Anda di halaman 1dari 16

1.

Konsep Teori Penyakit


A. Anatomi Fisiologi
Lambung adalah perluasan organ berongga besar menyerupai kantung
dalam rongga peritoneum yang terletak diantara esofagus dan usus
halus. Dalam keadaan kosong, lambung menyerupai tabung bentuk J,
dan bila penuh, berbentuk seperti buah pir raksasa. Lambung terdiri
dari antrum kardia (yang menerima esofagus), fundus besar seperti
kubah, badan utama atau korpus dan pylorus (Price & Wilson, 2006)

Gambar 1. Anatomi Lambung

Gastroenteritis akut adalah suatu peradangan permukaan mukosa


lambung yang akut dengan kerusakan erosi pada bagian superficial (Mattaqin
& Kumala, 2011). Gastroenteristis akut yang ditandai dengan diare dan pada
beberapa kasus muntah-muntah yang berakibat kehilangan cairan elektrolit
yang menimbulkan dehidrasi dan gangguan keseimbangan elektrolit (Betz &
Linda, 2009). Gastroenteristis akut merupakan perwujudan infeksi
campylobacter yang paling lazim, biasanya disebabkan oleh C.jejuni , C.coli
dan C.laridis, masa inkubasi adalah 1-7 hari, diare terjadi dari cairan tinja
encer atau tinja berdarah dan mengandung lendir (Berhman, Kliegman, &
Arvin, 2000).

1
Gastroenteristis akut ialah diare yang terjadi secara mendadak pada bayi
dan anak yang sebelumnya sehat (Noerasid, Suratmaadja& Asnil1998,
dalam Sodikin, 2011).
Dari beberapa pengertian diatas jadi dapat disimpulkan bahwa
gastroenteristis akut adalah suatu peradangan pada mukosa lambung yang
ditandai dengan muntah-muntah yang berakibat dengan kehilangan elektrolit
yang menimbulkan dehidrasi yang disebabkan oleh infeksi bakteri dan
biasanya terjadi pada bayi atau anak.

B. Epidemiologi

Gastroenteritis akut merupakan salah satu penyakit yang sangat sering


ditemui. Penyakit ini lebih sering mengenai anak-anak. Anak-anak di Negara
berkembang lebih beresiko baik dari segi morbiditas maupun mortalitasnya.
Penyakit ini mengenai 3-5 miliar anak setiap tahun dan menyebabkan sekitar
1,5-2,5 juta kematian per tahun atau merupakan 12 % dari seluruh penyebab
kematian pada anak-anak pada usia di bawah 5 tahun (Chow et al., 2010).
Secara umum, Negara berkembang memiliki angka rawat inap yang
lebih tinggi dibandingkan dengan negara maju. Ini dimungkinkan
berdasarkan fakta bahwa anak-anak di negara maju memiliki status gizi dan
layanan kesehatan primer yang lebih baik (chow et al., 2010).
Di Indonesia pada tahun 2010 diare dan gastroenteritis oleh penyebab
infeksi tertentu masih menduduki peringkat pertama penyakit terbanyak pada
pasien rawat inap di Indonesia yaitu sebanyak 96.278 kasus dengan angka
kematian (Case Fatality Rate/CFR) sebesar 1,92% (kemenkes RI, 2012).

C. Etiologi
Hampir sekitar 70%-90% penyebab dari diare sudah dapat dipastikan.
Secara garis besar penyebab diare dikelompokkan menjadi penyebab
langsung atau faktor-faktor yang dapat mempermudah atau mempercepat
terjadinya diare. Penyebab diare akut dapat dibagi menjadi dua golongan,

2
diare sekresi (secretory diarrhoea) dan diare osmotis (osmotic diarrhea).
Diare sekresi dapat disebabkan oleh faktor-faktor antara lain (Sodikin, 2011) :
1. Infeksi virus, kuman-kuman pathogen, atau penyebab lainnya (seperti
keadaan gizi/gizi buruk, hygiene atau sanitasi yang buruk, kepadatan
penduduk, sosial budaya, dan sosial ekonomi).
2. Hiperperistaltik usus halus yang dapat disebabkan oleh bahan-bahan
kimia, makanan (seperti keracunan makanan, makanan yang pedas atau
terlalu asam), gangguan psikis (ketakutan, gugup), gangguan saraf, hawa
dingin atau alergi, dan sebagainya.
3. Defisiensi imun terutama SigA (Secretory Immunoglobulin A) yang
mengakibatkan berlipat gandanya bakteri atau flora usus dan jamur
(terutama Candida).
Diare osmotik (osmotic diarrhea) disebabkan oleh malabsorpsi makanan,
kekurangan kalori protein (KKP), bayi berat badan lahir rendah (BBLR),
dan bayi baru lahir.

D. Klasifikasi
Derajat dibagi dalam 3 klasifikasi :
1. Diare tanpa dehidrasi, bila terdapat 2 tanda di bawah ini atau lebih :
a. Keadaan Umum : baik
b. Mata : Normal
c. Rasa haus : Normal, minum biasa
d. Turgor kulit : kembali cepat
2. Diare dehidrasi Ringan/Sedang bila terdapat 2 tanda di bawah ini atau
lebih :
a. Keadaan Umum : Gelisah, rewel
b. Mata : Cekung
c. Rasa haus : Haus, ingin minum banyak
d. Turgor kulit : Kembali lambat
3. Diare dehidrasi berat, bila terdapat 2 tanda di bawah ini atau lebih:
a. Keadaan Umum : Lesu, lunglai, atau tidak sadar

3
b. Mata : Cekung
c. Rasa haus : Tidak bisa minum atau malas minum
d. Turgor kulit : Kembali sangat lambat (lebih dari 2 detik)
E. Patofisiologi
Secara patofisiologi, ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan
kerusakan mukosa lambung, meliputi : (1) kerusakan mukosa barrier, yang
menyebabkan difusi balik ion H+ meningkat; (2) perfusi mukosa lambung
yang terganggu; dan (3) jumlah asam lambung yang tinggi (Wehbi, 2009
dalam Muttaqin dan Kumala 2011). Faktor- faktor tersebut biasanya tidak
berdiri sendiri, contohnya, stress fisik akan menyebabkan perfusi mukosa
lambung terganggu sehingga timbuk daerah-daerah infark kecil; selain itu
sekresi asam lambung juga terpacu. Mucosal barrier pada pasien strees fisik
biasanya tidak terganggu (Muttaqin & Kumala, 2009).
Gastroenteristis Akut akibat infeksi H.pylori biasanya bersifat
asimtomatik. Bakteri yang masuk akan memproteksi dirinya dengan lapisan
mukus. Proteksi lapisan ini akan menutupi mukosa lambung dan melindungi
dari asam lambung. Penetrasi atau daya tembus bakteri ke lapisan mukosa yang
menyebabkan terjadinya kontak dengan sel-sel epithelial lambung dan
terjadi adhesi (pelengketan) sehingga menghasilkan respons peradangan
melalui pengaktifan enzim untuk mengaktifkan IL-8. Hal tersebut
menyebabkan fungsi barier lambung terganggu dan terjadilah gastroenteristis
akut (Muttaqin & Kumala, 2009).
Widagdo (2011) menjelaskan bahwa virus tersebar dengan cara fekal-
oral bersama makanan dan minuman, dari beberapa ditularkan secara airborne
yaitu norovirus, Virus penyebab diare secara selektif menginfeksi dan
merusak sel-sel di ujung jonjot yang rata disertai adanya sel radang
mononuclear pada lamina propania sedang pada mukosa lambung tidak
terdapat perubahan walaupun penyakit dikenal sebagai gastroenteristis.
Gambaran patologi tidak berkorelasi dengan gejala klinik, dan terlihat
perbaikan proses sebelum gejala klinik hilang. Kerusakan akibat virus
tersebut mengakibatkan adanya absorpsi air dan garam berkurang dan

4
terjadi perubahan keseimbangan rasio sekresi dan absorpsi dari cairan usus,
serta aktivitas disakaridase menjadi berkurang dan terjadilah malabsorpsi
karbohidrat terutama laktosa. Faktor penyebab gastroenteristis virus lebih
banyak mengenai bayi dibandingkan dengan anak besar adalah fungsi usus
berkurang, imunitas spesifik kurang, serta menurunnya mekanisme
pertahanan spesifik seperti asam lambung dan mukus.

F. Manifestasi Klinis
Ditandai dengan meningkatnya kandungan cairan dalam feses , pasien
terlihat sangat lemas, kesadaran menurun, kram perut, demam, muntah,
gemuruh usus (borborigimus), anoreksia, dan haus. Kontraksi spasmodik yang
nyeri dan peregangan yang tidak efektif pada anus, dapat terjadi setiap
defekasi. Perubahan tanda-tanda vital seperti nadi dan respirasi cepat, tekanan
darah turun, serta denyut jantung cepat. Pada kondisi lanjut akan didapatkan
tanda dan gejala dehidrasi, meliputi: Turgor kulit menurun <3 detik, pada anak-
anak ubun-ubun dan mata cekung membran mukosa kering dan di sertai
penurunan berat badan akut, keluar keringat dingin (Muttaqin, 2011).

G. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada anak dengan gatroenteristis akut menurut
IDAI (2011). Pemeriksaan laboratorium lengkap pada diare akut pada
umumnya tidak diperlukan, hanya pada keadaan tertentu mungkin diperlukan
misalnya penyebab dasarnya tidak diketahui atau ada sebab-sebab lain selain
diare akut atau pada penderita dengan dehidrasi berat. Pemeriksaan
laboratorium yang diperlukan pada diare akut :
a. Darah : darah lengkap, serum elektrolit, analisa gas darah, kultur dan
tes kepekaan terhadap antibiotika.
b. Urine : urine lengkap, kultur dan tes kepekaan terhadap antibiotika.
c. Tinja :
1) Pemeriksaan makroskopik : tinja perlu dilakukan pada semua
penderita diare meskipun pemeriksaan laboratorium tidak

5
dilakukan. Tinja yang watery dan tanpa mukus atau darah
biasanya disebabkan oleh enterotoksin virus, protozoa, atau
disebabkan oleh infeksi diluar saluran gastrointestinal. Tinja yang
mengandung darah atau mukus bisa disebabkan infeksi bakteri
yang menghasilkan sitotoksin, bakteri enteroinvasif yang
menyebabkan peradangan mukosa atau parasit usus.
2) Pemeriksaan mikroskopik : untuk mencari adanya leukosit dapat
memberikan informasi tentang penyebab diare, letak anatomis
serta adanya proses peradangan mukosa. Lekosit dalam tinja
diproduksi sebagai respon terhadap bakteri yang menyerang
mukosa kolon.

H. Penatalaksanaan
1. Penggantian Cairan dan Elektrolit
Aspek paling penting adalah menjaga hidrasi yang adekuat dan keseimbangan
elektrolit selama episode akut. Ini dilakukan dengan rehidrasi oral, yang harus
dilakukan pada semua pasien, kecuali jika tidak dapat minum atau diare hebat
membahayakan jiwa yang memerlukan hidrasi intavena. Idealnya, cairan
rehidrasi oral harus terdiri dari 3,5 gram natrium klorida, 2,5 gram natrium
bikarbonat, 1,5 gram kalium klorida, dan 20 gram glukosa per liter air. Cairan
seperti itu tersedia secara komersial dalam paket yang mudah disiapkan
dengan dicampur air. Jika sediaan secara komersial tidak ada, cairan rehidrasi
oral pengganti dapat dibuat dengan menambahkan ½ sendok the garam, ½
sendok teh baking soda, dan 2-4 sendok makan gula per liter air. Dua pisang
atau 1 cangkir jus jeruk diberikan untuk mengganti kalium. Pasien harus
minum cairan tersebut sebanyak mungkin sejak merasa haus pertama kalinya.
Jika terapi intravena diperlukan, dapat diberikan cairan normotonik, seperti
cairan salin normal atau ringer laktat, suplemen kalium diberikan sesuai
panduan kimia darah.
Status hidrasi harus dipantau dengan baik dengan memperhatikan tanda-
tanda vital, pernapasan, dan urin, serta penyesuaian infus jika diperlukan.

6
Pemberian harus diubah ke cairan rehidrasi oral sesegera mungkin. Jumlah
cairan yang hendak diberikan sesuai dengan jumlah cairan yang keluar.
Kehilangan cairan dari badan dapat dihitung dengan memakai rumus:

2. Antibiotik
Pemberian antibotik secara empiris jarang diindikasikan pada diare akut
infeksi, karena 40% kasus diare infeksi sembuh kurang dari 3 hari tanpa
pemberian antibiotik. 2 Antibiotik diindikasikan pada pasien dengan gejala
dan tanda diare infeksi, seperti demam, feses berdarah, leukosit pada feses,
mengurangi ekskresi dan kontaminasi lingkungan, persisten atau
penyelamatan jiwa pada diare infeksi, diare pada pelancong, dan pasien
immunocompromised.
3. OBAT ANTI-DIARE Kelompok Anti-sekresi Selektif
Terobosan terbaru milenium ini adalah mulai tersedianya secara luas
racecadotril yang bermanfaat sebagai penghambat enzim enkephalinase,
sehingga enkephalin dapat bekerja normal kembali. Perbaikan fungsi akan
menormalkan sekresi elektrolit, sehingga keseimbangan cairan dapat
dikembalikan.
Hidrasec sebagai generasi pertama jenis obat baru anti-diare dapat pula
digunakan dan lebih aman pada anak.
a. Kelompok Opiat
Dalam kelompok ini tergolong kodein fosfat, loperamid HCl, serta kombinasi
difenoksilat dan atropin sulfat. Penggunaan kodein adalah 15-60 mg 3x

7
sehari, loperamid 2-4 mg/3-4 kali sehari. Efek kelompok obat tersebut
meliputi penghambatan propulsi, peningkatan absorbsi cairan, sehingga dapat
memperbaiki konsistensi feses dan mengurangi frekuensi diare. Bila
diberikan dengan benar cukup aman dan dapat mengurangi frekuensi defekasi
sampai 80%. Obat ini tidak dianjurkan pada diare akut dengan gejala demam
dan sindrom disentri.
b. Kelompok Absorbent
Arang aktif, attapulgit aktif, bismut subsalisilat, pektin, kaolin, atau smektit
diberikan atas dasar argumentasi bahwa zat ini dapat menyerap bahan
infeksius atau toksin. Melalui efek tersebut, sel mukosa usus terhindar kontak
langsung dengan zat-zat yang dapat merangsang sekresi elektrolit.
c. Zat Hidroflik
Ekstrak tumbuh-tumbuhan yang berasal dari Plantago oveta, Psyllium,
Karaya (Strerculia), Ispraghulla, Coptidis, dan Catechu dapat membentuk
koloid dengan cairan dalam lumen usus dan akan mengurangi frekuensi dan
konsistensi feses, tetapi tidak dapat mengurangi kehilangan cairan dan
elektrolit. Pemakaiannya adalah 5-10 mL/2 kali sehari dilarutkan dalam air
atau diberikan dalam bentuk kapsul atau tablet.
d. Probiotik
Kelompok probiotik terdiri dari Lactobacillus dan Bif dobacteria atau
Saccharomyces boulardii, bila meningkat jumlahnya di saluran cerna akan
memiliki efek positif karena berkompetisi untuk nutrisi dan reseptor saluran
cerna. Untuk mengurangi/menghilangkan diare harus diberikan dalam jumlah
adekuat
(Farthing, 2013)

8
2. Clinical Pathway

9
3.Proses Keperawatan Berdasarkan Tinjauan Teori
Pengkajian
Kesadaran : composmentis, pada dehidrasi berat dapat terjadi
apatis, somnolen, kadang sopokomateus.
Keadaan umum : lemah
Vital sign :
a. Tekanan Darah menurun (misal 90/40 mmHg)
b. Nadi sepat sekali (tachikardi )
c. Suhu terjadi peningkatan karena dehidrasi dan dapat juga karena
adanya infeksi dalam usus
d. Respirasi cepat jika terjadi dehidrasi akut dam berat karena adanya
kompensasi asam basa.
e. Pemerisaan Fisik
1) Kepala dan Muka
Kepala : inspeksi ada tidaknya ubun – ubun yang besar dan
agak cekung
Rambut : terjadi rontok atau merah karena malnutrisi
Mata : mata pada umumnya agak cekung
Mulut : mukosa kering, bibir pecah – pecah , lidah kering,
bibir sianosis.
Pipi : pada tulang pipi biasanya menonjol
Wajah : tampak lebih pucat
2) Leher
Umumnya tidak terjadi pembesaran kelenjar tiroid
3) Jantung
Menimbulkan aritmia jantung
4) Abdomen
Inspeksi : inspeksi umumnya kadang simetris, cembung
terlihat pembesaran pada perut kanan bawah.
Perkusi : tympani ( kembung).

10
Palpasi : umumnya ada nyeri tekan bagian perut bawah
yaitu bagian usus dan dapat terjadi kejang perut.
Auskultasi : bising usus >30x / menit
f. Anus
Anus terjadi iritasi, kemerahan pada daerah sekitarnya
g. Kulit
Kekenyalan kulit sedikit kurang dan elastisitas kembali setelah 1-2
detik.

Diagnosa dan Intervensi Keperawatan

Diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien gatroenteritis


menurut Carpenito (2009), antara lain:
1. Kekurangan volume cairan dan elektrolit berhubungan dengan
output cairan yang berlebihan. Menurut Carpenito (2009),
memiliki tujuan dan kriteria hasil sebagai berikut :
Tujuan : Kebutuhan volume cairan terpenuhi.
Kriteria hasil : Tanda-tanda dehidrasi tidak ada, mukosa mulut dan
bibir lembab, balance cairan seimbang, turgor kulit elastis.
Intervensi dan rasional :
a. Oberservasi tanda vital
Rasional : Vital sign dapat dipengaruhi cairan.
b. Observasi tanda-tanda dehidrasi.
Rasional : Untuk mengetahui tingkat dehidrasi.
c. Ukur balance cairan
Rasional : Balance cairan seimbang, dehidrasi teratasi.
d. Berikan dan anjurkan keluarga untuk memberikan banyak minum
air putih (2.000–2.500 cc/hari).
Rasional : Minum banyak dapat mengurangi dehidrasi.
e. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi cairan,
pemeriksaan Lab. Elektrolit.

11
Rasional: Terapi cairan disesuaikan dengan dehidrasi.
2. Penurunan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan mual dan muntah. Menurut Carpenito (2009), dengan
tujuan dan kriteria hasil sebagai berikut:
Tujuan : Kebutuhan nutrisi terpenuhi.
Kriteria hasil :
a. Intake nutrisi meningkat.
b. Diet habis 1 porsi yang disediakan..
c. Mual muntah tidak ada.
d. Berat badan naik
Intervensi dan rasional :
a. Kaji pola nutrisi dan perubahan yang terjadi.
Rasional : Untuk mengetahui perkembangan status nutrisi
klien.
b. Timbang BB klien.
Rasional : Untuk mengetahui kebutuhan nutrisi pasien.
c. Kaji faktor penyebab gangguan pemenuhan nutrisi.
Rasional : Bila penyebab diketahui, maka solusi untuk
pemenuhan nutrisi dapat segera teratasi.
d. Beri diet dalam kondisi hangat, porsi kecil tapi sering.
Rasional : Untuk memenuhi kebutuhan nutrisi.
e. Kolaborasi dengan tim gizi.
Rasional : Untuk memenuhi nutrisi sesuai dengan diit.
3. Ketidaknyamanan berhubungan dengan kram/nyeri abdomen.
Menurut Carpenito (2009), yaitu: ketidaknyamanan berhubungan
dengan kram/nyeri abdomen.
Tujuan : Nyeri dapat teratasi.
Kriteria hasil: Nyeri berkurang, ekspresi wajah tenang, TTV
normal.
Intervensi dan rasional :
a. Observasi tanda-tanda vital.

12
Rasional : TTV normal, nyeri berkurang.
b. Kaji tingkat rasa nyeri.
Rasional : Mengetahui tingkat nyeri.
c. Atur posisi nyaman.
Rasional : Memberikan kenyamanan bagi klien.
d. Beri kompres hangat pada abdomen\
Rasional : Mengurangi nyeri.
e. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian analgetik
Rasional : Mengurangi nyeri.
4. Kurang pengetahuan tentang kondisi prognosis dan kebutuhan
pengobatan berhubungan dengan kurang informasi. Menurut
Carpenito (2009), memiliki tujuan dan kriteria hasil sebagai berikut
:
Tujuan : Pengetahuan klien dan keluarga meningkat.
Kriteria hasil : Keluarga dan klien mengerti tentang proses
penyakit dan penatalaksanaannya.
Intervensi dan Rasional :
a. Kaji tingkat pengetahuan keluarga dan klien.
Rasional : Mengetahui seberapa jauh pemahaman klien dan
keluarga tentang penyakit.
b. Beri pengetahuan tentang penyakit.
Rasional : Memberikan pemahaman tentang penyakit lebih
detil.
c. Libatkan keluarga dalam melakukan tindakan pada klien.
Rasional : Membantu klien dalam kesembuhan.
5. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan seringnya
BAB memiliki tujuan dan kriteria hasil sebagai berikut:
Tujuan : Kerusakan integritas kulit teratasi.
Kriteria hasi : Kulit utuh dan tidak ada lecet pada area anus.
Intervensi dan rasional:
a. Kaji kerusakan kulit atau iritasi setiap BAB.

13
Rasional : Untuk mengetahui tanda-tanda iritasi pada kulit
misal, kemerahan pada luka.
b. Ajarkan selalu cuci tangan sebelum dan sesudah mengganti
pakaian
Rasional : Untuk mempertahankan teknik aseptic atau
antiseptik.
c. Hindari pakaian dan pengalas tempat tidur yang lembab.
Rasional : Untuk menghindari pada daerah anus terdapat
kuman, bakteri, karena bakteri suka daerah yang lembab.
d. Observasi keadaan kulit.
Rasional : Pada daerah ini meningkat resikonya untuk
kerusakan dan memerlukan pengobatan lebih intensif.
e. Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian obat.
Rasional : Untuk membantu memulihkan kondisi badan.

14
DAFTAR PUSTAKA
Betz Cecily L, Sowden Linda A. 2009. Buku Saku Keperawatan
Pediatik, Jakarta, EGC

Berhman, Kliegman, & Arvin. (2000). Ilmu kesehatan anak nelson (15 th ed).
Jakarta : EGC.

Carpenitto, L,.J. (2000). Rencana asuhan keperawatan & dokumentasi


keperawtan. Jakarta : EGC.

Chow,C.M, Leung, A.K.C., Hon, K.L., 2010. Acute gastroenteritis: from


guidelines to real life. Clinical and experiment gastroenterology, 3,97

Depkes RI. (2012). Ctps yang berdampak luar biasa. Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia.

Farthing M, Salam MA, Lindberg G, Dite P, Khalif I, Salazar-Lindo E, et al.


Acute diarrhea in adults and children: A global perspective. World
Gastroenterology Organisation Global Guidelines.
J Clin Gastroenterol. 2013; 47(1): 12-20

Heather T. dan Kamitsuru S. 2015. Diagnosa Keperawatan: Definisi dan


Klasifikasi 2015-2017 edisi 10. Penerbit Buku Kedokteran: EGC

Huda, A dan Kusuma H. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan


Diagnosa Medis dan NANDA (Jilid 1). MedicAtion: Jogjakarta
IDAI. (2011). Buku ajar nutrisi pediatric dan penyakit metabolik. Jakarta : Badan
Penerbit IDAI.
Muttaqin, A.,& Kumala, S. (2011). Gangguan gastrointestinal aplikasi asuhan
keperawtan medical bedah. Jakarta : Salemba Medika
Price, S. A. dan Wilson, L. M. (2006). Patofisiologi : Konsep Klinis ProsesProses
Penyakit, Edisi 6, Volume 1. Jakarta: EGC.
Sodikin. (2011). Asuhan keperawatan anak : Gangguan sistem gastrointestinal
dan hepatobilier. Jakarta : Salemba Medika.

15
Widagdo. (2011). Masalah dan tatalaksana penyakit infeksi pada anak. Jakarta :
CV. Sagung Seto.

16

Anda mungkin juga menyukai