor dengan cara yang rumit yang mencoba untuk
mengisolasi peran gender dalam stres mungkin hampir tidak mungkin (Nelson & Burke, 2000).
Secara umum, wanita dalam organisasi menempati posisi kurang status dan kekuasaan daripada
pria, sering dibayar kurang dari pria dalam posisi yang sebanding, menghadapi "langit-langit
kaca," memiliki lebih sedikit dukungan karir dan organisasi, dan sering mengalami pelecehan
seksual dan tidak ramah. budaya tempat kerja (Dunahoo, Geller, & Hobfoll, 1996; lihat juga bab
6). Untuk diskusi terperinci mengenai stresor kerja yang dihadapi oleh wanita termasuk beban
kerja, kelebihan peran, langit-langit kaca, tokenisme, dan pelecehan seksual, lihat bab 1. Di antara
stres kerja, kehidupan keluarga dan peran telah mendominasi agenda penelitian. Yang jelas adalah
bahwa pergerakan perempuan ke tempat kerja tidak banyak berdampak pada definisi dan adopsi
peran keluarga. Perempuan dibebani dengan sebagian besar "shift kedua," termasuk merawat anak-
anak dan orang tua, pemeliharaan keluarga, belanja, memasak dan membersihkan (Hochschild,
1989; lihat juga bab 1). Model-model stres mengkategorikan perilaku-perilaku koping sebagai
fokus masalah (diarahkan pada sumber stres), atau fokus emosi (diarahkan pada reaksi-reaksi
terhadap stres) (Barnett, Beiner, & Baruch, 1987). Sementara beberapa penelitian menunjukkan
bahwa wanita cenderung terlibat dalam coping yang berfokus pada emosi, sementara pria lebih
berorientasi pada perilaku koping mereka (Barnett, Beiner, & Baruch, 1987; Nelson & Burke,
2000), data lain tidak menemukan perbedaan dalam mengatasi perilaku ketika wanita dan pria
menempati pekerjaan serupa

ORGANIZATIONAL RESTRUCTURING
Pada bagian ini menjelaskan tentang penelitian yang ada terkait dengan organizational
restructuring atau restrukturisasi organisasi (perombakan sistem/struktur suatu organisasi) sebagai
suatu peristiwa yang berpotensi menimbulkan stress, terutama pada pekerja wanita. Sebagian besar
penelitian tentang organizational restructuring menunjukkan bahwa proses ini sangatlah kacau,
tak dapat diprediksi, dan merepotkan. Organisasi seringkali menunda restrukturisasi sampai pada
keadaan krisis, di mana pada saat krisis sudah tidak ada cukup waktu dan sumber daya untuk
menanggapinya. Kemudian restrukturisasi juga harus memikirkan efek jangka panjang, namun
seringkali organisasi hanya memikirkan efek jangka pendeknya saja. Akibatnya, pekerja jadi
merasa kacau karena ketidakjelasan visi atau tujuan organisasi. Kondisi kacau dan tak dapat
diprediksi ini dapat menimbulkan stress pada pekerja baik pria maupun wanita. Namun, bagi
wanita itu adalah suatu hal yang dapat mempengaruhi karirnya dengan keunikannya (Karambayya,
1998).
Structural or Functional Issues
Selama proses restrukturisasi, organisasi berfokus untuk meningkatkan “bottom line” atau
profit perusahaan dengan cara mengurangi jumlah pekerja yang kurang kontributif bagi
perusahaan. Penekanan jumlah pekerja ini banyak dilakukan pada pekerja “white collar” atau
pekerja office/administrasi dari perusahaan tersebut. Mayoritas pekerja yang menempati posisi-
posisi ini berjenis kelamin wanita. Oleh karena itu, Karambayya (1998) mengatakan bahwa wanita
yang mana mayoritas menempati posisi adminsitrasi di perusahaan cenderung mudah mengalami
stress karena mereka kehilangan sebagian kolega mereka dan menerima beban kerja lebih banyak
dari sebelumnya.
Dalam sebuah organisasi, wanita lebih rentan mengalami stress akibat restrukturisasi karena
wanita cenderung tidak memiliki kuasa/kekuatan di organisasi tersebut. Ketika sebuah organisasi
memutuskan untuk mengurangi “kelebihan” pada perusahaan mereka, wanita lah yang menjadi
korban karena banyaknya jumlah mereka.
Gendered Cultures
Upaya restrukturisasi seringkali memiliki dampak yang kuat terhadap budaya organisasi.
Maddock (1999) mengatakan bahwa restrukturisasi memunculkan adanya budaya organisasi yang
mengutamakan kompetisi diatas kooperasi, koneksi diatas kompetensi, dan kepuasan diatas
tantangan. Meskipun budaya seperti itu mungkin bisa tidak sesuai bagi pekerja baik pria maupun
wanita, wanita lebih dirugikan. Organisasi menaruh ekspektasi pada pekerja wanita untuk bisa
memajukan perusahaan, memiliki perilaku yang baik, dan memajukan minat karir mereka padahal
internal perusahaan mereka menjadi sangat kompetitif. Sementara itu, jaringan pendukung mereka
(rekan kerja yang dipecat) terdisintegrasi, dan sebagai kelompok pekerja yang kurang memiliki
“kekuatan” dalam organisasi, pekerja wanita cenderung rentan terhadap pemecatan atau penurunan
jabatan. Oleh karena itu, wanita cenderung lebih rentan terhadap stress akibat organizational
restructuring.
Career Model
Model karir antara wanita dan pria berbeda. Dalam berkarir, pria cenderung termotivasi
dengan gaji ataupun gengsi yang dimilikinya. Tetapi wanita, yang sering mendapat penolakan
untuk bekerja di organisasi yang besar, cenderung lebih mandiri dalam perencanaan karir mereka
dan terbiasa menghadapi lingkungan kerja yang sulit. Sehingga wanita lebih mengembangkan
strategi yang lebih baik untuk menghadapi ketidakpastian dan ancaman kehilangan pekerjaan
dibandingkan pria (yang terbiasa selalu ada di struktur perusahaan). Namun, tidak ada bukti
empiris mengenai hal tersebut. Wanita memiliki model karir untuk menggabungkan antara
pekerjaan dan keluarga, dimana ada keterlibatan bersamaan dan urutan prioritas yang berbeda
antara dua hal tersebut.

Relational Practice

Menurut Fletcher (1999), ada kategori dari praktik kerja sama (relasi) : mempertahankan,
saling memberdayakan, dan membuat tim yang berprestasi dan sukses. Masing-masing perilaku
tersebut dimaksudkan untuk keuntungan antar pribadi, rekan erja, tim atau pekerjaan tim.
Perusahaan tidak tampak menghargai kerja relasional karena tampak tidak ada hasilnya. Dalm
konteks restrukturisasi, tidak hanya pekerjaan relasional yang lebih diperlukan karena lingkungan
kerja yang tidak stabil, kacau, dan toxic, tetapi bisa juga merugikan pekerjaan individu mereka.
Hal ini disebabkan, pekerjaan relasional memberatkan secara emosional dan fisik. Dalam
praktiknya, wanita mendapati diri mereka terlibat dalam peningkatan kerja relasional yang
diabaikan oleh pemegang kekuasaan institusional, yang bersiko lebih besar terhadap kesejahteraan
dan karir mereka sendiri

Psychological Contract

Psychological contract didefinisikan sebagai “keyakinan individu, yang dibentuk oleh


organisasi, mengenai perjanjian antara pekerja dengan organisasinya” (Rousseau, 1995). Dalam
pekerjaannya, perubahan sifat pekerjaan atau karir sering melibatkan pelanggaran kontrak
psikologis. Perbedaan antara pelanggaran kontrak dan pelanggaran (violation). Pelanggaran
kontrak pegawai dengan ketentuan kontrak psikologis yang tidak dihargai oleh
perusahaan/organisasi. Sedangkan pelanggaran dalam kontrak psikologis sering melibatkan
kemarahan, kekecewaan, tertekan, yang terkadang menghasilkan respon fisiologis dan psikolgis.
Perempuan mungkin sangat rentan terhadap stres yang timbul dari pelanggaran kontrak psikologis
selama restrukturisasi. Mereka diminta untuk terus bekerja dan komitmen namun mendapat gaji
pribadi yang sedikit. Di satu sisi, mereka diminta untuk bekerja lebih lama dan lebih keras,
sementara di sisi lain, manfaat yang diarahkan untuk membuat tempat kerja lebih ramah bagi
mereka secara bertahap menghilang.

Reevaluation of Work in the Context of Life

Re-evaluasi kerja dalam konteks kehidupan merupakan bagian penting dalam kehidupan kerja,
biasanya dikarenakan peristiwa eksternal (kesadaran akan tahapan kehidupan atau bertambahanya
umur) dan peristiwa penting dalam kehidupan seseorang ( masalah keluarga, kehilangan
pekerjaan). Pada coping jenis ini mengarahkan individu ke arah untuk mengubah fokus perilaku
individu ke orang di sekelilingnya bukan ke organisasi atau ke sumber stres. Sehingga dapat
mengubah kehidupan pribadi individu dengan cara yang lebih menyeimbangkan kebutuhan
dengan energi individu.

Separation of Work From the Rest of Life

Pada strategi coping ini yaitu mengutamakan upaya pemberian batasan antara pekerjaan dengan
aspek kehidupan seseorang. Seperti halnya re-evaluation of work in the context of life, pendekatan
ini diarahkan untuk mengubah perilaku individu antara target dengan kemungkinan tidak
berpengaruh pada organisasi atau budayanya.

Social Support

Merupakan salah satu strategi dalam coping untuk mencari dukungan sosial baik dari dalam atau
luar organisasi untuk menghadapi suatu tekanan dan tuntutan. Hal ini dapat mengurangi stres yang
dialami biasanya dengan berbagi cerita dengan sesama atau biasanya disebut dengan curhat,
meskipun pada pendekatan ini tidak mengarah langsung ke sumber stres namun memiliki potensi
untuk mengubah sifat stres yang dihadapi.

Exit, Voice, Loyalty, and Neglect

Hirschman (1970) berpendapat bahwa tanggapan terhadap ketidakpuasan dengan organisasi atau
perusahaan dapat mengambil 1 dari 3 pilihan yaitu antara Exit, Voice, Loyalty.

 Exit melakukan pengunduran diri dari perusahaan atau organisasi


 Voice melibatkan ekspresi ketidakpuasan
 Loyalty tetap melaksanakan apa yang di perintahkan perusahaan
AN OVERVIEW OF NEGATIVE AFFECTIVITY AND OCCUPATIONAL STRESS

Menurut watson dan clark 1984 efektivitas negatif sangat berpengaruh terhadap mereka yang ada
di dalam suatu organisasi terutama pada organisasi yang memberikan stres kerja yang besar kepada
individu. Brief et al mengusulkan 2 cara atau stratergi untuk mengatasi masalah efektivitas negatif
yaitu; Pertama, mereka merekomendasikan peneliti stres kerja mengukur efektivitas negatif dan
secara statistika parsial efeknya dari hubungan penyebab stres dengan individu. Kedua, mereka
merekomendasikan agar para peneliti mempertimbangkan untuk menggabungkan penggunaan
pengukuran-pengukuran non laporan diri dari penyebab stress dan individu terkena stres.

Dari seluruh penelitian yang dilakukan secara spesifik dapat disimpulkan bahwa mengendalikan
negative affectivity tidak mengurangi korelasi antara stressor – strain. Hal ini konsisten dengan
penelitian yang dilakukan oleh Brief et al.

Moyle (1995) mengusulkan bahwa negative affectivity dapat mempengaruhi strain melalui proses
mediasi dan sebagai variabel moderator. Negative affectivity dapat berdampak pada strain dengan
mediasi yang menunjukkan bahwa stressors memediasi hubungan antara negative affectivity dan
strain. Hal ini mungkin disebabkan oleh fakta bahwa orang-orang dengan tingkat negative
affectivity yang tinggi merasakan tingkat stres yang tinggi, atau mungkin karena mereka sendiri
menyeleksi diri ke dalam lingkungan kerja yang lebih menekan.

Peran utama lainnya yang dimainkan oleh negative affectivity, yaitu sebagai variabel moderator,
negative affectivity sebagai variabel moderator berarti menunjukkan bahwa negative affectivity
yang tinggi akan meningkatkan reaktivitas terhadap stressors sehingga hubungan stressors-strain
paling kuat di antara mereka yang memiliki tingkat negative affectivity yang tinggi.

GENDER, NEGATIVE AFFECTIVITY, AND

OCCUPATIONAL STRESS

Terdapat satu variabel yang secara mencolok namun tidak ada dalam domain penelitian ini yaitu
gender. Alasan yang kuat untuk memasukkan gender ke dalam studi tentang negative affectivity
yaitu karena adanya hubungan dengan perbedaan pengaruh yang berbasis gender. Bukti
menunjukkan bahwa wanita cenderung mengalami dan melaporkan emosi pada tingkat intensitas
yang lebih tinggi daripada pria.
Pada bagian berikutnya, perbedaan berbasis gender dalam pengaruh diperluas, yang menunjukkan
bahwa gender harus dimasukkan ke dalam studi tentang negative affectivity yang kemudian
menyimpulkan bab dengan beberapa rekomendasi untuk cara-cara tertentu di mana gender dapat
dimasukkan ke dalam penelitian negative affectivity di masa depan.

GENDER-BASED DIFFERENCES IN NEGATIVE AFFECT

Wanita cenderung untuk melaporkan dan mengalami tingkat ketidakbahagiaan yang lebih tinggi,
depresi unipolar, dan bentuk-bentuk lain dari pengaruh negatif (negative affectivity) daripada pria
(Fujita, Diener, & Sandvik, 1991). Sebagai contoh, penelitian epidemiologi berbasis masyarakat
telah menunjukkan bahwa perempuan secara tipikal menunjukkan hampir dua kali kejadian
depresi klinis daripada laki-laki (Nolen-Hoeksema, 1987). Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata
perempuan secara konsisten melaporkan tingkat ketegangan psikologis yang lebih tinggi daripada
laki-laki (Jick & Mitz, 1985).

Perbedaan gender dalam pengaruh negatif dapat dijelaskan dengan proses kognitif dan sosialisasi.
Wanita lebih cenderung daripada pria untuk menghubungkan kesuksesan dengan keberuntungan
atau faktor eksternal lainnya yang tidak mereka kendalikan. Sayangnya, wanita juga lebih mungkin
dibandingkan pria untuk menghubungkan kegagalan pada faktor internal seperti kurangnya
kemampuan. Dengan demikian, wanita mungkin lebih cenderung mengalami depresi karena
mereka cenderung mengabaikan keberhasilan mereka dan mempersonalisasi kegagalan mereka
(Seligman, 1975).

Perbedaan kognitif berbasis gender yang konsisten yang dapat mempengaruhi kecenderungan
untuk depresi adalah kapasitas untuk mengatasi ruminatif (merenung). Telah ditemukan secara
konsisten dibandingkan dengan pria,wanita memiliki kecenderungan yang jauh lebih besar untuk
merenungkan alasan atas emosi negative. Sesuai dengan Nolen-Hoeksema, Larson, dan Grayson
(1999), ruminasinya membentuk apa yang pada dasarnya merupakan siklus yang menghancurkan
diri sendiri yang mengarah ke tingkat depresi yang lebih besar.

Pria menunjukkan kecenderungan yang lebih besar daripada wanita untuk melakukan kegiatan
yang berfungsi untuk mengalihkan perhatiannya dari emosi negatif. Sebagai contoh, salah satu
cara untuk mengatasi perasaan rendah tentang nilai ujian yang buruk adalah pergi sejauh lima mil
untuk mengalihkan perhatian dari emosi negatif yang terkait dengannya. Dalam jangka pendek,
setidaknya ini akan menjadi respons adaptif terhadap emosi negatif. Namun, dalam jangka
panjang, pria dapat membayar harga untuk respons ini sebagaimana dibuktikan oleh tingkat
penyakit fisik berat yang lebih tinggi daripada wanita dalam menanggapi stresor (Jick & Mitz,
1985).

Perbedaan kognitif berbasis gender lain yang mungkin menjelaskan perbedaan dalam pengaruh
negatif adalah perasaan tidak berdaya. Wanita cenderung menunjukkan kecenderungan yang lebih
besar daripada pria untuk merasa bahwa mereka tidak berdaya untuk mengubah situasi yang
menekan (Nolen-Hoeksema, 1987).

Gender-Based Differences In Affect Intensity

Perbedaan lain yang konsisten yang mungkin memiliki pengaruh pada penelitian
efektivitas negatif adalah intensitas. Secara khusus, ada banyak bukti bahwa wanita cenderung
merasakan emosi pada tingkat yang lebih kuat daripada pria. Artinya, ketika wanita bahagia,
mereka mengalami emosi yang kebih intens daripada pria. Sebaliknya, ketika wanita mengalami
emosi negatif seperti kesedihan, ketakutan, atau kecemasan, ini juga dialami lebih intens
dibandingkan dengan pria.

Apa yang menyebabkan perbedaan ini? Menurut Diener et al. (1985), perbedaan berbasis
gender dalam mempengaruhi intensitas mungkin sebagian besar disebabkan oleh norma-norma
sosial berbasis gender. Salah satunya adalah “display rules” tentang ekspresi emosi seperti apa
dan apa yang tidak sesuai. Sebagi contoh dalam kebanyakan budaya Barat, aturan tampilan
emosional menyatakan bahwa laki-laki diharapkan untuk mempertahankan sikap pendiam, dan
dianggap tidak baik apabila laki-laki mengalami emosi secara intens.

Alasan lainnya menurut Diener dkk. (1985) adalah wanita cenderung lebih menganggap
penting hubungan interpersonal dibandingkan pria. Contohnya, pada penelitian ditunjukkan bahwa
wanita cenderung memandang pernikahan terutama dalam hal keintiman emosional sedangkan
laki-laki, cenderung memandangnya dalam hal persahabatan. Oleh karena itu, dapat dikatakan
bahwa wanita menempatkan investasi yang jauh lebih besar dalam aspek hubungan interpersonal
dibandingkan dengan pria. Jadi, ketika hubungan berjalan dengan baik, wanita cenderung bereaksi
lebih positif daripada pria. Sebaliknya, ketika hubungan tidak berjalan dengan baik, investasi
emosional yang lebih besar di pihak perempuan mengarah ke perasaan negatif yang lebih kuat
dibandingkan dengan laki-laki.

Lalu apa implikasinya bagi penelitian efektivitas negatif? Kemungkinan dampaknya mirip
dengan diskusi sebelumnya yaitu tentang kecenderungan emosi negatif, bahwa efektivitas negatif
memiliki dampak yang lebih besar di kalangan perempuan. Karena perempuan tampak
menunjukkan rentang yang lebih besar dari emosi positif dan negatif, itu cukup beralasan bahwa
disposisi berbasis dampak seperti keefektifan negatif akan memiliki dampak yang lebih besar
dalam kelompok wanita dibandingkan dengan laki-laki. Namun, perlu dicatat bahwa di antara
wanita, dampak terbesar dari efektivitas negatif mungkin dalam hal reaktivitas terhadap stres, yaitu
pengalaman emosi negatif seperti depresi dan kecemasan. Secara statistik, dapat dikatakan bahwa
efektivitas negatif dapat beroperasi sebagai variabel efek utama di antara laki-laki, namun
berfungsi baik sebagai efek utama dan variabel moderator di kalangan perempuan.

Heinisch dan Jex (1997) meneliti dampak dari efektivitas negatif pada hubungan antara
stressor peran, beban kerja, dan konflik interpersonal dan depresi. Temuan penelitian ini
menunjukkan, seperti yang diperkirakan, bahwa untuk laki-laki, efektivitas negatif berfungsi
hanya sebagai variabel efek utama dalam semua uji statistik. Artinya, efektivitas negatif dikaitkan
dengan tingkat depresi yang dilaporkan lebih tinggi terlepas dari tingkat stres yang dirasakan.

Namun, pola temuan untuk perempuan berbeda. Ada hasil yang menunjukkan bahwa stres
mungkin memiliki dampak positif pada wanita dengan tingkat efektivitas negatif rendah. Para
penulis berspekulasi bahwa untuk para wanita ini, stres mungkin dipandang sebagai tantangan atau
peluang untuk penguasaan.

Incorporating Gender Into Negative Affectivity Research


Di bagian ini kami memberkan beberapa rekomdasi mengenai bagaimana perbedaan
gender dapat dimasukkan dalam penelitian efektivitas negatif pada penelitian di masa depan.
Pada tingkat yang paling umum, kami merekomendasikan bahwa penelitian mengenai
efektivitas negative di masa depan setidaknya menggunakan kontrol statistik untuk dampak
gender. Meskipun hal ini telah dilakukan dalam beberapa penyelidikan mengenai efektivitas
negatif (misalnya, Decker & Borgen, 1993; Parkes, 1990).
Rekomendasi kedua, memeriksan faktor gender sebagai variabel prediktor dan
memodelkan efeknya. Ini tidak hanya mencakup memeriksa dampaknya terhadap ketegangan
(misalnya, Jick & Mitz, 1985), tetapijuga memeriksa apakah dampak dari efektivitas negatif
berbeda berdasarkan gender. Ini dapat dilakukan misalnya dengan hanya memeriksa efek
gangguan secara terpisah untuk pria dan wanita.
Cara lain untuk memodelkan efek gender dalam penelitian efektivitas negatif adalah
menguji apakah efek moderator berbeda berdasarkan jenis kelamin. Heinisch dan Jex (1997),
misalnya, menyelidiki interaksi tiga arah antara stresor, efektivitas negatif, dan jenis kelamin
dalam memprediksi depresi. Jika ada perbedaan berbasis gender dalam bagaimana pengaruh
negatif reaktivitas terhadap stresor, perbedaan tersebut harus diperiksa dalam kerangka moderator.

INCORPORATING GENDER INTO NEGATIVE AFFECTIVITY RESEARCH


Pada dasarnya gender telah diabaikan dalam studi mengenai efektivitas negative pada
literatur stress kerja ini. Dengan mengabaikan gender, peneliti mungkin gagal untuk
memperhitungkan variabel yang dapat mempengaruhi hasil temuan empiris, mengabaikan gender
juga dapat mewakili peluang terlewatkan untuk mempelajari lebih lanjut tentang konstruk disposisi
suasana hati tiap gender. Keterbatasan yang jelas pada chapter “Incorporating Gender Into
Negative Affectivity Research” adalah terlalu panjang dalam teori dan kekurangan data empiris
yang sebenarnya. Ini semata-mata karena fakta bahwa gender telah diteliti peneliti yang lain lebih
domain untuk mendukung pentingnya perbedaan gender dalam efektivitas negative dan
seharusnya tidak lagi dapat untuk mengabaikan itu semua. Contohnya adalah Penelitian ini
menemukan bahwa perempuan lebih mungkin daripada laki-laki untuk mendukung item pada
skala ini yang mencerminkan kerentanan dan kepekaan emosional. Laki-laki, di sisi lain, lebih
mungkin daripada perempuan untuk mendukung item yang mencerminkan ketegangan, mudah
tersinggung, dan mudah marah. Temuan ini penting karena mereka menunjukkan bahwa mungkin
ada perbedaan dalam langkah-langkah efektifitas negatif yang digunakan saat ini sejauh mana
mereka mampu menangkap tingkat sebenarnya dari sifat ini untuk pria dan wanita. Pada tingkat
yang lebih substantif, temuan ini menunjukkan bahwa laki-laki dan perempuan dapat berbeda
dalam cara di mana sifat efektivitas negatif terwujud (Smith and Reise, 1998).
WORK STRESS AND HEALTH IN WOMEN
Banyak penelitian telah dilakukan pada hubungan antara stres kerja dan kesehatan pada
wanita. Penelitian sebelumnya mengidentifikasi stres pada perempuan dalam angkatan kerja yang
melampaui pendidikan, pekerjaan, dan status perkawinan
Work Stress and Health in Women

Meskipun sedikit atau tidak ada perbedaan dalam sifat, kemampuan, motivasi dalam hal manajer
dan professional antara wanita dan pria (Powell,1990), wanita memiliki posisi yang lebih sedikit
di tempat kerja dan secara umum memiliki gaji yang lebih rendah daripada pria. Wanita lebih
mungkin menghadapi ketidakadilan dalam hal gaji daripada pria (Institute for Women’s Policy
Research, 1999), kurang dimanfaatkan skillnya, dan diskriminasi jenis kelamin dalam pekerjaan
(Cox & Harquail, 1991), hal ini berkaitan dengan terjadinya gejala stress (Greenglass, 1985a,
198513, 1991). Penyebab stress lain terkait dengan kesehatan yang buruk pada wanita
berhubungan dengan kondisi sosial ekonomi dari kehidupan wanita. Sebagai akibat dari posisi
ekonomi mereka yang kurang beruntung di masyarakat, banyak perempuan mengalami
kemiskinan. Kemiskinan berhubungan dengan kekurangan gizi, tempat tinggal yang tidak
memadai, kematian bayi yang lebih tinggi, kecacatan lebih besar daripada penyakit kronis,
banyaknya kejadian kekerasan, dan meningkatnya risiko depresi (McGrath, Keita, Strickland &
RUSSO,1990). Individu pada tingkat sosial ekonomi rendah memiliki sumber coping yang lebih
sedikit dan lebih rentan terhadap depresi dan gejala psikofisiologis (McLeod & Kessler, 1990).

Multiple Roles and Health

Partisipasi tenaga kerja wanita telah meningkat dua kali lipat dalam 30 tahun terakhir, dan 6 dari
setiap 10 wanita di Amerika Utara berada dalam tenaga kerja berbayar (Spanyol & Bianchi). Pada
saat yang sama, masyarakat terus berharap bahwa wanita akan bertanggung jawab atas sebagian
besar pengasuhan anak dan bekerja di rumah (Long 6r Cox, 2000).

Role Conflict, Stress, and Health in Women

Konflik di pekerjaan dan di rumah dikaitkan dengan beberapa hasil disfungsional psikologikal ,
termasuk burnout (Bacharach, Bamberger, & Conley, 1991), mood yang tidak menyenangkan
(Williams & Alliger, 1994), penurunan kesejahteraan keluarga dan pekerjaan (Kinnunen &
Mauno, 1998), keluhan fisik dan psikologis (Frone, Russell, & Cooper, 1992), dan ketidakpuasan
kehidupan dan pekerjaan (Netemeyer, Boles, & McMurrian, 1996). Sebagai individu yang
mengalami konflik dalam keluarga dan pekerjaan, kepuasaan dalam pekerjaan dan kehidupan
mereka akan menurun. Juga, ada bukti bahwa kesejahteraan kerja menurun dengan meningkatnya
konflik keluarga dan pekerjaan.
Stress, Coping, and Gender Differences

Coping yang efektif berimplikasi tidak hanya untuk mengurangi konflik peran tetapi juga untuk
meningkatkan kesejahteraan kerja. Menurut penelitian, coping stress dibedakan dalam antara yang
berfokus pada masalah dan berfokus pada emosi. Coping stres yang berfokus pada masalah
diarahkan untuk mengelola sumber masalah, sedangkan coping stres yang berfokus pada emosi
ditujukan untuk mengatur tanggapan emosional yang ditimbulkan oleh situasi (Folkman &
Lazarus, 1980). Para peneliti setuju bahwa coping yang berfokus pada masalah adalah strategi
coping yang efektif (Billings & Moos, 1984; O’Neill & Zeichner,1985).

Pria dilaporkan lebih mungkin daripada wanita untuk terlibat dalam coping yang mengubah situasi
yang menekan (Folkman & Lazarus, 1980; Stone & Neale, 1984). McDonald dan Korabik (1991)
menemukan bahwa sebagian besar manajer pria wanita melaporkan coping dengan situasi
pekerjaan yang membuat stress dengan menganbil tindakan langsung untuk memecahkan masalah.
Long (1990) dan Greenglass (1988) menemukan bahwa tidak ada perbedaan gender dalam studi
mereka mengenai coping dalam manajer. Perempuan lebih mungkin mengalami beban kerja yang
tinggi di tempat kerja dengan kontrol yang rendah atas tuntutan beban kerja daripada pria
(Piechowski, 1992).

Unger (1990) mengemukakan bahwa gender akan dikaitkan dengan hasil coping yang berbeda
dalam situasi yang berbeda. Beberapa penelitian telah menemukan bahwa skor pria secara
signifikan lebih tinggi daripada wanita pada depersonalization, satu dari tiga subskala job burnout
dari Maslach Burnout Inventory (MBI; Greenglass & Burke, 1988; Maslach & Jackson, 1985;
Maslach & Jackson, 1986; Ogus, Greenglass, & Burke, 1990; Schwab & Iwanicki, 1982).
Depersonalization mengacu pada respon yang tidak berperasaan dan sinis terhadap orang lain yang
mungkin merupakan klien, pelajar, atau pasien. Karena peran gender maskulin menekankan
kekuatan, kemandirian, dan peleraian (Greenglass, 1982; Pleck, 1980), depersonalization dapat
dianggap sebagai konsekuensi dari emosi yang ditekan oleh pria. Depersonalization mungkin
terkait dengan konsep dari emotional inexpressiveness yang dibahas oleh Eisler dan Blalock
(1991), yang berpendapat bahwa larangan keras terhadap ekspresi emosional pada pria adalah
salah satu perintah mental paling kuat yang mempengaruhi pria dan perilakunya. Dari kecil, pria
diajarkan bahwa ekspresi emosional adalah sifat feminim dan mereka belajar menjauhkan diri dari
feminitas mereka (Greenglass, 1982).

Gender Differences in Social Support

Terdapat bukti penelitian bahwa dukungan sosial memiliki efek positif bagi kesehatan fisik dan
mental (Belle, 1987; Cohen & Syme, 1985; Greenglass, Fiksenbaum, & Burke, 1996; Hobfoll,
Dunahoo, Ben-Porath, & Monnier, 1994;Waldron & Jacobs, 1989).

Penelitian menunjukan bahwa masyarakat yang mempunyai hubungan dan jaringan pertemanan
yang mendukung dapat mempengaruhi kesehatan dan morbiditas. Sementara wanita dan pria
memiliki kebutuhan kuat akan pertemanan, pertemanan mereka berbeda dari segi memberikan
keintiman emosional. Penelitian menunjukan bahwa pertemanan pria cenderung kurang dekat dan
kurang intim daripada pertemanan wanita. Secara umum, wanita terlibat dalam hubungan yang
lebih intim, emosional, dan membuka diri daripada pria. Perbedaan gender ini dianggap karena
sosialisasi gender secara umum. Peran gender feminin memungkinkan, dan bahkan mendorong,
menampilkan ketergantungan pada orang lain, sementara peran gender maskulin menempatkan
keunggulan pada kekuatan dan individualitas.

Ketika menghadapi stres, wanita cenderung mencari nasihat, informasi, bantuan praktis, dan
dukungan emosional dari orang lain daripada pria. Penemuan ini telah dilaporkan dala suatu
penelitian yang dilakukan Proactive Coping Inventory (PCI) untuk membuat strategi coping stress
individu. Proactive coping terdiri dari tiga hal:

1. Mengintegrasikan perencanaan dan strategi pencegahan dengan proaktif


2. Mengintegrasikan pencapaian tujuan yang proaktif dengan identifikasi dan
3. Menggunakan pendekatan emosional proaktif untuk pencapaian tujuan pengaturan diri.

LINKING SOCIAL SUPPORT AND COPING

Keuntungan dari mengaitkan social support dan coping:

1. Ketika memandang adanya dukungan sosial (social support) sebagai bentuk coping,
seseorang dapat menghubungkan bidang-bidang yang sebelumnya diliat berbeda secara
konseptual. Hal ini memungkinkan untuk elaborasi konstruksi tradisional menggunakan
perkembangan teoritis di bidang social support dan coping.
2. Konsep social support sebagai perilaku coping memperluas definisi tradisional untuk
melibatkan kemampuan interpersonal dan relasi.
3. Pertimbangan perilaku interpersonal dan relasi sebagai coping memerlukan penilaian
positif yang telah dihargai dan diharapkan secara tradisional pada wanita.

KESIMPULAN

Lingkup pekerjaan adalah sumber utama stres wanita. Mengingat kondisi yang mencirikan banyak
pekerjaan wanita, mereka lebih menghadapi ketidakadilan upah, diskriminasi jenis kelamin, dan
kurangnya keterampilan daripada pria, yang semuanya dikaitkan dengan stres. Stresor lain bagi
wanita berasal dari kerugian secara sosial-ekonomi dan kemungkinan besar untuk miskin. Pada
saat yang sama, wanita lebih cenderung bertanggung jawab untuk anak-anak daripada pria,
terlepas dari status pekerjaan mereka. Ditambah lagi tanggung jawab mereka pada merawat lansia,
yang juga biasanya didominasi oleh wanita. Stresor tambahan yang berkaitan dengan seks dan
diskriminasi rasial umumnya dirasakan oleh kaum wanita Hispanik dan wanita kulit hitam.

Penelitian menunjukan bahwa konflik antara peran di rumah dan pekerjaan adalah lazim dan dapat
diamati pada wanita maupun pria. Konflik antara kerja dan keluarga telah diidentifikasi sebagai
stressor yang menghasilkan kesejahteraan kerja yang lebih rendah dan kepuasan kerja yang
menurun. Penelitian menunjukkan bahwa baik pria maupun wanita, kualitas pengalaman mereka
di rumah dan di tempat kerja memediasi pengaruh peran-peran ini pada kesejahteraan kerja
mereka. Pada saat yang sama, strategi coping individu dapat meringankan stres kerja mereka.
Penggunaan social support adalah cara lain agar stres dapat diturunkan. Coping yang efektif
dengan stres kerja dan konflik peran tergantung pada pemanfaatan yang efektif dari social support
dan coping. Selain itu, wawasan tambahan diperoleh dengan melibatkan gender ke dalam
interpretasi hubungan antara kesejahteraan kerja, stres kerja, dan konflik peran.

Work and Family Conflict

Konflik kerja-keluarga adalah bentuk konflik antar peran, dimana si pekerja memiliki
tuntutan dari pekerjaannya namun peran keluarga dalam mendukung tidak seimbang. Tuntutan
peran sering muncul dari nilai yang dianut pekerja dan ekspektasi dari keluarga dan tempat kerja.
Konfik ini terdiri dari dua macam konflik antar peran yaitu yang pertama gangguan pekerjaan
dengan keluarga (Work interference with family) dimana pekerjaan dapat melarang pekerja untuk
berada di rumah seutuhnya. Konflik kedua adalah gangguan keluarga dengan pekerjaan (Family
interference with work) dimana tuntutan atau kebutuhan keluarga membuat pekerja tidak dapat
maksimal dalam pekerjaannya.

Work and Family Satisfaction

Satisfaction atau kepuasan merupakan respon emosional yang mengahasilkan estimasi dari
seberapa baik faktor-faktor tersebut untuk mendukung ataupun menggagalkan nilai-nilai yang
dianut. Respon emosional terdiri dari dua perkiraan yaitu apa yang diinginkan dan apa yang di
dapat beserta pentingnya nilai-nilai tersebut.

Intinya adalah, kepuasan kerja adalah respon yang mewakili dari adanya nilai-nilai yang
diharapkan dapat tertanam dengan baik di pekerja. Sedangkan kepuasan keluarga adalah respon
yang dikeluarkan ketika nilai-nilai pekerja terpenuhi dalam konteks keluarga.

Social Support

Social support merupakan akumulasi dari bantuan emosional dan instrumental yang
diterima dari orang lain (Beehr, 1985; House, 1981). Bantuan instrumental sendiri adalah bantuan
nyata atau langsung yang diterima dari orang lain. Sedangkan bantuan emosional adalah bantuan
yang berbentuk emosional seperti kepedulian yang fokusnya di perasaan dan pikiran serta
dianggap penting oleh sang penerima.

Fungsi social support sangatlah penting, terutama dalam rangka mengurangi stress. Social
support sendiri terbukti menjadi sebuah penangkal yang dapat mengurangi penerimaan stress ke
individu. bentuk social support yang memiliki dampak pengurangan stress terbaik adalah dari
keluarga.

Keuntungan yang didapat dari social support sendiri tidak terbatas mengurangi stress saja.
Social support dapat meningkatkan kepuasan dan berkontribusi dari kesejahteraan pekerja itu
sendiri. Selain itu, social support juga berdampak pada kesehatan melalui perubahan di sistem
kardiovaskular, endokrin, dan sistem imun.

Social Support From Work

Social support dari tempat kerja dapat meningkatkan performa dan kesejahteraan pekerja.
Secara spesifik, dukungan dari tempat kerja ini dapat mengurangi stress yang berasal dari konflik
kerja-keluarga. Social support yang diberika oleh rekan kerja dan atasan memiliki dampak yang
besar bagi performa dan kepuasan seorang pekerja serta dapat mengurangi konflik gangguan
pekerjaan ke keluarga.

Social support From the Family

Dukungan dari keluarga sudah terbukti dapat mengurangi konflik kerja-keluarga individu.
Dukungan keluarga dalam bentuk instrumental maupun emosional dapat mengurangi gangguan
keluarga pada pekerjaan. Selain itu, dukungan dari keluarga memiliki dampak baik dalam
peningkatan kepuasan di internal keluarga itu sendiri.

Interactive Effects of Gender and Social Support

Diketahui terdapat perbedaan antar pria dan wanita dalam hal penerimaan konflik. Pria
dianggap lebih banyak menerima konflik pekerjaan karena memiliki peran pencari nafkah utama
keluarga. Sedangkan wanita dianggap lebih banyak menerima konflik keluarga karena memiliki
tanggung jawab dalam mengurus rumah tangga.

Namun, dengan lebih banyaknya konflik pekerjaan yang diterima pria dibandingkan
wanita, terdapat anggapan bahwa wanita memiliki kemampuan coping stress yang lebih baik
dibandingkan pria. Selain itu, social support yang diterima wanita kemungkinan lebih banyak dan
lebih baik sehingga membuat wanita secara efektif dapat mengurangi konflik kerja-keluarga.

Work Domain

Penelitian mengungkapkan bahwa wanita menerima lebih banyak dukungan sosial dari
rekan kerja mereka dibandingkan pria. Namun pria dan wanita menerima dukungan sosial yang
sama dari atasan mereka. Bisa disimpulkan bahwa wanita dapat menggunakan dukungan sosial
yang diterimanya sehingga gangguan pekerjaan ke keluarga dapat dikurangi dan kepuasan
meningkat dibandingkan pria.

Family Domain

Terdapat penelitian yang mengungkapkan bahwa suami atau pria lebih banyak menerima
dukungan instrumental dari istrinya. Namun, suami dan istri memberikan dukungan emosional ke
satu sama yang lain dalam jumlah yang sama (Greenhaus & Parasuraman, 1999). Wanita juga
lebih menginginkan adanya hubungan yang suportif serta dukungan keluarga (Leavy, 1983). Di
penelitian lainnya, ditemukan bahwa untuk wanita, dukungan sosial merupakan faktor yang
signifikan dalam aspek kesehatan, sedangkan untuk pria dukungan sosial tidak memiliki pengaruh
yang signifikan.

The Field Study

Data yang didapatkan menggunakan survey dengan sistem kuesioner self-report. Hal ini dilakukan
Karena self-report dianggap paling baik dalam mencermikan penilaian objektif seseorang terhadap
work-family conflict.

Measures

Gender : pengukuran pertama dengan mencatat jenis kelamin, perempuan dikodekan dengan
angka 1 dan laki-laki dengan angka 0. Selanjutnya melakukan pengukuran dengan skala 7-point
Likert-type dengan angka 1 merupakan "Sangat Tidak Setuju" dan angka 7 sebagai "Sangat Setuju"
terkait dengan apa yang mereka rasakan berdasarkan gender masing-masing.

Work Social Support : pengukuran dilakukan dengan 6 skala item yang dikembangkan oleh Etzion
(1984). Pengukuran dilakukan dengan mencatat sampai sejauh mana support dari pekerjaan yang
diberikan oleh kehidupan organisasi. Beberapa contoh itemnya adalah berisi penilaian terhadap
apresiasi, pembagian tugas, dan juga emotional support. Cronbach’s alpha yang didapatkan adalah
0.85.

Family Social Support : skala yang digunakan adalah 6 skala item yang dikembangkan oleh Etzion
(1984). Hal ini dilakukan untuk mengukur sampai sejauh mana dukungan keluarga terhadap
pekerjaan. Cronbach’s alpha yang didapatkan adalah 0.88.

Work Interference With Family Conflict : pengukuran ini terdiri atas 5 skala item dengan
membahas bagaimana gangguan kerja dapat mempengaruhi keluarga atau sebaliknya. Cronbach’s
alpha yang didapatkan adalah 0.81.

Family Interference With Work Conflict : pengukuran ini dilakukan dengan 5 skala item dengan
membahas gangguan keluarga dengan konflik yang ada ditempat kerja (mis.: Keluarga Saya sering
mengganggu tanggung jawab saya ditempat kerja). Cronbach’s alpha yang didapatkan adalah 0.87.

Work Satisfaction : pengukuran ini dilakukan untuk melihat tingkat kepuasan individu terhadap
pekerjaan yang mereka lakukan. Cronbach’s alpha yang didapatkan adalah 0.85.
Family Satisfaction : pengukuran ini dilakukan untuk mengukur kepuasan individu terhadap
aspek-aspek keluarga yang ada dalam hidupnya. Cronbach’s alpha yang didapatkan adalah 0.93.

Analyses

Hipotesis diuji menggunakan regresi moderat hirarkis. Langkah pertama mengontrol tentang usia
dan keanggotaan organisasi. Langkah kedua mengontrol tentang efek utama dari gender dan
kaitannya dengan social support.

Results

Hasil yang didapatkan adalah perempuan cenderung kurang tertarik untuk melaporkan family
social support dibandingkan laki-laki. Lebih lanjut, perempuan lebih tertarik untuk melaporkan
masalah terkait work interference with family. Selain itu, work social support dari pekerjaan dan
keluarga sangat berkolerasi dengan kepuasan terhadap pekerjaan dan keluarga. Tidak ada efek
yang interaktif antara gender dan work social support terhadap gangguan pekerjaan dengan
keluarga. Namun, efek interaktif ditemukan pada gender dan work social support terhadap
kepuasan pekerjaan. Secara khusus, ketika work social support meningkat, work satisfaction juga
meningkat dan lebih banyak terjadi pada perempuan daripada laki-laki. Terdapat efek interaktif
antara gender dan family social support terhadap family interference with work conflict, seperti
ketika family work support meningkat, family interference with work conflict menurun dan lebih
banyak terjadi pada perempuan. Efek interaktif juga ditemukan pada gender dan family social
support dengan family satisfaction, ketika family social support meningkat terjadi peningkatan
juga dalam hal family satisfaction yang lebih sering terjadi pada perempuan.

WORK AND FAMILY IDENTITY SALIENCE AS DETERMINANTS OF TIME


ALLOCATIONS

Teori identitas sosial mengemukakan bahwa peran sosial membentuk dasar dari individu
identitas (Burke, 1991; Frone, Russell, & Cooper, 1995), dan individu yang berpartisipasi dalam
berbagai peran mengatur identitas sosial mereka dalam sebuah hierarki arti-penting atau sentralitas
(Thoits, 1991). Menurut identitas social teori, semakin menonjol identitas peran tertentu, semakin
berarti satu berasal dari partisipasi dalam peran (Thoits, 1991), dan karena itu semakin banyak
waktu satu berinvestasi dalam peran itu (Burke & Reitzes, 1991; Lobel, 1991; Stryker & Serpe,
1994).
Konsisten dengan teori identitas sosial, berbagai indikator identitas kerja arti-penting
(misalnya, keterlibatan pekerjaan, komitmen kerja) telah dikaitkan jumlah waktu atau usaha yang
dikhususkan untuk bekerja (Dwyer, Fox, & Ganster, 1993; Greenberger & O’Neil, 1993; Lobe1
& St. Clair, 1992), dan identitas keluarga arti-penting telah dikaitkan dengan jumlah waktu yang
dihabiskan dalam keluarga peran (Greenberger & O’Neill, 1993). Karena itu kami memperkirakan
pekerjaan itu arti-penting berhubungan positif dengan jumlah waktu yang dialokasikan untuk
bekerja (Hipotesis 3a) dan arti-penting keluarga secara positif terkait dengan jumlah tersebut
waktu yang dialokasikan untuk keluarga (Hipotesis 3b).

GENDER DIFFERENCES IN THE PREDICTION OF TIME ALLOCATIONS


Pria dan wanita sering mengalami pekerjaan dan kehidupan keluarga mereka secara
substansial cara berbeda (Friedman & Greenhaus, 2000. Meskipun pria dan wanita cenderung
berbeda dalam alokasi mereka waktu untuk bekerja dan kegiatan keluarga, tidak jelas apakah
proses oleh yang pria dan wanita membuat keputusan alokasi waktu berbeda. Diberikan teori untuk
memandu pengembangan prediksi spesifik, kami mengembangkan hipotesis mengenai perbedaan
gender dalam faktor penentu alokasi waktu. Sebaliknya, kami mengajukan pertanyaan-pertanyaan
berikut untuk dijelajahi dalam hal ini penelitian. Apakah variabel keluarga memiliki efek yang
berbeda pada alokasi waktu pria dan wanita? Melakukan variabel kerja memiliki efek diferensial
pada alokasi waktu pria dan wanita? Lakukan variabel mitra memiliki pengaruh yang berbeda
terhadap alokasi waktu pria dan wanita? Ini adalah harapan kami bahwa pemeriksaan ini
pertanyaan akan memperjelas persamaan dan perbedaan dalam cara-cara pria dan wanita bereaksi
terhadap isyarat dari lingkungan kerja dan keluarga dalam pembuatan keputusan alokasi waktu.

THE IMPACT OF TIME ALLOCATIONS ON LIFE STRESS

Stres dialami ketika individu menilai situasi sebagai potensi berbahaya atau mengancam
karena melebihi sumber daya mengatasi mereka (Lazarus & Folkman, 1984). Meskipun pria dan
wanita yang mengabdi ekstensif waktu untuk pekerjaan dan peran keluarga mereka mungkin
diharapkan untuk dialami tingkat stres yang tinggi karena mereka merasa kewalahan, letih, mudah
tersinggung, dan cemas, bukti yang menghubungkan alokasi waktu dengan hasil yang terkait
dengan stres adalah tidak konsisten. Untuk melanjutkan penyelidikan di bidang ini, kami
memeriksa dampak dari alokasi waktu kerja dan keluarga pada stres. Namun, kami secara
bersamaan meneliti efek dari dua faktor lain pada stres:
(a) tekanan peran bekerja berlebihan dan tanggung jawab orang tua, yang kami percaya
mempengaruhi keputusan alokasi waktu; dan (b) konflik keluarga-kerja, yang seringkali a
konsekuensi alokasi waktu yang luas (Greenhaus & Parasuraman, 1999). Selain itu, kami
memasukkan tekanan peran, alokasi waktu, dan konflik kerja-keluarga dalam analisis yang sama
memungkinkan kita untuk menilai kerabat dampak dari variabel-variabel ini pada stres.

RESEARCH PROCESS

Penelitian ini adalah bagian dari proyek penelitian yang lebih besar tentang pekerjaan dan
keluarga kehidupan pemilik usaha kecil (Parasuraman et al., 1996). Peserta studi dihubungi dalam
kursus pendidikan profesional berkelanjutan untuk usaha kecil pemilik di dua AS bagian timur.
universitas. Mereka diminta untuk berpartisipasi dalam penelitian jika mereka menikah atau
tinggal dengan pasangan, dan jika mereka dan pasangan atau pasangan mereka masing-masing
bekerja setidaknya 20 jam per minggu. Setiap orang yang memenuhi kriteria ini diberi dua salinan
survei yang berjudul "Bekerja dan Family Research Study, "satu untuk peserta untuk
menyelesaikan dan yang lain untuk pasangan atau pasangannya untuk diselesaikan. Mitra
diinstruksikan untuk selesaikan survei secara mandiri dan kirimkan kembali survei yang telah diisi
para peneliti dalam amplop prabayar terpisah. Sampel saat ini terdiri dari 73 pasangan pria dan
wanita yang cocok dalam hubungan berpenghasilan ganda. Di 26 dari pasangan, kedua mitra
adalah bisnis pemilik, dan dalam 47 pasangan, hanya satu mitra adalah pemilik bisnis

MEASURES

Alokasi waktu untuk kerja diukur dengan:

“Berapa banyak kamu kerja seminggu? termasuk waktu yang dihabiskan di kantor, traveling, dan
waktu kerja di rumah”

 1 (20-29 jam), 2 (30-39 jam), 3 (40-49 jam), 4 (50-59 jam), dan 5 (≥60 jam)

Alokasi waktu untuk keluarga diukur dengan:

“Ketika hari-hari kerja, berapa banyak waktu yang dihabiskan pada pekerjaan rumah atau urusan
anak?”

 1 (<1 jam), 2 (1-2 jam), 3 (3-4 jam), 4 (>4 jam)


Beban kerja diukur dengan empat skala pengukuran yang diadaptasi dari Caplan, Cobb,
French, Harrison, dan Pinneau (1975). Skala respon dibuat dalam 5 skala dari 1 (sangat tidak
setuju) sampai 5 (sangat setuju). Tanggung jawab orang tua dinilai melalui kehadiran anak-anak
yang tinggal di rumah.

Arti penting pekerjaan dinilai dengan empat item dari Lodahl dan Kejner (1965) skala
keterlibatan pekerjaan dengan kata "work" diganti untuk "job.". Skala respon dibuat dalam 5 skala
dari 1 (sangat tidak setuju) sampai 5 (sangat setuju). Arti penting keluarga dinilai dengan 3 item
keterlibatan pekerjaan, dengan kata “family” diganti untuk “work.”. Indikator ketiga untuk
mengukur arti penting adalah prioritas karir individu dibandingkan dengan karir pasangannya.

Konflik work-family diukur dengan 14 item yang diadaptasi dari literatur. Skala respon dibuat
dalam 5 skala dari 1 (sangat tidak setuju) sampai 5 (sangat setuju). 10 item digunakan untuk
menilai life stress. Item-item tersebut mengindikasi sejauh mana mereka mengalami berbagai
perasaan tentang hal-hal dalam hidup mereka seperti kesal, sedih, atau gelisah dan gugup. Skala
respon dibuat dalam 5 skala dari 1 (hampir tidak pernah) sampai 5 (hampir selalu) dan rata-rata
untuk mendapatkan angkat total life stress.

Karena kami mencocokkan survei pasangan pria dan wanita dalam sampel kami, skor
perempuan pada keterlibatan kerja dan skala keterlibatan keluarga digunakan untuk menilai arti
identitas pasangan pria, dan skor pria pada skala ini digunakan untuk menilai arti identitass
pasangan perempuan. Demikian pula, waktu yang dihabiskan wanita dalam aktivitas pekerjaan
dan keluarga digunakan untuk menilai alokasi waktu pasangan pria, dan waktu pria yang
dihabiskan di tempat kerja dan kegiatan keluarga digunakan untuk menilai alokasi waktu pasangan
perempuan.

FINDINGS

Analisis awal menunjukkan bahwa pria lebih banyak menghabiskan waktu untuk bekerja,
sedangkan wanita lebih banyak menghabiskan waktu untuk keluarga. Demikian juga, arti penting
pekerjaan dan prioritas karir lebih tinggi pada pria daripada wanita, dan arti penting keluarga lebih
tinggi pada wanita daripada laki-laki. Plus, wanita merasakan life stress lebih tinggi dibanding
pria. Mengejutkannya, alokasi waktu untuk kerja tidak memiliki hubungan dengan alokasi waktu
untuk keluarga baik bagi laki-laki maupun perempuan.
Efek tuntutan peran, keterlibatan pasangan, dan arti penting identitas secara umum similiar untuk
wanita dan pria. Bagaimanapun, hasil penelitian menujukkan 3 perbedaan signifikan dari gender
dalam memprediksi alokasi waktu. Hasil akhir menunjukkan bahwa:

 Alokasi waktu tidak memiliki efek pada life stress


 Konflik work-family memiliki efek langsung pada stress
 Beban kerja memiliki efek tidak langsung pada stress melalui konflik work-family

Work-Family Interface. From Segmentation to Crossover

Peneliti dalam hubungan work-family umumnya membagi jadi beberapa bagian yaitu segmentasi,
kompensasi, dan spillover untuk mengkategorikan proses tentang bagaimana pekerjaan dan
keluarga berhubungan (Piotrkowski, 1979; Zedeck, 1992). Dalil segmentasi menyatakan bahwa
pekerjaan dan keluarga adalah sesuatu yang jelas berbeda dari segi fungsinya, dan terpisah namun
saling mempengaruhi sehingga terjadi pengholongan dalam kehidupan satu individu (Dubin,
1973). Teori kompensasi menyatakan bahwa ada hubungan yang kontras (inverse) antara
pekerjaan dan keluarga sehingga individu memberikan effort yang berbeda dalam rangka
memenuhi apa yang tidak tercapai antar dua subjek tersebut. Kemudian konsep spillover
menyatakan bahwa ada kesamaan antara pekerjaan dan keluarga. Konsep ini menyatakan bahwa
meskipun ada perbedaan yang jelas antara keluarga dan pekerjaan, emosi, sikap dan perilaku dari
satu domain dapat mempengaruhi domain lain (Piotrkowski, 1979). Peneliti kemudian
mencontohkannya dalam dua situasi yang berbeda, yaitu; stress yang ditimbulkan pada satu
domain dapat menyebabkan stress pada domain yang lain, dan, stress yang timbul akibat pekerjaan
oleh satu individu dapat memicu stress pada orang orang di rumahnya.

Oleh karena itu, pada studi crossover (penelitian dimana satu individu mendapatkan perlakuan
yang berbeda), peneliti lebih banyak menggunakan konsep spillover. Meskipun begitu, konsep
spillover memang sudah mumpuni, namun tidaklah cukup sehingga peneliti menambahkan model
analisis tambahan yaitu model dyad dan interpersonal level dari satu individu.

The crossover model : Core Constructs and Paths

Pada teori of role yang dikemukakan oleh Kahn, yang akhirnya menjadi basis dalam penelitian
crossover dikarenakan adanya hubungan individu dan role yang dia miliki dalam pekerjaannya
atau role dimanapun dia berada.
Dari akumulasi hasil terkait crossover research, masuk akal jika menyebut domain pekerjaan dan
keluarga adalah tahap awal dalam proses crossover. Oleh karena itu, model konseptual crossover
terdiri dari stressor tertentu sebagai pemicu dalam proses crossover.

Tabel diatas membagi proses crossover menjadi 5 dimensi yang berbeda yaitu, work and family
stress, life events, ketegangan, karakteristik personal dan proses interaksi. Dapat dilihat bahwa role
yang diterima oleh individu dapat memicu adanya ketegangan. Kemudian ketegangan yang berasal
dari pekerjaan merupakan outcoles yang dihasilkan dari stress dan ketegangan tersebut dapat
memicu stress pada individu lain.

Direct Empathetic Crossover

Mekanisme yang pertama kali diajukan dalam proses crossover menyatakan bahwa stress memicu
ketegangan langsung kepada partner individu (i.e. spouses). Dasar dari penemuan ini adalah efek
crossover muncul pada partner yang peduli terhadap satu sama lain dan berbagi hidup bersama
bersama. Menurut mereka, ketegangan dari partner mereka menimbulkan empati pada yang lain
sehingga meningkatkan level ketegangan mereka. Penelitian ini didukung oleh teori Social-
Learning yang dikemukakan oleh Bandura pada 1969, yang menjelaskan bahwa transmisi emosi
sebagai media pertukaran informasi. Individu akan membayangkan bagaimana rasanya berada di
posisi individu lain sehingga akhirnya berbagi perasaan itu.
Suatu tekanan yang dialami oleh seseorang akan dirasakan juga oleh pasangannya, hal ini
didukung oleh ahli pembelajaran sosial Bandura (1969) yang menjelaskan mengenai transmisi
emosi sebagai bagian dari memproses informasi. Teori itu menjelaskan bagaimana seorang
individu membayangkan diri mereka diposisi orang yang mengalami stres sehingga berbagi
perasaan.

Selain itu, pandangan tersebut juga didukung oleh penemuan Eckenrode dan Goore (1981)
yang menyatakan bahwa kejadian dalam hidup suami meningkatkan tingkat stres dari istri mereka.
Penemuan tersebut menjelaskan mengenai dampak dari empati istri terhadap kejadian yang
dialami suaminya.

Kepalsuan – stresor yang umum

Mekanisme stresor umum yang dikemukakan oleh Westman dan Vinokur (1998)
menyatakan bahwa hubungan tekanan antar pasangan menikah itu palsu. Stres yang terjadi
sebenarnya dikarenakan dua faktor yang berlangsung di lingkungan bersama (Hobfoll dan London,
1986), contoh kejadiannya seperti perceraian, transfer pekerjaan, dan finansial.

CROSSOVER AS AN INDIRECT PROCESS

Penjelasan mengenai crossover (persilangan) sebagai proses tidak langsung berpendapat


mengenai efek yang mencakup mekanisme mengatasi stres, karakteristik komunikasi, dukungan
sosial, dan perusakan sosial yang telah diidentifikasikan sebagai penengah dari stres dan respon
tekanan (Coyne dan Downey, 1991; Jones dan Fletcher, 1993).

Strategi Coping

Terdapat dua pendekatan, yaitu problem-focused yang berhubungan positif pada


kesejahteraan dan emotional-focused yang berhubungan negatif pada kesejahteraan (Westman dan
Shirom, 1995). Banyak penelitian mengenai coping (mengatasi stres) yang sudah dilakukan,
seperti perbedaan gender dan pengaruhnya kepada coping, tetapi penelitian mengenai hubungan
antara pasangan suami-istri dengan coping induvidunya masih sedikit. Setiap tekanan yang terjadi
bisa memengaruhi bagaimana strategi coping, sehingga coping dapat dilihat sebagai prediktor dari
satu tekanan atau sebagai penengah dari hubungan stres dengan tekanan yang dialami pasangan.
Beberapa strategi coping bisa meningkatkan kesejahteraan dari orang yang melakukan coping
tetapi berpengaruh buruk pada pasangan orang tersebut.

Dukungan Sosial

Interaksi interpersonal antara pasanga yang tidak memberikan dukungan yang cukup atau
bahkan tidak ada dapat mengakibatkan dampak persilangan dan juga intensitas dari proses
persilangan. Berdasarkan Hobfoll dkk (1994), banyak peneliti yang menunjukkan dampak positif
dari dukungan sosial kepada orang yang dituju, tetapi tidak melihat dampak lain yang terjadi pada
yang memberikannya. Menurut Riley dan Eckenrode (1986), pasangan dapat memengaruhi tingkat
tekanan tidak langsung yang dikarenakan oleh dukungan sosial yang berkurang dari pihak lain dan
kebutuhan dukungan sosial bersifat melelahkan kepada yang lain dalam lingkup tersebut. Terdapat
dua poin atau proses penting menurut mereka, yaitu transaksi dukungan yang dibagikan oleh
individu dan hilangnya sumber daya yang disediakan oleh pendukung sosial saat mereka
membagikan empati bagi mereka yang membutuhkan. Inti dari penelitian ini adalah bagaimana
stres yang dialami oleh suami menimbulkan keinginan untuk didukung, dan pasangannya akan
merasa gelisah dan bersalah saat tidak dapat memberikan apa yang dibutuhkan suami. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa pemberi dukungan sosial dapat mengalami tekanan stres dikarenakan
ketidakmampuan mereka untuk menyediakan dukungan atau karena berkurangnya sumber daya.

PERSONAL ATTRIBUTES AS MODERATING VARIABLES

Tidak terdapat bukti empirik mengenai kontribusi dari atribut pribadi terhadap proses
persilangan. Atribut pribadi tersebut dapat berdampak langsung sebagai variabel exogenus atau
secara tidak langsung sebagai penengah yang berinteraksi dengan tingkat stres pekerjaan si A
dalam menjelaskan tingkat stres dan tekanan si B. karakteristik yang paling sering diteliti adalah
gender, tahap hidup, dan jumlah anak, yang secara umum berhubungan dengan persilangan.

Untuk menghubungkan peranan gender dalam proses persilangan harus berfokus pada isu
berikut:

1. Perbedaan gender dalam tingkat stres kerja


2. Gender dan persilangan dari stres dan tekanan
3. Perbedaan gender dalam unsur persilangan
4. Perbedaan gender dalam proses persilangan
GENDER DIFFERENCES IN STRESS RESEARCH: SOURCES AND OUTCOMES

Dalam rentang puluhan tahun terakhir, perusahaan telah mengalami beberapa perubahan,
slaah satunya partisipasi wanita sebagai tenaga kerja. Jaman sekarang, wanita sudah dapat
ditemukan dalam berbagai tingkatan di organisasi, tetapi penelitian yang berfokus pada peranan
gender dalam proses persilangan masih sedikit. Hal ini dikarenakan tinjauan literatur menunjukkan
kelangkaan informasi akan hubungan gender dengan proses persilangan.

Hubungan antara gender dan studi crossover, bab ini menggunakan penelitian tentang gender dan
stres dan strain. Bagian berikut membahas tentang perbedaan gender dalam stres, strain, dan
hubungan di antara keduanya.

Penelitian stres dalam sebuah organisasi, beberapa peneliti telah menemukan tidak ada
bukti pengaruh gender dalam persepsi stres kerja dan hubungan stres-strain (Di Salvo, Lubbers,
Rossi, & Lewis, 1995; Martocchio & O’Leary, 1989). Di sisi lain, menurut Tuosignant, Brosseau,
dan Tremblay (1987) menunjukkan bahwa salah satu hasil yang paling konsisten dalam penelitian
kesehatan mental adalah bahwa gejala kesehatan mental yang dialami wanita lebih signifikan
daripada pria. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa tingkat gejala depresi pada wanita terus lebih
tinggi daripada pada pria, meskipun wanita mendapatkan keuntungan substansial dalam
pendidikan dan peluang karier (Mirowski & Ross, 1995).

Demikian pula, menurut Jick dan Mitz (1985), yang mengkaji bukti empiris untuk
perbedaan jenis kelamin dalam stres kerja, menemukan bahwa perempuan cenderung tingkat
tekanan psikologis yang lebih tinggi daripada laki-laki. Terlihat dari pria menduduki posisi
manajerial dan wanita lebih sering ditemukan dalam pekerjaan administrasi dan layanan. Peneliti
menyimpulkan bahwa gender sangat penting dalam menentukan bagaimana stresor di tempat kerja
yang berbeda, bahwa pria dan wanita mengalami frekuensi yang berbeda dari berbagai stresor,
tergantung pada tingkat pekerjaan mereka. Menurut Matuszek, Nelson, dan Quick (1995)
mengindikasikan bahwa wanita mengalami stres yang lebih besar dan kesehatan mental yang lebih
buruk daripada pria.

Banyak perselisihan mengenai apakah wanita mengalami bentuk stress kerjanya itu dapat
terselesaikan atau tidak. Nelson dan Burke (2000), bahwa saat ini berkenaan dengan gender,
menunjukkan bahwa wanita mungkin mengalami stresor yang unik dan cara untuk merespon
stressnya berbeda dengan laki-laki.

GENDER AND THE CROSSOVER OF STRESS AND STRAIN

Dampak gender dalam proses crossover dapat dideteksi pada beberapa segi. Dampak
gender pada tekanan dan ketegangan yang dirasakan serta hubungan keduanya relevan dengan
mekanisme yang pertama kali disarankan dari crossover. Jenis kelamin adalah moderator potensial
dari dampak stres seseorang terhadap ketegangan pasangan karena perbedaan dalam tuntutan peran
tradisional dan harapan untuk pria serta wanita (Lambert, 1990). Ada beberapa indikasi bahwa
wanita lebih rentan dibandingkan pria terhadap dampak stresor yang mempengaruhi pasangannya.
Kessler dan McLeod (1984) menunjukkan bahwa peristiwa yang terjadi yang signifikan lebih
menyulitkan yaitu wanita daripada pria. Karena wanita keterlibatannya yang lebih besar dalam
urusan keluarga, mereka menjadi lebih sensitif tidak hanya pada peristiwa yang menegangkan dan
mereka alami sendiri, tetapi juga bagi mereka yang mempengaruhi pasangan mereka.

Beberapa peneliti telah menyelidiki dampak status pekerjaan perempuan, tetapi bukan stres
pada pekerjaan mereka, melainkan pada kesejahteraan suami (Booth, 1977; Burke & Weir, 1976;
Greenhaus & Parasuraman, 1987; Haynes, Eaker, & Feinleib, 1983; Rosenfield, 1980, 1992;
Staines , Pottic, & Fudge, 1986) .3 Beberapa penelitian menemukan bahwa status pekerjaan
perempuan memiliki efek negatif yang signifikan terhadap kesejahteraan pasangan laki-laki
mereka. Demikian pula, Burke dan Weir (1976) menemukan bahwa suami dari istri yang bekerja
mengalami lebih banyak tekanan pekerjaan. Studi selanjutnya oleh Rosenfield (1992) menemukan
bahwa itu bukan pekerjaan istri yang memengaruhi kesejahteraan suami, tetapi dampaknya pada
status suami dalam keluarga. Demikian pula, Staines, Pottic, dan Fudge (1985) telah
menyimpulkan bahwa hubungan kausal dari istri yang bekerja demi kesejahteraan suami, tidak
memadai untuk mendukung hipotesis studi crossover.

GENDER DIFFERENCES IN THE DIRECTION OF CROSSOVER

Bukti tentang perbedaan gender dalam studi crossover tidak konsisten. Mayoritas pada
studi crossover ini telah meneliti efek stress dari pekerjaan laki-laki pada istri mereka. Karena laki-
laki (dan masih) dianggap pencari nafkah, sehingga tidak cukup dengan penelitian studi crossover
secara dua arah.
GENDER DIFFERENCES IN THE DIRECTION OF CROSSOVER

Bidirectional Crossover

Hasil penelitian Hammer ddk (1997) yang melakukan persilangan antara karier seorang istri dan
suami dengan penggambaran Konflik kerja-Keluarga(WFC). Work-family conflict
mempertimbangkan peran individu yang terjadi ketika mempunyai peran sebagai suami atau istri
yang bekerja.Selain itu Work-family conflict merupakan tipe konflik antar peran di mana
seseorang tidak mampu untuk memenuhi tanggung jawab yang disebabkan oleh tuntutan keluarga,
dan stres/ketegangan yang bersumber dai pekerjaan itu sendiri.Selanjutnya dalam studi
Longitudinal,menemukan crossover dua arah dari tekanan atau depresi yaitu bisa dari suami ke
istri atau dari istri ke suami.Seperti misalnya salah satu pasangan punya penghasilan yang ganda
atau lebih.Hal tersebut dapat menimbulkan menambah tekanan psikolosis pasangannya.

Unidirectional Crossover

Dalam Studi yang dilakukan oleh Galambos dan Walters (1992) menemukan sebuah persilangan
yang tidak searah dari suami ke istri.Misalnya efek crossover tuntutan pekerjaan laki-laki tidak
mempengaruhi kesehatan psikologis Istri ,tetapi tidak menemukan pengaruh tuntutan pekerjaan
istri terhadap kesehatan psikologis suami.Singkatnya meskipun literatur menunjukan perbedaan
gender dalam stress dan ketegangannya,tetapi dalam literatur crossover tidak menunjukan
perbedaan ketika perempuan memiliki tingkat stress yang tinggi.

GENDER DIFFERENCES IN THE CROSSOVER PROCESS: THE INTERACTION


PROCESS

Gender Differences in Coping

Burke, Weir, dan Duwors (1980) mengemukakan bahwa dalam strategi coping Perempuan
cenderung menghadapi masalahnya dengan berusaha mengelola emosi yang ditimbulkan akibat
permasalahan tersebut.Lain halnya dengan Kahn et al.3 (1985) yang menemukan bahwa wanita
yang menggunakan strategi coping yang kurang konstruktif mengalami tekanan yang lebih besar
dari suami mereka daripada wanita yang menggunakan strategi yang berfokus pada masalah.

Gender Differences in Social Support


Penelitian yang di lakukan oleh Kunkel dan Burleson (1998) menyimpulkan bahwa pria dan wanita
jelas berbeda dalam mencari dukungan ketika mereka dihadapkan dengan berbagai masalah atau
tekanan.Selain itu Wethington dan McLeod (1987) menyebutkan bahwa perempuan cenderung
memiliki jaringan petemananan/ keluarga yang lebih besar dengan terlibat langsung dalam
berbagai komunitas.Terkait dengan respon terhadap stress perempuan cenderung memilih tetap
menjaga pertemanan mereka sebagai respon terhadap “fight-or-flight”.

10. REDUCED WORK ARRANGEMENTS FOR MANAGERS AND PROFESSIONALS :


A POTENTIAL SOLUTION TO CONFLICTING DEMANDS

NEED, AVAILABILITY, AND ACCEPTANCE

Bab ini lebih berfokus pada temuan dari serangkaian studi besar yang dilakukan oleh
Catalyst, yang bekerja untuk memajukan perempuan dalam bisnis. Studi ini membahas mengenai
semakin pentingnya peraturan kerja yang dikurangi secara sukarela, kesulitan yan menyertai
penggunaannya, dan strategi untuk memastikan keberhasilan mereka. Selain iitu, dibahas juga
mengapa pengurangan kerja memberikan dukungan untuk perempuan dalam karir mereka dan
bagaimana pengunaan pengurangan ini dalam karir perempuan.

Need for Part-Time Arrangements

Perubahan dalam cara kerja yang telah dilakukan menciptakan situasi sulit bagi karyawan
dalam menghadapi tanggung jawab yang tidak fleksibel antara rumah dan tempat kerja dan juga
tuntutan perusahan untuk menciptakan lingkungan kerja yang fleksibel. Di beberapa situasi,
perubahan ini dapat meningkatkan pengaturan pada paruh waktu secara sukarela. Akan tetapi, para
profesional dengan jam kerja yang panjang akan berjuang untuk mengukir waktu yang mereka
butuhkan untuk kehidupan pribadu dan keluarga ataupun merawat dan menjada orang tua mereka
sambil melanjutkan karir mereka.

Galinsky, Bond, dan Kim (2001) mengidentifikasi tekanan dan tuntutan pekerjaan yang
mengarah pada perasaan seperti tekanan untuk bekerja sangat cepat, tekanan untuk bekerja sangat
keras, tidak pernah memiliki cukup waktu dalam menyelesaikan semuanya, sulit untuk fokus, ada
gangguan pekerjaan, dan mengerjakan banyak tugas saat bersamaan. Mereka juga menemukan
bahwa wanita memiliki jumlah pekerjaan lebih banyak daripada pria, karena mereka lebih banyak
berhenti saat bekerja dan memiliki banyak tugas yang harus dilakukan saat bersamaan.
Sebagian besar karyawan wanita yang memiliki peran mengasuh anak dirumah pasti akan
terganggu waktu kerjanya/sedikit berubah karena jam kerja mereka yang bertentangan dengan
waktu mereka untuk mengurus rumah tangga, hal itu dapat dilihat pada gambar 10.2.

Tetapi sebenarnya tidak hanya karyawan wanita yang memiliki pertentangan waktu seperti
ini, secara umum baik karyawan wanita maupun laki laki pasti terkadang membutuhkan waktu
untuk keperluan pribadi mereka yang bertentangan dengan waktu kerja mereka. Seperti contohnya
cuti, biasanya sebuah organisasi mengatur waktu cuti untuk para karyawannya. Pengambilan
waktu cuti oleh karyawan diikuti dengan kewajiban kewajiban lainnya yang harus mereka lakukan.

Ketersediaan Pilihan Kerja Paruh Waktu

Sebuah organisasi dapat berjalan dengan baik salah satunya dipengaruhi oleh jam kerja
yang ditetapkan untuk para karyawannya. Setiap perusahaan yang menerapkan sistem pemilihan
waktu kerja yang fleksibel dikatakan oleh sebuah majalah pada tahun 1999 sebagai perusahaan
terbaik pada masa itu. Karena untuk seorang wanita yang telah bekerja misalnya, mereka dapat
bekerja part time agar tetap bisa mengurus keperluan rumah tangga.

Selain itu menurut sebuah penelitian apabila suatu perusahaan menerapkan sistem paruh
waktu dalam organisasinya, maka hal ini dapat mempermudah perusahaan itu untuk
mempertahankan SDM yang ada karena mereka tidak harus memilih antara pekerjaan atau urusan
pribadi, karyawan dapat menjalankan kedua hal tersebut secara bersaman dengan sistem paruh
waktu.

Penerimaan Aturan Paruh Waktu

Banyaknya penelitian dan kritik mengenai aturan paruh waktu, membuat hal ini semakin
berkembang. Banyak perusahaan yang melihat sistem paruh waktu adalah suatu hal yang menarik
karena tanpa disadari membawa dampak yang cukup besar terhadap perusahaan. Seperti
menghemat biaya pengrekrutan SD M karena para karyawannya merasa betah bekerja disana
sehingga perusahaan tidak lagi perlu merekrut karyawan baru. Melihat peluang keuntungan ini,
akhirnya banyak perusahaan yang menerapkan aturan ini.
Setelah banyak diterapkan, ternyata aturan paruh waktu tidak hanya menarik kaum wanita
yang berprofesi sebagai ibu rumah tangga. Tetapi juga orang orang yang telah pensiun yang masih
ingin bekerja, baik dengan alasan masih perlu biaya untuk keluarga hingga alasan pendidikan.
Selain itu hal ini juga dapat mengatasi masalah pengangguran yang ada, karena sistem paruh waktu
memerlukan SDM yang lebih banyak dibandingkan full time. Fakta lain mengenai aturan ini
adalah sebagian wanita yang bekerja paruh waktu merasa lebih mendapat dukungan dari atasan
mereka daripada wanita yang bekerja full time.

Jadi, paruh waktu merupakan suatu sistem/aturan yang dapat diterapkan pada suatu tatanan
organisasi untuk tetap mempekerjakan orang orang yang waktunya bertentangan dengan
kebutuhan kebutuhan lain mereka.

Kesulitan Implementasi Pada Level Organisasi

Salah satu permasalahan yang dihadapi dalam mengimplementasian aturan ini adalah
terhalangnya izin dari perusahaan tersebut. Meski banyak perusahaan yang melihat aturan ini
sebagai sebuah peluang dan lalu mengimplementasikannya, namun tidak sedikit pula yang masih
mengabaikan hal ini. Mereka biasanya cenderung sulit merubah sistem perusahaan dari bekerja
penuh waktu menjadi patuh waktu. Hal hal seperti ini yang dapat menjadi penghalang
diberlakukannya sistem paruh waktu. Bagaimana bisa sebuah sistem berjalan namun tidak dapat
izin dari perusahaan itu sendiri.

Jika suatu perusahaan sudah ingin menerapkan sistem ini tetap saja permasalahan muncul
disana, permasalahan dapat muncul dari aturan aturan yang tertera di perusahaan. Misalnya
perusahaan menyetujui sistem kerja paruh waktu, namun terkadang aturan atau kebijakan yang
mereka buat tentang sistem paruh waktu ambigu.

Kesulitan Implementasi Pada Level Supervisor

Supervisor merupakan salah satu komponen pendukung keberhasilan dari sistem paruh
waktu. Oleh sebab itu banyak hal yang mereka lakukan hingga akhirnya sistem paruh waktu dapat
digunakan dalam sebuah perusahaan. Mereka berjuang untuk mendengarkan dua pihak yakni
atasan dan karyawan yang bekerja disana. Mereka juga harus dengan giat mempromosikan
kebijakan tentang aturan paruh waktu ini.
Namun, sebelum mereka juga memutuskan untuk memakai aturan paruh waktu sebenarnya
banyak hal yang harus dipertimbangkan dan di diskusikan. Hal hal tersebut terkait produktifitas
pekerja yang lebih penting daripada waktu mereka dikantor, perencanaan jadwal secara proaktif,
memfasilitasi komunikasi lintas tim dan rekan kerja/komunikasi antar kelompok kerja, dan
lainnya.

Kesulitan Implementasi Pada Level Individu

Kesulitan implementasi sistem paruh waktu pada level individu terbagi menjadi 3 pokok
utama, yang pertama penggunaan sistem ini biasanya lekat dengan seorang wanita yang memiliki
anak sehingga harus membagi waktunya antara pekerjaan dengan anak. Keadaan seperti ini
membuat pekerja dengan sistem paruh waktu dilihat hanya untuk wanita dengan kebutuhan
tersebut saja tidak dengan karyawan lainnya.

Yang kedua, dengan berlakunya sistem ini maka menimbulkan masalah kecemburuan antar
karyawan yang bekerja full time dengan karyawan yang bekerja part time. Dari kecemburuan
sosial ini dapat menimbulkan kesalahpahaman sehingga terciptanya lingkungan organisasi yang
tidak sehat internalnya.

Yang terakhir adalah untuk karyawan yang bekerja paruh waktu biasanya memiliki
penugasan yang terbatas. Berbeda dengan karyawan yang bekerja penuh waktu. Gaji yan
diterimanya pun cukup jauh berbeda.

Strategi sukses bagi supervisor dan pekerja


Satu dekade penelitian Catalyst memeriksa pengaturan kerja yang fleksibel telah
menguraikan permasalahan dan implementasinya. Penelitian ini juga menyoroti banyak contoh
pengaturan paruh waktu yang sukses.Karena dilakukan secara sukarela, maka pengaturan paruh
waktu dinegosiasikan antara karyawan individu dan supervisor, paling banyak Aktivitas kritis
melibatkan diskusi reguler yang jelas tentang karir jangka panjangtujuan dan rencana,spesifikasi
pengaturan dan cara membuatnya bekerja,serta jadwal kerja, rencana, dan komitmen.
Pemberitahuan tentang pilihan kerja yang flexible

Negosiasi yang efektif dari pengaturan mengharuskan atasan dan pekerja memiliki
pemahaman yang jelas tentang kebijakan yang tersedia,manfaat bagi pemberi kerja, dan strategi
serta praktik yang diperlukan untuk merancang dan menjalankan pengaturan yang sukses.
Formalisasi dan Evaluasi Pengaturan kerja
Karakteristik lain dari pengaturan paruh waktu yang berhasil dalam penelitian Katalis
adalah pentingnya diskusi formal dan eksplisit antara karyawan dan supervisor, didokumentasikan
secara tertulis.diskusi ini harus mencakup kesepakatan tentang bagaimana tanggung jawab kerja
akan dikurangi, serta parameter pengaturan dan harapan kerja
Membuat Pengaturan kerja yang dapat berkembang
Proses ini merupakan proses penyesuaian antara pekerjaan dengan waktu. Tidak bisa
dipungkiri bahwa waktu sangat erat kaitannya dengan pekerjaan, terkadang pekerjaan dapat
mempengaruhi waktu atau bahkan sebaliknya. Oleh sebab itu, salah satu kesuksesan dari sebuah
organisasi adalah dengan pengaturan waktu dan pekerjaan yang sesuai. Artinya, aturan aturan
tentang waktu kerja, jam istirahat, waktu libur, dan cuti karyawan juga harus dipikirkan
berdasarkan kebutuhan. Tidak hanya melihat yang akan membawa keuntungan untuk perusahaan
saja. Contohnya, ketika seorang karyawan hamil-melahirkan, saat itu terjadi perubahan peran di
diri karyawan tersebut dalam keluarganya. Maka pihak perusahaan dapat menyesuaikan waktu
kerja karyawan ini dengan peran barunya/keperluannya dengan memberikan cuti hamil-
melahirkan.

Membangun Hubungan Kepercayaan dalam Organisasi

Proses ini menggambarkan tentang hubungan yang terbuka antara karyawan dengan
atasan. Dimana atasan mampu menampung opini opini karyawan serta menerima keluh kesah
mereka dengan baik. Serta memperbaiki sistem yang ada apabila dirasa kurang cocok dengan
karyawan. Dengan demikian, maka karyawan juga akan merasa dihargai dan menaruh kepercayaan
kepada atasannya bahwa mereka mampu untuk memenuhi segala kebutuhan karyawan. Jika hal
ini sudah terjadi maka hubungan internal suatu organisasi dapat berjalan dengan harmonis.
Karyawan juga tidak sungkan untuk bercerita tentang hal hal yang mungkin mengganggu mereka
di tempat kerja atau bahkan menimbulkan stress.

Kesimpulan

Dengan menjalankan semua hal hal yang telah dijelaskan, maka perusahaan juga dapat
dengan mudah meraih keuntungan. Karena karyawan merasa nyaman dan tidak ingin pindah ke
tempat kerja lain. Jika sudah seperti itu maka perusahaan tidak perlu mengeluarkan banyak biaya
dan waktu untuk merekrut orang orang baru, meluangkan banyak waktu untuk penyesuaian
karyawan baru mereka dengan kondisi tempat kerja. Hubungan antara pengusaha dengan
karyawannya juga berjalan baik. Sehingga semua pekerjaan dapat dilakukan secara maksimal
bersama sama pada porsinya masing masing.

GENDER-BASED DIFFERENCES IN AFFECT INTENSITY

Perbedaan lain yang konsisten yang mungkin memiliki pengaruh pada penelitian
efektivitas negatif adalah intensitas. Secara khusus, ada banyak bukti bahwa wanita cenderung
merasakan emosi pada tingkat yang lebih kuat daripada pria. Artinya, ketika wanita bahagia,
mereka mengalami emosi yang kebih intens daripada pria. Sebaliknya, ketika wanita mengalami
emosi negatif seperti kesedihan, ketakutan, atau kecemasan, ini juga dialami lebih intens
dibandingkan dengan pria.

Apa yang menyebabkan perbedaan ini? Menurut Diener et al. (1985), perbedaan berbasis
gender dalam mempengaruhi intensitas mungkin sebagian besar disebabkan oleh norma-norma
sosial berbasis gender. Salah satunya adalah “display rules” tentang ekspresi emosi seperti apa
dan apa yang tidak sesuai. Sebagi contoh dalam kebanyakan budaya Barat, aturan tampilan
emosional menyatakan bahwa laki-laki diharapkan untuk mempertahankan sikap pendiam, dan
dianggap tidak baik apabila laki-laki mengalami emosi secara intens.

Alasan lainnya menurut Diener dkk. (1985) adalah wanita cenderung lebih menganggap
penting hubungan interpersonal dibandingkan pria. Contohnya, pada penelitian ditunjukkan bahwa
wanita cenderung memandang pernikahan terutama dalam hal keintiman emosional sedangkan
laki-laki, cenderung memandangnya dalam hal persahabatan. Oleh karena itu, dapat dikatakan
bahwa wanita menempatkan investasi yang jauh lebih besar dalam aspek hubungan interpersonal
dibandingkan dengan pria. Jadi, ketika hubungan berjalan dengan baik, wanita cenderung bereaksi
lebih positif daripada pria. Sebaliknya, ketika hubungan tidak berjalan dengan baik, investasi
emosional yang lebih besar di pihak perempuan mengarah ke perasaan negatif yang lebih kuat
dibandingkan dengan laki-laki.

Lalu apa implikasinya bagi penelitian efektivitas negatif? Kemungkinan dampaknya mirip
dengan diskusi sebelumnya yaitu tentang kecenderungan emosi negatif, bahwa efektivitas negatif
memiliki dampak yang lebih besar di kalangan perempuan. Karena perempuan tampak
menunjukkan rentang yang lebih besar dari emosi positif dan negatif, itu cukup beralasan bahwa
disposisi berbasis dampak seperti keefektifan negatif akan memiliki dampak yang lebih besar
dalam kelompok wanita dibandingkan dengan laki-laki. Namun, perlu dicatat bahwa di antara
wanita, dampak terbesar dari efektivitas negatif mungkin dalam hal reaktivitas terhadap stres, yaitu
pengalaman emosi negatif seperti depresi dan kecemasan. Secara statistik, dapat dikatakan bahwa
efektivitas negatif dapat beroperasi sebagai variabel efek utama di antara laki-laki, namun
berfungsi baik sebagai efek utama dan variabel moderator di kalangan perempuan.

Heinisch dan Jex (1997) meneliti dampak dari efektivitas negatif pada hubungan antara
stressor peran, beban kerja, dan konflik interpersonal dan depresi. Temuan penelitian ini
menunjukkan, seperti yang diperkirakan, bahwa untuk laki-laki, efektivitas negatif berfungsi
hanya sebagai variabel efek utama dalam semua uji statistik. Artinya, efektivitas negatif dikaitkan
dengan tingkat depresi yang dilaporkan lebih tinggi terlepas dari tingkat stres yang dirasakan.

Namun, pola temuan untuk perempuan berbeda. Ada hasil yang menunjukkan bahwa stres
mungkin memiliki dampak positif pada wanita dengan tingkat efektivitas negatif rendah. Para
penulis berspekulasi bahwa untuk para wanita ini, stres mungkin dipandang sebagai tantangan atau
peluang untuk penguasaan.

INCORPORATING GENDER INTO NEGATIVE AFFECTIVITY RESEARCH


Dibagian ini kami memberkan beberapa rekomdasi mengenai bagaimana perbedaan gender
dapat dimasukkan dalam penelitian efektivitas negatif pada penelitian di masa depan.
Pada tingkat yang paling umum, kami merekomendasikan bahwa penelitian mengenai
efektivitas negative di masa depan setidaknya menggunakan kontrol statistik untuk dampak
gender. Meskipun hal ini telah dilakukan dalam beberapa penyelidikan mengenai efektivitas
negatif (misalnya, Decker & Borgen, 1993; Parkes, 1990).
Rekomendasi kedua, memeriksan faktor gender sebagai variabel prediktor dan
memodelkan efeknya. Ini tidak hanya mencakup memeriksa dampaknya terhadap ketegangan
(misalnya, Jick & Mitz, 1985), tetapijuga memeriksa apakah dampak dari efektivitas negatif
berbeda berdasarkan gender. Ini dapat dilakukan misalnya dengan hanya memeriksa efek
gangguan secara terpisah untuk pria dan wanita.
Cara lain untuk memodelkan efek gender dalam penelitian efektivitas negatif adalah
menguji apakah efek moderator berbeda berdasarkan jenis kelamin. Heinisch dan Jex (1997),
misalnya, menyelidiki interaksi tiga arah antara stresor, efektivitas negatif, dan jenis kelamin
dalam memprediksi depresi. Jika ada perbedaan berbasis gender dalam bagaimana pengaruh
negatif reaktivitas terhadap stresor, perbedaan tersebut harus diperiksa dalam kerangka moderator.
Demand-Control Model

Istilah penggunaan control bukan dominan yang menyebabkan kasus INB tinggi. Namun
demikian, kurangnya control dalam kelompok akan berdampak negative, individu yang mampu
mengontrol workload akan produktif. Cara-cara responden untuk menggambarkan bagaimana
pengurangan pengaturan kerja tercapai (atau tidak), menunjukkan bahwa mereka yang mendapat
manfaat paling sedikit dari beban yang dikurangi, model stres kontrol permintaan tradisional
mungkin dapat membantu. Itu tidak menjelaskan hasil positif untuk kelompok INB tinggi, namun.
Salah satu batasan dalam model kontrol permintaan tradisional adalah faktor permintaan dan
kontrol dalam konteks kerja. Ketika melihat efek dari pengurangan pengaturan kerja, penelitian
termasuk pekerjaan, keluarga, dan kehidupan pribadi. Individu juga memiliki tingkat permintaan
dan kontrol yang berbeda, tidak hanya dalam karier mereka, tetapi juga dalam keluarga dan
kehidupan pribadi mereka. Sebagai contoh, jika tuntutan karier seseorang mengurangi beban,
tetapi beban kerja keluarga meningkat, maka mungkin tidak ada keuntungan, kecuali jika kursus
itu adalah kesenangan pribadi yang lebih besar atau pemenuhan dari pekerjaan keluarga. Seseorang
mungkin memiliki kontrol lebih besar di tempat kerja daripada di rumah karena dukungan mitra
yang tidak ada (atau tidak) dari hasil ketidakpastian atau ketidakpastian yang lebih besar dari
sumber seperti anak-anak atau bantuan yang disewa. Tingkat dan kontrol permintaan tertentu harus
diperiksa dalam konteks keluarga atau kehidupan pribadi serta pekerjaan, jika kita ingin
mengembangkan prediksi yang kuat tentang kapan individu kemungkinan besar akan mendapat
manfaat dari pengurangan pengaturan kerja beban.

Human Ecology Model

Model ekologi manusia lebih menggambarkan mengenai deskripsi mengenai pengalaman pekerja
dengan pengaturan kerja beban-rendah dalam penelitian. Penjelasan mengenai waktu dan alasan
di balik itu pengurangan muatan lebih konsisten dengan proses penyesuaian dan adaptasi yang
berkelanjutan. Deskripsi konsekuensi positif dari pengurangan beban lebih berkaitan dengan
manfaat yang diperoleh pekerja ini dari waktu ekstra mereka daripada kesulitan dari mana mereka
telah melarikan diri. Ketika kelompok INB tinggi berbicara tentang keuntungan yang mereka raih
melalui pengurangan beban, mereka menggunakan istilah seperti fleksibilitas, kebebasan, dan
pilihan, daripada kontrol. Deskripsi pekerja tentang apa yang dikurangi muatan memungkinkan
mereka untuk lebih cocok dengan kerangka ekologi manusia, yang menjadikan mereka sebagai
aktor dalam lingkungan yang dinamis. Namun, karena kontrol jelas merupakan masalah bagi
mereka yang berada di kelompok INB rendah, mungkin saja ketika orang menganggap diri mereka
sebagai kontrol, mereka menggunakan istilah lain untuk menggambarkannya; sedangkan, ketika
ada kurangnya kontrol yang dirasakan, orang mengartikulasikannya persis dalam istilah-istilah itu.
Ketidakkonsistenan ini dalam prevalensi kontrol sebagai memerlukan penyelidikan lebih lanjut
untuk memperjelas bagaimana individu memahami pengalaman mereka. Namun, model ekologi
manusia perlu melangkah lebih jauh dalam mengembangkan beberapa konstruksinya, seperti
integritas fungsi, untuk memungkinkan prediksi tentang anteseden dan konsekuensi dari
pengaturan kerja yang sukses mengurangi beban. Sebagai contoh, jika kita berpikir tentang
bagaimana kerangka ekologi manusia dapat memprediksi perbedaan dalam kelompok INB tinggi
dan rendah, apa yang mungkin kita cari adalah perbedaan kejelasan prioritas. Artinya, seseorang
dapat berpikir bahwa integritas fungsi mungkin sulit dicapai kecuali orang tahu apa yang mereka
inginkan. Penelitian di masa depan dapat menguji apakah klaster prioritas benar-benar membantu
menjelaskan mengapa beberapa manfaat lebih banyak daripada yang lain dari pengaturan kerja
beban-rendah. Dari pemeriksaan kerja beban-rendah dari perspektif stres, kerangka ekologi
manusia tampaknya menawarkan lebih banyak janji daripada model kontrol permintaan dalam
memperluas pemahaman kita tentang pengaturan kerja alternatif. (Barett's 1998) proposisi bahwa
ada kondisi proksimal dan diskriminasi yang mempengaruhi hasil kerja-keluarga dapat
memberikan spesifisitas lebih kepada kerangka ekologi manusia dan menyarankan cara-cara
tambahan untuk mengukur integritas berfungsi. Juga tampak jelas bahwa ada proses-proses
penting selain kontrol ketika individu berhasil mencapai integritas fungsi. Penjelasan lebih lanjut
tentang makna dan peran dari proses-bebas lainnya, fleksibilitas, pilihan, dapat memberikan
kontribusi penting bagi pemahaman kita tentang bagaimana orang-orang mencapai keadaan
berfungsinya integritas. Pertimbangan implikasi dari temuan yang disajikan di sini harus sangat
tentatif mengingat keterbatasan penelitian. Namun, kegunaan yang lebih besar dari kerangka
ekologi manusia dalam menginterpretasikan hasil menunjukkan bahwa tidak ada formula yang
tepat dan akurat untuk menjamin pengaturan kerja pengurangan beban yang menguntungkan.
Sebaliknya, banyak sekali tanggung jawab yang mungkin ada pada individu untuk membuat,
bernegosiasi, dan terus menyempurnakan pengaturan kerja untuk menyesuaikan prioritas yang
bergeser. Selain itu, apa yang berhasil untuk satu orang tidak akan selalu berhasil untuk yang lain,
karena semua faktor yang berbeda yang bermain peran dalam kesuksesan. Kerangka sistem untuk
memahami keadaan yang memungkinkan bagi pengaturan kerja yang sukses mengurangi beban
menyoroti pentingnya dukungan lingkungan kerja. Temuan yang lebih luas dari penelitian
menunjukkan bahwa pengaturan kerja paruh waktu profesional ada dalam berbagai pekerjaan dan
industri, dan bahwa mereka dapat sangat bermanfaat baik bagi individu maupun organisasi.

AN AFFIRMATIVE DEFENSE: THE PREVENTIVE MANAGEMENT

OF SEXUAL HARASSMENT

Berdasarkan penelitian, pelecehan seksual dapat dicegah atau dikurangi melalui pendekatan mana
jemen preventif.

SEXUAL HARASSMENT: A CHRONIC PSYCHOSOCIAL PROBLEM

Pelecehan seksual dapat menimbulkan dampak negatif, baik untuk individu pun untuk perusahaa
n. Pelecehan seksual dapat menyebabkan stres pada karyawan, meningkatkan keinginan karyawa
n untuk pindah dari perusahaan, menurunkan produktivitas karyawan, mengharuskan perusahaan
mengeluarkan biaya lebih untuk kesehatan para karyawannya, dan memperburuk reputasi perusa
haan. Penelitian juga menunjukkan bahwa pelecehan seksual mungkin memiliki dampak sekunde
r pada pekerja yang bukan merupakan target langsung dari perilaku pelecehan seksual, tetapi para
pekerja yang menyaksikannya (Piotrkowski, 1997).

Karena pelecehan seksual memiliki dampak negatif yang banyak, baru-baru ini Badan Hubungan
Perburuhan Ontario (Kanada) menemukan bahwa pelecehan seksual dicover oleh UU K3 Ontario
(Au v. Lyndhurst Hospital: Decision 15 17-94-OH, 1997). Ini menunjukkan beberapa tingkat
pengakuan pemerintah terhadap konsekuensi negatif terkait pelecehan seksual, tanggung jawab p
erusahaan untuk memastikan keselamatan pekerja dari pelecehan seksual, dan pengakuan bahwa
pelecehan seksual adalah bahaya keselamatan dan kesehatan kerja.

Meskipun pelecehan seksual belum diakui secara resmi sebagai bahaya di tempat kerja di Amerik
a Serikat, the Occupational Safety and Health Administration(OSHA) memberlakukan “tugas um
um” pada seluruh perusahaan untuk menyediakan lingkungan kerja yang aman dan sehat.
Affirmative Defense and Preventive Management

Putusan Mahkamah Agung di Burlington Industries v. Elkrth (1998) memberikan dorongan kuat
bagi pengusaha untuk secara aktif bekerja untuk mencegah pelecehan seksual. Agar memenuhi sy
arat untuk “pembelaan afirmatif” ini, para pengusaha seharusnya telah melakukan tindakan sewaj
arnya untuk mencegah dan memperbaiki pelecehan dengan benar, termasuk memiliki kebijakan a
nti harassment, mengkomunikasikan dan melatih karyawan tentang apa yang merupakan peleceh
an dan hukuman untuk melakukannya, melakukan investigasi cepat atas tuduhan pelecehan , dan
jika dibenarkan, mengambil tindakan korektif untuk memperbaiki situasi.

Pendekatan yang jauh lebih komprehensif, seperti manajemen preventif diperlukan untuk mengan
tisipasi pelecehan seksual. Pendekatan manajemen preventif didasarkan pada tradisi kesehatan m
asyarakat dan pengobatan pencegahan yang diterapkan dengan baik seperti yang diterapkan pada
pencegahan masalah kesehatan kronis.

Preventive Management and Chronic Problems at Work

Sebuah ilustrasi kekuatan pendekatan manajemen preventif adalah penurunan dramatis tingkat bu
nuh diri di AS. Antara 1994, ketika program pencegahan yang sangat proaktif diberlakukan, dan
1999, kasus bunuh diri di Angkatan Udara menurun dari 16 per 100.000 menjadi sekitar 2,2 per 1
00.000 diperkirakan untuk akhir tahun 1999 ("Angkatan Udara,"1999). Artinya, dengan pelaksan
aan upaya manajemen preventif, bunuh diri menurun lebih dari 80% dalam periode 5 tahun.

Pelecehan seksual sebagai masalah kronis sesuai dengan definisi perilaku disfungsional dalam or
ganisasi (Griffin et a1.k (1 998)), yaitu perilaku karyawan yang termotivasi yang memiliki konse
kuensi negatif untuk satu atau lebih individu dalam suatu organisasi serta untuk organisasi itu sen
diri. O’Leary-Kelly, Paetzold, dan Griffin (2000) berpendapat bahwa pelecehan seksual merupak
an tindakan yang termotivasi dan bertujuan.

Sebagai perilaku yang kronis dan termotivasi, maka pelecehan seksual dapat dikelola secara
perventif. Dimana pencegahan dalam konteks organisasi. Gagasan tersebut juga telah diterapkan
pada management of organizational stress.

Dua hal yang membedakan krengka pecegahan pada buku ini adalah:
1. Penekanan yang berbasis pada data riwayat kehidupan alami pelecehan seksual hingga ke
akar, dengan menggunakan public health surveillence.
2. Penerapan intervensi secara preventif dan secara rehabilitatif.

Kedua hal ini digambarkan pada Figure 12.1. Pada bagian tengah, menyajikan sejarah kehidupan
pelecehan seksual dan contoh perilaku disfungsional di tempat kerja. Pada Stage 1, awal
mula pelecehan seksual muncul ketika adanya pelopor yang hadir di tempat kerja.
Selanjutnya Stage 2, pelopor telah melakukan pelecehan seksual tingkat rendah hingga
menengah dan ada masalah yang dapat diidentifikasi. Pada Stage 3, telah terjadi kenaikan
masalah ke tingkat yang sangat serius, yang mungkin berupa paksaan seksual,
pemerkosaan, atau bahkan hingga pembunuhan.

Indikator pelecehan seksual terdapat di sisi kiri riwayat hidup. Ini adalah data informasi tentang
faktor-faktor precusor-risk mengenai pelecehan seksual, masalah tanda pelecehan seksual
secara dini, dan yang paling serius mengenai bentuk dan tindakan pelecehan seksual
tersebut. Pada sisi kanan, terdapat daftar pencegahan yang bertujuan untuk memperlambat,
menghentikan, atau membalikkan perkembangan pelecehan seksual di tempat kerja.
Harassment Indicator

Menurut Gelfand et al.5 (1995), terdapat tiga dimensi pelecehan seksual yang terkait, tetapi secara
konseptual berbeda (pelecehan gender, hubungan seksual yang tak diinginkan, dan paksaan
seksual). Pelecehan gender merupakan perilaku baik secara verbal maupun non verbal yang
dirancang dengan tujuan merendahkan (menghina, memusuhi, dll) kepada suatu gender. Tindakan
yang termasuk pelecehan gender dapat berupa bermusuhan, olok-olokan atau lelucon lisan,
distribusi pornografi atau materi cabul di tempat kerja. Hubungan seksual yang tidak diinginkan
diantaranya, permintaan berulang tanggal, surat, atau panggilan; kontak fisik seperti menyentuh
atau menikung; atau penyerangan seksual. Dimensi yang ketiga, Paksaan seksual, terjadi ketika
job-related outcome bersatu dengan kerja sama seksual.

Mengingat pelecehan seksual mungkin terjadi, organisasi dapat bertindak untuk mencegah
terjadinya dengan mengubah hal- hal yang membuat lingkungan itu mudah untuk terjadi pelecehan
seksual. Idealnya dengan melakukan manajemen preventif yang tepat, pelaku pelecehan seksual
akan ditindak dan dibawa ke jalur hukum untuk mencegah penyimpangan pelecehan seksual.

Precursor Indicators

Prekursor pelecehan merupakan pelecehan seksual yang berisiko tinggi terjadi. Pada penelitian
sebelumnya, memang telah ditemukan precursor ini dikaitkan dengan pelecehan seksual (Skewed
Sex Ratios & Power Differentials). Perbandingan seks miring dikaitkan dengan pelecehan seksual
ketika perempuan bekerja di bidang yang didominasi laki-laki serta ketika mereka dipekerjakan
dalam pekerjaan yang didominasi perempuan tetapi dikelola atau diawasi oleh laki-laki.

Dalam contoh tersebut, perempuan yang memiliki pekerjaan yang didominasi laki-laki secara
tradisional lebih mungkin mengalami pelecehan seksual yang tidak bersahabat oleh rekan kerja
dan teman sebaya nya ketika memasuki lingkungan tersebut (Gruber & Bjorn, 1982; Gutek et al.,
1990; Mansfield et al. , 1991; O'Farrell & Harlan, 1982). Para wanita ini mungkin menjadi sasaran
pelecehan gender, lelucon seksual, dan horseplay, serta jenis perilaku bermusuhan lainnya oleh
teman kerja pria mereka. Sementara itu, perempuan yang bekerja diawasi oleh laki laki, dengan
adanya perbedaan kekuatan yang tinggi, paksaan seksual lebih mungkin terjadi.

Diskriminasi lain yang mungkin terjadi, terkait diskriminasi ras yang dikaitkan dengan pelecehan
seksual. Rasisme adalah masalah organisasi psikososial dengan konsekuensi negatif (Clark,
Anderson, Clark, & Williams, 1999) mirip dengan pelecehan seksual. Organisasi yang menyadari
masalah diskriminasi atas dasar ras, usia, agama, atau orientasi seksual, mungkin juga mengalami
pelecehan seksual dan harus mengambil tindakan proaktif untuk menyelidiki dan memperbaiki
situasi.

Low-to-Medium-Intensity Harassement Indicators (Indikator Pelecehan Intensitas Rendah-


hingga-Sedang)

Tindakan pelecehan seksual berintensitas rendah hingga sedang ini merupakan tindakan
pelecehan seksual yang dapat diartikan sebagai langka pertama dalam pelecehan, di luar status
pendahulu, yang telah menyimpang dari situasi di mana pelecehan mungkin dapat terjadi atau akan
segera terjadi. Terminologi “rendah hingga sedang” tidak ditujukan untuk merendahkan derajat
keseriusan atau konsekuensi buruk yang berhubungan dengan pelecehan. Tindakan pelecehan
seksual intensitas rendah hingga sedang ini termasuk candaan atau komentar seksual, gambar atau
objek yang tidak pantas, ajakan kencan yang berulang, dan pelecehan verbal. Kontak fisik seperti
sentuhan, pelukan, desakan, rabaan yang tidak pantas juga termasuk dalam tindakan pelecehan
berintensitas rendah hingga sedang. Kebiasaan ini diklasifikasikan sebagai pelecehan “hostile
environment” dan biasanya terjadi pada organisasi atau departemen yang memiliki rasio jenis
kelamin yang condong.

High-Intensity Harassement Indicators (Indikator Pelecehan Intensitas Tinggi)

Pelecehan seksual berintensitas tinggi merupakan kategori paling jelas dan terlihat dan
meliptui pemaksaan seksual, kekerasan seksual, pelecehan fisik lainnya, dan terkadang
pembunuhan. Pemaksaan seksual terjadi ketika suatu reward atau punishment terkait kerja
bergantung pada apakah target menuruti perilaku yang mengganggu. Menurut Gruber (1997),
ketika wanita bekerja di pekerjaan yang dominan perempuan, bekerja dengan perempuan lain,
tetapi disupervisi oleh laki-laki, status, otoritas, kekuasaan, dan penghasilan mereka yang rendah
memungkinkan untuk pelecehan seksual, yang mana supervisor memaksakan untuk bantuan
seksual sebagai imbalan atas manfaat yang berhubungan dengan pekerjaan. Pemaksaan seksual
merupakan bentuk paling umum dari pelecehan seksual, yang sangat merusak (O’Hare &
O’Donohue, 1998).
Pelecehan seksual berintensitas tinggi juga dapat menyebabkan pembunuhan dari target
pelaku. Setelah mengidentifikasi indikator surveilans untuk pelecehan seksual, kami selanjutnya
membahas langkah-langkah yang dapat dimasukkan organisasi untuk mencegah terjadinya
pelecehan seksual dan untuk mengurangi intensitas, frekuensi, dan durasi efek merugikannya.
Prevention Strategies for Sexual Harassment (Strategi Pencegahan pada Pelecehan Seksual)

Terdapat tiga kategori dalam strategi pencegahan pelecehan seksual yaitu, pencegahan
primer bertujuan untuk menghilangkan atau menetralisir prekusor (pelopor) dari pelecehan
seksual, pencegahan sekunder didesain untuk membalikkan atau meminimalisir kerusakan pada
pelecehan seksual dengan intensitas rendah hingga sedang, dan pencegahan tersier didisain untuk
mengobati korban dan mengelola pada pelaku kejahatan pelecehan seksual dengan intensitas
tinggi.

1. Pencegahan primer
Policy and Communication. Kebijakan harus disampaikan ke semua level organisasi dan
dukungan terbuka oleh semua level manajemen (Kulik, Perry, & Schumidtke, 1997). Memiliki
Memiliki kebijakan pelecehan yang bersifat luas dan bersifat komunikatif (termasuk konsekuensi
untuk perilaku semacam itu) dapat menghalangi potensi pelaku pelecehan (O’Hare & O’Donohue,
1998).

Definition and Training. Kebijakan dapat memiliki sedikit efek pencegahan apabila
anggota organisasi tidak menyebarluaskan pengertian sebenarnya dari pelecehan seksual.
Ogranisasi harus mendisain program latihan yang menjelaskan pelecehan seksual,
menggambarkan perilaku pelecehan, prosedur yang dipakai untuk membuat pengaduan, dan
mengidentifikasi kemungkinan hukuman untuk pelecehan (O’Hare & O’Donohue, 1998).
Pelatihan juga harus mengedukasi target potensial dengan hak, tanggung jawab untuk melaportkan
tindakan, dan memberi strategi pertahanan untuk mereka. Pekerja baru harus menerima pelatihan
tentang pelecehan seksual dan pekerja lama juga harus dilatih secara berkala, menguatkan
organisasi, dan menyediakan pembaruan mengenai keputusan pengadilan terbaru.

Formal and Informal Information. Elemen penting dalam pencegahan primer melibatkan
komunikasi dan pengumpulan informasi formal maupun informal. Banyak target enggan untuk
melaporkan insiden pelecehan, mereka lebih memilih mengabaikannya dan berharap para pelaku
pergi (Fitzgerald, Swan, & Fischer, 1995). Kabar burung di tempat kerja mungkin dapat
memberikan informasi bernilai tentang perilaku melecehkan yang berpotensi. Informasi informal
tersebut harus dicatat dengan menghargai sumbernya dan hak seluruh pihak, yang dilanjutkan
dengan lebih banyak pengumpulan informasi formal, seperti survei sikap secara anonim. Survei
anonim dapat memberikan informasi penting yang mungkin tidak dapat diperoleh melalui saluran
pengaduan tatap muka atau formal.

Non-retaliation Policy. Ini juga penting bagi pemberi kerja untuk mengenali target
pelecehan yang enggan melaporkan tindakan pelecehan karena takut mendapatkan pembalasan
dari pelaku (Dandeker, 1990; Gutek & Koss, 1993; Riger, 1991). Tanggung jawab pemberi kerja
untuk membuat komunikasi yang jelas dan luas bahwa perlakuan buruk terhadap karyawan yang
melaporkan pelecehan atau memberikan informasi terkait dengan keluhan pelecehan tidak akan
ditoleransi. Manajemen harus memastikan tidak akan terjadi pembalasan setelah keluhan dengan
memantau pekerjaan target atau saksi.

Professional Work Environment. Strategi pencegahan primer terakhir yaitu lingkungan


kerja yang profesional dan saling menghormati (Lengnick-Hall, 1995). Manajer dan supervisor
harus dengan jelas mengidentifikasi, menjadi model, dan melaksanakan perilaku profesional
(O’Hare & O’Donohue, 1998).

Beberapa telah terjadi pelecehan seksual di organisasi meskipun lingkungan bebas pelecehan
menjadi tujuan dari organisasi. Apabila hal itu terjadi maka untuk meminimalisir mental korban
menjadi semakin parah organisasi harus memiliki prosedur atau mekanisme pengaduan untuk
korban pelecehan seksual menyampaikan keluhannya, prosedur investigasi dan disiplin serta
memberikan bantuan dukungan sosial atau konseling untuk korban.

Prosedur pengaduan ini dapat membantu korban yang enggan untuk melaporkan insiden pelecehan
seksual (Riger, 1991). Saluran pelaporannya pun tidak termasuk ke atasannya langsung karena
kemungkinan bisa menjadi pelakunya.

Selanjutnya dilanjutkan dengan investigasi pelecehan seksual yang harus dilakukan sesegera
mungkin dan tidak memihak. Dimana pelaku pelecehan harus tunduk atau menerima
hukumannnya sesuai prosedur disiplin sebagaimana kebijakan pelecehan seksual organisasi.

Kemudian untuk korban pelecehan seksual program dukungan dan konseling sosial dari konselor
atau karyawan laim dapat membantu korban pulih secara psikologis, dan mampu mengurangi
kemungkinan konsekuensi yang lebih luas lagi termasuk hilangnya harga diri dan rasa bersalah.
Tertiary Prevention Strategies (hal 203)

Strategi pencegahan tersier merupakan upaya tekahir apabila pencegahan primer dan sekunder
tidak cukup.Strategi pencegahan tersier dibagi menjadi 2 kategori, yaitu Strategi pencegahan
tersier untuk korban (s) dan strategi pencegahan tersier untuk para pelaku.

Pencegahan tersier untuk korban. Pelecehan seksual dengan intensitas tinggi mungkin bisa terjadi
pada satu atau lebih korban utama serta sejumlah penonton korban pelecehan. Ketika seseorang
serius terancan atau dirugikan dalam kasus pelecehan seksual di tempat kerja, maka organisasi
harus menyediakan medis, layanan psikologis, dan spiritual serta pemberian dukungan emosional.
Pelecehan seksual dengan intensitas tinggi dapat mengancam rasa keamanan banyak karyawan.

Pencegahan tersier untuk pelaku. Tidak ada organasisai yang mentoleransi pelaku pelecehan
seksual berintensitas tinggi. Dalam hal ini keamanan harus bertindak dengan cepat (lihat Rowe,
1996, rekomendasi dalam menangani kasus-kasus pelecehan yang berbahaya). Kemudian pelaku
harus dihentikan dan tunduk pada tuntutan pidana atau perdata. Untuk organisasi dalam
menunjukkan komitmennya terhadap kebijakan pelecehan seksual maka ia harus sepenuhnya
mengejar pelaku pelecehan.

Implications for Practice (judul baru hal 204)

Dalam pencegahan yang ideal, organisasi yang baru terbentuk akan menerapkan langkah
pencegaha primer untuk menghindari pelecehan seksual di organisasi salah satunya bisa dengan
merumuskan dan mengkomunikasikan kebijakan terkait pelecehan, mendidik dan melatih manajer
dan karyawan serta melakukan survey perilaku karyawan secara teratur. Langkah-langkah
pencegahan ini seharusnya sangat mengurangi kemungkinan terjadinya pelecehan seksual.

Manajemen preventif akan tetap berguna bagi organisasi-organisasi, strategi pencegahan setiap
tahap harus dimanfaatkan. Jika tidak ada kebijakan terkait pelecehan, maka kebijakan pelecehan
tertulis harus dikembangkan, dikomunikasikan, dan diikuti. Beberapa prosedur pengaduan,
investigasi dan disiplin, dan metode pencegahan sekunder lainnya harus dimasukkan. Jika
pelecehan intensitas tinggi hadir, strategi pencegahan dan pengobatan tersier juga harus
diterapkan.

Implications for Research


Organisasi mungkin enggan untuk melakukan penelitian empiris tentang pelecehan seksual
karena adanya risiko litigasi. Namun, di sisi lain, organisasi atau perusahaan penuh dengan
pelecehan seksual yang dapat merusak citra dari perusahaan tersebut.

Conclusion

Pelecehan seksual adalah masalah yang penting bagi pekerja dan organisasi atau
perusahaan karena pelecehan seksual ini mempengaruhi moral pekerja, kepuasan kerja, yang
nantinya dapat berpengaruh pada kondisi fisik maupun psikologi dari pekerja. Menerapkan
pendekatan manajemen preventif dapat membantu mencegah pelecehan seksual terjadi.

FAMILY-FRIENDLY POLICIES

Beberapa studi empiris menunjukkan bahwa Family-Friendly Policies memiliki dampak


positif pada organisasi dan pekerja dengan mengurangi absenteeism dan meningkatkan
produktivitas kerja.

Work-related Outcomes

Kepuasan dan komitmen. Beberapa teori menunjukkan bahwa family-friendly policies


harus berkontribusi untuk meningkatkan kepuasan kerja dan komitmen dari pekerja. Menurut
Scandura dan Lankau (1997), Family-Friendly Policies meningkatkan persepsi pekerja bahwa
organisasi peduli dengan kebutuhan pekerja, sehingga pekerja akan memiliki komitmen yang lebih
kuat dan memiliki kepuasan dalam bekerja. Menurut Kossek dan Ozeki ada hubungan yang
konsisten antara penggunaan family-friendly policies dengan kepuasan bekerja.

Hubungan antara komitmen organisasi dengan kebijakan ramah keluarga masih sangat
kompleks, sehingga belum bisa dipahami dengan baik. Namun selain itu, manfaat kebijakan ramah
keluarga ini menghasilkan turnover yang lebih rendah pada pekerja di suatu organisasi. Meskipun
ada beberapa opini yang berbeda di dalam hasil penelitian para ahli, kebijakan ramah keluarga ini
tampaknya memiliki berbagai hasil yang positif secara keseluruhan. Namun, hanya sedikit yang
diketahui mengenai mekanisme di ‘hal apa’ kebijakan ini membawa keuntungannya.

Family-Friendly Policies, Work Family Conflict, and Outcomes / Kebijakan Ramah


Keluarga, Konflik Kerja Keluarga, dan Hasil
Sebagian besar peneliti memberikan asumsi bahwa mereka sedikit sekali melihat kebijakan
ramah keluarga (cuti kerja, waktu senggang, penyediaan tempat penitipan anak, dsb) ini
menghasilkan efek yang menguntungkan dengan mengurangi konflik keluarga-pekerja (gangguan
keluarga dengan pekerjaan, ketidak hadiran, dsb)

Limitation of Past Research / Keterbatasan Penelitian Terdahulu

Beberapa hasil penelitian yang tidak konsisten di sebelum-sebeluumnya mungkin


disebabkan karena :

1. Masalah metodelogis, semua penelitian menggunakan metode cross sectional study yang
mana membuat mereka rentan terhadap bias metode umum
2. Sedikit nya studi yang secara khusus bertujuan untuk menguji perbedaan gender, baik
mengenai pengalaman konflik kerja-keluarga yang berbeda maupun mengenai
pemanfaatan laki-laki / perempuan dari kebijakan ramah keluarga
3. Hanya mempertimbangkan satu atau dua variable dependen
4. Peneliti hanya focus pada ketersediaan manfaat tertentu,, tanpa mempertimbangkan apakah
manfaat tersebut memenuhi kebutuhan karyawan

The Study / Pembelajaran

Penelitiaan yang sekarang digambarkan menguji sejauh mana persepsi, kepuasan, dan kep
entingan kebijakan ramah keluarga berdampak pada konflik keluarga kerja. Penelitian ini melibat
kan profesi direktur bank, akuntan, manajer, dan juga insinyur, penelitian ini juga merupakan bag
ian dari penyelidikan yang panjang dari pola karir dan sikap wanita dan pria yang professional. H
asil nya menunjukkan bahwa semua skala (kepuasan keluarga, kepuasan hidup) memiliki tingkat
konsistensi internal dan reliabilitas yang dapat diterima.

Mengikuti metode yang ditentukan oleh Kerlinger dan Pedhauzer (1973), serangkaian analisis
digunakan untuk memeriksa pentingnya dan tingkat kepuasan dengan kebijakan ramah keluarga
sebagai prediktor konflik kerja-keluarga (WIF dan FIW) dan beberapa variabel hasil dalam
pekerjaan dan domain keluarga. Pada setiap tahap analisis jalur, variabel yang dianggap sebagai
variabel dependen diregresikan pada semua variabel yang dianggap tergantung. Jadi, selama tahap
pertama analisis, jalur antara kepentingan dan kepuasan dengan kebijakan ramah keluarga dan satu
set variabel kontrol (usia, pendidikan, pendapatan, jam kerja per minggu, status perkawinan, dan
jumlah anak-anak) diperkirakan. Selanjutnya, jalur antara kepentingan dan kepuasan dengan
kebijakan keluarga-ramah dan variabel konflik kerja-keluarga diperkirakan, diikuti oleh jalur
antara WIF dan FIW dan variabel hasil bunga (lihat Gambar la).

Studi ini memiliki sejumlah kekuatan yang membedakannya dari sebagian besar penelitian sebelu
mnya. Pertama, penelitian sebelumnya sering tidak membuat perbandingan gender, atau mengand
alkan sampel dari organisasi tunggal, sedangkan penelitian ini menggunakan sampel besar yang t
erdiri dari pria dan wanita dari empat pekerjaan yang berbeda dan dari berbagai macam organisas
i. Kedua, penelitian sebelumnya tidak selalu menggunakan langkah-langkah yang dapat diandalk
an (Allen et al., 2000); FIW dan WIF sering tidak diukur secara terpisah, berbagai variabel depen
den biasanya belum diperiksa, dan analisis belum terkontrol. Sebaliknya, penelitian ini memasuk
kan sejumlah variabel kontrol dan menggunakan pengukuran suara psikometrik baik dari WIF da
n FIW, serta sejumlah besar variabel hasil dalam pekerjaan dan domain pribadi. Ketiga, hampir s
emua penelitian sebelumnya telah cross-sectional (Allen et al., 20001, penelitian ini menggunaka
n desain tiga gelombang.

CONCLUSION
 Kepuasan terhadap family-friendly policies mengurangi work-family conflict dan
menimbulkan hasil kerja dan pribadi yang positif. Kepuasan tersebut karena meningkatnya
kontrol terhadap pekerjaan.
 Perusahaan yang menerapkan family-friendly initiatives pada pekerja menghasilkan
berbagai hasil positif termasuk penurunan stres, peningkatan kerja dan kepuasan keluarga,
komitmen organisasi, dan penurunan keinginan berpindah.
 Budaya dan manajemen organisasi harus mendukung dan mengakui nilai dari family-
friendly initiatives serta mengadakan program-program yang sesuai dengan kebutuhan
pekerjanya.

CHANGING WORK, CHANGING ROLES

 Pada tahun 1990-an organisasi menghadapi pengenalan teknologi baru, dan perubahan
angkatan kerja, tekanan ekonomi dan persaingan yang meningkat, dan bisnis global. Untuk
itu, organisasi melakukan restrukturisasi dan perampingan, penutupan pabrik, merger dan
akuisisi, dan peningkatan penggunaan outsourcing sebagai cara untuk mengendalikan
biaya. Hal tersebut menyebabkan stress pada laki-laki dan perempuan.
 Salah satu stressor yang meningkat, yaitu job insecurity ditandai dengan gejala kesehatan
yang negatif.
 Job insecurity lebih sering mempengaruhi kalangan perempuan daripada laki-laki. Hal ini
disebabkan selain wanita harus bekerja keras untuk mempertahankan pekerjaan mereka,
perempuan juga dapat menghadapi konflik kerja-rumah yang lebih besar.

UNDERRESEARCHED CONSTITUENCIES

 Perempuan yang bekerja di blue-collar job atau tipe pekerja yang tidak mempunyai
ketrampilan khusus sangat rentan terhadap marabahaya. Dalam blue-collar job peralatan
yang digunakan dirancang untuk laki-laki. Hal itu menjadi suatu masalah tersendiri untuk
perempuan. Kehadiran perempuan dalam pekerjaan kasar tradisional pria, menjadi
ancaman bagi ego laki-laki. Perempuan yang bekerja di blue-collar job berisiko untuk
perilaku sosioseksual dan pelecehan.
 Menurut Schneer dan Reitman (1993) terdapat tiga dimensi struktur keluarga yang penting
bagi pria dan wanita, yaitu status perkawinan, status orang tua, dan pekerjaan suami-istri.
Orangtua tunggal memiliki risiko ekstrim konflik kerja-rumah karena mereka tidak
memiliki mitra untuk berbagi tugas mengurus anak saat mengalami tuntutan pengasuhan
anak bertentangan dengan tuntutan pekerjaan.
 Kaum gay dan lesbian memiliki stress yang unik karena mengalami diskriminasi halus dan
terang-terangan dan ketidaktegasan tentang apakah harus terbuka tentang orientasi seksnya
ditempat kerja.

NATURE OR NURTURE?
Salah satu perbedaan gender yang paling terdokumentasi dengan baik adalah
kecenderungan kuat bagi perempuan untuk berafiliasi dengan orang lain ketika menghadapi stres.
Perempuan mempertahankan hubungan dekat sesama jenis dan memobilisasi lebih banyak
dukungan sosial selama peristiwa stres daripada laki-laki. Laki-laki lebih sedikit terlibat dalam
jejaring sosial dan lebih bergantung pada pasangan mereka untuk dukungan sosial.
Pada wanita, respon yang diinduksi oleh stres diturunkan oleh oksitosin yang
disempurnakan oleh estrogen, hormon yang dikaitkan dengan efek menenangkan selama respons
yang menakutkan terhadap stres. Misalnya, ketika wanita mengalami tingkat stres yang lebih
tinggi di tempat kerja, anak-anak mereka melaporkan bahwa ibu mereka lebih mencintai dan
mengasuh (Repetti, 1997, 2000) Sebaliknya, ayah lebih cenderung untuk “menjauh” dari keluarga
mereka setelah hari yang menegangkan di tempat kerja atau untuk terlibat dalam konflik keluarga
setelah mereka mengalami konflik interpersonal di tempat kerja (Repetti, 1989). Namun menurut
Taylor et al. (2000) penjelasan fisiologis untuk perbedaan gender cenderung dipengaruhi atau
diperkuat oleh peran sosial dan budaya juga.
Turner & Turner (1999) menemukan bahwa ketergantungan interpersonal merupakan
faktor risiko yang signifikan untuk depresi yang spesifik jender. Pendidikan tinggi, prestige kerja,
dan pernikahan juga meningkatkan ketergantungan emosional bagi pria dan wanita. Namun,
ketergantungan emosional tampaknya memiliki pengaruh positif pada hubungan interpersonal dan
kesehatan mental pada pria dibandingkan dengan wanita.
A MORE POSITIVE APPROACH
Eustress adalah yang sehat, konstruktif, sisi positif dari stres, dan terkait dengan
konsekuensi kesehatan yang diinginkan dan kinerja tinggi (Quick, Quick, Nelson, & Hurrell,
1997). Simmons (2000) memeriksa beberapa indikator eustress, termasuk kebermaknaan kerja,
pengelolaan, harapan, dan pengaruh positif. Karakteristik psikologis yang positif ini telah
dikaitkan dengan suasana hati yang positif, ketekunan, pencapaian yang tinggi, dan peningkatan
kesehatan fisik (Peterson, 2000).
Mungkin ada perbedaan jenis kelamin yang terlibat dalam eustress, baik dalam hal stres
yang menghasilkan respons eustress, kondisi di tempat kerja yang mempromosikan eustress, dan
faktor kepribadian yang mempengaruhi kecenderungan individu untuk mengalami eustress.
Bahkan, dapat dikatakan bahwa terbentuknya eustress di tempat kerja mungkin berbeda
berdasarkan gender.
MBA PROGRAMS. CORPORATE LIFE: AT ODDS WITH HEALTH?
Ada sedikit bukti empiris tentang pengalaman perempuan dan laki-laki dalam program
pelatihan mereka dalam persiapan untuk kehidupan perusahaan (misalnya, program MBA, sekolah
hukum, teknik, dan ilmu komputer). Informasi yang tersedia menunjukkan bahwa mahasiswa
perempuan dapat mengalami tekanan yang lebih besar dalam program akademik mereka daripada
laki-laki (Catalyst, 2000a, 2000b). Minat perempuan dalam mengejar pendidikan pascasarjana
dalam bisnis telah menurun secara perlahan dalam lima tahun terakhir. Ada beberapa kemungkinan
penjelasan untuk ini, termasuk pengalaman MBA itu sendiri. Kasus bisnis yang relatif sedikit
melibatkan pengambil keputusan perempuan. Sebagian besar penekanan masih tetap pada konten
kuantitatif (keuangan, operasi akuntansi), meskipun perempuan biasanya dapat menangani materi
ini serta laki-laki. Perempuan juga percaya bahwa mereka dianggap kurang berkualitas
dibandingkan laki-laki.
Ada beberapa alasan mengapa organisasi harus tertarik pada gender, stres, dan masalah
kesehatan. Hal ini mengenai keterampilan, motivasi, kreativitas, pengembangan, kontribusi, serta
tanggung jawab, yang nantinya akan memiliki peran penting pada kesuksesan perushaaan.
ENERGIZING AND INVOLVING EMPLOYERS

Para pekerja harius bisa lebih berperan aktif dalam mensuport kesehatan dan kesejahterannya di
dalam dunia kerja dengan tidak melihat gender. Mereka harus sadar dengan kaitan antara
kesehatan mereka dengam pekerjaannya dan kehidupan pribadinya. Stress mental dan fisik dapat
mempengaruhi cara coping antara laki-laki dan perempuan. Bagaimanapun juga, kesadaran akan
perbedaan cara merespon stress jangan sampai membuat derajat kerja antara laki-laki dan
perempuan dibedakan.

Dengen pencarian informasi tentang stress di tempat kerja merupakan salah satu cara terbaik untuk
memberikan dukungan pekerja. (Dorman & Zapf, 1999; Seers, McGee, Serey, & Graen, 1983).
Manning, Jackson, & Fusilier (1996) menyatakan jika kualitas sosial support yang didaptkan
pekerja tidak ada keterkaitan dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk perawatan kesehatan.

Terdapat bukti yag menyatakan bahwa memungkinkan untuk adanya perbedaan antara jumlah
tingkat stress yag diterima oleh laki-laki dan perempuan. Roxburgh (1996) megatakan bahwa job-
characteristic pada pria lebih berpengrauh kepada kesejahterannya, begitu pun pada wanita.

Di International Assignment, perempuan sering mengatakan bahwa merek sering terpojok pada
saat bekerja dibandigkan dengan teman kerja laki-lakinya. Mereka juga bilang jikalau mereka
ingin sesuatu, tetapi lebih sering gagal utnuk mencapainya. Sistem organisasi yang baik akan
menarik bagi siapa saja yang penasaran dan ingin berkembang, pasalnya dalam organisasi, kita
akan saling membantu satu sama lain dalam berkembang, menyelesaikan tugas, komunikasi,
cooperative. (Hall & Moss, 1998).

Anda mungkin juga menyukai