Anda di halaman 1dari 13

i

MAKALAH TOKSIKOLOGI
EFEK TOKSIK PADA ACETAMINOPHEN
Makalah ini dibuat dan diajukan untuk memenuhi salah satu tugas kelompok mata kuliah
Toksikologi

Dosen Pengampu :

Setiyo Budi Santoso, M.Farm., Apt.

Disusun Oleh:

Kelompok 1

1. Amalia Ratna Puspitadewi (17.0605.0007)


2. Henryco Febtian Satria K (17.0605.0016)
3. Retno Hartuti Dyah A (17.0605.0018)
4. Nesya Jeihan Daniswara (17.0605.0020)
5. Yunita Safitri (17.0605.0024)
6. Feby Ika Nur Kurniawati (17.0605.0025)
7. Satya Adi Setiawan (17.0605.0041)
8. Nahdliyah Umma (17.0605.0045)

PROGRAM STUDI S1 FARMASI

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAGELANG

2019
ii

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas rahmat-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.

Makalah yang berjudul Efek Toksik Pada Acetaminophen penulis susun untuk
memenuhi salah satu tugas mata kuliah Toksikologi.

Dalam penulisan makalah ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada Bu Setiyo
Budi Santoso, M.Farm, Apt. sebagai Dosen mata kuliah Toksikologi yang senantiasa
memberikan petunjuk, arahan, dan motivasi selama mengikuti mata Toksikologi.

Magelang, 11 Januari 2019

Penulis
iii

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................................................ ii
DAFTAR ISI.......................................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ............................................................................................................................ 1
1.2. Rumusan Masalah ....................................................................................................................... 2
1.3. Tujuan Penulis ............................................................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................................................ 3
BAB III KESIMPULAN......................................................................................................................... 8
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................................. 9
iv
1

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Obat adalah suatu bahan atau campuran bahan yang di maksudkan untuk di gunakan
dalam menentukan diagnosis, mencegah, mengurangi, menghilangkan, menyembuhkan
penyakit atau gejala penyakit, luka atau kelainan badaniah atau rohaniah pada manusia
atau hewan termasuk memperelok tubuh atau bagian tubuh manusia (Anief, 1991).
Meskipun obat dapat menyembuhkan penyakit, tetapi masih banyak juga orang yang
menderita akibat keracunan obat. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa obat dapat
bersifat sebagai obat dan dapat juga bersifat sebagai racun. Obat itu akan bersifat sebagai
obat apabila tepat digunakan dalam pengobatan suatu penyakit dengan dosis dan waktu
yang tepat. Jadi, apabila obat salah digunakan dalam pengobatan atau dengan dosis yang
berlebih maka akan menimbulkan keracunan. Dan bila dosisnya kecil maka kita tidak
akan memperoleh penyembuhan (Anief, 1991).
Parasetamol merupakan obat analgesik-antipiretik dengan sedikit efek
antiinflamasi yang digunakan secara luas di kalangan masyarakat. Dalam dunia
kedokteran, parasetamol dosis analgesik dinilai efektif dalam menangani nyeri akut
paska operasi derajat ringan sampai sedang. (Graham GG et al. 2013). Parasetamol
(asetaminofen) merupakan obat analgetik non narkotik dengan cara kerja menghambat
sintesis prostaglandin terutama di Sistem Syaraf Pusat (SSP). Parasetamol digunakan
secara luas di berbagai negara baik dalam bentuk sediaan tunggal sebagai analgetik-
antipiretik maupun kombinasi dengan obat lain dalam sediaan obat flu, melalui resep
dokter atau yang dijual bebas. (Lusiana Darsono, 2002)
Di Indonesia cukup banyak laporan tentang kasus hepatotoksisitas, walaupun
jumlah kematian akibat toksisitas ini tidak begitu tinggi. Salah satu penyebab dari
toksisitas ini adalah pemakaian dalam jangka waktu yang lama atau overdosis dari suatu
obat seperti Parasetamol. Dilaporkan juga bahwa pemakaian parasetamol dengan dosis
yang tinggi atau penggunaan dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan
gangguan fungsi hati berupa nekrosis dan dapat juga terjadi nekrosis pada tubulus
ginjal. Melalui berbagai kasus keracunan yang terjadi akibat penggunaan obat
Parasetamol, maka di dalam makalah ini akan dijelaskan mengenai toksisitas
Parasetamol.
2

1.2.Rumusan Masalah
1. Apa bentuk klinis pada obat Acetaminophen?
2. Berapa dosis yang ditimbulkan pada penggunaan Acetaminophen sehingga
menimbulkan efek?
3. Bagaimana mekanisme munculnya efek setelah penggunaan Acetaminophen?
4. Obat antidotum apa yang dapat mengatasi keracunan terhadap penggunaan
Acetaminophen?
1.3.Tujuan Penulis
1. Mengetahui bentuk klinis pada obat Acetaminophen
2. Untuk mengetahui dosis yang ditimbulkan pada penggunaan Acetaminophen
sehingga menimbulkan efek.
3. Untuk mengetahui mekanisme munculnya efek setelah penggunaan
Acetaminophen.
4. Untuk mengetahui obat antidotum yang dapat mengatasi keracunan terhadap
penggunaan Acetaminophen.
3

BAB II
PEMBAHASAN

2.1.Bentuk Klinis Pada Obat Acetaminophen


1. Fase 1
Kehilangan nafsu makan, mual, muntah, perasaan tak menentu pada tubuh yang
tak nyaman (malaise) dan banyak mengeluarkan keringat. Saluran pencernaan dapat
mengaktifkan pusat muntah oleh stimulasi mekanoreseptor atau kemoreseptor
trigger zone (CTZ) pada glossopharyngeal atau aferen vagal (saraf kranial IX dan X)
atau dengan pelepasan serotonin dari sel-sel usus enterochromaffin, yang pada
gilirannya merangsang reseptor 5HT3 pada aferen vegal. Reseptor-reseptor ini
mengirim pesan kepusat muntah ketika di rangsang oleh zasetaminophen. Pusat
muntah mengkoordinasi impuls ke vagus, frenik, dan saraf spinal, pernafasan dan
otot- otot perut untuk melakukan refleks muntah.
2. Fase 2
Pembesaran liver (Hepatomegali), peningkatan bilirubin dan konsentrasi enzim
hepatik, waktu yang dibutuhkan untuk pembekuan darah menjadi bertambah lama
dan kadang-kadang terjadi penurunan volume urin. Kerusakan akan organ hati dapat
menganggu kemampuan tubuh manusia untuk memecah sel darah merah dari toksin
atau racun yang terkandung didalamnya. Bilirubin pada darah serta racun lain yang
ada pada darah pun tidak akan mampu dikeluarkan tubuh sehingga tetap mengendap
dan menetap dalam hati, sehingga hati mengalami kerusakan dan hati mengalami
penurunan kemampuan dalam memecah protein.
3. Fase 3 :
Berulangnya kejadian pada fase 1 (biasanya 3-5 hari setelah munculnya gejala
awal) serta terlihat gejala awal gagal hati seperti pasien tampak kuning karena
terjadinya penumpukan pigmen empedu di kulit, membran mukosa dan sklera
(jaundice), hipoglikemia, kelainan pembekuan darah, dan penyakit degeneratif pada
otak (encephalopathy). Pada fase ini juga mungkin terjadi gagal ginjal dan
berkembangnya penyakit yang terjadi pada jantung (cardiomyopathy).
4. Fase 4
Terjadi proses penyembuhan, tetapi jika kerusakan hati luas dan progresif dapat
terjadi sepsis, Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) dan kematian. (Lusiana
Darsono, 2002)
4

2.2.Dosis Yang Ditimbulkan Pada Penggunaan Acetaminophen Sehingga Menimbulkan


Efek.
1. Dosis Parasetamol
Paracetamol Tablet
a. Dewasa dan anak di atas 12 tahun : 1 tablet, 3 – 4 kali sehari.
b. Anak-anak 6 – 12 tahun : ½ – 1, tablet 3 – 4 kali sehari.
Paracetamol Sirup 125 mg/5 ml
a. Anak usia 0 – 1 tahun : ½ sendok takar (5 mL), 3 – 4 kali sehari.
b. Anak usia 1 – 2 tahun : 1 sendok takar (5 mL), 3 – 4 kali sehari.
c. Anak usia 2 – 6 tahun : 1 – 2 sendok takar (5 mL), 3 – 4 kali sehari.
d. Anak usia 6 – 9 tahun : 2 – 3 sendok takar (5 mL), 3 – 4 kali sehari.
e. Anak usia 9 – 12 tahun : 3 – 4 sendok takar (5 mL), 3 – 4 kali sehari.
2. Komposisi
a. Paracetamol Tablet Setiap tablet mengandung Parasetamol 500 mg.
b. Paracetamol Sirup 125 mg/5 ml Setiap 5 ml (1 sendok takar) mengandung
Parasetamol 125 mg.
c. Paracetamol Sirup 160 mg/5 ml Setiap 5 ml (1 sendok takar) mengandung
Parasetamol 160 mg.
d. Paracetamol Sirup Forte 250 mg/5 ml Setiap 5 ml (1 sendok takar) mengandung
Parasetamol 250 mg.
3. Dosis Toksik
Parasetamol dosis 140 mg/kg pada anak-anak dan 6 gram pada orang dewasa
berpotensi hepatotoksik. Dosis 4g pada anak-anak dan 15 g pada dewasa dapat
menyebabkan hepatotoksitas berat sehingga terjadi nekrosis sentrolobuler hati.
Sebagaimana juga obat-obat lain, bila penggunaan parasetamol tidak benar, maka
berisiko menyebabkan efek yang tidak diinginkan. Parasetamol dalam jumlah 10 –
15 g (20-30 tablet) dapat menyebabkan kerusakan serius pada hati dan ginjal.
Kerusakan fungsi hati juga bisa terjadi pada peminum alkohol kronik yang
mengkonsumsi parasetamol dengan dosis 2g/hari atau bahkan kurang dari itu. Pada
alkoholisme, penderita yang mengkonsumsi obat-obat yang menginduksi enzim hati,
kerusakan hati lebih berat, hepatotoksik meningkat karena produksi metabolit
meningkat.
5

2.3.Mekanisme munculnya efek setelah penggunaan Acetaminophen.


Parasetamol atau N-asetil-p-aminofenol adalah derivat dari para-amino fenol yang
memiliki khasiat dan digunakan secara luas dalam klinik sebagai analgesik-antipiretik
(Keeffe et al, 2004). Parasetamol sebagian besar (±80%) dimetabolisme di dalam hati,
terkonjugasi dengan asam glukuronat dan sulfat dan sebagian kecil dioksidasi oleh enzim
sitokrom P-450 di hati menjadi metabolit reaktif N-asetil-benzo-paraquinon-imina
(NABQI) atau sering disebut juga N-asetil-p-benzokuinon-imina (NAPBKI) (Wallace,
2004; Vandenberghe, 1996).
Parasetamol umumnya dikonversi oleh enzim sitokrom P450 di hati menjadi
metabolit reaktifnya, yang disebut N-acetyl-p-benzoquinoneimine (NABQI). Proses ini
disebut aktivasi metabolik, dan NABQI berperan sebagai radikal bebas yang memiliki
lama hidup yang sangat singkat. Meskipun metabolisme parasetamol melalui ginjal tidak
begitu berperan, jalur aktivasi metabolik ini terdapat pada ginjal dan penting secara
toksikologi. Dalam keadaan normal, NABQI akan didetoksikasi secara cepat oleh enzim
glutation dari hati. Glutation mengandung gugus sulfhidril yang akan mengikat secara
kovalen radikal bebas NABQI, menghasilkan konjugat sistein. Sebagiannya lagi akan
diasetilasi menjadi konjugat asam merkapturat, yang kemudian keduanya dapat
diekskresikan melalui urin.
Pemberian parasetamol dosis toksik menghasilkan metabolit reaktif yang melimpah.
Hal ini dipercaya sebagai senyawa yang menimbulkan kerusakan pada hati (Jaeschke et
al, 2002). Mekanisme toksisitasnya sampai saat ini masih cukup kontroversial. Secara
umum mekanismenya dapat dibagi menjadi dua yaitu melalui antaraksi kovalen dan
antaraksi nirkovalen. Antaraksi kovalen, terjadi karena pemberian Parasetamol dosis
toksik akan menguras kandungan Glutation/GSH-sitosol sehingga NAPBKI akan
berikatan secara kovalen dengan makromolekul protein sel hati, yang mengakibatkan
terjadinya kerusakan sel (Kedderis,1996; Tirmenstein & Nelson, 1990; Gillette, 1981).
GSH merupakan jalur detoksifikasi NABQI pada metabolime fase II yang efisien
untuk semua metabolit reaktif yang mengandung elektrofil. Pengurangan jumlah GSH
akibat berikatan secara kovalen dengan NABQI akan memicu proses patobiologi seperti
peroksidasi lemak dan siklus redoks. Hidroperoksida akan menyebabkan terjadinya stress
oksidatif langsung pada gugus sulfhidril dan menginisiasi terbentuknya radikal bebas.
Proses-proses tersebut akan memicu dimulainya mekanisme ketiga yaitu terjadinya
kematian sel menyebabkan sel rentan terkena efek toksik dari metabolit reaktif
6

(Kedderis,1996). Nitrit oksida juga memegang peranan penting pada terjadinya


kerusakan sel hati (James et al, 2003).
Sedangkan antaraksi nirkovalen melibatkan pembentukan radikal bebas N-asetil-p-
semikuinonimina (NAPSKI) pembangkitan oksigen reaktif, anion superoksida serta
gangguan homeostasis Ca yang semuanya akan menyebabkan terjadinya kerusakan sel
hati (Kedderis,1996; Chan et al., 2001). Proses kerusakan sel hati diawali oleh kerusakan
DNA yang kemudian berlanjut menjadi terjadinya hepato-sitotoksisitas (Oshida et al,
2008; Farkas & Tannenbaum, 2005).
Pada dosis terapi, N-asetil-p-benzoquinoneimine (NABQI) bersifat hepatotoksik,
dimana pada dosis berlebih (over dosis) produksi metabolit hepatotoksik meningkat
melebihi kemampuan glutation untuk mendetoksifikasi, sehingga metabolit tersebut
bereaksi dengan sel-sel hepar dan timbulah nekrosis sentro-lobuler. Oleh karena itu pada
penanggulangan keracunan Parasetamol terapi ditujukan untuk menstimulasi sintesa
glutation.
2.4.Obat antidotum yang dapat mengatasi keracunan terhadap penggunaan Acetaminophen.
Beberapa tindakan yang dapat dilakukan sebagai pertolongan pertama saat menemukan
korban yang dicurigai keracunan parasetamol adalah sebagai berikut:
1. Berikan arang aktif (norit) dengan dosis 100 gram dalam 200 ml air untuk orang
dewasa dan larutan 1 g/kg bb untuk anak-anak untuk mengikat obat yang tersisa di
saluran pencernaan.
2. Apabila keracunan parasetamol dalam hitungan menit dapat dicoba untuk
mengosongkan perut. Hal ini dapat dicapai dengan menginduksi muntah atau
dengan menempatkan sebuah tabung besar melalui mulut seseorang dan masuk ke
perut, memasukkan cairan kedalam perut kemudian memompa keluar (gastric
lavage).
3. Pemberian N-asetilsistein (NAC)
7

N-asetilsistein merupakan antidotum terpilih untuk keracunan parasetamol. N-


konjugasi sulfat pada parasetamol. Methionin per oral, juga bisa asetilsistein
bekerja mensubstitusi glutation, meningkatkan sintesis glutation dan
meningkatkan digunakan sebagai antidotum yang efektif, tetapi absorbsi lebih
lambat dibandingkan dengan Nasetilsistein.
Mekanisme Kerja NAC :
a) Glutathione (GSH) sendiri butuh sistein sebagai salah satu prekursornya.
Dengan pemberian NAC maka sistein dalam tubuh akan meningkat dan
demikian pula pembentukan Glutathione (GSH). Jika GSH ada banyak dan
jumlahnya mampu mengimbangi atau melebihi jumlah NAPQI maka tidak ada
lagi NAPQI bebas yang akan mengikat protein hati b) NAC punya atom S
dalam gugus tiolnya (S-H), sehingga NAC dapat menyumbangkan S nya ini
untuk digunakan dalam proses metabolisme parasetamol sulfatasi. Dengan
adanya sulfat dari NAC maka sulfatasi akan dapat berjalan lagi sehingga
metabolisme di CYP dan pembentukan NAPQI akan menurun c) NAC dapat
menggandeng NAPQI karena dia juga punya nukleofil, hal ini dapat mencegah
pembentukan ikatan NAPQI dengan protein hati.
b) Regimen dose pemberian NAC sebagai berikut: 1. diberikan loading dose 150
mg/kgBB selama 15-30 menit 2. maintenance dose 50 mg/kgBB dalam 500 cc
dextrose 5% selama 4 jam 3. 100 mg/kgBB dalam 1000 cc dextrose 5%
selama 6 jam
8

BAB III
KESIMPULAN

3.1.KESIMPULAN
Acetaminophen merupakan obat analgetik dan antipiretik yang biasa
digunakan, pada dosis tertentu Acetaminophen dapat menyebabkan efek toksik
atau keracunan pada pasien. Keracunan obat Acetaminophen dibagi menjadi 4
fase. Pemberian parasetamol dosis toksik menghasilkan metabolit reaktif yang
melimpah. Hal ini dipercaya sebagai senyawa yang menimbulkan kerusakan pada
hati. Parasetamol dosis 140 mg/kg pada anak-anak dan 6 gram pada orang dewasa
berpotensi hepatotoksik. Dosis 4g pada anak-anak dan 15 g pada dewasa dapat
menyebabkan hepatotoksitas berat sehingga terjadi nekrosis sentrolobuler hati.N-
asetilsistein merupakan antidotum terpilih untuk keracunan parasetamol. N-
konjugasi sulfat pada parasetamol. Methionin per oral, juga bisa asetilsistein
bekerja mensubstitusi glutation, meningkatkan sintesis glutation dan
meningkatkan digunakan sebagai antidotum yang efektif, tetapi absorbsi lebih
lambat dibandingkan dengan Nasetilsistein.
9

DAFTAR PUSTAKA

Anief, Moh. 1997. Ilmu Meracik Obat.Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Mortimore, Sara dan Carol Wallace. 2004. HACCP: Sekilas Pandang. EGC: Jakarta.

Graham GG, Davies MJ, Day RO, Mohamudally A, Scott KF. The modern
pharmacology of paracetamol: Therapeutic actions, mechanism of action,
metabolism, toxicity and recent pharmacological findings.
Inflammopharmacology. 2013;21(3):201- 232.

Gillete, J.R., 1981. An integrated approach to the study of chemically reactive metabolites of
acetaminophen. Arcf. Intern.Med. 141:375-9.

Hapsari, Intan Ayuningtyas dan Taufik Eko Nugroho. 2016. Pengaruh Pemberian Analgesik
Kombinasi Parasetamol Dan Tramadol Terhadap Kadar Ureum Serum Tikus
Wistar. JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO Volume 5, Nomor 4, Oktober
2016. Online : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/medicoISSN Online : 2540-
8844

Kedderis GL. Biochemical basis of hepatocellular injury. Toxicologic Pathology.

1996;24(1):77-83.

Lusiana, Darsono. 2002. Diagnosis dan Dosis Terapi Intoksikasi Salisilat dan Parasetamol.
Bandung: Universitas Kristen Maranatha

Tirmenstein MA, and Nelson SD. 1990, A cetaminophen-Induced Oxidation of Protein


Thiols: Contribution of Impaired Thiol-Metabolizing Enzymes and the Break
down of Adenin Nucleotides. J Biol Chem 265 (6): 3059 – 3065.

Vandenberghe, Ja., 1996, Hepatotoxixology : Structure, Function and Toxicological


Pathology, in Niesink, J. M. R., Vries, dej and Hollimger, A. M., Toxicology
Principles and Applications, 671-689, CRC Press inc., USA.

Anda mungkin juga menyukai