Anda di halaman 1dari 18

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori
1. Konsep Karakteristik Demografi Wanita Usia Produktif
Menurut Depkes RI (1993) wanita usia produktif merupakan wanita
yang berusia 15-49 tahun dan wanita pada usia ini masih berpotensi untuk
mempunyai keturunan. Sedangkan menurut (BKKBN, 2001), wanita usia
subur (wanita usia produktif) adalah wanita yang berumur 18-49 tahun yang
berstatus belum kawin, kawin ataupun janda.
Menurut Karyadi (1999), PMS biasanya lebih mudah terjadi pada
wanita yang lebih peka terhadap perubahan hormonal dalam siklus haid. Akan
tetapi ada beberapa faktor yang meningkatkan risiko terjadinya PMS yang
beberapa diantaranya adalah berkaitan dengan karakter wanita itu sendiri.
Menurut Oakley (1998), setiap individu mempunyai karakteristik biografi
yang berbeda, karakteristik tersebut dapat mempengaruhi kondisi fisik,
psikologis

dan sosial seseorang. Karakteristik demografi wanita usia

produktif yang berhubungan dengan gejala premenstrual syndrome (PMS)


antara lain: umur, pendidikan, pendapatan, pekerjaan dan status perkawinan.

a. Umur
Premenstrual syndrome (PMS) dapat dihubungkan dengan siklus
ovulasi, karena itu gejala-gejala PMS dapat terjadi kapan saja setelah
menarche dan berlanjut hingga ovulasi berhenti pada saat menopause.
Sebagian besar pasien yang mencari pengobatan untuk PMS berusia antara
pertengahan 20-an sampai dengan akhir 30-an, meskipun banyak wanita
melaporkan mengalami gejala-gejala PMS lebih awal (Freeman, 2007).
Faktor resiko yang paling berhubungan dengan PMS adalah faktor
peningkatan umur, penelitian menemukan bahwa sebagian besar wanita
yang mencari pengobatan PMS adalah mereka yang berusia lebih dari 30
tahun (Cornforth, 2000). Walaupun ada fakta yang mengungkapkan
bahwa sebagian remaja mengalami gejala-gelaja yang sama dan kekuatan
PMS yang sama sebagaimana yang dialami oleh wanita yang lebih tua
(Freeman, 2007).
Sedangkan dalam suatu penelitian pada tahun 1994 yang
melibatkan 874 wanita di Virginia menggambarkan bahwa wanita yang
berusia antara 35-44 tahun lebih jarang menderita PMS jika dibandingkan
dengan wanita yang lebih muda (Deuster, 1999).
Menurut teori perkembangan psikososial Erikson, dikutip dari
Whalley & Wongs (1999), tahap perkembangan manusia menurut umur
dibagi dalam delapan tahapan. Tiga diantaranya yang berkaitan dengan
penelitian ini yaitu :

1) Adolescence/remaja (13-20 tahun)


Pada masa ini hubungan sosial utama bagi anak sudah beralih pada
kelompok sebaya dan kelompok luar yang se-ide dengannya.
2) Early adult hood/dewasa awal (21-35 tahun)
Pada masa dewasa awal ini, hubungan sosial utama seseorang sudah
terfokus pada patner dalam hubungan teman dan seks.
3) Young and middle adult hood/dewasa pertengahan (36-45 tahun)
Pada masa dewasa pertengahan, hubungan sosial seseorang terfokus
pada pembagian tugas antara bekerja dengan rumah tangga dan pada
masa ini emosi sudah mulai stabil.
b. Pendidikan
Pendidikan adalah usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian
dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah yang berlangsung seumur
hidup (Notoatmodjo, 1997).
Orang dengan pendidikan formal yang lebih tinggi cenderung akan
mempunyai pengetahuan yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang
yang mempunyai tingkat pendidikan formal yang lebih rendah, karena
akan lebih mampu dan mudah memahami arti dan pentingnya kesehatan
dan gangguan-gangguan kesehatan yang mungkin terjadi. Pengetahuan
akan mempengaruhi pola fikir seseorang, selain itu kemampuan kognitif
membentuk cara fikir seseorang, meliputi kemampuan untuk mengerti
faktor-faktor yang berpengaruh dalam kondisi sakit dan untuk menerapkan

pengetahuan tentang sehat dan sakit dalam praktek kesehatan personal


(Muhiman, 1996).
Menurut suatu penelitian terdapat perbedaan yang mencolok
dimana wanita yang tidak menamatkan pendidikan menengah lebih sering
melaporkan adanya gejala premenstrual syndrome (PMS) dari pada
mereka yang berpendidikan menengah dan perguruan tinggi atau mereka
yang telah menamatkan perguruan tinggi (Deuster, 1999).
Menurut Undang-undang Nomor 20 tahun 2003, yaitu tentang
Sistem Pendidikan Nasional, dijelaskan bahwa Pendidikan Nasional
terbagi atas tiga tingkat pendidikan formal yaitu pendidikan dasar
(SD/Madrasah Ibtidaiyah serta SMP/Madrasah Tsanawiyah), pendidikan
menengah (SMU/Madrasah Aliyah dan sederajat) serta pendidikan tinggi
(Akademi dan Perguruan tinggi) (Sekneg RI, 2003).
c. Pendapatan
Kemiskinan dan kesehatan mempunyai hubungan yang berarti.
Pendapatan wanita yang sedikit membuat status kesehatan rendah dan
mempunyai kesulitan yang lebih besar untuk mengakses pelayanan
kesehatan dibandingkan dengan wanita yang berpendapatan tinggi
(Youngkin & Davis, 1998).
Sebuah penelitian mengungkapkan bahwa ada hubungan yang erat
antara pengaruh kejiwaan dengan status ekonomi seseorang. Penghasilan

keluarga merupakan suatu potensi yang sangat baik dalam memperoleh


informasi kesehatan (Oakley, 1998).
Seseorang yang berasal dari keluarga dengan penghasilan tinggi
cenderung lebih mudah dalam memperoleh pelayanan dan informasi
tentang kesehatan dibandingkan dengan orang yang berasal dari keluarga
dengan penghasilan rendah (Azwar, 1996).
Berbicara standar gaji atau standar penghasilan, akan menjadi
relatif bagi semua orang. Tingginya tingkat pengangguran menjadi salah
satu akibat rendahnya standar gaji di Indonesia (selain akibat dari
rendahnya kualitas lulusan tentunya). Di Jakarta, berdasarkan Peraturan
Gubernur DKI Jakarta No. 143/2007 tentang UMP / Upah Minimum
Provinsi Tahun 2009, ditetapkan UMR DKI Jakarta sebesar Rp.
1.069.865,- (Aricloud, 2009).
d. Pekerjaan
Wanita yang bekerja mengalami berbagai stres ditempat kerja, baik
stres yang bersifat fisik karena beberapa kondisi lingkungan kerja fisik
yang berada diatas nilai ambang batas yang diperkenankan, atau juga
dapat ditambah oleh adanya stres yang bersifat non fisik (psikososial),
yang dapat berpengaruh terhadap kondisi kesehatannya (Mulyono dkk,
2001).
Zaman sekarang ini, semakin banyak wanita yang memilih untuk
beraktivitas di luar rumah. Kondisi ini akan berhubungan erat dengan

semakin banyaknya stres yang menyerang wanita. Stres ini berasal dari
internal maupun eksternal diri wanita tersebut. Stres merupakan
predisposisi pada timbulnya beberapa penyakit, sehingga diperlukan
kondisi fisik dan mental yang baik untuk menghadapi dan mengatasi
serangan stres tersebut.
Stres mungkin memainkan peran penting dalam tingkat kehebatan
gejala premenstrual syndrome (PMS). Sebuah penelitian pada tahun 2002
melaporkan bahwa bekerja diluar rumah dapat dihubungkan dengan
meningkatnya resiko premenstrual syndrome (PMS) (Anonymous, 2007).
e. Status Perkawinan
Perkawinan adalah suatu hubungan hukum sebagai pertalian sah
untuk jangka waktu selama mungkin, antara seorang pria dan seorang
wanita yang telah memenuhi syarat-syarat perkawinan (Ensiklopedi
Nasional Indonesia, 1990)
Status perkawinan dan status kesehatan juga mempunyai
keterkaitan. Wanita yang telah menikah pada umumnya mempunyai angka
kesakitan dan kematian yang lebih rendah dan biasanya mempunyai
kesehatan fisik dan mental yang lebih baik daripada wanita yang tidak
menikah (Burman & Margolin dalam Haijiang Wang, 2005).
Sebuah penelitian pada tahun 1994 yang berjudul Biological,
Social and Behavioral Factors Associated with Premenstrual Syndrome
yang melibatkan 874 wanita di Virginia menemukan fakta bahwa mereka

yang telah menikah cenderung mempunyai resiko yang lebih kecil untuk
mengalami PMS (3,7%) dari pada mereka yang tidak menikah (12,6%)
(Deuster, 1999).
2. Konsep Premenstrual Syndrome (PMS)
a. Definisi Premenstrual Syndrome (PMS)
Premenstrual syndrome (PMS) adalah kombinasi gejala yang
terjadi sebelum haid dan menghilang dengan keluarnya darah menstruasi
serta dialami oleh banyak wanita sebelum awitan setiap siklus menstruasi
(Brunner & Suddarth, 2001).
Magos dalam Hacker (2001), mendefenisikan bahwa premenstrual
syndrome (PMS) adalah gejala fisik, psikologis dan perilaku yang
menyusahkan yang tidak disebabkan oleh penyakit organik yang secara
teratur berulang selama fase siklus haid menghilang selama waktu haid
yang tersisa. Sekitar 5-10% wanita menderita PMS yang berat sehingga
mengganggu kegiatan sehari-harinya.
Menurut Shreeve (1983) premenstrual syndrome (PMS) adalah
sejumlah perubahan mental maupun fisik yang terjadi antara hari ke-2
sampai hari ke-14 sebelum menstruasi dan mereda segera setelah
menstruasi

berawal.

Sedangkan

Dalton

(1983),

mendefinisikan

premenstrual syndrome (PMS) adalah kambuhnya gejala-gejala pada saat


premenstrum dan menghilang setelah menstruasi usai.

Setiap wanita yang haid adalah calon bagi premenstrual syndrome


(PMS), dengan hampir 50% dari semua wanita dalam usia reproduksi
mengalami gejala-gejala yang ringan atau berat. Meskipun para remaja
mungkin menderita sindroma itu. Gejala-gejala premenstrual syndrome
(PMS) lebih berat pada wanita yang berusia lebih tua. Seringkali para
wanita dalam usia 30-an memperlihatkan kesukaran-kesukaran prahaid
untuk pertama kalinya (Health Media Nutrition Series, 1996).
Meskipun angka pasti kejadian premenstrual syndrome (PMS)
belum diketahui, kira-kira 75 % wanita mengeluh mengalaminya. Kriteria
yang

digunakan

untuk

mendiagnosis

PMS

baru-baru

ini

telah

dikembangkan dan ketika kriteria tersebut digunakan 3%-8% dari wanita


didiagnosa mengalami PMS. Wanita dengan PMS

berat melaporkan

bahwa PMS mengganggu kegiatan sehari-hari mereka, baik dari segi diri
mereka sendiri, sosial dan pekerjaan mereka (Deuster et.,al., 1999).
b. Etiologi Premenstrual Syndrome (PMS)
Penyebab pasti PMS tidak diketahui, tetapi beberapa teori
menunjukkan adanya kelebihan estrogen atau defisit progesteron dalam
fase luteal dari siklus menstruasi. Selama bertahun-tahun teori ini
mendapat dukungan yang cukup banyak dan terapi progesteron biasa
dipakai untuk mengatasi PMS. Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa
terapi progesteron kelihatan tidak efektif bagi kebanyakan wanita, selain

kadar progesteron pada penderita tidak menurun secara konsisten. Bila


kadar progesteron yang menurun dapat ditemukan hampir pada semua
wanita yang menderita PMS, maka dapat dipahami bahwa kekurangan
hormon ini merupakan sebab utama. Sebagian wanita yang menderita
PMS terjadi penurunan kadar progesteron dan dapat sembuh dengan
penambahan progesteron, akan tetapi banyak juga wanita yang menderita
gangguan PMS hebat tapi kadar progesteronnya normal (Shreeve, 1983
dan Brunner & Suddarth, 2001).
Teori lain menyatakan bahwa penyebab PMS adalah karena
meningkatnya kadar estrogen dalam darah, yang akan menyebabkan
gejala depresi dan khususnya gangguan mental. Kadar estrogen yang
meningkat akan mengganggu proses kimia tubuh termasuk vitamin B6
(Piridoksin) yang dikenal sebagai vitamin anti depresi karena berfungsi
mengontrol produksi serotonin. Serotonin penting sekali bagi otak dan
syaraf, dan kurangnya persediaan zat ini dalam jumlah yang cukup dapat
mengakibatkan depresi. (Shreeve, 1983, Hacker et, al., 2001 dan Brunner
& Suddarth, 2001 ).
Batas tertentu estrogen menyebabkan retensi garam dan air serta
berat badannya bertambah. Mereka yang mengalami akan menjadi mudah
tersinggung, tegang dan perasaan tidak enak. Gejala-gejala dapat dicegah
bila pertambahan berat badan dicegah. Peranan estrogen pada PMS tidak
nyata, sebab ketegangan ini timbul terlambat pada siklus tidak pada saat

ovulasi waktu sekresi estrogen berada pada saat puncaknya. Kenaikan


sekresi vasopresin kemungkinan berperan pada retensi cairan pada saat
premenstruasi (Ganong, 1983).
Hormon lain yang dikatakan sebagai penyebab gejala PMS adalah
prolaktin. Prolaktin dihasilkan oleh kelenjar hipofisis dan dapat
mempengaruhi jumlah estrogen dan progesteron yang dihasilkan pada
setiap siklus. Jumlah prolaktin yang terlalu banyak dapat mengganggu
keseimbangan mekanisme tubuh yang mengontrol produksi kedua hormon
tersebut. Wanita yang mengalami PMS tersebut kadar prolaktin dapat
tinggi atau normal. Wanita yang mempunyai kadar prolaktin cukup tinggi
dapat disembuhkan dengan menekan produksi prolaktin (Shreeve, 1983,
Hacker et, al., 2001 dan Brunner & Suddarth, 2001).
Teori lainnya mengatakan bahwa hormon yang tidak teridentifikasi
menyebabkan gejala pada waktu terjadi perubahan menstruasi seperti
peningkatan aktivitas beta endorphin, defisiensi serotonin, retensi cairan,
metabolisme prostaglandin abnormal dan gangguan aksis hipotalamik
pituitary ovarium sebagai penyebabnya (Brunner & Suddarth, 2001).
Hacker et al., (2001) juga mengemukakan penyebab PMS
adalah kelebihan atau defisiensi kortisol dan androgen, kelebihan hormon
anti diuresis, abnormalitas sekresi opiate endogen atau melatonin,
defisiensi vitamin A, B1, B6 atau mineral, seperti magnesium,

hipoglikemia reaktif, alergi hormon, toksin haid, serta faktor-faktor


evolusi dan genetik.
Menurut Simanjuntak dalam Prawiroharjo (2005), faktor kejiwaan,
masalah dalam keluarga, masalah sosial dan lain-lain juga memegang
peranan penting. Yang lebih mudah menderita PMS adalah wanita yang
lebih peka terhadap perubahan hormonal dalam siklus haid dan terhadap
faktor-faktor psikologis.
Berbagai faktor gaya hidup tampaknya menjadikan gejala-gejala
lebih buruk, termasuk stres, kurangnya kegiatan fisik dan diet yang
mengandung gula, karbohidrat yang diolah, garam, lemak, alkohol dan
kafein yang tinggi (Health Media Nutrition Series, 1996).
c. Gejala Premenstrual Syndrome (PMS)
Lebih dari 150 gejala telah dihubungkan dengan premenstrual
syndrome (PMS), namun urutan serta kombinasi dari gejala-gejala dapat
berbeda-beda diantara para wanita. Jenis dan kuatnya gejala juga dapat
berbeda-beda setiap bulan dan dapat mencerminkan perubahan-perubahan
gaya hidup atau stres (Health Media Nutrition Series, 1996).
Gejala utama termasuk sakit kepala, keletihan, sakit pinggang,
pembesaran dan nyeri pada payudara, dan perasaan begah pada abdomen.
Irritabilitas umum, perubahan suasana hati, ketakutan akan kehilangan
kontrol, makan sangat berlebihan dan menangis tiba-tiba dapat juga

terjadi. Gejala-gejala sangat beragam dari satu wanita ke wanita lainnya


dan dari satu siklus ke siklus berikutnya pada wanita yang sama (Brunner
& Suddarth, 2001).
Menurut Hacker et. al. (2001), gejala-gejala yang paling banyak
ditemukan pada PMS adalah perasaan bengkak, kenaikan berat badan,
hilangnya efisiensi, sukar konsentrasi, kelelahan, perubahan suasana hati,
depresi, termasuk gangguan tidur (insomnia).
Scott et. al. (2002) membagi gejala-gejala PMS berdasarkan fungsi
yang

terganggu.

Gangguan

psikologik

berupa

irritabilitas,

ketidakseimbangan emosional, cemas, depresi dan perasaan bermusuhan.


Gangguan kognitif dapat berupa ketidakmampuan berkonsentrasi dan
binggung. Gangguan somatik berupa mastalgia (nyeri tekan pada
payudara), kembung, sakit kepala, kelelahan dan insomnia serta gangguan
perilaku sosial berupa kecanduan karbohidrat dan membantah.
Rayburn

(2001),

mengklasifikasikan

gejala-gejala

PMS

berdasarkan gangguan pada fungsi fisik dan emosional. Klasifikasinya


dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 2.1
Gejala-gejala premanstrual syndrome
Gejala fisik
a. Perut kembung

Gejala emosional
a. Depresi

b. Nyeri payudara

b. Cemas

c. Sakit kepala

c. Suka menangis

d. Kejang atau bengkak pada d. Sifat agresif atau pemberontakan


kaki

e. Pelupa

e. Nyeri panggul

f. Tidak bisa tidur

f. Hilang koordinasi

g. Merasa tegang

g. Nafsu makan bertambah

h. Irritabilitas

h. Hidung tersumbat

i. Rasa bermusuhan

i. Perubahan defekasi

j. Suka marah

j. Tumbuh jerawat

k. Paranoid

k. Sakit pinggul

l. Perubahan dorongan seksual

l. Suka makan manis atau asin

m. Konsentrasi berkurang

m. Palpitasi

n. Merasa tidak aman

n. Peka suara atau cahaya

o. Pikiran bunuh diri

o. Rasa gatal pada kulit

p. Keinginan menyendiri

p. Kepanasan

q. Perasaan bersalah
r. Kelemahan

Sumber : dikutip dari Rayburn et.al., (2001), halaman 28

d. Penanganan Sindroma Premenstrual(PMS)


Terdapat suatu persetujuan dalam penatalaksanaan premenstrual
syndrome (PMS). Riwayat yang terinci dan dikaji dengan cermat serta
kelompok gejala harian dan fluktuasi mood yang terdapat pada beberapa
siklus dapat menjadi petunjuk dalam penyusunan rencana penatalaksanaan.
Konseling,

dalam

bentuk

kelompok

pendukung

atau

konseling

pasangan/individu dapat sangat bermanfaat. Penggunaan obat-obatan seperti


inhibitor prostaglandin dan diuretik untuk meredakan edema, bromokriptin
(parlodel) untuk mengatasi nyeri tekan pada payudara dan diet yang
seimbang, rendah kafein dan natrium atau disertai makanan diuretik alami
dapat meredakan gejala. Latihan fisik dan suplemen vitamin (B6 dan E)
seringkali direkomendasikan.
Para wanita yang diganggu PMS dapat mengurangi gejala-gejala
dengan melakukan perubahan pada dietnya seperti mengurangi jumlah gula
yang dimakan, memperbanyak mengonsumsi serat, mengurangi asupan
lemak, mengurangi jumlah garam jika terdapat retensi cairan dan
menghindari kafein (Health Media Nutrition Series, 1996).
Menurut Rayburn (2001), terapi PMS dibagi menjadi tiga kategori, yaitu :
1) Terapi simtomatik untuk menghilangkan gejala-gejala antara lain dengan
diuretika untuk mengobati kembung, anti depresan dan anti ansietas
untuk

menghilangkan

cemas

dan

depresi,

bromokriptin

untuk

menghilangkan bengkak dan nyeri pada payudara dan anti prostaglandin


untuk mengatasi nyeri payudara, nyeri sendi dan nyeri muskuloskeletal.
2) Terapi spesifik dibuat untuk mengobati etiologi yang diperkirakan
sebagai penyebab dari PMS antara lain dengan progesteron alamiah untuk
mengatasi defisiensi progesteron dan pemberian vitamin B6.
3) Terapi ablasi yang bertujuan untuk mengatasi PMS dengan
menghentikan haid.

cara

B. Kerangka Teori
Faktor predisposisi
Karakteristik demografi wanita :
1. Umur
2. Pendidikan
3. Pendapatan
4. Pekerjaan
5. Status Perkawinan
Keadaan hormonal
1. Penurunan kadar progesterone
2. Peningkatan kadar estrogen
3. Peningkatan prolaktin
4. Peningkatan
aktivitas
beta
endorphin
5. Defisiensi serotonin
6. Retensi cairan
7. Metabolisme
prostaglandin
abnormal
8. Gangguan aksis hipotalamik
pituitary ovarium
Faktor pemungkin
1. Sarana dan prasarana
2. Obat penghilang nyeri
3. Terapi
Faktor Penguat :
1. Faktor kejiwaan
2. Masalah keluarga
3. Masalah sosial

Gejala Premenstrual
Syndrome
(PMS)

Dirasakan

Tidak dirasakan

C. Penelitian Terkait
1. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Tri Murtiati yang berjudul
Pengaruh latihan fisik erobik terhadap gejala sindroma premenstruasi pada
tahun 1999 diperoleh hasil sebagai berikut :
Dengan hasil penelitian yaitu t hitung 3,50 lebih besar dari t table (0,01) (14) =
2,62 maka Ho ditolak. Hal ini berarti skor gejala syndrome pre menstruasi pada
penderita sindroma premenstruasi yang diberi perlakuan latihan senam aerobic
selama 12 minggu lebih rendah dibandingkan pada penderita sindroma pre
menstruasi yang tidak diberi latihan senam aerobic secara sangat bermakna
(Highly Significant).
2. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Dinar Pratiwi yang berjudul
Tingkat pengetahuan remja putri kelas II SMU 35 di Jakarta Pusat tentang Pre
Menstrual Syndrome pada tahun 2004 diperoleh hasil sebagai berikut: Metode
penelitian yang dipakai adalah deskriptif eksploratif. Hasil data tingkat
pengetahuan responden terhadap penelitian PMS sebagian tergolong rendah
(59,2%). Data tingkat pengetahuan responden terhadap tanda dan gejala PMS
yang juga tergolong rendah (75,5%). Data tingkat pengetahuan responden
terhadap cara mengatasi PMS (68,4%) . Jadi kesimpulannya sub variable yang
didapatkan bahwa 61,2% tingkat pengetahuan responden terhadap PMS masih
rendah.

3. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Rengganis Lepicsa pada tahun


2008 yang berjudul Gambaran tingkat pengetahuan remaja putri (siswi)
terhadap PMS di Madrasah Tsanawiyah Annida Al-Islamy Bekasi. Hasil
penelitian yang diperoleh adalah bahwa karakteristik responden siswi kelas
I,II,III di Mts AnnidaAl-Islamy. Usia responden paling banyak adalah usia 14
tahun (35,8%). Sebagian besar responden 34,7% mendapatkan informasi dari
orang tua mereka dan paling banyak responden tidak mengikuti kegiatan
sekolah di luar sekolah. Sebagian besar siswi memiliki pengetahuan baik
tentang PMS yaitu sebesar 56,6% disebabkan karena sudah banyak media
cetak maupun elektronik yang memberikan informasi tentang kesehatan
termasuk kesehatan reproduksi remaja.
4. Pada studi Leather et al (1993) terhadap 100% perempuan didapatkan hasil
bahwa PMS mempengaruhi hampir seluruh rutinitas sehari-hari perempuan
tersebut, dan efek gejala tersebut bertambah besar bila perempuan tersebut
berada di rumah saja. Meskipun dengan kondisi yang seperti itu masih banyak
yang menganggap lazim. Sebelumnya telah diteliti oleh Kamilah (2001) di
Asrama Putri Wisma Ani tentang persepsi PMS, hasilnya 77% responden
berpersepsi negative dan 23% berpersepsi positif . Maksudnya gejala tersebut
merugikan. Hasil penelitian juga menyebutkan bahwa menurut sebagian besar
responden (98%) persepsi negative ini dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan
serta rasa malu untuk bertanya.

Anda mungkin juga menyukai