TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
1. Konsep Karakteristik Demografi Wanita Usia Produktif
Menurut Depkes RI (1993) wanita usia produktif merupakan wanita
yang berusia 15-49 tahun dan wanita pada usia ini masih berpotensi untuk
mempunyai keturunan. Sedangkan menurut (BKKBN, 2001), wanita usia
subur (wanita usia produktif) adalah wanita yang berumur 18-49 tahun yang
berstatus belum kawin, kawin ataupun janda.
Menurut Karyadi (1999), PMS biasanya lebih mudah terjadi pada
wanita yang lebih peka terhadap perubahan hormonal dalam siklus haid. Akan
tetapi ada beberapa faktor yang meningkatkan risiko terjadinya PMS yang
beberapa diantaranya adalah berkaitan dengan karakter wanita itu sendiri.
Menurut Oakley (1998), setiap individu mempunyai karakteristik biografi
yang berbeda, karakteristik tersebut dapat mempengaruhi kondisi fisik,
psikologis
a. Umur
Premenstrual syndrome (PMS) dapat dihubungkan dengan siklus
ovulasi, karena itu gejala-gejala PMS dapat terjadi kapan saja setelah
menarche dan berlanjut hingga ovulasi berhenti pada saat menopause.
Sebagian besar pasien yang mencari pengobatan untuk PMS berusia antara
pertengahan 20-an sampai dengan akhir 30-an, meskipun banyak wanita
melaporkan mengalami gejala-gejala PMS lebih awal (Freeman, 2007).
Faktor resiko yang paling berhubungan dengan PMS adalah faktor
peningkatan umur, penelitian menemukan bahwa sebagian besar wanita
yang mencari pengobatan PMS adalah mereka yang berusia lebih dari 30
tahun (Cornforth, 2000). Walaupun ada fakta yang mengungkapkan
bahwa sebagian remaja mengalami gejala-gelaja yang sama dan kekuatan
PMS yang sama sebagaimana yang dialami oleh wanita yang lebih tua
(Freeman, 2007).
Sedangkan dalam suatu penelitian pada tahun 1994 yang
melibatkan 874 wanita di Virginia menggambarkan bahwa wanita yang
berusia antara 35-44 tahun lebih jarang menderita PMS jika dibandingkan
dengan wanita yang lebih muda (Deuster, 1999).
Menurut teori perkembangan psikososial Erikson, dikutip dari
Whalley & Wongs (1999), tahap perkembangan manusia menurut umur
dibagi dalam delapan tahapan. Tiga diantaranya yang berkaitan dengan
penelitian ini yaitu :
semakin banyaknya stres yang menyerang wanita. Stres ini berasal dari
internal maupun eksternal diri wanita tersebut. Stres merupakan
predisposisi pada timbulnya beberapa penyakit, sehingga diperlukan
kondisi fisik dan mental yang baik untuk menghadapi dan mengatasi
serangan stres tersebut.
Stres mungkin memainkan peran penting dalam tingkat kehebatan
gejala premenstrual syndrome (PMS). Sebuah penelitian pada tahun 2002
melaporkan bahwa bekerja diluar rumah dapat dihubungkan dengan
meningkatnya resiko premenstrual syndrome (PMS) (Anonymous, 2007).
e. Status Perkawinan
Perkawinan adalah suatu hubungan hukum sebagai pertalian sah
untuk jangka waktu selama mungkin, antara seorang pria dan seorang
wanita yang telah memenuhi syarat-syarat perkawinan (Ensiklopedi
Nasional Indonesia, 1990)
Status perkawinan dan status kesehatan juga mempunyai
keterkaitan. Wanita yang telah menikah pada umumnya mempunyai angka
kesakitan dan kematian yang lebih rendah dan biasanya mempunyai
kesehatan fisik dan mental yang lebih baik daripada wanita yang tidak
menikah (Burman & Margolin dalam Haijiang Wang, 2005).
Sebuah penelitian pada tahun 1994 yang berjudul Biological,
Social and Behavioral Factors Associated with Premenstrual Syndrome
yang melibatkan 874 wanita di Virginia menemukan fakta bahwa mereka
yang telah menikah cenderung mempunyai resiko yang lebih kecil untuk
mengalami PMS (3,7%) dari pada mereka yang tidak menikah (12,6%)
(Deuster, 1999).
2. Konsep Premenstrual Syndrome (PMS)
a. Definisi Premenstrual Syndrome (PMS)
Premenstrual syndrome (PMS) adalah kombinasi gejala yang
terjadi sebelum haid dan menghilang dengan keluarnya darah menstruasi
serta dialami oleh banyak wanita sebelum awitan setiap siklus menstruasi
(Brunner & Suddarth, 2001).
Magos dalam Hacker (2001), mendefenisikan bahwa premenstrual
syndrome (PMS) adalah gejala fisik, psikologis dan perilaku yang
menyusahkan yang tidak disebabkan oleh penyakit organik yang secara
teratur berulang selama fase siklus haid menghilang selama waktu haid
yang tersisa. Sekitar 5-10% wanita menderita PMS yang berat sehingga
mengganggu kegiatan sehari-harinya.
Menurut Shreeve (1983) premenstrual syndrome (PMS) adalah
sejumlah perubahan mental maupun fisik yang terjadi antara hari ke-2
sampai hari ke-14 sebelum menstruasi dan mereda segera setelah
menstruasi
berawal.
Sedangkan
Dalton
(1983),
mendefinisikan
digunakan
untuk
mendiagnosis
PMS
baru-baru
ini
telah
berat melaporkan
bahwa PMS mengganggu kegiatan sehari-hari mereka, baik dari segi diri
mereka sendiri, sosial dan pekerjaan mereka (Deuster et.,al., 1999).
b. Etiologi Premenstrual Syndrome (PMS)
Penyebab pasti PMS tidak diketahui, tetapi beberapa teori
menunjukkan adanya kelebihan estrogen atau defisit progesteron dalam
fase luteal dari siklus menstruasi. Selama bertahun-tahun teori ini
mendapat dukungan yang cukup banyak dan terapi progesteron biasa
dipakai untuk mengatasi PMS. Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa
terapi progesteron kelihatan tidak efektif bagi kebanyakan wanita, selain
terganggu.
Gangguan
psikologik
berupa
irritabilitas,
(2001),
mengklasifikasikan
gejala-gejala
PMS
Tabel 2.1
Gejala-gejala premanstrual syndrome
Gejala fisik
a. Perut kembung
Gejala emosional
a. Depresi
b. Nyeri payudara
b. Cemas
c. Sakit kepala
c. Suka menangis
e. Pelupa
e. Nyeri panggul
f. Hilang koordinasi
g. Merasa tegang
h. Irritabilitas
h. Hidung tersumbat
i. Rasa bermusuhan
i. Perubahan defekasi
j. Suka marah
j. Tumbuh jerawat
k. Paranoid
k. Sakit pinggul
m. Konsentrasi berkurang
m. Palpitasi
p. Keinginan menyendiri
p. Kepanasan
q. Perasaan bersalah
r. Kelemahan
dalam
bentuk
kelompok
pendukung
atau
konseling
menghilangkan
cemas
dan
depresi,
bromokriptin
untuk
cara
B. Kerangka Teori
Faktor predisposisi
Karakteristik demografi wanita :
1. Umur
2. Pendidikan
3. Pendapatan
4. Pekerjaan
5. Status Perkawinan
Keadaan hormonal
1. Penurunan kadar progesterone
2. Peningkatan kadar estrogen
3. Peningkatan prolaktin
4. Peningkatan
aktivitas
beta
endorphin
5. Defisiensi serotonin
6. Retensi cairan
7. Metabolisme
prostaglandin
abnormal
8. Gangguan aksis hipotalamik
pituitary ovarium
Faktor pemungkin
1. Sarana dan prasarana
2. Obat penghilang nyeri
3. Terapi
Faktor Penguat :
1. Faktor kejiwaan
2. Masalah keluarga
3. Masalah sosial
Gejala Premenstrual
Syndrome
(PMS)
Dirasakan
Tidak dirasakan
C. Penelitian Terkait
1. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Tri Murtiati yang berjudul
Pengaruh latihan fisik erobik terhadap gejala sindroma premenstruasi pada
tahun 1999 diperoleh hasil sebagai berikut :
Dengan hasil penelitian yaitu t hitung 3,50 lebih besar dari t table (0,01) (14) =
2,62 maka Ho ditolak. Hal ini berarti skor gejala syndrome pre menstruasi pada
penderita sindroma premenstruasi yang diberi perlakuan latihan senam aerobic
selama 12 minggu lebih rendah dibandingkan pada penderita sindroma pre
menstruasi yang tidak diberi latihan senam aerobic secara sangat bermakna
(Highly Significant).
2. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Dinar Pratiwi yang berjudul
Tingkat pengetahuan remja putri kelas II SMU 35 di Jakarta Pusat tentang Pre
Menstrual Syndrome pada tahun 2004 diperoleh hasil sebagai berikut: Metode
penelitian yang dipakai adalah deskriptif eksploratif. Hasil data tingkat
pengetahuan responden terhadap penelitian PMS sebagian tergolong rendah
(59,2%). Data tingkat pengetahuan responden terhadap tanda dan gejala PMS
yang juga tergolong rendah (75,5%). Data tingkat pengetahuan responden
terhadap cara mengatasi PMS (68,4%) . Jadi kesimpulannya sub variable yang
didapatkan bahwa 61,2% tingkat pengetahuan responden terhadap PMS masih
rendah.