Anda di halaman 1dari 25

i

MAKALAH
HUKUM KEDOKTERAN KEHAKIMAN

VISUM ET REVERTUM DAN CORPUS DELICTI DALAM ILMU


HUKUM KEDOKTERAN KEHAKIMAN

DOSEN PENGASUH : INDANG SULASTRI, SH., LL.M

KEMENTRIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS PALANGKA RAYA
FAKULTAS HUKUM
TAHUN 2013
ii

LEMBAR PENGESAHAAN

DISUSUN OLEH :

NAMA NIM TTD

ERIK SOSANTO EAA 110 039 ............

ii
iii

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan Puji dan Syukur atas limpahan berkat dan Rahmat-Nya

dari Tuhan Yang Maha Esa atas selesainya penyusunan makalah mengenai Visum Et

Revertum Dan Corpus Delicti Dalam Ilmu Hukum Kedokteran Kehakiman.

Makalah ini disusun berdasarkan sumber dari buku-buku dan sumber lainnya

yang berhubungan dengan Visum Et Revertum Dan Corpus Delicti Dalam Ilmu

Hukum Kedokteran Kehakiman.

Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memberikan pemahaman

dan menambah wawasan bagi orang yang membacanya.

Penulis menyadari akibat keterbatasan waktu dan pengalaman penulis, maka

tulisan ini masih banyak kekurangan. Untuk itu dengan segala kerendahan hati,

penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak

demi kesempurnaan penulisan ini.

Harapan penulis semoga tulisan yang penuh kesederhanaan ini dapat

bermanfaat bagi semua pihak yang membacanya tentang Visum Et Revertum Dan

Corpus Delicti Dalam Ilmu Hukum Kedokteran Kehakiman.

Palangka Raya, 7 Mei 2013

Penyusun

iii
iv

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................................ i

HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................... ii

KATA PENGANTAR ..................................................................................... iii

DAFTAR ISI .................................................................................................... iv

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang ........................................................................................ 1

1.2. Perumusan dan Batasan Masalah ............................................................ 2

1.3. Tujuan Penulisan ..................................................................................... 2

1.4. Manfaat Penulisan ................................................................................... 3

1.5. Metode Penulisan .................................................................................... 3

1.6. Sistematika Penulisan ............................................................................. 4

BAB 2 PEMBAHASAN

2.1 Pengertian dan Ruang Lingkup Visum Et Revertum ............................. 6

2.2 Pengertian dan Ruang Lingkup Corpus Delicti ..................................... 9

BAB 3 PENUTUP

3.1. Kesimpulan ............................................................................................. 19

3.2. Saran ........................................................................................................ 19

DAFTAR PUSTAKA

iv
1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

hakikatnya adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materiil terhadap perkara

tersebut. Hal ini dapat dilihat dari adanya berbagai usaha yang dilakukan oleh aparat

penegak hukum dalam memperoleh bukti-bukti yang dibutuhkan untuk mengungkap

suatu perkara baik pada tahap pemeriksaan pendahuluan seperti penyidikan dan

penuntutan maupun pada tahap persidangan perkara tersebut. Dalam contoh kasus

tindak pidana, seperti pencurian, penggelapan, penipuan dan sejenisnya, tentunya pihak

penyidik tidak akan mengalami kesulitan untuk mengidentifikasi barang bukti yang

salah satu atau beberapa diantaranya dapat dijadikan sebagai alat bukti, yang

selanjutnya akan diperiksa dalam sidang pengadilan. Akan tetapi, apabila kasus tindak

pidana tersebut berkaitan dengan timbulnya luka, terganggunya kesehatan maupun

kematian, maka persoalannya tidak sesederhana seperti pada contoh kasus diatas. Oleh

karena luka, terganggunya kesehatan pada suatu saat akan sembuh atau bahkan

kemungkinan menjadi lebih parah. Demikian halnya dengan korban yang meninggal,

juga harus selekasnya dikubur. Untuk mengungkap secara hukum, tentang benarkah

telah terjadi tindak pidana serta apa sesungguhnya penyebabnya dan dengan alat apa

perbuatan pidana itu dilakukan, diperlukan alat bukti yang konkrit pada saat terjadinya

tindak pidana yang bisa dipertanggung jawabkan secara yuridis.

Disini dibutuhkan bantuan disiplin ilmu lain untuk membantu membuat terang

suatu perkara pidana. Disiplin ilmu yang dimaksud disini adalah ilmu kedokteran

1
2

kehakiman (ilmu kedokteran forensik). Ide inilah yang membuat penulis tertarik untuk

menuliskannya dalam suatu karya tulis yang berjudul “Visum Et Revertum Dan

Corpus Delicti Dalam Ilmu Hukum Kedokteran Kehakiman”.

1.2 Perumusan dan Batasan Masalah


Berdasarkan uraian di atas, penulis mencoba merumuskan permasalahan

sekaligus merupakan pembahasan permasalahan yang akan diteliti sebagai berikut :

a. Pengertian dan Ruang Lingkup Visum Et Revertum ?

b. Pengertian dan Ruang Lingkup Corpus Delicti ?

Terhadap dua rumusan masalah tersebut, penulis melakukan pembatasan dengan

mengacu pada perspektif pengertian, ruang lingkup, dan fungsi Visum Et Revertum dan

Corpus Delicti tersebut.

1.3 Tujuan Penulisan


Hakekat kegiatan penulisan karya tulis adalah penyaluran hasrat ingin tahu

manusia dalam taraf keilmuan, karena manusia pada dasarnya selalu ingin tahu sebab

dari suatu rentetan akibat.

Demikian pula halnya dengan penulisan karya bidang tulis hukum, berupa

makalah, sesungguhnya tidak lepas dari adanya suatu tujuan yang ingin dicapai yaitu

sebagi berikut :

a. Mengetahui dan memahami Apa yang dimaksud Pengertian dan Ruang lingkup

Visum Et Revertum.

b. Mengetahui dan memahami pa yang dimaksud Pengertian dan Ruang lingkup

Corpus Delicti.
3

1.4 Manfaat Penulisan


Adapun manfaat makalah ini adalah sebagai berikut :

a. Sebagai media untuk menambah wawasan bagi pembacanya.

b. Bahan referensi aktual.

c. Bahan bacaan dan pengetahuan.

1.5 Metode Penulisan


1.5.1 Metode pendekatan

Dalam rangka menjadikan analisis rumusan masalah menjadi terarah dan sesuai

dengan tujuan penulisan, maka diperlukan suatu metode pendekatan, yang dalam

konteks penulisan ini penulis menggunakan metode pendekatan yuridis normatif

yaitu suatu metode dengan instrumen penekanan analisis pada asas-asas hukum

berupa peraturan perundang-undangan yang memberikan pengaturan terkait isu

hukum yang diangkat dalam tulisan hukum ini dan merupakan bagian bahan

hukum primer, dimana selajutnya diperjelas dan didukung berdasakan pendapat

para ahli atau sarjana yang terdapat dalam buku-buku, jurnal-jurnal hukum,

maupun karya tulis yang telah ada sebelumnya, sehingga didapat penjelasan

bersifat komprehensif sehubungan dengan judul dari makalah ini.

1.5.2 Bahan-bahan hukum

Bahan hukum yang dipergunakan dalam penulisan makalah ini terdiri dari :

a. Bahan hukum primer, merupakan bahan hukum yang terdiri dari sejumlah

peraturan perundang-undangan yaitu.

1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana.


4

2) Staat-blad 350 tahun 1937

b. Bahan Hukum sekunder, yaitu bahan hukum berupa pendapat para ahli atau

sarjana yang terdapat dalam buku-buku, jurnal-jurnal hukum, maupun karya

tulis yang telah ada sebelumnya, dengan fungsi memberikan penjelasan

terhadap hal yang diatur dalam peraturan perundangan.

c. Bahan Hukum tersier, yaitu bahan hukum yang berfungsi memberikan arti

terhadap istilah-istilah hukum yang terdapat dalam tulisan ini, berupa

kamus-kamus bahasa baik bersifat umum(kamus bahasa indonesia) maupun

bersifat khusus (kamus hukum belanda-indonesia).

1.5.3 Sumber Bahan Hukum

Keberadaan bahan-bahan hukum yang dipergunakan dalam penulisan makalah

ini bahan hukum primer,sekunder dan tersier diperoleh melalui penulisan

kepustakaan serta diperlukan untuk mencari landasan teoritis bagi analisa

permasalahan yang telah dirumuskan, dengan mendasarkan pada konsep-konsep,

teori-teori dan prinsip-prinsip maupun kaidah-kaidah hukum.

1.6 Sistematika Penulisan


Sistematiaka penulisan makalah ini mempunyai makna deskripsi secara garis

besar akan hal-hal yang mendasari isu hukum berupa rumusan masalah untuk dilakukan

analisis untuk selajutnya dikembangkan dan diberikan pemahaman bersifat

komprehensif sebagimana tersarikan dalam 3 (BAB) yaitu sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Bermaterikan latar belakang, rumusan dan batasan masalah, tujuan penulisan, manfaat

penulisan,metodologi penulisan, dan sistematika penulisan.


5

BAB II PEMBAHASAN

Merupakan uraian dalam bentuk analisis hukum secara normatif yang ditujukan untuk

memberikan penjelsan secara komprehensif terhadap 2(hal) permasalahan yang

dirumuskan pada bab I yaitu :

1 Pengertian dan Ruang Lingkup Visum Et Revertum ?

2 Pengertian dan Ruang Lingkup Corpus Delicti ?

BAB III PENUTUP

Pada BAB penutup ini penulis mencoba mensarikan hal-hal yang telah dideskripsikan

pada BAB I-BAB II didepan, dalam bentuk suatu kesimpulan dan dilengkapi saran-

saran sebagai masukan positif bagi semua pihak.


6

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP VISUM ET REVERTUM

2.1.1. Pengertian Visum Et Repertum

Visum et repertum adalah istilah yang dikenal dalam Ilmu Kedokteran

Forensik, biasanya dikenal dengan nama “Visum”. Visum berasal dari bahasa

Latin, bentuk tunggalnya adalah “visa”. Dipandang dari arti etimologi atau tata

bahasa, kata “visum” atau “visa” berarti tanda melihat atau melihat yang artinya

penandatanganan dari barang bukti tentang segala sesuatu hal yang ditemukan,

disetujui, dan disahkan, sedangkan “Repertum” berarti melapor yang artinya apa

yang telah didapat dari pemeriksaan dokter terhadap korban. Secara etimologi

visum et repertum adalah apa yang dilihat dan diketemukan Menurut Staatsblad

Tahun 1937 Nomor 350 “Visum et repertum adalah laporan tertulis untuk

kepentingan peradilan (pro yustisia) atas permintaan yang berwenang, yang

dibuat oleh dokter, terhadap segala sesuatu yang dilihat dan ditemukan pada

pemeriksaan barang bukti, berdasarkan sumpah pada waktu menerima jabatan,

serta berdasarkan pengetahuannya yang sebaik-baiknya. Visum et Repertum

Psychiatricum, digunakan sebagai alat bukti surat, hal ini diatur dalam Pasal 187

huruf (c) KUHAP, yang berbunyi: “Surat keterangan dari seorang ahli yang

memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau

sesuatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya”. Jadi fungsi dan

tujuan Visum et Repertum Psychiatricum sama dengan alat bukti, yaitu

6
7

merupakan alat bantu untuk memperjelas keadaan jiwa terdakwa sehingga

penegak hukum dapat memperoleh suatu keyakinan seadil-adilnya. Juga

keyakinan yang diperoleh hakim dapat dibuktikan secara ilmiah.

2.1.2. Bentuk Visum Et Repertum Berdasarkan Objek

1) Visum et Repertum Korban Hidup

· Visum et Repertum

Visum et Repertum diberikan kepada korban setelah diperiksa didapatkan

lukanya tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan

pekerjaan atau aktivitasnya.

· Visum et Repertum Sementara

Misalnya visum yang dibuat bagi si korban yang sementara masih dirawat

di rumah sakit akibat luka-lukanya akibat penganiayaan.

· Visum et Repertum Lanjutan

Misalnya visum bagi si korban yang lukanya tersebut (Visum et Repertum

Sementara) kemudian lalu meninggalkan rumah sakit ataupun akibat luka-

lukanya tersebut si korban kemudian di pindahkan ke rumah sakit atau

dokter lain ataupun meninggal dunia.

2) Visum et Repertum pada mayat

Visum pada mayat dibuat berdasarkan otopsi lengkap atau dengan kata lain

berdasarkan pemeriksaan luar dan pemeriksaan dalam pada mayat.

3) Visum et Repertum Pemeriksaan di Tempat Kejadian Perkara (TKP)

4) Visum et Repertum Penggalian Mayat.

5) Visum et Repertum Mengenai Umur


8

6) Visum et Repertum Psikiatrik

Visum et Repertum ini menguraikan segi kejiwaan manusia, bukan segi fisik

atau raga manusia. Visum et Repertum Psikiatrik dibuat oleh adanya pasal

144 (1) KUHP yang berbunyi: “Barang siapa merlakukan perbuatan yanhg

tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya, disebabkan karena jiwanya

cacat dalam tumbuhnya (gebrekkige ontwikkeling) atau terganggu karena

penyakit (ziekelijke storing), tidak dipidana”

7) Visum et Repertum Mengenai Barang Bukti

Misalnya berupa jaringan tubuh manusia, bercak darah, sperma dan

sebagainya.

2.1.3. Bagian-Bagian Visum Et Repertum

1) Pro Justisia. Kata ini diletakkan di bagian atas untuk menjelaskan bahwa

visum et repertum dibuat untuk tujuan peradilan. VeR tidak memerlukan

materai untuk dapat dijadikan sebagai alat bukti di depan sidang pengadilan

yang mempunyai kekuatan hukum.

2) Pendahuluan. Kata pendahuluan sendiri tidak ditulis dalam VeR, melainkan

langsung dituliskan berupa kalimat-kalimat di bawah judul. Bagian ini

menerangkan penyidik pemintanya berikut nomor dan tanggal, surat

permintaannya, tempat dan waktu pemeriksaan, serta identitas korban yang

diperiksa. Pemberitaan. Bagian ini berjudul “Hasil Pemeriksaan”, berisi

semua keterangan pemeriksaan. Temuan hasil pemeriksaan medik bersifat

rahasia dan yang tidak berhubungan dengan perkaranya tidak dituangkan

dalam bagian pemberitaan dan dianggap tetap sebagai rahasia kedokteran.


9

3) Kesimpulan. Bagian ini berjudul “kesimpulan” dan berisi pendapat dokter

terhadap hasil pemeriksaan, berisikan: Jenis luka, Penyebab luka, Sebab

kematian, Mayat, Luka, TKP, Penggalian jenazah, Barang bukti, Psikiatrik

4) Penutup. Bagian ini tidak berjudul dan berisikan kalimat baku “Demikianlah

visum et Repertum ini saya buat dengan sesungguhnya berdasarkan keilmuan

saya dan dengan mengingat sumpah sesuai dengan kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana”.

2.2 PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP CORPUS DELICTI

Tata cara aparatur penegak hukum melaksanakan tugas dalam masyarakat baik

itu merupakan tindakan pencegahan (preventif) maupun tindakan pemberantasan atau

penindakan (represif), adalah Hukum Acara Pidana yang mempunyai tujuan yaitu untuk

mencari dan mendekatkan kebenaran materiil, yakni kebenaran yang selengkap-

lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menetapkan ketentuan hukum acara

pidana secara jujur dan tepat. Tujuan dari hukum acara tersebut untuk mencari pelaku

yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum dan selanjutnya

merintahkan pemeriksaan dan memberi putusan oleh pengadilan guna menentukan

keterbuktian suatu tindak pidana telah dilakukan dan seseorang didakwakan atas

kesalahannya. Penanganan suatu perkara pidana mulai dilakukan oleh penyidik setelah

menerima laporan dan atau pengaduan dari masyarakat atau diketahui sendiri terjadinya

tindak pidana, kemudian dituntut oleh penutut umum dengan jalan melimpahkan

perkara tersebut ke pengadilan. Selanjutnya, hakim melakukan pemeriksaan terhadap

dakwaan penuntut umum yang ditujukan terhadap terdakwa terbukti atau tidak.

9
10

Persoalan yang terpenting dari setiap proses pidana adalah mengenai pembuktian,

karena dari jawaban atas persoalan inilah tertuduh akan dinyatakan bersalah atau

dibebaskan. Untuk kepentingan pembuktian tersebut maka kehadiran benda-benda yang

tersangkut dalam tindak pidana, sangat diperlukan. Benda-benda yang dimaksudkan

lazim dikenal dengan istilah barang bukti atau corpus delicti yakni barang bukti

kejahatan. Barang bukti itu mempunyai peranan yang sangat penting dalam proses

pidana. Menurut Andi Hamzah barang bukti dapat diuraikan sebagai berikut:

“ istilah barang barang bukti dalam perkara pidana yaitu barang mengenai

mana delik dilakukan (obyek delik) dan barang dengan mana delik misalnya

pisau yang dipakai untuk menikam orang. Termasuk juga barang bukti ialah

hasil dari delik. Misalanya uang Negara yang dipakai (korupsi) untuk

membeli rumah pribadi, maka rumah pribadi tersebut merupakan barang

bukti atau hasil delik.”

Barang bukti yang bukan merupakan obyek, barang bukti atau hasil delik tetapi

dapat pula dijadikan barang bukti sepanjang barang bukti tersebut mempunyai

hubungan langsung dengan tindak pidana misalnya uang yang dipakai korban pada saat

ia melakukan kejahatan korupsi bisa di jadikan barang bukti. Selanjutnya, benda sitaan

mempunyai peranan yang sangat penting dalam proses pidana, walaupun semua aturan

yang ada tidak ada satu pasalpun yang memberikan definisi atau pengertian mengenai

benda sitaan secara implisit (tersirat) ataupun secara nyata. Walaupun demikian perlu

diberi batasan bahwa benda sitaan yaitu benda yang bergerak atau benda tidak bergerak,

berwujud atau tidak berwujud yang diambil alih atau disimpan dalam penguasaan
11

penyidik untuk kepentingan penyidik, penuntutan dan pengadilan atau dengan kata lain

yang dimaksud dengan benda sitaan adalah barang atau benda sitaan hasil dari suatu

penyitaan. Benda sitaan menurut kamus bahasa Indonesia adalah benda adalah harta

atau barang yang berharga dan segala sesuatu yang berwujud atau berjasad. Sitaan

berarti perihal mengambil dan menahan barang-barang sebagiannya yang dilakukan

menurut putusan hakim atau oleh polisi. Pengertian benda sitaan erat sekali kaitannya

dengan barang bukti karena benda sitaan adalah barang bukti dari suatu perkara pidana

yang disita oleh aparat penegak hukum yang berwenang guna kepentingan pembuktian

di sidang pengadilan. Istilah barang bukti dalam bahasa Belanda berarti “bewijsgoed”

baik dalam wetboek van strafrecht voor Indonesia, maupun dalam Het Herziene

Inlandsch Reglemen dan dalam peraturan perundang-undangan lainya. Barang bukti

dalam hal ini adalah barang-barang yang diperlukan sebagai alat bukti terutama alat

bukti seperti yang disebutkan dalam keterangan saksi atau keterangan terdakwa. Benda

sitaan sebagai barang bukti menurut pemeliharaan yang tidak terpisahkan dengan proses

itu sendiri, status benda sitaan pada dasarnya tidak berbeda dengan status seorang

tersangka selama belum ada putusan yang mempunyai kekuatan hukum yang pasti,

maka benda sitaan masih merupakan milik tersangka atau mereka yang sedang

berperkara. Sehingga benda sitaan harus dilindungi baik terhadap kerusakan maupun

terhadap pengunaan tanpa hak.

Namun menurut Soenarto Soerodibroto, istilah barang bukti dipergunakan

untuk memijak pada barang-barang yang disita berdasarkan Pasal 42 HIR yang menurut

tulisannya sebagai berikut :


12

De met opsporen van misdrijven en overtredingen bekeste ambtenanren,

bacambten en bijzondere persone zijn wijders ge nouden om de voorwerpen,

welke to plegen van eeming misdrijf en tetval gemeen alle zodanige

zakewn, walke door middle van misdrif of overt reding zijn verkregin voort

ge bracht of door voor in de plasts getreden, nate sporen en in beslang ten

amen zoder….

Dalam perundang-undangan negara Republik Indonesia Pasal 42 HIR

diterjemahkan “pengadilan atau pejabat dan orang-orang teristimewa yang mewajibkan

mengusut kejahatan dan pelanggaran selanjutnya harus mencari dan merampas barang-

barang yang dipakai.” Dengan demikian, Benda Sitaan sebagai Pidana Tambahan (Pasal

10 KUHP) bisa terjadi peralihan kepemilikan dari personal ke negara. Penyitaan

terhadap benda merupakan bagian dari pidana tambahan bagi pelaku tindak pidana

diantaranya adalah dengan perampasan barang-barang tertentu, hal ini sangat jelas

sekali diatur dalam Pasal 10 KUHP.

Menurut R. Sugandhi bahwa barang rampasan tersebut termasuk pula binatang,

selain itu diantaranya adalah berupa barang :

1) Diperoleh dengan kejahatan misalnya uang palsu; misalnya uang palsu yang

diperoleh dengan melakukan kejahatan memalsukan uang, kejahatan suap dan lain-

lain. Apabila diperoleh dengan pelanggaran, barang-barang itu hanya dapat

dirampas dalam hal-hal yang ditentukan misalnya perbuatan :

a. Ternak di lahan orang lain (Pasal 549 Ayat (2));

b. Pembuatan uang palsu (Pasal 519 Ayat (2));


13

c. Berburu tanpa izin (Pasal 502 Ayat (2)).

2) Sengaja dipakai untuk melakukan kejahatan misalnya; golok atau senjata api yang

dipakai untuk melakukan pembunuhan dengan sengaja, alat-alat yang dipakai untuk

menggugurkan kandungan dan sebagainya. Barang-barang ini dapat dirampas juga,

akan tetapi harus memenuhi syarat-syarat bahwa barang-barang itu kepunyaan

terhukum dan digunakan untuk melakukan kejahatan-kejahatan dengan sengaja.

Dalam hal kejahatan-kejahatan tidak dengan sengaja dan pelanggaran-

pelanggaran, maka barang-barang itu hanya dapat dirampas apabila ditentukan dengan

khusus misalnya dalam perbuatan;

a. Penggunaan barang-barang yang berbahaya (Pasal 205 Ayat (3));

b. Berburu tanpa izin (Pasal 502 Ayat (2));

c. Pembuatan uang palsu (Pasal 519(2)); dan

d. Ternak di lahan orang lain (Pasal 549 Ayat (2)) Barang yang disita merupakan

milik terhukum.

Kepemilikan disini dapat dimaksudkan bahwa masih milik terhukum disaat

peristiwa pidana dilakukan atau pada waktu perkara diputus. Benda sitaan untuk

keperluan proses peradilan barang sitaan yang dalam ketentuan acara pidana juga

disebut dengan benda sitaan demikian yang diatur dalam Pasal 1 butir 4 PP Nomor 27

Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana. Benda

Sitaan menjadi bagian Pemasukan Non Pajak Dalam Peraturan Pemerintah Republik

Indonesia nomor 22 Tahuh 1997 tanggal 7 Juli 1997 tentang Jenis dan Penyetoran

Penerimaan Negara Bukan Pajak yakni menjelaskan poin-poin jenis-jenis penerimaan


14

negara bukan pajak yang berlaku pada kejaksaan agung, diantaranya adalah sebagai

berikut:

a. Penerimaan dari penjualan barang rampasan.

b. Penerimaan dari penjualan hasil sitaan/rampasan.

c. Penerimaan dari ganti rugi dan tindak pidana korupsi.

d. Penerimaan biaya perkara.

e. Penerimaan lain-lain, berupa uang temuan, hasil lelang barang temuan dan

hasil penjualan barang

f. Bukti yang tidak diambil oleh yang berhak.

g. Penerimaan denda.

Proses awal penyitaan hanya bisa dilakukan oleh penyidik dengan berdasarkan

pada surat izin Ketua Pengadilan Negeri, hal tersebut diatur dalam Pasal 38 Ayat (1)

KUHAP. Dalam Ayat (2) menyebutkan dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak

bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat

izin terlebih dahulu, tanpa mengurangi ketentuan Ayat (1) penyidik dapat melakukan

penyitaan hanya atas benda bergerak dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada

ketua Pengadilan Negeri setempat guna memperoleh persetujuannya. Dalam uraian di

atas telah disebutkan bahwa barang bukti tidak hanya diperoleh penyelidik dari tindakan

pengeledahan, melainkan dapat pula diperoleh dari pemeriksaan di tempat kejadian

perkara (TKP) diserahkan sendiri secara langsung oleh saksi pelapor atau tersangka

pelaku tindak pidana, diambil dari pihak ketiga dan dapat pula berupa temuan dan

selanjutnya dilakukan terhadap benda sita yang menyangkut dalam tindak pidana itu

menahannya untuk sementara waktu guna untuk kepentingan pembuktian dalam


15

penyidikan, penuntut umum dan pengadilan. Tindakan penyidikan tersebut oleh

undang-undang tentang hukum acara pidana disebut “Penyitaan” dalam bahasa Belanda

dikenal dengan istilah “inbesilagneming.” Penyitaan dalam Kitab Undang-undang

Hukum Acara Pidana (KUHAP) diatur secara terpisah dalam dua tempat, sebagai besar

diatur dalam Bab V, bagian keempat Pasal 38 sampai dengan Pasal 46 KUHAP dan

sebagian kecil diatur dalam Bab XIV mengenai penyitaan tercantum dalam Pasal 1 butir

16 KUHAP, yaitu serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau

menyimpan dibawah penguasaan benda bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk

kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan.

Dari pengertian tersebut di atas dapat disimpulkan:

a. Penyitaan termasuk tahap penyidikan karena dikatakan “serangkaian tindakan

penyidikan untuk barang bukti dalam proses pidana;

b. Penyitaan bersifat pengambil-alihan penyimpanan di bawah peguasaan

penyidik suatu benda milik orang lain;

c. Benda yang disita berupa benda begerak dan tidak bergerak, berwujud dan

tidak berwujud;

d. Penyitaan itu untuk tujuan kepentingan pembuktian. Di sini terdapat

kekurangan sesungguhnya penyitaan seharusnya dapat dilakukan bukan saja

untuk kepetingan pembuktian, tetapi juga untuk benda-benda yang dapat

dirampas. Hal demikian diatur dalam Pasal 94 Ned, Sv (Hukum Acara Pidana

Belanda).

Di dalam Pasal 94 Ned. Sv ditentukan bahwa yang dapat disita selain yang

berguna untuk mencari kebenaran (pembuktian) juga benda-benda yang dapat diputus
16

untuk dirampas, dirusakan atau dirumusnahkan. Pemberian batasan tentang penyitaan

sebagaimana tesebut di atas dalam Pasal 1 butir 16 KUHAP hanya terbatas untuk

kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntut umum dan pengadilan. Persamaan

kedua definisi tersebut adalah pengembalian dan penguasaan atas milik orang lain

sehingga dengan sendirinya hal itu langsung menyentuh dan bertentangan dengan Hak

Asasi Manusia sehingga pokok persoalan pada merampas penguasaan atas milik orang

lain. Memperhatikan uraian di atas maka pengertian penyitaan yang diatur dalam Pasal

1 butir ke 16 dari Kitab Hukum Acara Pidana adalah suatu tindakan bersifat upaya

paksa yang dilakukan oleh penyidik terhadap sesuatu benda dari seseorang tersangka,

pada setiap orang atau lembaga pemegang atau penyimpan benda yang diduga dari hasil

kejahatan yang tujuannya sebagai barang alat pembuktian dalam penyidikan, penuntutan

dan pembuktian dimuka persidangan peradilan.

M. Yahya Harahap selanjutnya berpendapat bahwa yang dimaksud penyitaan

sebagaimana yang telah ditentukan oleh Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana

(KUHAP) adalah “Upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik untuk mengambil atau

„merampas‟ sesuatu barang bukti tertentu dari seseorang tersangka, pemegang atau

penyimpan.” Namun perampasan yang dilakukan dibenarkan hukum dan dilaksanakan

menurut peraturan perundang-undangan dan bukan perampasan liar dengan cara-cara

yang melawan hukum. Setelah barangnya diambil atau dirampas oleh penyidik, ditaruh

atau disimpan di bawah kekuasaannya. Dari uraian tersebut di atas terlihat bahwa upaya

penyitaan adalah suatu tindakan hukum yang dilakukan oleh penyidik terhadap benda

milik seseorang yang diduga merupakan hasil kejahatan. Alat untuk melakukan

kejahatan yang tujuan penyitaan tersebut akan diperguanakan sebagai alat pembuktian
17

baik dari penyidikan, penuntutan dan pembuktian dipersidangan. Tindakan Penyidik

untuk melakukan penyitaan dilakukan serangkaian tindakan hukum dari aparat penegak

hukum sebelum adanya putusan peradilan. Selanjutnya dalam Pasal 38 Ayat (1)

KUHAP menegaskan bahwa Penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan

surat izin Ketua Pengadilan Negeri setempat. Pasal 38 KUHAP tersebut di atas

merupakan penegasan kepastian hukum agar tidak terjadi simpang siur yang dapat

melakukan penyitaan, dengan meletakkan landasan prinsip diferensiasi (perbedaan) dan

spesialisasi fungsional (yang berwenang) secara institusional (lembaga) yang dapat

melakukan penyitaan hanya “penyidik”, karena dalam peraturan lama - HIR Polisi dan

Kejaksaan samasama sebagai penyidik dan berwenang melakukan penyitaan, tetapi

setelah Kitab Hukum Acara Pidana diberlakukan telah dibatasi yang berwenang untuk

melaksanakan penyitaan adalah penyidik Polri, walaupun kemungkinan pada waktu

penuntutan atau tingkat pemeriksaan di pengadilan dianggap perlu dilakukan penyitaan

suatu barang, hakim mengeluarkan penetapan agar penuntut umum memerintahkan

penyidik Polri untuk melaksanakan penyitaan. Maksud atau tujuan penyimpanan benda

sitaan adalah agar menghindari barang yang disita itu tidak disalahgunakan, menguasai

dan menikmati benda sitaan, menghindari hilang atau rusaknya (hancur) dan habisnya

barang sitaan. Oleh karena itu barang sitaan itu perlu diselamatkan dan ditentukan

sarana perangkat untuk menjamin keutuhannya berupa sarana penyimpanan dalam

Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara (Rupbasan) penanggung-jawab secara fisik

berada pada Kepala Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara (Rupbasan)

penanggung-jawab secara yuridis berada pada pejabat penegak hukum sesuai dengan

tingkat pemeriksaan. Adapun tujuan penyitaan adalah untuk keperluan pembuktian,


18

terutama ditujukan sebagai barang bukti di muka sidang pengadilan. Kemungkinan

besar tanpa adanya barang bukti, perkaranya tidak dapat diajukan ke muka sidang

pengadilan. Oleh karena itu agar suatu perkara lengkap dengan barang bukti, penyidik

melakukan tindakan penyitaan guna dipergunakan sebagai bukti dalam penyidikan,

dalam tingkat penuntutan dan tingkat pemeriksaan persidangan pengadilan.


19

BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Pada prinsipnya setiap perbuatan pidana disyaratkan selain bersifat melawan

hukum diperlukan juga pertanggungjawaban yang terdapat pada orang yang berbuat.

Dalam menentukan pertanggungjawaban ini bukanlah perkara yang mudah karena ada

beberapa unsur dan kondisi jiwa si pelaku tindak pidana yang harus diperhatikan. Untuk

mengetahui kondisi jiwa si pelaku ini dibutuhkan bantuan dokter untuk memberikan

keterangan mengenai kondisi kejiwaan si pelaku. Hal inilah yang membuat peranan

Ilmu Kedokteran Kehakiman menjadi sangat urgent dalam membantu pemecahan suatu

kasus pidana.

a. Bagi penyidik (Polisi/Polisi Militer) visum et repertum berguna untuk

mengungkapkan perkara.

b. Bagi Penuntut Umum (Jaksa) keterangan itu berguna untuk menentukan pasal yang

akan didakwakan, sedangkan bagi Hakim sebagai alat bukti formal untuk

menjatuhkan pidana atau membebaskan seseorang dari tuntutan hukum.

3.2. Saran

a. Pembuktian merupakan tahap paling menentukan dalam proses persidangan pidana

mengingat pada tahap pembuktian tersebut akan ditentukan terbukti tidaknya

seorang terdakwa melakukan perbuatan pidana sebagaimana yang didakwakan

penuntut umum.Dalam pasal 184 ayat 1 diatur beberapa jenis alat bukti

19
20

diantaranya: keterangan saksi, keterangan ahli, Surat, Petunjuk, dan Keterangan

terdakwa.

b. Visum et repertum turut berperan dalam proses pembuktian suatu perkara pidana

terhadap kesehatan dan jiwa manusia. Visum et repertum menguraikan segala

sesuatu tentang hasil pemeriksaan medik yang tertuang di dalam Pemberitaan, yang

karenanya dapat dianggap sebagai benda bukti. Visum et repertum juga memuat

keterangan atau pendapat dokter mengenai hasil pemeriksaan medik tersebut yang

tertuang di bagian Kesimpulan. Dengan demikian visum et repertum secara utuh

telah menjembatani ilmu kedokteran dengan ilmu hukum sehingga dengan

membaca visum et repertum dapat diketahui dengan jelas apa yang telah terjadi

pada seseorang dan para praktisi hukum dapat menerapkan norma-norma hukum

pada perkara pidana yang menyangkut tubuh/jiwa manusia.


21

DAFTAR PUSTAKA

a. Buku-Buku Refrensi

Andi Hamzah, 2004, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, Hlm. 8

b. Peraturan Perundang-Undangan.

Staatblad 350 tahun 1937

Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana atau KUHAP (Undang-undang Republik


Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3209).

c. Internet

Hany Ayuning Putri (2012). Peranan Ilmu Kedokteran Kehakiman dalam Pemecahan
Kasus Pidana. http://ml.scribd.com/doc/131026671/ diakses tanggal 7 Mei 2013.

Repostiory.Usu.Ac.Id/ Peranan Visum Et Repertum Sebagai Alat Bukti Dalam Tindak


Pidana Pembunuhan/cover.pdf / diakses tanggal 7 Mei 2013.

Mawardi Ardi (2012). Beberapa Masalah Terhadap Kedudukan Visum Et Repertum


Sebagai Alat Bukti Dalam Pembuktian Tindak Pidana Di Pengadilan Negeri
Pangkalan Bun Dan Pemecahannya. http://kopertis11.net/. . ./mawardi%2520ardi.pdf /
diakses tanggal 7 Mei 2013.

Anda mungkin juga menyukai