Anda di halaman 1dari 37

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Berdasarkan data statistik kendaraan bermotor dari tahun 1998-2016 (Tabel

I.1), diketahui bahwa terjadi kenaikan penggunaan jumlah kendaraan bermotor. Hal

tersebut mengindikasikan bahwa jumlah penggunaan transportasi darat masih

menjadi primadona dimasyarakat. Tetapi jumlah penggunaan transportasi darat

tidak diimbangi dengan kalayakan jalan yang memadai.

Tabel 1.1. Jumlah pengguna kendaraan bermotor (Badan Pusat Statistik, 2016)
Tahun Mobil Penumpang Mobil Bis Mobil Barang Sepeda Motor Jumlah
1998 2769375 626680 1586721 12628991 17611767

1999 2897803 644667 1628531 13053148 18224149

2000 3038913 666280 1707134 13563017 18975344

2001 3189319 680550 1777293 15275073 20922235

2002 3403433 714222 1865398 17002130 22985183

2003 3792510 798079 2047022 19976376 26613987

2004 4231901 933251 2315781 23061021 30541954

2005 5076230 1110255 2875116 28531831 37623432

2006 6035291 1350047 3398956 32528758 43313052

2007 6877229 1736087 4234236 41955128 54802680

2008 7489852 2059187 4452343 47683681 61685063

2009 7910407 2160973 4498171 52767093 67336644

2010 8891041 2250109 4687789 61078188 76907127

2011 9548866 2254406 4958738 68839341 85601351

2012 10432259 2273821 5286061 76381183 94373324

1
2013 11484514 2286309 5615494 84732652 104118969

2014 12599038 2398846 6235136 92976240 114209260

2015 13480973 2420917 6611028 98881267 121394185

2016 14580666 2486898 7063433 105150082 129281079

Banyak diantara jalan darat penghubung baik dikota maupun didesa

mengalami kerusakan. Kerusakan ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor, seperti

kekuatan kontruksi jalan ataupun pengaruh alas penopang kontruksi jalan tersebut.

Pengaruh alas penopang dapat disebabkan oleh material/mineral penyusun batuan

yang digunakan sebagai alas penopang kontruksi jalan, seperti tanah ekspansif

dengan fonomena kembang susut yang sering terjadi dimineral lempung. Fenomena

ini diistilahkan sebagai “swelling-shrinkage” (Pardoyo et al., 2017). Berikut

beberapa kontruksi jalan yang mengalami kerusakan, diantaranya:

- Jalur pantai utara Jawa, terjadi di ruas Losari – Brebes – Tegal (Jawa Tengah),

Kaligawe – perbatasan Demak (Jawa Tengah), dan Babat Lamongan (Jawa

Timur).

- Jalur tengah Jawa, terjadi di ruas Gubug – Purwodadi, Purwodadi – Blora –

Bojonegoro.

- Jalur selatan Jawa, di ruas Majenang – Wangon dan Wangon – Buntu.

- Sumatera, di ruas Bakauheni – Ketapang (Lampung), Simpang Bujung Tenuk

– Simpang Pematang, di perbatasan Lampung – Sumatera Selatan.

- Jambi, di Kecamatan Mandingin – Kecamatan Pauh, batas Kabupaten

Batanghari dan Kabupaten Sarolangon.

2
- Sumatera Barat, terjadi dibatas Sumbar – Bengkulu dan Padang (250

kilometer), jalan lintas tengah dari Solok – batas Sumbar – Jambi, pertemuan

jalur lintas tengah dan barat dari Kota Bukittinggi hingga batas Sumbar-Sumut.

- Sumatera Utara, terjadi di Tarutung (Tanapuli Utara) – Sipirok (Tapanuli

Selatan). Di lintas tengah, Siborongborong (Tapalui Utara – Dolok Sanggul,

(Kabupaten, Humbang Hasundutan) (Tim Pemantauan dan Evaluasi Kinerja

Transportasi Nasional, 2009).

Kerusakan jalan tersebut dapat disebabkan oleh perilaku mineral lempung

ekspansif yang berada di bawah perkerasan jalan yang mempunyai sifat

mengembang dan menyusut yang besar. Sifat kembang – susut ini merupakan

faktor penyebab yang dominan terhadap kejadian kerusakan jalan karena dapat

mendorong perkerasan jalan ke arah vertikal dan dapat menarik secara lateral.

Masalah kembang – susut ini terjadi pada mineral lempung dengan perubahan kadar

air yang tinggi, sehingga fleksibilitas perkerasan tidak mampu mengikuti perubahan

sifat tanah / mineral lempung ekspansif, maka kerusakan pun tidak dapat dihindari.

Pengembangan dan penyusutan alas kontruksi yang terjadi dipengaruhi oleh

fluktuasi muka air tanah yang ekstrim selama musim kering dan basah.

Kerusakan jalan yang terjadi diruas jalan tersebut hampir terjadi tiap tahun,

dan rekonstruksi terus dilakukan tiap tahunnya. Karena frekuensi kerusakan jalan

yang intensif tiap tahun tersebut, maka swelling dari mineral lempung diindikasikan

sebagai salah satu penyebab kerusakan. Hingga saat ini, berbagai percobaan

dilakukan untuk mengatasi masalah ini tetapi masih belum ditemukan solusi yang

3
solutif untuk memecahkan masalah ini, dengan adanya karya referat ini, diharapkan

dapat membantu dalam menangai permasalahan tersebut.

I.2. Batasan Masalah

Penulisan karya referat ini memiliki batasan masalah, yaitu:

1. Mekanisme kerusakan jalan diakibatkan oleh proses kembang – susut

mineral lempung.

2. Jalan raya berada dipermukaan tanah, bukan jalan bawah tanah / jalan

terowongan.

I.3. Maksud dan Tujuan

Maksud dari pembuatan karya referat ini adalah untuk memberikan referensi

/ bahan studi mengenai aspek-aspek mineral lempung yang menyebabkan

kerusakan kontruksi jalan raya. Sehingga didapatkan solusi atas permasalahan

dalam kontruksi jalan raya.

Tujuan dari penyusunan karya referat ini adalah untuk mempelajari dampak

yang diperoleh dari proses swelling mineral lempung terhadap kontruksi jalan raya

sehingga kerusakan jalan dapat diminimalkan.

I.4. Metode Penyusunan

Metode penyusunan karya referat ini menggunakan metode pengumpulan

data-data dari buku, paper, ataupun laporan penelitian yang berhubungan dengan

objek penelitian. Kemudian data tersebut diringkas dan disederhanakan sesuai

dengan prosedur penulisan karya raferat ini secara sistematis dan tema dari karya

referat ini.

4
BAB II

KARAKTERISTIK MINERAL LEMPUNG

II.1. Pengertian Mineral Lempung

Lempung (clays) merupakan material yang terbentuk secara alami dan

tersusun oleh mineral yang berukuran fine-grained, jika berada pada kondisi dengan

kandungan air yang cukup akan bersifat plastis, dan akan mengeras jika dikeringkan

atau dipanaskan. Lempung biasanya mengandung material filosilikat

(phyllosilicates) dan material lain yang memberi sifat plastis dan keras ketika

dikeringkan/dipanaskan (Al-Ani dan Sarapaa, 2008).

Mineral lempung (clay minerals) adalah mineral filosilikat dan mineral lain

yang memberi baik sifat plastis ke lempung maupun sifat keras ketika dipanaskan

atau dikeringkan. Mineral lempung merupakan lapisan silikatt yang biasanya

terbentuk sebagai produk dari pelapukan kimia oleh mineral silikatt yang ada

dipermukaan bumi. Mineral ini banyak ditemukan di shale (tipe umum dari batuan

sedimen). Mineral lempung bersifat “chemical sponges” yaitu dapat menahan air

dan mengeluarkan banyak nutrisi terlapukan dari mineral lain. Mineral lempung

memiliki ion elektrik yang tidak stabil di permukaannya, dimana ion positif

menarik ion negatif dan sebaliknya ion negatif menarik ion positif. Mineral

lempung juga memiliki kemampuan untuk menarik molukel air. Karena fenomena

tersebut terjadi di permukaan mineral, makanya dinamakan “adsoption”. Istilah

tersebut berbeda dengan “absorption” karena penarikan ion dan air terjadi tidak

sampai ke dalam butiran lempung (Al-Ani dan Sarapaa, 2008).

5
II.2. Jenis-Jenis Mineral Lempung

Mineral lempung terbagi menjadi tiga grup utama (major groups) yang

sering ditemukan di soil, yaitu grup mineral kaolin, ilite, dan smektit.

II.2.1. Grup Kaolin

Mineral kaolin terbagi atas kaolinit, nakrit, dickit, dan halosit. Mineral ini

memiliki struktur layer 1:1, dimana tiap layer mengandung satu lembar silikat

tetrahedral dan satu lembar silikat oktahedral, dengan 2/3 bagian dari silikat

oktahedral ditempati oleh aluminium. Kaolinit, nakrit, dan dickit memiliki

komposisi kimia Al2Si2O5(OH)4 sedangkan halosit memiliki komposisi kimia

Al2Si2O5(OH)4.2H2O (Al-Ani dan Sarapaa, 2008).

Kaolinit adalah mineral dengan kelimpahan terbanyak dibanding mineral lain

digrup ini dan paling sering diperhatikan karena struktur, sifat, dan aplikasinya.

Kaolinit adalah anggota mineral terpenting digrup ini karena mineral ini paling

banyak ditemukan di tanah (soil). Kaolinit terbentuk dari dekomposisi ortoklas

feldspar seperti granit. Secara umum, kaolinit memiliki ukuran 0.5-2.0 mm dengan

spesifik permukaan sekitar 5m2/g, kapasitas pertukaran kation sebesar 10 meq/100

gr (Al-Ani dan Sarapaa, 2008).

II.2.2. Grup Ilit

Ilit adalah mika mineral lempung dengan struktur layer 2:1 dimana interlayer

kationnya mengandung potasium (Gambar 2.1). Ilit berasal dari well-crystall

muskovit yang terdiri dari substitusi/pergantian Al3+ dan Si4+ dalam lembar

tertrahedral. Di mineral muskovit, seper-empat bagiannya dari Si4+ digantikan oleh

6
Al3+, dimana ilit hanya tergantikan sebanyak seper-enam bagian. Untuk lembar

oktahedral, terdapat beberapa pergantian Al3+ oleh Mg2+ dan Fe2+. Ilit merupakan

komponen utama dalam mineral lempung yang terbentuk oleh pelapukan silikat,

misalnya feldspar, atau alterasi mineral lempung lain, dan selama degradasi

muskovit. Ilit umumnya berada dalam kondisi alkalin dengan konsentrasi Al dan K

tinggi (Al-Ani dan Sarapaa, 2008).

Gambar 2.1. Struktur mineral ilit/mika (USGS dalam Al-Ani dan Sarapaa, 2008)

II.2.3. Grup Smektit

Mineral mayor dari smektit adalah Na-montmorilonit, Ca-montmorilonit,

saponit (Mg-montmorilonit), nontronit (Fe-montmorilonit), hektonit (Li-

montmorilonit), dan beidelit (Al-montmorilonit). Mineral smektit tersusun oleh dua

lembar silikatt tetrahedral dan lembar oktahedral (Gambar 2.2). Molekul air dan

kation menempati ruang diantara struktur layer 2:1. Secara teori, smektit memiliki

formula (OH)4Si8Al4O20.NH2O (interlayer) dan komposisinya tanpa material

interlayer adalah SiO2 66,7%, Al2O3 28,3% dan H2O 5%. Tetapi, masih terdapat

substitusi yang harus diperhatikan dilembar oktahedral dan beberapa lembar

7
tetrahedral. Dilembar tetrahedral, terdapat pergantian aluminium dengan silikat

sebesar 15% dan dilembar oktahedral magnesium dan besi dengan aluminium. Jika

pada posisi oktahedral diisi oleh Al, mineral smektit yang terbentuk adalah beidelit.

Jika diisi oleh Mg maka terbentuk saponit dan jika diisi oleh Fe akan terbentuk

Nontronit. Mineral smektit yang sering ditemukan adalah Ca-montmorilonit

dimana pergantian layer seimbang oleh air dan kation Ca (Al-Ani dan Sarapaa,

2008).

Gambar 2.2. Struktur mineral montmorilonit (USGS dalam Al-Ani dan Sarapaa,
2008)

II.3. Pembentukan Mineral Lempung

Sumber terbesar dari mineral lempung adalah proses pelapukan, baik di

subaerial maupun subakuatik. Kemudian sedimentasi dan burial mengubah

tipe/series dari mineral lempung. Mineral lempung juga dapat diubah dari mineral

8
lempung ke lempung lain. Beberapa mineral lempung dibentuk oleh proses

hidrotermal yang berinteraksi dengan batuan-air bersuhu 100-250°C (Al-Ani dan

Sarapaa, 2008). Alterasi hidrotermal memberikan presentase yang besar dari

mineral lempung berkualitas tinggi yang biasa digunakan sebagai produksi industri.

Mineral lempung dapat terbentuk dari proses pelapukan, sedimentasi,

diagenesis/metamorfisme rendah, dan alterasi hidrotermal (Gambar 2.3). Proses

tersebut dapat dikatakan sebagai siklus mineral lempung. Di tiap bagian tersebut,

mineral lempung merespon terhadap komposisi kimia, dan suhu lingkungan, dan

sifatya.

Gambar 2.3. Waktu Geologi – suhu dan proses alterasi dari mineral lempung
(Reeves et al., 2006 dalam Al-Ani dan Sarapaa, 2008)
Zona pelapukan dari batuan dan mineral untuk proses perubahan ditentukan

oleh atmosfir, hidrosfir, dan biosfir. Pembentukan tanah juga dikenal sebagai

pedogenesis terjadi di zona pelapukan. Zona sedimentasi adalah zona dimana tanah,

batuan terlapukan dan mineral (biogenik) dierosi, dicampur dan dideposisi sebagai

9
sedimen oleh air, angin dan es. Diagenesis meliputi semua proses fisika dan kimia

yang terjadi antara sedimentasi dan metamorfisme. Sedangkan alterasi hidrotermal

mencakup interaksi antara air/fluida bersuhu tinggi dan batuan (Al-Ani dan

Sarapaa, 2008). Beberapa lingkungan pengontrol, proses dan komponen

sedimentasi terlibat dalam reaksi diagenesis awal dan produk mineral lempung

seperti (Tabel 2.1). Dari beberapa kasus, mineral lempung dapat terbentuk disuatu

lingkungan yang diakumulasikan atau teralterasi dari mineral lempung lain.

Makanya, sejarah geologi dari material lempung, properties dan perilakunya dapat

tergantung oleh banyak lingkungan.

Tabel 2.1. Hasil diagenesis awal dari control lingkungan, proses dan pengaruh
komponen serta contoh produk yang dihasilkan (Reeves et al., 2006 dalam Al-Ani
dan Sarapaa, 2008)
Kontrol Proses Komponen Hasil mineral
Lingkungan lempung
Sedimentasi/burial Oksidasi Fe Oksida Brown / red clay
Reduksi Black pyritic
shales
Marine / non Fermentasi Karbonat Siderit mudstone
marine
Bioturbasi Sulfida Kaolin
Stagnan Kompaksi Lempung Smektit
mekanik autigenik /
organic matter

II.4. Pertukaran Ion

Mineral lempung memiliki kemampuan untuk menyerap anion dan kation

yang ada disekitar permukaannya, selain menyerap juga dapat menahannya sebagai

dasar untuk pertukaran ion. Semakin tinggi nilai kation yang dapat diserap oleh

mineral lempung maka akan semakin tinggi pengaruhnya terhadap nilai Atterberg

Limit (Velde et al., 2008).

10
Proses pertukaran ion tidak dapat dipisahkan oleh CEC (cation exchange

capacity) dan AEC (anion exchange capacity). CEC mengukur jumlah perubahan

positif karena pertukaran kation yang disimbolkan dalam miliequivalent per 100g

(meq) atau centimol per kg (cmol/kg). Kation dapat mengalami pertukaran ketika

ikatannya dalam kondisi yang lemah terhadap permukaan internal atau eksternal

(ruang interlayer) dari kristal (Velde et al., 2008).

Faktor yang mempengaruhi dalam pemilihan kation adalah temperatur dan

konsentrasi mineral lempung. Nilai CEC yang ada dibeberapa jenis mineral

lempung yang diukur dengan suhu ruangan 25°C dan pH 7 (Tabel 2.2).

Tabel 2.2. CEC dibeberapa mineral lempung (Velde et al., 2008)


Mineral CEC (cmol/kg
Kaolinit 5-15
Ilit 25-40
Vermikulit 100-150
Montmorillonit 80-120
Klorit 5-15

AEC merupakan kapasitas perubahan anion mineral lempung yang

melibatkan batas tepi dimana grup OH tidak dapat mengimbangi valensinya atau

tidak dapat menggangu ikatan diantara kation dan oksigen atau grup OH dari

lembar tetrahedral dan oktahedral. Dikondisi pH rendah, ikatan proton terhadap

grup OH membentuk sebuah molekul air yang dapat mudah dihilangkan karena

ikatan kation yang lemah (Velde et al., 2008).

11
BAB III

IDENTIFIKASI MINERAL LEMPUNG

III.1. Analisis XRD (X-Ray Diffraction)

Metode XRD atau X-Ray Diffraction adalah metode yang menggunakan

radiasi gelombang elektromagnetik sekitar 1 Å (10-10m) atau berukuran sebesar

atom. Proses tersebut terjadi ketika spektrum elektromagnetik berada diantara

gamma rays dan ultraviolet. XRD dapat digunakan untuk mengetahui karakteristik

dari material kristal dan penentuan strukturnya. Tiap kristal yang padat/solid

memiliki karakteristik unik tersendiri dalam powder X-Ray, dimana hal tersebut

dapat digunakan sebagai kunci (fingerprint) untuk identifikasi. Ketika material

telah diidentifikasi, kristalografi X-Ray dapat digunakan untuk menentukan

strukturnya, seperti bagaimana atom dapat bersama dalam kondisi kristalin (Al-Ani

dan Sarapaa, 2008). XRD adalah salah satu alat/tool yang penting untuk mengetahui

tingkat kimia dan materialnya. Secara umum, penggunaan XRD seperti

menggunakan gelombang refleksi dari sinar X suatu atom dalam kondisi padat/solid

(Gambar 3.1).

Gambar 3.1. Refleksi sinar X (Al-Ani dan Sarapaa, 2008)

12
Garis edar/arah yang berbeda diantara 2 gelombang (Al-Ani dan Sarapaa, 2008):

2 x panjang gelombang = 2dsinӨ

Nilai / angka 2 merupakan jumlah geombang yang dipancarkan, sehingga menurut

persamaan hukum Bragg (Al-Ani dan Sarapaa, 2008):

n x panjang gelombang = 2dsinӨ

d = n x panjang gelombang / 2dsinӨ

Dari analisis lab, akan didapat sebuah chart/grafik yang akan memberikan

nilai dari nilai d, 2Ө, dan intensitas (Gambar 3.2) ditiap proses AD (air dried), EG

(ethylene glycol), dan Heating. Ketiga faktor tersebut dapat digunakan untuk

mengetahui jenis mineral lempung yang terkandung.

Gambar 3.2. Grafik hasil analisis XRD mineral lempung (UGM, 2018)

13
Dari nilai grafik yaitu d, 2Ө, dan intensitas digunakan/diplot kedalam

klasifikasi/range nilai untuk mengetahui jenis mineral lempung (Al-Ani dan

Sarapaa, 2008) (Gambar 3.3).

Gambar 3.3. Nilai refleksi EG mineral lempung (Thorez, 1975 dalam Al-Ani dan
Sarapaa, 2008)

III.2. Analisis IR (Infrared Spectroscopy)

Metode analisis IR (infrared spectroscopy) digunakan untuk menentukan dan

menginvestigasi struktur dari variasi fase mineral. Metode ini memberikan

informasi dari identifikasi dan deteksi secara spefisik terhadap mineral yaitu

menentukan urutan pola dari substitusi kation dalam mineral lempung, dimana hal

tersebut sulit untuk dilakukan menggunakan teknik defraksi XRD. Metode ini

mengalami banyak perkembangan dalam dunia penelitian. Banyak peneliti yang

14
menggunakan metode IR untuk mengetahui absorption OH yang berhubungan

dengan komposisi kimia dan variasi posisi band absorption, misalnya absorption

dari mineral kaolin (Al-Ani dan Sarapaa, 2008).

Analisis IR memiliki banyak kelebihan dibandingkan analisis XRD. Salah

satunya yaitu, analisis IR dapat menganalisis secara baik untuk mineral kristalin

ataupun mineral amorf, khususnya mineral yang ingin diketahui persentasenya,

dimana hal tersebut diluar kemampuan sensitivitas dari analisis XRD. Analisis IR

dapat membedakan persebaran dari penetuan kuantitas dari mineral lempung atau

mineral lainnya (Al-Ani dan Sarapaa, 2008). Berikut merupakan contoh tabel

absorbtion band dari kebanyakan mineral lempung dan asosiasinya (Tabel 3.1):

Tabel 3.1. Absorbtion band dari mineral lempung (Gadsden, 1975 dalam Al Ani
dan Sarapaa, 2008)
Mineral Absoption bands (cm-1)
Kaolinit 3695, 3660, 3625, 1035, 1020, 915
Halosit 3696, 3624, 3414, 1035, 1005, 910
Monmorilonit-Ilit 3635. 3400. 1640, 1130. 1020, 920
Klorit 3586, 3560, 3436, 1004, 980

Selain nilai band absoption yang digunakan untuk analisis mineral lempung,

juga digunakan band nomor gelombang yang ada untuk mengidentifikasi base line

berdasarkan karakteristik absoption yang telah dihitung (Tabel 3.2).

Tabel 3.2. Band Assignment dari mineral kaolinit (Hlavay et al., 1977 dalam Al
Ani dan Sarapaa, 2008)
Wave Number (cm-1) Assignments
3690, 3660, 3620 O-H Stretching vibrations
1120, 1040, 1020 Si-O Asymmetrical stretching
vibrations
700, 420, 432 Si-O Bending vibrations
940, 929 Al-OH Bending vibrations
795, 760 Si-O-Al Compounded
540 Si-O-Al Compounded

15
Gambar 3.4. Spektrum IR dari mineral kaolinit (untreated) uk. <2 μm (Thair Al
Ani, 2004 dalam Ani dan Sarapaa, 2008)

III.3. Analisis SEM (Scanning Electron Microscope)

Analisis SEM (Scanning Electron Microscope) merupakan metode yang

menggunakan elektron daripada cahaya untuk mendapatkan sebuah gambar.

Terdapat banyak kelebihan dari penggunakan SEM daripada mikroskop cahaya.

Analisis SEM memberikan gambar yang detail dari individu butiran/grain mineral

lempung, mendeteksi elemen mayor dan minor dipermukaan butiran mineral,

identifikasi komposisi dan bentuk kristal, dan pengamatan partikel dan ukuran

mineral. Analisis SEM menghasilkan gambar berkualitas tinggi yang dapat

diperbesar hingga >3000 kali (Al-Ani dan Sarapaa, 2008). Preparasi sampel dari

mineral lempung relatif mudah dilakukan untuk analisis SEM. Sebuah sayatan tipis

yang berasal dari pecahan mineral lempung dilapisi dengan konduktor Au-Pd yang

dapat digunakan untuk mengetahui morfologi dibawah analisis SEM. Morfologi

yang diamati menggunakan SEM dapat berguna dalam identifikasi mineral

16
lempung, misalnya mineral kaolinit menunjukan variasi morfologi yaitu partikel

flat pseudohexagonal. Halosit menunjukan morfologi tabular meskipun partikel

sperikal juga sering ditemukan. Ilit menujukan lembar kristal seperti serat.

Sedangkan klorit menunjukan bentuk kristal flat atau bladed (Al-Ani dan Sarapaa,

2008).

III.4. Analisis TEM (Transmission Electron Microscopy)

Analisis TEM (Transmission Electron Microscopy) digunakan untuk

pengamatan butiran/grain dari mineral lempung seperti susunan layer, ketebalan

dan interlayer dengan resolusi yang cukup baik. Sampel yang disiapkan untuk

analisis SEM ditetesi alkohol. Kemudian sampel di letakan di karbon yang terlapisi

metal dengan orientasi yang sesuai. Pengamatan analisis TEM dilengkapi dengan

mikroanalisis elektron mikroskop dengan variasi perbesaran yang didapatkan

sesuai untuk analisis mineral lempung. Mikroskop elektron merupakan satu-

satunya cara untuk mengukur ukuran butir dari partikel mineral. Analisis ini

memberikan pengukuran langsung dari berbagai dimensi partikel dan juga bentuk

dari partikel tersebut (Bates, 1971 dalam Al-Ani dan Sarapaa, 2008).

17
BAB IV

SWELLING

IV.1. Karakteristik Swelling

Mineral lempung ekspansif memiliki kandungan kapasitas pertukaran ion

yang tinggi, akibatnya mineral lempung ekspansif memiliki potensi penyusutan

(shrinkage) yang besar. Shrinkage ini disebabkan oleh perubahan kandungan air.

Ketika kandungan air dalam mineral lempung meningkat maka potensi untuk

swelling juga semakin besar. Sebaliknya, ketika kandungan air sedikit maka potensi

untuk shrinkage juga semakin besar. Kedua proses tersebut dapat mengakibatkan

kerusakan pada kontruksi/struktur jalan raya. Beberapa penelitian menunjukan

bahwa kehadiran tanah lempung ekspansif kuat dipengaruhi oleh kandungan air

dalam tanah. Selain itu, indek plastisitas dan batas liquid juga dapat menentukan

karakteristik swelling di mineral ekspansif secara umum. Semakin tinggi nilai indek

plastisitas maka semakin tinggi pula potensi untuk swelling (Xeidakis et al., 2004).

Karakteristik swelling dari lempung ekpansif tergantung oleh banyak faktor

sehingga untuk membuat prediksi perubahan volume dan tekanan swelling

(swelling pressure) cukup sulit. Selain indek plastisitas dan batas liquid, potensi

swelling juga dipengaruhi oleh aktivitas dan kandungan lempung, kapasitas

pertukaran kation (CEC), dan free swelling. Lempung yang tinggi kandungan batas

liquid dan rendah kandungan kelembaban (moisture) sangat rentan untuk

mengalami peningkatan volume dan tekanan swelling. Nilai CEC tinggi

menunjukan bahwa kemampuan untuk menyerap air juga tinggi sehingga potensi

18
swelling juga semakin besar. Selain itu, CEC juga berhubungan dengan kehadiran

mineral swelling seperti smektit, vermikulit dan interlayer mineral.

Atterberg limit adalah batas kandungan air/fluida yang ada dalam batuan yang

digunakan untuk menentukan perilaku tanah. Batas konsistensi (consistency limits)

adalah mudah tidaknya tanah mengalami deformasi (Das, 2009). Batas ini

bergantung pada kandungan mineral dan air. Konsistensi tanah berdasarkan batas

nilai atterberg dapat mengikuti diagram kondisi perilaku tanah (behaviour

conditios) (Gambar 4.1).

Gambar 4.1. Batas konsistensi tanah (Das, 2009)

LL (Liquid limit) adalah kandungan kelembaban pada tanah dimana tanah

mulai untuk berperilaku seperti material liquid dan mulai untuk mengalir. LL juga

didefinisikan sebagai batas terendah kandungan air diatas perilaku tanah seperti

liquid (Das, 2009). LL bernilai 0-1000, umumnya dibawah 100. Semakin tinggi

nilai LL maka potensi swelling yang terjadi juga semakin besar (Tabel 4.1).

19
Tabel 4.1. Hubungan LL dan potensi swelling (Chen, 1975 dalam Pardoyo, 2017)
Liquid Limit (LL) Potensial Swelling
<30 Low
30-40 Medium
40-60 High
>60 Very High

PL (Plastic limit) adalah kandungan kelembaban pada tanah dimana tanah

mulai untuk berperilaku seperti material plastis. PL juga dikenal sebagai batas

terendah kandungan air dimana perilaku tanah terlihat seperti material plastis (Das,

2009). PL bernilai 0-100, biasanya dibawah 40.

SL (Shrinkage Limit) adalah kandungan air dimana tanah tidak terjadi

perubahan volume bersamaan seiring dengan pengurangan kandungan air (tanah

tidak berkurang volumenya ketika mengering). SL menunjukan jumlah air yang

dibutuhkan untuk tanah bersifat 100 % saturasi air (Das, 2009). Jika nilai SL

semakin kecil, maka tanah akan mudah untuk terjadi perubahan volume, artinya

semakin kecil nilai SL maka sedikit air yang dibutuhkan untuk mengubah volume.

Sehingga semakin tinggi nilai SL maka semakin rendah potensi untuk terjadi

swelling (Tabel 4.2).

Tabel 4.2. Hubungan SL dan potensi swelling (Chen, 1975 dalam Pardoyo, 2017)
Shrinkage Limit (SL) Potensial Swelling
>15 Low
11-16 Medium
7-11 High
<11 Very High

20
Gambar 4.2. Perubahan volume terhadap kandungan air (Das, 2009)

Plastisitas adalah respon dari tanah terhadap perubahan kelembaban. Hal

yang perlu diperhatikan dalam plastisitas adalah:

- Pengurangan kekuatan terjadi karena kenaikan kandungan air.

- Tanah akan berkembang (swell) ketika terjadi kenaikan kandungan air.

- Tanah berukuran fine-grained dengan kandungan air yang tinggi memiliki

sifat seperti liquid.

- Ketika kandungan air turun, volume dari tanah berkurang dan tanah menjadi

plastis.

- Jika kandungan air banyak berkurang, maka tanah akan berubah jadi semi-

solid dimana volume tidak berubah.

PI (Plasticity Index) adalah selisih antara LL dan PL. Berdasarkan chart

plastisitas (Gambar 3.7), diketahui bahwa nilai PI – LL dari mineral lempung diplot

diatas garis “A-line” dan lanau dibawah garis “A-line” (Das, 2009) (Gambar 4.3).

21
Semakin besar nilai PI maka potensi untuk terjadi swelling juga semakin besar

(Tabel 4.3).

Gambar 4.3. Plasticity chart dimodifikasi oleh Das (2009)

Keterangan: 1. kohesi dari tanah

2. lempung inorganik, plastisitas rendah

3. lanau inorganik, komprebilitas rendah

4. lempung inorganik, plastisitas sedang

5. lanau inorganik dan lempung organic, komprebilitas sedang

6. lempung inorganik, plastisitas tinggi

7. lanau inorganik dan lempung organic, komprebilitas tinggi

Tabel 4.3. Hubungan PI dan potensi swelling (Chen, 1975 dalam Pardoyo, 2017)
Plasticity Index (PI) Potensial Swelling
0-15 Low
10-35 Medium
20-35 High
>35 Very High

22
Atterberg limit dan kandungan lempung dapat dikombinasikan menjadi satu

parameter yang dinamakan Activity. Aktivitas lempung didefinisikan dengan

persamaan (Skempton, 1953 dalam Spring, 2004), yaitu:

Activity (Ac) = Indek plastisitas / % < 2µm

Berdasarkan persamaan tersebut, aktivitas lempung dapat dibedakan menjadi tiga

yaitu:

- Inactive, untuk Ac < 0.75

- Normal, untuk 0.75 ≤ Ac ≤ 1.25

- Active, untuk Ac ≥ 1.25

Nilai aktivitas lempung dipengaruhi oleh batas plastisitas dan kandungan mineral

lempung berukuran < 2µm (Gambar 4.4).

Gambar 4.4. Hubungan kandungan lempung dan PI (Skempton, 1953 dalam


Xeidakis, 2004)

Aktivitas lempung yang active cenderung berpotensi untuk ekpansif. Berikut adalah

tabel untuk aktivitas lempung oleh mineral lempung yang dominan (Tabel 4.4).

23
Tabel 4.4. Aktivitas lempung dari beberapa mineral lempung umum (Skempton,
1953 dalam Spring, 2004)
Mineral Pertukaran ion LL (%) PL (%) PI (%) Activity
Montmorilonit Na+1 710 54 656 7.2
K+1 660 98 562 -
Ca+2 510 81 429 1.5
Ilit Na+1 120 53 67 0.9
K+1 120 60 42 -
Ca+2 100 45 55 -
Kaolinit Na+1 53 32 21 0.33-0.46
K+1 49 29 20 -
Ca+2 38 27 11 -

Dari tabel tersebut (Tabel 4.4), diketahui bahwa mineral montmorilonit memiliki

nilai activity yang besar (Ac ≥ 1.25) yang menunjukan bahwa mineral ini memiliki

potensi ekspansif yang tinggi. Activity juga memberikan peran dalam penentu

potensi swelling. Semakin tinggi nilai activity dan kandungan lempung, maka

potensi swelling juga besar (Gambar 4.5).

Gambar 4.5. Hubungan kandungan mineral, aktivitas lempung dan potensi


swelling (Seed et al 1962 dalam Xeidakis, 2004)

24
Weighted plasticity index (WPI) adalah produk dari indek plastisitas yang

menghitung persentase/bagian yang digunakan dalam uji PI dan penting dalam

klasifikasi soil residu (Look, 2016). Semakin besar nilai WPI, maka potensi untuk

terjadi perubahan volume juga besar (Tabel 4.5). Nilai WPI yang baik dalam

kontruksi jalan adalah <200 sehingga perubahan volume yang terjadi juga rendah.

Tabel 4.5. Klasifikasi WPI terhadap perubahan volume (Queensland Transport,


1995 dalam Look, 2016)
(WPI) Potensial volume change
<1200 Low
1200≤WPI<2200 Medium
2200≤WPI<3200 High
≥3200 Very high

Nilai WPI biasanya selaras atau sebanding dengan nilai PI karena WPI merupakan

nilai bagian persentase dari PI (Tabel 4.6).

Tabel 4.6. Perbandingan potensi perubahan volume dimaterial residu dengan WPI
dan PI (Queensland Transport 1995, dalam Look 2016)
PI WPI Potensi Perubahan Volume
<12% <1200 Low
12% ≤ PI < 22% 1200 ≤ WPI < 2200 Medium
22% ≤ PI < 32% 2200 ≤ WPI < 3200 High
≥32% ≥3200 Very high

CBR (California Bearing Ratio) swell adalah penentuan kekuatan nilai CBR

yang dipertimbangkan berdasarkan nilai swell. CBR swell digunakan sebagai

indikator swelling dalam pemodelan untuk menentukan spesifikasi kelembaban

dengan pergerakan minimal. Secara sederhana, CBR swell dapat digunakan sebagai

indikator perilaku perubahan volume (Look, 2016). CBR swell dan WPI memiliki

hubungan yang sebanding, artinya semakin tinggi nilai WPI maka akan

25
memberikan potensi perubahan volume tanah ekspansif yang tinggi dan CBR swell

yang terhitung juga besar (Tabel 4.7).

Tabel 4.7. Klasifikasi WPI dan CBR swell dengan pertimbangan desain kontruksi
(Austroads, 2007 dalam Look, 2016)
Potensi Pertimbangan Aplikasi CBR Swell
Perubahan desain
Volume
Very low Kuat Cocok sebagai -
material jalan
Low Dapat digunakan <0.5%
sebagai material
pembatas
Medium Kuat / Gerakan Kuat tapi dapat 0.5-2.5%
mengalami
pergerakan untuk
jalan utama
High Gerakan Tidak cocok 2.5-5.0%
digunakan sebagai
material jalan
secara langsung
Very high Diganti atau 5%
distabilisasi

IV.2. Prediksi Swelling

Swelling yang diukur (test) dilaboratorium dengan sampel undisturbed

umumnya hanya pengukuran secara linear swelling. Cara alternatif untuk

mengukur waktu deformasi yaitu dengan oedometer dan juga dengan mengukur

tekanan swelling (swelling pressure). Pengukuran lain adalah dynamometer untuk

mengetahui tekanan swelling dan deformasi meskipun metode ini hanya

pengukuran awal dari soil dan tidak cukup cepat untuk identifikasi soils (Pruska et

al, 2017). Selain perhitungan awal menggunakan alat oedometer dan dynamometer,

untuk mengetahui tekanan swelling, strain (deformasi) swelling dan waktu swelling

dalam pengukuran/prediksi awal dari soil dapat menggunakan rumus, yaitu:

26
- Prediksi tekanan swelling (Pruska et al, 2017): σ swel = 0.0552 . Ip2.385.

Ic1.757. Ia0.397 ; dimana Ip = indek plastisitas, Ic = indek konsistensi, dan Ia

= indek aktifitas.

- Prediksi strain swelling (Pruska et al, 2017): ε swell = 0.3 . Ip0.2. Ic0.3. σ swell

(%) ; dimana Ip = indek plastisitas, Ic = indek konsistensi, dan σ swell =

prediksi tekanan swelling.

- Prediksi waktu swelling (Pruska et al, 2017): t swell = 0.0013 . Hv . Ip . 78.817

. e ^(-4.493/Ic1.3) (bulan); dimana Hv = ketebalan layer swelling jika

permukaan deformasi diketahui dalam cm.

Semakin tinggi kandungan air dari soil (tinggi indek konsistensi, indek plastisitas,

dan indek aktifitas), maka semakin tinggi tekanan swelling. Semakin besar nilai

tekanan swelling maka deformasi swelling juga besar. Dan waktu swelling

dipengaruhi oleh ketebalan deformasi hasil swelling.

IV.3. Sifat Swelling Smektit

Suhu dan topografi merupakan kondisi penting dalam pembentukan mineral

smektit. Relief rendah dan atau permeabilitas rendah, sedikit hujan dan atau sedikit

aliran air dan temperature meningkatkan potensi pembentukan mineral smektit.

Smektit dapat dibentuk melalui alterasi dari feldspar, mika dan mineral lain yang

mengandung silikatt Fe-Mg. Ketika dominasi mineral lempung dalam batuan

berukuran fine-grained seperti shale maka akan banyak ditemukan mineral smektit.

Perbedaan diantara lembar mineral smektit tergantung pada tiga hal yaitu: tipe

kation interlayer yang hadir (kation monovalent seperti Na+ memberikan dampak

27
ekspansi yang lebih besar dibandingkan kation divalen seperti Ca2+, konsentrasi

dari ion yang mengelilingi, dan jumlah air yang hadir di soil (Al-Ani dan Sarapaa,

2008). Karena interlayer bersifat ekspansif makanya smektit sering dikatakan

sebagai “swelling clays” atau lempung ekspansif. Soil yang memiliki konsentrasi

tinggi mineral smektit berkontribusi sekitar 30 persen terhadap perubahan volume

dikondisi basah atau kering, atau tanah disebut sebagai tanah yang memiliki

kemampuan untuk kembang/susut (Al-Ani dan Sarapaa, 2008). Indek plastisitas

dapat dipengaruhi oleh kekerasan batuan asal yang mengalami pelapukan. Semakin

lapuk batuan, maka indek plastisitas yang dihasilkan juga tinggi (Kleyn, 2009)

(Gambar 4.6).

Gambar 4.6. Hubungan kandungan smektit dengan PI (Kleyn, 2009)

Berdasarkan ukuran butir dari partikel batuan yang bergesekan, semakin kecil

ukuran butirnya, maka semakin banyak pembentukan mineral lempung dan

28
kehadiran lempung yang dapat menyebabkan kerusakan jalan (Kleyn, 2009) (Tabel

4.8).

Tabel 4.8. Hubungan ukuran butir dan Indek Plasitisitas (Kleyn, 2009)
Analisis Quarry FS4 (dust) (3% Quarry FS7 (dust) (4%
smektit) smektit)
<0.425 mm < 0.075 mm <0.425 mm < 0.075 mm
LL NP 22.3 17.77 22.98
PL NP 20.5 15.9 17.28
PI 0 1.8 1.9 5.7

IV.4. Dampak Swelling dalam Kontruksi Jalan

Swelling dapat dibedakan menjadi free swelling dan pressure swelling. Free

swelling adalah tipe pemotongan slope dimana perubahan volume dapat terjadi

tanpa pengaruh dari struktur (jalan). Sedangkan pressure swelling berada dibawah

struktur (jalan), misalnya jalan aspal, dimana bereaksi berlawanan dalam tekanan

swelling di soil untuk mencapai kondisi seimbang. Umumnya, swelling akan

berhenti ketika keseimbangan kelembaban sudah tercapai. Deformasi dalam free

swelling dapat terjadi empat kali lebih tinggi daripada pressure swelling. Nilai dari

tekanan swelling dapat mencapai 3600 kPa pada lempung dengan indek plastisitas

>80% dan rendah initial kelembaban (Pruska, 2017). Jadi, besarnya tekanan dapat

memberikan efek kerusakan yang besar terhadap struktur jalan diatasnya.

IV.4.1. Retakan Jalan

Struktur jalan yang terbuat dari lempeng beton yang rigit/kaku akan terjadi

ketidakstabilan dikedua sisi slope jalan raya, kemudian retakan dapat terjadi pada

permukaan jalan (Gambar 4.7).

29
Gambar 4.7. Retakan struktur jalan beton karena swelling (Pruska, 2017)

Tekanan swelling memiliki dampak yang merusak yang diikuti oleh

deformasi. Retakan dipermukaan jalan dapat berkembang sesuai dengan tekanan

swelling yang diterima (Pruska et al, 2017). Berikut adalah tabel klasifikasi

perkembangan retakan dipermukaan jalan (Tabel 4.9).

Tabel 4.9. Klasifikasi perkembangan retakan dipermukaan jalan karena tekanan


swelling (Pruska, 2017)
Swelling pressure Evaluation Aspalt Surface Concrete Surface
<30 kPa Negligible De facto no Virtually
imposible
30-60 kPa Increased Little noticeable the first signs of
surface cracks
deformation
60-100 kPa High Slight undulation Clearly visible
cracks on surface
>100 kPa Very high Significant Significant cracks
undulation, and slip of the
depending on broken slabs.
swelling pressure

30
IV.4.2. Pengangkatan Jalan

Pengangkatan tanah dapat terjadi karena adanya pengembangan soil/mineral

lempung (Gambar 4.8) sehingga mempengaruhi struktur jalan yang ada diatas soil

ini (Pruska, 2017). Kenampakan yang umum terlihat dilapangan adalah kontruksi

jalan terlihat seperti bergelombang (Reeves, 2006).

Gambar 4.8. Kenaikan struktur jalan karena pengembangan (swelling) (Pruska,


2017)
IV.4.3. Penurunan Jalan

Penurunan jalan terjadi ketika pengurangan volume soil karena air yang ada

di soil ekpansif telah keluar sehingga soil akan menyusut. Ketika soil menyusut,

maka kontruksi jalan yang ada diatas soil tersebut akan mengalami penurunan

permukaan yang tergantung oleh soil yang ada dibagian alas penopang (Gambar

4.9). Penyusutan ini menyebabkan jalan mengalami penurunan permukaan

(Reeves, 2006).

31
Gambar 4.9. Penurunan struktur jalan karena penyusutan (shrinkage)
(http://www.omanya.net/vb/uploaded/27675_21336931403.jpg)

IV.5. Studi Kasus Ruas Jalan Raya Godong – Purwodadi

Berdasarkan penelitian di ruas jalan raya Godong – Purwodadi (Grobogan)

km 49 (Pardoyo dkk, 2017) dan km 50 (Prabandiyani dkk, 2015) diperoleh data

sebagai berikut (Tabel 4.10):

Tabel 4.10. Pengujian soil ekspansif di ruas jalan Godong-Purwodadi.


Pengujian Nilai
KM 49 (Pardoyo, et KM 50 (Prabandiyani
al., 2017) et al., 2015)
Kandungan lempung dan lanau 95.99 91.8
(%)
Liquid limit (LL) (%) 75.10 90.96
Plastic limit (PL) (%) 32.26 28.54
Plasticity index (PI) (%) 42.84 62.42
Shrinkage limit (SL) (%) 7.64 7.94
Activity 1.01 0.77
Swelling pressure (KPa) 313.33 200-250

32
- Liquid Limit (LL)

Nilai Liquid Limit 75.10 % di KM 49 dan 90.96% di KM 50 ruas jalan Godong –

Purwodadi menunjukan bahwa kandungan soil ekpansif di jalan ini memiliki

potensi swelling yang sangat tinggi (Chen, 1975 dalam Pardoyo, 2017).

- Plasticity Index (PI)

Nilai Plasticity index 42.84 % di KM 49 dan 62.42 % di KM 50 ruas jalan Godong

– Purwodadi menunjukan bahwa kandungan soil ekpansif di jalan ini memiliki

potensi swelling yang sangat tinggi (Chen, 1975 dalam Pardoyo, 2017) dan potensi

perubahan volume yang sangat tinggi (Queensland Transport 1995, dalam Look

2016).

- Shrinkage Limit (SL)

Nilai Shrinkage Limit 7.64 % di KM 49 dan 7.94 % di KM 50 ruas jalan Godong –

Purwodadi menunjukan bahwa kandungan soil ekpansif di jalan ini memiliki

potensi swelling yang sangat tinggi (Chen, 1975 dalam Pardoyo, 2017).

- Activity

Nilai Activiy 1.01 % di KM 49 dan 0.77 % di KM 50 ruas jalan Godong – Purwodadi

menunjukan bahwa kandungan soil ekpansif di jalan ini termasuk soil yang normal

(Skempton, 1953 dalam Spring, 2004).

- Swelling Pressure

Nilai swelling pressure 313.33 KPa di KM 49 dan 200-350 KPa ruas jalan Godong

– Purwodadi menunjukan bahwa kandungan soil ekpansif di jalan ini memiliki

potensi untuk merusak kondisi jalan (Pruska, 2017).

33
Berdasarkan data penelitian di ruas jalan Godong – Purwodadi (Grobogan)

tersebut, dapat diketahui bahwa ruas jalan Godong – Purwodadi KM 49-50

memiliki potensi swelling dan perubahan volume yang tinggi sehingga potensi

kerusakan jalan sangat tinggi.

34
BAB VI

KESIMPULAN

1. Mineral lempung yang memiliki potensi kembang – susut tinggi mempunyai

potensi kerusakan jalan yang besar.

2. Mineral smektit merupakan mineral dengan potensi ekspansif yang tinggi.

3. Kerusakan jalan yang disebabkan oleh mineral lempung dapat berupa retakan,

penurunan jalan, dan kenaikan jalan.

4. Swelling dipengaruhi oleh nilai indek plastisitas (PI), berat indek plastisitas

(WPI), batas liquid (LL), batas susut (SL), activity, tekanan swelling, ukuran

butir, jenis dan kandungan lempung, besar perubahan volume, CBR swell,

tekanan swelling dan pertukaran ion.

5. Semakin tinggi nilai indek plastisitas (PI), berat indek plastisitas (WPI), batas

liquid (LL), activity, kandungan lempung, besar perubahan volume, CBR

swell, tekanan swelling dan pertukaran ion, maka potensi kerusakan jalan

semakin besar.

6. Semakin kecil nilai batas susut dan ukuran butir, maka potensi kerusakan jalan

semakin besar.

35
DAFTAR PUSTAKA

Al-Ani, Thair dan Sarapaa, Olli. 2008. Clay and Clay Mineralogy. Geologian
Tutkuskeskus M19/3232/2008/41 Espoo.
Badry, M., Hesham, A., dan Ismaiel, H. 2013. Lime Chemical Stabilisation of
Expansive Deposits Exposed at El-Kawther Quarter, Sohag Region, Egypt.
Scientific & Academic Publishing.
Das, Ch. 2009. Soil Mechanics & Foundations.
http://www.engr.uconn.edu/~lanbo/CE240LectW031consistencyAtterbergli
nmits.pdf. Diakses pada tanggal 12 April 2018 pukul 22.36 WIB.
Kleyn, E., Bergh, A. dan Botha, P. 2009. Practical Implications of the Relation
between the Clay Mineral content and the Plasticity Index of Dolerite Road
Construction Material. Journal of the South African Institution of Civil
Engineering. Vol. 51 No. 1.
Look, B.G. 2016. The Weighted Plasticity Index in Road Design and Construction.
Australian Geomechanics, Vol. 51 No.3.
Pardoyo, Bambang., Gunarso, Andreas., Nuprayogi, Rizqi., Partono, Windu. 2017.
Stabilisasi Tanah Lempung Ekspansif dengan Campuran Larutan NaOH
7.5%. Jurnal Karya Teknik Sipil, Vol. 6, No.2.
Prabandiyani, Sri., Hardiyati, Siti., Muhrozi., Pardoyo, Bambang. 2015. Stabilisasi
Tanah Lempung dengan Menggunakan Larutasn Asam Sulfat (H2SO4) pada
Tanah Dasar di Daerah Godong – Purwodadi km 50 Kabupaten Grobogan.
Jurnal Media Komunikasi Teknik Sipil, Vol. 21, No. 1.
Purnomo, Mega. 2011. Korelasi antara CBR, PI dan Kuat Geser Tanah Lempung.
Jurnal Teknik Sipil dan Perencanaan, No.1 Vol.13.
Putra, Made Dwika Hutama. 2017. Pengaruh Perbaikan Tanah Lempung Ekspansif
dengan Metode Deep Soil Mixing pada Berbagai Kadar Air Lapangan Tanah
Asli terhadap Nilai CBR dan Pengembangan. Malang: Universitas
Brawijaya.
Reeves, G.M., Sims, I., dan Cripps, J.C. 2006. Clay Materials Used in
Construction. London: Engineering Geology Special Publication.
Riyadi. 2007. Skripsi: Evaluasi Medan Untuk Analisis Kerusakan Jalur Jalan
Surakarta-Purwodadi di Kecamatan Geyer, Kabupaten Grobogan.
Surakarta: Universitas Sebelas Maret.
Sedivy, Miroslav dan Pruska, Jan. 2017. Swelling Soils in the Road Structures. IOP
Conference Series: Minerals Science and Engineering.
Spring. 2004. Various Aspect of Expansive Soils Relevent to Geoengineering
Practice. Advanced Engineering Geology & Geotechnics.

36
Sudjianto, Agus. T., Suryolelono, K.B., Rifa’i, A., Mochtar, I. 2011. The Effect of
Variation Index Plasticity and Activity in Swelling Vertikal of Expansive Soil.
International Journal of Engineering & Technology IJET-IJENS Vol.11
No.06.
Surat. 2011. Tesis: Analisis Struktur Perkerasan Jalan di Atas Tanah Ekspansif
(studi kasus: Ruas Jalan Purwodadi-Blora). Surakarta: Universitas Sebelas
Maret.
Tailor, Ravin.M., 2014. Performance Improvement of Flexible Pavement on
Swelling Subgrade Using Geotextile. Engineering and Technology
Publishing: Journal of Traffic and Logistic Engineering Vol. 2 No. 2.
Tim Pemantauan dan Evaluasi Kinerja Transportasi Nasional. 2009. Kebijakan dan
Strategi untuk Meningkatkan Efisiensi Pengelolaan Infrastuktur Jalan secar
Berkelanjutan. Indonesia: Kantor Kementerian Koordinator Bidang
Perekonomian.
Velde, B. 1992. Introduction to Clay Minerals. United Kingdom: Springer.
Velde, Bruce dan Meunier, Alain. 2008. The Origin of Clay Minerals in Soils and
Weathered Rocks. Verlag Berlin Heidelberg: Springer.
Warsiti, 2009. Meningkatkan CBR dan Memperkecil Swelling Tanah Sub-grade
dengan Metode Stabilisasi Tanah dan Kapur. Semarang: Wahana. Vol.14
No.1.
Xeidakis, George. Koudoumakis, Panagiotis, dan Tsirambides, Ananias. 2004.
Road construction on Swelling soils: the case of Strymi soils, Rhodope,
Thrace, Nothern Greece. Verlag: Springer.

37

Anda mungkin juga menyukai