Anda di halaman 1dari 5

LAPORAN PORTOFOLIO

DI RUANG IGD RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO

PURWOKERTO

Oleh

SYIENTHIA RAHMATIKA

I4B018027

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN

PENDIDIKAN PROFESI NERS

PURWOKERTO

2018
Instalasi Gawat Darurat merupakan salah satu unit pelayanan di rumah sakit yang memberikan
pertolongan pertama dan sebagai jalan pertama masuknya pasien dengan kondisi gawat darurat.
Keadaan gawat darurat adalah suatu keadaan klinis dimana pasien membutuhkan pertolongan medis
yang cepat untuk menyelamatkan nyawa dan kecacatan lebih lanjut (DepKes RI, 2009). Keanekaragaman
pasien di IGD yang datang dari berbagai latar belakang dari sisi sosial ekonomi, kultur, pendidikan dan
pengalaman membuat persepsi pasien atau masyarakat berbeda-beda. Pasien merasa puas dengan
pelayanan perawat di IGD apabila harapan pasien terpenuhi, seperti pelayanan yang cepat, tanggap,
sopan, ramah, pelayanan yang optimal dan interaksi yang baik. Namun pasien atau masyarakat sering
menilai kinerja perawat kurang mandiri dan kurang cepat dalam penanganan pasien di IGD. Penilaian itu
karena beberapa hal, salah satunya diantaranya adalah ketidaktahuan pasien dan keluarga tentang
prosedur penatalaksanaan pasien oleh perawat di ruang IGD (Igede, 2012).

Banyaknya pasien yang datang di IGD membuat perawat harus memilah pasien dengan cepat dan tepat
sesuai prioritas bukan berdasarkan nomor antrian. Tindakan perawat dalam melakukan perawatan
pasien harus bertindak cepat dan memilah pasien sesusai prioritas, sehingga mengutamakan pasien
yang lebih diprioritaskan dan memberikan waktu tunggu untuk pasien dengan kebutuhan perawatan
yang kurang mendesak (Igede ,2012). Triase adalah pengelompokan pasien berdasarkan berat cideranya
yang harus di prioritaskan ada tidaknya gangguan airway, breathing, dan circulation sesuai dengan
sarana, sumberdaya manusia dan apa yang terjadi pada pasien (Siswo, 2015). Sistem triase yang sering di
gunakan dan mudah dalam mengaplikasikanya adalah mengunakan START (Simple triage and rapid
treatment) yang pemilahanya menggunakan warna . Warna merah menunjukan prioritas tertinggi yaitu
korban yang terancam jiwa jika tidak segera mendapatkan pertolongan pertama. Warna kuning
menunjukan prioritas tinggi yaitu koban moderete dan emergent. Warna hijau yaitu korban gawat tetapi
tidak darurat meskipun kondisi dalam keaadaan gawat ia tidak memerlukan tindakan segera. Terakhir
adalah warna hitam adalah korban ada tanda-tanda meninggal (Ramsi, IF. dkk ,2014)

Rumah Sakit Dr. Moewardi merupakan rumah sakit rujukan daerah milik pemerintah daerah provinsi
Jawa Tengah yang salah satu misinya adalah menyelenggarakan kesehatan yang bermutu, prima dan
memuaskan. Di IGD RSUD Dr. Moewardi terdapat beberapa jenis pelayanan pasien yang pertama ruang
periksa meliputi penanganan triase, pemeriksaan, observasi dan tindakan. Kedua ruang operasi meliputi
ruang bedah minor. Ketiga ruang HCU dan yang terakhir ruang obsgyn.

Praktek klinik stase gadar kritis selama 2 minggu di ruang IGD sebagai gambaran tindakan
keperawatan gawat darurat sangat berkesan. Ruang IGD yang merupakan pusat penanganan
kegawatdaruratan saat pasien awal masuk rumah sakit memiliki karakteristik yang khsus. IGD
selain sebagai penatalaksanaan pasien dalam keadaan gawat darurat, juga merupakan transit
masuk pasien baik gawat darurat maupun non-gawat darurat yang masuk diluar jam poliklinik.
Pasien di IGD akan diperiksa kembali secara komprehensif agar ditemukan masalah yang
muncul sebelum dipindahkan ke ruangan.

RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo yang merupakan rumah sakit tipe B, merupakan rumah sakit
rujukan untuk area Puskesmas, Rumah Bersalin, dan beberapa rumah sakit swasta disekitar Jawa
Tengah, menjadikan pasien yang datang berobat sangat banyak dan komplek. Hal tersebut
mengharuskan ruangan IGD menjadi ruangan yang mampu memberikan pertolongan pertama
baik pada pasien gawat darurat, non-gawat darurat dan pasien rujukan. Tugas utama tersebut
menjadikan ruangan IGD memiliki ciri khas dari ruangan lainnya pada budaya kerja dan
kompetensi petugasnya.

Budaya kerja di instalasi IGD sangat memegang kuat adanya kerjasama yang solid.
Kerjasama yang muncul bukan hanya pada satu jenis profesi, namun multi profesi. Kerjasama
multiprofesi tersebut sangat tampak terutama jika dalam menangani pasien gawat darurat di
ruang IGD. Tiap profesi menjalankan perannya baik dokter maupun perawat. Kerjasama tersebut
juga tampak pada pemberian usulan terhadap kondisi pasien ketika pasien datang. Perawat
mampu mengadvokasi secara langsung tentang pemeriksaan dan diagnosa medis yang mungkin
terjadi pada pasien serta tindakan yang harus dilakukan.

Budaya kerjasama lain yang timbul yaitu adanya pengertian tanpa tersurat jika terdapat
petugas yang kelelahan atau ingin berisitirahat. Jika terdapat satu petugas yang kelelahan, maka
petugas lainnya akan menggantikan bagitupun sebaliknya. Adanya jiwa saling menghargai dan
profesionalisme yang tinggi pada pekerjaan dan rekan kerja yang dapat membawa budaya
kersama yang baik ini.

Karakteristik lain yang ada pada ruangan IGD yaitu tentang kompetensi para petugasnya.
Sebagai transit utama sebelum pasien dipindahkan pada unit-unit khusus di rumah sakit, IGD
menjadi ruangan dengan semua jenis kasus. Kompleksnya jenis kasus tersebut membuat tindakan
yang dilakukan di IGD sangatlah kompleks bahkan hampir ada untuk setiap unit ruangan. Hal
tersebut membuat para petugasnya sangat kompeten untuk melakukan berbagai macam tindakan.

Kedua budaya kerja tersebut membuat penulis merasakan pengalaman yang luar biasa
saat praktek di ruangan IGD. Penulis merasakan kedua budaya kerja, baik kerjasama maupun
kompetensi keperawatan penulis sangat terasah. Budaya kerjasama yang ada menjadikan penulis
jarang didiskriminasi walaupun berstatus sebagai karyawan rumah sakit sekaligus mahasiswa
praktekan. Dokter, maupun perawat di IGD selalu memberi kerjasama dengan baik. Kesempatan
penulis dalam memberikan tindakan pada pasien dalam praktek selalu diberikan 3 pilihan:
observasi, dibantu atau mandiri. Petugas IGD terlihat sangat membimbing dan menunjukkan
teknik tindakan yang benar. Petugas tidak segan membantu jika penulis mungkin kelelahan
karena banyaknya pasien.
Budaya kompetensi pada diri penulis sangat terlatih di IGD ini. Penulis mengibaratkan
belum dapat dikatakan menguasai tindakan jika belum melewati stase gadar kritis. Hal tersebut
terlihat ketika penulis harus memberikan tindakan kompleks dengan kasus semua ruangan,
bahkan penulis pernah menangani pasien dengan kondisi gawat darurat, melakukan tindakan
resusitasi cairan dan RJP.

Tindakan utama seperti managemen primary survey (ABCDEFGHI) dan secondary


survey (SAMPLE) di IGD menjadikan penulis mulai mendapatkan harmony selama 2 minggu di
IGD. Sudah adanya tersebut menjadikan penulis cukup mampu memberikan management
primary survey dan secondary survey secara independen pada pasien-pasien IGD tanpa penyulit.
Tindakan management airway, breathing, circulation, sampai imaging yang ada di IGD
menjadikan penulis cukup terbiasa dengan management primary survey tanpa adanya penyulit.
Maka, setelah menjalani praktek di ruang IGD RS Goeteng, terdapat 2 hal budaya kerja yang
membekas pada diri penulis, yaitu kerjasama dan kompetensi tindakan.

Penulis yang mendapatkan dua budaya kerja yang baik di IGD juga mendapat dukungan
dari preseptor klinik. Preseptor klinik dalam beberapa kesempatan ketika memiliki jadwal shift
yang sama dengan penulis juga memberikan observasi dan arahan bagi penulis. Observasi yang
dimunculkan dengan sesekali mengamati penulis saat di klinik. Preseptor juga memberikan
arahan pada penulis berkaitan dengan kinerja klinik penulis.

Preseptor selalu berpesan agar penulis selalu mau belajar dan memanfaatkan waktu
profesi ners sebaik-baiknya. Berkaitan dengan budaya kerja di IGD preseptor cukup
mengapresiasi penyesuaian diri penulis dan tim. Preseptor menilai bahwa penulis dan rekan tim
cukup cepat beradaptasi dengan ruangan IGD. Preseptor mengatakan, hal tersebut dapat beliau
nilai dari indikator kerjasama dan kompetensi tindakan dari aktivitas penulis saat praktek klinik.

Kerjasama dan kompetensi tindakan harus dapat dimiliki oleh setiap perawat. Kerjasama
yang baik akan meningkatkan hasil kerja dan pelayanan kepada masyarakat. Kompetensi
tindakan juga penting terkait kualitas pelayanan yang diberikan untuk masyarakat. Penulis sangat
terkesan dengan praktek profesi di IGD, sekalipun penulis merupakan karyawan rumah sakit
Goeteng, namun pengalaman di IGD selama 2 minggu sangatlah bermakna untuk menambah
wawasan, pengetahuan, ketrampilan, dan bagaimana cara untuk bereaksi cepat, tanggap, dan
tepat, dalam berbagai kasus yang sangat komplek, yang belum pernah penulis alami selama
menjadi karyawan rumah sakit.

Dari berbagai kasus yang ditemui, penulis mendapatkan bermacam-macam pengalaman


melakukan tindakan keperawatan mandiri maupun kolaborasi di IGD sesuai dengan kasus,
diantaranya, mengukur tanda-tanda vital, mengambil sampel darah, memasang IV kateter,
memasang kateter urine, melakukan perekaman EKG, melakukan pemeriksaan gula darah,
memberikan injeksi obat, memasang Oro Pharyngeal Airway, melakukan suction bersihan jalan
nafas, memberikan nebulizer, melakukan ekstraksi corpus alineum kail ikan, melakukan hecting
simpul, hecting bibir/intra oral, melakukan hecting kosmetik subcuticular palpebra inferior,
memasang NGT, pemberian obat injeksi dan nutrisi via infuse pump, reposisi fraktur,
pemasangan bidai, merawat luka, dan melakukan RJP.

Dari sekian banyak tindakan keperawatan mandiri maupun kolaborasi yang penulis
lakukan, ada beberapa tindakan yang mengesankan diantaranya saat melakukan ekstraksi corpal
kail ikan anak kecil, pada saat datang, anak menangis kesakitan dan ketakutan, begitu korpal
diambil, anak tersenyum kegirangan. Kemudian pada saat melakukan nebulizer, waktu itu
seorang pasien datang ke IGD sendiri baru pulang dari Jakarta naik Bus, dalam perjalanan
pulang, pasien tiba-tiba sesak nafas karena mempunyai riwayat penyakit asma, sesaat kemudian
dokter IGD memberikan advis untuk dilakukan nebulizer, setelah tindakan nebulizer selesai,
pasien tidak mau dirawat inap karena merasa sudah sembuh, lalu kemudian pasien minta pulang.

Penulis merasa senang karena banyak mendapatkan berbagai pengalaman selama


menjalani praktek profesi di IGD. Para petugas IGD yang sudah sangat terampil dan terlatih juga
banyak membantu kelancaran penulis selama praktek. Oleh karena itu, penulis berkesimpulan
bahwa kerjasama dan kompetensi tindakan harus selalu diterapkan untuk meningkatkan
profesionalisme keperawatan, terutama jika banyak pasien dengan berbagai macam
permasalahan dan kebutuhan pasien yang sangat kompleks.

Anda mungkin juga menyukai