Anda di halaman 1dari 10

Hukum Dan Masyarakat

Ditulis Gudang Ilmu pada Kamis, 08 Mei 2014

A. Pengertian
Hukum merupakan peraturan-peraturan, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis,
yang pada dasarnya berlaku dan diakui orang sebagai peraturan yang harus ditaati dalam
kehidupan bermasyarakat sedangkan Masyarakat ialah sekelompok orang tertentu yang
mendiami suatu daerah atau wilayah tertentu dan tunduk pada peratran hukum tertentu pula.
Faktor-faktor yang mempngaruhi berlakunya hukum dalam masyarakat, sehingga
hukum tersebut berlaku efektif atau tidak. berikut hal-hal yang mempengaruhi berlakunya
hukum dalam masyarakat :
1. Kaidah Hukum
didalam teori-teori ilmu hukum, dapat dibedakan antara tiga macam hal mengenai berlakunya
hukum sebagai kaidah, hal itu diungkapkan sebagai berikut :

 kaidah hukum berlaku secara yuridis, apabila penentuannya didasarkan pada kaidah
yang lebih tinggi tingkatannya atau terbentuk atas dasar yang telah ditetapkan.
 kaidah hukum berlaku secara sosiologis, apabila kaidah tersebut efektif. artinya,
kaidah dimaksud dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa walaupun tidak diterima
oleh warga masyarakat (teori kekuasaan), atau kaidah itu berlaku karena adanya
pengakuan dari masyarakat;
 kaidah hukum berlaku secara filosofis, sesuai dengan cita hukum sebagai nilai positif
yang tertinggi.

2. Penegak Hukum
Penegak hukum atau orang bertugas menerapkan hukum mencakup ruang lingkup yang
sangat luas. sebab, menyangkut petugas pada strata atas, menengah dan bawah. artinya,
dalam melaksanakan tugas-tugas penerapan hukum, petugas seharusnya harus memiliki suatu
pedoman diantaranya peraturan tertulis tertentu yang menyangkut ruang lingkup tugas-
tugasnya.
3. Sarana/ Fasilitas
Fasilitas/sarana amat penting untuk mengefektifkan suatu aturan tertentu. ruang lingkup
sarana dimaksud, terutama sarana fisik yang berfungsi sebagai faktor pendukung. misalnya,
bila tidak ada kertas dan karbon yang cukup serta mesin tik yang cukup baik, bagaimana
tugas dapat membuat berita acara mengenai suatu kejahatan. bagaimana polisi dapat bekerja
dengan baik apabila tidak dilengkapi dengan kendaraan dan alat-alat komunikasi yang
proporsional. kalau peralatan yang dimaksud sudah ada, maka faktor-faktor pemeliharaannya
juga sangat penting.
4. Warga Masyarakat
salah satu faktor yang mengefektifkan suatu peraturan adalah warga masyarakat. warga
masyarakat dimaksud, adalah kesadarannya untuk mematuhi suatu peraturan perundang-
undangan, derajat kepatuhan. secara sederhana dapat dikatakan, bahwa derajat kepatuhan
masyrakat terhadap hukum merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum yang
bersangkutan.
B. Profesi Hukum

profesi adalah sebutan atau jabatan dimana orang yang menyandangnya memiliki
pengetahuan khusus yang diperolehnya melalui latihan atau training atau sejumlah
pengalaman lain atau mungkin diperoleh sekaligus kedua-duanya. Penyandang profesi dapat
membimbing atau memberi nasihat dan saran atau juga melayani orang lain dalam bidang-
nya sendiri.
Terdapat pula rumusan lain mengenai profesi hukum diantaranya menurut Aubert
(1973) menurutnya profesi adalah pekerjaan pelayanan yang menerapkan seperangkat
pengetahuan sistematika (ilmu) pada masalah-masalah yang sangat relevan bagi nilai-nilai
utama dari masyarakat. Sedangkan menurut E. Sumarsono (1999) menjelaskan bahwa profesi
adalah sebuah jabatan atau sebutan dimana orang yang menyandangnya mempunyai
pengetahuan khusus yang diperolehnya melalui training atau pengalaman lain, atau bahkan
diperoleh melalui keduanya sehingga penyandang profesi dapat membimbing atau memberi
nasihat/saran atau juga melayani orang lain dalam bidangnya sendiri dengan lebih baik bila
dibandingkan dengan warga masyarakat lain pada umumnya.
Kemudian menurut Franz Magnis-Suseno (1991) profesi dapat dibedakan atas profesi
umum dan profesi yang luhur. Profesi umum adalah pekerjaan yang dilakukan sebagai
kegiatan pokok untuk menghasilkan nafkah hidup dan yang mengandalkan suatu keahlian
yang khusus. Persyaratan adanya keahlian yang khusus inilah yang membedakan antara
pengertian dan pekerjaan, walaupun memang sukar mencari garis pemisah yang tajam antara
keduanya. Profesi yang luhur adalah profesi yang pada hakikatnya merupakan suatu
pelayanan pada manusia atau masyarakat, meskipun mereka ini memperoleh nafkah, namun
nafkah bukan tujuan utama.

Konsep Etika Profesi


Ada dua konsep etika profesi hukum yang saat ini cukup mendominasi dalam
menghadapi modernisasi atau proses pergeseran dari hukum ‘klasik’ menuju hukum
‘modern’ seperti telah dijelaskan di atas. dua konsep tersebut lahir dari ahli-ahli teori hukum
di Amerika. Meski begitu, bukan berarti dua konsep ini memiliki pandangan yang sejalan.
Justru sebaliknya. Masing-masing konsep dimaksud justru telah memilih dua kutub
berseberangan dalam menghadapi modernisasi.
Konsep yang pertama adalah konsep yang diutarakan oleh Anthony Kronman dalam
bukunya The Lost Lawyer (1993). Kronman menggambarkan seorang profesional hukum
yang ideal sebagai seorang lawyer statesman. Profesional hukum tersebut harus memiliki tiga
elemen pokok berikut ini:
1. kecakapan teknis yuridis,
2. sifat yang terpuji,
3. serta kebijaksanaan yang membumi (phronesis).

Subyek Hukum Profesi Hukum


Hingga saat ini beberapa subyek hukum yang diperlengkapi dengan etika profesi
hukum meliputi :
1. hakim
2. penasihat hukum (Advokat, Pengacara)
3. notaries
4. jaksa
5. polisi

Ciri Khas Profesi


1. suatu bidang yang terorganisasi dari materi intelektual yang terus menerus berkembang
dan diperluas.
2. suatu teknik intelektual
3. penerapan praktis dari teknik intelektual pada urusan praktis.
4. suatu periode panjang untuk pelatihan dan sertifikasi.
5. beberapa standar dan pernyataan tentang etika profesi yang dapat diselenggarakan.
6. kemampuan memberi kepemimpinan pada profesi sendiri
7. asosiasi anggota profesi yang akrab dengan komunikasi yang erat antar anggota.
8. pengakuan sebagai profesi.
9. perhatian yang professional dalam pekerjaan profesi dan adanya rasa bertanggungjawab.
10. hubungan yang erat dengan profesi lain.

C. Hukum Dan Perubahan Sosial


Hubungan antara hukum dan perubahan sosial bersifat timbal balik, dan hukum dapat
dilihat sebagai pengaruh dan yang menyebabkan perubahan social, dalam bagian ini, hukum
akan dianggap hanya sebagai alat atau instrument aktif untuk membimbing dan membentuk
perilaku masa depan dan bentuk-bentuk sosial-yaitu, sebagai strategi perubahan sosial.
Meskipun ide-ide Marx, Engels, dan Lenin hukum yang epiphenomenon masyarakat kelas
borjuis ditakdirkan untuk menghilang atau runtuh dengan munculnya revolusi, UNI Soviet
berhasil membuat perubahan besar dalam masyarakat dengan menggunakan undang-undang.
Pengakuan terhadap supremasi hukum sebagai strategi perubahan menjadi lebih
menonjol dalam masyarakat kontemporer. Hal itu berlaku secara umum bahwa hukum
semakin tidak hanya mengartikulasikan tetapi menetapkan jalan untuk perubahan social yang
besar dan perubahan sosial yang berusaha dilakukan melalui hukum adalah sifat dasar dari
dunia modern. Dror berpendapat hukum secara tidak langsung memainkan peran penting
dalam perubahan sosial dengan membentuk berbagai institusi sosial, yang pada gilirannya
berdampak langsung pada masyarakat.
Dror berpendapat bahwa hukum memberikan pengaruh langsung terhadap perubahan
sosial, pada umumnya dilakukan dengan mempengaruhi atau mengintervensi sesuatu yang
memungkinkan perubahan dalam berbagai institusi sosial.
Pada semua masyarakat modern, setiap kumpulan undang-undang dan undang-undang
yang didelegasikan itu penuh dengan ilustrasi penggunaan hukum secara langsung, sebagai
alat untuk perubahan sosial yang diarahkan. Perspektif yang agak berbeda pada hukum dalam
perubahan sosial disajikan oleh L. Friedman. Ia mengacu pada perubahan melalui hukum
dalam hal dua jenis: Perencanaan dan Gangguan. Perencanaanmengacu pada pembangunan
arsitektur, dalam arti bentuk-bentuk baru dalam tatanan sosial dan interaksi sosial. Gangguan
mengacu pada pemblokiran atau perbaikan sistem hukum yang ada dan dapat membawa pada
perubahan social yang positif atau negative, tergantung dari sudut pandang seseorang dalam
melihatnya.
William M. Evan dengan jelas mengartikulasikan bahwa, Sebagai instrumen
perubahan sosial, hukum memerlukan dua proses yang saling terkait. Yakni, pelembagaan
dan internalisasi pola perilaku. Dalam konteks ini, pelembagaan pola perilaku berarti
pembentukan norma dengan ketentuan untuk penegakan hukum, dan internalisasi pola
perilaku berarti penggabungan satu nilai atau beberapa nilai yang tersirat dalam undang-
undang. Hukum dapat mempengaruhi perilaku secara langsung hanya melalui proses
pelembagaan. Jika, institusionalisasi ini berhasil pada gilirannya dapat memfasilitasi
internalisasi sikap atau kepercayaan.
Namun, sejauh mana dampak hukum itu dapat terasa dan sejauh mana hukum itu
relevan dengan suatu keadaan atau hanya berlaku dalam suatu keadaan tertentu. Ketentuan
berikut dapat dijadikan garis besar pada efektifitas hukum sebagai strategi perubahan sosial.
Pertama, hukum harus berasal dari sumber otoritatif dan prestise. Kedua, hukum harus
memperkenalkan pemikiran dalam istilah yang dimengerti dan kompatibel dengan nilai-nilai
yang ada. Ketiga, para pendukung perubahan harus membuat referensi bagi masyarakat lain
atau negara-negara lain, di mana masyarakat itu ada dan hukum itu berlaku. Keempat,
supremasi hukum harus menunjukkan ke arah pembuatan perubahan dalam waktu yang
relatif singkat. Kelima, mereka (para penegak hukum) harus sangat berkomitmen terhadap
perubahan undang-undang atau hukum yang di maksud. Keenam, pelaksanaan hukum harus
mencakup sanksi-sanksi positif dan negatif. Ketujuh, supremasi hukum harus masuk akal,
tidak hanya dalam hal sanksi-sanksi yang diberikan tetapi juga dalam perlindungan hak-hak
orang-orang yang melanggar hukum. (Evan, 1965: 288-291)

D. Kultur Hukum
Menurut Friedman, kultur hukum adalah suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial
yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari atau disalahgunakan. Tanpa kultur
hukum, maka sistem hukum itu sendiri tidak berdaya, seperti ikan mati yang terkapar di
keranjang, dan bukan seperti ikan hidup yang berenang di laut. Komponen kultural yaitu
terdiri dari nilai-nilai dan sikap-sikap yang mempengaruhi bekerjanya hukum, atau yang
menurut Friedman disebut sebagai kultur hukum. Kultur hukum inilah yang berfungsi sebagai
jembatan yang menghubungkan antara peraturan hukum dengan tingkah laku hukum seluruh
warga masyarakat.
Menurut Lawrence Friedman budaya hukum dibedakan menjadi dua macam. Pertama
internal legal culture, yakni kultur hukumnya para lawyer’s dan judged’s dan exsternal legal
culture, yakni kultur hukum masyarakat pada umumnya. Semua kekuatan sosial akan
mempengaruhi bekerjanya hukum dalam masyarakat. Sikap masyarakat, salah satunya
tidak melaksanakan produk hukum karena masyarakat mpunyai budaya hukum sendiri.
Hukum sebagai sistem nilai dalam masyarakat kadang dipatuhi. Dalam suatu komunitas
hukum kadang-kadang tidak selalu dipatuhi.
Berbicara masalah hukum, pada dasarnya membicarakan fungsi hukum di dalam
masyarakat. Untuk memahami bagaimana fungsi hukum itu, perlu dipahami terlebih dahulu
bidang pekerjaan hukum. Sedikitnya ada (empat) bidang pekerjaan yang dilakukan oleh
hukum yaitu:
1) Merumuskan hubungan-hubungan diantara anggota masyarakat dengan menunjukan
perbuatan-perbuatan apa saja yang dilarang dan yang boleh dilakukan.
2) Mengalokasikan dengan menegaskan siapa saja yang boleh melakukan kekuasaan atau
siapa berikut prosedurnya.
3) Menyelesaikan sengketa yang timbul di dalam masyarakat.
4) Mempertahankan kemampuan adaptasi masyarakat dengan cara mengatur kembali
hubungan-hubungan dalam masyarakat manakala ada. Merumuskan hubungan-hubungan
diantara anggota masyarakat dengan menunjukan perbuatan-perbuatan apa saja yang dilarang
dan yang boleh dilakukan.
Dari 4 (empat) pekerjaan hukum tersebut di atas, menurut Satjipto Raharjo secara
sosiologis dapat dilihat dari adanya 2 (dua) fungsi utama hukum yaitu :
1) Social Control (Kontrol Sosial)
Social Control merupakan fungsi hukum yang mempengaruhi warga masyarakat agar
bertingkah laku sejalan dengan apa yang telah digariskan sebagai aturan hukum, termasuk
nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat. Termasuk dalam lingkup kontrol social ini adalah
:
a) Perbuatan norma-norma hukum, baik yang memberikan peruntukan maupun yang
menentukan hubungan antara orang dengan orang.
b) Penyelesaian sengketa di dalam masyarakat.
c) Menjamin kelangsungan kehidupan masyarakat, yaitu dalam hal terjadi perubahan-
perubahan sosial.
2) Social Engineering (Rekayasa Sosial) Penggunaan hukum secara sadar untuk mencapai
suatu tertib atau keadaan masyarakat sebagaimana diinginkan oleh pembuat hukum.

Berbeda dengan fungsi kontrol sosial yang lebih praktis, yaitu untuk kepentingan
waktu sekarang, maka fungsi rekayasa sosial dari hukum lebih mengarah pada pembahasan
sikap dan perilaku masyarakat di masa mendatang sesuai dengan keinginan pembuat Undang-
Undang. Perubahan-perubahan yang dikehendaki itu apabila berhasil pada akhirnya akan
melembaga sebagai pola-pola tingkah laku yang baru di masyarakat.
Suatu tatanan yang ada dalam masyarakat sesungguhnya terdiri dari suatu kompleks
tatanan, yaitu terdiri dari sub-sub tatanan yang berupa kebiasaan, hukum dan kesusilaan,
dengan demikian ketertiban yang terdapat dalam masyarakat itu senantiasa terdiri dari ketiga
tatanan tersebut Keadaan yang demikian ini memberikan pengaruhnya tersendiri terhadap
masalah efektivitas tatanan dalam masyarakat. Efektivitas ini bisa diiihat dari segi peraturan
hukum, sehingga ukuran-ukuran untuk menilai tingkah laku dan hubungan-hubungan antara
orang-orang didasarkan pada hukum atau tatanan hukum.
Secara singkat, menurut Lawrence M. Friedman cara lain untuk menggambarkan
ketiga unsur sistem hukum itu adalah sebagai berikut :
1) Struktur hukum diibaratkan sebagai mesin;
2) Substansi hukum adalah apa yang dikerjakan dan dihasilkan oleh mesin itu;
3) Kultur hukum adalah apa saja atau siapa saja yang memutuskan untuk menghidupkan dan
mematikan mesin itu, serta memutuskan bagaimana mesin itu digunakan.

E. Bantuan Hukum
Sebelum adanya Undang-Undang Bantuan Hukum, terdapat Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 83 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian
Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma. Di dalam Peraturan tersebut, memberikan pengertian
mengenai bantuan hukum secara cuma-cuma yaitu jasa hukum yang diberikan advokat tanpa
menerima pembayaran honorarium meliputi pemberian konsultasi hukum, menjalankan
kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk
kepentingan pencari keadilan yang tidak mampu.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat diketahui bahwa dalam bantuan hukum terdapat
beberapa unsur, yaitu:

1. penerima bantuan hukum adalah fakir miskin atau orang yang tidak mampu secara
ekonomi;
2. bantuan hukum diberikan baik di dalam maupun di luar proses peradilan;
3. bantuan hukum diberikan baik dalam lingkup peradilan pidana, perdata, maupun tata
usaha negara;
4. bantuan hukum diberikan secara cuma-cuma.

Meski demikian, perlu diperhatikan bahwa PP 83/2008, secara substantif, tidak


mengatur bantuan hukum; melainkan mengatur bagaimana advokat memberikan bantuan
hukum secara cuma-cuma. Dengan demikian, subyek dari PP 83/2008 adalah advokat, bukan
bantuan hukum. Oleh karena itu, sebelum diundangkannya UU ini belum terdapat definisi
bantuan hukum secara terpat. Maka, setelah disahkannya UU Bantuan Hukum tanggal 4
oktober 2011 terdapat pengertian menurut Undang-Undang Bantuan Hukum secara jelas
menurut hukum. Bantuan Hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh Pemberi Bantuan
Hukum secara cuma-cuma kepada Penerima Bantuan Hukum. Berdasarkan Undang-Undang
ini, Bantuan hukum merupakan pekerjaan jasa yang bersifat professional yang berarti bahwa
untuk melakukan pekerjaan tersebut diperlukan suatu pendidikan khusus dan keahlian
khusus. Selain itu, Bantuan hukum merupakan suatu hak yang dapat dituntut oleh setiap
subjek hukum ketika ia memerlukannya.
Di dalam pasal 5 Undang-Undang Bantuan Hukum ditegaskan bahwa penerima
bantuan hukum meliputi setiap orang atau kelompok orang miskin yang tidak dapat
memenuhi hak dasar secara layak dan mandiri. Hak-hak dasar tersebut adalah hak atas
pangan, sandang, layanan kesehatan, layanan pendidikan, pekerjaan dan berusaha, dan/atau
perumahan. Sedangkan di dalam Pasal 6 ditegaskan bahwa syarat pemberi bantuan hukum
meliputi :

1. berbadan hukum;
2. terakreditasi berdasarkan Undang-Undang ini;
3. memiliki kantor atau sekretariat yang tetap;
4. memiliki pengurus; dan
5. memiliki program bantuan hukum.

Selain itu di dalam Pasal 9 Undang-Undang inipula dijelaskan hak Pemberi bantuan
Hukum yaitu:

1. melakukan rekrutmen terhadap advokat, paralegal, dosen dan mahasiswa fakultas


hukum;
2. melakukan pelayanan bantuan hukum;
3. menyelenggarakan penyuluhan hukum, konsultasi hukum, dan program kegiatan lain
yang berkaitan dengan penyelenggaraan bantuan hukum;
4. menerima anggaran dari negara untuk melaksanakan bantuan hukum berdasarkan
Undang-Undang ini;
5. mengeluarkan pendapat atau pernyataan dalam membela perkara yang menjadi
tanggung jawabnya di dalam sidang pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
6. mendapatkan informasi dan data lain dari pemerintah ataupun instansi lain, untuk
kepentingan pembelaan perkara; dan
7. mendapatkan jaminan perlindungan hukum, keamanan, dan keselamatan selama
menjalankan pemberian Bantuan Hukum.

Dalam melakukan tugasnya, menurut Pasal 10 UU Bantuan Hukum, Pemberi Bantuan


Hukum berkewajiban untuk :

1. melaporkan kepada Menteri tentang program bantuan hukum;


2. melaporkan setiap penggunaan anggaran negara yang digunakan untuk pemberian
bantuan hukum berdasarkan Undang-Undang ini;
3. menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan bantuan hukum bagi advokat, paralegal,
dosen, mahasiswa fakultas hukum yang direkrut sebagaimana dimaksud dalam Pasal
9 huruf a;
4. menjaga kerahasiaan data, informasi, dan/atau keterangan yang diperoleh dari
Penerima Bantuan Hukum berkaitan dengan perkara yang sedang ditangani, kecuali
ditentukan lain oleh Undang-Undang; dan
5. memberikan Bantuan Hukum kepada Penerima Bantuan Hukum berdasarkan syarat
dan tata cara yang ditentukan dalam Undang- Undang ini sampai perkaranya selesai,
kecuali ada alasan yang sah secara hukum. dari dan tanggung jawab dari pmberi
bantuan hukum

Asas dan tujuan bantuan hukum


Berdasarkan pasal 2 UU Bantuan Hukum dilaksanakan berdasarkan asas :

1. keadilan;
2. persamaan kedudukan di dalam hukum;
3. keterbukaan;
4. efisiensi;
5. efektivitas; dan
6. akuntabilitas

Penyelenggaraan Bantuan Hukum bertujuan untuk ( Pasal 3 UU Bantuan Hukum)

1. Menjamin dan memenuhi hak bagi Penerima Bantuan Hukum (fakir miskin)
untuk mendapatkan akses keadilan;
2. Mewujudkan hak konstitusional segala warga negara sesuai dengan prinsip persamaan
kedudukan di dalam hukum;
3. Menjamin kepastian penyelenggaraan Bantuan Hukum dilaksanakan secara merata di
seluruh wilayah Negara Republik Indonesia; dan
4. Mewujudkan peradilan yang efektif, efisien, dan dapat dipertanggungjawabkan

Selain itu, di dalam lawasia Conference III (1973), terdapat 3 fungsi bantuan hukum
yaitu sebgai sarana dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat miskin untuk
mendapatkan kemungkinan melakukan penuntutan terhadap apa yang menjadi haknya,
memberi informasi agar timbul kesadaran masyarakat, serta sebagai sarana untuk
mengadakan pembaharuan.

Arah Kebijakan Bantuan Hukum


Akses keadilan sebagai salah satu hak dasar yang bersifat universal, yang ditujukan
bagi masyarakat kurang mampu dan termarjinalisasi, agar mereka dapat menggunakan sistem
hukum untuk meningkatkan hidupnya. Karena itu pengalaman di berbagai negara dalam
memberikan bantuan hukum bagi warga negara yang tergolong miskin atau tidak mampu
adalah relevan dalam mewujudkan negara hukum yang demokratis. Hal ini tentu berlaku bagi
Negara Republik Indonesia yang juga merupakan negara hukum yang demokratis
(konstitusionalisme).
Fakta empiris menunjukkan bahwa dalam masyarakat telah terdapat berbagai lembaga
bantuan hukum baik berupa lembaga swadaya masyarakat maupun yang dikelola oleh
fakultas hukum di perguruan tinggi yang telah memberikan bukti konkret dan kontribusi luar
biasa terhadap warga negara Indonesia yang miskin atau tidak mampu untuk mendapatkan
akses keadilan.
Selain itu, terdapat juga ribuan advokat yang menurut UU 18 / 2003, diwajibkan
untuk memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma bagi orang yang tidak mampu. Akan
tetapi, mengingat besarnya jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 220 juta jiwa serta
jumlah penduduk miskin yang mencapai 32 juta jiwa serta wilayah Indonesia yang
sedemikian luas, akses keadilan bagi mereka yang tergolong miskin atau tidak mampu masih
jauh dari tingkat yang ideal.
Secara kuantitatif, rasio antara advokat dan jumlah penduduk Indonesia saat ini masih
sangat timpang. Menurut catatan resmi di Mahkamah Agung Republik Indonesia, jumlah
advokat sampai dengan tahun 2005 berjumlah kurang dari 30.000 orang, bandingkan dengan
jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 220 juta jiwa.
Tujuan penyusunan kebijakan Bantuan Hukum adalah untuk menjamin dan
memenuhi hak bagi fakir miskin untuk mendapatkan akses keadilan, baik di dalam maupun di
luar proses peradilan; mewujudkan hak konstitusional warga negara sesuai dengan prinsip
persamaan di hadapan hukum: menjamin kepastian penyelenggaraan bantuan hukum
dilaksanakan secara merata di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia; dan mewujudkan
peradilan yang efektif, efisien, dan dapat dipertanggungjawabkan.

Masyarakat Hukum

Posted by : Ahmad Rifa'i Rabu, 24 April 2013

Masyarakat hukum (rechtsgemeen schappen) adalah sekelompok orang yang hidup dalam suatu
wilayah tertentu dimana di dalam kelompok tersebut berlaku suatu rangkaian peraturan yang
menjadi tingkah laku bagi setiap kelompok dalam pergaulan hidup mereka1[1].
Peraturan-peraturan itu dibuat oleh kelompok itu sendiri dan berlaku bagi mereka sendiri.
Suatu aturan tersebut kadang-kadang diciptakan dan dikehendaki oleh para anggota masyarakat,
adakalanya disebabkan oleh kebiasaan yang dilakukan secara berulang-ulang dan masyarakat
lainnya mengikutinya, karena mereka yakin bahwa yang dilakukannya tersebut memang seharusnya
demikian, yang dikenal dengan sebutan masyarakat adat. Hal ini sesuai dengan pandangan Roscou
Pound yang menyatakan bahwa hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang
hidup dalam masyarakat. Sesuai disini bahwa hukum itu mencerminkan nilai-nilai yang hidup dalam
masyarakat.2[2]
Kelompok masyarakat tersebut terjadi karena kodrat manusia itu sendiri sebagai makhluk sosial
yang selalu ingin hidup berkelompok, karena manusia sebagai individu tidak dapat mencapai
kebutuhan hidupnya tanpa bantuan manusia lainnya. Hal inilah yang menjadi salah satu sebab
mengapa manusia selalu cenderung untuk hidup bersama dengan sesamanya. Sebagaimana ajaran
Aristoteles yang menyatakan bahwa manusia itu adalah ZOON POLITICON, artinya bahwa manusia
itu sebagai makhluk pada dasarnya selalu ingin bergaul dan berkumpul dengan sesama manusia
lainnya.3[3]
Dengan sadar atau tidak manusia dipengaruhi oleh peraturan-peraturan hidup bersama yang
mengekang hawa nafsu dan mengatur hubungan antar manusia. Peraturan-peraturan hidup itu
memberi ancer-ancer perbuatan mana yang boleh dijalankan dan perbuatan mana yang harus
dihindari.4[4] Sebagai contoh suku bangsa di Indonesia akan tampak suatu masyarakat yang terdiri
dari kelompok-kelompok yang berhubungan satu dengan yang lainnya dan akan selalu berusaha agar
dalam pergaulan bermasyarakat tersebut menciptakan suasana tertib, damai dan aman dengan cara
dan kebiasaan yang berbeda-beda. Prof. C. Van Vollenhoven dalam bukunya tentang hukum adat
Indonesia menunjukkan bahwa hukum adat di Indonesia adanya ciri-ciri khas tertentu baik watak,
maupun wilayah hukum dari masyarakat adat tersebut di atas. Misalnya van Vallenhoven membagi
19 wilayah hukum yang masing-masing mempunyai ciri-ciri khas, misalnya daerah Minangkabau,
yang mempunyai sistem kekeluargaan matrialchaal, Tapanuli yang mempunyai sistem kekeluargaan
parental, Aceh dan Sulawesi Selatan di mana Hukum Islam banyak telah meresap dalam Hukum
Adat, dan lain-lain.5[5]
Demikian gambaran ringkas tentang masyarakat hukum Indonesia tentunya masih banyak
contoh-contoh masyarakat hukum baik di dalam negeri maupun di luar negeri.

6[1] Soeroso, R., SH., Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2009. Cet. Ke sebelas. Hlm 298

7[2] Rasjidi, Lili, Prof. DR. SH, S.Sos, LLM dan Rasjidi Thania, SH, MH, Dasar-dasar Filsafat Dan Teori

Hukum, Penerbit PT. CitraAditya Bakti, Bandung 2004. Cet. Ke-IX, hlm 66.
8[3] Kansil, CST, DRS, SH, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, PN. Balai Pustaka,

Jakarta 1979. Cetakan kedua, hlm 27

9[4] Ibid, hlm 32

10[5] Ibid, hlm 130

Anda mungkin juga menyukai