Model Integrasi Ilmu PDF
Model Integrasi Ilmu PDF
Husni
Lembaga Penelitian dan Pengembangan
Institut Agama Islam Darussalam (IAID)
A. Pendahuluan
Ide tentang integrasi keilmuan Islam di kalangan para pemikir
pendidikan Islam di Indonesia selama ini dipandang masih
berserakan dan belum dirumuskan dalam suatu tipologi pemikiran
yang khas, terstruktur, dan sistematis. Bahkan transformasi
beberapa IAIN/STAIN menjadi UIN pun dipandang belum
menggambarkan peta pemikiran keilmuan Islam, baik di Indonesia
maupun di dunia Islam pada umumnya; baik masa klasik maupun
kontemporer. Itulah sebabnya berbagai gagasan integrasi
keilmuan, termasuk juga kristalisasinya dalam bentuk transformasi
IAIN/STAIN menuju UIN menjadi penting untuk membangun
suatu tiplogi atau pemikiran tentang integrasi keilmuan Islam.
Awal munculnya ide tentang integrasi keilmuan
dilatarbelakangi oleh adanya dualisme atau dikhotomi keilmuan
antara ilmu-ilmu umum di satu sisi dengan ilmu-ilmu agama di sisi
lain. Dikhotomi ilmu yang salah satunya terlihat dalam dikhotomi
institusi pendidikan—antara pendidikan umum dan pendidikan
agama—telah berlangsung semenjak bangsa ini mengenal sistem
pendidikan modern1. Dikhotomi keilmuan Islam tersebut
berimplikasi luas terhadap aspek-aspek kependidikan di
lingkungan umat Islam, baik yang menyangkut cara pandang umat
terhadap ilmu dan pendidikan, kelembagaan pendidikan,
kurikulum pendidikan, maupun psikologi umat pada umumnya.
Berkenaan dengan cara pandang umat Islam terhadap ilmu
dan pendidikan, di kalangan masyarakat Islam berkembang suatu
kepercayaan bahwa hanya ilmu-ilmu agama Islam-lah yang pantas
dan layak dikaji atau dipelajari oleh umat Islam, terutama anak-
anak dan generasi mudanya. Sementara ilmu-ilmu sekuler
dipandang sebagai sesuatu yang bukan bagian dari ilmu-ilmu yang
layak dan patut dipelajari. Cara pandang dengan menggunakan
perspektif oposisi biner terhadap ilmu secara ontologis ini,
1
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Pustaka
Muhammadiyah, Jakarta, 1960, hal. 237.
2
Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun 2004,
Belanja Pemerintah Pusat untuk Departemen Pendidikan Nasional RI sebesar
Rp. 21.585,1 milyar, sedangkan Departemen Agama RI hanya sebesar Rp. 6.690,5
milyar; berbanding 76,3% : 23,7%. Untuk Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) Tahun 2005, Belanja Pemerintah Pusat untuk Departemen
Pendidikan Nasional RI sebesar Rp. 26.991,8 milyar, sedangkan Departemen
Agama RI hanya sebesar Rp. 7.017,0 milyar; berbanding 79,4% : 20,6%. Dan
untuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun 2006, Belanja
Pemerintah Pusat untuk Departemen Pendidikan Nasional RI sebesar Rp.
36.755,9 milyar, sedangkan Departemen Agama RI hanya sebesar Rp. 9.720,9
milyar; berbanding 79,1% : 21,9%. Lihat, Departemen Keuangan Republik
Indonesia, Data Pokok APBN Tahun Anggaran 2006, Depkeu RI, Jakarta, 2006,
hal. 8. Bila besaran anggaran dan prosentase tersebut dihubungkan dengan
TAJDID, Vol. 17, No. 1, Maret 2010 111
Keterbatasan dana, fasilitas, sarana dan prasarana yang dimiliki
oleh kebanyakan lembaga pendidikan di bawah Departemen
Agama tersebut tentu berpengaruh terhadap kinerja dan kualitas
pendidikan di banyak Madrasah dan lembaga pendidikan
sejenisnya. Akibatnya, pengelolaan Madrasah tidak dapat optimal
dan seringkali menyebabkan mutu lulusan Madrasah kurang
mampu bersaing dengan lembaga-lembaga setingkat yang berada
di bawah Departemen Pendidikan Nasional.
Dampak lain yang tidak kalah seriusnya dari dikhotomi
keilmuan antara ilmu-ilmu agama Islam di satu sisi dengan ilmu-
ilmu di sisi lain adalah terhadap kerangka filsafat keilmuan Islam.
Kendati dikhotomi keilmuan Islam telah terjadi semenjak
beberapa abad yang lampau3, namun dampaknya terhadap
kerangka filsafat keilmuan Islam dirasakan semakin serius pada
masa-masa kemudian. Salah satu kerangka keilmuan Islam yang
kurang "lazim" bila dibandingkan dengan kerangka filsafat
keilmuan "sekuler" adalah kurang dikenalnya konsep paradigma,
4
Lihat buku yang ditulis oleh Thomas Kuhn dan telah diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia dengan judul, Peran Paradigma dalam Revolusi Sains,
CV Rosda Karya, Bandung, 1988.
5
Mahdi Ghulsyani, Filsafat Sains menurut Al-Qur'an, Mizan, Bandung,
Cetakan Kedua-1989, hal. 78-82.
6
Yuyun Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Sinar
Harapan, Jakarta, 1998, hal. 47.
7
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, Radjawali Press, Jakarta, Cetakan Kedua,
2005, hal. 57-65
8
Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Teori Kejahilan: Pengantar Epistemologi
Islam, Mizan, Bandung, 2003, hal. 1
9
Herbert Spencer, http://www.answers.com/topic/knowledge
10
Encyclopedia Wikipedia, Science, http://www.answers.com/topic/science.
11
Steven D. Schafersman, An Introduction to Science: Scientific Thinking and
the Scientific Method, http://www.freeinquiry.com/intro-to-sci.html, Januariy
1994.
12
Pentingnya pengakuan dan konsensus komunitas ilmuwan ini
dikemukakan oleh Fred L. Wilson, Guru Besar pada Rochester Institute of
Technology. Ia mengatakan: "Science investigates natural phenomena of every
conceivable sort -- from the physical to the biological to the social. Scientists
study everything from events occurring at the time of the formation of the
universe to the stages of human intellectual and emotional development to the
migratory patterns of butterflies. Judging by its subject matter, then, science is
the study of very nearly everything. Then can science be defined by looking at
the range of activities "scientists do." Many of us would be hard-pressed to say
much more about the nature of science than that science is whatever it is
scientists do for a living. In fact, some learned authorities try to do just that. A
descriptive definition was said to be that science is what is "accepted by the
scientific community" and is "what scientists do." The obvious implication of this
description is that, in a free society, knowledge does not require the imprimatur
of legislation in order to become science. More precisely, the essential
characteristics of science are: (1) It is guided by natural law; (2) It has to be
explanatory by reference to natural law; (3) It is testable against the empirical
world; (4) Its conclusions are tentative, i.e., are not necessarily the final word;
and (5) It is falsifiable." Lihat, Fred L. Wilson, History of Science: What Is
Science?, http://www.rit.edu/~flwstv/hoswhatsci.html
13
Dalam Ensiklopedi Wikipedia disebutkan, The definition of knowledge is
still a live debate for philosophers. Lihat, Encyclopedia Wikipedia, Defining
Knowledge, http://www.wiki.com/topic/knowledge.html
14
Arthur Hays Sulzberger, Knowledge, dalam answer.com,
http://www.answers.com/ topic/knowledge.html
15
Dalam Encyclopedia Wikipedia disebutkan, In order for there to be
knowledge, according to most thinkers, at least three criteria must be fulfilled. A
thought must be justified, true, and believed. Lihat, Encyclopedia Wikipedia,
Knowledge, loc-cit.
16
Beberapa pemikir Muslim yang menggunakan istilah "Islamic sciences"
sebagai padanan ilmu-ilmu ke-Islam-an di antaranya, Abdus Salam, Ideals and
Realities: Selected Essays of Abdus Salam, Singapore: World Scientific; 2nd ed.
1987, hal. 179-213; Mohammad Omar Farooq, Islam and the History of Science;
AbdulHamid AbuSulayman, Islamization, Science, and Technology in The Crisis
of the Muslim Mind, The Association of Muslim Scientists and Engineers. All
rights reserved 2003; Osman Bakar, Reformulating a Comprehensive Relationship
Between Religion and Science: An Islamic Perspective, Islam & Science: Journal of
Islamic Perspective on Science, Volume 1, June 2003, Number 1; Mohammad
Hashim Kamali, Islam, Rationality and Science, Islam & Science: Journal of
Islamic Perspective on Science, Volume 1, June 2003, Number 1; Alparslan
Acikgenc, The Islamic Conception of Scientific, Islam & Science, June, 2003; M.
Amir Ali, Removing the Dichotomy of Sciences: A Necessity for the Growth of
Muslims,
http://www.futureislam.com/20050301/insight/amir_ali/removing_dicho-
tomy_of_sciences_prn.asp.
17
Encyclopedia Wikipedia, http://www.answers.com/topic/islamic-science
18
Muhammad Muhsin Khan, The Translation of the Meaning of Sahih Al-
Bukhari, Kitab Bhavan, New Delhi, 1987, vol. 1-9.
TAJDID, Vol. 17, No. 1, Maret 2010 117
Selain Muhammad Muhsin Khan, salah seorang pemikir Muslim
lain, Ahmad Dallal juga mengartikan Islamic Science sebagai
Arabic Science (ilmu-ilmu Arab)19
Pandangan Muhammad Muhsin Khan tersebut mendapat
tanggapan kritis dari M. Amir Ali, yang menyatakan:
Muhammad Muhsin Khan in his translation of Sahih Bukhari
frequently translates the Arabic word ‘ilm as “religious”
knowledge. Muhsin Khan is a very poor translator and his
translation of the Qur'an, which is distributed under the title “The
Noble Qur'an”, is one of the worst translations of the Qur'an done
by a Muslim. A Muslim activist in Pakistan, now living in U.K.,
who used to teach the meaning of the Qur'an in public gatherings,
emphasizes that ‘ilm means only sciences of the Qur'an, Hadith
and fiqh whereas physics, chemistry, medicine, and engineering are
not real sciences but funoon (arts).20
Atas dasar kritiknya yang keras terhadap pemikiran
Muhammad Muhsin Khan tersebut, M. Amir Ali menolak secara
tegas dikhotomi keilmuan antara yang ia sebut sebagai deeni
(religious) sciences dan dunyawi (wordly) sciences.21 Ia
menggunakan pengertian ilmu-ilmu ke-Islam-an dengan
pendekatan filosofis, yang oleh karenanya ilmu-ilmu ke-Islam-an
tidak hanya terbatas pada ilmu-ilmu agama (religious sciences).
Konsep ilmu-ilmu ke-Islam-an, oleh beberapa pemikir Muslim
juga biasa disebut dengan "sains Islam". Ketika mencoba menjawab
pertanyaan: mengapa sains Islam, Nasim Butt mengatakan bahwa
jika sains memang sarat nilai dengan komponen penting yang
bersifat subjektif (juga objektif), maka tentunya ia bisa
dikembangkan melalui selera dan penekanan kultural yang khas.
Artinya, di dalam sebuah masyarakat Islam, nilai yang membentuk
19
Dallal, Ahmad, "Science, Medicine and Technology" in Esposito, J. (ed.),
The Oxford History of Islam, Oxford University Press, London and New York,
hal. 155-213.
20
M. Amir Ali, Removing the Dichotomy of Sciences: A Necessity for the
Growth of Muslims. Future Islam: A Journal of Future Ideology that Shapes
Today the World Tomorrow.
http://www.futureislam.com/20050301/insight/amir_ali/removing_dichotomy_
of_sciences.asp, 2004.
21
Ibid.
22
Nasim Butt, Sains dan Masyarakat Islam, Pustaka Hidayah, Bandung,
1996, hal. 59.
23
Munawwar Ahmad Anees, What Islamic sciences is Not, MAAS Journal of
Islamic sciences 2 (1), Januari 1986, hal. 19-20.
24
Nasim Butt, op.cit, 73-74
25
Ibid, hal. 74-75
ﺠﺮِﻱ
ْ ﻚ ﺍﱠﻟﺘِﻲ َﺗ
ِ ﻞ ﻭَﺍﻟﱠﻨﻬَﺎ ِﺭ ﻭَﺍْﻟ ُﻔْﻠ
ِ ﻑ ﺍﻟ ﱠﻠْﻴ
ِ ﺧِﺘﻠَﺎ
ْ ﺽ ﻭَﺍ
ِ ﺕ ﻭَﺍْﻟَﺄ ْﺭ
ِ ﺧْﻠ ِﻖ ﺍﻟ ﱠﺴ َﻤﻮَﺍ
َ ِﺇ ﱠﻥ ﻓِﻲ
ﺽ
َ ﺣﻴَﺎ ِﺑِﻪ ﺍْﻟَﺄ ْﺭ
ْ ﺱ َﻭﻣَﺎ َﺃْﻧ َﺰ َﻝ ﺍﻟ ﱠﻠ ُﻪ ِﻣ َﻦ ﺍﻟ ﱠﺴﻤَﺎ ِﺀ ِﻣ ْﻦ ﻣَﺎٍﺀ َﻓَﺄ
َ ﺤِﺮ ِﺑﻤَﺎ َﻳْﻨ َﻔ ُﻊ ﺍﻟﻨﱠﺎ
ْ ﻓِﻲ ﺍﻟَْﺒ
ﺨِﺮ َﺑْﻴ َﻦ
ﺏ ﺍْﻟ ُﻤ َﺴ ﱠ
ِ ﺡ ﻭَﺍﻟ ﱠﺴﺤَﺎ
ِ ﻒ ﺍﻟ ﱢﺮﻳَﺎ
ِ ﺼﺮِﻳ
ْ ﻞ ﺩَﺍﱠﺑٍﺔ َﻭَﺗ
ﺚ ﻓِﻴﻬَﺎ ِﻣ ْﻦ ُﻛ ﱢ
َﺑﻌْ َﺪ َﻣ ْﻮِﺗﻬَﺎ َﻭَﺑ ﱠ
ﺕ ِﻟ َﻘ ْﻮٍﻡ َﻳ ْﻌِﻘﻠُﻮ َﻥ
ٍ ﺽ ﻟَﺂﻳَﺎ
ِ ﺍﻟ ﱠﺴﻤَﺎ ِﺀ ﻭَﺍْﻟَﺄ ْﺭ
26
Ibid.
27
Ibid.
28
Usman Hassan, The Concept of Ilm and Knowledge in Islam, The
Association of Muslim Scientists and Engineers, 2003, hal. 3.
29
Q.S. 96:5
30
M. Amir Ali, op.cit, hal. 2.
ﺖ
ِ ﺤ ﱠﻲ ِﻣ َﻦ ﺍْﻟ َﻤﱢﻴ
َ ﺝ ﺍْﻟ
ُ ﺨِﺮ
ْ ﻞ َﻭُﺗ
ِ ﺞ ﺍﻟﻨﱠﻬَﺎ َﺭ ﻓِﻲ ﺍﻟ ﱠﻠْﻴ
ُ ﻞ ﻓِﻲ ﺍﻟﱠﻨﻬَﺎ ِﺭ َﻭﺗُﻮِﻟ
َ ﺞ ﺍﻟ ﱠﻠْﻴ
ُ ﺗُﻮِﻟ
ﺏ
ٍ ﺣﺴَﺎ
ِ ﺤ ﱢﻲ َﻭَﺗ ْﺮ ُﺯ ُﻕ َﻣ ْﻦ َﺗﺸَﺎ ُﺀ ِﺑ َﻐْﻴِﺮ
َ ﺖ ِﻣ َﻦ ﺍْﻟ
َ ﺝ ﺍْﻟ َﻤﱢﻴ
ُ ﺨِﺮ
ْ َﻭُﺗ
Engkau masukkan malam ke dalam siang dan Engkau
masukkan siang ke dalam malam. Engkau keluarkan yang hidup dari
yang mati, dan Engkau keluarkan yang mati dari yang hidup. Dan
Engkau beri rezki siapa yang Engkau kehendaki tanpa hisab
(batas).32
ﺕ ِﻟﺄُﻭﻟِﻲ
ٍ ﻞ ﻭَﺍﻟﱠﻨﻬَﺎ ِﺭ ﻟَﺂﻳَﺎ
ِ ﻑ ﺍﻟ ﱠﻠْﻴ
ِ ﺧِﺘﻠَﺎ
ْ ﺽ ﻭَﺍ
ِ ﺕ ﻭَﺍْﻟﺄَ ْﺭ
ِ ﺧْﻠ ِﻖ ﺍﻟ ﱠﺴ َﻤﻮَﺍ
َ ِﺇ ﱠﻥ ﻓِﻲ
ﺧْﻠ ِﻖ
َ ﺏ ﺍﱠﻟﺬِﻳ َﻦ َﻳ ْﺬ ُﻛﺮُﻭ َﻥ ﺍﻟ ﱠﻠ َﻪ ِﻗﻴَﺎﻣًﺎ َﻭُﻗﻌُﻮﺩًﺍ َﻭ َﻋﻠَﻰ ُﺟﻨُﻮِﺑِﻬ ْﻢ َﻭَﻳَﺘ َﻔ ﱠﻜﺮُﻭ َﻥ ﻓِﻲ
ِ ﺍْﻟﺄَْﻟﺒَﺎ
ﺏ ﺍﻟﻨﱠﺎ ِﺭ
َ ﻚ َﻓِﻘﻨَﺎ َﻋﺬَﺍ
َ ﺳْﺒﺤَﺎَﻧ
ُ ﺖ َﻫﺬَﺍ ﺑَﺎ ِﻃﻠًﺎ
َ ﺧَﻠْﻘ
َ ﺽ َﺭﱠﺑﻨَﺎ ﻣَﺎ
ِ ﺕ ﻭَﺍْﻟَﺄ ْﺭ
ِ ﺍﻟ ﱠﺴ َﻤﻮَﺍ
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih
bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang
yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil
berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka
memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata):
"Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia.
Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.33
ﻀِﻠِﻪ
ْ ﻚ ﻓِﻴِﻪ ِﺑَﺄْﻣِﺮِﻩ َﻭِﻟَﺘْﺒَﺘﻐُﻮﺍ ِﻣ ْﻦ َﻓ
ُ ﻱ ﺍْﻟ ُﻔْﻠ
َ ﺠِﺮ
ْ ﺤ َﺮ ِﻟَﺘ
ْ ﺨ َﺮ َﻟ ُﻜ ُﻢ ﺍْﻟَﺒ
ﺳﱠَ ﺍﻟ ﱠﻠ ُﻪ ﺍﱠﻟﺬِﻱ
ﺽ َﺟﻤِﻴﻌًﺎ ِﻣْﻨ ُﻪ ِﺇ ﱠﻥ
ِ ﺕ َﻭﻣَﺎ ﻓِﻲ ﺍْﻟَﺄ ْﺭ
ِ ﺨ َﺮ َﻟ ُﻜ ْﻢ ﻣَﺎ ﻓِﻲ ﺍﻟ ﱠﺴ َﻤﻮَﺍ
ﺳﱠَ َﻭَﻟ َﻌ ﱠﻠ ُﻜ ْﻢ َﺗ ْﺸ ُﻜﺮُﻭ َﻥ َﻭ
ﺕ ِﻟ َﻘ ْﻮٍﻡ َﻳَﺘ َﻔ ﱠﻜﺮُﻭ َﻥ
ٍ ﻚ ﻟَﺂﻳَﺎ
َ ﻓِﻲ َﺫِﻟ
Allahlah yang menundukkan lautan untukmu supaya kapal-
kapal dapat berlayar padanya dengan seizin-Nya, dan supaya kamu
dapat mencari sebagian karunia-Nya dan mudah-mudahan kamu
bersyukur. Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit
dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya.
31
Q.S. 2:164.
32
Q.S. 3: 27
33
Q.S. 3:190-191
34
Q.S. 45:12-13.
35
Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam, New American
Library, New York, 1970, hal. 21-22.
36
Isma'il Razi al-Faruqi, Al-Tauhid: Its Implications for Thought and Life,
The International Institute of Islamic Thought, Virginia-USA, 1992, hal. 42.
37
Ibid.
38
Ibid.
39
Ibid, hal 43.
40
Nasim Butt, op.cit, hal. 67.
41
Ibid.
42
Ibid., hal. 68-69. Lihat juga, Ziauddin Sardar, Islamic Futures: The Shapes
of Ideas to Come, Mansell, New York, 1985, hal. 176-177.
43
Kajian tentang hubungan agama dan sains dalam tradisi akademik Barat
telah berlangsung cukup lama. Tetapi kajian tentang tentang ini mulai serius
TAJDID, Vol. 17, No. 1, Maret 2010 127
kuatnya tekanan dari kelompok ilmuwan yang menolak doktrin
"bebas nilai"-nya sains44; (3) krisis yang diakibatkan oleh sains dan
teknologi45; dan (4) ketertinggalan umat Islam dalam bidang ilmu
dan teknoilogi.
dilakukan kurang lebih dalam satu dekade terakhir ini, sebagaimana dikatakan
oleh David Klinghoffer: "Science and religion is a field that you can make a living
in today, which you couldn't do five or 10 years ago. That has a lot to do with the
Templeton Foundation, which has put millions of dollars into the dialogue between
religion and science, sponsoring seminars, conferences, prizes"—not least the $1.1
million Templeton Prize. The latter has gone in recent years to scientists such as
John C. Polkinghorne, Rev. Canon Dr. Arthur Peacocke and Professor Paul
Davies, who argue for the compatibility of faith and science. Polkinghorne's backlist
from Yale University Press includes his 1998 book Belief in God in an Age of
Science. Lihat, David Klinghoffer, Science vs. Religion: A False Dichotomy,
Access Research Network, http://www.stephenunwin.com/media/Publish-
ers%20Weekly.pdf; Januari 2004.
44
Paham "bebas nilai" (values free) dijunjung tinggi oleh para ilmuwan ketika
usaha dalam ilmu pengetahuan mau mencapai obyektivitas maksimal. Bagi
mereka, paham "bebas nilai" ini diperlukan untuk menjaga sikap agar tidak
mempunyai bias dan unsur tidak memihak. Namun demikian, paham "bebas
nilai" tersebut belakang banyak disangkal oleh beberapa ilmuwan kontemporer,
termasuk di dalamnya para pemikir Muslim. Kelompok kedua ini mulai
menemukan momentumnya ketika objektivitas ilmiah mulai disangkal, karena
upaya ilmiah seringkali dilakukan dalam kerangka tujuan tertentu. Dengan
demikian, upaya ilmiah mengandaikan nilai-nilai tertentu yang
melatarbelakanginya. Pengandaian nilai pun akan berlangsung ketika sampai pada
aplikasi ilmu dan teknologi. Sedangkan pemikiran metafisika diperlukan agar
penjelasan dan dasar logikanya mampu melampaui realitas sehingga terbangun
penalaran yang berdasar pada paham dasar pemikiran yang melatarbelakanginya.
Di Indonesia, pemikiran yang cukup kritis muncul dalam karya Francisco Budi
Hardiman, Kritis Ideologi, Kanisius, Yogyakarta, 1996.
45
Salah seorang pemikir postmodernisme yang intens mengkritisi dampak
negatif sains terhadap masyarakat modern adalah Pauline M. Rosenau. Dalam
kajiannya mengenai postmodernisme dan ilmu-ilmu sosial, ia mencatat
setidaknya lima alasan penting terjadinya krisis modernisme. Pertama,
modernisme dipandang gagal mewujudkan perbaikan-perbaikan ke arah masa
depan kehidupan yang lebih baik sebagaimana diharapkan oleh para
pendukungnya. Kedua, ilmu pengetahuan modern tidak mampu melepaskan diri
dari kesewenang-wenangan dan pe-nyalahgunaan otoritas keilmuan demi
kepentingan kekuasaan. Ketiga, terdapat banyak kontradiksi antara teori dan
fakta dalam perkembangan ilmu-ilmu modern. Keempat, ada semacam keyakinan
bahwa ilmu pengetahuan modern mampu memecahkan segala persoalan yang
dihadapi manusia. Namun ternyata keyakinan ini keliru dengan munculnya
berbagai patologi sosial. Kelima, ilmu-ilmu modern kurang memperhatikan
dimensi-dimensi mistis dan metafisis manusia karena terlalu menekankan atribut
fisik individu. Pauline M. Rosenau, Postmodernism and Social Sciences: Insight,
Inroads, and Intrusion, Princeton University Press, Princeton, 1992, hal. 10.
46
Nasim Butt, op.cit, hal. 67.
47
Dalam Alquran surat Yasin [36]:77-83, Allah Swt berfirman:
ﺧْﻠ َﻘ ُﻪ
َ ﺏ َﻟﻨَﺎ َﻣَﺜﻠًﺎ َﻭَﻧ ِﺴ َﻲ
َ ﺿ َﺮ
َ ( َﻭ٧٧)ﺧﺼِﻴ ٌﻢ ُﻣﺒِﻴ ٌﻦ
َ ﺧَﻠْﻘﻨَﺎُﻩ ِﻣ ْﻦ ُﻧ ْﻄ َﻔٍﺔ َﻓِﺈﺫَﺍ ُﻫ َﻮ
َ َﺃ َﻭَﻟ ْﻢ َﻳ َﺮ ﺍْﻟِﺈْﻧﺴَﺎ ُﻥ َﺃﻧﱠﺎ
ﺧْﻠ ٍﻖ
َ ﺤﻴِﻴﻬَﺎ ﺍﱠﻟﺬِﻱ َﺃْﻧ َﺸَﺄﻫَﺎ َﺃ ﱠﻭ َﻝ َﻣ ﱠﺮٍﺓ َﻭ ُﻫ َﻮ ِﺑ ُﻜﻞﱢ
ْ ﻞ ُﻳ
ْ (ُﻗ٧٨)ﺤﻴِﻲ ﺍْﻟ ِﻌﻈَﺎ َﻡ َﻭ ِﻫ َﻲ َﺭﻣِﻴ ٌﻢ
ْ ﻗَﺎ َﻝ َﻣ ْﻦ ُﻳ
ﺲ ﺍﱠﻟﺬِﻱ
َ (َﺃ َﻭَﻟْﻴ٨٠)ﻀِﺮ ﻧَﺎﺭًﺍ َﻓِﺈﺫَﺍ َﺃْﻧُﺘ ْﻢ ِﻣْﻨ ُﻪ ﺗُﻮِﻗﺪُﻭ َﻥ
َﺧ
ْ ﺠِﺮ ﺍْﻟَﺄ
َ ﻞ َﻟ ُﻜ ْﻢ ِﻣ َﻦ ﺍﻟ ﱠﺸ
َ (ﺍﱠﻟﺬِﻱ َﺟ َﻌ٧٩)َﻋﻠِﻴ ٌﻢ
(ِﺇﱠﻧﻤَﺎ َﺃْﻣ ُﺮُﻩ ِﺇﺫَﺍ٨١)ﺨﻠﱠﺎ ُﻕ ﺍْﻟ َﻌﻠِﻴ ُﻢ
َ ﺨُﻠ َﻖ ِﻣْﺜَﻠ ُﻬ ْﻢ َﺑﻠَﻰ َﻭ ُﻫ َﻮ ﺍْﻟ
ْ ﺽ ِﺑﻘَﺎ ِﺩ ٍﺭ َﻋﻠَﻰ َﺃ ْﻥ َﻳ
َ ﺕ ﻭَﺍْﻟَﺄ ْﺭ
ِ ﺧَﻠ َﻖ ﺍﻟ ﱠﺴ َﻤﻮَﺍ
َ
ﺷ ْﻲٍﺀ َﻭِﺇَﻟْﻴِﻪ
َ ﺕ ُﻛﻞﱢ
ُ ( َﻓ ُﺴْﺒﺤَﺎ َﻥ ﺍﱠﻟﺬِﻱ ِﺑَﻴ ِﺪِﻩ َﻣَﻠﻜُﻮ٨٢)ﺷْﻴﺌًﺎ َﺃ ْﻥ َﻳﻘُﻮ َﻝ َﻟ ُﻪ ُﻛ ْﻦ َﻓَﻴﻜُﻮ ُﻥ
َ َﺃﺭَﺍ َﺩ
(٨٣)ُﺗ ْﺮ َﺟﻌُﻮ َﻥ
Dan apakah manusia tidak memperhatikan bahwa Kami menciptakannya
dari setitik air (mani), maka tiba-tiba ia menjadi penantang yang nyata! Dan dia
membuat perumpamaan bagi Kami; dan dia lupa kepada kejadiannya; ia berkata:
"Siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang, yang telah hancur luluh?"
Katakanlah: "Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali yang
pertama. Dan Dia Maha Mengetahui tentang segala makhluk, yaitu Tuhan yang
menjadikan untukmu api dari kayu yang hijau, maka tiba-tiba kamu nyalakan
(api) dari kayu itu." Dan tidakkah Tuhan yang menciptakan langit dan bumi itu
berkuasa menciptakan kembali jasad-jasad mereka yang sudah hancur itu? Benar,
Dia berkuasa. Dan Dialah Maha Pencipta lagi Maha Mengetahui. Sesungguhnya
perintah-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya:
"Jadilah!" maka terjadilah ia. Maka Maha Suci (Allah) yang di tangan-Nya
kekuasaan atas segala sesuatu dan kepada-Nyalah kamu dikembalikan.
48
Wan Ramli bin Wan Daud dan Shaharir bin Mohamad Zain, Pemelayuan,
Pemalaysiaan dan Pengislaman Ilmu Sains dan Teknologi dalam Konteks Dasar
Sains Negara, Jurnal Kesturi, No. 1. 1999, hal. 15-16
49
Ibid, hal. 17
50
Ibid.
51
Alparslan Acikgenc, Holisitic Approach to Scientific Traditions, Islam &
Science: Journal of Islamic Perspective on Science, Volume 1, Juni 2003, Number
1, hal. 102
52
Ibid, hal 102-103.
53
Ibid.
54
Osman Bakar, Reformulating a Comprehensive Relationship Between
Religion and Science: An Islamic Perspective, Islam & Science: Journal of Islamic
Perspective on Science, Volume 1, Juni 2003, Number 1, hal. 33.
55
Ibid, hal. 33-34
56
Ibid, hal. 41.
57
Lihat, Maurice.Bucaille, Bibel Qur'an dan Sains, diterjemahkan oleh A.
Rasyidi, Bulan Bintang, Jakarta, 1992.
58
Kritik tajam terhadap pendekatan ini di antaranya dikemukakan oleh
Ziauddin Sardar, yang mengatakan bahwa Bucaillisme mengandung pikiran
logika yang keliru. Ziauddin Sardar, op.cit, hal. 20. Kritik Tajam juga
dikemukakan oleh Muzaffar Iqbal, yang menyatakan: He is simply interested in
correlating certain scientific “facts” with the Qur’anic verses. Since the publication of
the English translation of his book, La Bible, le Coran et la Science (1976) as The
Bible, the Qur’an and Science (1978), Bucaille has, however, become the pioneer of
an unfortunate trend in modern times and several studies have been devoted to
“prove” the divine origin of the Qur’an on the basis that the Qur’an contains certain
scientific facts which were unknown to humanity at the time of its revelation. As far
as Bucaille is concerned, his work is perfectly understandable. He grew up in an
environment hostile to Islam and his initial knowledge of Islam came from the ill
informed critiques of the French orientalists who declared that “Mohmet was the
author of the Qur’an”. He grew up to become a surgeon and retired as the chief of
the Surgical Clinic at the University of Paris. In his late forties, Bucaille became
interested in Islam, he learned Arabic and studied the Qur’an in its original
language. Leif Stenberg, The Islamization of Science: Four Muslim Positions
134 Model-model Integrasi Ilmu (Husni)
Muslim Malaysia biasa disebut dengan "Model Remeh"59 karena
sama sekali tidak mengindahkan sifat kenisbian dan kefanaan
penemuan dan teori sains Barat dibanding dengan sifat mutlak dan
abadi Alquran. Penemuan dan teori sains Barat berubah-ubah
mengikut perubahan paradigma, contohnya dari paradigma klasik
Newton yang kemudian berubah menjadi paradigma quantum
Planck dan kenisbian Einstein. Model ini mendapat kritik tajam
karena, apabila Ayat Alquran dinyatakan sebagai bukti kebenaran
suatu teori dan teori tersebut mengalami perubahan, maka
kewibawaan Alquran akan rusak karena membuktikan teori yang
salah mengikuti paradigma baru ini.
6) Model Integrasi Keilmuan Berbasis Filsafat Klasik
Model Integrasi Keilmuan Berbasis Filsafat Klasik berusaha
menggali warisan filsafat Islam klasik. Salah seorang sarjana yang
berpengaruh dalam gagasan model ini adalah Seyyed Hossein
Nasr. Menurut Seyyed Hossein Nasr pemikir Muslim klasik
berusaha memasukkan Tawhîd ke dalam skema teori mereka.60
Prinsip Tawhîd, yaitu Kesatuan Tuhan dijadikan sebagai prinsip
kesatuan alam tabi'i (thabî’ah)61. Para pendukung model ini juga
yakin bahwa alam tabi'i hanyalah merupakan tanda atau ayat bagi
adanya wujud dan kebenaran yang mutlak. Hanya Allah-lah
Kebenaran sebenar-benarnya, dan alam tabi'i ini hanyalah
merupakan wilayah kebenaran terbawah. Bagi Seyyed Hossein
Nasr, ilmuwan Islam modern hendaklah mengimbangi dua
pandangan tanzîh dan tasybîh untuk mencapai tujuan integrasi
keilmuan ke-Islaman.
7) Model Integrasi Keilmuan Berbasis Tasawuf
Pemikir yang terkenal sebagai penggagas integrasi keilmuan
Islam yang dianggap bertitik tolak dari tasawwuf ialah Syed
62
Syed Muhammad al-Naquib al-Attas adalah pendiri Internastional Institut
of Islamic Thought Civilization (ISTAC) di Malaysia.
63
Syed M. Naquib al-Attas, Islam and Scularism, Angkatan Muda Belia
Islam Malaysia, ABIM, Kuala Lumpur, 1978, hal. 43-44
64
Syed M. Naquib al-Attas, The Concept of Education in Islam, Muslim
Youth Movement of Malaysia, Kualalumpur, 1980, hal. 155-156.
65
Syed M. Naquib al-Attas, Islam and Scularism, op.cit, hal. 127
66
Ibid, hal. 42-43
67
Konsep pembagian ilmu ke dalam fardl 'ain dan fardl kifayah bermula dari
pandangan Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulum al-Din, Jilid I, hal. 17-20.
68
Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed
M. Naquib al-Attas, Mizan Bandung, Cetakan I 2003, hal. 336.
69
Ibid, hal. 337. Lihat juga, Syed M. Naquib al-Attas, Prolegomena to the
Metaphysics of Islam: An Exposition of the Fundamental Element of the Worldview
of Islam, ISTAC (International Institute of Islamic Thought and Civilization),
Kuala Lumpur, 1995, hal. 144.
70
Wan Mohd Nor Wan Daud, op.cit, 337.
71
Ibid.
72
Ibid, hal. 338
73
Syed M. Naquib al-Attas, Prolegomena to, op.cit, hal. 169
74
Wan Mohd Nor Wan Daud, op.cit, hal. 339
75
Seorang sarjana Palestina-Amerika yang masyhur sebagai ahli
Perbandingan Agama. Ia pernah mengajar di Al-Azhar, Islamic Studies McGill
University, juga sebagai profesor filsafat agama pada Temple Universiaty. Lihat,
http://en.wikipedia.org/wiki/Ismail_al-Faruqi.html
76
Wan Ramli bin Wan Daud dan Shaharir bin Mohamad Zain, op.cit, hal. 11.
77
I. Kalin, Three Views of Science in the Islamic World, University of
Istanbul, Turki, 2006, hal. 14
78
Lihat bukunya, Peran Paradigma dalam Revolusi Sains, CV Rosda Karya,
Bandung, 1988.
79
Kedua konsep ini merupakan sebagian dari sepuluh konsep yang
disepakati dalam sebuah seminar tentang "Pengetahuan dan Nilai" telah
dilaksanakan di bawah perlindungan International Federation of Institutes of
Advance Study (IFIAS) di Stockholm pada September 1981. Nasim Butt, op.cit,
hal. 33.
80
I. Kalin, op.cit, hal. 14
81
Ibrahim A. Ragab, Islamic Perspectives on Theory-Building In the Social
Sciences, http://www.ibrahimragab.com/ebooks-15
82
Muhammad Gill, What is Islamization of Knowledge?,
http://www.chowk.com/show_
article.cgi?aid=00004595&channel=university%20ave&start=0&end=9&chapt
er=1&page=1; January 2005
83
Ibid.
84
Ziauddin Sardar, Explorations in Islamic sciences, Mansell, London-New
York, 1989, hal. 95-97
85
Wan Ramli bin Wan Daud dan Shaharir bin Mohamad Zain, op.cit, hal. 14-
15.