Disusun oleh:
Malahayati 140510060062
Erly Maryanti 140510060064
Aulia Dorojati Rukmi 140510060066
Senjani Nurul Aeni 140510060068
Dian Ekawati 140510060070
LABORATORIUM FARMAKOLOGI
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2009
OBAT SISTEM SYARAF OTONOM
(ANTI KOLINERGIK)
I. TUJUAN PERCOBAAN
1. Menghayati secara lebih baik pengaruh berbagai obat sistem saraf
otonom dalam pengendalian fungsi-fungsi vegetatif tubuh.
2. Mengenal suatu teknik untuk mengevaluasi aktivitas obat
antikolinergik pada neorofektor parasimpatikus.
III. TEORI
Sistem syaraf otonom yang dikenal juga dengan nama sistem syaraf
vegetatif, sistem syaraf visceral atau sistem syaraf tidak sadar, sistem
mengendalikan dan mengatur kemauan. Sistem syaraf ini terdiri dari atas serabut
syaraf-syaraf, ganglion-ganglion dan jaringan syaraf yang mensyarafi jantung,
pembuluh darah, kelenjar-kelenjar, alat-alat dalaman dan otot-otot polos. Obat-
obat yang sanggup mempengaruhi fungsi sistem syaraf otonom, bekerja
berdasarkan kemampunannya untuk meniru atau memodifikasi aktivitas
neurohimor-transmitor tertentu yang dibebaskan oleh serabut syaraf otonom di
ganglion atau sel-sel (organ-organ) efektor.
KOLINERGIK
Kolinergik adalah sekelompok zat yang dapat menimbulkan efek yang
sama dengan stimulasi Susunan Parasimpatis (SP), karena melepaskan
neurohormon asetilkolin (Ach) diujung-ujung neuronnya.
Efek kolinergik faal yag terpenting adalah sebagai berikut :
- Stumulasi pencernaan dengan jalan memperkuat peristaltic dengan
- sekresi kelenjar ludah dan getah lambung (HCl), juga sekresi air mata,
dan lain-lain.
- Memperlambat sirkulasi, antara lain dengan mengurangi kegiatan
jantung, vasodilatasi, dan penurunan tekanan darah.
- Memperlambat pernapasan, antara lain dengan menciutkan bronchi,
sedangkan sekresi dahak dipebesar.
- Kontraksi otot mata dengan efek penyempitan pupil mata (miosis) dan
menurunnya tekanan intraokuler akibat lancarnya pengeluaran air
mata.
- kontraksi kandung kemih dan ureter dengan efek memperlancar
pengeluaran urin.
- Dilatasi pembuluh dan kontraksi otot kerangka.
- Menekan SSP setelah pada permulaan menstimulasinya.
Efek muskarin dan efek nikotin
Berdasarkan efeknya terhadap perangsangan, reseptor ini dapat
dibagi dalam 2 jenis, yaitu reseptor muskari dan reseptor nikotin., yang masing-
masing menghasilkan efek yang berlainan.
a. Reseptor muskarin (M) berada dineuron postganglioner dan dapat
dibagi dalam minimal 3 subtipe, yakni reseptor M1, M2, dan M3 (1,2). Ketiga
jenis reseptor ini bila dirangsang memberikan efek yang berlainan.
Muskarin adalah derivat furan yang bersifat sangat beracun dan terdapat
sebagai alkaloida pada jamur merah Amanita muscaria. Reseptor muskarin
setelah diaktivasi oleh neurotransmitter ACh dapat menimbulkan semua efek
fisiologis.
b. Reseptor nikotin
Terdapat dalam pelat-pelat ujung myoneural dari otot kerangka dan di
ganglia otonom. Stimulasi reseptor ini olrk kolinergika menimbulkan efek
yang menyerupai efek adrenergika, jadi sifat berlawanan sama sekali.
Misalnya vasokontriksi dengan naiknya tensi ringan, penguatan kegiatan
jantung, menstimulasi SSP ringan. Pada dosis rendah, timbul konstriksi otot
lurik, sedangkan pada dosis tinggi terjadi depolarisasi dan blokade
neurotransmitter.
Mekanisme kerjanya berdasarkan stimulasi penerusan impuls diganglia
simpatis dan stimulasi anak ginjal dengan sekresi noradrenalin. Di samping itu
terjadi stimulasi ganglia kolinergis dan pelat-pelat ujung motoris otot lurik,
dimana terdapat banyak reseptor nikotin.
Pilokarpin
Berasal dari tanaman Pilocarpus jaborandi dan Pilokarpus microphyllus.
Pilokarpin memiliki efek nikotinik. Efek nikotinik ini juga terlihat setelah
diadakan denervasi. Pilokarpin terutama menyebabkan rangsangan terhadap
kelenjar keringat, kelenjar air mata, dan kelenjar ludah. Produksi keringat dapat
mencapai tiga liter. Efek terhadap kelenjar keringat ini terjadi karena
perangsangan langsung (efek muskarinik) dan sebagian karena perangsangan
ganglion (efek nikotinik). Suatu kekhususan dari kelenjar keringat ialah bahwa,
secara anatomi kelenjar ini termasuk sistem simpatik, tetapi neurotransmiternya
asetilkolin. Ini yang menjelaskan terjadinya hiperhidrosis oleh zat kolinergik
ANTIKOLINERGIK
Obat antikolinergik disebut juga parasimpatolitik, berarti obat yang
bekerja menghambat timbulnya efek akibat aktivitas susunan saraf parasimpatis.
Antimuskarinik merupakan antikolinergik yang bekerja di alat yang dipersarafi
serabut pascaganglion kolinergik. Antimuskarinik memperlihatkan efek sentral
terhadap susunan saraf pusat, yaitu merangsang pada dosis kecil dan mendepresi
pada dosis toksik.
Atropin
Merupakan (campuran d- dan l- hiosiamin) dan skopolamin (l-hiosin)
merupakan dua alkaloid aktif. Atropin terutama ditemukan pada Atropa
belladonna dan Datura stramonium, sedangkan skopolamin terutama diperoleh
dari Hyoscyamus niger. Alkaloid-alkaloid ini merupakan ester organic dari asam
tropat dengan tropanol atau skopin (basa organik).
Hambatan oleh atropin bersifat reversibel dan dapat diatasi dengan
pemberian asetilkolin dalam jumlah berlebihan atau pemberian antikolinesterase.
Atropin memblok asetilkolin endogen maupun eksogen, tetapi
hambatannya jauh lebih kuat terhadap yang eksogen. Skopolamin memeilki efek
depresi sentral yang lebih besar daripada atropine, sedangkan efek perifer
terhadap jantung, usus, dan otot bronkus lebih kuat dipengaruhi oleh atropin.
Efek farmakodinamik. Atropin merangsang medulla oblongata dan pusat lain
otak; alkaloid belladonna menyebabkan midriasis dan sikloplegia; mengurangi
secret hidung, mulut, faring, dan bronkus; frekuensi jantung berkurang;
menghambat bradikardi; antispasmodic; menghambat aktivitas kelenjar eksokrin,
yaitu kelenjar liut dalam mulut serta bronkus.
Fenobarbital
H
O N O
C2H5
NH
V. PROSEDUR
Alat – alat untuk percobaan dipersiapkan. Kemudian, hewan percobaan
dipilih secara acak, ditimbang dan diberi tanda pengenal. Pada waktu T=0 mencit
pertama diberi atropin p.o. segera setelah pemberian fenobarbital i.p. Sedangkan
mencit kedua dan ketiga hanya diberi fenobarbital. Pada T=15 menit, mencit
kedua diberi atropin s.c. Dan pada T=45 menit, semua mencit diberi pilokarpin
s.c. Lalu, masing – masing mencit diletakkan di atas kertas saring (1 mencit 1
kotak). Penempatan mencit dilakukan sedemikian sehingga mulutnya berada tepet
di atas kertas sarimg. Setiap 5 menit mencit ditarik ke kotak berikutnya dan
diulangi hal yang sama selama 25 menit. Besarnya noda yang terbentuk di kertas
saring diamati dan ditandai. Diameter noda diukur dan dihitung persentase
inhibisi yang diberikan oleh atropin. Data hasil perhitungan dimasukkan ke dalam
tabel dan dibuat grafik inhibisi per satuan waktu.
I III II
DATA PENGAMATAN
Analisis
Hipotesis
Ho : t1 = 0, artinya seluruh perlakuan memberikan efek yang sama terhadap
mencit.
H1 : tidak demikian
Tabel Anava
Sumber Variasi Dk Jk KT Fhit
Rata-rata 1 42,93 42,93
Waktu (blok) 4 0,9 0,225 188,68
Pemberian obat (perlakuan) 2 85,85 42,925
Kekeliruan eksperimen(E) 8 1,82 0,2275
Kekeliruan subsampling 45 39,46 0,88
TOTAL 60 170,96
Perhitungan :
Dk
Rata-rata =1
Waktu = (b-1) = 5-1 = 4
Pemberian obat = (p-1) = 3-1 = 2
Kekeliruan eksperimen = (b-1)(p-1) = 4.2 = 8
Total = 60
Kekeliruan subsampling = 60-(1+4+2+8)=45
Jk
J 2 50,752
Ry = = = 42,93
n 60
7,5 2 + 10,9 2 + 11,9 2 + 10,55 2 + 9,9 2
By = − 42,93 = 0,90
3x 4
0 + 0 + 50,75 2
Py = − 42,93 = 85,85
4 x5
Dengan α = 5% = 0.05
Ftabel = F(2.8) = 4.46
Fhitung =
Karena Fhit > Ftabel, maka Ho ditolak. Artinya semua pemberian obat tidak
memberikan efek yang sama terhadap mencit.
VII. PEMBAHASAN
Percobaan ini bertujuan untuk mengetahui efek yang ditimbulkan oleh
obat-obat golongan sistem syaraf otonom dengan rute pemberian yang berbeda.
Pada percobaan ini digunakan tiga kelompok mencit, dimana masing-masing
kelompok terdiri dari 5 mencit yang diberikan perlakuan yang berbeda. Kelompok
uji I diberikan fenobarbital secara po, atropin secara po (t=0’) dan pilokarpin
secara sc (t=45’). Kelompok uji II diberikan fenobarbital secara po (t=0’), atropin
secara sc (t=15’), dan pilokarpin secara sc (t=45’). Dan yang terakhir adalah
kelompok kontrol diberikan fenobarbital secara po dan pilokarpin secara sc
(t=45’). Selama jeda waktu tersebut obat diharapkan telah terabsorpsi secara
maksimal.
Fenobarbital diberikan sebagai sedatif sehingga mencit yang diuji dalam
keadaan tidak sadar atau tertidur dan dapat diamati dengan baik. Atropin
diharapkan dapat bekerja sebagai antikolinergik yang akan menekan efek
pengeluaran saliva dari mencit, sedangkan pemberian pilokarpin sebagai obat
kolinergik diharapkan dapat memberikan efek pengeluaran saliva yang berlebih.
Atropin diberikan untuk melawan efek yang akan timbul dari pemberian
pilokarpin. Sehingga dapat dibandingkan banyaknya sekresi saliva yang
dihasilkan bila tidak diberi atropin, diberi atropin secara po, dan diberi atropin
secara sc.
Dosis masing-masing obat yang akan diberikan harus dihitung terlebih
dahulu. Karena itu mencit ditimbang terlebih dahulu. Volume obat yang akan
diberikan dapat dihitung dengan menggunakan rumus: [berat mencit / 20] x
0,5mL. Setelah menghitung volume obat yang akan diberikan barulah pemberian
obat dilakukan pada masing-masing mencit dalam tiap kelompok uji.
Setelah semua mencit pada masing – masing kelompok uji diinjeksikan
pilokarpin secara s.c., mencit diletakkan pada papan yang membentuk sudut 10°..
Papan ini terlebih dahulu ditaburi bubuk metilen blue dan kemudian ditutup
dengan kertas saring, hal ini dilakukan agar mempermudah pengukuran diameter
saliva yang dihasilkan, dimana kertas saring akan berwarna biru terkena saliva
yang dihasilkan. Papan ini dibagi menjadi tiga lajur, tiap lajur untuk 1 ekor
mencit dari suatu kelompok, dan tiap lajur telah dibagi lagi menjadi 5 kotak
berdasarkan waktu, yaitu 5’,10’, 15’, 20’, dan 25’. Tiap mencit dari tiap kelompok
diletakkan pada kotak 1 selama 5’, kemudian dipindahkan ke kotak 2 selama 5’,
dan seterusnya. Mencit yang diletakkan pada papan ini ditahan agar tidak
bergerak/berjalan ke kotak lain, sehingga saliva akan terkumpul pada satu tempat.
Pemberian pilokarpin dilakukan setelah pemberian atropin bertujuan agar
persen inhibisi dari atropin (antikolinergik) terhadap efek yang ditimbulkan oleh
pilokarin (perangsangan pengeluaran air liur) dapat dihitung. Persen inhibisi
dhitung berdasarkan penurunan jumlah saliva, yakni perbedaan jumlah
pengeluaran saliva dari mencit yang diinjeksi atropin dengan mencit yang tidak
diberi atropin. Jika pemberian pilokarpin berada di awal (sebelum atropin)
dikhawatirkan atropin sebagai penginhibisi pilokarpin belum terabsorpsi secara
optimal sehingga penurunan jumlah saliva akan sukar teramati
Secara teoritis, dengan bertambahnya waktu maka diameter saliva yang
dihasilkan akan semakin besar sampai dengan jangka waktu tertentu kemudian
menurun. Namun, data yang diperoleh tidak akurat sebab data tidak monoton
naik dan kemudian menurun, melainkan terjadi naik-turun data, bahkan diameter
yang dihasilkan sangat beragam dalam satu waktu tertentu. Data yang tidak
akurat ini menyebabkan grafik yang diperoleh menjadi naik turun. Beberapa hal
yang mungkin menjadi penyebab ketidakakuratan dalam percobaan ini adalah:
1. Terjadi kesalahan dalam perhitungan dosis
2. Adanya kesalahan dalam pemberian obat, seperti obat tidak masuk
seluruhnya, dimana obat kembali dimuntahkan dalam pemberian po atau
obat kembali dikeluarkan secara tetes demi tetes dari tengkuk mencit
dalam pemberian sc. Hal ini terlihat dari basahnya tengkuk mencit setelah
diinjeksikan.
Dari percobaan diperoleh bahwa sekresi saliva (rata-rata diameter saliva)
pada kelompok kontrol lebih besar dari kelompok uji I dan II. Hal tersebut
sangatlah logis karena kelompok kontrol hanya diberikan pilokarpin dan tidak
diberikan atropin sebagai penginhibisi. Dan sekresi saliva (rata-rata diameter
saliva) pada kelompok uji II lebih besar dari kelompok uji I. Sehingga dari
percobaan ini didapat bahwa atropin yang diberikan secara po lebih cepat
memberikan efek penekanan sekresi saliva bila dibandingkan dengan atropin yang
diberikan secara sc. Hal ini juga ditunjukkan oleh % inhibisi atropin po = 30,72%,
dan % inhibisi atropin sc = 15,43%. Hasil yang didapat dari percobaan ini tidak
sesuai dengan teori, dimana pemberian po seharusnya memberikan efek yang
lebih lambat dikarenakan pada pemberian secara po obat terlebih dahulu masuk
dalam organ pencernaan yang sangat panjang dan obat mengalami kontak dengan
enzim-enzim sepanjang saluran pencernaan yang dapat menimbulkan reaksi yang
tidak diinginkan, setelah melalui saluran pencernaan barulah obat berdifusi ke
pembuluh darah. Sedangkan pada pemberian secara sc obat yang diberikan
langsung memasuki pembuluh darah sehingga dapat langsung bekerja.
VIII. KESIMPULAN
1. %inhibisi untuk atropin yang diberikan secara per oral adalah
30,72 %
2. %inhibisi untuk atropin yang diberikan secara subkutan adalah
15,43%
DAFTAR PUSTAKA
Ansel, H.C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. UI Press. Jakarta
Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 1995.
Farmakologi dan Terapi. Edisi Keempat. Bagian Farmakologi Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta
Panitia Farmakope Indonesia. 1979. Farmakope Indonesia. Edisi III. Departemen
Kesehatan Repulbik Indonesia. Jakarta.
Efek Analeptik Adrenalin. Intan Suraya Ellyas, Samigun, Bambang Surono Thomas .
2009. http://www.farmako.uns.ac.id/index.php?hal=riset&no_riset=17